Anda di halaman 1dari 17

Depresi e.

c Diabetes Melitus Tipe II

Pendahuluan
Depresi adalah satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaan yang sedih dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus
asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri. Faktor penyebab depresi terbagi atas faktor biologi,
faktor genetic dan faktor psikososial. Ketiga faktor tersebut juga dapat saling mempengaruhi satu
sama lain. Namun, yang paling banyak diteliti adalah penyebab dari faktor psikososial. Penyebab
depresi dari faktor psikososial antara lain dikarenakan peristiwa kehidupan dan stress lingkunga,
faktor psikoanalitik dan psikodinamik. Apabila pasien depresi menyadari bahwa mereka tidak
hidup sesuai dengan yang dicita-citakannya, akan mengakibatkan rasa putus asa.
Hal ini juga yang terjadi pada penderita DM tipe 2 dimana DM dapat menimbulkan
perubahan psikologis antara lain perubahan konsep diri dan depresi. Stress psikologis dapat
timbul pada saat seseorang menerima diagosa DM. mereka beranggapan bahwa penyakit DM ini
akan banyak menimbulkan permasalahan seperti pengendalian diet serta terapi yang lama dan
kompleks, biaya pengobatan yang mahal, komplikasi penyakit serta banyak kekhawatiran lain
yang dapat menimbulkan potensi munculnya depresi.
Pada skenario dikatakan bahwa seorang wanita berusia 66 tahun dikonsulkan ke bagian
psikiatri karena mengamuk saat dirawat di RS. Pasien tersebut dirawat karena mengalami
peningkatan GDS disertai luka pada kaki yang sudah berbau. Pasien mengalami DM tipe 2
sejak 25 tahun yang lalu, pasien selalu menjaga diet pola makan dan control teratur, namun
akhir-akhir ini pasien bosan menjalani semua perawatan dan ingin menyusul suaminya saja
yang sudah wafat. Beberapa bulan terakhir, pasien makan dengan porsi tinggi karbohidrat dan
minum minuman manis, tidak berolahraga, lebih banyak tidur dan tidak mau melakukan
kegiatan harian.
Anamnesis

Anamnesis merupakan suatu bentuk wawancara antara dokter dan pasien dengan
memperhatiakn petunjuk-petunjuk dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk verbal dan non
verbal mengenai riwayat penyakit pasien. Anamnesis bila dilakukan pada pasien itu sendiri yang
disebut auti anamnesis apabila pasien dalam kondisi sadar dan baik, bisa juga melalui keluarga
terdekat atau orang yang bersama pasien selama ia sakit apabila pasien dalam kondisi tidak sadar
atau kesulitan berbicara disebut dengan allo anamnesis.1
Dengan dilakukannya anamnesis maka 70% diagnosis dapat ditegakkan. Sedangkan
30%nya lagi didapatkan dari pemeriksaan fisik, lab dan radiologi (kalau diperlikan). Hal yang
perlu ditanyakan dokter pada saat anamnesis psikiatri depresi antara lain:1
1. Identitas pasien seperti nama, alamat, umur, dan pekerjaan.
2. Keluahn utama pasien, hal utama yang membuat pasien datang menemui dokter. Dalam
beberapa kasus yang berat ada kalanya kita tidak dapat menanyakan pada pasien karena
pasien telah dalam keadaan gangguan kejiwaan yang berat, untuk itu kita juga dapat
menanyakan hal ini kepada keluarganya.
3. Setelah itu tanyakan bagaimana penyakit itu bermula, bagaimana awal mula gangguan
kejiwaan itu terjadi, sejak kapan, dan bagaimana keberlangsungannya ini bermakna
karena kebanyakan penyakit psikiatrik mengalami beberapa fase sebelum menjadi
semakin parah.
4. Riwayat penyakit terdahulu, apakah pasien pernah mengalami penyakit yang dapat
memicu terjadinya gangguan kejiwaan seperti demam tinggi, riwayat trauma kepala,
mengkonsumsi obat-obatan Parkinson, obat anti hipertensi dan kortikosteroid dalam
jangka waktu lama.
5. Riwayat pribadi mencakup mengenai riwayat kelahiran pasien, apakah dia cukup bulan
atau tidak, proses dilahirkan melalui Caesar atau normal, dan apakah ada masalah saat dia
dalam kandungan. Jika pasien telah menikah, tanyakan mengenai pernikahannya. Intinya
pada segmen ini kita harus menggali mengenai pribadi pasien.
6. Riwayat keluarga, tanyakan apakah di dalam keluarganya ada yang mengalami gangguan
jiwa atau tidak.
Pada kasus, pasien tersebut menderita diabetes mellitus tipe 2 dan ulkus pedis, dapat juga
ditanyakan beberapa pertanyaan berikut:

Sejak kapan mengalami DM tipe 2?


Apakah teratur dalam mengkonsumsi obat dan dalam melakukan diet?
2

Obat apa yang dikonsumsi?


Bagaimana cara melakukan diet?
Apakah ada keluhan lain seperti luka pada kaki?
Apakah lukanya sudah berbau dan berubah warna menjadi agak kehiyaman?

Sesuai dengan kasus pada anamnesis akan kita dapatkan informasi bahwa pasien tersebut
mengamuk saat dirawat di RS. Pasien tersebut dirawat karena mengalami peningkatan GDS
disertai luka pada kaki yang sudah berbau. Pasien mengalami DM tipe 2 sejak 25 tahun yang
lalu, pasien selalu menjaga diet dan pola makan dan control teratur, namun akhir-akhir ini pasien
bosan menjalani semua perawatan dan ingin menyusul suaminya saja yang sudah wafat.
Beberapa bulan terakhir, pasien makan dengan porsi tinggi karbohidrat dan minum minuman
manis, tidaki berolahraga, lebih banyak tidur dan tidak mau melakukan kegiatan harian.2
Pemeriksaan Fisik
Meliputi 3 bagian yaitu:
1.

Pemeriksaan umum1
Menilai keadaan umum pasien : baik/buruk, yang perlu diperiksa dan dicatat adalah
tanda-tanda vital, yaitu :

2.

Kesadaran penderita
Kesakitan yang dialami pasien, dapat dilihat dari raut wajah pasien dan

keluhan ketika datang.


Tanda vital seperti : tekanan darah, nadi, pernapasan, dan suhu.
Pemeriksaan lokal
Pemeriksaan lokal ini dapat kita lakukan guna untuk mengetahui keadaan luka pada
kaki pasien.
Inspeksi : inspeksi kaki untuk mengamati terdapat luka atau ulkus pada kulit
atau jaringan tubuh pada kako, pemeriksaan sensasi vibrasi/rasa berkurang

3.

atau hilang,
Palpasi : palpasi denyut nadi arteri dorsalis pedis menurun atau hilang.
Pemeriksaan psikiatri2
Penampilan saat pasien datang, dari penampilan dapat memberikan ciri khas
pada beberapa penyakit psikiatrik, contohnya pada pasien mania biasanya
mereka berpakaian dan berdandan berlebihan tidak sesuai dengan tempatnya.
Contohnya mereka ke dokter seperti akan ke acara pernikahan.

Cara bicara, perhatikan pasien saat bicara. Biasanya pada pasien depresi
mereka cenderung tertutup dan kurang memberi informasi, sedangkan pada

pasien mania, mereka berbicara terus-menerus tiada henti.


Mood atau suasana hati.
Pikiran seperti bagaimana perhatian pasien, daya memorinya apakah dia dapat

menentukan sikap, serta cara berbahasa.


Persepsi, tanyakan apakah pasien merasa ada yang berbisik, atau melihat
sesuatu yang tidak dilihat oleh dokter untuk mengetahui apakah pasien

mengalami halusinasi.
Sensorium dimana pasien sering merasa kesemutan.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk depresi sampai saat ini tidak ada yang dapat menjadi
patokan utama untuk diagnosis. Jadi untuk mendiagnosis pasien depresi cukup dapat kita terapi
dari anamnesis dan pemeriksaan klinis dan mentalnya saja.
Pemeriksaan penunjang pada DM umumnya akan diperkirakan bila ada keluhan khas DM
berupa poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia pada pasien pria, serta
pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200
mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa >126 mg/dL juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. untuk kelompok tanpa keluhan
khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat
untuk menegakkan diagnosis klinis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjuy dengan mendapatkan
sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa >126 mg/dL, kadar glukosa darah
sewaktu >200 mg/dL pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang
abnormal.3
Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1985):3
3 hari sebelumnya makan seperti biasa

Kegaitan jasmani secukupnya, seperti yang biasa dilakukan


Puasa semalam, selama 10-12 jam
Kadar glukosa darah puasa diperiksa
Diberikan glukosa 75 gram atau 1,75 gram/kgBB, dilarutkan dalam air 250 ml dan
diminum selama/dalam waktu 5 menit.
4

Diperiksa kadar glukosa darah dau jam sesudah beban glukosa; selama pemeriksaan
subyek yang diperiksatetap istirahat dan tidak merokok.
Pada penderita ulkus pedis salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan

Adalah pemeriksaan Doppler. Pemeriksaan Doppler ultrasound adalah penggunaan alat untuk
memeriksa alirah darah arteri maupun vena. Pemeriskaan ini untuk mengidentifikasi tingkat
gangguan pada pembuluh darah arteri maupun vena. Dengan pemeriksaan yang akurat dapat
membantu proses perawatan yang tepat. Pemeriskaan ini sering disebut dengan Ankle Brachial
Pressure Index. Pada kondisi normal, tekanan sistolik pada kaki sama dengan di tangan atau
lebih tinggi sedikit. Pada kondisi terjadi gangguan di area kaki, vena maupun arteri, akan
menghasilkan tekanan sistolik yang berbeda. Hasil pemeriksaan yang akurat dapat membantu
diagnosis kea rah gangguan vena atau arteri sehingga menajemen perawatan juga berbeda.3
Working Diagnosis
depresi et causa ulkus diabetikum4,5
Istilah kelainan afektif mencakup penyakit-penyakit dengan gangguan afek (mood)
sebagai gejala primer, sedangkan semua gejala lain bersifat sekunder. Afek bisa terus menerus
depresi atau gembira (dalam mania) dan kedua episode ini bisa timbul pada orang yang sama,
karena itu dinamai psikosis manik-depresif. Penyakit dengan hanya satu jenis serangan disebut
unipolar, dan jika episode manik dan depresif keduanya ada disebut bipolar.
Mood merupakan subjetivitas peresapan emosi yang dialami dan dapat dutarakan oleh
pasien dan terpantau oleh orang lain; termasuk sebagai contoh adalah depresi, elasi dan marah.
Kepustakaan lain, mengemukakan mood, merupakan perasaan, atau nada perasaan hati
seseorang, khususnya yang dihayati secara batiniah.
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan minat,
merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir mati atau bunuh diri.
Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas, kemampuan kognitif, bicara
dan fungsi vegetative (termasuk tidur, aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain). Gangguan
ini hampir selalu menghasilkan hendaya (handicap) interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan.
Klasifikasi gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menurut PPDGJ-III (Depkes
RI,1993):6
5

F30

Episode Manik
F30.0 Hipomania
F30.1 Mania tanpa gejala psikotik
F30.8 Mania dengan gejala psikotik
F30.9 Episode Manik YTT

F31

Gangguan Afektif Bipolar


F31.0 Gangguan afektif bipolar, episode hipomanik
F31.1 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik tanpa gejala psikotik
F31.2 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik
F31.3 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif ringan atau sedang
.30 Tanpa gejala somatik
.31 Dengan gejala somatik
F31.4 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat tanpa gejala psikotik
F31.5 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat dengan gejala
psikotik
F31.6 Gangguan afektif bipolar, episode kini campuran
F31.7 Gangguan afektif bipolar, episode kini dalam remisi
F31.8 Gangguan afektif bipolar lainnya
F31.9 Gangguan afektif bipolar ytt

F32

Episode Depresif
F32.0 Episode depresif ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatik
F32.1 Episode depresif sedang
.10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik
F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik
F32.8 Episode depresif lainnya
F32.9 Episode depresif YTT

F33

Gangguan Depresif Berulang


6

F33.0 Gangguan depresif berulang, episode kini ringan


.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatik
F33.1 Gangguan depresif berulang, episode kini sedang
10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik
F33.2 Gangguan depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala psikotik
F33.3 Gangguan depresif berulang, episode kini berat dengan gejala psikotik
F33.4 Gangguan depresif berulang, kini dalam remisi
F33.8 Gangguan depresif berulang lainnya
F33.9 Gangguan depresif berulang YTT
F34

Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Menetap


F34.0 Siklotimia
F34.1 Distimia
F34.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap lainnya
F34.9 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap YTT

F38

Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Lainnya


F38.0 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) tunggal lainnya
.00 Episode afektif campuran
F38.1 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) berulang lainnya
.10 Gangguan depresif singkat berulang
F38.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) lainnya YDT

F39

Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) YTT

Depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai masalahnya, dengan
berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif, gangguan distimik, gangguan
depresif mayor dan gangguan depresif unipolar serta bipolar. Depresi merupakan satu masa
terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala
penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi,
anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri.

Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka orang
tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena ia
kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya.
Etiologi4
Penyebab pasti gangguan depresi secara umum masih belum diketahui, tetapi diduga
faktor -faktor dibawah ini ikut berperan sebagai pencetus timbulnya depresi pada seseorang.
a. Faktor Biologis
Data yang dilaporkan paling konsisten dengan hipotesis bahwa gangguan depresi berat
berhubungan dengan disregulasi heterogen pada amin biogenik ( norepinefrin dan serotonin ).
Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada beberapa pasien yang bunuh diri
memiliki konsentrasi metabolik serotonin di dalam cairan serebrospinal yang rendah serta
konsentrasi tempat ambilan serotonin yang rendah di trombosit. Faktor neurokimia lain seperti
adenilate cyclase, phsphotidyl inositol, dan regulasi kalsium mungkin juga memiliki relevansi
penyebab.
Penelitian pada anak pra pubertas dengan gangguan depresif berat dan remaja-remaja
dengan gangguan mood telah menemukan kelainan biologis.
Anak pra pubertas dalam suatu episode gangguan depresif berat mensekresikan hormon
pertumbuhan yang secara bermakna lebih banyak selama tidur dibandingkan dengan anak
normal dan anak dengan gangguan mental nondepresi.
b. Faktor Genetika
Data genetik menyatakan bahwa sanak saudara derajat pertama dari pasien gangguan
depresi berat kemungkinan 1,5 2,5 kali lebih besar daripada sanak saudara derajat pertama
kontrol. Memiliki satu orang tua yang terdepresi kemungkinan meningkatkan resiko dua kali
untuk keturunan, memiliki kedua orang tua terdepresi kemungkinan meningkatkan resiko empat
kali bagi keturunan untuk terkena gangguan depresi sebelum usia 18 tahun.
c. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan, suatu pengalaman klinis yang telah lama
direplikasikan adalah bahwa peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering
mendahului episode pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya. Hubungan tersebut
telah dilaporkan untuk gangguan depresi berat.
8

Data yang paling mendukung menyatakan bahwa peristiwa kehidupan paling


berhubungan dengan perkembangan depresi selanjutnya adalah kehilangan orang tua sebelum
usia 13 tahun. Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi
adalah kehilangan pasangan.
Bebeapa artikel teoritik mempermasalakan hubungan antara fungsi keluarga dan onset
serta perjalanan gangguan depresi berat. Selain itu, derajat psikopatologi di dalam keluarga
mungkin mempergaruhi kecepatan pemulihan, berkurangnya gejala, dan penyesuaian pasien
pasca pemulihan.
Epidemiologi5

Pada kelompok orang dengan diabetes, prevalensi gelaja-gejala depresi yang


secara klinis bermakna adalah 31% dan untuk prevalensi ganggaun depresi
mencapai 11%.

Orang dengan gangguan depresi memiliki peningkatan resiko untuk mengalami


diabetes sebanyak 65%.

Prognosis diabetes dan depresi (terkait komplikasi, resisten terhadap pengobatan,


dan kematian) memburuk ketika dua penyakit ini berkomorbiditas dibandingkan
ketika keduanya terpisah

Klasifikasi Diabetes5
DM diklasifikasikan berdasarkan proses pathogenesis yang menyebabkan hiperglikemik,
dulunya pernah dikriteriakan berdasarkan onset atau tipe terapi yang diberikan. Dua kategori
utama dari DM adalah tipe 1 dan tipe 2. DM tipe 1 merupakan ahsil dari komplit atau near tital
insulin defisiensi. Sedangkan DM tipe 2 merupakan campuran kelainan yang heterogen seperti
derajat resistensi insulin, kelainan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa.
Klasifikasi Ulkus Pedis3
Untuk tujuan klinis praktis, kaki diabetika dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu kaki
diabetika neuropati, iskemia dan neuroiskemia. Pada umumnya kaki diabetika disebabkan oleh
faktor :
9

Diabetika neuropati

Iskemia

Neurosikemia
Pada ulkus yang dilator belakangi neuropati ulkus biasanya bersifat kering, fisura, kulit

hangat, kalus, warna kulit nomrla dan lokasi biasanya di plantar, lesi sering berupa punch out.
Sedangkan lesi akibat iskemia bersifat sianotik, gangren, kulit dingin dan lokasi tersering adalah
jari. Bentuk ulkus perlu digambarkan seperti; tepi, dasar, ada atau tidak pus, eksudat, edema,
kalus, kedalaman ulkus perlu dinilai dengan probe steril. Probe dapat membantu untuk
menentukan adanya sinus, mengetahui ulkus melibatkan tendon, tulang atau sendi. Diabetic
iskemik pada DM dengan iskemik terjadi vaskuler iskemik sehingga terjadi pemyempitan
pembuluh darah karena terbentuk plak aterosklerosis pada dinding pembuluh darah sehingga
asupan darah berkurang menyebabkan agregat platelet juga berkurang sehingga proses
penyembuhan luka sukar terjadi.
Klasifikasi ulkus diabetika pada penderita diabetes melitius menurut Wagener, terdiri dari
6 tingkatan:
0 = tidak ada luka terbuka, kulit utuh.
1 = ulkus superfisialis, terbatas pada kulut.
2 = ulkus lebih dalam sering dikaitkan dengan inflamasi jaringan
3 = ulkus dalam yang melibatkan tulang, sendi dan formasi abses
4 = ulkus dengan kematian jaringan tubuh terlokalisir seperti pada ibu jari kaki, bagian
depan kaki atau tumit.
5 = ulkus dengan kematian jaringan tubuh seluruh kaki
Diagnosis Banding
Dalam menegakkan suatu gangguan depresi, diagnosis lain perlu dipikirkan, seperti
adanya gangguan organik, intoksikasi atau ketergantungan zat dan abstinensia, distimia,
siklotimia, gangguan kepribadian, berkabung dan gangguan penyesuaian. Perubahan intrinsik
yang berhubungan dengan epilepsi lobus temporalis dapat menyerupai gangguan depresi,
khususnya jika fokus epileptik adalah sisi kanan.

10

Berkabung merupakan suatu respon normal yang hebat, dan menyakitkan karena
kehilangan, tetapi responsif terhadap dukungan dan empati dapat membuat berangsur mereda /
sembuh seiring berjalanya waktu.7
Manifestasi Klinis
Ciri-ciri depresi versi American Psychology Association (APA):2
1. Mood yang depresi hampir sepanjang hari dan hampir setiap hari. Dapat berupa mood
yang mudah tersinggung.
2. Penurunan kesenangan atau minat secara drastic dalam seluruh aktivitasnya
3. Suatu kehilangan atau pertambahan berat badan yang signifikan (5% dari berat tubuh
dalam sebulan) atau suatu peningkatan atau penurunan selera makan yang drastic
4. Agitasi yang berlebihan atau melambatnya respon gerakan hampir setiap hari
5. Perasaan lelah atau kehilangan energi setiap hari
6. Perasaan berharga atau salah tempat ataupun rasa bersalah yang berlebihan hampir
setiap hari
7. Berkurangnya kemampuan untuk berkonsetrasi atau berpikir jernih atau untuk
membuat keputusan
8. Pikiran yang muncul berulang tentang kematian atau bunuh diri
Depresi sebagai suatu diagnose gangguan juwa adalah suatu keadaan jiwa dengan ciri
sedih, merasa sendirian, putus asa, rendah diri, disertai perlambatan psikomotorik, atau kadan
malah agitasi, menarik diri dari hubungan sosial, dan teradapat gangguan vegetatif seperti
anoreksia serta insomnia.
Sedangkan manifestasi klinis pada DM tipe 2:
1. Polidipsi (banyak minum)
2. Poliphagia (banyak makan)
3. Poliuria (sering buang air kecil)
4. Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas
Tanda dan gejala ulkus diabetika yaitu:3

Sering kesemutan

Nyeri kaki saat istirahat

Sensasi rasa berkurang


11

Kerusakan jaringan (nekrosis)

Penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea

Kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal

Kulit kering

Penatalaksanaan
Depresi8
Farmakologis:
1. Golongan TCA
Mekanisme aksi: menghambat re-uptake serotonin dan norepinerfin
Contoh obat : amittiptilin, imipramin, klomipramin, desipramin
2. Golongan SNRI
Mekanisme aksi: menghambat re-uptake serotonin dan norepinerfin
Contoh obat: venlafaksin
3. Golongan SSRI
Mekanisme aksi: menghambat re-uptake serotonin secara selektif
Contoh obat: fluoksetin, sentralin, paroksetin, fluvoksamin
4. Golongan MAOI
Mekanisme aksi: menghambat enzim monoamine oksidase
Contoh obat : fenelzin, tranilsipromin
5. Golongan aminoketon
Mekanisme aksi: menghambat re-uptake norepinerfin dan dopamine
Contoh obat: bupropion
6. Golongan triazolopyridin
Mekanisme aksi: antagonis reseptor 5HT, 5HT2A atau menghambat re-uptake
serotonin
Contoh obat: trazodon, nefazodon
7. Golongan tetrasiklik
Mekanisme aksi: antagonis reseptor alfa 2 adrenergik atau 5HT presinaptik
Contoh obat: mirtazapin
No.

Nama generic

Dosis anjuran
12

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Amitriptilin
75-150 mg/hari
Amoksapin
200-300 mg/hari
Klomipramin
100-200 mg/hari
Imipramin
75-150 mg/hari
Moklobemid
300-600 mg/hari
Maprotilin
75-150 mg/hari
Aminiptin
75-150 mg/hari
Mianserin
30-60 mg/hari
Opipramol
50-150 mg/hari
Sertralin
50-100 mg/hari
Trazodon
100-200 mg/hari
Paroksetin
20-40 mg/hari
Fluvaksamin
50-100 mg/hari
Fluoksetin
20-40 mg/hari
Tabel 2. Dosis antidepresan
sumber www.antidepresan-psikofarmaka.com

Non farmakologis:
a. Terapi perilaku cognitif (cognitif behavioral therapy/CBT)
Dalam sebuah analisis terhadap empat studi komparasi, terapi perilaku kognitif memiliki
efek yang sepadan dengan antidepresan dalam mengatasi depresi berat bagi banyak pasien.
Sebagian besar keberhasilan terapi psikolois tergantung pada keterampilan terapi psikologis
tergantung pada keterampilan terapis. Banyak penelitian menunjukkan bahwa terapi perilaku
kognitif dengan antidepresan memberikan keuntungan terbesar bagi banyak pasien, khususnya
untuk dhsthymia (depresi kronis). Bukti medis juga telah menemukan bahwa manfaat daru terapi
kognitif bertahan setelah perawatan telah berakhir. Terapi perilaku kognitid telah terbukti untuk
membantu mencegah upaya bunuh diri dimasa mendatang pada pasien dengan riwayat perilaku
bunuh diri.
Terapi kognitif mungkin sangat bermanfaat bagi pasien berikut:
1. Pasien dengan depresi atipikal
13

2. Remaja denagn gejala depresi berat ringan


3. Wanita dengan depresi postpartum, non-psikotik
4. Anak-anak dari orang tua dengan gangguan dalam kasus ini, terapi harus melibatkan
seluruh keluarga.
b. Terapi interpersonal (ITP)
Mendasarkan sebagian pada teori psikodinamik, terapi interpersonal mengakui adanya
akar depresi pada masa kanak-kanak, tetapi tetap berfokus pada gejala dan masalah-masalah
pada saat ini yang mungkin menyebabkan gangguan depresi. IPT tidak sebegitu spesifik seperti
terapi kognitif atau perilaku. Terapis berusaha untuk mengalihkan perhatain pasien, yang telah
terdistrodi oleh depresi, mengenai interaksi sosial pasien dan keluarga sehari-harinya secara
rinci. Tujuan dari metode pengobatan ini adalah meningkatkan keterampilan komunikasi dan
peningkatan harga diri dalam waktu singkat (3-4 bulan janji dengan pertemuan setiap minggu).
Diantara bentuk depresi yang dapat diatasi dengan IPT adalh deprei yang disebabkan adanya
suasana berkabung, konfilik terpendam dengan orang-orang yang memiliki hubungan yang dekat
perunahan besar dalam hidup, dan keadaan terisolasi. Sebuah studi metaanlisa dari 13 hasil
penelitian yang dilakukan pada kisaran 1974-2002 menunjukan bahwa dalam 9 penelitian, IPT
lebih efektif daripada CBT. Namun kombinasi IPT dan obat-obatan tidak secara signifikan lebih
efektif dibandingkan monoterapi obat untuk terapi akut atau terapi pencegahan.
c. Terapi elektrokonvulsif (ECT)
Terapi elektrokonvulsif (ECT) adalah prosedur yang digunakan untuk membantu
mengobati penyakit-penyakit psikiatrik. Arus listrik dilewatkan melalui otak untuk memicu
kejang (periode singkat aktivitas otak tidak teratur), beralngsung sekitar 40 detik. Pengobatan
tertentu diberikan untuk mencegah kejang menyeluruh seluruh tubuh.
ECT dapat dilakukan pada pasien-pasien depresi yang memiliki kondusi sebagai berikut:

Depresi berat dengan insmomnia (sulit tidur), perubahan berat, perasaan putus asa atau
rasa berasalah, dan pikiram untuk bunuh diri (menyakiti atau membunuh diri sendiri) atau

pembunuhan (melukai atau membunuh orang lain)


Depresi berat yang tidak merespon antidepresan (obat-obatan yang digunakan untuk

mengobati depresi) atau konseling


Pada pasien depresi berat yang tidak bisa menggunakan antidepresan

14

Mania berat yang tidak berespon terhadap pengobatan. Gejala mania parah antara lain

termasuk agitasi, kebingungan, halusinasi atau delusi.


Pasien schizophrenia yang tidak berespon terhadap pengobatan
Diabetes Melitus
Penatalaksanaan DM disebut sebagai 4 pilar yang terdiri atas edukasi (pasien, keluarga),

terapi gizi medis (food planning), latihan jasmani atau aktivitas fisik, dan intervensi farmakologis
untuk menurunkan kadar glukosa darah (obat hipoglikemik oral/OHO maupun insulin).
Pengelolaan DM dimulai denagn pengaturan makan dan latihan jasamani dalam jangka waktu
antara 2-4 minggu. Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi
farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) atau dengan suntikam insulin. OHO dapat
diberikan tunggal atau kombinasi. Untuk pencegahan hipoglikemia dapat dilakukan dengan
jadwal makan yang teratur, hindari konsumsi alcohol, hindari olaharaga berlebihan, dan majan
sanck sekitar 1 jam sebelum berolahraga.

Sulfonilurea

Cara kerja
Meningkatkan sekresi

Efek samping
BB naik,

Penurunan HBA1C
1,5-2%

Glinid

insulin
Meningkatkan sekresi

hipoglikemik
BB naik,

Metformin

insulin
Menekan produksi

hipoglikemik
Diare,

1,5-2%

glukosa dan

dyspepsia,

menambah sensitvitas

asidosis laktat

Alfa glukonidase

terhadap insulin
Menghambat absorbs

Flatulens, tinja

0,5-1,0%

inhibitor
Tiazolidindion

glukosa
Menambah sensivitas

lembek
Edema

1,3%

Insulin

terhadapa insulin
Menekan produksi

Hipoglikemik,

Potensial sampai normal

glukosa hati, stimulasi

BB naik

permanfaatan glukosa
Tabel 2. Macam-macam OHO

15

Ulkus pedis
Pencegahan dan pengelolaan ulkus diabetic untuk mencegah komplikasi lebih lanjut
adalah :
1.
2.
3.
4.
5.

Memperbaiki kelainan vaskuler


Memperbaiki sirkulasi
Pengelolaan pada masalah yang timbul (infeksi, dll)
Edukasi perawatan kaki
Pemberian obat-obat yang tepat untuk infeksi (menurut hasil laboratorium lengkap) dan
obat vaskularisasi, obat untuk penurunan gula darah maupun menghilangkan

keluhan/gejala dan penyulit DM


6. Olaharaga teratur dan menjaga berat badan ideal
7. Menghentikan kebiasaan merokok dan alcohol
8. Merawat kaki secara teratur setiap hari
Kesimpulan
Depresi merupaka satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaan yang sedih dan gejala penyertanya. Deprei dapat disebabkan berbagai faktor, salah
satunya faktor psikososial dan faktor biologic. Faktor psikososial dipengaruhi oleh peristiwa
kehidupan dna stress lingkungan. Faktir biologic berhubungan dengan kadar serotonin di dalam
tubuh. Serotonin secara tidak langsung berpengaruh terhadap pengaturan gula darah seseorang,
dimana penurunan kadar gula darah akan mengurangi kadan serotonin. Penurunan kadar
serotonin ini yang dapat mempengaruhi mood seseorang hingga dapat menimbulkan depresi,
efek dari depresi ini juga dapat memperparah keadaan penderita diabetes sehingga dapat
menyebabkan komplikasi seperti ulkus pedis. Penatalaksanaan yang tepat dan cepat sangat
diperlukan untuk mengatasi penyakit ini

16

Daftar Pustaka
1. Santoso M. Pemeriksaan fisik diagnosis. Jakarta: Bidang penerbit yayasan diabetes
Indonesia. 2005. H 56-7, 80-1
2. Ingram IM, Timbury GC, Mowbray RM. Psikiatri: catatan kuliah. Jakarta: Penerbit
EGC. 2005. H 5-7
3. Sudoyo AW, Setyohadi B, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar penyakit dalam.
Edisi ke-5. Jilid ke-2. Jakarta:interna publishing;2009. H 1953-5
4. Ismail A, Santoso H. Memahami krisis usia lanjut. Gunung Mulia. Jakarta:2009 h
101-2
5. Powers CA. Diabetes mellitus. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
Jameson JL, Loscalzo J [editor]. Harrisons principles of internal medicin. 18th Ed.
Vol II Philadelphia: The McGraw-HillCompanies 2011. H 2968-3002
6. Sadock BJ, Sadock VA. Psychosomatic medicine. In: Kaplan and Sadocks Synopsis
of Psychiatry. 10th ed. Philadelpia: Lippincott Williams and Wilkins.2007 h. 813-38
7. Kaplan, Harold I. ilmu kedokteran jiwa darurat. Widya medika. Jakarta:2005 h.23-5
8. Teter CJ, Kando JC, Wells BG, Hayes PE. Depressive disorder, in: diPiro (eds):
Pharmacotherarpy A pathophysycological Approach 7th ed, McGraw Hill. New
York:2008 h. 1101

17

Anda mungkin juga menyukai