Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Neuralgia atau nyeri seperti didefenisikan oleh International Association for
Study of Pain (IASP), adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang
tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial,
atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Dari defenisi tersebut,
nyeri terdiri atas dua komponen utama, yaitu komponen sensorik (fisik) dan
emosional (psikogenik). Nyeri bisa bervariasi berdasarkan waktu dan lamanya
berlangsung (transien, intermiten, atau persisten), intensitas (ringan, sedang dan
berat), kualitas (tajam, tumpul, dan terbakar), penjalarannya (superfisial, dalam,
lokal atau difus). Di samping itu nyeri pada umumnya memiliki komponen
kognitif dan emosional yang digambarkan sebagai penderitaan. Selain itu nyeri
juga dihubungkan dengan refleks motorik menghindar dan gangguan otonom
yang oleh Woolf (2004) disebut sebagai pengalaman nyeri.
Pada dasarnya susunan saraf terdiri dari sel-sel spesifik yang berfungsi
menerima rangsangan sensorik dan meneruskannya ke organ-organ efektor, baik
muskular maupun kelenjar. Stimulus yang diterima baik dari luar maupun dari
dalam tubuh dihubungkan di dalam susunan saraf. Saraf-saraf ini mempunyai
spesifikasi yang tertentu sehingga ia mampu menerima rangsangan yang khusus.
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas
dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial
merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri
(nosireceptor) ada yang bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf
perifer.
Untuk berbicara lebih lanjut tentang neuralgia (nyeri pada daerah distribusi
saraf), harus diketahui terlebih dahulu tentang kerja saraf yang membawa
rangsangan nyeri ini. Sinyal nyeri dalam tubuh kita dibawa oleh beberapa serabut
saraf yang kecil yaitu serabut saraf tipe A-delta dan tipe C. Serabut saraf tipeAdelta (serabut tebal) berdiameter 1-4 , dengan kecepatan 5-15 m/s sedangkan

serabut tipe C (serabut halus) berdiameter lebih kecil sebesar 0,2-1,0 dan
membawa stimulus dengan kecepatan 0,2-2,0 m/s. Ini bermakna, serabut tipe A
lebih besar dan mampu menghantar stimulus dengan kecepatan yang lebih tinggi.
Stimulus yang dihantar oleh kedua serabut saraf ini juga memberi sensasi nyeri
yang berbeda. Serabut saraf tipe A membawa nyeri tajam, tusuk dan selintas
sedangkan serabut saraf tipe C membawa nyeri lambat dengan rasa terbakar dan
berkepanjangan.
Antara kerusakan jaringan sebagai sumber rangsang nyeri, sampai dirasakan
sebagai persepsi nyeri, terdapat suatu rangkaian proses elektro fisiologik yang
secara kolektif disebut nosisepsi (nociception). Ada empat proses yank jelas yang
terjadi pada suatu nosisepti, yakni:
1. Proses Transduksi (transduction), merupakan proses di mana suatu
rangsang nyeri (noxious stimuli) diubah menjadi suatu aktifitas
listrik, yang akan diterima oleh ujung-ujung saraf (nerve endings).
Rangsangan ini dapat berupa rangsang fisik, suhu, ataupun kimia,
2. Proses transmisi (transmission), dimaksudkan sebagai perambatan
rangsang melalui saraf sensorik menyusul proses transduksi.
3. Proses Modulasi (nodulation), adalah proses dimana terjadi interaksi
antara sistem analgesik endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke
kornu posterior. Jadi merupakan proses desenden yang dikontrol oleh
otak seseorang. Analgesik endogen ini meliputi endorfin, serotonin,
dan noradrenalin yang memiliki kemampuan menekan asupan nyeri
pada kornu posterior. Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai
pintu gerbang yang dapat tertutup atau terbuka dalam menyalurkan
asupan nyeri. Peristiwa terbuka dan menyalurkan asupan nyeri.
Peristiwa terbuka dan tertutupnya pintu gerbang tersebut diperankan
oleh sistem analgesik endogen di atas. Proses nodulasi inilah yang
menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat pribadi dan subjektif
pada setiap orang. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang
budaya, pendidikan, atensi, serta makna atau arti dari suatu rangsang.
4. Persepsi (perception), adalah hasil akhir dari proses interaksi yang
kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi,

dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan


yang subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.
Susunan saraf, baik di pusat atau tulang belakang dapat terjangkit nyeri
yang datang dan pergi. Nyeri diinformasikan oleh perjuangan saraf yang disebut
nosiseptor yang memindai rangsangan gangguan pada tubuh. Dalam tubuh kita
sendiri terdapat banyak perjuangan saraf tersebut, dan kesemua nosiseptor
memiliki tugas yang berbeda. Misalnya, merespon rasa terbakar, panas, teriris,
infeksi, perubahan struktur kimia, tekanan, dan sensasi lainnya. Nosiseptor
menyampaikan pesan ke serabut saraf tulang belakang dan otak pada hitungan
kecepatan cahaya.
Pesan nyeri yang diterima oleh otak dipilih menjadi dua jenis, pertama nyeri
akut yang umumnya disebabkan oleh trauma atau perlukaan yang disebabkan
gangguan fisik. Sementara nyeri kronis dapat disebabkan oleh gangguan dalam
sistem persarafan ini sendiri. Sehingga meski pesan telah diteruskan ke otak,
namun penyebab gangguan pada persarafan tak mudah untuk diketahui sebagai
sumber nyeri. Nyeri kronis ini dapat pula berasal sebagai tambahan nyeri yang
dipicu oleh keberadaan penyakit utama seperti pada diabetes.
Saat ini nyeri tidak lagi dianggap sebagai suatu gejala tetapi merupakan
suatu penyakit atau sebagai suatu proses yang sedang merusak sehingga
dibutuhkan suatu penanganan dini dan agresif. Proses nyeri merupakan suatu
proses fisiologik yang bersifat protektif untuk menyelamatkan diri menghadapi
stimulus noksious.
Secara patologik nyeri dikelompokkan pada nyeri adaptif atau nyeri
nosiseptif, atau nyeri akut dan nyeri maladaptif sebagai nyeri kronik juga disebut
sebagai nyeri neuropatik serta nyeri psikologik atau nyeri idiopatik. Nyeri akut
atau nosiseptif yang diakibatkan oleh kerusakan jaringan, merupakan salah satu
sinyal untuk mempercepat perbaikan diri jaringan yang rusak. Sedangkan nyeri
neuropatik disebut sebagai nyeri fungsional merupakan proses sensorik abnormal
yang disebut juga sebagai gangguan sistem alarm. Nyeri idiopatik yang tidak
berhubungan

dengan

patologi

baik

neuropatik

maupun

nosiseptif

dan

memunculkan gejala gangguan psikologik memnuhi somatoform seperti stres,


depresi, ansietas dan sebgainya.

Nyeri neuropatik yaang didefenisikan sebagai nyeri akibat lesi jaringan saraf
baik perifer maupun sentral bisa diakibatkan oleh beberapa penyebab seperti
amputasi, toksis (akibat khemotrapi) metabolik (diabetik neuropati) atau juga
infeksi misalnya herpes zoster pada neuralgia pasca herpes dan lain-lain. Nyeri
pada neuropatik bisa muncul spontan (tanpa stimulus) maupun dengan stimulus
atau juga kombinasi.
Nyeri neeuropatik juga disebut sebagai nyeri kronik berbeda dengan nyeri
akut atau nosiseptif dalam hal etiologi, patofisiologi, diaagnosis dan terapi. Nyeri
akut adalah nyeri yang sifatnya selflimiting dan dianggap sebagai proteksi
biologik melalui signal nyeri pada proses kerusakan jaringan. Nyeri pada tipe akut
merupakan simptom akibat kerusakan jaringan itu sendiri dan berlokasi disekitar
kerusakan jaringan dan mempunyai efek psikologis sangat minimal dibanding
dengan nyeri kronik. Nyeri ini dipicu oleh keberadaan neurotransmiter sebagai
reaksi stimulasi terhadap reseptor serabut alfa-delta dan C polimodal yang
berlokasi dikulit, tulang, jaringan ikat otot dan organ viser. Stimulus ini bisa
berupa mekanik, kimia, dan termis, demikian juga infeksi dan tumor. Reaksi
stimulus ini berakibat pada sekresi neurotransmiter seperti prostaglandin,
histamin, serotonin, substansi P, juga somatostatin (SS) cholecytokinin (CCK),
vasoactive intestinaal peptide (VIP), calcitoningenenrelated peptide (CGRP) dan
lain sebagainya. Nyeri neuropatik adalah non-self-limiting dan nyeri yang dialami
bukan bersifat sebagai protektif biologis namun adalah nyeri yang berlangsung
dalam proses patologi penyakit itu sendiri. Nyeri bisa bertahan beberapa lama
yakni bulan sampai tahun sesudah cedera sembuh sehingga juga berdaampak luas
dalam strategi pengobatan termasuk terapi gangguan psikologik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. defenisi
Neuralgia post herpetik (PHN) merupakan komplikasi yang serius dari
herpes zooster yang sering terjadi pada orang tua. Neuralgia ini dikarakteristikan
sebagai nyeri seperti terbakar, teriris, atau nyeri disetetik yang bertahan selama

berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan. Burgoon, 1957, mendefenisikan


neuralgia paska herpetika sebagai nyeri yang menetap setelah fase akut infeksi.
Rogers, 1981, mendefenisikan sebagai nyeri yang menetap satu bulan setelah
onset ruam herpes zooster. Tahun 1989, Rowbotham mendefenisikan sebagai
nyeri yang menetap atau berulang setidaknya selama tiga bulan setelah
penyembuhan ruam herpes zoster. Dworkin, 1994, mendefenisikan neuralgia
paska herpetika sebagai nyeri neuropatik yang menetap setelah onset ruam (atau 3
bulan setelah penyembuhan herpes zoster). Dari berbagai defenisi yang paling
tersering digunakan adalah defenisi menurut Dworkin. Sesuai dengan defenisi
sebelumnya maka The Internatinal Association for Study of Pain (IASP)
menggolongkan neuralgia post herpetika sebagai nyeri kronik yaitu nyeri yang
timbul setelah penyembuhan usai atau nyeri yang berlangsung lebih dari tiga
bulan tanpa adanya malignitas.
Neuralgia pascaherpetik (NPH) merupakan sindrom nyeri neuropatik
yang sangat mengganggu akibat innfeksi Herpes zoster. NPH biasanya terjadi
pada populasi usia pertengahan dan usia lanjut serta menetap hingga bertahuntahun setelah penyembuhan erupsi (cacar). Sejumlah pendekatan dilakukan untuk
mengatasi nyeri akibat zoster, menghambat progresivitasnya menuju NPH dan
mengatasi NPH. Beberapa dari pendekatan ini terbukti efektif namun NPH masih
saja merupakan sumber rasa frustasi bagi pasien dan dokter.
NPH umumnya didefenisikan sebagai nyeri yang timbul lebih dari 30 hari
setelah onset (gejala awal) erupsi zoster terjadi. Nyeri umumnya diekspresikan
sebagai sensai terbakar (burning) atau tertusuk-tusuk (shooting) atau gatal
(itching), bahkan yang lebih berat lagi terjadi allodinia (rabaan atau hembusan
angin dirasakan sebagai nyeri) dan hiperalgesia (sensasi nyeri yang dirasakan
berlipat ganda). Pada pasien dengan NPH, biasanya terjadi perubahan fungsi
sensorik pada area yang terkena. Pada satu penelitian, hampir seluruh penderita
memiliki area erupsi yang sangat sensitif terhadap nyeri, dengan sensasi abnormal
terhadap sentuhan ringan, nyeri atau temperatur pada area kulit yang terkena .
nyeri umumnya dipresipitasi oleh gerakan (allodinia mekanik) atau perubahan
suhu (allodinia termal). Sementara pada penelitian lainnya dinyatakan bahwa
derajat defisit sensorik berhubungan dengan beratnya nyeri. Selain itu, pasien
5

dengan NPH lebih cendrung mengalami perubahan sensorik dibanding penderita


dengan zoster yang sembuh tanpa neuralgia.
Nyeri yang berhubungan dengan zoster akut dan neuralgia postherpetik
merupakan tipe nyeri neuropatik akibat kerusakan pada saraf tepi dan perubahan
proses signal sistem saraf pusat. Aktivasi simpatis (sistem saraf otonom) yang
intens pada area kulit yang terlibat merupakan akibat dari proses inflamasi
(peradangan) akut yang menyebabkan vasokontriksi (penciutan pembuluh darah),
trombosis intravaskuler (penyumbatan pembuluh darah) dari saraf tersebut. Paska
cedera saraf, terjadi pelepasan impuls saraf tepi secara spontan, ambang aktivasi
yang rendah dan respon berlebih terhadap rangsangan. Pertumbuhan akson (serat
saraf) baru setelah cedera tersebut membentuk saraf baru yang jutru memiliki
kecendrungan memprovokasi pelepasan impuls berlebih, aktivitas perifer (saraf
tepi) yang berlebihan tersebut diduga sebagai pencetus perubahan sifat saraf,
sebagai akibatnya, terjadi respon sistem saraf pusat yang berlebihan terhadap
segala rangsang. Perubahan yang terjadi ini sangat kompleks sehingga mungkin
tidak dapat dilatasi dengan satu jenis terapi saja.
2.2. Etiologi
Neuralgia post herpetik disebabkan oleh infeksi virus herpes zooster.
Virus varisella zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang
menginfeksi manusia. Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur
virus terdiri dari sebuah icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung
lipid. Ditengahnya terdapat DNA untai ganda. Virus varisella zoster memiliki
diameter sekitar 180-200 nm. Herpes Zooster adalah infeksi virus yang terjadi
senantiasa pada anak-anak yang biasa disebut dengan varicella (chicken pox).
Tipe virus yang bersifat patogen pada manusia adalah herpes virus-3 (HHV_3),
biasa juga disebut dengan varisella zoster virus (VZV). Virus ini berdiam di
ganglion posterior sususan saraf tepi dan ganglion kranialis terutama nervus
kranialis V (trigeminus) pada ganglion gasseri cabang oftalmik dan nervus
kranialis VII (fasialis) pada ganglion genikulatum.
Herpes zoster merupakaan infeksi virus (yang sifatnya trlokalisir) dari
reaktivasi infeksi virus varicella-zoster endogen (telah ada sebelumnya dalam
tubuh seseorang). Virus ini bersifat laten pada saraf wajah dan kepala (saraf

kranialis) setelah serangan varicella (cacar air) sebelumnya. Reaktivasi virus


sering terjadi setelah infeksi primer, namun bila sistem kekebalan tubuh mampu
meredamnya maka tidak nampak gejala klinis. Sekitar 90% orang dewasa di
Amerika Serikat pada pemeriksaan laboratorium serologik (diambil dari darah)
ditemukan bukti adanya infeksi varicella-zoster sehingga menempatkan mereka
pada kelompok resiko tinggi herpes zoster. Angka insidens zoster dalam
komunitas diperkirakan mencapai 1,2 hingga 3,4 per-1000 orang tiap tahunnya.
Dari angka tersebut, diperkirakan insidennya bisa mencapai lebih dari 500.000
kasus tiap tahun dan sekitar 9-24 % pasien-pasien ini akan mengalami NPH.
Peningkatan usia nampaknya menjadi kunci faktor resiko perkembangan herpes
zoster, insidensnya padaa lanjut usia (diatas 60-70 tahun) mencapai 10 kasus per1000 orang pertahun, sementara NPH juga mencapai 50% pada pasien-pasien ini
dan mengalami nyeri yang berkepanjangan (dalam hitungan bulan bahkan tahun).
NPH sendiri menimbulkan masalah baru akibat disability, depresi dan terisolasi
secara sosial serta menurunkan kualitas hidup. Sekali NPH terjadi, akan sangat
sulit melakukan penatalaksanaan secara efektif.
2.3. Patologi dan patogenesis
Infeksi primer virus varisella zoster dikenal sebagai varisella ataau cacar
air. Pajanan pertama biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus ini masuk ke
tubuh melalui system respiratorik. Pada nasofaring, virus varisella zoster
bereplikasi dan menyebar melalui aliran darah sehingga terjadi viremia dengan
manifestasi lesi kulit yang tersebar diseluruh tubuh. Periode inkubasi sekitar14-16
hari setelah paparan awal. Setelah infeksi primer dilalui, virus ini bersarang di
ganglia akar dorsal, hidup secara dorman selama bertahun-tahun. Patogenesis
terjadinya herpess zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisella zoster
yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam
pencegahan pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan mekanisme
tidak diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan bertambahnya
usia atau status imunokompromise dihubungkan dengan reaktivasi klinis. Saat
terjadi reaktivasi, virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit
terjadi proses peradangan dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel
epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan
7

lisis sel sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama
Lipschutz inclusion body. Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses
peradangan, nekrosis hemoragik, dan hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf
perifer dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan dapat
menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis. Proses
perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf.
Beberapa perubahan patologi yang dapat ditemukan pada infeksi virus
varisella zoster.
1.
Reaksi inflamatorik pada beberapa unilateral ganglion sensorik
di saraf spinal atau saraf kranial sehingga terjadi nekrosis
2.

dengan atau tanpa tanda perdarahan.


Reaksi inflamatorik pada akar spinal dan saraf perifer beserta

3.

ganglionnya.
Gambaran poliomielitis yng mirip dengan akut anterior
poliomielitis,

yang

dapat

dibedaakan

dengan

lokalisasi

segmental, unilateral dan keterlibatan dorsal horn, akar dan


4.

gaanglionn.
Gambaran leptomeningitis ringan yang terbatas pada segmen

spinal, kranial dan akar saraf yang terlibat.


Virus herpes zoster kebanyakan memusnahkan sel-sel ganglion yang
berukuran besar. Yang luput dari maut dan tersisa adalah sel-sel
berukuran

kecil.

Mereka

tergolong

dalam serabut

halus

yang

menghantarkan impuls nyeri, yaitu serabut A-delta dan C. Sehingga


semua impuls yang masuk diterima oleh serabut penghantar nyeri. Selain
itu pada saraf perifer terjadi perlukaan mengakibatkan saraf perifer
tersebut memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah sehingga
menimbulkan hyperesthesia yaitu respon sensitifitas yang berlebihan
terhadap stimulus. Hal ini menunjukkan adanya kelainan pada proses
transduksi.
Penghantaran nyeri pada proses transmisi juga mengalami
gangguan. Hal ini diakibatkan oleh hilangnya impuls yang disalurkan
oleh serabut tebal maka semua impuls yang masih bisa disalurkan
kebanyakan oleh serabut halus. Akibatnya sumasi temporal tidak terjadi,

karena impuls yang seharusnya dihantarkan melalui serabut tebal


dihantarkan oleh serabut halus. Karena sebagian besar dari serabut tebal
sudah musnah, maka mayoritas dari serabut terdiri dari serabut halus.
Karena itu sampai temporal yang wajar hilang.
Dengan hilangnya sumasi temporal maka proses modulasi yang
terjadi pada kornu posterior tidak berjalan secara normal akibatnya tidak
terjadi proses antara sistem analgesik endogen dengan asupan nyeri yang
masuk ke kornu posterior. Kornu posterior adalah pintu gerbang untuk
membuka dan menutup jalur penghantaran nyeri. Hal ini dapat
mengakibatkan munculnya gejala hyperalgesia.
Maka dari itu impuls yang dipancarkan ke inti thalamus semuanya
tiba kira-kira pada waktu yang sama dan hampir semuanya telah
dihantarkan oleh serabut saraf yang merupakan serabut penghantar
impuls nyeri. Kedatangan impuls yang serentak dalam jumlah yang besar
dipersepsikan sebagai nyeri hebat yang sesuai dengan sifat neuralgia.
Sesuai dengan tipe pada penghantaran serabut saraf tipe A membawa
nyeri tajam, tusuk dan selintas sedangkan serabut saraf tipe C membawa
nyeri lambat dengan rasa terbakar dan berkepanjangan. Hal ini
mengakibatkan timbulnya allodinia, yaitu nyeri yang disebabkan oleh
stimulus normal (secara normal semestinya tidak menimbulkan nyeri).
Pada otopsi pasien yang pernah mengalami herpes zoster dan
neuralgia paska herpetika ditemukan atrofi kornu dorsalis, sedangkan
pada pasien yang mengalami herpes zoster tetapi tidak mengalami
neuralgia paska herpetika tidak ditemukan atrofi kornu dorsalis.
2.4. Epidemiologi
Kebanyakan data insidensi herpes zoster dan neuralgia paska
herpetika didapatkan dari data Eropa dan Amerika Serikat. Insidensinya
dari herpes zoster pada negara-negara tersebut bervariasi dari 1,3 sampai
4,8/1000 pasien/tahun, dan data ini meningkat dua sampai empat kali
lebih banyak pada individu dengan usia lebih dari 60 tahun. Data lain
menyatakan pada penderita imunokompeten yang berusia di bawah 20
tahun dilaporkan 0,4-1,6 kasus per 1000, sedangkan untuk usia di atas 80
tahun dilaporkan 4,5-11 kasus per 1000. Pada penderita imunodefisiensi
9

(HIV) atau anak-anak dengan leukimia dilaporkan 50-100 kali lebih


banyak dibandingkan kelompok sehat usia sama. Penelitian Choo 1997
melaporkan prevalensi terjadinya neuralgia paska herpetika setelah onset
ruam herpes zoster sejumlah 8 kasus/100 pasien dan 60 hari setelah onset
sekitar 4,5 kasus/100 pasien. Sehingga berdasarkan penelitian Choo,
diperkirakan angka terjadinya neuralgia paska herpetika sekitar 80.000
kasus pada 30 hari dan 45.000 kasus pada 60 hari per 1 juta kasus herpes
zoster di Amerik Serikat per tahunnya.
Sedangkan belum didapatkan angka insidensi Asia Australia dan
Amerika Selatan, tetapi presentasi klinis dan epidemiologi herpes zoster
di Asia, Australia dan Amerika Selatan mempunyai pola yang sama
dengan data dari Eropa dan Amerika Serikat. Pada herpes zoster akut
hampir 100% pasien mengalami nyeri, dan pada 10-70%nya mengalami
neuralgia paska herpetika. Nyeri lebih dari 1 tahun pada penderita berusia
lebih dari 70 tahun dilaporkan mencapai 48%.
2.5. Faktor resiko
Beberapa faktor resiko terjadinyaneuralgia paska herpetika adalah
meningkatnya usia, nyeri yang hebat pada fase akut herpes zoster dan
beratnya ruam HZ. Dikatakan bahwa ruam berat yang terjadi dalam 3
hari setelah onset herps zoster, 72% penderitnya mengalami neuralga
paska herpetika. Faktor resiko lain yang mempunyai peranan pula dalam
menimbulkan neuralgia paska herpetika adalah gangguan sistem
kekebalan tubuh, pasien dengan penyakit keganasan (leukimia, limfoma),
lama terjadinya ruam.
2.6. Manifestasi klinis
Tanda khas dari heerpes zoster pada fase prodromal adalah nyeri
dan parasthesia pada daerah dermatom yang terkena. Dworkin membagi
neuralgia post herpetik ke dalam tiga fase: 1. Fase akut: fase nyeri timbul
bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung <4 minggu, 2.
Fase subakut: fase nyeri menetap >30 hari setelah onset lesi kulit tetapi
<4 bulan, 3. Neuralgia post herpetik dimana nyeri menetap >4 bulan
setelah onset lesi kulit atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes
zoster.
10

Pada umumnya penderita dengan herpes zoster berkunjung ke


dokter ahli penyakit kulit oleh karena terdapatnya gelembung-gelembung
herpesnya. Keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala,
mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul
lesi makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan
dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikuler. Nyeri yang timbul
mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga
sentuhan ringaan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu
penderitanya. Setelah 35 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan
mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari tetapi biasanya
untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai bermingguminggu.
Penyakit ini dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan
sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan
hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat
mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood sehingga
nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun
jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau
beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yaang paling
sering dilaporkan adalaah nyeri seperti rasa terbakar, parestesia yang
dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan
respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atu nyeri seperti terkena/
tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokai antara lain dengan
stimulus

ringan/normal

(allodinia),

rasa

gatal-gatal

yang

tidak

tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang


yang berulang.
Pada masa gelembung-gelembung herpes menjadi kering, orang
sakit mulai menderita karena nyeri hebat yang dirasakan pada daerah
kulit yang terkena. Nyeri hebat itu bersifat neyralgik. Di mana nyeri ini
sangat panas dan tajam, sifat nyeri neuralgik ini menyerupai nyeri
neuralgik idiopatik, terutama dalam hal serangannya yaitu tiap serangan
muncul tiba-tiba dan tiap serangan terdiri dari sekelompok serangan11

serangan kecil dan besar. Orang sakit dengan keluhan sakit kepala
dibelakang atau diatas telinga dan tidak enak badan. Tetapi bila penderita
datang sebelum gelembung-gelembung herpes timbul, untuk meramalkan
bahwa nanti akan muncul herpes adalah sulit sekali. Bedanya dengan
neuralgia trigeminus idiopatik ialah adanya gejala defisit sensorik. Dan
fenomena paradoksal inilah yang menjadi ciri khas neuralgia post
herpetik yaitu anastesia pada tempat-tempat bekas herpes tetapi pada
timbulnya serangan neuralgia, justru tempat-tempat bekas herpes yang
anastetik itu yang dirasakan sebagai tempat yang paling nyeri. Neuralgia
post herpetik sering terjadi di wajah dan kepala. Jika terdapat di dahi
dinamakan neuralgia

postherpetikum oftalmikum dan yang di daun

teliga neuralgia postherpetikum otikum.


Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada heerpes zoster adalah
gejala prodromal rsa terbakar, gatal dengan derajaat ringan sampai
sedang pada kulit sesuai dengan dermatom yang terkena. Biasanya
keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah
tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi
mukopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan
dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular. Nyeri yang timbul
mempunyai intenssitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga
sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu
penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan
mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya
untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkn waktu sampai bermingguminggu. Intensitas dan durasi dari erupsi kulit oleh kaarena infeksi herpes
zoster dapat dikurangi dengan pemberian acyclovir(5x800mg/hari) atau
dengan fanciclovir atau valacyclovir. Manifestasi klinis neuralgia paska
herpetika adalah penyakit yang dapat sangat mengganggu penderitanya.
Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada
kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yaang
dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan

12

sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup


jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan
beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupssi kulit.
Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar,
parestesia yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesia),hiperestesia
yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri
seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara
lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gatal-gatal yang
tidak tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi
rangsang yang berulang.
2.7. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering terjadi pada kasus herpes zoster
adalah timbulnya neuralgia paska herpetika bukan merupakan kelanjutan
dari herpes zoster akut, tetapi merupakan penyakit yang berdiri sendiri
yang merupakan komplikasi herpes zoster. Neuralgia paska herpetika
merupakan suatu kondisi dimana

menetapnya nyeri di tempat lesi

walaupun lesi kulit sudah sembuh lama. Dworkin membagi neuralgia


paska herpetika ke dalam tiga fase:
Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi
kulit. Biasanya berlangsung <4 minggu
Fase subakut: fase nyeri menetap >30 hari setelah onset lesi
kulit tetapi < 4 bulan
Neuralgia paska herpetika: dimana nyeri menetap >4 bulan
setelah onset lesi kulit atau 3 bulan setelah penyembuhan
lesi herpes zoster. Nyeri digambarkan sebagai rasa seperti
terbakar, teriris tajam, rasa tertusuk-tusuk, rasa tersetrum di
sepanjang dermatom yang terkena/ terlibat. Didapatkan
pula gangguan allodinia dimana sentuhan ringan seperti
pada pakaian atau seprei tempat tidur menimbulkan rasa
nyeri tajam yang sangat mengganggu pasien. Gangguan
nyeri ini dapat mengganggu pasien dalam melakukan
akivitas sehari-hari seperti mandi atau saat berpakaian atau
saat tidur. Keluhan sensorik lain yang dapat timbul berupa
13

rasa baal daerah lesi,

sensitif terhadap perubahan

temperatur.
Menurut Fields, terdapat dua tipe penilaian terhadap derajat
dan tipe penilaian terhadap derajat dan luasnya gangguan sensorik
pada pasien neuralgia paska herpetika. Fase iritasi, drama gangguan
sensorik (allodinia hilangnya sensorik) terbatas pada lesi kulit dan
fase deaferentasi dimana gangguan sensorik meluas dari batas lesi
kulit. Pada fase iritasi, penggunaan terapi anastetik lokal intra
dermal lebih berguna dibandingkan dengan tipe deaferentasi.
Komplikasi lain yang dapat terjadi pada herpes zoster
adalah: lesi herpes zoster yang meluas ke seluruh tubuh (biasanya
terjadi pada penderita dengan immunodefisiensi), ensefalitis,
hepatitis, pneumonitis.
2.8. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Pemeriksaan neurologis pada nervus trigeminus dan
pemeriksaan neurologis lainnya
2. Elektromiografi (EMG) untuk melihat aktivitas elektrik
pada nervus
3. Cairan cerebrospinal (CSF) abnormal dalam 61% kasus
4. Pleossitosis ditemui pada 46% kasus, peningkatan protein
26% dan DNA VZV 22% kasus.
5. Smear vesikel dan PCR untuk konfirmasi infeksi
6. Kultur viral atau pewarnaan immunofluorescence bisa
digunakan untuk membedakan herpes simpleks dengan
herpes zoster.
7. Mengukur antibodi terhadap herpes zoster. Peningkatan 4
kali lipat mendukung diagnosis herpes zoster subklinis.
2.9. Tatalaksana
Secara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus
penderita dengan neuralgia paska herpetika dibagi menjadi dua jenis,
yaitu terapi farmakologis dan terapi non farmakologis.
Terapi farmakologis
a. Antivirus
Intensitas dan durasi erupsi kutaneus serta nyeri
akut pada herpes zoster yang timbul akibat dari replikasi

14

virus

dapat

dikurangi

dengan

pemberian

asiklovir,

valcyclovir, famcyclovir. Asiklovir diberikan dengan dosis


anjuran 5x800 mg/hari selama 7-10 hari diberikan pada 3
hari pertama sejak lesi muncul. Efek samping yang dapat
ditemukan dalam penggunaan obat ini adalah, mual,
muntah, sakit kepala, diare, pusing, lemah, anoreksia,
edema, dan radang tenggorokan. Valasiklovir diberikan
dengan dosis anjurn 1 mg/hari selama 7hari secara oral.
Efek samping yang dapat ditemukan dalam pengunaan obat
ini adalah mual, muntah, sakit kepala dan nyeri perut.
Famsiklovir diberikan dengan dosis anjuran 500 mg/hari
selama 7 hari. Efek samping dalam penggunaan obat ini
adalah mual, muntah, sakit kepala, pusing,nyeri.
b. Analgesik
Terapi sistemik umumnya bersifat simptomatik,
untuk nyerinya dibrikan analgesik. Jika disertai infeksi
sekunder diberikan antibiotik. Analgesik non opioid seperti
NSAID dan paracetamol mempunyai efek analgesik perifer
maupun sentral walaupun efektifitasnya kecil terhadap
nyeri neuropatik. Sedangkan penggunaan analgesik opioid
memberikan efektifitas llebih baik. Tramadol telah terbukti
efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja sebagai
agonis non-opioid yang juga menghambat reuptake
norepinefrin dan serotonin. Pada sebuah penelitian, jika
dosis tramadol dititrasi hingga maksimum 400 mg/hari
dibagi dalam 4 dosis. Namun, efek pada sistem saraf pusat
dapat menimbulkan terjadinya amnesia pada orang tua. Hal
yang harus diperhatikan bahwa pemberian opiat kuat lebih
baik dikhususkan pada kasus nyeri yang berat atau refrakter
oleh karena efek toleransi dann takifilaksisnya. Dosis yang
digunakan

maksimal

60

mg/hari

1,22

Oxycodone

berdasarkan penelitian menunjukkan efek yang lebih baik


15

dibandingkan plasebo dalam meredakan nyeri, allodinia,


gangguan tidur, dan kecacatan.
c. Anti epilepsi
Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan
1) memodulasi voltage-gated sodium channel dan kanal
kalsium, 2) meningkatkan efek inhibisi GABA, dan 3)
menghambat

transmisi

glutaminergik

yang

bersifat

eksitatorik. Gabapentin bekerja pada akson terminal dengan


memodulasi masuknya kalsium pada kanal kalsium,
sehingga terjadi hambatan. Karena bekerja secara sentral,
gabapentin dapat menyebabkan kelelahan, konfusi, dan
somnolen. Dosis yang dianjurkan sebessar 1800-3600 mg/d.
Karbamazepin, laamotrigine bekerja pada akson terminal
dengan memblokade kanal sodium, sehingga terjadi
hambatan. Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin.
Onset kerjanya lebih cepat. Seperti halnya gabapentin,
pregabalin bukan merupakan agonis

GABA namun

berikatan dengan subunit dari voltage-gated calcium


channel,

sehingga

mengurangi

influks

kalsium

dan

pelepasan neurotransmiter (glutamat, substance P, dan


calcitonin gene-related peptide) pada primary afferent nerve
terminals. Dikatakan pemberian pregabalin mempunyai
efektivitas analgesik baik pada kasus neuralgia paska
herpetika, neuropati diabetikorum dan pasien dengan nyeri
CNS oleh karena trauma medula spinalis. Didapatkan pula
hasil perbaikan dalam hal tidur dan ansietas.
d. Anti depresan
Anti depresan trisiklik menunjukkan peran penting
pada kasus neuraalgia paska herpetika. Obat golongan ini
mempunyai mekanisme memblok reuptake (pengambilan
kembali) norepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat
mengurangi nyeri melalui jalur inhibisi saraf spinal yang

16

terlibat dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji klinik obat


antidepresan trisiklik amitriptilin, dilaporkan 47-67% pasien
mengalami pengurangan nyeri tingkat sedang hingga sangat
baik.

Amitriptilin

menurunkan

reuptake

saraf

baik

norepinefrin maupun serotonin. Dengan pemberian tricyclic


antidpresant seperti amitriptyline dengan dosis, 25-150
mg/d secara oral. Obat ini akan lebih efektif bila
dikombinasikan dengan phenatizine. TCA telah terbukti
efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik dibanding SSRI
(selective serotonine reuptake inhibitor) seperti fluoxetine,
paroxetine, sertraline, citalopram. Alasannya mungkin
dikarenakan TCA menghambat reuptake baik serotonin
maupun norepinefrin, sedangkan SSRI hanya menghambat
reuptake serotonin. Efek samping TCA berupa sedasi,
konfusi, konstipasi, dan efek kardiovaskular seperti blok
konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga
dapat meningkatkan berat badan, menurukan ambang
rangsang kejang, dan hipotensi ortostatik. Anti depressan
yang biasa digunakan untuk kasus neuralgia post herpetika
adalah amitriptilin, imipramine, desipramine dan lainnya.
e. Terapi topikal
Anestesia lokal memodifikasi konduksi aksonal
dengan menghambat voltage-gated sodium channels/
inaktivasi menyebabkan hambatan terhadap terjadinya
impuls ektopik spontan. Obat ini bekerja pada lebih baik
jika kerusakan pada neuron hanya terjadi sebagian, fungsi
nosiseptor tetap ada, dan adanya jumlah kanal sodium yang
berlebih. Mekanisme lainnya adalah dengan memodifikasi
aktifitas NMDA.
Lidokain topikal merupakan obat yang sering diteliti
dengan hasil yang baik dalam mengobati nyeri neuropatik.
Sebuah studi menunjukkan efek yang baik dengan

17

penggunaan lidocaine patch 5% untuk pengobatan NPH.


Obat ini ditempatkan pada daerah simptomatik selama 12
jam kemudian. Obat ini dapat digunakan selama bertahuntahun dan dipakai sebagai pilihan terapi tambahan pada
pasien orang tua. Penggonaan krim topikal seperti capsaicin
cukup banyak dilaporkan. Krim capsaicin sampai saat ini
adalah satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk
neuralgia paska herpetika. Capsaicin berefek pada neuron
sensorik serat C (C-faiber). Telah diketahui bahwa neuron
ini melepaskan neuropeptide inflamatorik seperti substansia
P yang menginsiasi nyeri. Dengan dosis tinggi, capsaicin
mendesentisasi neuron ini. Tetapi sayangnya capsaicin
mempunyai efek sensasi rasa terbaakar yang sering tidak
bisa ditoleransi pemakainya (1//3 pasien pada uji klinik ini)
Terapi non farmakologis
a. Akupunktur
Akupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk
mnghilangkan nyeri. Terdapat beberapa penelitian mengenai
terapi akupunktur untuk kasus neuralgia paska herpetika.
Namun penelitian-penelitian tersebut masih menggunakan
jumlah kasus tidak terlalu banyak dan terapi tersebut
dikombinasi pula dengan terapi farmakologis.
b. TENS (stimulasi saraf elektris transkutan)
Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi
nyeri secara parsial hingga komplit pada beberapa pasien
neuralgia paska herpetik. Tetapi penggunaan TENS-pun
dianjurkan hanya sebagai terapi adjuvan/ tambahan
disamping terapi farmakologis vaksin.
c. Vaksin
Penggunaan vaksin untuk mencegah timbulnya
Neuralgia Postherpetika pada orang lanjut usia yaitu umur
60 tahun keatas dengan dosis 1 ml diberikan secara sub
18

kutan ternyata efektif. Dari 107 orang yang menderita


neuralgia post herpetika kemudian diberikan vaksin ternyata
2.10.

dapat mereduksi nyeri yang ditimbullkan hingga 66,5%.


Pencegahan
Dari beberapa laporan penelitian didapatkan efektifitas
yang cukup baik pada penggunaan kortikosteroid dan antiviral
dalam

pencegahan

timbulnya

neuralgia

paska

herpetika.

Kortikosteroid berperan dalam mengurangi inflamasi zoster dan


mencegah kerussakan saraf, sedangkan antiviral (asiklovir)
mempunyai manfaat dalam mengurangi nyeri dan eritema,
mencegah timbulnya lesi baru dan menyembuhkan kulit lebih
2.11.

cepat.
Prognosis
Umumnya prognosisnya baik, dimana ini bergantung pada
tindakan perawatan sejak dini, pada umumnya pasien dengan
neuralgia post herpetika respon terhadap analgesik seperti
antidepressan trisiklik. Jika terdapat pasien dengan nyeri yaang
menetap dan lama dan tidak respon terhadap terapi medikasi maka
diperlukan pencarian lanjutan untuk mencari terapi yang sama.
Prognosis ad vitam dikatakn bonam karena neuralgia paska
herpetik tidak menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi
bersifat lokal dan hanya mengganggu fungsi sensorik. Prognosis ad
functionam dikatakan bonam karena setelah terapi didapatkan
perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa.
Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun resiko
berulangnya HZ masih mungkin terjadi sebagaimana disebutkn dari
literatur, selama pasien mempunyai daya tahan tubuh baik
kemungkinan timbul kembali kecil.

19

BAB III
KESIMPULAN
Neuralgia post herpetik adalah nyeri neuropatik yang menetap setelah
onset ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster). Biasanya di dahului
oleh adanya riwayat menderita vricella pada masa kanak-kanak. Ketika telah
berumur tua, terutama pada usia 50 tahun ke atas, atau dalam keadaan
imunokompromise maka virus herpes ini akan mengalami reaktivasi. Manifestasi
klinis yang sering dijumpai adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesia yang
daoat disertai dengan rasa sakit (disestesia), hyperestesia yang merupakan respon
nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik.
Penatalaksaan penyakit ini dapat dilakukan dengan terapi farmakologis dan non
farmakologis. Pemeriksaan penunjang pada penyakit ini tidak terlalu berarti,
cukup dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dignosa penyakit ini sudah dapat
ditegakkan. Prognosisnya tidak buruk, pada umumnya dapat sembuh dengan
terapi yang teratur.

20

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI, 2008. Profil kesehatan indonesia 2006; Depatemen Kesehatan


Republik Indonesia. Jakarta.
Dinkes Provinsi Lampung, 2005, Profil Kesehatan Provinsi Lampung; Dinas
Kesehatan Provinsi Lampung. Lampung.
Hastono, P. Sutanto, 2001. Modul Analisa Data. Fakultas Kesehatan MasyarakatUniversitas Indonesia. Depok, Jawa Barat.
Kaplan, Sadock & Grebb, (1997), Synopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku
Psikiatri Klinis, Bagian Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti .
jakarta.
Kartono, Kartini, 1997, Gangguan-gangguan Psikis. Sinar Baru. Bandung.

21

Anda mungkin juga menyukai

  • Stroke Hemoragik
    Stroke Hemoragik
    Dokumen49 halaman
    Stroke Hemoragik
    Iqbal Harziky
    89% (28)
  • Stroke Hemoragik
    Stroke Hemoragik
    Dokumen49 halaman
    Stroke Hemoragik
    Iqbal Harziky
    89% (28)
  • Osteon 3
    Osteon 3
    Dokumen19 halaman
    Osteon 3
    WicakKuntoWibowo
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • Stroke Iskemik
    Stroke Iskemik
    Dokumen51 halaman
    Stroke Iskemik
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar & Daftar Isi. Newwww
    Kata Pengantar & Daftar Isi. Newwww
    Dokumen3 halaman
    Kata Pengantar & Daftar Isi. Newwww
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • Forensik
    Forensik
    Dokumen12 halaman
    Forensik
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • Paper Apendik Ra Sab
    Paper Apendik Ra Sab
    Dokumen34 halaman
    Paper Apendik Ra Sab
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • Forensik Penyimpgn Seksual
    Forensik Penyimpgn Seksual
    Dokumen15 halaman
    Forensik Penyimpgn Seksual
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • 4 Kasus
    4 Kasus
    Dokumen17 halaman
    4 Kasus
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • Leafleat Osteoporosis Jannah
    Leafleat Osteoporosis Jannah
    Dokumen4 halaman
    Leafleat Osteoporosis Jannah
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • BAB 1 Ilham PDF
    BAB 1 Ilham PDF
    Dokumen23 halaman
    BAB 1 Ilham PDF
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • DR Supak Penyuluhan Osteoporosis
    DR Supak Penyuluhan Osteoporosis
    Dokumen14 halaman
    DR Supak Penyuluhan Osteoporosis
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen21 halaman
    Bab I
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • 5.tinjauan Pustaka
    5.tinjauan Pustaka
    Dokumen17 halaman
    5.tinjauan Pustaka
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • 1 Cover
    1 Cover
    Dokumen1 halaman
    1 Cover
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • Pendahuluan
    Pendahuluan
    Dokumen2 halaman
    Pendahuluan
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • Pendahuluan
    Pendahuluan
    Dokumen2 halaman
    Pendahuluan
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • 4 Kasus
    4 Kasus
    Dokumen17 halaman
    4 Kasus
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • 5.tinjauan Pustaka
    5.tinjauan Pustaka
    Dokumen17 halaman
    5.tinjauan Pustaka
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • COVER
    COVER
    Dokumen1 halaman
    COVER
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • 1 Cover
    1 Cover
    Dokumen1 halaman
    1 Cover
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • 06 - 194neuralgia Pascaherpetika
    06 - 194neuralgia Pascaherpetika
    Dokumen4 halaman
    06 - 194neuralgia Pascaherpetika
    Murniyanti Oktavianingrum
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi Kematian Mendadak
    Daftar Isi Kematian Mendadak
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi Kematian Mendadak
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • CERPEN
    CERPEN
    Dokumen5 halaman
    CERPEN
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat
  • Contoh Surat Pemberitahuan
    Contoh Surat Pemberitahuan
    Dokumen1 halaman
    Contoh Surat Pemberitahuan
    Nurjannah Harahap
    Belum ada peringkat