Anda di halaman 1dari 6

AGAR SUDAH JATUH TAK TERTIMPA TANGGA

(Anjloknya Harga dan Strategi Bertahan Petani


Rumput Laut)
Beberapa hari ini saya sering turun ke lapangan untuk bertemu dan berbincang-bincang dengan
petani rumput laut di Kabupaten Takalar, Pangkep dan Barru di Provinsi Sulawesi Selatan. Berbeda
dengan beberapa tahun sebelumnya, kini cukup sulit menemukan senyum di wajah mereka. Yang
terlihat adalah wajah-wajah murung dan pasrah. Kemurungan itu tak lain disebabkan anjloknya harga
jual rumput laut kering dalam lebih dari satu tahun terakhir. Fakta ini tak hanya terjadi di Provinsi
Sulawesi Selatan yang selama ini dikenal sebagai salah satu pemasok rumput laut terbesar di
Indonesia.
Berbagai pertanyaan muncul di kepala saat bertemu dan berbincang-bincang dengan mereka. Tapi
kerap semua pertanyaan itu tak bisa meluncur dari mulutku karena merasa pertanyaan-pertanyaan
itu bisa menambah keresahan mereka saja. Apalagi aku sendiri tak membawa solusi, hanya bertanya
dan ingin mengetahui nasib mereka yang sedang tertekan. Dengan kondisi seperti ini, merekalah
yang seharusnya banyak bertanya. Baik tentang mengapa harga rumput laut turun drastis, mengapa
bisa turun, mengapa tak juga membaik seperti sebelumnya, dan segudang pertanyaan lain yang
tentunya tidak mudah untuk dijawab.

Fakta anjloknya harga jual rumput laut di Sulawesi Selatan dan bisa dikatakan seluruh Indonesia
tergolong unik. Walau belum sampai merontokkan seluruh semangat petani, namun kondisi ini
menunjukkan ketidakberdayaan seluruh komponen yang terlibat dalam mata rantai tatakelola
rumput laut, mulai dari pembudidaya, pengumpul, pedagang, exportir, pengolah, bahkan
pemerintah sendiri. Sejak kejatuhan harga rumput laut di awal tahun 2015 sampai sekarang, tidak ada
satupun elemen yang mampu menjelaskan faktor penentu utama fenomena ini. Pemerintah sendiri
melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya bisa memberi penjelasan bahwa penurunan
harga yang mencapai 50% ini hanyalah fenomena biasa yang kerap terjadi di tahun-tahun
sebelumnya, sambil berharap harga akan bangkit kembali.
Sayangnya pernyataan-pernyataan pemerintah maupun pihak pemain utama tersebut seperti tidak
memiliki landasan analisis yang kuat. Seperti tahun-tahun sebelumnya, analisis masih di seputaran
kualitas yang belum memadai, permintaan negara importir yang menurun, ekonomi global yang
sedang lesu, atau adanya sinyalemen bahwa tarif export rumput laut yang katanya akan dinaikkan
oleh pemerintah. Bahkan ada statement yang sebenarnya cukup menggelikan. Ada sebahagian pihak
yang mengharapkan terjadinya bencana di negara exportir lain yang nantinya bisa mengkatrol harga
rumput laut di Indonesia. Analisis yang sungguh lucu, karena terkesan mengharapkan nasib sial
negara lain agar keberuntungan berpihak pada Indonesia.

Yang lebih tak menggemaskan lagi adalah, selama hamper 2 tahun anjloknya harga rumput laut, tidak
ada satupun pihak, baik pengumpul, pedagang dan pemegang kebijakan dan pihak-pihak lain yang
berkecimpung dalam tata niaga rumput laut yang pernah memberi penjelasan memadai kepada
petani. Dari penelusuran di Kabupaten Pangkep, Barru, Takalar dan sedikit pembudidaya di Maros,

tidak ada satupun petani yang pernah diberi penjelasan cukup tentang kondisi ini. Semua pihak
sepertinya membisu, atau memang mungkin tidak tahu apa yang menyebabkan situasi ini bisa terjadi.
Di beberapa tempat, terutama di desa-desa pesisir di Kabupaten Barru dan Takalar, situasinya malah
sudah cukup mengkhawatirkan. Menurut informasi petani pembudidaya, saat ini jumlah pengumpul
atau pembeli local sudah jauh berkurang dari tahun-tahun sebelumnya. Entah karena gulung tikar
atua bangkrut, atau beralih bisnis, dari 5 pengumpul di salah satu desa di Kabupaten Barru, kini hanya
1 orang yang aktif melakukan pembelian dari petani. Itupun dengan harga yang cukup menyedihkan,
yakni antara Rp 6000 hingga Rp 6500 per kg untuk jenis cottoni. Bahkan yang lebih miris, menurut
seorang petani di Kabupaten Takalar, ada pembeli besar yang sudah berhutang kepada seorang
pengumpul selama 1 tahun terakhir karena belum mampu membayarkan pembelian rumput laut.
Kondisi seperti ini jelas sudah sangat mengkhawatirkan. Jika pembeli besar saja sudah sampai
berhutang, bagaimana pula nasib petani kecil pembudidaya yang jumlahnya ribuan di Sulawesi
Selatan dan di Indonesia?
Realitas terpuruknya harga jual rumput laut tentu berpengaruh besar terhadap petani pembudidaya
maupun masyarakat pesisir lainnya yang hidupnya sangat tergantung dengan rumput laut. Namun
sekali lagi, masyarakat terutama petani pembudidaya selalu punya cara untuk tetap bertahan.
Hantaman atau tekanan alam dan ekonomi ternyata membuat mereka terlatih untuk mencari solusi
tanpa harus menunggu perlindungan dan pertolongan pihak lain. Kemampuan mereka untuk
bertahan membuktikan bahwa kapasitas untuk berreaksi terhadap tekanan dan gejolak merupakan
kemampuan dasar yang harus dimiliki masyarakat, termasuk petani rumput laut.
Melalui penelusuran di Kabupaten Barru, seperti di Desa Pancana, Kelurahan Tanete, Dusun Polejiwa
mencoba bertahan dengan tetap menurunkan bentangan untuk mempertahankan bibit,
membudidaya rumput laut untuk menjual bibit, atau menyimpan rumput laut kering sebagai modal
untuk melakukan budidaya di musim selanjutnya. Sebahagian kecil dari mereka ada yang
menggantung tali bentangan milik mereka dan mencoba memfokuskan diri pada usaha menjaring
ikan, memancing, kembali merawat empang atau tambak, berdagang ikan, bahkan mengembangkan
usaha pengolahan makanan berbahan baku local.
Satu hal yang patut disyukuri adalah, masyarakat pesisir termasuk petani rumput laut ternyata
bukanlah rakyat manja yang selalu meminta perlindungan atas tekanan ekonomi yang mereka alami.
Langsung atau tidak langsung, sebenarnya aku melihat ada perubahan besar dikalangan petani
rumput laut di kawasan pesisir. Kemampuan mereka menyesuaikan diri atau daya lenting (Resiliensi)
mereka terhadap tekanan ekonomi dan alam memang sedang teruji saat ini. Kelesuan dan
kemurungan di wajah mereka ternyata sama sekali bukan pertanda putus asa. Namun lebih
merupakan expresi kerja keras mereka mencari solusi atas apa yang sedang mereka alami.
Di satu sisi, anjloknya harga jual rumput laut yang terjadi belakangan ini menjadi pertanda rentan nya
tatakelola atau bisnis rumput laut secara nasional. Tapi di sisi lain, kemampuan mereka bertahan dan
mencari alternative solusi atas situasi yang mereka alami merupakan bukti kuatnya resiliensi mereka
terhadap perubahan ekonomi dan alam. Bagaimanapun juga, langsung atau tidak langsung
kedayatahanan ekonomi dan pangan melalui diversifikasi matapencaharian, penguatan komunitas
masyarakat pesisir yang selama 5 tahun didorong melalui Project Restoring Coastal Livelihoods di 4
Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan kini mulai terlihat. Mereka punya alternative untuk bertahan.

Yasolusi alternative yang mereka jalankan ternyata menjawab kerentanan tatakelola dan tataniaga
rumput laut yang ternyata sangat ringkih atau masih sangat lemah. Walaupun tak menjawab
persoalan utama anjloknya harga, namun solusi yang mereka jalankan bisa menjawab kebutuhan
rumah tangga yang tak bisa ditunda-tunda.
Kondisi yang sama juga ditemui di Kabupaten Pangkep, terutama di Desa Tamarupa, Kecamatan
Mandalle. Kebiasaan hidup dengan 2 atau 3 matapencaharian membuat mereka bisa tetap bertahan
walau harga rumput laut tak sesuai dengan yang mereka harapkan. Pak Arman dan Ibu Syarifah
berikut anggota kelompok Kalaroang masih melihat budidaya rumput laut adalah salah satu jenis
matapencaharian penting yang tak akan pernah mereka tinggalkan. Meskipun harga tak kunjung naik
selama hamper 2 tahun lebih, namun kehidupan keluarga mereka tak membuat ekonomi keluarga
lumpuh. Mereka masih memiliki jaring untuk mencari kepiting dan ikan, jarum dan tasi untuk
membuat jaring dan jala, atau masih memiliki sepetak sawah dan empang yang bisa mereka kelola
untuk budidaya ikan, udang dan menanam padi secara alami. Ya, secara alami! Mereka tak khawatir
kehabisan modal untuk membeli pupuk yang mahal, karena mereka bisa buat sendiri atau membeli
dengan harga murah pupuk organic untuk digunakan pada sawah dan empang mereka.
Satu hal yang menurutku luarbiasa adalah, mereka masih semangat dan memiliki rencana yang jelas
untuk terus membudidayakan rumput laut di musim-musim berikutnya. Apa yang membuat mereka
bisa tetap semangat walau harga jual rumput laut kering turun bebas selama 2 tahun terakhir?
Jawaban mereka sederhana; sudah terbiasa tanam rumput laut, walau harga rendah tapi lebih
pasti!! Hmmmjawaban yang terlalu sederhana, tapi perlu ditelusuri lebih dalam. Kami pun
kemudian sama-sama berhitung untuk menjawab apakah benar-benar budidaya rumput laut masih
menjanjikan atau cuma karena tidak ada pilihan matapencaharian.
Untuk 100 bentang rumput laut, paling tidak menurut Pak Arman membutuhkan 500 g bibit. Dengan
harga Rp 2500 per kilogram, maka dibutuhkan biaya kurang lebih Rp. 1.250.000. Biaya ikat untuk 100
bentang tersebut menghabiskan biaya Rp 250.00, dan Rp 50.000 untuk konsumsi atau makan minum
pekerja mengikat. Selama kurang lebih 40 sampai 45 hari, paling tidak seorang petani rumput laut
harus mengeluarkan biaya Rp 90.000 untuk biaya bensin kapal. Total biaya produksi yang harus
dikeluarkan oleh petani rumput laut untuk satu musim selama 40 sampai 45 hari adalah Rp.
1.640.000.
Dalam kondisi cukup baik, maka 100 bentangan tersebut bisa menghasilkan kurang lebih 3500 kg.
Jika dikeringkan maka rumput laut kering yang diperoleh adalah kira-kira 500 kg. Berdasarkan harga
sekarang, jika rumput laut kering dengan berat 500 dijual di pengumpul local, maka uang yang
diperoleh oleh petani dari 100 bentangan tersebut adalah Rp. 3.500.000. Setelah dikurangi dengan
biaya produksi, maka petani rumput laut masih memperoleh Rp. 1.860.000 dari 100 bentangan
tersebut.
Pak Arman sendiri saat ini memiliki kurang lebih 300 bentangan, sehingga hasil yang didapat oleh Pak
Arman dalam satu musim budidaya bisa 3 kali lipat dari perhitungan keuntungan bersih di atas.
Perhitungan itu tentu terlalu kasar. Realitasnya tidaklah seperti itu. Selain masih banyak lagi biayabiaya tidak terduga, bobot rumput laut basah yang kadang tidak sesuai harapan, maupun
ketersediaan bibit. Di awal musim, biasanya petani rumput laut hanya memulai dari sedikit
bentangan, karena tidak memiliki modal yang cukup untuk membeli bibit. Biasanya petani memulai

dengan 50 bentangan atau kurang lebih 250 kg bibit dengan harga Rp 600 ribu lebih. Selama 20
sampai 25 hari ya akan memperbanyak bibit hingga bisa menghasilkan 1 ton lebih. Sebahagian besar
hasil akan dibibitkan kembali, dan sisanya akan dikeringkan. Begitu seterusnya sampai seluruh
bentangan yang dimiliki petani bisa diturunkan.
Dikarenakan terbatasnya musim, petani di beberapa wilayah, termasuk Barru dan Pangkep tidak bisa
melakukan budidaya sepanjang tahun. Mereka paling-paling hanya bisa membudidayakan rumput
laut sebanyak 5 kali dan maksimal 7 kali, itupun jika kondisi laut memang sedang sangat mendukung.
Dengan harga rumput laut seperti saat ini, tentu keuntungan yang sebelumnya mereka nikmati saat
harga bagus tidak lagi bisa mereka terima. Apalagi biaya atau cost yang harus mereka keluarkan
untuk satu putaran tidak pernah berkurang, seperti biaya mengikat, harga bibit, maupun biaya
pemeliharaan. Tentu saja semua pengeluaran tersebut sangat menekan kemampuan petani rumput
laut. Alih-alih berhenti membudidaya, ternyata sebahagian besar petani masih tetap konsisten
melakukan budidaya walau harga sedang tidak berpihak kepada petani. Selain sudah menjadi
kebiasaan, rumput laut tetap menjanjikan pendapatan yang lebih pasti dibandingkan harus beralih
atau kembali focus pada matapencaharian sebelumnya sebagai nelayan, pekerja tambak dan lainnya.
Kondisi yang berbeda di temui di Kabupaten Takalar, khususnya di Dusun Puntodo, Desa Laikang.
Turunnya harga rumput laut tentu saja menjadi persoalan besar. Bagi sebahagian petani, mereka
tetap fokus membudidaya sambil menunggu harga normal kembali. Namun sebahagian dari
mereka sudah memilih strategi lain yang selama beberapa bulan atau 1 tahun terakhir menjadi
alternative pendapatan mereka.
Di Teluk Laikang saat ini sedang marak budidaya lobster menggunakan keramba. Disamping
harganya lebih stabil, pengerjaannya juga tidak terlalu rumit. Walau modal yang digunakan cukup
besar, yakni sekitar Rp 10 Juta untuk 4 kotak keramba ditambah bagan tancap sebagai media
mencari pakan. Mengapa usaha ini yang mereka jalankan? Selain alasan di atas, membudidayakan
lobster tak membuat mereka memutus hubungan dengan rumput laut. Saat merawat keramba,
mereka juga tetap bisa bekerja merawat bentang rumput laut yang lokasinya tidak jauh dari lokasi
keramba.
Kendala utama dari budidaya keramba adalah, sampai saat ini bibit lobster masih didatangkan dari
Bantaeng. Mereka membeli bibit lobster tersebut melalui pengumpul di Puntondo yang memiliki
jaringan dengan nelayan pencari lobster yang ada di Bantaeng. Tentu karena pengadaan bibit lobster
dilakukan secara tradisional, maka ketersediaanya pun terbatas dan harus menunggu ketersediaan
barulah para pembudidaya bisa melakukan pemesanan.
Apapun strategi yang dijalankan petani, baik mengoptimalkan matapencaharian alternative atau
menekan biaya budidaya, tetap sebenarnya komoditas rumput laut menjadi andalan utama warga.
Berdasarkan perhitungan bersama Pak Armand an petani lainnya, terlihat biaya pembelian bibit
adalah pengeluaran terbesar yang harus dikeluarkan dari kantong pembudidaya. Untuk bisa tetap
membudidaya, biasanya mereka mempertahankan bibit setahun penuh sebanyak beberapa
bentangan saja. Sebahagian dari mereka yang masih menyimpan uang akan membeli dalam jumlah
sedikit. Ada juga yang meminjam dari pengumpul untuk kemudian dikembalikan saat penjualan.

Jika biaya bibit bisa ditekan, misalnya dengan membeli dengan cara lebih murah, atau meminjam
dengan pengembalian yang ringan, tentu solusi ini bisa sedikit membantu mengurangi cost budidaya
dan kembali membuat petani rumput laut lebih bersemangat. Tentu saja membeli dengan cara lebih
murah atau meminjam dengan pengembalian yang ringan tak sepenuhnya bisa diperoleh dari para
pengumpul local yang saat ini sudah banyak beralih profesi.
Harus ada penyedia bibit yang dikelola dengan tujuan mendukung petani rumput laut agar tetap bisa
bertahan. Penyedia bibit haruslah teritegrasi dalam tatakelola komoditas yang dilindungi oleh
pemerintah, pihak swasta dan juga bersinergi dengan pembudidaya. Ada banyak lokasi di Sulawesi
Selatan yang sangat sesuai dijadikan lokasi pembibitan. Pemerintah Kabupaten dan Provinsi juga
punya akses besar untuk menyediakan lokasi pembibitan ini. Walau bukan strategi yang samasekali
baru, tapi jika dijalankan dengan tujuan yang benar-benar merupakan solusi atas permasalahan
pembudidaya, maka peluang berkelanjutannya kawasan pembudidaya akan semakin besar.
Cerita petani rumput laut yang diperoleh dari Kabupaten Barru, Pangkep dan Takalar itu tentu saja
tak menggambarkan realitas utuh dari nasib petani akibat anjloknya harga rumput laut. Ada banyak
dampak sekaligus strategi yang mereka jalankan agar tetap bisa bertahan dengan kondisi yang ada.
Bagi mereka tekanan seperti ini biasa terjadi selama hidup di kawasan pesisir. Yang tidak biasa
adalah, saat ini sangat minim ada penjelasan dari para pihak tentang alasan menurunnya harga. Ini
menjadi salahsatu bukti bahwa tatakelola komoditas rumput laut memang masih sangat kabur.
Ketika terjadi situasi seperti menurunnya harga jual, maka yang terlihat adalah cuap-cuap atau
analisis yang tak terlalu bisa dipertanggungjawabkan. Padahal, ada beberapa asosiasi petani,
pengumpul, pedagang atau exporter rumput laut di level provinsi maupun nasional. Kok
kelihatannya tidak kedengaran sama sekali? Atau mungkin juga komoditas ini tergolong komoditas
tak terbaca tatakelolanya walaupun sudah puluhan tahun menghidupi banyak orang di pesisir
maupun kalangan pedagang di kota besar?
Tatakelola komoditas rumput laut tentu menjadi penting dan dibuat lebih pasti sehingga terhindarlah
kejadian-kejadian seperti ini. Petani atau pembudidaya tentu selalu punya solusi walaupun tanpa
diberi input apapun sehingga bisa tetap bertahan dan dapur keluarga bisa ngepul. Tapi paling tidak
ada informasi yang lebih jelas, sehingga tidaklah petani dibiarkan menyimpan rumput laut kering
sampai 2 tahun lebih. Mereka butuh perlindungan, walau hanya dalam bentuk informasi yang lebih
pasti.
Maret 2016

Oleh; Tua Hasiholan Hutabarat

Anda mungkin juga menyukai