Anda di halaman 1dari 67

Penatalaksanaan Trauma Spinal dan Cedera Cervikal

II. 1. ANATOMI
Tulang belakang manusia adalah pilar atau tiang yang berfungsi sebagai penyangga tubuh
dan melindungi sumsum tulang belakang. Pilar itu terdiri atas 33 ruas tulang belakang yang
tersusun secara segmental yang terdiri atas 7 ruas tulang servikal (vertebra servikalis), 12 ruas
tulang torakal (vertebra torakalis), 5 ruas tulang lumbal (vertebra lumbalis), 5 ruas tulang
sakral yang menyatu (vertebra sakral), dan 4 ruas tulang ekor (vertebra koksigea). Setiap ruas
tulang belakang dapat bergerak satu dengan yang lain oleh karena adanya dua sendi di
posterolateral dan diskus intervertebralis di anterior. Pada pandangan dari samping pilar
tulang belakang membentuk lengkungan atau lordosis di daerah servikal, torakal dan lumbal.
Keseluruhan vertebra maupun masing-masing tulang vertebra berikut diskus
intervertebralisnya bukanlah merupakan satu struktur yang mampu melenting, melainkan satu
kesatuan yang kokoh dengan diskus yang memungkinkan gerakan antar korpus ruas tulang
belakang. Lingkup gerak sendi pada vertebra servikal adalah yang terbesar. Vertebra torakal
berlingkup gerak sedikit karena adanya tulang rusuk yang membentuk toraks, sedangkan
vertebra lumbal mempunyai ruang lingkup gerak yang lebih besar dari torakal tetapi makin
ke bawah lingkup geraknya makin kecil. 4, 5
Secara umum struktur tulang belakang tersusun atas dua kolom yaitu : 6
1.Kolom korpus vertebra beserta semua diskus intervetebra yang berada di antaranya
2.Kolom elemen posterior (kompleks ligamentum posterior) yang terdiri atas lamina ,
pedikel, prosesus spinosus, prosesus transversus dan pars artikularis, ligamentum-ligamentum
supraspinosum dan intraspinosum, ligamentum flavum, serta kapsul sendi
Setiap ruas tulang belakang terdiri atas korpus di depan dan arkus neuralis di belakang yang
di situ terdapat sepasang pedikel kanan dan kiri, sepasang lamina, dua pedikel, satu prosesus
spinosus, serta dua prosesus transversus. Beberapa ruas tulang belakang mempunyai bentuk
khusus, misalnya tulang servikal pertama yang disebut atlas dan ruas servikal kedua yang
disebut odontoid. Kanalis spinalis terbentuk antara korpus di bagian depan dan arkus neuralis

di bagian belakang. Kanalis spinalis ini di daerah servikal berbentuk segitiga dan lebar,
sedangkan di daerah torakal berbentuk bulat dan kecil. Bagian lain yang menyokong
kekompakan ruas tulang belakang adalah komponen jaringan lunak yaitu ligamentum
longitudinal anterior, ligamentum longitudinal posterior, ligamentum flavum, ligamentum
interspinosus, dan ligamentum supraspinosus. 5
Stabilitas tulang belakang disusun oleh dua komponen, yaitu komponen tulang dan
komponen jaringan lunak yang membentuk satu struktur dengan tiga pilar. Pertama yaitu satu
tiang atau kolom di depan yang terdiri atas korpus serta diskus intervertebralis. Kedua dan
ketiga yaitu kolom di belakang kanan dan kiri yang terdiri atas rangkaian sendi
intervertebralis lateralis. Secara keseluruhan tulang belakang dapat diumpamakan sebagai
satu gedung bertingkat dengan tiga tiang utama, satu kolom di depan dan dua kolom di
samping belakang, dengan lantai yang terdiri atas lamina kanan dan kiri, pedikel, prosesus
transversus dan prosesus spinosus. Tulang belakang dikatakan tidak stabil bila kolom vertikal
terputus pada lebih dari dua komponen. 5
Sumsum tulang belakang berjalan melalui tiap-tiap vertebra dan membawa saraf yang
menyampaikan sensasi dan gerakan dari dan ke berbagai area tubuh. Semakin tinggi
kerusakan saraf tulang belakang, maka semakin luas trauma yang diakibatkan. Misal, jika
kerusakan saraf tulang belakang di daerah leher, hal ini dapat berpengaruh pada fungsi di
bawahnya dan menyebabkan seseorang lumpuh pada kedua sisi mulai dari leher ke bawah
dan tidak terdapat sensasi di bawah leher. Kerusakan yang lebih rendah pada tulang sakral
mengakibatkan sedikit kehilangan fungsi. 4
II. 2. EPIDEMIOLOGI
Di U.S., insiden trauma sumsum tulang belakang sekitar 5 kasus per satu juta populasi per
tahun atau sekitar 14.000 pasien per tahun. Insiden trauma sumsum tulang belakang tertinggi
pada usia 16-30 tahun (53,1 %). Insiden trauma sumsum tulang belakang pada pria adalah
81,2 %. Sekitar 80 % pria dengan trauma sumsum tulang belakang terdapat pada usia 18-25
tahun. 1
SCIWORA (spinal cord injury without radiologic abnormality) terjadi primer pada anakanak. Tingginya insiden trauma sumsum tulang belakang komplit yang berkaitan dengan
SCIWORA dilaporkan terjadi pada anak-anak usia kurang dari 9 tahun.1
II. 3. ETIOLOGI
Penyebab trauma sumsum tulang belakang meliputi kecelakaan sepeda motor (44 %), tindak
kekerasan (24 %), jatuh (22 %), kecelakaan olahraga misal menyelam (8 %), dan penyebab
lain (2 %). 3
Jatuh merupakan penyebab utama trauma sumsum tulang belakang pada orang usia 65 tahun
ke atas. Trauma sumsum tulang belakang karena kecelakaan olahraga biasanya terjadi pada
usia 29 tahun. 2
II. 4. PATOFISIOLOGI
Sumsum tulang belakang terdiri atas beberapa traktus atau jalur saraf yang membawa
informasi motorik (desenden) dan sensorik (asenden). Traktus kortikospinal adalah jalur
motorik desenden yang terletak di anterior sumsum tulang belakang. 1
Kolumna dorsal adalah traktus sensorik asenden yang membawa informasi raba, propriosepsi
dan vibrasi ke korteks sensorik. Traktus spinotalamikus lateral membawa sensasi nyeri dan
suhu. Traktus spinotalamikus anterior membawa sensasi raba. Fungsi otonom dibawa oleh
traktus interomedial anterior. 1
Trauma traktus kortikospinal atau kolumna dorsal berakibat terjadinya paralisis ipsilateral
atau hilangnya sensasi raba, propriosepsi, dan getar. Sedangkan trauma pada traktus

spinotalamikus lateral menyebabkan hilangnya sensasi suhu dan nyeri kontralateral. Trauma
sumsum tulang belakang anterior menyebabkan paralisis dan hilangnya sensasi raba
inkomplit. 1
Fungsi otonom dijalankan melalui traktus interomedial anterior. Saraf simpatis keluar dari
sumsum tulang belakang di antara C7-L1, sedangkan saraf parasimpatis keluar di antara S2
dan S4. Oleh karena itu lesi atau trauma sumsum tulang belakang dapat menyebabkan
disfungsi otonom. 1
Syok neurogenik ditandai dengan disfungsi otonom, seperti hipotensi, bradikardi relative,
vasodilatasi perifer, dan hipotermi. Hal ini biasanya tidak terjadi pada trauma sumsum tulang
belakang di bawah T6. Syok spinal didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi neurologis
komplit, termasuk refleks dan tonus otot, dan terkait dengan disfungsi otonom. Syok
neurogenik mengacu pada terjadinya trias hipotensi, bradikardi dan vasodilatasi perifer akibat
disfungsi otonom dan gangguan pada sistem kontrol saraf simpatis pada trauma sumsum
tulang belakang akut. 1
Suplai darah sumsum tulang belakang terdiri atas 1 arteri spinalis anterior dan 2 arteri spinalis
posterior. Arteri spinalis anterior mensuplai dua pertiga anterior sumsum tulang belakang.
Trauma iskemik pada arteri ini berdampak terjadinya disfungsi traktus kortikospinal,
spinotalamikus lateral, dan interomedial anterior. Sindrom arteri spinalis anterior meliputi
paraplegia, hilangnya sensasi nyeri dan suhu dan disfungsi otonom. Arteri spinalis posterior
mensuplai kolumna dorsalis. 1
Trauma vaskular dapat menyebabkan lesi sumsum tulang belakang pada level segmen yang
lebih tinggi daripada level trauma tulang belakang. Trauma vaskular mengakibatkan iskemik
pada servikal yang tinggi. Trauma hiperekstensi servikal dapat menyebabkan trauma iskemik
sumsum tulang belakang. 1
Trauma sumsum tulang belakang bisa primer atau sekunder. Trauma primer merupakan
akibat dari gangguan mekanis elemen neural. Trauma ini biasa terjadi pada fraktur dan atau
dislokasi tulang belakang. Akan tetapi, dapat juga terjadi tanpa adanya fraktur atau dislokasi
tulang belakang. Trauma penetrasi seperti trauma tembak juga dapat menyebabkan trauma
primer. 1
Kelainan ekstradural juga dapat menyebabkan trauma primer. Hematom epidural spinal atau
abses menyebabkan trauma dan kompresi sumsum tulang belakang akut. 1
Trauma vaskular sumsum tulang belakang yang disebabkan gangguan arteri, trombosis arteri
atau hipoperfusi yang menyebabkan syok adalah penyebab utama trauma sekunder.1
Sindrom sumsum tulang belakang dapat komplit atau inkomplit. Sindrom sumsum tulang
belakang komplit ditandai hilangnya fungsi motorik dan sensorik di bawah level lesi.
Sindrom sumsum tulang belakang inkomplit meliputi the anterior cord syndrome, the BrownSquard syndrome, dan the central cord syndrome. Sindrom lainnya meliputi the conus
medullaris syndrome, the cauda equina syndrome, dan spinal cord concussion. 1
Trauma inkomplit berarti seseorang memiliki beberapa fungsi di bawah level trauma,
meskipun fungsi tersebut tidak normal. Sebagai contoh, seseorang dapat mengalami
kelemahan bahu tetapi masih dapat menggerakkannya. Seseorang dapat kehilangan
kemampuan untuk menggerakkan otot di bawah kehilangan sensasi nyeri dan suhu. The
International and American Spinal Injury Association (ASIA) mendefinisikan trauma
sumsum tulang belakang inkomplit sebagai suatu keadaan dimana seseorang masih memiliki
fungsi sumsum tulang belakang di bawah sakrum (di bawah S5).
Trauma inkomplit meliputi : 1,3
Anterior cord syndrome, yang meliputi hilangnya fungsi motorik dan sensasi nyeri dan/atau

suhu, dengan dipertahankannya propriosepsi.


Brown-Squard syndrome meliputi hilangnya fungsi propriosepsi dan motorik ipsilateral,
dengan hilangnya sensasi nyeri dan suhu kontralateral.
Central cord syndrome biasanya melibatkan lesi servikal, dengan kelemahan otot pada
ekstremitas atas yang dominant daripada ekstremitas bawah. Hilangnya sensasi bervariasi,
nyeri dan/atau suhu lebih sering terganggu daripada propriosepsi dan/atau vibrasi. Biasnya
terjadi disestesia, khususnya pada ekstremitas atas (misal sensasi panas di tangan atau
lengan).
Conus medullaris syndrome adalah trauma vertebra sakral dengan atau tanpa keterlibatan
saraf lumbal. Sindrom ini ditandai arefleksia pada kandung kemih, pencernaan. Hilangnya
fungsi motorik dan sensorik pada ekstremitas bawah bervariasi.
Cauda equina syndrome melibatkan trauma saraf lumbosakral dan ditandai arefleksia pada
pencernaan dan /atau kandung kemih, dengan hilangnya fungsi motorik dan sensorik
ekstremitas bawah yang bervariasi. Trauma ini biasanya disebabkan oleh herniasi diskus
lumbal sentral.
A spinal cord concussion ditandai dengan defisit neurologik sementara pada sumsum tulang
belakang yang akan pulih sempurna tanpa adanya kerusakan struktural yang nyata.
Trauma komplit berarti terjadi kehilangan komplit dari sensasi dan kontrol otot di bawah
level trauma. Hampir separuh dari trauma sumsum tulang belakang adalah komplit. Sebagian
besar trauma sumsum tulang belakang, termasuk trauma komplit, merupakan akibat luka dari
sumsum tulang belakang atau kehilangan darah yang mengalir ke sumsum tulang belakang
dan bukan dari terpotongnya sumsum tulang belakang. 3
Trauma sumsum tulang belakang seperti stroke, merupakan proses yang dinamis. Lesi
sumsum tulang belakang inkomplit dapat menjadi komplit. Kaskade kompleks dari
patofisiologi yang terkait dengan radikal bebas, edema vasogenik, dan penurunan aliran darah
mengakibatkan terjadinya manifestasi klinis. Oksigenasi yang normal, perfusi dan
keseimbangan asam basa dibutuhkan untuk mencegah perburukan. 1
II. 5. KLASIFIKASI
Holdsworth membuat klasifikasi cedera spinal sebagai berikut : 6
Cedera fleksi
Cedera fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior, dan selanjutnya
dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra dan mengakibatkan
wedge fracture (teardrop fracture). Cedera semacam ini dikategorikan sebagai cedera yang
stabil.
Cedera fleksi-rotasi
Beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior dan kadang juga
prosesus artikularis, selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya dislokasi fraktur rotasional
yang dihubungkan dengan slice fracture korpus vertebra. Cedera ini merupakan cedera yang
paling tidak stabil.
Cedera ekstensi
Cedera ekstensi biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan menimbulkan
herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolum vertebra dalam posisi
fleksi, maka cedera ini masih tergolong stabil.
Cedera kompresi vertikal (vertical compression)
Cedera kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra dan dapat
menimbulkan burst fracture.
Cedera robek langsung (direct shearing)

Cedera robek biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan langsung pada
punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser, fraktur prosesus artikularis serta ruptur
ligamen.
Berdasarkan sifat kondisi fraktur yang terjadi, Kelly dan Whitesides mengkategorikan cedera
spinal menjadi cedera stabil dan cedera non-stabil. Cedera stabil mencakup cedera kompresi
korpus vertebra baik anterior atau lateral dan burst fracture derajat ringan. Sedangkan cedera
yang tidak stabil mencakup cedera fleksi-dislokasi, fleksi-rotasi, dislokasi-fraktur (slice
injury), dan burst fracture hebat. 6
Cedera stabil 7
Fleksi
Cedera fleksi akibat fraktura kompresi baji dari vertebra torakolumbal umum ditemukan dan
stabil. Kerusakan neurologik tidak lazim ditemukan. Cedera ini menimbulkan rasa sakit, dan
penatalaksanaannya terdiri atas perawatan di rumah sakit selama beberapa hari istorahat total
di tempat tidur dan observasi terhadap paralitik ileus sekunder terhadap keterlibatan ganglia
simpatik. Jika baji lebih besar daripada 50 persen, brace atau gips dalam ekstensi dianjurkan.
Jika tidak, analgetik, korset, dan ambulasi dini diperlukan. Ketidaknyamanan yang
berkepanjangan tidak lazim ditemukan.
Fleksi ke Lateral dan Ekstensi
Cedera ini jarang ditemukan pada daerah torakolumbal. Cedera ini stabil, dan defisit
neurologik jarang. Terapi untuk kenyamanan pasien (analgetik dan korset) adalah semua yang
dibutuhkan.
Kompresi Vertikal
Tenaga aksial mengakibatkan kompresi aksial dari 2 jenis : (1) protrusi diskus ke dalam
lempeng akhir vertebral, (2) fraktura ledakan. Yang pertama terjadi pada pasien muda dengan
protrusi nukleus melalui lempeng akhir vertebra ke dalam tulang berpori yang lunak. Ini
merupakan fraktura yang stabil, dan defisit neurologik tidak terjadi. Terapi termasuk
analgetik, istirahat di tempat tidur selama beberapa hari, dan korset untuk beberapa minggu.
Meskipun fraktura ledakan agak stabil, keterlibatan neurologik dapat terjadi karena
masuknya fragmen ke dalam kanalis spinalis. CT-Scan memberikan informasi radiologik
yang lebih berharga pada cedera. Jika tidak ada keterlibatan neurologik, pasien ditangani
dengan istirahat di tempat tidur sampai gejala-gejala akut menghilang. Brace atau jaket gips
untuk menyokong vertebra yang digunakan selama 3 atau 4 bulan direkomendasikan.
Jika ada keterlibatan neurologik, fragmen harus dipindahkan dari kanalis neuralis.
Pendekatan bisa dari anterior, lateral atau posterior. Stabilisasi dengan batang kawat, plat atau
graft tulang penting untuk mencegah ketidakstabilan setelah dekompresi.
Cedera Tidak Stabil 7
Cedera Rotasi Fleksi
Kombinasi dari fleksi dan rotasi dapat mengakibatkan fraktura dislokasi dengan vertebra
yang sangat tidak stabil. Karena cedera ini sangat tidak stabil, pasien harus ditangani dengan
hati-hati untuk melindungi medula spinalis dan radiks. Fraktura dislokasi ini paling sering
terjadi pada daerah transisional T10 sampai L1 dan berhubungan dengan insiden yang tinggi
dari gangguan neurologik.
Setelah radiografik yang akurat didapatkan (terutama CT-Scan), dekompresi dengan
memindahkan unsur yang tergeser dan stabilisasi spinal menggunakan berbagai alat metalik

diindikasikan.
Fraktura Potong
Vertebra dapat tergeser ke arah anteroposterior atau lateral akibat trauma parah. Pedikel atau
prosesus artikularis biasanya patah. Jika cedera terjadi pada daerah toraks, mengakibatkan
paraplegia lengkap. Meskipun fraktura ini sangat tidak stabil pada daerah lumbal, jarang
terjadi gangguan neurologi karena ruang bebas yang luas pada kanalis neuralis lumbalis.
Fraktura ini ditangani seperti pada cedera fleksi-rotasi.
Cedera Fleksi-Rotasi
Change fracture terjadi akibat tenaga distraksi seperti pada cedera sabuk pengaman. Terjadi
pemisahan horizontal, dan fraktura biasanya tidak stabil. Stabilisasi bedah direkomendasikan.
II. 6. JENIS TRAUMA
Cedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang belakang dan terbanyak mengenai
daerah servikal dan lumbal. Cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau
rotasi tulang belakang. Di daerah torakal tidak banyak terjadi karena terlindung oleh struktur
toraks. 5
Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi. Sedangkan
kerusakan pada sumsum tulang belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang
laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, atau perdarahan. 5
Kelainan sekunder pada sumsum tulang belakang dapat disebabkan oleh hipoksemia dan
iskemia. Iskemia disebabkan oleh hipotensi, udem atau kompresi. 5
Perlu disadari bahwa kerusakan pada sumsum tulang belakang merupakan kerusakan yang
permanen, karena tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada fase awal setelah
trauma tidak dapat dipastikan apakah gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan sebenarnya
dari jaringan saraf atau disebabkan oleh tekanan, memar atau udem. 5
II. 7. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis bergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi. Kerusakan
melintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal
dari tempat kerusakan disertai syok spinal. Syok spinal terjadi pada kerusakan mendadak
sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini
umumnya berlangsung selama satu hingga enam minggu, kadang lebih lama. Tandanya
adalah kelumpuhan flaksid, anestesia, arefleksi, hilangnya perspirasi, gangguan fungsi
rektum dan kandung kemih, priapismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah syok spinal pulih
kembali, akan terjadi hiperrefleksi. Terlihat pula tanda gangguan fungsi autonom, berupa
kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik, serta gangguan fungsi kandung
kemih dan gangguan defekasi. 5
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik di bawah
tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa
raba dan posisi tidak terganggu.5
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan. Keadaan ini pada umumnya terjadi akibat
cedera di daerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehingga sumsum
belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat. Cedera tersebut dapat
terjadi pada orang yang memikul beban berat di atas kepala, kemudian terjadi gangguan
keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dan tulang belakang hiperekstensi.
Gambaran klinis berupa tetraparese parsial. Ganguan pada ekstremitas bawah lebih ringan
daripada ekstremitas atas, sedangkan daerah perianal tidak terganggu. 5

Sindrom Brown-Sequard disebabkan oleh kerusakan separuh lateral sumsum tulang belakang.
Sindrom ini jarang ditemukan. Gejala klinis berupa gangguan motorik dan hilangnya rasa
vibrasi dan posisi ipsilateral; di kontralateral terdapat gangguan rasa nyeri dan suhu. 5
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra L1-L2 mengakibatkan anestesia perianal,
gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks
bulbokavernosa. Sindrom ini disebut sindrom konus medularis. 5
Sindrom kauda equina disebabkan oleh kompresi pada radiks lumbosakral setinggi ujung
konus medularis dan menyebabkan kelumpuhan dan anestesia di daerah lumbosakral yang
mirip dengan sindrom konus medularis. 5
Gejala yang biasa dikeluhkan oleh pasien dengan trauma tulang belakang adalah: 4
Nyeri mulai dari leher sampai bawah
Kehilangan fungsi (misal tidak dapat menggerakkan lengan)
Kehilangan atau berubahnya sensasi di berbagai area tubuh
II. 8. DIAGNOSIS
Trauma tulang belakang perlu dicurigai pada kondisi-kondisi berikut : 4
Pasien tidak sadar
Pasien dengan multipel trauma
Trauma di atas klavikula
Jatuh dari ketinggian lebih dari 10 kaki (atau dua kali tinggi pasien)
Kecelakaan dengan kecepatan tinggi
Pada pemeriksaan jasmani dipentingkan pemeriksaan neurologik dengan mengingat
kemungkinan cedera sumsum belakang. 4
Pada pemeriksaan laboratorium, perlu diperiksa dan dimonitor kadar hemoglobin dan
hematokrit untuk mendeteksi atau memonitor kehilangan darah. Selain itu, urinalisis juga
perlu untuk mendeteksi trauma traktus genitourinarius. 1
Diagnosis ditegakkan dengan foto rontgen proyeksi antero-posterior dan lateral, dan bila
perlu tomografi. Rontgen tulang belakang dilakukan untuk melihat kerusakan vertebra
(rontgen bagus untuk menunjukkan tulang tetapi tidak untuk jaringan lunak seperti sumsum
tulang belakang). Jika pasien memiliki gejala atau terdapat trauma sumsum tulang belakang,
dilakukan CT-Scan atau MRI yang akan menunjukkan lebih detail dibanding rontgen. CT
scans lebih baik daripada MRI dalam menunjukkan tulang, sedangkan MRI biasanya lebih
baik dalam menunjukkan jaringan lunak seperti sumsum tulang belakang. Semua tindakan
diagnostik tersebut dikerjakan tanpa memindahkan atau mengubah posisi penderita. 3,5
Mielografi dikerjakan pada penderita dengan gangguan neurologik, seperti kelumpuhan,
tetapi pada foto polos maupun tomografinya tidak tampak fraktur. 5
II. 9. PENATALAKSANAAN
Semua penderita koban kecelakaan yang memperlihatkan gejala adanya kerusakan pada
tulang belakang, seperti nyeri leher, nyeri punggung, kelemahan anggota gerak atau
perubahan sensitivitas harus dirawat seperti merawat pasien kerusakan tulang belakang akibat
cedera sampai dibuktikan bahwa tidak ada kerusakan tersebut. 5
Setelah diagnosis ditegakkan, di samping kemungkinan pemeriksaan cedera lain yang
menyertai, misalnya trauma kepala atau trauma toraks, maka pengelolaan patah tulang
belakang tanpa gangguan neurologik bergantung pada stabilitasnya. Pada tipe yang stabil atau
tidak stabil temporer, dilakukan imobilisasi dengan gips atau alat penguat. Pada patah tulang
belakang dengan gangguan neurologik komplit, tindakan pembedahan terutama ditujukan
untuk stabilisasi patah tulangnya untuk memudahkan perawatan atau untuk dapat dilakukan

mobilisasi dini. Mobilisasi dini merupakan syarat penting sehingga penyulit yang timbul pada
kelumpuhan akibat cedera tulang belakang seperti infeksi saluran nafas, infeksi saluran
kencing atau dekubitus dapat dicegah. Pembedahan juga dilakukan dengan tujuan dekompresi
yaitu melakukan reposisi untuk menghilangkan penyebab yang menekan medula spinalis,
dengan harapan dapat mengembalikan fungsi medula spinalis yang terganggu akibat
penekanan tersebut. Dekompresi paling baik dilaksanakan dalam waktu enam jam
pascatrauma untuk mencegah kerusakan medula spinalis yang permanen. Tidak boleh
dilakukan dekompresi dengan cara laminektomi, karena akan menambah instabilitas tulang
belakang. 5
Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada usaha mencegah
terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder, yaitu dengan dilakukannya
imobilisasi di tempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang keras. 5
Pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu atau sarana apapun yang
beralas keras. Hal ini dilakukan pada semua penderita yang patut dicurigai berdasarkan jenis
kecelakaan, penderita yang merasa nyeri di daerah tulang belakang, lebih-lebih lagi bila
terdapat kelemahan pada ekstremitas yang disertai mati rasa. Selain itu harus selalu
diperhatikan jalan napas dan sirkulasi. 5
Bila dicurigai cedera di daerah servikal, harus diusahakan agar kepala tidak menunduk dan
tetap di tengah dengan menggunakan bantal kecil atau gulungan kain untuk menyangga leher
pada saat pengangkutan. 5
Setelah semua langkah tersebut di atas dipenuhi, barulah dilakukan pemeriksaan fisik dan
neurologik yang lebih cermat. Pemeriksaan penunjang seperti radiologik dapat dilakukan. 5
Pada umumnya terjadi paralisis usus selama dua sampai enam hari akibat hematom
retroperitoneal sehingga memerlukan pemasangan pipa lambung. 5
Pemasangan kateter tetap pada fase awal bertujuan mencegah terjadi pengembangan kandung
kemih yang berlebihan, yang lumpuh akibat syok spinal. Selain itu pemasangan kateter juga
berguna untuk memantau produksi urin, serta mencegah terjadinya dekubitus karena
menjamin kulit tetap kering. 5
Perhatian perlu diberikan untuk mencegah terjadinya pneumoni dan memberikan nutrisi yang
optimal. 5
Penanggulangan Cedera Tulang Belakang dan Sumsum Tulang Belakang : 5
Prinsip umum :
pikirkan selalu kemungkinan adanya cedera mielum
mencegah terjadinya cedera kedua
waspada akan tanda yang menunjukkan jejas lintang
lakukan evaluasi dan rehabilitasi
Tindakan :
adakan imobilisasi di tempat kejadian (dasar papan)
optimalisasi faal ABC : jalan nafas, pernafasan, dan peredaran darah
penanganan kelainan yang lebih urgen
pemeriksaan neurologik untuk menentukan tempat lesi
pemeriksaan radiologik (kadang diperlukan)
tindak bedah (dekompresi, reposisi, atau stabilisasi)
pencegahan penyulit
* ileus paralitik sonde lambung
* penyulit kelumpuhan kandung kemih kateter
* pneumoni
* dekubitus
Tindak Bedah 5

Jika terdapat tanda kompresi pada sumsum belakang karena deformitas fleksi, fragmen
tulang, atau hematom, maka diperlukan tindakan dekompresi.
Dislokasi yang umumnya disertai instabilitas tulang belakang memerlukan tindakan reposisi
dan stabilisasi.
Pembedahan darurat diperlukan bila terdapat gangguan neurologik progresif akibat
penekanan, pada luka tembus, dan pada sindrom sumsum belakang bagian depan yang akut.
Pembedahan selalu harus dipertimbangkan untuk mempermudah perawatan dan fisioterapi
agar mobilisasi dan rehabilitasi dapat berlangsung lebih cepat. Pembedahan akan mengurangi
kemungkinan terjadinya penyulit, tetapi tidak harus dilakukan sebagai tindakan darurat untuk
mengatasi gangguan stabilitas tulang belakang.
Tindakan Bedah Pada Cedera Tulang Belakang dan Sumsum Belakang
Tindakan darurat
luka tembus
sindrom sumsum anterior akut
* peluru
* tikam / bacok
gangguan neurologik progresif (penekanan)
Tindakan elektif
patah tulang tidak stabil
Tujuan :
mencegah jejas lintang
mempercepat penyembuhan dan revalidasi
memungkinkan rehabilitasi aktif
mempermudah perawatan dan fisioterapi aktif
Pada pasien yang tidak sadar mungkin terdapat tanda syok spinal (nadi lambat dan tekanan
darah rendah, kelemahan umum pada seluruh anggota gerak, kehilangan kontrol buang air
besar atau buang air kecil.
Penting untuk diingat bahwa trauma tulang belakang tidak tersingkir jika pasien dapat
menggerakkan dan merasakan anggota geraknya. Jika mekanisme trauma melibatkan
kekuatan yang besar, pikirkan yang terburuk dan dirawat seperti merawat korban trauma
tulang belakang.
Pertolongan Pertama Pada Trauma Tulang Belakang meliputi : 4
1.Perhatikan ABC nya (Airway, Breathing, Circulation)
2.Pertahankan posisi pasien. Jangan pindahkan atau membiarkan korban bergerak kecuali
korban dapat meninggal atau terluka jika tetap pada posisinya (misal menghindari batu yang
jatuh). Posisi leher harus tetap dipertahankan dengan menahan kepala pada kedua sisi.
Ketika petugas datang, korban dipasang kolar servikal yang keras dengan sangat hati-hati,
kemudian diimobilisasi dengan sistem transportasi spinal yang bisa berupa matras, papan
keras. 4
II. 9. KOMPLIKASI 1,2
- Defisit neurologis sering meningkat selama beberapa jam atau hari pada trauma sumsum
tulang belakang akut, meskipun sudah mendapat terapi optimal.
Salah satu tanda adanya kemunduran neurologis adalah adanya defisit sensoris.
Pasien dengan trauma sumsum tulang belakang beresiko tinggi terjadi aspirasi, karena itu
perlu pemasangan NGT (Nasogastric Tube).
- Hipotermia.
- Dekubitus
- Seseorang dengan tetraplegia beresiko tinggi terjadi komplikasi medis sekunder. Persentase

terjadinya komplikasi pada individu dengan tetraplegia komplit adalah sebagai berikut :
pneumonia (60,3 %), ulkus akibat tekanan (52,8 %), trombosis vena dalam (16,4 %), emboli
pulmo (5,2 %), infeksi pasca operasi (2,2 %).
- Komplikasi pulmo pada trauma tulang belakang biasa terjadi, dimana secara langsung
berhubungan dengan mortalitas dan trauma saraf. Komplikasi pulmo tersebut meliputi :
atelektasis sekunder
menurunnya batuk, sehingga meningkatkan resiko sumbatan oleh secret, atelektasis dan
pneumonia
kelelahan otot
II. 10. PROGNOSIS 1
Pada awal tahun 1900, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada pasien dengan lesi
komplit mencapai 100 %. Namun kini, angka ketahanan hidup 5 tahun pada pasien dengan
trauma quadriplegia mencapai 90 %. Perbaikan yang terjadi dikaitkan dengan pemakaian
antibiotik untuk mengobati pneumonia dan infeksi traktus urinarius.
Pasien dengan trauma tulang belakang komplit berpeluang sembuh kurang dari 5 %. Jika
terjadi paralisis komplit dalam waktu 72 jam setelah trauma, peluang perbaikan adalah nol.
Prognosis trauma tulang belakang inkomplit lebih baik.
Jika fungsi sensoris masih ada, peluang pasien untuk dapat berjalan kembali lebih dari 50 %.
DAFTAR PUSTAKA
1.Schreiber, Donald, 2004. Spinal Cord Injuries.
http://www.emedicine.com/emerg/byname/spinal-cord-injuries.htm
2.Anonim, 2005. Spinal Cord Injury.
http://www.neurosurgerytoday.org/what/patient_e/spinal.asp
3.Anonim, 2006. Spinal Cord Injuries.
http://www.sci-recovery.org/sci.htm
4.Langran, Mike, 2006. Spinal Injuries.
http://www.ski-injury.com/spinal1.htm
5.Jong, Syamsuhidayat, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta.
6.Listiono, Djoko, dr., 1998. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, edisi III, PT. Gramedia, Jakarta.
7.Sabiston, D.C., 1994, Buku Ajar Bedah Sabiston Bagian 2, EGC, Jakarta.
8.Senior, 2007. Jangan sembarangan Menggerakkan Leher Anda.
http://portal.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx?x=Work+Out&y=cybermed
%7C0%7C0%7C7%7C198
sorces : http://sanirachman.blogspot.com/2009/11/penatalaksanaan-trauma-spinaldan.html#ixzz2hFN0ak9r
Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial

FRAKTUR KOMPRESI VERTEBRA

Introduksi
a. Definisi
Fraktur kompresi yang terjadi pada tulang vertebra
b. Ruang lingkup
Penanganan konservatif fraktur kompresi vertebra
c. Indikasi Operasi
Tergantung jenis kelainan
d. Kontra indikasi Operasi
Keadaan umum penderita jelek
e. Diagnosis Banding
Fraktur patologis
f. Pemeriksaan Penunjang
Radiologis, laboratorium
Introduksi
Trauma vertebra yang mengenai medula spinalis dapat menyebabkan defisit neorologis
berupa kelumpuhan.
Anatomi Vertebra
Kolumna vertebralis dibentuk oleh 33 vertebrae (cervical 7, thorakal 12, lumbal 5, sacral 5
dan coccygeus 4). Setiap vertebra terdiri dari:

Corpus/body

Pedikel

Prosessus artikularis superior dan inferior

Prosessus transversus

Prosessus spinosus

Diantara vertebra ditemui diskus intervertebralis (Jaringan fibrokartillagenous), yang


berfungsi sebagai shock absorber. Dikus ini terdiri dan bagian:

Luar: jaringan fibrokartillago yang disebut anulus fibrosus.

Dalam: cair yang disebut nukleus pulposus.

Pada setiap vertebra ada 4 jaringan ikat sekitarnya:

Lig longitudinale anterior (membatasi gerakan ektensi).

Lig longitudinale posterior (membatasi gerakan fleksi).

Lig kapsulare, antara proc sup dan inferior.

Lig intertransversale.

Lig flava (yellow hg) diantara 2 laminae.

Lig supra dan interspinosus.

Medula Spinalis

Terletak didalam kanalis vertebralis yang diliputi dari luar oleh duramater, subdural
space, arachnoid, subarachnoid dan piamater. Medula spinalis mengeluarkan cabang
n. spinalis secara segmental dan dorsal (posterior root) dan ventral (anterior root).

Pada cervical keluar 8 cabang walaupun hanya ada 7 vertebra cervikalis. Medula
spinalis berakhir sebagai cauda equina pada Th 12-L1 dan kemudian berubah jadi
pilum terminate.

Pembagian Trauma Vertebra


1. BEATSON (1963) membedakan atas 4 grade:

Grade I

= Simple Compression Fraktur

Grade II

= Unilateral Fraktur Dislocation

Grade III = Bilateral Fraktur Dislocation

Grade IV = Rotational Fraktur Dislocation

2. BEDBROCK membagi atas:

Trauma pada vertebra seperti compression, extension, dan flexion rotation injury

Trauma medula spinalis seperti: comotio, contusio, stretching, gangguan vaskuler,


trombus, dan hematoma

3. E. SHANNON STAUPER membagi:

Extension injury

Simple flexion injury

Flexion compression fraktur dislocation.

4. HOLDS WORTH membagi atas trauma:


Fleksi, rotasi fleksi, rotasi, ektensi, kompressi vertikal (direct shearing force)
5. Pembagian Umum:
a. Fraktur Stabil

Fraktur wedging sederhana (Simple wedges fraktur)

Burst fraktur

Extension

b. Fraktur tak stabil

Dislokasi

Fraktur dislokasi

Shearing fraktur

Fraktur tulang belakang terjadi karena trauma kompresi axial pada waktu tulang belakang
tegak. Menurut percobaan beban seberat 315 kg atau 1,03 kg per mm2 dapat mengakibatkan
fraktur tulang belakang. Daerah yang paling sering kena adalah daerah yang mobil yaitu VC
4-6 dan Th12-L2.
Perawatan
Jika faktur stabil (tanpa kelainan neurologis) maka dengan istirahat saja penderita akan
sembuh. Yang menjadi masalah bila disertai dengan kelainan neorologis.
I. Fase Akut (0-6 minggu)
1. Live saving dan kontrol vital sign
2. Perawatan trauma penyerta

3. Penanganan fraktur tulang panjang (bila ada) fiksasi interna atau eksterna
4. Fraktur/Lesi pada vertebra
a. Konservatif (postural reduction) (reposisi sendiri)
Tidur telentang dengan alas yang keras, posisi diubah tiap 2 jam untuk mencegah dekubitus,
terutama simple kompressi.
b. Operatif
Pada fraktur tak stabil terdapat kontroversi antara konservatif dan operatif. Kalau dilakukan
operasi harus dalam waktu 6-12 jam pertama dengan cara:

laminektomi

fiksasi interna dengan kawat atau plate

anterior fusion atau post spinal fusion

c. Perawatan status urologi


Pada status urologis dinilai tipe kerusakan sarafnya apakah supra nuklear (reflek bladder) dan
infra nuklear (paralitik bladder) atau campuran.
Pada fase akut dipasang keteter dan kemudian secepatnya dilakukan bladder training dengan
cara penderita disuruh minum segelas air tiap jam sehingga buli-buli berisi tetapi masih
kurang 400 cc. Diharapkan dengan cara ini tidak terjadi pengkerutan buli-buli dan reflek
detrusor dapat kembali.
Miksi dapat juga dirangsang dengan jalan:

Mengetok-ngetok perut (abdominal tapping)

Manuver crede

Rangsangan sensorik dari bagian dalam paha

Gravitasi/mengubah posisi

d. Perawatan dekubitus
Komplikasi ini sering ditemui karena berkurangnya vaskularisasi didaerah tersebut.
II. Fase Sub Akut (6-12 minggu)
III. Fase berdikari (3-6 bulan)
Yang banyak berperan disini adalah pekerja sosial seperti:

* Mempersiapkan rumah beserta isinya pada penderita.


* Mengadakan alat-alat pembantu
* Mempersiapkan pekerjaan tangannya.
* Siapapun yang mengelola penderita ini harus dapat:
- Mengembalikan spinal augment
- Stabilitas dan tulang belakang
- Mengusahakan agar penderita mencapai kehidupan normal
- Mencegah komplikasi.
Fisioterapi
I. Stadium Akut
1. Breathing exercise yang adequate
2. Mencegah kontraktur
3. Melatih otot yang lemah
II. Stadium Sub Akut
Penderita boleh duduk pada kursi roda
III. Berdikari
IV. Follow up
V. Occupational therapy
PENATALAKSANAAN TRAUMA VERTEBRA CERVICAL
Spine Instability

Pada dasarnya tulang belakang mempunyai 3 tulang (kolumna vertikal) yaitu 1 (satu)
kolumna anterior yang terdiri korpus dan diskus dari atas sampai kebawah. Dua
kolumna posterior (kanan & kiri) yang terdiri dari rangkaian sendi (facet joint) dan
atas kebawah. Tulang belakang yang demikian dapat diumpamakan sebagai suatu
gedung bertingkat dengan 3 tiang utama (1 di depan 2 di belakang) dengan masingmasing diberi koefisien 1.

Sedangkan lantainya terdiri dan pedikel kiri dan kanan, lamina proc. spinosus, dan
proc. transversum dengan nilai koefisien antara 0,25 dan 0,5 Jadi bila koefisien

instability 2 dalam arti kolona vertikal putus >2, maka dikatakan tulang belakang
tidak stabil.
Diagnosis dan Management
Semua yang dicurigai fraktur vertebrate cervical harus dirawat sebagai cervical spinal injury
sampai terbukti tidak ada.
1. Penanganan Cedera Akut Tanpa Gangguan Neorologis
Penderita dengan diagnosis cervical sprain derajat I dan II yang sering karena wishplash
Injury yang dengan foto AP tidak tampak kelainan sebaiknya dilakukan pemasangan collar
brace untuk 6 minggu. Selanjutnya sesudah 3-6 minggu post trauma dibuat foto untuk melihat
adanya chronic instability
Kriteria radiologis untuk melihat adanya instability adalah:
1. Dislokasi faset >50%
2. Loss of paralelisine dan faset.
3. Vertebral body angle > 11 derajat pada fleksi.
4. ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa- anak)
5. Pelebaran body mas CI terhadap corpus cervical II (axis) > 7 mm pada foto AP
Pada dasarya bila terdapat dislokasi sebaiknya dikerjakan emergensi closed reduction dengan
atau tanpa anestesi. Sebaiknya tanpa anestesi karena masih ada kontrol dan otot leher. Harus
diingat bahwa reposisi pada cervical adalah mengembalikan koposisi anatomis secepat
mungkin untuk mencegah kerusakan spinal cord.
2. Penanganan Cedera Servikal dengan Gangguan Neurologis
Patah tulang belakang dengan gangguan neorologis komplit, tindakan pembedahan terutama
ditujukan untuk memudahkan perawatan dengan tujuan supaya dapat segera diimobilisasikan.
Pembedahan dikerjakan jika keadaan umum penderita sudah baik lebih kurang 24-48 jam.
Tindakan pembedahan setelah 6-8 jam akan memperjelek defisit neorologis karena dalam 24
jam pertama pengaruh hemodinamik pada spinal masih sangat tidak stabil. Prognosa pasca
bedah tergantung komplit atau tidaknya transeksi medula spinalis.
REKONSTRUKSI DAN REHABILITASI CACAT TULANG BELAKANG
Cacat vertebra dapat disebabkan oleh penyakit dengan variasi yang sangat luas mulai dan
penyakit kongenital sampai idiopatic. Sering kelainan vertebra disertai dengan adanya
neorologi defisit. Deformitas tulang belakang ini bervariasi pula yang mulai dan tanpa gejala
sampai ada gejala yang sangat berat berupa kelumpuhan.
Hubungan sumsum tulang belakang dengan vertebra adalah:

1. Kelainan neurologis dapat menimbulkan deformitas belakang misalnya: scolliosis


paralitik.
2. Deformitas tulang belakang dapat menimbulkan kelainan neorologis, misalnya: spinal
stenosis, diastematomella, kyphoscollosis yar berat.
3. Beberapa penyakit dapat menimbulkan keduanya, yaitu deformitas tulang belakang
dengan kelainan syaraf misalnya: Pott paraplegia, Metastase tumor dengan kompresi fraktur
4. Koreksi deformitas tulang belakang dapat menimbulkan komplikasi saraf misalnya
instrumentalia harington.
Sifat Deformitas
1. Scoliosis: pembengkokan ke posterior dan tulang belakang.
2. Kyposis: pembengkokan ke posterior dan tulang belakang.
3. Gibbus: kyposis yang pendek dengan sudut yang tajam.
1. Kelainan setempat yang bervariasi
Pada koreksi cacat tulang belakang muncul 3 problem:
1. Penyebab deformitas (infeksi, neoplasms, metabolik, dll)
2. Deformitas sediri
3. Akibat deformitas itu sendiri pada organ sekitamya:
1. Defisit neorologis : paraflegia dan tetraplegia.
2. Ganguan fungsi paru-paru pada skoliosis
3. Gangguan tr. Urinarius.
Karena itu terapi diarahkan pada:
1. pengobatan terhadap penyabab deformitas.
2. koreksi dan rekonstruksi deformitas (fiksasi yang kuat)
3. rehabilitasi.
Tujuan koreksi:
Meningkatkan, memperbaiki atau mengembalikan anatominya semaksimal mungkin dalam
batas toleransi jaringan lunak disekitar tulang belakang, terutama medula spinalis. Koreksi
kadang-kadang tidak perlu harus sampai 100%.

(http://bedahunmuh.wordpress.com/2010/05/20/fraktur-kompresi-vertebra/)

ASKEP FRAKTUR KOMPRESI TULANG BELAKANG


Filed under: Uncategorized Tinggalkan Komentar
Januari 24, 2012
Asuhan Keperawatan klien dengan fraktur KOMPRESI TULANG BELAKANG

A. Konsep Medis

1. 1.

Pengertian

Fraktur Kompresi
Fraktur kompresi terdiri dari kata fraktur dan kompresi. Fraktur artinya keadaan patah atau
diskontinuitas dari jaringan tulang, sedangkan kompresi artinya tekanan atau tindihan, jadi
fraktur kompresi adalah diskontinuitas dari jaringan tulang akibat dari suatu tekanan atau
tindihan yang melebihi kemampuan dari tulang tersebut (Ahmad Ramali, 1987) Fraktur
kompresi adalah suatu keretakan pada tulang yang disebabkan oleh tekanan, tindakan

menekan yang terjadi bersamaan. Fraktur kompresi pada vertebral umumnya terjadi akibat
osteoporosis. Fraktur kompresi vertebra adalah suatu fraktur yang merobohkan ruas tulang
belakang akibat tekanan dari tulang, mendorong ke arah robohan ruas-ruas tulang belakang
yang kebanyakan seperti sebuah spons/bunga karang yang roboh di bawah tekanan tangan
seseorang. Biasanya terjadi tanpa rasa sakit dan menyebabkan seseorang menjadi lebih
pendek. Fraktur kompresi vertebra sering dihubungkan dengan osteoporosis.
Etiologi
Penyebab cedera medula spinalis dibedakan menjadi dua yaitu akibat trauma dan non trauma.
Delapan puluh persen cedera medula spinalis disebabkan oleh trauma (contoh : jatuh,
kecelakaan lalu lintas, tekanan yang terlalu berat pada punggung) dan sisanya merupakan
akibat dari patologi atraumatis seperti carcinoma, mielitis, iskemia, dan multipel sklerosis
(Garrison, 1995).

Patofisiologi
Trauma dapat mengakibatkan cedera pada medula spinalis secara langsung dan tidak
langsung. Fraktur pada tulang belakang yang menyebabkan instabilitas pada tulang belakang
adalah penyebab cedera pada medula spinalis secara tidak langsung. Apabila trauma terjadi
dibawah segmen cervical dan medula spinalis tersebut mengalami kerusakan sehingga akan
berakibat terganggunya distribusi persarafan pada otot-otot yang dsarafi dengan manifestasi
kelumpuhan otot-otot intercostal, kelumpuhan pada otot-otot abdomen dan otot-otot pada
kedua anggota gerak bawah serta paralisis sfingter pada uretra dan rektum. Distribusi
persarafan yang terganggu mengakibatkan terjadinya gangguan sensoris pada regio yang
disarafi oleh segmen yang cedera tersebut.
Klasifikasi derajat kerusakan medulla spinalis :
1. Frankel A = Complete, fungsi motoris dan sensoris hilang sama sekali di bawah level
lesi.
2. Frankel B = Incomplete, fungsi motoris hilang sama sekali, sensoris masih tersisa di
bawah level lesi.
3. Frankel C = Incomplete, fungsi motris dan sensoris masih terpelihara tetapi tidak
fungsional.
4. Frankel D = Incomplete, fungsi sensorik dan motorik masih terpelihara dan
fungsional.
5. Frankel E = Normal, fungsi sensoris dan motorisnya normal tanpa deficit
neurologisnya.

Tanda dan Gejala


a. Gangguan motorik
Cedera medula spinalis yang baru saja terjadi, bersifat komplit dan terjadi kerusakan sel-sel
saraf pada medula spinalisnya menyebabkan gangguan arcus reflek dan flacid paralisis dari
otot-otot yang disarafi sesuai dengan segmen-segmen medula spinalis yang cedera. Pada awal
kejadian akan mengalami spinal shock yang berlangsung sesaat setelah kejadian sampai
beberapa hari bahkan sampai enam minggu. Spinal shock ini ditandai dengan hilangnya
reflek dan flacid. Apabila lesi terjadi di mid thorakal maka gangguan refleknya lebih sedikit
tetapi apabila terjadi di lumbal beberapa otot-otot anggota gerak bawah akan mengalami
flacid paralisis (Bromley, 1991). Masa spinal shock berlangsung beberapa jam bahkan sampai
6 minggu kemudian akan berangsur angsur pulih dan menjadi spastik. Cedera pada medula
spinalis pada level atas bisa pula flacid karena disertai kerusakan vaskuler yang dapat
menyebabkan matinya sel sel saraf
b. Gangguan sensorik
Pada kondisi paraplegi salah satu gangguan sensoris yaitu adanya paraplegic pain dimana
nyeri tersebut merupakan gangguan saraf tepi atau sistem saraf pusat yaitu sel-sel yang ada di
saraf pusat mengalami gangguan.(Crosbie,1993). Selain itu kulit dibawah level kerusakan
akan mengalami anaesthes, karena terputusnya serabut-serabut saraf sensoris.
c. Gangguan bladder dan bowel
Efek gangguan fungsi bladder tergantung pada level cedera medula spinalis, derajat
kerusakan medula spinalis, dan waktu setelah terjadinya injury. Paralisis bladder terjadi pada
hari-hari pertama setelah injury selama periode spinal shock. Seluruh reflek bladder dan
aktivitas otot-ototnya hilang. Pasien akan mengalami gangguan retensi diikuti dengan pasif
incontinensia. Pada defekasi, kegiatan susunan parasimpatetik membangkitakan kontraksi
otot polos sigmoid dan rectum serta relaksasii otot spincter internus. Kontraksi otot polos
sigmoid dan rectum itu berjalan secara reflektorik. Impuls afferentnya dicetuskan oleh
gangglion yang berada di dalam dinding sigmoid dan rectum akibat peregangan, karena
penuhnya sigmoid dan rectum dengan tinja. Defekasi adalah kegiatan volunter untuk
mengosongkan sigmoid dan rectum. Mekanisme defekasi dapat dibagi dalam dua tahap. Pada
tahap pertama, tinja didorong kebawah sampai tiba di rectum kesadaran ingin buang air besar
secara volunter, karena penuhnya rectum kesadaran ingin buang air besar timbul. Pada tahap
kedua semua kegiatan berjalan secara volunter. Spincter ani dilonggarkan dan sekaligus
dinding perut dikontraksikan, sehingga tekanan intra abdominal yang meningkat
mempermudah dikeluarkannya tinja. Jika terjadi inkontinensia maka defekasi tak terkontrol
oleh keinginan (Sidharta, 1999).
d. Gangguan fungsi seksual
Gangguan seksual pada pria

Pasien pria dengan lesi tingkat tinggi untuk beberapa jam atau beberapa hari setelah cidera.
Seluruh bagian dari fungsi sexual mengalami gangguan pada fase spinal shock. Kembalinya
fungsi sexual tergantung pada level cidera dan komplit/tidaknya lesi.
Untuk dengan lesi komplet diatas pusat reflex pada conus, otomatisasi ereksi terjadi akibat
respon lokal, tetapi akan terjadi gangguan sensasi selama aktivitas seksual.
Pasien dengan level cidera rendah pusat reflek sakral masih mempunyai reflex ereksi dan
ereksi psychogenic jika jalur simpatis tidak mengalami kerusakan, biasanya pasien mampu
untuk ejakulasi, cairan akan melalui uretra yang kemudian keluarnya cairan diatur oleh
kontraksi dari internal bladder sphincter.
Kemampuan fungsi seksual sangat bervariasi pada pasien dengan lesi tidak komplit,
tergantung seberapa berat kerusakan pada medula spinalisnya. Gangguan sensasi pada penis
sering terjadi dalam hal ini. Masalah yang terjadi berhubungan dengan locomotor dan
aktivitas otot secara volunter.
Dapat dilakukan tes untuk mengetahui potensi sexual dan fertilitas. Selain itu banyak
pasangan yang memerlukan bantuan untuk belajar teknik-teknik keberhasilan untuk hamil
(Hirsch, 1990; Brindley, 1984).
Gangguan seksual pada wanita
Gangguan siklus menstruasi banyak terjadi pada wanita dengan lesi komplit atau tidak
komplit. Gangguan ini dapat terjadi untuk beberapa bulan atau lebih dari setahun. Terkadang
siklus menstruasinya akan kembali normal.
Pada pasien wanita dengan lesi yang komplit akan mengalami gangguan sensasi pada organ
genitalnya dan gangguan untuk fungsi seksualnya.
Pada paraplegi dan tetraplegi, wanita dapat hamil dan mempunyai anak yang normal dengan
lahir normal atau dengan caesar (SC) jika memang indikasi. Kontraksi uterus akan terjadi
secara normal untuk cidera diatas level Th6, kontraksi uterus yang terjadi karena reflek
otonom. Pasien dengan lesi complet pada Th6 dan dibawahnya. Akan mengalami nyeri uterus
untuk pasien dengan lesi komplet Th6, Th7, Th8 perlu mendapatkan pengawasan khusus
biasanya oleh rumah sakit sampai proses kehamilan.
e. Autonomic desrefleksia
Autonomic desrefleksia adalah reflek vaskuler yang terjadi akibat respon stimulus dari
bladder, bowel atau organ dalam lain dibawah level cedera yang tinggi, fisioterapi harus
tanggap terhadap tanda-tanda terjadinya autonomic desrefleksia antara lain 1) keluar banyak
keringat pada kepala, leher, dan bahu, 2) naiknya tekanan darah, 3) HR rendah, 4) pusing atau
sakit kepala. Overdistension akibat terhambatnya kateter dapat meningkatkan aktifitas dari
reflek ini jika tidak cepat ditanggulangi dapat menyebabkan pendarahan pada otak, bahkan

kematian. Dapat juga disebabkan oleh spasme yang kuat dan akibat perubahan pasisi yang
tiba-tiba, seperti saat tilting table.
Prognosis
Prognosis pada kasus paraplegi ini tergantung pada level cedera dan klasifikasi spinal cord
injuri dan prognosis ini dilihat dari segi quo ad vitam (mengenai hidup metinya penderita),
segi quo ad sanam (mengenai penyembuhan), segi quo ad cosmetican (ditinjau dari kosmetik)
dan segi quo ad fungsionam (ditinjau dari segi aktifitas fungsional). Sehingga prognosis yang
terjadi kemungkinan baik, dubia (ragu-ragu) dan jelek. Dubia dibagi menjadi 2 yaitu raguragu kearah baik (dubia ad bonam) dan dubia kearah jelek (dubia ad malam). Secara garis
besar prognosis dari paraplegi akibat cedera medula spinalis adalah jelek karena medula
spinalis merupakan salah satu susunan saraf pusat dan bila mengalami kerusakan akan terjadi
kecacatan yang permanen.(Garrison,1995)

dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling


berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, biadi dan alat lain
dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas
untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen
tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
PENATALAKSANAAN
Traksi.
Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi. Beratnya traksi
disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi
fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan
kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan
imobilisasi.
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan
bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat
paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya
sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau
langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat
bagi fragmen tulang.

1)

Retensi/Immobilisasi

Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula
secara optimun.
Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi
pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan
logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur.
2)

Rehabilitasi

Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai
kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan)
dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis.
meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan
isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan
peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki
kemandirian fungsi dan harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan
sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal.
Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan
stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban berat
badan.
Proses Penyembuhan Tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh
untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung
patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium
penyembuhan tulang, yaitu:
1)

Stadium Satu-Pembentukan Hematoma

Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah
membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler
baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 48 jam dan perdarahan berhenti sama
sekali.
2)

Stadium Dua-Proliferasi Seluler

Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal
dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang
mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah
osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah
tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung
selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3)

Stadium Tiga-Pembentukan Kallus

Selsel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan
keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini
dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi
sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago,
membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang )
menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah
fraktur menyatu.
4)

Stadium Empat-Konsolidasi

Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar.
Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui
reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang
tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan
mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5)

Stadium Lima-Remodelling

Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau
tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang
terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih
tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya
dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
1. 10.
1)

Komplikasi

Komplikasi Awal
1. a.

Kerusakan Arteri

Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun,
cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan
oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.

1. b.

Kompartement Syndrom

Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot,
tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau
perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar
seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
1. c.

Fat Embolism Syndrom

Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur
tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk
ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
1. d.

Infeksi

System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi
dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
1. e.

Avaskuler Nekrosis

Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang
bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkmans Ischemia.
1. f.

Shock

Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang
bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2)

Komplikasi Dalam Waktu Lama


1. a.

Delayed Union

Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke
tulang.
1. b.

Nonunion

Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang


lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan
yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga
disebabkan karena aliran darah yang kurang.
1. c.

Malunion

Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan


dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan
reimobilisasi yang baik.
(http://yunu5mu5tofa.wordpress.com/2012/01/24/askep-fraktur-kompresi-tulang-belakang/)

PENANGANAN KONSERVATIF FRAKTUR KOMPRESI VERTEBRA


FRAKTUR KOMPRESI VERTEBRA
Trauma vertebra yang mengenai medula spinalis dapat menyebabkan defisit neorologis
berupa kelumpuhan
Anatomi Vertebra
Kolumna vertebralis dibentuk oleh 33 vertebrae (cervical 7, thorakal 12, lumbal 5, sacral 5
dan coccygeus 4). Setiap vertebra terdiri dari:

Corpus / body
Pedikel
Pro sessus artikularis superior dan inferior
Prosessus transversus
Prosessus spinosus
Diantara vertebra ditemui discus intervertebralis (Jaringan fibrokartillagenous), yang
berfungsi sebagai shock absorber. Dikus ini terdiri dan bagian:
Luar: jaringan fibrokartillago yang disebut anulus flbrosus.
Dalam: cair yang disebut nukleus pulposus.
Pada setiap vertebra ada 4 jaringan ikat sekitarnya:
Lig longitudinale anterior (membatasi gerakan ektensi).
Lig longitudinale posterior (membatasi gerakan fleksi).
Lig kapsulare, antara proc sup dan interior.
Lig intertransversale.
Lig flava (yellow hg) diantara 2 laminae.
Lig supra dan interspinosus.
Medula Spinalis
Terletak didalam kanalis vertebralis yang diliputi dan luar oleh duramater, subdural space,
arachnoid, subarachnoid dan piamater. Medula spmalis mengeluarkan cabang n spinalis
secara segmental dan dorsal (posterior root) dan ventral (anterior root).
Pada cervical keluar 8 cabang walaupun hanya ada 7 vertebra cervikalis. Medula spmalis
berakhir sebagai cauda equine pada Th 12 L1 dan kemudian berobah jadi pilum terminate.
Pembagian Trauma Vertebra
1. BEATSON (1963) membedakan atas 4 grade:

Grade I = Simple Compression Fraktur


Grade II = Unilateral Fraktur Dislocation
Grade III = Bilateral Fraktur Dislocation
Grade IV = Rotational Fraktur Dislocation
2. BEDBROCK membagi atas: T
Trauma pada vertebra seperti compression, extension dan flexion rotation injury
Trauma medula spinalis seperti : comotio, con-tusio, stretching, gangguan vaskuler, trombus
dan hematoma
3. E. SHANNON STAUPER membagi:
Extension injury
simple flexion injury dan
flexion compression fraktur dislocation.
4. HOLDS WORTH membagi alas taruma:
Fleksi, rotasi fleksi, rotasi, ektensi, kompressi vertikal (direct shearing force)
5. Pembagian Umum:
a. Fraktur Stabil
Fraktur wedging sederhana (Simple wedges fraktur)
Burst fraktur
Extension
b. Fraktur tak stabil
Dislokasi
Fraktur dislokasi
Shearing fraktur

Fraktur tulang belakang terjadi karena trauma kompresi axial pada waktu tulang belakang
tegak. Menurut percobaan beban seberat 315 kg atau 1,03 kg per mm2 dapat mengakibatkan
fraktur tulang belakang. Daerah yang paling sering kena adalah daerah yang mobil yaitu
VC4.6 dan Th12-Lt-2.
Perawatan
Jika faktur stabil (kelainan neorologis) maka dengan istirahat saja penderita akan sembuh..
Yang menjadi masalah bila disertai dengan kelainan neorologis.
I. Fase Akut (0-6 minggu)
1. Live saving dan kontrol vital sign
2. Perawatan trauma penyerta
Fraktur tulang panjang dan fiksasi interna.
Perawatan trauma lainnya.
3. Fraktur/Lesi pada vertebra
a. Konservatif (postural reduction) (reposisi sendiri)
Tidur telentang alas yang keras, posisi diubah tiap 2 jam mencegah dekubitus, terutama simple
kompressi.
b. Operatif
Pada fraktur tak stabil terdapat kontroversi antara konservatif dan operatif. Kalau dilakukan
operasi harus dalam waktu 6-12 jam pertama dengan cara:
laminektomi
fiksasi interna dengan kawat atau plate
anterior fusion atau post spinal fusion
c. Perawatan status urologi
Pada status urologis dinilai ripe kerusakan sarafnya apakah supra nuldear (reflek bladder) dan
infra nuklear (paralitik bladder) atau campuran.

Pada fase akut dipasang keteter dan kemudian secepatnya dilakukan bladder training dengan
cara penderita disuruh minum segelas air tiap jam sehingga buli-buli berisi tetapi masih
kurang 400 cc. Diharapkan dengan cara ini tidak terjadi pengkerutan buli-buli dan reflek
detrusor dapat kembali.
Miksi dapat juga dirangsang dengan jalan:
Mengetok-ngetok perut (abdominal tapping)
Manuver crede
Ransangan sensorik dan bagian dalam paha
Gravitasi/ mengubah posisi
d. Perawatan dekubitus
Dalam perawatan komplikasi ini sening ditemui yang terjadi karena berkurangnya
vaskularisasi didaerah tersebut.
II. Fase Sub Akut (6-12 minggu)
Fraktur perawatan komplikasi ini sering ditemui yang terjadi karena berkurangnya
vaskularisasi didaerah tersebut.
III. Fase berdikari (3-6 bulan)
Yang banyak berperan disini adalah pekerja sosial seperti:
1.

mempersiapkan rumah beserta isinya pada penderita.

2.

Mengadakan alat-alat pembantu

3.

Mempersiapkan pekerjaan tangannya. Siapapun yang mengelola penderita ini harus dapat:

l Mengembalikan spinal augment


l Stabilitas dan tulang belakang
l Mengusahakan agar penderita mencapai kehidupan normal
l Mencegah komplikasi.
Fisioterapi
I. Stadium Akut

1. Breathing exercise yang adequate


2. Mencegah kontraktur
3. Melatih otot yang lemah
II. Stadium Sub Akut
Penderita boleh duduk pada kursi roda
III. Berdikari
IV. Follow up
V. Occupational therapy
PENATALAKSANAAN TRAUMA VERTEBRA CERVICAL
Spine Instability
Pada dasarnya tulang belakang mempunyai 3 tulang (kolona vertikal) yaitu 1 (satu) kolona
anterior yang terdiri korpus dan diskus dari atas sampai kebawah. Dua kolona posterior
(kanan & kiri) yang terdiri dari rangkaian sendi (facet joint) dan atas kebawah. Tulang
belakang yang demikian dapat diumpamakan sebagai suatu gedung bertingkat dengan 3 tiang
utama (1 di depan 2 di belakang) dengan masing-masing diberi koefisien 1. Sedangkan
lantainya terdiri dan pedikel kiri dan kanan, lamina proc. spinosus, dan proc. transversum
dengan nilai koefisien antara 0,25 dan 0,5 Jadi bila koefisien instability 2 dalam arti kolona
vertikal putus >2, maka dikatakan tulang belakang tidak stabil.

Diagnosis dan Management


Semua yang dicurigai fraktur vertebrate cervical harus dirawat sebagai cervical spinal injury
sampai terbukti tidak ada.
1. Penanganan Cedera Akut Tanpa Gangguan Neorologis
Penderita dengan diagnose cervical sprain derajat I dan II yang sening karena wishplash
Injury yang dengan foto AP tidak tampak kelainan sebaiknya dilakukan pemasangan culiur
brace untuk 6 minggu. Selanjutnya sesudah 3-6 minggu post trauma dibuat foto untuk melihat
adanya chronik instability

Kriteria radiologis untuk melihat adanya instability adalah:


Dislokasi feset >50%
Loss of paralelisine dan feset.
Vertebral body angle > 11 derajat path fleksi.
ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa- anak)
Pelebaran body mas CI terhadap corpus cervical II (axis) > 7 mm pada foto AP
Pada dasarya bila terdapat dislokasi sebaiknya dikerjakan emergensi closed reduction dengan
atau tanpa anestesi. Sebaiknya tanpa anestesi karena masih ada kontrol dan otot leher. Harus
diingat bahwa reposisi pada cervical adalah mengembalikan koposisi anatomis secepat
mungkin untuk mencegah kerusakan spinal cord.
2. Penanganan Ceders Servikal dengan Gangguan Neorologis
Patah tulang belakang dengan gangguan neorologis komplit, tindakan pembedahan terutama
ditujukan untuk memudahkan perawatan dengan tujuan supaya dapat segera diimobilisasikan.
Pembedahan dikerjakan jika keadaan umum penderita sudah baik lebih kurang 24-48 jam.
Tindakan pembedahan setelah 6-8 jam akan memperjelek defisit neorologis karena dalam 24
jam pertama pengaruh hemodinamik pada spinal masih sangat tidak stabil. Prognosa pasca
bedah tergantung komplit atau tidaknya transeksi medula spinalis.
REKONSTRUKSI DAN REHABILITASI CACAT TULANG BELAKANG
Cacat vertebra dapat disebabkan oleh penyakit dengan variasi yang sangat luas mulai dan
penyakit kongenital sampai idiopatic. Sering kelainan vertebra disertai dengan adanya
neorologi defisit. Deformitas tulang belakang ini bervariasi pula yang mulai dan tanpa gejala
sampai ada gejala yang sangat berat berupa kelumpuhan.
Hubungan sumsum tulang belakang dengan vertebra adalah:
1. Kelainan neorologis dapat menimbulkan deformitas belakang misalnya: scollosis paralitik.
2. Deformitas tulang belakang dapat menimbulkan kelainan neorologis, misalnya: spinal stenosis,
diastematomella, kyphoscollosis yar berat.

3. Beberapa penyakit dapat menimbulkan keduanya, yaitu deformitas tulang belakang dengan
kelainan syarafmisalnya: Pott paraplegia, Metastase tumor dengan kompresi fraktur
4. Koreksi deformitas tulang belakang dapat menimbulkan komplikasi saraf misalnya
instrumentalia harington.
Sifat Deformitas
Scoliosis: pembengkokan keposterior dan tulang belakang.
Kyposis: pembengkokan keposterior dan tulang belakang.
Gibbus: kyposis yang pendek dengan sudut yang tajam.
Kelainan setempat yang bervaniasi
Pada koreksi cacat tulang belakang muncul 3 problem:

nyebab deformitas (infeksi, neoplasms, metabolik, dll)

formitas sediri

ibat deformitas itu sendiri pada organ sekitamya:

t neorologis : paraflegia dan tetraplegia.

uan fungsi paru-paru pada skollosis

guan tr. Urinarius.


Karena itu terapi diarahkan pada:

adap penyabab deformitas.

onstruksi deformitas (fiksasi yang kuat)

Tujuan koreksi:
Meningkatkan, memperbaiki atau mengembalikan anatominya semaksimal mungkin dalam
batas toleransi jaringan lunak disekitar tulang belakang, terutama medula spinalis. Koreksi
kadang-kadang tidak perlu harus sampai 100%.

Kontra indikasi Operasi


Keadaan umum penderita jelek
Diagnosis Banding
Fraktur patologis
Pemeriksaan Penunjang
Radilogis, laboratorium

TROCHLEAR NERVE PALSY


TROCHLEAR NERVE PALSY
ANATOMI
Nervus kranialis IV adalah unik dimana ia keluar dari batang otak bagian dorsal dan
menyilang ke sisi lain sebelum sebelum mengelilingi otak sewaktu menuju sinus cavernous.
Keadaan anatomis ini rentan terhadap trauma dimana kekuatannya dibawa untuk dibebankan
ke bagian dorsal otak tengah. Keadaan ini biasanya terjadi pada seting trauma yang sangat
parah dimana batang otak terdorong kebawah dan terayun ke belakang oleh pergeseran
mendadak dari sdtruktur-struktur supratentorial. Jalur saraf kranialis IV pada ruang
subarachnoid relatif terlindung dari lesi kompresi oleh sudut bebas tentorium yang
berdekatan. Didalam sinus cavernous, saraf kranialis IV dapat ditemukan pada lapisan dalam
dinding lateral dibawah saraf kranialis III Saraf kranialis IV memasuki orbita melalui fisura
orbitalis superior diatas saraf kranialis III namun diluar dari annulus Zinn. Saraf ini berada di
superior orbita, menyilang muskulus rektus superior, dan mempersarafi muskulus oblikus
superior.
PATOLOGI
Penyebab dari cedera atau lesi yang tersering adalah cedera traumatik. pada trauma kepala
tumpul, yang menyebabkan cedera kepala tertutup, kesemua dari tiga saraf okulomotor dapat
terkena baik secara perifer maupun sentral, primer maupun sekunder akibat edema dan
herniasi.
Deviasi pada mata biasanya terlihat pada tahap awal dari cedera otak, meskipun biasanya
sementara. Insidensinya dilaporkan mencapai 3% sampai 7% dari keseluruhan cedera kepala.

Trauma cerebri sering mempengaruhi N III, terutama pada anak-anak. Muskulus rektus
superior sepertiya yang paling parah terlibat pada trauma tumpul. Trauma tumpul dapat juga
merusak spichter pupil secara langsung atau melalui iskhemia, menyebabkan midriasis,
respon terhadap cahaya yang buruk, dan gangguan akomodasi. N IV agak jarang terkena
namun bisa terkena pada cedera kepala sedang.
N VI memiliki jalur intrakranial terpanjang dari seluruh saraf kranialiss; oleh karenanya
cukup rentan terhadap cedera. Lesi Bilateral terjadi dalam banyak kasus; seringkali,
cederanya diakrenakan peregangan saraf setelah benturan frontal.
Ophthalmoplegia sebagai akibat sekunder dari fraktur orbita, yang menyerang terutama CN
II, III, IV, dan VI; fraktur dapat juga menyebabkan gangguan sensoris dengan rusaknya divisi
ophthalmic dari N V. Ophthalmoplegia sebagai akibat sejunder dari fraktur basis kranii yang
melibatkan sinus cavernous dapat menyerang semua saraf okulomotor.
Lesi saraf okulomotor harus dibedakan dengan pergeseran orbita yang terjadi pada cedera
fraktur hantaman pada orbita. Terperangkapnya muskulus rektus inferior dapat menyebabkan
restriksi dalam memandang ke atas. Trauma yang sudah lama atau ophthalmoplegia kronik
progresif juga membatasi jangkauan gerak bola mata akibat pemendekan atau fibrosis otototot okuler. Penyebab spesifik ini dapat diketahui atau disingkirkan dengan pemeriksaan
forced duction, yang menggerakkan bola mata secara mekanis dan, oleh karenanya,
mengevaluasi jangkauan pergerakan secara pasif.
Luka tembak tembus dapat mengenai saraf-saraf okulomotor sebagaimana hal nya denan N
II. Cedera pada spinal servikal bagian atas dapat melibatkan N VI, dan juga N IX, X, XI, dan
terutama XII.
Lesi nontrumatik termasuk penyakit peradangan sinus cavernous (Tolosa-Hunt syndrome),
yang dapat melibatkan semua saraf kranialis oklomotor dan cabang 1 dan 2 dari N V (Figure
7-17). Penyebab lesi yang lain adalah septic thrombosis pada sinus cavernous. Pada iskemik
nuropati diabetika, N III dan VI adalah yang paling sering terkena. Seringkali hanya satu
saraf yang tidak terkena.
Pada hipertensi, fasikulus N VI dapat mengalami infark dan timbul sebaai suatu lesi tunggal
saraf kranialis. Peradangan dan fibrosis terlihat lebih sering pada thyroid ophthalmopathy,
menyebabkan vertical diplopia karena keterlibatan asimetris otot-otot dengan predileksi
muskilus rektus inferior atau superior. Suatu myositis pada m. obliq inferior sering terjadi.
Ophthalmoplegia progresif kronis yang dikenal dengan Graefe disease. Pada myasthenia
gravis, keterlibatan awal terlihat pada rektus medial dan levator palpebrae, monocular
ataupun binocular.

Penebab lain yang agak jarang dari ophthalmoplegia adalah Wernikes encephalopathy,
aneurisma atau thrombosis karotis interna, Pagets disease orbita, dan Guillain-Barr
syndrome. Telah dilaporkan bahwa selama anestesi gigi terkadang terjadi paralysis otot-otot
okuler pada injeksi anestesi kedalam arteri gigi superior maupun inferior. Obat anestesi
dibawa melalui arteri maxillaris, arteri meningea media, arteri lakrimalis, dan akhirnya
menuju arteri ophthalmicus. Sebagai komplikasi paska operasi setelah operasi ataupun
radioterapi, neuromyotonia okuler dapat terjadi. Insidensinya diperkirakan 0.25% setelah
anestesi spinal.

Obat-obatan atau racun seperti phenytoin atau Phenobarbital dapat menyebabkan gangguan
konvergensi dan reflek akomodasi. Timbal dapat menyebabkan paralysis muskulus rektus
lateralis, yang berkembangn dengan cepat; ophthalmoplegia internal dapat terjadi. Keracunan
Metil chlorida dan sodium fluoride dapat menyerupai botulismus.
Sindroma yang melibatkan N IV
Berikt adalah sindroma yang melibatkan saraf IV
o Millard-Gubler syndrome: kelemahan wajah Ipsilateral dan hemiplegia kontralateral, dalam
banyak kasus juga melibatkan N VI, menyebabkan suatu strabismus internal. Lesinya terletak
di pons.
o Wernickes syndrome: kelumpuhan Ocularmotor karena keterlibatan nukleus saraf kranial
III atau IV. Ptosis dan perubahan pupil sering ditemukan, karena keterlibatan nucleus red.
Neuritis optik, perdarahan retina, ataxic gait, dan kelemahan otot dapat juga terjadi.
o Mbius syndrome: Ocular palsy sebagai tambahan dari facial palsy.
TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala dari lesi saraf okulomotor asalah sebagai berikut
o Diplopia merupakan keluhan tersering dikaitkan dengan lesi saraf okulomotor. Biasanya
lebih berat pada arah tot yang lemah. Pada posisi dimana bayangan yang tidak menyatu
memiliki pemisahan yang terjauh, bayangan yang paling perifer biasnya berasal dari mata
yang mobilitasnya paling terganggu.
o Argyll Robertson pupil miosis dengan gangguan reflek cahaya dan reflek ciliospinal,
dengan akomodasi yang tidak terganggu. Differential diagnosis antara lain neurosyphilis,
multiple sclerosis, diabetes mellitus, pineal tumor, Wernicke-Korsakoffs syndrome, dan
ensefalitis otak tengah.
o Adies pupil (myotonic pupil) sebagai bagian dari Holmes-Adie syndrome. Adalah suatu
kondisi pada wanita muda, seringkali berkaitan dengan reflek tendon dalam. Adalah penting
untuk mengenali sindroma ini dan menghilangkan pemeriksaan yang tidak perlu.
o Pseudo-Graefes syndrome dikarenakan persarafan aberan. Paling sering diamai terjadi
setelah lesi pada N III dan VI,
Lesi terisolasi pada N IV jarang terjadi. nervus trochlear dapat terlibat dalam, cedera kepala
bahkan dalam trauma yang ringan. Lesi lainnya terjadi terutama berhubungan dengan lesi
oculomotor lainnya. Lesi sempurna pada N IV menyebabkan bola mata berputar kedalam dan
keluar. Horners syndrome dapat muncul jika cederanya dekat dengan serabut simpatis. Tanda
dan gejala dari lesi N IV antara lain
o Kelemahan atau paralisis m. obliqus superior, dan
o vertical diplopia, terutama dalam memandang kebawah dan kedalam. Kepela akan miring
kea rah yang berlawanan untuk mengkompensasi diplopia. Ini adalah suatu tanda yang khas.

PEMERIKSAAN
Pemeriksaan klinis mengamati pergerakan mata dengan meminta pasien mengikuti suatu
rangsangan ringan. Pandangan spontan volunteer maupun reflek tanpa rangsang cahaya juga
harus diperiksa. Jika terjadi diplopia, harus ditentukan apakah itu merupakan diplopia

monocular ataukah binocular. Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan pemeriksaan kelopak
mata; periksa akan adanya ptosis, bagian atas, bawah, ata keduanya. Ukuran pupil selanjutnya
harus diperiksa (normalnya 26 mm pada cahayanya biasa) dan regularitas (anisocor
mencapai 30% adalah normal). Respon terhadap rangsang visual dan akomodasi harus
dilakukan. Lebih jauh lagi, pemeriksaan klinis harus menyingkirkan pergerakan abnormal
seperti nystagmus. Penting untuk melihat adanya sindroma salah arah, yang dapat diamati
beberpa bulan setelah lesi pada N III, sebagai akibat dari regenerasi aberan. Serabut dari otototot okuler dapar berregenerasi secara aberan di levator palpebrae, menyebabkan suatu
pseudo-von Graefes sign (pengangkatan palpebra pada saat hendak melihat kebawah atau
kedipan palpebra saat mengunyah). Penting untuk melihat keterlibatan bilateral karena tidak
jarang terjadi pada lesi N IV dan VI. Uji mengedikkan kepala menunjukkan suatu lesi N IV.
Pengamatan derajat diplopia terbesar pada saat melihat kebawah, dan ini menyebabkan
kedikkan kepala kompensatoris ke sisi yang berlawanan.
Pada pemeriksaan harus menyertakan pemeriksaan yang cermat terhadap pandangan untuk
menyingkirkan kelumpuhan pandangan konjugasi atau diskonjugasi. Lower motor neuron
mengendalikan otot-otot; upper motor neuron menegndalikanj pergerakan dan pandangan.
Pandangan harus lebih jauh lagi dievaluasi dengan mengamati pergerakan mata otomatis
maupun direncanakan. Penting untuk mencariu adanya defisit saccade. Ini dapat diukur
dengan meminta pasien melihat dengan cepat dari satu objek ke objek yang lain. Objek
penguji harus diletakkan dalam jarak terpisah 6 inci. Dan berjarak 15 inci dari pasien. Cedera
otak ringan dapat menyebabkan aberrant saccades dan oscillasi. Pencitraan CT scans dan
MRI scan berguna terutama ketika diplopia tertunda terjadi. P spontan terjadi dalam 9 sampai
12 bulan tidak jarang terjadi. Pada ank-anak, pemulihan mencapai 80% atau 90% telah
dilaporkan.
Tanda dan Gejala menurut lokasi lesi Saraf Kranialis IV
Nukleus Kelemahan otot obliqus superior kontralateral lesi karena adanya persilangan.
Fascicular Sama seperti nukleus. Dapat juga terjadi Horners syndrome.
Subarachnoid Tidak ada
Sinus Cavernosus Paresis oblique superior, dapat juga melibatkan N III and VI dan cabang
dari N V.
Fissura Suborbital Mirip seperti lesi pada sinus cavernosus
Orbita Kelemahan otot oblique superior N III dan VI juga terlibat.
PENATALAKSANAAN
Diplopia pada awalnya ditangani dengan membebat mata. Mata yang normal dibebat untuk
mendorong ekskursi sepenuhnya dari mata yang terkena dan untuk memperbaiki fungsinya.
Amblyopia karena tidak digunakan tidak terjadi pada orang dewasa dan tidak diperlukan
penutupan mata bergantian. Namun demikian, pada saat aktivitas kritis mata yang terkena
sebaiknya ditutup untuk memberikan performa yang optimal. Jika pasien mampu untuk
mensupresi gambaran kedua, penutupan dapat dihentikan. Latihan Pleoptic sebagaimana
dengan alat latihan stereoscopic dapat digunakan untuk meningkatkan ekskursi otot (Worth
Four Dot flashlight).
Intervensi lainnya yang dianjurkan adalah penggunaan lensa Fresnel untuk mempertahankan

pengelihatan binokuler. Jika setelah waktu oobserasi yang lama (9 sampai 12 bulan) dan
latihan yang sesuai, tidak didapatka peningkatan yang signifikan, prosedur pembedahan dapat
dipertimbangkan untuk alasan fungsional maupun kosmetik. Prosedur pembedahan seringkali
menunjukkan hasil yang memuaskan, terutama untuk trochlear palsy persisten, nakmun
kurang memusakan untuk lesi abducens atau oculomotor. Alternatif lain adalah penyuntikan
toksin botulinum (botox) pada berlawanan dengan otot ayng lumpuh.
Penelitian terbaru mengajukan bahwa pendekatan terapeutik yang terbaik untuk disfungsi
visual adalah bertujuan untuk meningkatkan kemampuan atensi visual, scanning, pengenalan
pola, memori visual, dan terutama pengenalan kembali. Untuk mencapai tujuan ini
pendekatan terapeutik menerapkan strategi untuk remediating dan menkompensasi defisit
kemampuan yang mendasar, seperti pengendalian oculomotor, lapangan pandang, dan tajam
pengelihatan. Defisit lapang pandang paling baik dievaluasi dengan menggunakan perimetri
otomatis terkomputerisasi. Lapang pandang yang terbatas dapat ditingkatkan dengan latihan
dengan mengulang rangsangan intensif dari hepi lapang pandang yang buta. Kompensasi dari
defisit lapang pandang dapat juga ditingkatkan dengan latihan. Sebagaimana telah disebutkan
diatas, latihan dapat memperbaiki pengendalian okuler. Tajam pengelihatan harus
dioptimalisasi dengan lensa korektif dan memperbaiki kondisi penerangan. Pasien
selanjutnya diajarkan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap defisit dan bagaimana
untuk seaxara pintar mengatasi dengan latihan berulang dan perencanaan yang baik tehniktehnik kompensasi untuk aktivitas pribadi dan akademis.
Diposkan oleh HSI MD di 15:47 0 komentar
Label: Medicine

ANKYLOSING SPONDYLOSIS
ANKYLOSING SPONDYLOSIS
PENDAHULUAN
Spondylosis (spinal osteoarthritis) adalah suatu gangguan degeneratif yang dapat
menyebabkan hilanganya struktur dan fungsi normal tulang belakang. Meskipun penuaan
adalah penyebab utama, lokasi dan tingkat degenerasi merupakan individual. Proses
degeneratif dapat mengenai daerah cervical, thoracal, dan/atau lumbal dari tulang belakang
mempengaruhi diskus intervertebralis dan facet joints.
DAERAH YANG TERKENA
Diskus Intervertebralis
Ketika orang menua perubahan biokimiawi tertentu terjadi mempengaruhi jaringan diseluruh
tubuh. Pada tulang belakang, struktur dari diskus intervertebralis (anulus fibrosus, lamellae,
nucleus pulposus) mungkin mengkompromikannya. Anulus fibrosus tersusun atas 60 atau
lebih pita yang konsentris dari serabut collagen yang dinamakan lamellae. Nucleus pulposus
iadalah suatu bahan seperti gel didalam diskus intervertebralis yang dibungkus oleh anulus
fibrosus. Serabut kolagen membentuk nucleus bersama dengan air, dan proteoglycans.
Efek degeneratif dari penuaan dapat melemahkan struktur dari anulus fibrosus menyebabkan
'bantalan' melebar atau robek. Isi cairan didalam nucleus menurun sesuai dengan usia
mempengaruhi kemampuannya untuk melawan efek kompresi (kualitas peredam getaran).
Perubahan struktural karena degenerasi dapat mengurangi ketinggian diskus dan
meningkatkan resiko herniasi diskus.
Facet Joints (Zygapophyseal Joints)
Sendi facet disebut juga dengan zygapophyseal joints. Masing-masing korpus vertebrae
memiliki empat sendi yang bekerja seperti engsel. Ini adalah persendian tulang belakang
yang dapat menyebabkan ekstensi, fleksi, dan rotasi. Seperti sendi lainnya, permukaan sendi
dari tulang memiliki lapisan yang tersusun dari kartilago. Kartilago adalah jenis jaringan
konektif tertentu yang menyediakan permukaan geseran rendah gesekan yang dilubrikasi
sendiri. Degenerasi Facet joint degenerasi menyebabkan hilangnya kartilago dan
pembentukan osteofit. Perubahan ini dapat menyebabkan hypertrophy atau osteoarthritis,
dikenal juga sebagai degenerative joint disease.
Tulang dan Ligamen
Osteofit dapat terbentuk berdekatan dengan lempeng pertumbuhan tulang, yang dapat
mengurangi aliran darah ke vertebra. Lebih jauh lagi, akhir lempeng dapat kaku-kaku; suatu
penebalan/pengerasan tulang dibawah lempeng pertumbuhan.
Ligamen adalah pita dari jaringan ikat yang menghubungkan struktur tulang belakang
(vertebrae) dan melindungi terhadap muntahan yang tiak mau rangkai lemah (hyperekstensi).
Namun demikian, perubahan degeneratif dapat menyebabkan ligamen kehilangan
kekuatannya. Ligamentum flavum (yprimary spinal) dapat menebah dan memburu.
Tulang servikal

Kompleksitas anatomi ini dan pergerakannya yang luas membuat segmen bagian ini rentan
terhadap gangguan yang berkaitan dengan dengan perubahan degeneratif. Nyeri leher akibat
spondylosis sering terjadi. Nyeri dapat menjalar kebahu atau ke lengan kanan. Ketika suatu
osteofit menyebabkan kompresi akar saraf, kelemahan tangan mungkin tidak disadari. Pada
kasus yang jarang, osteofit pada dada, dapat menyebabkan kesulitan menelan (dysphagia).
Vertebrae torakalis
Nyeri yang berkaitan dengan penyakit degeneratif seringkali dipicu oleh fleksi kedepan dan
hiperekstensi. Pada diskus vertebrae torakalis nyeri dapat disebabkan oleh fleksi - facet pain
dengan hiperekstensi.
Vertebrae lumbalis
Spondylosis seringkai mempengaruhi vertebrae lumbalis pada orang diatas usia 40 tahun.
Nyeri dan kekakuan badan diperjalanan merupakan keluhan utama. Biasanya mengenai lebih
dari 1 vertebrae.
Vertebrae lumbalis menopang sebagian besar berat badan. Oleh karenanya, ketika tuntutan
luar biasa integritas sosial, gejala termasuk nyeri mungkin disertai dengan jalan-jalan.
Gerakan merangsang serabut rakyat nyeri pada anulus fibrosus dan facet joints. Duduk dalam
waktu yang masih sedikit dan gejala lainnya karena tekanannya pada vertebrae lumbalis.
Pergerakan berulang seperti mengangkat dan membungkuk (cth persalinan) dapat
meningkatkan nyeri
Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik menyeluruh mengungkapkan banyak tentang kesehatan dan keadaan umum
pasien. Pemeriksaan termasuk ulasan terhadap riwayat medis dan keluarga pasien.
Pemeriksaan laboratorium seperti hitung darah lengkap dan urinalisa seringkali dilakukan.
Pemeriksaan fisik antara lain:
Palpasi untuk menentukan kelainan tulang belakang, daerah yang nyeri tekan, dan spasme
otot.
Range of Motion, mengukur tingkatan sampai sejauh mana pasien dapat melakukan gerakan
fleksi, ekstensi, miring ke lateral, dan rotasi tulang belakang.
Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaaan neurologis memeriksa gejala-gejala pasien termasuk nyeri, kebas, paresthesias,
sensasi dan motoris, spasme otot, kelemahan, dan gangguan perut dan kandung kemih.
Perhatian khusus terutama pada ekstremitas. Pemeriksaan CT Scan atau MRI mungkin
diperlukan jika terdpat bukti disfungsi neurologis.
Pencitraan
Radiografi (x-rays) dapat memperlihatkan berkurangnya tebal diskus vertebral is dan adanya
osteofit, namun tidak sejelas CT Scan atau MRI.
CT Scan dapat digunakan untukmengungkap adanya perubahan tulang yang berhubungan
dengan spondylosis. Pada MRI mampu memperlihatkan kelainan diskus, ligamen, dan
nervus.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan konservatif berhasil dalam 75% dari seluruh waktu. Beberapa pasien mungkin
menyangka karena kondisi mereka diberi nama degeneratif mereka akan berakhir di kursi
roda suatu waktu nanti. Ini sebetulnya jarang terjadi. Banyak kasus dimanan nyeri dan gejala
lainnya dapat diobati dengan berhasil tanpa memerlukan pembedahan.
Selama fase akut, obat anti inflamasi, analgesik, dan pelemah otot dapat diberikan untuk
jangka waktu yang pendek. Daerah yang terkena mungkin diimobilisasi. Penyangga servikal
lunak dapat digunakan untuk membatasi pergerakan dan mengurangi nyeri. Orthotik lumbal
mungkin mengurangi keluaran lumbal dengan menstabilisasi vertebrae lumbalis. Fisioterapi,
terapi panas, perangsangan listrik, dan modalitas lainnya dapat digabungkan untuk
merencanakan pengendalian spasme otot dan nyeri.
Pembedahan
Terkadang pembedahan diperlukan dalam pengobatan spondylosis atau spinal osteoarthritis.
Hal ini biasanya dilakukan jika pengobatan konservatif telah gagal.
Jika terdapat defisit neuroilogis, prosedur pembedahan tertentu dapat dipertimbangkan.
Namun demikian, sebelum merekomendasikan pembedahan, perlu diperhatikan usia pasien,
gaya hidup, pekerjaan, dan jumlah keterlibatan vertebrae.
PEMULIHAN
Anjuran bagi pasien :
Minum obat sesuai resep. Laporkan segera jika terjadi efek samping.
Lakukan program latihan dirumah yang biasanya diberikan oleh ahli fisioterapi.
Hindari mengangkat benda yang berat dan segala aktivitas yang memperberat nyeri atau
gejala lainnya.
Usahakan berat badan mendekati ideal.
Berhenti merokok.

DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.emedicine.com/neuro/topic564.htm
2. http://www.emedicine.com/med/topic2901.htm
3. http://www.healiohealth.com/
4. http://www.aans.org/education/journal/neurosurgical/june04/16-6-nsf-toc.asp
Diposkan oleh HSI MD di 15:41 2 komentar
Label: Medicin
Fraktur Kompresi Vertebrata

Fraktur ini menyebabkan sakit punggung yang merupakan gejala osteoporosis yang paling
sering dijumpai. Gejala yang mungkin terjadi paling awal adalah nyeri akut pada bagian
tengah sampai bagian bawah vertebra toraksika selama aktifitas harian rutin.
Focus pada perawatan fraktur kompresi akut ini adalah mengurangi gejala sesegera mungkin
dengan bedrest pada posisi apapun untuk memberikan kenyamanan maksimum pada klien.
Relaksan untuk otot seperti panas dan analgesic juga dapat digunakan bila ada indikasi,
karena penggunaan relaksan otot jangka pendek dalam jumlah sedikit dapat mengurangi
spasme otot yang sering menyertai fraktur-fraktur seperti ini.
Setelah nyeri berkurang, segerakan klien untuk mencoba bangun dari tempat tidur secara
perlahan dan dengan dibantu oleh perawat. Latihan dengan bantuan ini diharapkan dapat
memperbaiki deformitas postural dan dapat meningkatkan tonus otot. Selain itu klien juga
harus diajarkan tentang cara mencegah ketegangan punggung dengan menghindari gerakan
berputar atau pergerakan yang kuat atau membungkuk secara mendadak. Tindakan yang
berhubungan dengan cara mengangkat dan membawa barang-barang juga perlu dijelaskan.

Penatalaksanaan
Perawat harus mewaspadai faktor-faktor praoperasi dan pascaoperasi yang jika tidak dikenali
dapat menjadi faktor penentu yang berdampak kurang baik terhadap klien.

Praoperasi
Perawat harus mengajarkan klien untuk melatih kaki yang tidak mengalami cidera dan kedua
lengannya. Selain itu sebelum dilakukan operasi klien harus diajrakna menggunakan trapeze
yang dipasangkan di atas tempat tidur dan di sisi pengaman tempa tidur yang berfungsi untuk
membantunya dalam mengubah posisi, klien juga perlu mempraktikan bagaimana cara
bangun dari tempat tidur dan pindah ke kursi.
Pascaoperasi
Perawat memantau tanda vital serta memantau asupan dan keluaran cairan, mengawasi
aktivitas pernapasan, seperti napas dalam dan batuk, memberikan pengobatan untuk
menghilangkan rasa nyeri, dan mengobservasi balutan luka terhadap tanda-tanda infeksi dan
perdarahan. Sesudah dan sebelum reduksi fraktur, akan selalu ada resiko mengalami
gangguan sirkulasi, sensasi, dan gerakan. Tungkai klien tetap diangkat untuk menghindari
edema. Bantal pasir dapat sangat membantu untuk mempertahankan agar tungkai tidak
mengalami rotasi eksterna. Untuk menurunkan kebutuhan akan penggunaan narkotika dapat
menggunakan transcutaneus electrical nerve stimulator (TENS).

Untuk mencegah dislokasi prosthesis, perawat harus senantiasa menggunakan 3 bantal


diantara tungkai klien ketika mengganti posisi, pertahankan bidai abductor tungkai pada klien
kecuali pada saat mandi, hindari mengganti posisi klien ke sisi yang mengalami fraktur.
Menahan benda/beban yang berat pada ekstremitas yang terkena fraktur tidak dapat diizinkan
kecuali telah mendapatkan hasil dari bagian radiologi yang menyatakan adanya tanda-tanda
penyembuhan yang adekuat, umumnya pada waktu 3 sampai 5 bulan.
Referensi:
Stanley, M. dan Patricia, G. B., (2002). Gerontological Nursing: A health Promotion/Protection
Approach, 2nd ed.Philadelphia: F.A. Davis Company
Holbrook, TL: Specific musculoskeletal conditions. In Holbrook, TL, et al (eds): The Frequency of
Occurrence, Impact and cost of Selected Musculosceletal Conditions in the United States.
American Academy of Orthopedic Surgeons, Chicago, 1984

Fraktur Kompresi Vertebrata


Fraktur ini menyebabkan sakit punggung yang merupakan gejala osteoporosis yang paling
sering dijumpai. Gejala yang mungkin terjadi paling awal adalah nyeri akut pada bagian
tengah sampai bagian bawah vertebra toraksika selama aktifitas harian rutin.
Focus pada perawatan fraktur kompresi akut ini adalah mengurangi gejala sesegera mungkin
dengan bedrest pada posisi apapun untuk memberikan kenyamanan maksimum pada klien.
Relaksan untuk otot seperti panas dan analgesic juga dapat digunakan bila ada indikasi,
karena penggunaan relaksan otot jangka pendek dalam jumlah sedikit dapat mengurangi
spasme otot yang sering menyertai fraktur-fraktur seperti ini.
Setelah nyeri berkurang, segerakan klien untuk mencoba bangun dari tempat tidur secara
perlahan dan dengan dibantu oleh perawat. Latihan dengan bantuan ini diharapkan dapat
memperbaiki deformitas postural dan dapat meningkatkan tonus otot. Selain itu klien juga
harus diajarkan tentang cara mencegah ketegangan punggung dengan menghindari gerakan
berputar atau pergerakan yang kuat atau membungkuk secara mendadak. Tindakan yang
berhubungan dengan cara mengangkat dan membawa barang-barang juga perlu dijelaskan.

Patah tulang kompresi (patah tulang karena penekanan).


Merupakan akibat dari tenaga yang menggerakkan sebuah tulang melawan tulang lainnya
atau tenaga yang menekan melawan panjangnya tulang.
Sering terjadi pada wanita lanjut usia yang tulang belakangnya menjadi rapuh karena
osteoporosis.

Penyebab
Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera, seperti kecelakan mobil, olah raga
atau karena jatuh.Patah tulang terjadi jika tenaga yang melawan tulang lebih besar daripada
kekuatan tulang.
Jenis dan beratnya patah tulang dipengaruhi oleh:
- Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang
- Usia penderita
- Kelenturan tulang
- Jenis tulang.
Dengan tenaga yang sangat ringan, tulang yang rapuh karena oste
Porosis atau tumor bisa mengalami patah tulang
Gejala
Nyeri biasanya merupakan gejala yang sangat nyata.
Nyeri bisa sangat hebat dan biasanya makin lama makin memburuk, apalagi jika tulang yang
terkena digerakkan.
Menyentuh daerah di sekitar patah tulang juga bisa menimbulkan nyeri. Alat gerak tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga penderita tidak dapat menggerakkan
lengannya, berdiri diatas satu tungkai atau menggenggam dengan tangannya.Darah bisa
merembes dari tulang yang patah (kadang dalam jumlah yang cukup banyak) dan masuk
kedalam jaringan di sekitarnya atau keluar dari luka akibat cedera.
Diagnosa
Foto rontgen biasanya bisa menunjukkan adanya patah tulang.Kadang perlu dilakukan CT
scan atau MRI untuk bisa melihat dengan lebih jelas daerah yang mengalami kerusakan.Jika
tulang mulai membaik, foto rontgen juga digunakan untuk memantau penyembuhan.
(http://brainmeditation.blogspot.com/2011/04/penanganan-konservatif-frakturkompresi.html)

FRAKTUR KOMPRESI VERTEBRA

DEFINISI
Fraktur kompresi vertebra terjadi jika berat beban melebihi kemampuan vertebra
dalam menopang beban tersebut, seperti pada kasus terjadinya trauma.Pada osteoporosis,
fraktur kompresi dapat terjadi gerakan yang sederhana, seperti terjatuh pada kamar mandi,
bersin atau mengangkat beban yang berat.

ETIOLOGI
Penyebab

terjadinya

fraktur

kompresi

vertebra

adalah

sebagai

berikut:

1. Trauma langsung ( direct )


Fraktur yang disebabkan oleh adanya benturan langsung pada jaringan tulang seperti pada
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan benturan benda keras oleh kekuatan
langsung.

2.Trauma tidak langsung ( indirect )


Fraktur yang bukan disebabkan oleh benturan langsung, tapi lebih disebabkan oleh adanya
beban yang berlebihan pada jaringan tulang atau otot, contohnya seperti pada olahragawan
yang menggunakan hanya satu tangannya untuk menumpu beban badannya.

3.Trauma tidak langsung ( indirect )


Fraktur yang disebabkan oleh proses penyakit seperti osteoporosis, penderita tumor dan
infeksi.

JENIS FRAKTUR PADA VERTEBRA


Tulang belakang merupakan satu kesatuan yang

kuat yang diikat oleh ligamen didepan dan dibelakang, serta dilengkapi diskus intervertebralis
yang mempunyai daya absorpsi terhadap tekanan atau trauma yang memberikan sifat
fleksibilitas dan elastis. Semua trauma tulang belakang harus dianggap suatu trauma yang
hebat, sehingga sejak awal pertolongan pertama dan transportasi kerumah sakit penderita
harus secara hati-hati. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai :
1. Jaringan lunak pada tulang belakang, yaitu ligamen, diskus dan faset.
2. Tulang belakang sendiri
3. Sum-sum tulang belakang.
Mekanisme trauma pada tulang belakang
1. Fleksi
Trauma terjadi akibat fleksi dan disertai dengan sedikit kompresi pada verttebra. Vertebra
mengalami tekanan terbentuk remuk yang dapat menyebabkan kerusakan atau tanpa
kerusakan ligamen posterior. Apabila terdapat kerusakan ligamen posterior, maka fraktur
bersifat tidak stabil dan dapat terjadi subluksasi.
2. Fleksi dan rotasi
Trauma jenis ini merupakan trauma fleksi yang bersama-sama dengan rotasi. Terdapat strain
dari ligamen dan kapsul, juga ditemukan fraktur faset. Pada keadaan ini terjadi pergerakan ke
depan/dislokasi vertebra diatasnya. Semua fraktur dislokasi bersifat tidak stabil.

3. Kompresi vertikal (aksial)


Suatu trauma vertikal yang secara langsung mengenai vertebra yang akan menyebabkan
kompresi aksial. Nukleus piulposus akan memecahakan permukaan serta badan vertebra
secara vertikal. Material diskus akan masuk dalam badan vertebra dan menyebabkan vertebra
menjadi rekah (pecah). Pada trauma ini elemen posterior masih intak sehingga fraktur yang
terjadi bersifat stabil.

4. Hiperekstensi atau retrofleksi


Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi dan ekstensi. Keadaan ini
sering ditemukan pada vertebra servikal dan jarang pada vertebra torakolumbal. Ligamen
anterior dan diskus dapat mengalami kerusakan atau terjadi fraktur pada arkus neuralis.
Frkatur ini biasanya bersifat stabil.

5. Fleksi lateral
Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan menyebabkan fraktur
pada komponen lateral yaitu pedikel, foramen vertebra dan sendi faset.

KOSEKUENSI DAN GEJALA


Pada sebagian besar kasus, pasien tidak menceritakan adanya trauma yang signifikan,
meskipun mereka kadang-kadang menjelaskan aktifitas yang meningkatkan tarikan pada
tulang belakang, seperti mengangkat jendela, mengangkat anak kecil dari tempat tidur, atau
gerakan melenturkan badan secara berlebihan. Trauma dengan energi yang besar biasanya
ditemukan pada pasien berusia muda, terutama pada laki-laki dengan densitas tulang yang
normal.
Hanya sepertiga kasus kompresi vertebra yang menunjukkan gejala. Pada saat fraktur terasa
nyeri, biasanya dirasakan seperti nyeri yang dalam pada sisi fraktur. Jarang sekali
menyebabkan kompresi pada medulla spinalis, tampilan klinis menunjukkan mielopatik

fraktur dengan tanda dan gejala nyeri radikuller yang nyata. Rasa nyeri pada fraktur
disebabkan oleh banyak gerak, dan pasien biasanya merasa lebih nyaman dengan beristirahat.
Fraktur kompresi biasanya bersifat insidental, menunjukkan gejala nyeri tulang
belakang ringan sampai berat. Dapat mengakibatkan perubahan postur tubuh karena
terjadinya kiposis dan skoliosis. Pasien juga menunjukkan gejala-gejala pada abdomen
seperti rasa perut tertekan, rasa cepat kenyang, anoreksia dan penurunan berat badan. Gejala
pada sistem pernafasan dapat terjadi akibat berkurangnya kapasitas paru.

Konsekuensi Fraktur Kompresi vertebra


Apakah fraktur kompresi vertebra menunjukkan gejala atau tidak, komplikasi jangka
panjangnya sangat penting. Konsekuensinya dapat dikategorikan sebagai biomekanik,
fungsional,

dan

psikologis.

1.

Biomekanik

Nyeri tulang belakang persisten dalam kaitannya dengan factor-faktor mekanik dan
kelemahan

otot

akibat

terjadinya

kiphosis.

Gejala-gejala pada abdomen, kiphosis progresif, terutama dengan fraktur kompresi


multiple, menyebabkan pemendekan tulang belakang thorak sehingga menyebabkan
penekanan pada abdomen, dimana dapat menyebabkan gejala gastrointestinal seperti rasa
cepat kenyang dan tekanan abdomen. Pada beberapa pasien yang mengalami pemendekan
segmen torakolumbal yang signifikan, costa bagian terbawah akan bersandar pada pevis,
menyebabkan terjadinya abdominal discomfort. Gejala-gejala pada gangguan abdomen dapat
berupa anoreksia yang dapat mengikibatkan penurunan berat badan, terutama pada pasien
yang

berusia

lanjut.

Konsekuensi pada paru akibat adanya fraktur kompresi pada vertebra dan kyposis
umumnya ditandai dengan penyakit paru restriktif dengan penurunan kapasitas vital paru.
Dalam persamaan, setiap fraktur menurunkan kapasitas vital 9%. Meningkatkan resiko
terjadinya fraktur. Karena terjadinya kyposis, maka beban berlebih akan ditopang oleh tulang
disekitarnya, ditambah lagi dengan adanya osteoporosis semakin meningkatkan resiko
terjadinya fraktur. Adanya satu atau lebih vertebra mengalami fraktur kompresi semakin
meningkatkan
2.

adanya

fraktur

tambahan

lima

kali

lipat

dalam

satu

tahun.

Fungsional

Pasien yang mengalami fraktur kompresi memiliki level yang lebih rendah dalam performa
fungsional dibandingkan dengan control, lebih banyak membutuhkan pembantu, pengalaman
lebih sering mengalami sakit saat bekerja, dan mengalami kesulitan dalam menjalani aktivitas
sehari-hari. Penelitian terbaru pada pasien-pasien ini memiliki nilai yang rendah pada indeks
kulalitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan berdasarkan fungi fisik, status emosi,
gejala

klinis

dan

keseluruhan

performa

fungsional.

Oleh karena itu, banyak pasien yang mengalami fraktur kompresi vertebra akan menjadi tidak
aktif, dengan berbagai alasan antara lain rasa nyeri akan berkurang dengan terlentang, takut
jatuh sehingga terjadi patah tulang lagi. Sehingga kurang aktif atau malas bergerak pada
akhirnya akan mengakibatkan semakin buruknya kemampuan dalam melakukan aktifitas
sehari-hari.
3.

Psikologis

Kejadian depresi meningkat sampai 4-0% pada pasien yang menderita fraktur kompresi
vertebra, akibat nyeri kronis, perubahan bentuk tubuh, detorientasi dalam kemampuan untuk
merawat diri sendiri, dan akibat bedrest yang lama. Pasien yang mengalami depresi biasanya
yang mengalami lebih dari satu fraktur dan akan menjadi cepat tua dan terisolasi secara
sosial.
PRINSIP

PENATALAKSANAAN
1.

FRAKTUR
Nyeri

akut

KOMPRESI
fraktur

VERTEBRA

kompresi

vertebra

Jika pada pasien tidak ditemukan kelainan neurologis, pengobatan pada pasien
dengan akut fraktur harus menekankan pada pengurangan rasa nyeri, dengan pembatasan
bedrest, penggunaan analgetik, brancing dan latihan fisik.
a.

Menghindari bedrest yang terlalu lama


Bahaya dari bedrest yang terlalu lama pada orang tua adalah, meningkatkan kehilangan
densitas tulang, deconditioning, thrombosis, pneumonia, ulkus dekubitus, disorientasi dan
depresi.

b.

Analgetik
Analgetik digunakan untuk mengurangi rasa nyeri, biasa diberikan sebagai terapi awal untuk
menghindari dari beddrest yang terlalu lama.

c.

Calcitonin, diberikan secara subkutan, intranasal, atau perrektal mempunyai efek analgetik
pada fraktur kompresi yang disebabkan oleh osteoporosis dan pasien dengan nyeri tulang
akibat metastasis.

d.

Bracing
Bracing merupakan terapi yang biasa dilakukan pada manegemen akut non operatif. Ortose
membantu dalam mengontrol rasa nyeri dan membantu penyembuhan dengan menstabilkan
tulang belakang. Dengan mengistirahatkan pada posisi fleksi, maka akan mengurangi takanan
pada

kolumna

anterior

dan

rangka

tulang

belakang.

Bracing dapat digunakan segera, tetapi hanya dapat digunakan untuk dua sampai tiga bulan.
Terdapat beberapa tipe ortose yang tersedia untuk pengobatan.

e.

Vertebroplasty
Vertebroplasty dilakukan dengan menempatkan jarum biopsy tulang belakang kedalam
vertebra yang mengalami kompresi dengan bimbingan fluoroscopy atau computed
tomography. Kemudian diinjeksikan Methylmethacrylate kedalam tulang yang mengalami
kompresi. Prosedur ini dapat menstabilkan fraktur dan megurangi rasa nyeri dengan cepat
yaitu pada 90% 100% pasien. Tetapi prosedur ini tidak dapat memperbaiki deformitas yang
terjadi pada tulang belakang.

f.

Kypoplasty
Prosedur ini dilakukan dengan menyuntikkan jarum yang berisikan tampon kedalam tulang
yang mengalami fraktur. Insersi jarum tersebut akan membentuk suatu kavitas pada tulang
vertebra. Kemudian kavitas tersebut diisi dengan campuran methylmetacrylate dibawah
tekanan

rendah.

2. Penatalaksanaan nyeri kronis


Nyeri kronis umumnya biasa dialami oleh pasien dengan multipel fraktur, penurun tinggi
badan, dan kehilangan densitas tulang. Pada pasien-pasien ini, sangat dianjurkan untuk tetap
aktif melakukan pelemasan otot dan program peregangan, seperti program yang berdampak
ringan seperti berjalan dan berenang. Sebagai tambahan obat penghilang rasa sakit,
pemeriksaan nonfarmakologis seperti stimulasi saraf listrik transkutaneus, aplikasi panas dan
dingin, atau penggunaan bracing, dapat menghilangkan rasa sakit sementara. Aspek

psikologis dari rasa nyeri yang kronis dan kehilangan fungsi fisiologis harus diterangkan
dalam konseling, jika perlu, dapat diberikan antidepresan.
3.
a.

Pencegahan fraktur tambahan


Sebagian besar pasien dengan fraktur akibat osteoporosis akut harus diberikan terapi
osteoporosis secara agresif.

b.

Pemeriksaan bone densitometry sebaiknya dilakukan pada pasien dengan frkatur kompresi
dan sebelumnya diguga mengalami kehilangan massa tulang.

c.

National Osteoporosis Foundation menganjurkan semua wanita yang mengalami fraktur


spiral dan densitas mineral tulang dengan T-score kurang dari 15 harus diberikan terapi
seperti osteoporosis.

d.

Diet suplemen vitamin D dan kalsium harus optimal. Bisphosponates (alendronate,


risendronate) mengurangi insidensi terjadinya fraktur vertebra baru sampai lebih dari 50%.

e.

Raloxifene, merupakan modulator estrogen selektif, menunjukkan dapat mengurangi


terjadi fraktur vertebra 65% pada tahun pertama dan sekitar 50% pada tahun ketiga.

f.

Kalsitonin menunjukkan penurunan resiko terjadinya fraktur vertebra baru sekitar 1 dari 3
wanita yang mengalmi fraktur vetebra.

g.

Teriparatide (fortoe), merupakan preparat hormon paratiroid rekombinan diberikan secara


subkutan. Obat ini juga menunjukkan rendahnya resiko trjadinya fraktur vertebra dan
meningkatkan densitas tulang pada wanita postmenopause dengan osteoporosis. Obat ini
bekerja pada osteoblast untuk menstimulasi pembentukan tulang baru.
(http://aymasana.blogspot.com/2012/06/frakturkompresi-vertebra-definisi.html)

Fraktur Vertebra
Oleh: DIAYANTI TENTI LESTARI

ANATOMI
Vertebra dimulai dari cranium sampai pada apex coccigeus, membentuk skeleton dari leher,
punggung dan bagian utama dari skeleton (tulang cranium, costa dan sternum). Fungsi
vertebra yaitu melindungi medulla spinalis dan serabut syaraf, menyokong berat badan dan
berperan dalam perubahan posisi tubuh. Vertebra pada orang dewasa terdiri dari 33 vertebra
dengan pembagian 5 regio yaitu 7 cervical, 12 thoracal, 5 lumbal, 5 sacral, 4 coccigeal. 1
Tulang belakang merupakan suatu satu kesatuan yang kuat diikat oleh ligamen di depan dan
dibelakang serta dilengkapi diskus intervertebralis yang mempunyai daya absorbsi tinggi
terhadap tekanan atau trauma yang memberikan sifat fleksibel dan elastis. Semua trauma
tulang belakang harus dianggap suatu trauma hebat sehingga sejak awal pertolongan pertama
dan transpotasi ke rumah sakit harus diperlakukan dengan hati-hati. Trauma tulang dapt
mengenai jaringan lunak berupa ligament, discus dan faset, tulang belakang dan medulla
spinalis. Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas (44%), kecelakaan
olah raga(22%), , terjatuh dari ketinggian(24%), kecelakaan kerja.2, 8
Cedera Stabil dan Tidak Stabil
Cedera vertebra menurut kestabilannya terbagi menjadi cedera stabil dan cedera tidak stabil.
Cedera dianggap stabil jika bagian yang terkena tekanan hanya bagian medulla spinalis
anterior, komponen vertebral tidak bergeser dengan pergerakan normal, ligamen posterior
tidak rusak sehingga medulla spinalis tidak terganggu, fraktur kompresi dan burst fraktur
adalah contoh cedera stabil. Cedera tidak stabil artinya cedera yang dapat bergeser dengan
gerakan normal karena ligamen posteriornya rusak atau robek, Fraktur medulla spinalis
disebut tidak stabil jika kehilangan integritas dari ligamen posterior.
Menentukan stabil atau tidaknya fraktur membutuhkan pemeriksaan radiograf. Pemeriksaan
radiografi minimal ada 4 posisi yaitu anteroposterior, lateral, oblik kanan dan kiri. Dalam
menilai stabilitas vertebra, ada tiga unsur yamg harus dipertimbangkan yaitu kompleks
posterior (kolumna posterior), kompleks media dan kompleks anterior (kolumna anterior)
(Denis, 1983).3
Pembagian bagian kolumna vertebralis adalah sebagai berikut :
1. kolumna anterior yang terbentuk dari ligament longitudinal dan duapertiga bagian
anterior dari corpus vertebra, diskus dan annulus vertebralis

2. kolumna media yang terbentuk dari satupertiga bagian posterior dari corpus
vertebralis, diskus dan annulus vertebralis
3. kolumna posterior yang terbentuk dari pedikulus, sendi-sendi permukaan, arkus
tulang posterior, ligamen interspinosa dan supraspinosa 1

Mekanisme cedera
Tipe pergeseran yang penting: (1) hiperekstensi (2) fleksi (3) tekanan aksial (4) fleksi dan
tekanan digabungkan dengan distraksi posterior (5) fleksi yang digabungkan dengan rotasi
dan (6) translasi horizontal. Fraktur dapat terjadi akibat kekuatan minimal saja pada tulang
osteoporotik atau patologik.3
Hiperekstensi (kombinasi distraksi dan ekstensi)
Hiperekstensi jarang terjadi di daerah torakolumbal tetapi sering pada leher, pukulan
pada muka atau dahi akan memaksa kepala ke belakang dan tanpa menyangga oksiput
sehingga kepala membentur bagian atas punggung. Ligamen anterior dan diskus dapat
rusak atau arkus saraf mungkin mengalami fraktur. cedera ini stabil karena tidak
merusak ligamen posterior
Fleksi
Trauma ini terjadi akibat fleksi dan disertai kompresi pada vertebra. Vertebra akan
mengalami tekanan dan remuk yang dapat merusak ligamen posterior. Jika ligamen
posterior rusak maka sifat fraktur ini tidak stabil sebaliknya jika ligamentum
posterior tidak rusak maka fraktur bersifat stabil. Pada daerah cervical, tipe subluksasi
ini sering terlewatkan karena pada saat dilakukan pemeriksaan sinar-X vertebra telah
kembali ke tempatnya.
Fleksi dan kompresi digabungkan dengan distraksi posterior
Kombinasi fleksi dengan kompresi anterior dan distraksi posterior dapat mengganggu
kompleks vertebra pertengahan di samping kompleks posterior. Fragmen tulang dan
bahan diskus dapat bergeser ke dalam kanalis spinalis. Berbeda dengan fraktur
kompresi murni, keadaan ini merupakan cedera tak stabil dengan risiko progresi
yang tinggi.

Fleksi lateral yang terlalu banyak dapat menyebabkan kompresi pada setengah corpus
vertebra dan distraksi pada unsur lateral dan posterior pada sisi se baliknya. Kalau
permukaan dan pedikulus remuk, lesi bersifat tidak stabil.
Pergeseran aksial (kompresi)
Kekuatan vertikal yang mengenai segmen lurus pada spina servikal atau lumbal akan
menimbulkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan mematahkan lempeng vertebra dan
menyebabkan fraktur vertikal pada vertebra; dengan kekuatan yang lebih besar, bahan diskus
didorong masuk ke dalam badan vertebral, menyebabkan fraktur remuk (burst fracture).
Karena unsur posterior utuh, keadaan ini didefinisikan sebagai cedera stabil.
Fragmen tulang dapat terdorong ke belakang ke dalam kanalis spinalis dan inilah
yang menjadikan fraktur ini berbahaya; kerusakan neurologik sering terjadi.
Rotasi-fleksi
Cedera spina yang paling berbahaya adalah akibat kombinasi fleksi dan rotasi.
Ligamen dan kapsul sendi teregang sampai batas kekuatannya; kemudian dapat robek,
permukaan sendi dapat mengalami fraktur atau bagian atas dari satu vertebra dapat
terpotong. Akibat dari mekanisme ini adalah pergeseran atau dislokasi ke depan pada
vertebra di atas, dengan atau tanpa dibarengi kerusakan tulang. Semua frakturdislokasi bersifat tak stabil dan terdapat banyak risiko munculnya kerusakan neurologik.
Translasi Horizontal
Kolumna vertebralis teriris dan segmen bagian atas atau bawah dapat bergeser ke
anteroposterior atau ke lateral. Lesi bersifat tidak stabil dan sering terjadi
kerusakan syaraf. 3

Cedera Cervical
Segmen cervical adalah segmen yang paling mudah digerakkan dan mudah cedera. Cedera
cervical dengan mengenai bagian atas medulla spinalis akan berakibat fatal dan penyebab
kematian pada pasien kecelakaan saat pasien diperjalanan menuju rumah sakit. 4 Nyeri dan
kekakuan leher atau keluhan paraestesia atau kelemahan pada tungkai atas, harus
diperhatikan. Kekuatan yang menyebabkan cedera kepala yang berbahaya (misalnya

kecelakaan lalu lintas atau benturan kepala akibat jatuh dari tempat tinggi) juga dapat
menyebabkan cedera leher. Karena itu, pada pasien yang pingsan karena cedera kepala,
harus selalu dicurigai mengalami fraktur vertebra cervical.
Pemeriksaan diawali dengan inspeksi, posisi leher yang abnormal dapat menjadi tanda
pendukung. Gerakan harus dilakukan dengan sangat pelan-pelan dan, jika nyeri
sebaiknya ditunda hingga leher difoto dengan sinar-X. Nyeri atau paraestesia pada
tungkai perlu diperhatikan, dan tungkai harus selalu diperiksa untuk mencari bukti
adanya kerusakan sumsum atau akar saraf.2
Jenis fraktur daerah cervical, sebagai berikut:
Fraktur Atlas C 1
Fraktur ini terjadi pada kecelakaan jatuh dari ketinggian dan posisi kepala menopang badan
dan daerah cervical mendapat tekanan hebat. Condylus occipitalis pada basis crani dapat
menghancurkan cincin tulang atlas. Jika tidak ada cedera angulasi dan rotasi maka pergeseran
tidak berat dan medulla spinalis tidak ikut cedera. Pemeriksaan radiologi yang dilakukan
adalah posisi anteroposterior dengan mulut pasien dalam keadaan terbuka
Terapi untuk fraktur tipe stabil seperti fraktur atlas ini adalah immobilisasi cervical dengan
collar plaster selama 3 bulan
Pergeseran C 1 C2 ( Sendi Atlantoaxial)
Atlas dan axis dihubungkan dengan ligamentum tranversalis dari atlas yang menyilang
dibelakang prosesus odontoid pada axis. Dislokasi sendi atlantoaxial dapat mengakibatkan
arthritis rheumatoid karena adanya perlunakan kemudian akan ada penekanan ligamentum
transversalis.
Fraktur dislokasi termasuk fraktur basis prosesus odontoid. Umumnya ligamentum
tranversalis masih utuh dan prosesus odontoid pindah dengan atlas dan dapat menekan
medulla spinalis. Terapi untuk fraktur tidak bergeser yaitu imobilisasi vertebra cervical.
Terapi untuk fraktur geser atlantoaxial adalah reduksi dengan traksi continues.
Fraktur Kompresi Corpus Vertebral
Tipe kompresi lebih sering tanpa kerusakan ligamentum spinal namun dapat mengakibatkan
kompresi corpus vertebralis. Sifat fraktur ini adalah tipe tidak stabil. Terapi untuk fraktur tipe
ini adalah reduksi dengan plastic collar selama 3 minggu ( masa penyembuhan tulang)
Flexi Subluksasi Vertebral Cervical

Fraktur ini terjadi saat pergerakan kepala kearah depan yang tiba-tiba sehingga terjadi
deselerasi kepala karena tubrukan atau dorongan pada kepala bagian belakang, terjadi
vertebra yang miring ke depan diatas vertebra yang ada dibawahnya, ligament posterior dapat
rusak dan fraktur ini disebut subluksasi, medulla spinalis mengalami kontusio dalam waktu
singkat.
Tindakan yang diberikan untuk fraktur tipe ini adalah ekstensi cervical dilanjutkan dengan
imobilisasi leher terekstensi dengan collar selama 2 bulan.
Fleksi dislokasi dan fraktur dislokasi cervical
Cedera ini lebih berat dibanding fleksi subluksasi. Mekanisme terjadinya fraktur hampir sama
dengan fleksi subluksasi, posterior ligamen robek dan posterior facet pada satu atau kedua
sisi kehilangan kestabilannya dengan bangunan sekitar. Jika dislokasi atau fraktur dislokasi
pada C7 Th1 maka posisi ini sulit dilihat dari posisi foto lateral maka posisi yang terbaik
untuk radiografi adalah swimmer projection
Tindakan yang dilakukan adalah reduksi fleksi dislokasi ataupun fraktur dislokasi dari fraktur
cervical termasuk sulit namun traksi skull continu dapat dipakai sementara.
Ekstensi Sprain ( Kesleo) Cervical (Whiplash injury)
Mekanisme cedera pada cedera jaringan lunak yang terjadi bila leher tiba-tiba tersentak ke
dalam hiperekstensi. Biasanya cedera ini terjadi setelah tertabrak dari belakang; badan
terlempar ke depan dan kepala tersentak ke belakang. Terdapat ketidaksesuaian mengenai
patologi yang tepat tetapi kemungkinan ligamen longitudinal anterior meregang atau robek
dan diskus mungkin juga rusak.
Pasien mengeluh nyeri dan kekakuan pada leher, yang refrakter dan bertahan selama setahun
atau lebih lama. Keadaan ini sering disertai dengan gejala lain yang lebih tidak jelas,
misalnya nyeri kepala, pusing, depresi, penglihatan kabur dan rasa baal atau paraestesia
pada lengan. Biasanya tidak terdapat tanda-tanda fisik, dan pemeriksaan dengan sinar-X
hanya memperlihatkan perubahan kecil pada postur. Tidak ada bentuk terapi yang telah
terbukti bermanfaat, pasien diberikan analgetik dan fisioterapi.
Fraktur Pada Cervical Ke -7 (Processus Spinosus)
Prosesus spinosus C7 lebih panjang dan prosesus ini melekat pada otot. Adanya kontraksi
otot akibat kekerasan yang sifatnya tiba-tiba akan menyebabkan avulsi prosesus spinosus

yang disebut clay shovelers fracture . Fraktur ini nyeri tetapi tak berbahaya.4

Metode untuk foto daerah cervical


Pada foto anteroposterior garis lateral harus utuh, dan prosesus spinosus dan bayangan
trakea harus berada pada garis tengah. Diperlukan foto dengan mulut terbuka untuk
memperlihatkan C1 dan C2 (untuk fraktur massa lateral dan odontoid).
Foto lateral harus mencakup ketujuh vertebra cer vical dan T1, jika tidak cedera yang
rendah akar terlewatkan. Hitunglah vertebra kalau perlu, periksa ulang dengan
sinar-X sementara menerapkan traksi ke bawah pada lengan. Kurva lordotik harus
diikuti dan menelusuri empat garis sejajar yang dibentuk oleh bagian depan korpus
vertebra, bagian belakang badan vertebra. massa lateral dan dasar-dasar
prosesus spinosus

setiap ketidakteraturan menunjukkan suatu fraktur

atau

pergeseran. Ruang interspinosa yang terlalu lebar menunjukkan luksasi anterior.


Trakea dapat tergeser oleh hematoma jaringan lunak.
Jarak tiang odontoid dan bagian belakang arkus anterior pada atlas tidak boleh melebihi 4,5
mm ( anak-anak ) dan 3mm pada dewasa
Untuk menghindari terlewatnya adanya dislokasi tanpa fraktur diperlukan film lateral pada
posisi ekstensi dan fleksi.
Pergeseran korpus vertebra ke arah depan terhadap korpus vertebra dibawahnya dapat berarti
klinis yaitu dislokasi permukaan unilateral jika pergeseran yang kurang dari setengah
lebar korpus vertebra. Untuk hal ini diperlukan foto oblik untuk memperlihatkan sisi yang
terkena. Pergeseran yang lebih dari setengah lebar korpus vertebra tersbut menunjukkan
dislokasi bilateral.
Lesi yang tidak jelas perlu dilanjutkn pemeriksaan CT scan.3

Cedera Vertebra Thorakolumbar


Fraktur kompresi (Wedge fractures) adanya kompresi pada bagian depan corpus
vertebralis yang tertekan dan membentuk patahan irisan. Fraktur kompresi adalah
fraktur tersering yang mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan
oleh kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan posisi terduduk ataupun mendapat
pukulan di kepala, osteoporosis dan adanya metastase kanker dari tempat lain ke

vertebra kemudian membuat bagian vertebra tersebut menjadi lemah dan akhirnya
mudah mengalami fraktur kompresi.
Vertebra dengan fraktur kompresi akan menjadi lebih pendek ukurannya daripada
ukuran vertebra sebenarnya. 5
Fraktur remuk (Burst fractures) fraktur yang terjadi ketika ada penekanan corpus
vertebralis secara langsung, dan tulang menjadi hancur. Fragmen tulang berpotensi
masuk ke kanalis spinais. Terminologi fraktur ini adalah menyebarnya tepi korpus
vertebralis kearah luar yang disebabkan adanya kecelakaan yang lebih berat dibanding
fraktur kompresi. tepi tulang yang menyebar atau melebar itu akan memudahkan
medulla spinalis untuk cedera dan ada fragmen tulang yang mengarah ke medulla
spinalis dan dapat menekan medulla spinalis dan menyebabkan paralisi atau gangguan
syaraf parsial. Tipe burst fracture sering terjadi pada thoraco lumbar junction dan
terjadi paralysis pada kaki dan gangguan defekasi ataupun miksi. Diagnosis burst
fracture ditegakkan dengan x-rays dan CT scan untuk mengetahui letak fraktur dan
menentukan apakah fraktur tersebut merupakan fraktur kompresi, burst fracture atau
fraktur dislokasi. Biasanya dengan scan MRI fraktur ini akan lebih jelas mengevaluasi
trauma jaringan lunak, kerusakan ligamen dan adanya perdarahan.6
Fraktur dislokasiterjadi ketika ada segmen vertebra berpindah dari tempatnya karena
kompresi, rotasi atau tekanan. Ketiga kolumna mengalami kerusakan sehingga sangat
tidak stabil, cedera ini sangat berbahaya. Terapi tergantung apakah ada atau tidaknya
korda atau akar syaraf yang rusak.2
Kerusakan akan terjadi pada ketiga bagian kolumna vertebralis dengan kombinasi
mekanisme kecelakaan yang terjadi yaitu adanya kompresi, penekanan, rotasi dan
proses pengelupasan. Pengelupasan komponen akan terjadi dari posterior ke anterior
dengan kerusakan parah pada ligamentum posterior, fraktur lamina, penekanan sendi
facet dan akhirnya kompresi korpus vertebra anterior. Namun dapat juga terjadi dari
bagian anterior ke posterior. kolumna vertebralis. Pada mekanisme rotasi akan terjadi
fraktur pada prosesus transversus dan bagian bawah costa. Fraktur akan melewati
lamina dan seringnya akan menyebabkan dural tears dan keluarnya serabut syaraf.

Cedera pisau lipat (Seat belt fractures) sering terjadi pada kecelakaan mobil dengan
kekuatan tinggi dan tiba-tiba mengerem sehingga membuat vertebrae dalam keadaan
fleksi, dislokasi fraktur sering terjadi pada thoracolumbar junction.7.
Kombinasi fleksi dan distraksi dapat menyebabkan tulang belakang pertengahan
menbetuk pisau lipat dengan poros yang bertumpu pada bagian kolumna anterior
vertebralis. Pada cedera sabuk pengaman, tubuh penderita terlempar kedepan melawan
tahanan tali pengikat. Korpus vertebra kemungkinan dapat hancur selanjutnya kolumna
posterior dan media akan rusak sehingga fraktur ini termasuk jenis fraktur tidak stabil 3

Cedera Saraf
Pada cedera spinal akibat pergeseran struktur dapat merusak korda atau akar saraf, atau
keduanya; lesi servikal dapat menyebabkan kuadriplegia, paraplegia lesi torakolumbal.
Kerusakan dapat sebagian atau lengkap. Terdapat tiga jenis lesi: gegar korda, transeksi korda
dan transeksi akar.3

Gegar Korda (Neurapraksia)


Paralisis motorik (flasid), kehilangan sensorik dan paralisis viseral di bawah tingkat lesi
korda mungkin bersifat lengkap, tetapi dalam beberapa menit atau beberapa jam
penyembuhan dimulai dan segera sembuh sepenuhnya. Keadaan itu paling mungkin terjadi
pada pasien yang, karena beberapa alasan selain cedera, mempunyai saluran anteroposterior
yang diameternya kecil; tetapi, tidak terdapat bukti radiologik adanya kerusakan tulang yang
barn terjadi.3

Transeksi Korda
Paralisis motorik, kehilangan sensorik dan paralisis viseral terjadi di bawah tingkat lesi
korda; seperti halnya gegar korda, paralisis motorik mula-mula bersifat flasid. Ini adalah
keadaan sementara yang dikenal sebagai syok korda, tetapi cedera itu bersifat anatomic dan tak
dapat diperbaiki.
Tetapi, beberapa waktu kemudian, korda di bawah tingkat transeksi sembuh dari syok dan
bekerja sebagai struktur yang bebas; artinya, menunjukkan aktivitas refleks. Dalam beberapa
jam refleks anal dan penis pulih kembali, dan respons plantar menjadi ekstensor. Dalam
beberapa hari atau beberapa minggu paralisis flasid menjadi spastik, disertai peningkatan,
tonus, peningkatan refleks tendon dan klonus; spasme fleksor dan kontraktur dapat terjadi
tetapi sensasi tak pernah pulih kembali. Timbulnya refleks anal dan penis tanpa adanya sensasi
pada kaki bersifat diagnostik untuk transeksi korda.

Transeksi Akar
Paralisis motorik, kehilangan sensorik dan paralisis viseral terjadi pada distribusi akar yang
rusak. Tetapi, transeksi akar berbeda dari transeksi korda, dalam dua hal: (1) regenerasi secara
teoretis dapat terjadi; dan (2) paralisis motorik yang tersisa tetap flasid secara permanen.3

Skala klinis yang digunakan untuk menentukan derajatan keparahan gangguan neurologi
adalah scoring Frankel (1970) , 5 kategori tersebut adalah A. jika sensorik dan motoriknya
tidak berfungsi, B jika hanya sensori saja yang berfungsi, C jika sensorinya ada sebagian dan
motorikny ada sebagian, d jika motorik baik dan E sensorik dan motorik baik.
Tabel 3: ASIA impairment scale5
Grade

Description

Lengkap: tidak ada sensorik maupun motorik dibawah level defisit


neurologi

Tidak lengkap : sensorik baik namun motorik nya menurun di bawah


level defisit neurology

Tidak lengkap : sensorik baik dan fungsi motorik dibawah defisit


neurology memiliki kekuatan otot dibawah 3

Tidak lengkap : sensorik baik namun kekuatan otot motoriknya lebih


dari 3 atau sama dengan 3

Fungsi sensorik dan motorik normal

Gambaran Klinik Kerusakan Syaraf Tingkat Anatomik


Cervical
Pada cedera vertebra servikal, transeksi korda hampir sesuai dengan tingkat kerusakan tulang.
Tidak lebih dari satu atau dua akar lain yang mungkin akan mengalami transeksi. Transeksi
korda servikal yang tinggi bersifat fatal karena semua otot pernapasan lumpuh. Pada tingkat
vertebra C5, transeksi korda dapat secara khusus mengisolasi korda servikal bagian bawah
(dengan paralisis tungkai atas), korda toraks (dengan paralisis badan) dan korda lumbal dan
sakral (dengan paralisis tungkai bawah dan visera). Pada cedera di bawah vertebra C5,
tungkai atas sebagian terhindar dan mengakibatkan deformitas yang khas.3

Antara Vertebra Th I dan Th X


Segmen korda lumbal pertama pada orang dewasa berada pada tingkat vertebra T10.
Akibatnya, transeksi korda pada tingkat itu akan menghindarkan korda toraks tetapi

mengisolasikan seluruh korda, lumbal dan sakral, disertai paralisis tungkai bawah dan visera.
Akar toraks bagian bawah juga dapat mengalami transeksi tetapi tak banyak pengaruhnya.3

Di Bawah Vertebra Th X
Korda membentuk suatu tonjolan kecil (konus medularis) di antara vertebra T I dan LI, dan
meruncing pada antar ruang di antara vertebra LI dan L2. Akar saraf L2 sampai S4 muncul
dari konus medularis dan beraturanan turun dalam suatu kelompok (cauda equina) untuk
muncul pada tingkat yang berturutan pada spina lumbosakral. Karen itu, cedera spinal di atas
vertebra T10 menyebabkan transeksi korda, cedera di antara vertebra TIO dan LI dapat
menyebabkan lesi korda dan lesi akar saraf, dan cedera di bawah vertebra Ll hanya
menyebabkan lesi akar. Akar sakral mempersarafi: (1) sensasi dalam daerah "pelana", suatu
jalur di sepanjang bagian belakang paha dan tungkai bawah, dan dua pertiga sebelah luar tapak
kaki; (2) tenaga motorik pada otot yang mengendalikan pergelangan kaki dan kaki: (3) refleks
anal dan penis, respons plantar dan refleks pergelangan kaki; dan (4) pengendalian kencing.
Akar lumbal mempersarafi: (1) sensasi pada seluruh tungkai bawah selain bagian yang
dipasok oleh segmen sakral; (2) tenaga motorik pada otot yang mengendalikan pinggul dan
lutut: dan (3) refleks kremaster dan refleks lutut.. Bila cedera tulang berada pada sambungan
torakolumbal, penting untuk membedakan antara transeksi korda tanpa kerusakan akar dan
transeksi korda dengan transeksi akar. Pasien tanpa kerusakan akar jauh lebih baik daripada
pasien dengan transeksi korda dan akar.

Lesi Korda Lengkap


Paralisis Iengkap dan anestesi di bawah tingkat cedera menunjukkan transeksi korda. Selama
stadium syok spinal, bila tidak ada refleks anal (tidak lebih dari 24 jam pertama) diagnosis
tidak dapat ditegakkan dan jika refleks anal pulih kembali dan defisit saraf terus berlanjut,
lesi korda bersifat lengkap. Setiap lesi lengkap yang berlangsung lebih dari 72 jam tidak akan
sembuh.3

Lesi Korda Tidak Lengkap


Adanya sisa sensasi apapun di bagian distal cedera (uji menusukkan peniti di daerah

perianal ) menunjukkan lesi tak lengkap sehingga prognosis baik. Penyembuhan dapat
berlanjut sampai 6 bulan setelah cedera. Penyembuhan paling sering terjadi pada sindroma
korda central di mana kelemahan adalah hasil awal diikuti dengan paralisis neuron motorik
bawah pada tungkai atas dengan paralisis neuron motorik atas (spastik) pada tungkai bawah,
dan tetap ada kemampuan pengendalian kandung kemih dan sensasi perianal (sakral
terhindar). Pada sindroma korda anterior yang lebih jarang terjadi, terdapat paralisis lengkap
dan anestesi tetapi tekanan dalam dan indera posisi tetap ad pada tungkai bawah (kolom dorsal
terhindar). Pada sindroma korda posterior yang agak jarang terjadi (hanya tekanan dalam dan
propriosepsi yang hilang), dan sindroma Brown Sequard (hemiseksi korda, dengan paralisis
ipsilateral dan hilangnya perasaan nyeri kontralateral) biasanya disebabkan oleh cedera toraks.
Di bawah vertebra Th X, diskrepansi antara tingkat neurologik dan tingkat rangka adalah
akibat transeksi akar yang turun dari segmen yang lebih tinggi dari lesi korda.3
Tabel 2: Incomplete cord syndromes9
Sindrom

Deskripsi

Anterior cord

Lesi yang mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensitivitas


terhadap nyeri, temperature namun fungsi propioseptif masih normal

Brown-Sequard

Proposeptif ipsilateral normal, motorik hilang dan kehilangan


sensitivitas nyeri dan temperatur pada sisi kontralateral

Central cord

Khusus pada regio sentral, anggota gerak atas lebih lemah dibanding
anggota gerak bawah

Dorsal
cord Lesi terjadi pada bagian sensori terutama mempengaruhi propioseptif
(posterior cord)
Conus medullaris

Cedera pada sacral cord dan nervus lumbar dengan kanlis neuralis ;
arefllex pada vesika urinaria, pencernaan dan anggota gerak bawah

Cauda equina

Cedera pada daerah lumbosacral dengan kanalis neuralis yang


mengakibatkan arefleksia vesika urinaria, pencernaan dan anggota
gerak bawah

Diagnosis dan Pemeriksaan Fraktur Vertebra


Pemeriksaan klinik pada punggung hampir selalu menunjukkan tanda-tanda fraktur yang tak
stabil namun fraktur remuk yang disertai paraplegia umunya bersifat stabil. Sifat dan tingkat
lesi tulang dapat diperlihatkan dengan sinar-X, sedangkan sifat dan tingkat lesi saraf dengan CT
atau MRI.

Pemeriksaan neurologik harus dilakukan dengan amat cermat. Tanpa informasi yang rinci,
diagnosis dan prognosis yang tepat tidak mungkin ditentukan. Pemeriksaan rektum harus
dilakukan.
Cedera spinal termasuk kegawatan. Pentingnya memperhatikan kondisi pasien khususnya jaln
nafas, pernafasan dan sirkulasi pasien. Vertebra akan terjaga dengan fiksasi sementara
samapai diagnosis dapat ditegakkan.
Roentgenography: pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat tulang vertebra, untuk melihat
adanya fraktur ataupun pergeeseran pada vertebra.
Computerized Tomography : pemeriksaan ini sifatnya membuat gambar vertebra 2
dimensi . pemeriksaan vertebra dilakukan dengan melihat irisan-irisan yang dihasilkan
CT scan
Magnetic

Resonance

Imaging:

pemeriksaan

ini

menggunakan

gelombang

frekuensiradio untuk memberikan informasi detail mengenai jaringan lunak di aerah


vertebra. Gambaran yang akan dihasilkan adalah gambaran 3 dimensi . MRIsering
digunakan untuk mengetahui kerusakan jaringan lunak pada ligament dan discus
intervertebralis dan menilai cedera medulla spinalis.10

TERAPI
Pertolongan pertama dan penanganan darurat trauma spinal terdiri atas: penilaian kesadaran,
jalan nafas, sirkulasi, pernafasan, kemungkinan adanya perdarahan dan segera mengirim
penderita ke unit trauma spinal ( jika ada). Selanjutnya dilakukan pemeriksaan klinik secara
teliti meliputi pemeriksaan neurology fungsi motorik, sensorik dan reflek untuk mengetahui
kemungkinan adanya fraktur pada vertebra.2 Terapi pada fraktur vertebra diawali dengan
mengatasi nyeri dan stabilisasi untuk mencegah kerusakan yang lebih parah lagi. semuanya
tergantung dengan tipe fraktur
Braces & Orthotics ada tiga hal yang dilakukan yakni, mempertahankan kesegarisan
vertebra (aligment), 2 imobilisasi vertebra dalam masa penyembuhan, 3 mengatsi rasa
nyeri yang dirasakan dengan membatasi pergerakan. Fraktur yang sifatnya stabil
membutuhkan stabilisasi, sebagai contoh; brace rigid collar (Miami J) untuk fraktur
cervical, cervical-thoracic brace (Minerva) untuk fraktur pada punggung bagian atas,

thoracolumbar-sacral orthosis (TLSO) untuk fraktur punggung bagian bawah, dalam


waktu 8 sampai 12 minggu brace akan terputus, umumnya fraktur pada leher yang
sifatnya tidak stabil ataupun mengalami dislokas memerlukan traksi, halo ring dan vest
brace untuk mengembalikan kesegarisan
Pemasanagan alat dan prosoes penyatuan (fusion). Teknik ini adalah teknik pembedahan
yang dipakai untuk fraktur tidak stabil. Fusion adalah proses penggabungan dua vertebra
dengan adanya bone graft dibantu dengan alat-alat seperti plat, rods, hooks dan pedicle
screws. Hasil dari bone graft adalah penyatuan vertebra dibagian atas dan bawah dari
bagian yang disambung. Penyatuan ini memerlukan waktu beberapa bulan atau lebih lama
lagi untuk menghasilkan penyatuan yang solid.
Vertebroplasty & Kyphoplasty, tindakan ini adalah prosedur invasi yang minimal. Pada
prinsipnya teknik ini digunakan pada fraktur kompresi yag disebabkan osteoporosis dan
tumor vertebra. Pada vertebroplasti bone cement diinjeksikan melalui lubang jarung
menuju corpus vertebra sedangkan pada kypoplasti, sebuah balon dimasukkanan
dikembungkan untuk melebarkan vertebra yang terkompresi sebelum celah tersebut diisi
dengan bone cement .8
Pengelolaan penderita dengan paralisis meliputi
Pengelolaan kandung kemih dengan pemberian cairan yang cukup, kateterisasi dan
evakuasi kandung kemih dalam 2 minggu
Pengelolaan saluran pencernaan dengan pemberian laksansia setiap dua hari
Monitoring cairan masuk dan cairan yang keluar dari tubuh
Nutirsi dengan diet tinggi protein secara intravena
Cegah dekubitus
Fisioterapi untuk mencegah kontraktur2
(http://bedahumum-fkunram.blogspot.com/2009/02/fraktur-vertebra.html)

Anda mungkin juga menyukai