PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Neuralgia atau nyeri seperti didefenisikan oleh International Association for
Study of Pain (IASP), adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang
tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial,
atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Dari defenisi tersebut,
nyeri terdiri atas dua komponen utama, yaitu komponen sensorik (fisik) dan
emosional (psikogenik). Nyeri bisa bervariasi berdasarkan waktu dan lamanya
berlangsung (transien, intermiten, atau persisten), intensitas (ringan, sedang dan
berat), kualitas (tajam, tumpul, dan terbakar), penjalarannya (superfisial, dalam,
lokal atau difus). Di samping itu nyeri pada umumnya memiliki komponen
kognitif dan emosional yang digambarkan sebagai penderitaan. Selain itu nyeri
juga dihubungkan dengan refleks motorik menghindar dan gangguan otonom
yang oleh Woolf (2004) disebut sebagai pengalaman nyeri.
Pada dasarnya susunan saraf terdiri dari sel-sel spesifik yang berfungsi
menerima rangsangan sensorik dan meneruskannya ke organ-organ efektor, baik
muskular maupun kelenjar. Stimulus yang diterima baik dari luar maupun dari
dalam tubuh dihubungkan di dalam susunan saraf. Saraf-saraf ini mempunyai
spesifikasi yang tertentu sehingga ia mampu menerima rangsangan yang khusus.
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas
dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial
merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri
(nosireceptor) ada yang bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf
perifer.
Untuk berbicara lebih lanjut tentang neuralgia (nyeri pada daerah distribusi
saraf), harus diketahui terlebih dahulu tentang kerja saraf yang membawa
rangsangan nyeri ini. Sinyal nyeri dalam tubuh kita dibawa oleh beberapa serabut
saraf yang kecil yaitu serabut saraf tipe A-delta dan tipe C. Serabut saraf tipeAdelta (serabut tebal) berdiameter 1-4 , dengan kecepatan 5-15 m/s sedangkan
serabut tipe C (serabut halus) berdiameter lebih kecil sebesar 0,2-1,0 dan
membawa stimulus dengan kecepatan 0,2-2,0 m/s. Ini bermakna, serabut tipe A
lebih besar dan mampu menghantar stimulus dengan kecepatan yang lebih tinggi.
Stimulus yang dihantar oleh kedua serabut saraf ini juga memberi sensasi nyeri
yang berbeda. Serabut saraf tipe A membawa nyeri tajam, tusuk dan selintas
sedangkan serabut saraf tipe C membawa nyeri lambat dengan rasa terbakar dan
berkepanjangan.
Antara kerusakan jaringan sebagai sumber rangsang nyeri, sampai dirasakan
sebagai persepsi nyeri, terdapat suatu rangkaian proses elektro fisiologik yang
secara kolektif disebut nosisepsi (nociception). Ada empat proses yank jelas yang
terjadi pada suatu nosisepti, yakni:
1. Proses Transduksi (transduction), merupakan proses di mana suatu
rangsang nyeri (noxious stimuli) diubah menjadi suatu aktifitas
listrik, yang akan diterima oleh ujung-ujung saraf (nerve endings).
Rangsangan ini dapat berupa rangsang fisik, suhu, ataupun kimia,
2. Proses transmisi (transmission), dimaksudkan sebagai perambatan
rangsang melalui saraf sensorik menyusul proses transduksi.
3. Proses Modulasi (nodulation), adalah proses dimana terjadi interaksi
antara sistem analgesik endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke
kornu posterior. Jadi merupakan proses desenden yang dikontrol oleh
otak seseorang. Analgesik endogen ini meliputi endorfin, serotonin,
dan noradrenalin yang memiliki kemampuan menekan asupan nyeri
pada kornu posterior. Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai
pintu gerbang yang dapat tertutup atau terbuka dalam menyalurkan
asupan nyeri. Peristiwa terbuka dan menyalurkan asupan nyeri.
Peristiwa terbuka dan tertutupnya pintu gerbang tersebut diperankan
oleh sistem analgesik endogen di atas. Proses nodulasi inilah yang
menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat pribadi dan subjektif
pada setiap orang. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang
budaya, pendidikan, atensi, serta makna atau arti dari suatu rangsang.
4. Persepsi (perception), adalah hasil akhir dari proses interaksi yang
kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi,
dengan
patologi
baik
neuropatik
maupun
nosiseptif
dan
Nyeri neuropatik yaang didefenisikan sebagai nyeri akibat lesi jaringan saraf
baik perifer maupun sentral bisa diakibatkan oleh beberapa penyebab seperti
amputasi, toksis (akibat khemotrapi) metabolik (diabetik neuropati) atau juga
infeksi misalnya herpes zoster pada neuralgia pasca herpes dan lain-lain. Nyeri
pada neuropatik bisa muncul spontan (tanpa stimulus) maupun dengan stimulus
atau juga kombinasi.
Nyeri neeuropatik juga disebut sebagai nyeri kronik berbeda dengan nyeri
akut atau nosiseptif dalam hal etiologi, patofisiologi, diaagnosis dan terapi. Nyeri
akut adalah nyeri yang sifatnya selflimiting dan dianggap sebagai proteksi
biologik melalui signal nyeri pada proses kerusakan jaringan. Nyeri pada tipe akut
merupakan simptom akibat kerusakan jaringan itu sendiri dan berlokasi disekitar
kerusakan jaringan dan mempunyai efek psikologis sangat minimal dibanding
dengan nyeri kronik. Nyeri ini dipicu oleh keberadaan neurotransmiter sebagai
reaksi stimulasi terhadap reseptor serabut alfa-delta dan C polimodal yang
berlokasi dikulit, tulang, jaringan ikat otot dan organ viser. Stimulus ini bisa
berupa mekanik, kimia, dan termis, demikian juga infeksi dan tumor. Reaksi
stimulus ini berakibat pada sekresi neurotransmiter seperti prostaglandin,
histamin, serotonin, substansi P, juga somatostatin (SS) cholecytokinin (CCK),
vasoactive intestinaal peptide (VIP), calcitoningenenrelated peptide (CGRP) dan
lain sebagainya. Nyeri neuropatik adalah non-self-limiting dan nyeri yang dialami
bukan bersifat sebagai protektif biologis namun adalah nyeri yang berlangsung
dalam proses patologi penyakit itu sendiri. Nyeri bisa bertahan beberapa lama
yakni bulan sampai tahun sesudah cedera sembuh sehingga juga berdaampak luas
dalam strategi pengobatan termasuk terapi gangguan psikologik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. defenisi
Neuralgia post herpetik (PHN) merupakan komplikasi yang serius dari
herpes zooster yang sering terjadi pada orang tua. Neuralgia ini dikarakteristikan
sebagai nyeri seperti terbakar, teriris, atau nyeri disetetik yang bertahan selama
lisis sel sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama
Lipschutz inclusion body. Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses
peradangan, nekrosis hemoragik, dan hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf
perifer dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan dapat
menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis. Proses
perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf.
Beberapa perubahan patologi yang dapat ditemukan pada infeksi virus
varisella zoster.
1.
Reaksi inflamatorik pada beberapa unilateral ganglion sensorik
di saraf spinal atau saraf kranial sehingga terjadi nekrosis
2.
3.
ganglionnya.
Gambaran poliomielitis yng mirip dengan akut anterior
poliomielitis,
yang
dapat
dibedaakan
dengan
lokalisasi
gaanglionn.
Gambaran leptomeningitis ringan yang terbatas pada segmen
kecil.
Mereka
tergolong
dalam serabut
halus
yang
ringan/normal
(allodinia),
rasa
gatal-gatal
yang
tidak
serangan kecil dan besar. Orang sakit dengan keluhan sakit kepala
dibelakang atau diatas telinga dan tidak enak badan. Tetapi bila penderita
datang sebelum gelembung-gelembung herpes timbul, untuk meramalkan
bahwa nanti akan muncul herpes adalah sulit sekali. Bedanya dengan
neuralgia trigeminus idiopatik ialah adanya gejala defisit sensorik. Dan
fenomena paradoksal inilah yang menjadi ciri khas neuralgia post
herpetik yaitu anastesia pada tempat-tempat bekas herpes tetapi pada
timbulnya serangan neuralgia, justru tempat-tempat bekas herpes yang
anastetik itu yang dirasakan sebagai tempat yang paling nyeri. Neuralgia
post herpetik sering terjadi di wajah dan kepala. Jika terdapat di dahi
dinamakan neuralgia
12
temperatur.
Menurut Fields, terdapat dua tipe penilaian terhadap derajat
dan tipe penilaian terhadap derajat dan luasnya gangguan sensorik
pada pasien neuralgia paska herpetika. Fase iritasi, drama gangguan
sensorik (allodinia hilangnya sensorik) terbatas pada lesi kulit dan
fase deaferentasi dimana gangguan sensorik meluas dari batas lesi
kulit. Pada fase iritasi, penggunaan terapi anastetik lokal intra
dermal lebih berguna dibandingkan dengan tipe deaferentasi.
Komplikasi lain yang dapat terjadi pada herpes zoster
adalah: lesi herpes zoster yang meluas ke seluruh tubuh (biasanya
terjadi pada penderita dengan immunodefisiensi), ensefalitis,
hepatitis, pneumonitis.
2.8. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Pemeriksaan neurologis pada nervus trigeminus dan
pemeriksaan neurologis lainnya
2. Elektromiografi (EMG) untuk melihat aktivitas elektrik
pada nervus
3. Cairan cerebrospinal (CSF) abnormal dalam 61% kasus
4. Pleossitosis ditemui pada 46% kasus, peningkatan protein
26% dan DNA VZV 22% kasus.
5. Smear vesikel dan PCR untuk konfirmasi infeksi
6. Kultur viral atau pewarnaan immunofluorescence bisa
digunakan untuk membedakan herpes simpleks dengan
herpes zoster.
7. Mengukur antibodi terhadap herpes zoster. Peningkatan 4
kali lipat mendukung diagnosis herpes zoster subklinis.
2.9. Tatalaksana
Secara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus
penderita dengan neuralgia paska herpetika dibagi menjadi dua jenis,
yaitu terapi farmakologis dan terapi non farmakologis.
Terapi farmakologis
a. Antivirus
Intensitas dan durasi erupsi kutaneus serta nyeri
akut pada herpes zoster yang timbul akibat dari replikasi
14
virus
dapat
dikurangi
dengan
pemberian
asiklovir,
maksimal
60
mg/hari
1,22
Oxycodone
transmisi
glutaminergik
yang
bersifat
GABA namun
sehingga
mengurangi
influks
kalsium
dan
16
Amitriptilin
menurunkan
reuptake
saraf
baik
17
pencegahan
timbulnya
neuralgia
paska
herpetika.
cepat.
Prognosis
Umumnya prognosisnya baik, dimana ini bergantung pada
tindakan perawatan sejak dini, pada umumnya pasien dengan
neuralgia post herpetika respon terhadap analgesik seperti
antidepressan trisiklik. Jika terdapat pasien dengan nyeri yaang
menetap dan lama dan tidak respon terhadap terapi medikasi maka
diperlukan pencarian lanjutan untuk mencari terapi yang sama.
Prognosis ad vitam dikatakn bonam karena neuralgia paska
herpetik tidak menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi
bersifat lokal dan hanya mengganggu fungsi sensorik. Prognosis ad
functionam dikatakan bonam karena setelah terapi didapatkan
perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa.
Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun resiko
berulangnya HZ masih mungkin terjadi sebagaimana disebutkn dari
literatur, selama pasien mempunyai daya tahan tubuh baik
kemungkinan timbul kembali kecil.
19
BAB III
KESIMPULAN
Neuralgia post herpetik adalah nyeri neuropatik yang menetap setelah
onset ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster). Biasanya di dahului
oleh adanya riwayat menderita vricella pada masa kanak-kanak. Ketika telah
berumur tua, terutama pada usia 50 tahun ke atas, atau dalam keadaan
imunokompromise maka virus herpes ini akan mengalami reaktivasi. Manifestasi
klinis yang sering dijumpai adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesia yang
daoat disertai dengan rasa sakit (disestesia), hyperestesia yang merupakan respon
nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik.
Penatalaksaan penyakit ini dapat dilakukan dengan terapi farmakologis dan non
farmakologis. Pemeriksaan penunjang pada penyakit ini tidak terlalu berarti,
cukup dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dignosa penyakit ini sudah dapat
ditegakkan. Prognosisnya tidak buruk, pada umumnya dapat sembuh dengan
terapi yang teratur.
20
DAFTAR PUSTAKA
21