PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Setiap ruas tulang belakang dapat bergerak satu dengan lain oleh karena
adanya dua sendi di posterolateral dan diskus intervertebralis di anterior. Pada
pandangan dari samping, pilar tulang belakang membentuk lengkungan atau
lordosis di daerah servikal dan lumbal. Keseluruhan vertebra maupun masing-
masing tulang vertebra berikut diskus intervertebralisnya merupakan satu
kesatuan yang kokoh dengan diskus yang memungkinkan gerakan antar korpus
ruas tulang belakang. Lingkup gerak sendi pada vertebra servikal adalah yang
terbesar. Vertebra torakal berlingkup gerak sedikit karena adanya tulang rusuk
yang membentuk toraks, sedangkan vertebra lumbal mempunyai ruang lingkup
gerak yang lebih besar dari torakal tetapi makin ke bawah lingkup geraknya
semakin kecil.1
Secara umum, struktur tulang belakang tersusun atas dua yaitu:
1. Korpus vertebra beserta semua diskus intervetebra yang berada di antaranya.
2. Elemen posterior (kompleks ligamentum posterior) yang terdiri atas lamina,
pedikel, prosesus spinosus, prosesus transversus dan pars artikularis,
ligamentun-ligamentun supraspinosum dan intraspinosum, ligamentun
flavum, serta kapsul sendi.
Setiap ruas tulang belakang terdiri atas korpus di depan dan arkus neuralis
di belakang yang di situ terdapat sepasang pedikel kanan dan kiri, sepasang
lamina, 2 pedikel, 1 prosesus spinosus, serta 2 prosesus transversus. Beberapa
ruas tulang belakang mempunyai bentuk khusus, misalnya tulang servikal pertama
yang disebut atlas dan ruas servikal kedua yang disebut odontoid. Kanalis spinalis
terbentuk antara korpus di bagian depan dan arkus neuralis di bagian belakang.
Kanalis spinalis ini di daerah servikal berbentuk segitiga datar dan lebar,
sedangkan di daerah torakal berbentuk bulat dan kecil. Bagian lain yang
menyokong kekompakan ruas tulang belakang adalah komponen jaringan lunak
yaitu ligamentun longitudinal anterior, ligamentun longitudinal posterior,
ligamentun flavum, ligamentun interspinosus, dan ligamentum supraspinosus.1
Stabilitas tulang belakang disusun oleh dua komponen, yaitu komponen
tulang dan komponen jaringan lunak yang membentuk satu struktur dengan tiga
pilar. Pertama yaitu satu tiang atau kolom di depan yang terdiri atas korpus serta
3
diskus intervertebralis. Kedua dan ketiga yaitu kolom di belakang kanan dan kiri
yang terdiri atas rangkaian sendi intervertebralis lateralis. Tulang belakang
dikatakan tidak stabil, bila kolom vertical terputus pada lebih dari dua komponen.1
Medulla spinalis berjalan melalui tiap-tiap vertebra dan membawa saraf
yang menyampaikan sensasi dan gerakan dari dan ke berbagai area tubuh.
Semakin tinggi kerusakan saraf tulang belakang, maka semakin luas trauma yang
diakibatkan. Missal, jika kerusakan saraf tulang belakang di daerah leher, hal ini
dapat berpengaruh pada fungsi di bawahnya dan menyebabkan seseorang lumpuh
pada kedua sisi mulai dari leher ke bawah dan tidak terdapat sensasi di bawah
leher. Kerusakan yang lebih rendah pada tulang sacral mengakibatkan sedikit
kehilangan fungsi.1
4
Gambar 3. Persyrafan tulang belakang
5
Gambar 5. Otot yang memproduksi gerakan dari sendi intervertebrata torakal dan
lumbal
6
mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh
kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan posisi terduduk ataupun mendapat
pukulan di kepala, osteoporosis dan adanya metastase kanker dari tempat lain
ke vertebra kemudian membuat bagian vertebra tersebut menjadi lemah dan
akhirnya mudah mengalami fraktur kompresi.3
C. Epidemiologi
Fraktur kompresi vertebra merupakan jenis fraktur yang sering terjadi dan
merupakan masalah yang serius. Setiap tahun, sekitar 700.000 insidensi di
Amerika Serikat, dimana prevalensinya meningkat 25% pada wanita yang
berumur diatas 50 tahun. Satu dari dua wanita dan satu dari empat laki-laki
berumur lebih dari 50 tahun menderita osteoporosis berhubungan dengan
fraktur. Insidensi fraktur kompresi vertebra meningkat secara progresif
berdasarkan semakin bertambahnya usia, dan prevalensinya sama antara laki-
laki (21,5%) dan wanita (23,5%), yang diukur berdasarkan suatu studi
pemeriksaan radiologi. Meskipun hanya sekitar sepertiga menunjukkan gejala
akut, awalnya semua berhubungan dengan angka yang signifikan
meningkatkan mortalitas dan gangguan fungsional dan psikologis.2
D. Etiologi
1. Trauma
Trauma merupakan penyebab terbanyak pada pasien yang berusia
dibawah 50 tahun, oleh karena itu fraktur yang terjadi pada laki-laki
daripada perempuan sampai usia 60 tahun. Contoh fraktur yang terjadi
akibat trauma adalah fraktur kompresi baji merupakan suatu cedera
fleksi, korpus terkompresi tetapi ligament posterior tetap utuh dan fraktur
biasanya bersifat stabil.2
2. Posmenopausal osteoporosis: Merupakan penyebab tersering pada wanita
yang berumur di atas 60 tahun. 2
3. Keganasan
Semakin bertambahnya usia begitu juga peningkatan resiko
terjadinya fraktur patologis akibat keganasan, dan multiple mieloma,
7
nekrosis avaskular, limpoma atau metastasis keganasan lain atau adanya
infeksi juga ikut berperan. Fraktur kompresi vertebra terjadi pada 50%
sampai 70% pasien dengan multiple mieloma.2
4. Osteoporosis Sekunder
Beberapa pasien ditemukan memiliki densitas tuang dibawah nilai
normal berdasarkan usia. Pada kasus ini penyebab sekunder dari
kehilangan masa tulang harus diperhatikan, seperti penggunaan terapi
glukokortikoid, penggunaan alkohol, hipogonadisme, dan endokrinopati
seperti hipertiroid, dan penyakit chusing, hiperparatiroid, dan diabetes
mellitus.2
E. Mekanisme Cedera
Pada cedera tulang belakang, mekanisme cedera yang mungkin adalah :
1. Hiperekstensi (kombinasi distraksi dan ekstensi)
Hiperekstensi jarang terjadi di daerah torakolumbal tetapi sering
pada leher. Ligament anterior dan diskus dapat rusak atau arkus saraf
mungkin mengalami fraktur. Cedera ini stabil karena tidak merusak
ligament posterior.4
8
3. Fleksi dan Kompresi digabungkan dengan distraksi posterior
Kombinasi fleksi dengan kompresi anterior dan distraksi posterior
dapat mengganggu kompleks vertebra pertengahan, di samping
kompleks posterior. Berbeda dengan fraktur kompresi murni, keadaan
ini merupakan cedera tidak stabil dengan risiko progresif yang tinggi.4
9
5. Rotasi-fleksi
Cedera spina yang paling berbahaya adalah akibat kombinasi fleksi
dan rotasi. Ligamen dan kapsul sendi teregang sampat batas
kekuatannya, kemudian dapat robek, permukaan sendi dapat
mengalami fraktur atau bagian atas dari satu vertebra dapat terpotong.
Akibat dari mekanisme ini adalah pergeseran atau dislokasi ke depan
pada vertebra di atas, dengan atau tanpa kerusakan tulang. 4
6. Translasi horizontal
Kolumna vertebralis teriris dan segmen bagian atas atau bawah
dapat bergeser ke anteroposterior atau ke lateral. Lesi bersifat tidak
stabil dan sering terjadi kerusakan saraf. 4
10
F. Klasifikasi
Francis Denis mengembangkan konsep tiga kolum dari fraktur spinal
torakolumbal, awalnya konsep ini dikembangkan untuk mengklasifikasikan
fraktur spinal torakolumbal, namun dapat juga diaplikasikan pada tulang
belakang dibawah servikal karena secara umum anatomi tulang belakang
mirip dengan vertebra torakal dan lumbal.7 Denis membagi vertebra menjadi
tiga kolum. Ketidak stabilan terjadi jika cedera terkena dua kolum yang
berlanjut, contoh kolum cedera terkena kolum anterior dan medial atau
medial dan posterior. Tiga kolum tersebut yaitu7:
Kolum anterior:
- Ligament longitudinal anterior
- Dua per tiga anterior korpus vertebra
- Dua per tiga anterior diskus intervertebral
Kolum medial:
- Satu per tiga korpus vertebra
- Satu per tiga diskus intervertebral
- Ligament longitudinal posterior
Kolum posterior:
- Pedikel
- Sendi facet dan processus articular
- Ligamentum flavum
- Neural arch dan ligament interconnecting
Menurut sistem Denis ', trauma tulang belakang diklasifikasikan menjadi
cedera minor dan mayor, berdasarkan potensi risiko untuk menyebabkan
ketidakstabilan. Cidera minor adalah fraktur yang disebabkan dari prosessus
tranversus, prosessus artikular, pars interarticularis, dan prosessus spinosus
yang hanya melibatkan sebagian dari kolom posterior dan tidak menyebabkan
ketidakstabilan akut. cedera tulang belakang mayor diklasifikasikan ke dalam
empat kategori, semua didefinisikan dalam hal tingkat keterlibatan masing-
masing dari tiga kolom, yaitu: compression, burst, seat-belt-type, dan fraktur
tipe fracture-dislocation. Setiap jenis fraktur juga dapat dibagi beberapa
subclass berdasarkan tingkat keparahan kerusakan. 7
11
Fraktur kompresi, adalah fraktur akibat kompresi dan terdapat fraktur dari
kolom anterior. Kolom tengah utuh dan bertindak sebagai engsel. Mungkin
terdapat cedera parsial dari kolom posterior, yang menunjukkan kekuatan
ketegangan di tingkat itu. kolom tengah yang kompeten mencegah fraktur dari
subluksasi atau kompresi elemen saraf oleh retropulsion fragmen dari dinding
posterior ke kanal. Empat subtipe dari fraktur kompresi dapat diidentifikasi7:.
- Tipe A - keterlibatan kedua end plates
- Jenis B – keterlibatan superior end plate
- Jenis C – inferior end plate
- Jenis D - tekuk dari korteks anterior dengan kedua end plates utuh.
Burst fraktur, terjadi akibat beban aksial dari kedua kolum yaitu kolum
anterior dan kolom tengah yang berasal di tingkat satu atau kedua ujung-piring
dari vertebra yang sama. Lima jenis burst fraktur dapat digambarkan. 7
- Tipe A: Fraktur pada kedua end-plates. tulang yang retropulsed ke
kanal.
- Tipe B: Fraktur superior end-plate. Hal ini umum dan terjadi karena
kombinasi beban aksial dengan fleksi.
- Jenis C: Fraktur inferior end-plate.
- Jenis D: rotasi burst. fraktur ini bisa salah didiagnosis sebagai fraktur-
dislokasi. Mekanisme cedera ini adalah kombinasi dari beban aksial dan
rotasi.
- Jenis E: Burst fleksi lateral. Jenis fraktur berbeda dari fraktur kompresi
lateral yang menyajikan peningkatan jarak interpediculate pada
anteroposterior pemeriksaan radiologis.
12
Gambar 10. Tipe burst fracture
13
2.2. SPINAL CORD INJURY
A. Definisi
Cedera medula spinalis dapat didefinisikan sebagai semua bentuk cedera
yang mengenai medula spinalis baik yang menimbulkan kelainan fungsi utamanya
(motorik, sensorik, otonom dan reflek) secara lengkap atau sebagian.1
B. Epidemiologi
Menurut NSCISC, di USA terjadi 11.000 kasus cedera medula spinalis
tiap tahun.1 Penyebab utama cedera medula spinalis antara lain kecelakaan
(50,4%), terjatuh (23,8%), dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (9%).
Sisanya akibat kekerasan terutama luka tembak dan kecelakaan kerja.1,3
C. Anatomi
Medula spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat (SSP).
Terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan agak
melebar yang disebut conus terminalis atau conus medullaris (Gambar 1).
Terbentang dibawah conus terminalis serabut-serabut bukan saraf yang disebut
filum terminale yang merupakan jaringan ikat.
14
8 pasang saraf servikal
15
kanan oleh anterior median fissure san median septum yang disebut dengan
posterior median septum.
Keluar dari medula spinalis merupakan akar ventral dan dorsal dari saraf
spinal. Substansi abu-abu mengandung badan sel dan dendrit dan neuron efferen,
akson tak bermyelin, saraf sensoris dan motoris dan akson terminal dari neuron.
Substansi abu-abu membentuk seperti huruf H dan terdiri dari tiga bagian yaitu:
anterior, posterior dan komisura abu-abu. Bagian posterior sebagai input /afferent,
anterior sebagai output/efferent, komisura abu-abu untuk refleks silang dan
substansi putih merupakan kumpulan serat saraf bermyelin.
16
D. Patofisiologi
A. B
17
Pada skema (Gambar 3.), menggambarkan kombinasi dari berbagai
macam tipe cedera medula spinalis. Banyak sel di medula spinalis mati seketika
secara progresif setelah terjadinya cedera. Kista biasanya terbentuk setelah cedera
memar. Setelah mengalami luka tusuk, sel dari sistem saraf perifer seringkali
meenyebabkan daerah yang terkena tusuk membentuk jaringan parut yang
bergabung bersama astrosit, sel progenitor, dan mikroglia. Akson asending dan
desending banyak yang terganggu dan gagal memperbaiki diri. Beberapa akson
membentuk sirkuit baru, akson dapat menembus kedalam trabekula dan dibentuk
oleh sel ependim. Segmen akson bermielin yang terputus difagosit oleh makrofag.
Sebagian remielinasi muncul spontan, yang terbanyak dari sel schwan.5
Pada umumnya, cedera medula spinalis disertai kompresi dan angulasi
vertebra yang parah, misalnya terjadinya hipotensi yang parah akibat infark dari
medula atau distraksi aksial dari unsur kolumna vertebralis akan mengakibatkan
tarikan (stretch) pada medula. Biasanya cedera medula spinalis disertai subluksasi
dengan atau tanpa rotasi dari vertebra yang menekan medula diantara tulang yang
dislokasi. Kompresi aksial tulang belakang jarang menyebabkan kerusakan atau
pendesakan pada vertebra, dan tulang lain atau fragmen diskus intervertebralis
dapat menekan ke dalam kanalis spinalis dan menjepit medula dan arteri spinalis.
Cedera seringkali terjadi pada orang tua dengan artritis degeneratif dan stenosis
vertebra servikalis, termasuk hiperekstensi leher disertai ligantum flavum yang
terletak di kanalis vertebra posterior dari medula. Medula spinalis terjepit diantara
spurs (osteofit) anterior dari tulang yang mengalami artritis dan posterior dari
ligamentum flavum, sehingga menyebabkan cedera yang dikenal dengan sebutan
sindroma medula sentral.2
Patofisiologi terjadinya cedera medula spinalis meliputi mekanisme cedera
primer dan sekunder.1 Terdapat empat mekanisme cedera primer pada medula
spinalis, pertama adalah dampak cedera disertai kompresi persisten, pada
umumnya terjadi akibat fragmen tulang yang menyebabkan kompresi pada spinal,
fraktur dislokasi, dan ruptur diskus akut. Kedua, Dampak cedera disertai kompresi
sementara, dapat terjadi misalnya pada seseorang dengan penyakit degeneratif
tulang cervikal yang mengalami cedera hiperekstensi. Ketiga adalah distraksi,
terjadi jika kolumna spinalis teregang berlebihan pada bidang aksial akibat
18
distraksi yang dihasilkan dari gerakan fleksi, ekstensi, rotasi atau adanya dislokasi
yang menyebabkan pergeseran atau peregangan dari medula spinalis dan atau
asupan darahnya. Biasanya mekanisme seperti ini tanpa disertai kelainan
radiologis dan pada umumnya terjadi pada anak-anak dimana vertebranya masih
terdiri dari tulang rawan, ototnya masih belum berkembang sempurna, dan
ligamennya masih lemah. Pada orang dewasa, cedera medula spinalis tanpa
disertai kelainan radiologis umumnya terjadi pada seseorang dengan penyakit
degeneratif tulang belakang. Keempat yaitu laserasi atau transeksi, dapat terjadi
akibat luka tembak, dislokasi fragmen tulang tajam, atau distraksi yang parah.
Laserasi dapat terjadi mulai dari cedera yang ringan sampai transeksi lengkap.1
Cedera primer yang terjadi cenderung merusak pusat substansia grisea dan
sebagian mengenai substansia alba. Hal tersebut terjadi karena, konsistensi
substansia grisea lebih lunak dan banyak vaskularisasi. Pada cedera primer, tahap
awal akan terjadi perdarahan pada medula spinalis dilanjutkan dengan
terganggunya aliran darah medula spinalis menyebabkan hipoksi dan iskemia
sehingga terjadi infark lokal. Hal ini menyebabkan substansia grisea rusak.1
Kerusakan terutama pada gray matter (substansia grisea) karena
kebutuhan metaboliknya yang tinggi. Saraf yang mengalami trauma secara fisik
terganggu dan ketebalan myelinnya berkurang. Perdarahan mikro
(mikrohemorrages) atau edema di sekitar saraf yang mengalami cedera, dapat
menyebabkan saraf tersebut semakin terganggu. Hal tersebut yang mendasari
pemikiran bahwa substansia grisea mengalami kerusakan yang ireversibel selama
satu jam pertama, sedangkan substansia alba mengalami kerusakan selama 72 jam
setelah cedera.1
Segera setelah terjadi cedera medula spinalis, fungsi disertai perubahan
patologis akan hilang secara sementara. Pada permulaan terjadinya cedera
memicu timbulnya kaskade yang terdiri dari akumulasi produksi asam amino,
neurotransmiter, eikosanoid vasoaktif, radikal bebas oksigen, dan produk dari
peroksidasi lipid. Program jalur kematian sel juga teraktivasi. Terjadi kehilangan
darah dari barier medula akibat edema dan peningkatan tekanan jaringan.2 Selama
berlangsungnya perdarahan pada medula, maka suplai darah menjadi terbatas,
sehingga menyebabkan iskemia yang mengakibatkan kerusakan medula lebih
19
lanjut sehingga timbul cedera sekunder.1,2 Cedera sekunder meliputi syok
neurogenik, gangguan vaskular seperti perdarahan dan reperfusi-iskemia,
eksitotoksisitas, cedera primer yang dimediasi kalsium dan gangguan cairan
elektrolit, trauma imunologik, apoptosis, gangguan fungsi mitokondria, dan proses
lainnya. 1
E. Klasifikasi
Metode klasifikasi menurut American Spinal Injury Association (ASIA)
berdasarkan hubungan antara kelengkapan dan level cedera dengan defisit
neurologis yang timbul (Gambar 4.):6
A. Komplit: Tidak ada fungsi motorik dan sensorik yang tersisa pada segmen
sakral S4-S5
B. Inkomplit: Terdapat fungsi sensorik tanpa fungsi motorik di bawah lesi
termasuk segmen sakral S4-S5.
C. Inkomplit: Terdapat fungsi motorik di bawah lesi dan lebih dari separuh
memiliki kekuatan otot kurang dari 3.
D. Inkomplit: Terdapat fungsi motorik di bawah lesi dan lebih dari separuh
memiliki kekuatan otot 3 atau lebih.
E. Normal: Fungsi motorik dan sensorik normal.
20
F. Gejala Klinis
Tanda dan Gejala
Pada trauma medula spinalis komplit, daerah di bawah lesi akan
kehilangan fungsi saraf sadarnya. Terdapat fase awal dari syok spinalis yaitu,
hilangnya reflek pada segment dibawah lesi, termasuk bulbokavernosus,
kremasterika, kontraksi perianal (tonus spinchter ani) dan reflek tendon dalam.
Fenomena ini terjadi sementara karena perubahan aliran darah dan kadar ion pada
lesi. Pada trauma medula spinalis inkomplit, masih terdapat beberapa fungsi di
bawah lesi, sehingga prognosisnya lebih baik. Fungsi medula spinalis dapat
kembali seperti semula segera setelah syok spinal teratasi, atau fungsi kembali
membaik secara bertahap dalam beberapa bulan atau tahun setelah trauma.2
Cedera medula spinalis akibat luka tembus, penekanan maupun iskemik
dapat menyebabkan berbagai bentuk karakteristik cedera berdasarkan anatomi
dari terjadinya cedera. Defisit neurologis yang timbul (fungsi yang hilang atau
tersisa) dapat digambarkan dari pola kerusakan medula dan radiks dorsalis
demikian juga sebaliknya, antara lain:2,6,7
1. Lesi Komplit yaitu terjadinya cedera medula yang luas akibat anatomi dan
fungsi transeksi medula disertai kehilangan fungsi motorik dan sensorik
dibawah lesi. Mekanisme khasnya adalah trauma vertebra subluksasi yang
parah mereduksi diameter kanalis spinalis dan menghancurkan medula.
Konsekuensinya bisa terjadi paraplegia atau quadriplegia (tergantung dari
level lesinya), rusaknya fungsi otonomik termasuk fungsi bowel, bladder dan
sensorik.
2. Lesi Inkomplit
a. Sindroma medula anterior. Gangguan ini akibat kerusakan pada separuh
bagian ventral medula (traktus spinotalamikus dan traktus kortikospinal)
dengan kolumna dorsalis yang masih intak dan sensasi raba (propioseptif),
tekan dan posisi masih terjaga, meskipun terjadi paralisis motorik dan
kehilangan persepsi nyeri (nosiseptif dan termosepsi) bilateral. Hal
tersebut disebabkan mekanisme herniasi diskus akut atau iskemia dari
oklusi arteri spinal.
21
b. Brown Squard's syndrome. Lesi terjadi pada medula spinalis secara
ekstensif pada salah satu sisi sehingga menyebabkan kelemahan (paralisis)
dan kehilangan kontrol motorik, perasaan propioseptif ipsilateral serta
persepsi nyeri (nosiseptif dan termosepsi) kontralateral di bawah lesi. Lesi
ini biasanya terjadi akibat luka tusuk atau tembak.
c. Sindrom medula sentral. Sindroma ini terjadi akibat dari cedera pada
sentral medula spinalis (substansia grisea) servikal seringkali disertai
cedera yang konkusif. Cedera tersebut mengakibatkan kelemahan pada
ekstremitas atas lebih buruk dibandingkan ekstremitas bawah disertai
parestesi. Namun, sensasi perianal serta motorik dan sensorik ekstrimitas
inferior masih terjaga karena distal kaki dan serabut saraf sensorik dan
motorik sakral sebagian besar terletak di perifer medula servikal. Lesi ini
terjadi akibat mekanisme kompresi sementara dari medula servikal akibat
ligamentum flavum yang tertekuk selama trauma hiperekstensi leher.
Sindroma ini muncul pada pasien stenosis servikal.
d. Sindroma konus medularis. Cedera pada regio torakolumbar dapat
menyebabkan sel saraf pada ujung medula spinalis rusak, menjalar ke
serabut kortikospinal, dan radiks dorsaliss lumbosakral disertai disfungsi
upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN).
e. Sindrom kauda ekuina. Sindrom ini disebabkan akibat dislokasi tulang
atau ekstrusi diskus pada regio lumbal dan sakral, dengan radiks dorsalis
kompresi lumbosakral dibawah konus medularis. Pada umumnya terdapat
disfungsi bowel dan bladder, parestesi, dan paralisis.
22
G. Pemeriksaan Fisik
Evaluasi dan terapi awal harus segera dilakukan saat terjadi truma. Deteksi
awal cedera medula spinalis akan mencegah timbulnya gejala sisa (sequele) pada
fungsi neurologik. Pasien yang diduga mengalami cedera medula spinalis harus
dilakukan imobilisasi dengan menggunakan collar servikal (collar brace) dan
papan (backboards).2
A. B.
Gambar 6. A. Collar servikal, B. backboards.
23
Gambar 7. Tingkat sensorik dan motorik dari medula spinalis.2
24
Jika pasien perlu dipindahkan, maka harus menggunakan tekhnik
fireman’s carry atau log-roll, yaitu dibutuhkan minimal tiga orang pada masing-
masing sisi dengan orang keempat yang memimpin gerakan sekaligus
mempertahankan posisi kepala dengan traksi aksial secara gentle (4-7 kg)
menggunakan satu tangan pada dagu (chin) dan tangan lainnya pada oksiput.2
H. Pemeriksaan penunjang
Foto rontgen merupakan pemeriksaan penunjang yang penting pada
trauma vertebra.2 Foto anteroposterior dan lateral dapat digunakan untuk penilaian
cepat tentang kondisi tulang spinal.6 Foto lateral paling dapat memberikan
informasi dan harus dilakukan pemeriksaan terhadap alignment (kelurusan) dari
aspek anterior dan posterior yang berbatasan dengan vertebra torakalis serta
pemeriksaan angulasi spinal di setiap level. Jaringan lunak paravertebra atau
prevertebral yang bengkak biasanya merupakan indikasi perdarahan pada daerah
yang fraktur atau ligamen yang rusak. Foto anterioposterior regio thoraks dan
level lainnya dapat menunjukkan vertebra torakalis yang bergeser ke lateral atau
menunjukkan luasnya pedikel yang rusak.2 Visualisasi adekuat dari spinal servikal
bawah dan torak atas seringkali tidak mungkin karena adanya korset bahu. Foto
25
polos komplit pada spinal servikal meliputi gambaran mulut terbuka yang
menunjukkan adanya proses odontoid dan masa lateral C1 pada pasien yang
diduga mengalami trauma servikal.2,6 Gambaran oblik dari servikal atau lumbal
akan menunjukkan adanya fraktur atau dislokasi.
Computed tomography (CT scan) potongan sagital dan koronal dapat
menggambarkan anatomi tulang dan fraktur terutama C7-T1 yang tidak tampak
pada foto polos,2,6 MRI memberikan gambaran yang sempurna dari vertebra,
diskus, dan medula spinalis serta merupakan prosedur diagnostik pilihan pada
pasien dengan cedera medula spinalis.2,6 Kanalis yang mengalami subluksasi,
herdiasi diskus akut atau rusaknya ligamen jelas tampak pada MRI. Selain itu,
MRI juga dapat mendeteksi EDH atau kerusakan medula spinalis itu sendiri,
termasuk kontusio atau daerah yang mengalami iskemi.6
I. Diagnosis
Tanda penting untuk diagnosis antara lain:2
1. Nyeri leher atau punggung pasca trauma
2. Mati rasa atau kesemutan (parestesi) anggota badan atau ekstrimitas
3. Kelemahan atau paralisis
4. Kehilangan fungsi pencernaan dan kandung kencing
5. Gambaran radiologis
26
J. Diagnosis Banding
Pemeriksaan fungsi motorik dan sensorik secara lengkap dapat digunakan
untuk mengklasifikasikan cedera medula spinalis dan membedakan dengan
kondisi patologis lainnya. Seringkali perubahan status mental akibat cedera otak
atau intoksikasi mempersulit pemeriksaan maupun dalam menegakkan diagnostik.
Faktor komplikasi diagnosis banding lainnya termasuk cedera saraf sekunder pada
fraktur ekstremitas. Pemeriksaan neurologis lengkap dan kemampuan memahami
anatomi dari sistem saraf perifer penting untuk membuat diagnosis yang tepat.
Selain itu juga, perlu dipikirkan adanya gangguan psikiatri atau gangguan
sekunder lainnya. Diagnosis ini dapat di tegakkan dengan dilakukannya
pemeriksaan neurologik yang lengkap. Kira-kira 60% pasien dengan cedera
medula spinalis mengalami cedera pada sistem organ lainnya dan disertai fraktur
spinal.2
K. Tata laksana
Cedera pada tulang dan saraf spinalis sering terjadi bersamaan sehingga
terapi keduanya juga harus bersamaan untuk memperoleh hasil yang terbaik.
Transeksi anatomikal dari medula spinalis hampir tidak pernah terjadi pada cedera
medula spinalis pada manusia. Oleh karena itu, penting sekali untuk melindungi
jaringan spinal yang masih bertahan. Pertama, didapatkan riwayat cedera. Kedua,
dilakukan perawatan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut (cedera sekunder)
dan mendeteksi fungsi neurologik yang memburuk sehingga dapat dilakukan
tindakan koreksi. Ketiga, pasien dirawat hingga kondisi optimal supaya
memungkinkan dilakukan perbaikan dan penyembuhan sistem saraf. Keempat,
evaluasi dan rehabilitasi pasien harus dilakukan secara aktif untuk
memaksimalkan fungsi yang masih bertahan meskipun jaringan saraf tidak
berfungsi. Prinsip tersebut harus disertai dengan meminimalisir biaya secara
ekonomi, sosial dan dan emosional dari cedera medula spinalis.2
27
medula spinalis. Pasien diberikan metilprednisolon 30 mg/kg berat badan secara
intravena dalam delapan jam, dan terutama dalam tiga jam setelah cedera,
dilanjutkan dengan infus metilprednisolon 5,4 mg/kg berat badan tiap jam 45
menit setelah pemberian pertama. Jika pasien mendapatkan bolus
metilprednisolon antara 3-8 jam setelah cedera, maka seharusnya pasien tersebut
menerima infus metilprednisolon selama 48 jam sedangkan jika pemberian
metilprednisolon dalam tiga jam setelah cedera, maka pemberian infus
prednisolon diberikan selama 24 jam.2,6 Penelitian menunjukkan akan terjadi
pemulihan motorik dan sensorik dalam 6 minggu, 6 bulan dan 1 tahun pada pasien
yang menerima metilprednisolon. Akan tetapi, penggunaan kortikosteroid belum
jelas kesepakatannya, hal ini karena timbulnya efek samping berupa pneumonia.
Steroid dosis spinal juga kontra indikasi untuk pasien dengan luka tembak atau
cedera radiks dorsalis (kauda ekuina), atau hamil, kurang dari 14 tahun, atau
dalam pengobatan steroid jangka panjang, serta hipotermi (salah satu gejala yang
timbul pada cedera medula spinalis).6
Alat Ortotik
Alat ortotik eksternal yang rigid (kaku), dapat menstabilisasi spinal dengan
cara mengurangi range of motion (ROM) dan meminimalkan beban pada spinal.
Pada umumnya penggunaan cervical collars (colar brace) tidak adekuat untuk
C1, C2 atau servikotorak yang instabil. Cervicothoracic orthoses brace diatas
torak dan leher, meningkatkan stabilisasi daerah servikotorak. Minerva braces
meningkatkan stabilisasi servikal pada daerah diatas torak hingga dagu dan
oksiput. Pemasangan alat yang disebut halo-vest paling banyak memberikan
stabilisasi servikal eksternal. Empat buah pin di pasangkan pada skul (tengkorak
kepala) untuk mengunci halo ring. Stabilisasi lumbal juga dapat digunakan
sebagai torakolumbal ortose.6
A. B. C.
28
Gambar 10. Alat ortose rigid, A. Cervicothoracic orthoses brace, B.
Minerva brace, C. Halo ring.9
A. B.
Gambar 11. Fiksasi, A. Gardner wells tongs, B. Cervical Halter skin
traction.10
Operasi
Intervensi operasi dalam hal ini memiliki dua tujuan, yang pertama adalah
untuk dekompresi medula spinalis atau radiks dorsalis pada pasien dengan defisit
neurologis inkomplit. Kedua, untuk stabilisasi cedera yang terlalu tidak stabil
untuk yang hanya dilakukan eksternal mobilisasi. Fiksasi terbuka (open fixation)
dibutuhkan untuk pasien trauma spinal dengan defisit neurologis komplit tanpa
sedikitpun tanda pemulihan, atau pada pasien yang mengalami cedera tulang atau
ligament spinal tanpa defisit neurologis. Operasi stabilisasi dapat disertai
mobilisasi dini, perawatan, dan terapi fisik.6 Indikasi lain operasi yaitu adanya
benda asing atau tulang di kanalis spinalis disertai dengan defisit neurologis yang
progresif sehingga menyebabkan terjadinya epidural spinal atau subdural
hematoma. Penatalaksanaan vertebra yang tidak stabil meliputi, spinal fusion
menggunakan metal plates, rods, dan screws dikombinasi dengan bone fusion.2
29
Perawatan Berkelanjutan
Sangat penting untuk melakukan pencegahan dan perawatan dari
thrombosis vena dalam, hiperfleksi autonomik dan pembentukan ulkus dekubitus.6
Banyak pasien dengan cedera medula servikal atau torak tinggi membutuhkan
bantuan ventilasi sampai dinding dada cukup kuat untuk bernafas. Pasien dengan
cedera medula spinalis biasanya bernafas dengan menggunakan diafragma. Jika
terjadi ileus paralitik disertai distensi abdomen atau pasien tampak lemah maka
ventilasi akan memburuk. Pasien akan mengalami hipoksik, sehingga perlu
diberikan intubasi atau ventilasi mekanik.2 Pasien dengan cedera medula servikal
tinggi (diatas C4) seringkali membutuhkan bantuan ventilasi permanen.6
Akibat hilangnya jalur simpatik medula spinalis, tekanan darah menjadi
rendah dan menyebabkan cedera sekunder. Tekanan darah arteri rata-rata 85-90
mmHg harus dipertahankan selama 7 hari pertama setelah terjadinya cedera
medula spinalis untuk meningkatkan perfusi pada medula yang cedera. Jika
produksi urin tidak adekuat setelah pemasangan kateter, pasien dengan hipotensi
sedang akan merespon terhadap pemberian konstriktor seperti efedrin, akan tetapi
hal tersebut hanya boleh diberikan setelah dipastikan tidak ada perdarahan pada
rongga dada atau abdomen.2
L. Komplikasi
Penyebab utama kematian setelah cedera medula spinalis secara potensial
dapat dicegah. Cara terbaik mencegah terjadinya gagal ginjal disertai infeksi
saluran kencing berulang adalah dengan melakukan kateterisasi bladder
intermiten secara hati-hati. Ulkus dekubitus mudah terbentuk pada tulang yang
menonjol pada area yang teranestesi, hal tersebut dapat dicegah dengan dengan
cara turning of patients dan memutar tempat tidur. Pasien dengan defisit motorik
disertai cedera medula spinalis memiliki resiko tinggi thrombosis vena dalam.
Pasien sebaiknya mendapatkan low-molecular-weight heparin, pneumatic
compression stockings atau keduanya sebagai profilaksis.
30
M. Prognosis
Pemeriksaan neurologik dan umur pasien merupakan faktor utama yang
mempengaruhi lamanya masa penyembuhan. Pada trauma akut, mortalitas cedera
medula spinalis sebesar 20%. Dalam jangka lama, pasien dengan kehilangan
fungsi motorik dan sensorik komplit dalam 72 jam, fungsinya tidak mungkin
kembali, namun hingga 90% pasien dengan lesi inkomplit dapat mulai berjalan 1
tahun setelah cedera. Lesi terbatas pada pasien muda lebih mudah mengalami
penyembuhan. Sindroma medula anterior prognosisnya tidak sebaik sindroma
medula inkomplit, sindroma medula sentral, dan Brown Squard’s sindrome.
Penyebab utama kematian sindroma medula spinalis meliputi penyakit
respiratorik dan kardiak. Rehabilitasi juga termasuk dukungan emosional dan
edukasi pasien tentang aktifitas harian dan latihan bekerja.2
31
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
No. DM : 418996
Alamat : APO
Pekerjaan : IRT
32
3.3 Secondary survey
1. Anamnesa (Autoanamnesis)
Keluhan Utama: kedua kaki susah digerakan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan rujukan dari RS Sarmi dengan keluhan kedua
kaki tidak bisa digerakkan dan tidak bisa berjalan sejak 3 minggu
yang lalu. Pasien juga mengeluh nyeri pinggang sejak 1 bulan yang
lalu SMRS. Diketahui, pasien jatuh terpeleset. Pasien jatuh dengan
posisi terduduk, bagian pinggang mendarat lebih dulu. Kepala,
dada dan perut pasien diakui tidak terbentur dengan keras. Setelah
terjatuh pasien merasakan sangat nyeri pada tulang tulang belakang
sampai paha dan kedua kakinya. Sejak saat itu, kedua kaki pasien
tidak dapat digerakkan. Pasien juga tidak dapat memiliki rasa ingin
berkemih maupun BAB. BAK dan BAB keluar tanpa disadari
pasien. Keluhan lain seperti pingsan (+), demam (+), mual (+),
muntah (+), sesak napas disangkal, Pasien masih dapat makan dan
minum. Pasien juga mengeluh ada benjolan di punggung
Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi (disangkal), diabetes melitus (disangkal)
Riwayat Alergi makanan, obat, udara disangkal
Riwayat pengobatan TB (+)
Riwayat Penyakit Keluarga: penyakit stroke, kelainan jantung,
diabetes melitus tidak ada.
Riwayat Kebiasaan
Kebiasaan Minum Alkohol (-), Merokok (+)
2. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Kompos mentis
c. Tanda vital
33
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 86 x/menit
Pernapasan : 18 x/menit
Suhu : 37,2 0C
Kepala
Mata : Conjungtiva anemis (-/-);Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Deformitas (-),sekret (-), pembauan normal.
Telinga : Deformitas (-),sekret (-), pendengaran normal.
Mulut : stomatitis (-), oral trush (-), karies (-),bau mulut (-).
Leher
Pembengkakan KGB colli (-)
Deviasi trakea (-)
Kelainan kelenjar thyroid (-)
Thorax
Inspeksi : simetris, ikut gerak napas, retraksi (-)
Palpasi : ictus cordis tidak teraba, vocal fremitus D=S
Perkusi : paru → sonor
jantung → pekak
Auskultasi : suara napas vesikuler, rhonki (-/-),wheezing (-/-)
bunyi jantung I-II reguler.
Abdomen
Inspeksi : Simetris, datar, jejas (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Distensi (-), nyeri tekan(-) nyeri lepas (-), Hepar
(tidak teraba), Lien (Tidak Teraba)
Perkusi : Timpani
Ekstremitas
Inspeksi : Ekstremitas atas edema(-) Ekstremitas bawah
edema(-)
Palpasi : Akral hangat pada tungkai dan tangan
34
3. Pemeriksaan Neurologis
Rangsang meningeal: kaku kuduk (-). Laseq (-), Kernig (-)
Refleks patologi: Babinski (-/-), Chaddock (-/-), Openheim (-/-)
Refleks Fisiologis: Bicep Palu Refleks (BPR) (++/++), TPR (+/+),
KPR (-/-), APR (-/-)
Refleks sensoris (-)
Kekuatan motorik:
555 555
222 222
35
Pemeriksaan penunjang
1. Darah Lengkap tanggal 08/10/2019.
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
DDR Negatif
SGOT 12.9 U/L <=40
36
4. Pemeriksaan Penunjang X-Ray
37
5. Pemeriksaan Penunjang CT Scan
38
3.4 Resume
Seorang perempuan (28 tahun) rujukan dari RS Sarmi dengan keluhan
kedua kaki tidak bisa digerakkan dan tidak bisa berjalan sejak 3 minggu.
Mekanisme injury: jatuh terpeleset. Pasien jatuh dengan posisi terduduk,
bagian pinggang mendarat lebih dulu. Kepala, dada dan perut pasien
diakui tidak terbentur dengan keras.
Nyeri (+) pada pinggang sampai paha dan kedua kakinya sejak 1 bulan
yang lalu. Sejak saat itu, kedua kaki pasien tidak dapat digerakkan. Pasien
juga tidak dapat memiliki rasa ingin berkemih maupun BAB. BAK dan
BAB keluar tanpa disadari pasien. Keluhan lain seperti pingsan (-), mual
(-), muntah (-), sesak napas disangkal, Pasien masih dapat makan dan
minum.
Pemeriksaan fisik: keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran kompos
mentis, tanda-tanda vital dalam batas normal. Pemeriksaan neurologis:
Rangsang meningeal: kaku kuduk (-). Laseq (-), Kernig (-)
Refleks patologi: Babinski (-/-), Chaddock (-/-), Openheim (-/-)
Refleks Fisiologis: Bicep Palu Refleks (BPR) (+/+) menurun, TPR
(+/+), KPR (-/-), APR (-/-)
Reflex sensoris (-/-)
Kekuatan motorik:
555 555
222 222
39
3.6 Diagnosis Banding
1. Spinal Cord Injury
2. Faktur Kompresi Thoracal XII
3.7 Planning
Penatalaksanaan non medikamentosa:
- Tirah baring
- Pemeriksaan laboratorium DL,DDR, GDS, PT/APTT, Elektrolit,
HbsAg, PITC
- Pro konsul Spesialis Bedah Saraf
- Pro Pemeriksaan CT SCAN Thorakolumbal
- Pro Konsul Interna
- Pro Konsul Anestesi
- Pasang korset
- Pro Laminectomy Dekompresi
3.8 Tindakan & Terapi
Penatalaksanaan medika mentosa.
a. IVFD RL 20 tpm
b. Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
c. Inj.omeprazole 2 x 20 mg
d. Inj. Mecobalamin 3 x 500 mg
e. Inj. Antrain 3x1 gr IV
f. OAT FDC 3 tab
3.9 Laporan Operasi (tanggal 22.10.2019 jam 13.20 WIT)
- Pasien diposisikan tengkurap alam pengaruh general anestesi
- Dilakukan prosedur antiseptik
- Tutup medan operasi dengan doek steril
- Dilakukan insisi midline, pada garis paraspinal VTH X-VL III,
expose lamina dan facet
- Kesan gibus padaVTH XII
- Dilakukan pedicle screw di VTH XIVL I dan VL II
40
- VTH XI 4,5 x 35 mm, VL I , VL lumbal II long arm 6,5 x 45 mm
dengan bantua c arm, nikel dan titanium
- Dilakukan laminektomi dekompresi VTH XII kesan ligamentun
mengeras/hipertrofi dilakukan scroll trawel kedalam
- Terdecompresi, control perdarahan
- control perdarahan
- Jahit luka bekas operasi kanan dan kiri
- Operasi selesai
3.1 Follow Up
Tanggal Catatan Tindakan
23-10/ S : Nyeri tulang belakang (+), badan - IVFD Nacl 0.9%
2019 rasa kram (+), kaki dapat gerakan 204tpm
(+) - Inj. Ceftriaxon 2x1
O : KU: TSS Kes CM, GCS 15
gr
TTV: TD: 110/80 mmhg, N:90x/mnt, R
- Inj. Kalnex 3x500
: 20 x/mnt, SB : 36,7oC, SpO2: 99%
mg
Status generalis:
- Inj. Tramadol 3x1
K/L : Conjungtiva anemis (-/-),
amp
Sklera ikterik (-/-), P>KGB (-)
Thorax : Simetris IGN, V/F: D=S, sonor, - Inj. Omeprazole
41
SN: Vesikuler, Rhonki (-/-), whezing (-/- 2x20 mg
) - Inj. Mecobalamine
Abdomen : Tampak datar, bising usus 3x500 mg
(+) Normal, supel, nyeri tekan (-),
- Mobilisasi ½ duduk
hepar/lien tidak teraba.
- Mika-miki
Ekstremitas : ekstremitas inferior
paraparesis (+)
Rangsang meningeal: kaku
kuduk (-). Laseq (-), Kernig (-)
Refleks patologi: Babinski (-/-),
Chaddock (-/-), Openheim (-/-)
Refleks Fisiologis: Bicep Palu
Refleks (BPR) (+/+) menurun,
TPR (+/+), KPR (-/-), APR (-/-)
Reflex sensoris (-/-)
Kekuatan motorik:
555 555
444 444
42
Abdomen : Tampak datar, bising usus - Inj. Omeprazole
(+) Normal, supel, nyeri tekan (-), 2x20 mg
hepar/lien tidak teraba. - Inj. Mecobalamine
Ekstremitas : ekstremitas inferior
3x500 mg
paraparesis (+)
- Mobilisasi duduk
Rangsang meningeal: kaku
- Aff drain
kuduk (-). Laseq (-), Kernig (-)
Pasang korset
Refleks patologi: Babinski (-/-),
Chaddock (-/-), Openheim (-/-)
Refleks Fisiologis: Bicep Palu
Refleks (BPR) (+/+) menurun,
TPR (+/+), KPR (-/-), APR (-/-)
Reflex sensoris (-/-)
Kekuatan motorik:
555 555
555 555
43
(+) Normal, supel, nyeri tekan (-), - Mobilisasi duduk
hepar/lien tidak teraba. Pasang korset
Ekstremitas : ekstremitas inferior Bladder training
paraparesis (+)
Rangsang meningeal:
kaku kuduk (-). Laseq (-),
Kernig (-)
Refleks patologi:
Babinski (-/-), Chaddock
(-/-), Openheim (-/-)
Refleks Fisiologis: Bicep
Palu Refleks (BPR) (+/+)
menurun, TPR (+/+),
KPR (-/-), APR (-/-)
Reflex sensoris (-/-)
Kekuatan motorik:
555 555
555 555
44
(+) Normal, supel, nyeri tekan (-), (H15)
hepar/lien tidak teraba.
Ekstremitas : ekstremitas inferior
paraparesis (+)
Rangsang meningeal:
kaku kuduk (-). Laseq (-),
Kernig (-)
Refleks patologi:
Babinski (-/-), Chaddock
(-/-), Openheim (-/-)
Refleks Fisiologis: Bicep
Palu Refleks (BPR) (+/+)
menurun, TPR (+/+),
KPR (-/-), APR (-/-)
Reflex sensoris (-/-)
Kekuatan motorik:
555 555
555 555
45
(+) Normal, supel, nyeri tekan (-),
hepar/lien tidak teraba.
Ekstremitas : ekstremitas inferior
paraparesis (+)
Rangsang meningeal:
kaku kuduk (-). Laseq (-),
Kernig (-)
Refleks patologi:
Babinski (-/-), Chaddock
(-/-), Openheim (-/-)
Refleks Fisiologis: Bicep
Palu Refleks (BPR) (+/+)
menurun, TPR (+/+),
KPR (-/-), APR (-/-)
Reflex sensoris (-/-)
Kekuatan motorik:
555 555
555 555
46
Abdomen : Tampak datar, bising usus
(+) Normal, supel, nyeri tekan (-),
hepar/lien tidak teraba.
Ekstremitas : ekstremitas inferior
paraparesis (+)
Rangsang meningeal:
kaku kuduk (-). Laseq (-),
Kernig (-)
Refleks patologi:
Babinski (-/-), Chaddock
(-/-), Openheim (-/-)
Refleks Fisiologis: Bicep
Palu Refleks (BPR) (+/+)
menurun, TPR (+/+),
KPR (-/-), APR (-/-)
Reflex sensoris (-/-)
Kekuatan motorik:
555 555
555 555
47
Abdomen : Tampak datar, bising usus
(+) Normal, supel, nyeri tekan (-),
hepar/lien tidak teraba.
Ekstremitas : ekstremitas inferior
paraparesis (+)
Rangsang meningeal:
kaku kuduk (-). Laseq (-),
Kernig (-)
Refleks patologi:
Babinski (-/-), Chaddock
(-/-), Openheim (-/-)
Refleks Fisiologis: Bicep
Palu Refleks (BPR) (+/+)
menurun, TPR (+/+),
KPR (-/-), APR (-/-)
Reflex sensoris (-/-)
Kekuatan motorik:
555 555
555 555
3.11. Prognosis
pada pasien ini untuk quo ad vitam: bonam, quo ad functionam et
sanationam: dubia ad sanam
48
BAB IV
PEMBAHASAN
49
sepanjang segmen-segmen medula spinalis yang sesuai. Mesing-masing radix
saraf memiliki sebuah ganglion radix posterior yaitu sel-sel yang membentuk
serabut saraf pusat dan tepi.
Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk menemukan
tempat kerusakan saraf saraf spinalis. Karena kesakitan terbatas dermatom adalah
gejala bukan penyebab dari dari masalah yang mendasari, operasi tidak boleh
sekalipun ditentukan oleh rasa sakit. Sakit di daerah dermatom mengindikasikan
kekurangan oksigen ke saraf seperti yang terjadi dalam peradangan di suatu
tempat di sepanjang jalur saraf.
Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan meliputi pemeriksaan
laboratorium darah dan pemeriksaan radiologis. Dianjurkan melakukan
pemeriksaan 3 posisi standar (anteroposterior, lateral, odontoid) untuk vertebra
servikal, dan posisi AP dan lateral untuk vertebra thorakal dan lumbal. Pada
kasus-kasus yang tidak menunjukkan kelainan radiologis, pemeriksaan lanjutan
dengan CT Scan dan MRI sangat dianjurkan. Magnetic Resonance Imaging
merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk mendeteksi lesi di medula
spinalis akibat cedera/trauma.
Tatalaksana
Cedera pada tulang dan saraf spinalis sering terjadi bersamaan sehingga
terapi keduanya juga harus bersamaan untuk memperoleh hasil yang terbaik.
Transeksi anatomikal dari medula spinalis hampir tidak pernah terjadi pada cedera
medula spinalis pada manusia. Oleh karena itu, penting sekali untuk melindungi
jaringan spinal yang masih bertahan. Pertama, didapatkan ada riwayat cedera.
Kedua, dilakukan perawatan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut (cedera
sekunder) dan mendeteksi fungsi neurologik yang memburuk sehingga dapat
dilakukan tindakan koreksi. Ketiga, pasien dirawat hingga kondisi optimal supaya
memungkinkan dilakukan perbaikan dan penyembuhan sistem saraf. Keempat,
evaluasi dan rehabilitasi pasien harus dilakukan secara aktif untuk
memaksimalkan fungsi yang masih bertahan meskipun jaringan saraf tidak
berfungsi. Prinsip tersebut harus disertai dengan meminimalisir biaya secara
ekonomi, sosial dan dan emosional dari cedera medula spinalis.2
50
Terapi pada cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk
meningkatkan dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien dengan
cedera medula spinalis komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali
normal. Lesi medula spinalis komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam
72 jam pertama, cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medula
spinalis tidak komplet cenderung memiliki prognosis yang lebih baik. Apabila
fungsi sensoris di bawah lesi masih ada, maka kemungkinan untuk kembali
berjalan adalah lebih dari 50%
Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk
cedera medula spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh National Institute
of Health di Amerika Serikat(11). Namun demikian penggunaannya sebagai terapi
utama cedera medula spinalis traumatika masih dikritisi banyak pihak dan belum
digunakan sebagai standar terapi. Kajian oleh Brakendalam Cochrane Library
menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis tinggi merupakan satu-satunya terapi
farmakologik yang terbukti efektif pada uji klinik tahap 3 sehingga dianjurkan
untuk digunakan sebagai terapi cedera medula spinalis traumatika.
Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan
pasien cedera medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training
pada pasien ini dikerjakan seawal mungkin. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk
mempertahankan ROM (Range of Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan
memperkuat fungsi otot-otot yang ada.
Pada kasus ini dilakukan tindakan Laminectomi dekompresi dan stabilisasi
untuk menjaga agar tidak terjadi kerusakan yang makin parah.
51
BAB V
PENUTUP
KESIMPULAN
52
DAFTAR PUSTAKA
53