Anda di halaman 1dari 2

Wara, upacara sakral Dayak Dusun

Masyarakat Dayak Dusun di Kalimantan Tengah memiliki upacara adat yang sangat
sakral. Upacara tersebut dinamakan wara. Upacara sakral ini mirip dengan upacara
ngaben yang biasa dilakukan masyarakat Hindu di Bali. Upacara ini bagi penganut
agama Hindu Keharingan di Kalimantan Tengah merupakan salah satu dari sekian banyak
upacara adat yang memiliki nilai ritual dan sakral yang sangat tinggi, khusus yang
ditemui dalam upacara adat kematian.
Masyarakat Dayak membedakan manusia dalam tiga dimensi siklus, yaitu manusia
sebelum lahir, manusia setelah lahir yang dinamakan alam kehidupan (dunia) dan
manusia setelah kehidupan (alam surga atau syurga loka). Siklus ini selalu ditandai
dengan berbagai upacara adat yang berurutan sejak seorang manusia masih dalam
kandungan hingga setelah meninggal dunia.Menurut kepercayaan masyarakat Dayak
yang memeluk kepercayaan Keharingan upacara ini memiliki nilai ritual tertinggi
dibandingkan dengan upacara adat sebelumnya. Dalam upacara ini, roh yang
sebelumnya menunggu di Gunung Lumut salah satu tempat yang dianggap sakral oleh
masyarakat Dayak di pedalaman sungai Tewei (Teweh) dipanggil kembali untuk
menerima sesajen dan pensucian sebelum dihantar ke syurga loka (tempat suci).
Upacara adat wara adalah upacara adat kematian yang dilakukan oleh masyarakat
Kaharingan untuk mengantarkan arwah leluhur ke tempat paling akhir yang disebut lewu
tatau (surga) . Wara merupakan ritual upacara dalam rangka membagikan bagian harta
benda kepada arwah kakek, nenek atau orangtua atau saudara dari keluarga keluarga
penyelenggara upacara wara yang telah meninggal satu atau dua tahun yang lalu.
Pembagian harta benda tersebut dilambangkan dalam bentuk sesajen berupa makanan
dan minuman sesuai makanan kebiasaan arwah orang yang diupacarai tersebut. Upacara
Wara biasanya berlangsung selama tujuh hari tujuh malam.
Upacara Wara dipimpin oleh Wadian Wara yang berperan sebagai penghubung antara
manusia dengan arwah . Wadian Wara dibantu oleh pelayan-pelayannya yang
disebut Pangading. Mereka melakukan upacara demi upacara, misalnya ; makan
diau (memberi makan arwah), dan nutui lalan diau nuju gunung lumut (mengantar arwah
dalam perjalanan ke surga).
Prosesi hari pertama adalah ngamaner wara artinya menyerahkan segala sesuatu yang
berhubungan dengan roh yang diupacarai kepada wadian wara.
Proses pada hari kedua sampai hari ke tiga adalah keluarga penyelenggara menerima
tamu baik dari desa sendiri maupun dari desa sekelilingnya, yakni tokoh-tokoh
masyarakat.
Hari keempat acara Babea-Babebe yakni acara membuat ansak berupa anyaman
bambu sedemikian rupa sebanyak arwah yang diupacarai wara, untuk tempat sesaji.
Hari kelima adalah acara newek karewau atau penusukan kerbau (acara adu berani
menikam kerbau) yang merupakan klimaks dari rentetan upacara ini. Penusukan kerbau
dilakukan oleh petugas dari keluargakeluarga yang diupacarai dengan ditusuk
menggunakan lading atau badik atau pisau lancip sedangkan kerbaunya diikat
pada Pantogor yakni patung arwah yang diupacarai yang terbuat dari kayu ulin setinggi
lebih kurang 3 meter yang ditancap di tanah lapang. Begitu menariknya upacara adat ini,
biasanya yang datang bukan lagi dari lingkungan satu desa atau desa tetangga. Tak
jarang ada pula penduduk dari kabupaten lain yang mengirimkan wakilnya untuk ikut
adu keberanian menikam kerbau.
Acara ini mirip dengan matador di Spanyol. Hanya bedanya melawan kerbau, bukan
Banteng. Menurut ketentuan adat, setiap peserta yang mengalami cedera atau korban

jiwa dalam pertarungan ini tidak dapat menuntut jaminan kecuali sebuah piring porselen
putih.
Biasanya peserta yang tampil di gelanggang adalah orang pilihan atau yang memiliki
kelebihan tertentu. Oleh karena itu sangat jarang ada kasus korban jiwa dalam
pertarungan melawan kerbau ini.
Selesai pembunuhan kerbau dilanjutkan dengan memasak dan makan bersama tamu
undangan. Sesaji yang telah ditaruh di atas ansak seperti yang disebut diatas dan harta
benda lainnya diantar ke kuburan oleh masing-masing keluarga pada hari keenam.
Pekuburan tempat bersemayamnya tulang-belulang nenek moyang kaum keluarga warga
Dayak Dusun Kalahien disebutSiat yang rata-rata diberi atap dengan 4 tiang
penyangga dan diakhiri dengan pelepasan salimbat(rakit bambu) yang melukiskan
kepergian roh menuju Lewu Tatau (Surga) pada hari ketujuh.
Upacara Wara dari hari pertama sampai hari kelima biasanya diiringi dengan ritual main
judi dan sabung ayam ala Liau (roh yang telah meninggal) antara manusia dengan Roh
yang telah meninggal, serta permainan Tinak Santukep. Perlambangannya adalah agar
roh mendapatkan kemakmuran di Lewu Tatau (surga)
Upacara adat ini merupakan aset budaya Dayak di Kalimantan Tengah dan merupakan
salah satu dari sekian banyak upacara adat yang sangat menarik dan perlu dilestarikan.
Sayangnya, kendati tidak kalah menariknya dengan ngaben di Bali atau upacara serupa
di Tana Toraja, upacara adat ini merupakan aset wisata yang masih terpendam di
Kalimantan Tengah.

Anda mungkin juga menyukai