Anda di halaman 1dari 92

SKRIPSI

PENGARUH TERAPI MUSIK KLASIK TERHADAP PERUBAHAN SKOR


TES ORIENTASI DAN AMNESIA GALVESTON (TOAG) PADA
PASIEN POST TRAUMATIK AMNESIA (PTA) DI RUANG
BEDAH SARAF RSUP. Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO
MAKASSAR

Oleh :
AHMAD.J
C 12111615

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala berkat, rahmat, pengetahuan,
serta hidayah-Nya penulis dapat merampungkan skripsi ini. Penulis menyadari
bahwa skripsi merupakan buah dari suatu proses yang relatif panjang, menyita
segenap tenaga waktu dan pikiran.
Akhirnya dengan waktu yang telah diberikan penulis dapat menyelesaikan
Skripsi ini dengan judul, Pengaruh terapi musik klasik terhadap perubahan
skor tes orientasi dan amnesia galveston (toag) pada pasien post traumatik
amnesia (pta) di ruang bedah saraf rs. dr. wahidin sudirohusodo makassar
Dalam penyusunan Skripsi ini penulis banyak mengalami hambatan dan
kesulitan, namun berkat bimbingan, pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak
akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima
kasih yang sedalam-dalamnya serta penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Idrus Paturusi, Sp.B,Sp.BO. selaku Rektor Universitas
Hasanuddin
2. Bapak Prof. dr. Irawan Yusuf, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.
3. Ibu Dr.Werna Nontji, S.Kp, M.Kep, selaku Ketua Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran universitas Hasanuddin Makassar.

4. Bapak Abd.Majid, S.Kep.Ns, M.Kep, Sp.KMB & Bapak Syahrul Ningrat,


S.Kep.Ns . selaku Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan
dengan sabar selama penyusunan skripsi hingga selesai.
5. Ibu Suni Hariati, S.Kep.Ns, M.Kep & Bapak Nuur Hidayat Jafar, S.Kep.Ns,
M.Kep , yang telah memberikan wakunya selaku tim Penguji Skripsi.
6. Direktur, Staf Administrasi dan rekan-rekan perawat RSUP Dr.Wahidin
Sudirohusodo Makassar yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk melakukan penelitian untuk melengkapi skripsi ini.
7. Kedua orang tuaku dan saudaraku yang telah memberikan doa dan dukungan
moril maupun materi kepada penulis selama mengikuti pendidikan.
8. Bapak Takdir Tahir, S.Kep.Ns, M.Kes selaku dosen PSIK UH yang senantiasa
memberikan waktu dan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
9. Sahabat-sahabat terbaikku: Ners B Angkatan 2011 PSIK UH yang senantiasa
mengingatkan dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan, oleh karena
itu penyusun mengharapkan saran dan kritikan dari pembaca yang bersifat
membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata penyusun mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk
dapat meningkatkan pengetahuan dalam bidang ilmu keperawatan bagi penyusun
pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Makassar, Januari 2013
Penulis.
AHMAD.J

DAFTAR ISI
Halaman judul

..............................................................................................

Halaman Persetujuan .....................................................................................

ii

Kata Pengantar ............................................ ..................................................

vi

Abstrak ..........................................................................................................

iv

Daftar Isi ..........................................................................................................

Daftar Tabel....................................................................................................

xii

Daftar Lampiran..............................................................................................

xiv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

...............................................................................

B. Rumusan Masalah ..............................................................................

C. Tujuan ................................................................................................

D. Manfaat Penelitian ...............................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Tinjauan Umum Tentang Cedera Kepala
1. Definisi

...................................................................................

2. Etiologi

3. Klasifikasi ...................................................................................

4. Manifestasi Klinis ..................................................................... 13


5. Penatalaksanaan .......................................................................... 14
6. Komplikasi .

18

7. Prognosis ..................................................................................... 18

B. Tinjauan Umum tentang PTA ............................................................ 19


C. Tinjauan Umum tentang GCS 23
D. Tinjauan Umum tentang TOAG ... 25
E. Tinjauan Umum Tentang Terapi Musik ... 26
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep ......................................................................... 32
B. Hipotesis Penelitian 33
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian

............................................................................ 34

B. Tempat dan Waktu

............................................................................ 34

C. Populasi

dan

Sampel

1. Populasi

................................................................................... 34

2. Sampel ...................................................................................... 35
3. Estimasi Besar Sampel ............................................................. 36
D. Alur Penelitian ................................................................................... 37
E. Variabel Penelitian

...

38

F. Defenisi Operasional ............................................................. 38


G. Pengelolaan dan Analisa Data ... 40
H. Instrumen Penelitian................................................................................ 41

I. Etika Penelitian 42
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil ...................................................................................... 45
B. Pembahasan ....................................................................................... 49
C. Keterbatasan Penelitian ..................................................................... 59
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ........................................................................................ 60
B. Saran ................................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan karakteristik umur di Rumah
Sakit
Dr.
Wahidin
Sudirohusodo
tahun
2012.. 45
Tabel 2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan karakteristik jenis kelamin di
Rumah
Sakit
Dr.
Wahidin
Sudirohusodo
tahun
2012
........................ 45
Tabel 3 Distribusi rata-rata responden berdasarkan skor GCS di Rumah Sakit Dr.
Wahidin Sudirohusodo tahun 2012 .............................................
46
Tabel 4 Distribusi Rata-Rata Responden berdasarkan Skor TOAG sebelum dan
setelah dilakukan intervensi di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo
tahun
2012................................................................................................. 46
Tabel 5 Distribusi rata-rata responden berdasarkan lama pasca trauma di Rumah
Sakit
Dr.
Wahidin
Sudirohusodo
tahun
2013................................................. 47
Tabel 6 Analisis Perbedaan Skor TOAG sebelum dan setelah dilakukan intervensi
di Rumah Sakit
Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun
2013....................... 48

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Klasik

: Buku panduan penelitian


: Lembaran persetujuan menjadi responden
: Lembaran Kuisioner penelitian
: Lembaran suart izin penelitian tentang Pengaruh Terapi Musik
Terhadap Perubahan Skor Tes Orientasi Amnesia Galveston

(TOAG)
Lampiran 5
Lampiran 6
Lampiran 7
Lampiran 8
Lampiran 9
Saraf

Pada Pasien Post Traumatic Amnesia (PTA) di RSUP Dr.Wahdin


Sudirohusodo Makassar
: Surat Izin/Rekomendasi penelitian oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Daerah SUL-SEL
: Surat permohonan pengajuan etik penelitian
: Lembaran rekomendasi persetujuan etik
: Surat izin penelitian di Ruang Bedah Saraf RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar
: Surat Keterangan Selesai melakukan penelitian di Ruang Bedah

RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar


Lampiran 10 : Lembaran Master Tabel Penelitian Pengaruh Terapi Musik Klasik
Terhadap Perubahan Skor Tes Orientasi Amnesia Galveston
(TOAG)
Pada Pasien Post Traumatic Amnesia (PTA) di RSUP Dr.Wahdin
Sudirohusodo Makassar
Lampiran 11
: Lembaran Hasil Uji Statistik dengan Program SPSS 18,0

ABSTRAK
Ahmad J, Pengaruh Terapi Musik Klasik Terhadap Perubahan Skor Tes
Orientasi dan Amnesia Galveston (TOAG) pada Pasien Post Traumatik
Amnesia (PTA) di Ruang Bedah Saraf RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar. Dibimbing oleh Abd.Madjid dan Syahrul Ningrat.
Latar Belakang dan Tujuan : Di Indonesia cedera kepala merupakan salah satu
penyebab kematian utama setelah Strok, Tuberkolosis dan Hipertensi,Salah satu
gejala sisa dari penderita cedera kepala adalah amnesia. Salah satu instrument yang
dapat digunakan untuk mengukur tingkat amnesia adalah dengan menggunakan
Skor Tes Orientasi dan Amnesia Galveston (TOAG). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh terapi musik klasik terhadap perubahan skor TOAG pada
PTA (Post traumatic Amnesia).
Metode Penelitian : Penelitian ini menggunakan rancangan Quasi Experiment
dengan tehnik one group pre test-psot test design. Jumlah sampel dalam penelitian
ini sebanyak 30 orang, sampling yang dipakai dalam penelitian ini adalah non
probality sampling dengan teknik consecutive sampling. Uji yang digunakan
adalah Wicoxon.
Hasil : Terapi musik yang diberikan pada pasien PTA ternyata memberikan
pengaruh yang sangat significant. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan rata-rata
skor TOAG setelah intervensi sebesar 12,44. Uji Wilcoxon memberikan gambaran
bahwa responden mengalami peningkatan skor TOAG pada 22 orang (7 3%).
Sedangkan hanya sebagian kecil responden saja yang tidak mengalami perubahan
yaitu 8 orang (27%) peningkatan rata-rata skor TOAG setelah intervensi sebesar
12,44 dan menunjukkan nilai p= 0,000.
Kesimpulan dan Saran : Ada pengaruh terapi musik klasik terhadap perubahan
skor TOAG (Test Orientasi Amnesia Galveston) pada PTA (Post traumatic
Amnesia) di Ruang Bedah Saraf RS.Dr. Wahidin Sudirohusodo. Penelitian
selanjutnya sebaiknya menilai efek terapi musik dengan menilai kadar endorpin
dalam darah, sehingga dapat diyakini secara kuat bahwa penyebab perbaikan nilai
skor TOAG benar-benar akibat produksi endorpin yang memperbaiki memori.
Kata Kunci : Terapi musik, Cedera Kepala, TOAG, PTA.
Kepustakaan : 72 (1996-2012)

ABSTRACT
Ahmad J, The influence of classic music therapy concerning the alteration of
Galveston Orientation and Amnesia Test (GOAT) to the Post Traumatic
Amnesia (PTA) Patient, Neurosurgery room, Dr. Wahidin Sudirohusodo
Hospital, Makassar. Guided by Abd.Madjid and Syahrul Ningrat.
Background and purpose: In Indonesia brain Injury is one of the biggest causes
of the mortality after stroke, Tuberculosis, and Hypertension. One of the residue
symptom of the brain injury sufferer is amnesia. The instrument that we can used
to know the amnesia grade is Galveston Orientation and Amnesia Test (GOAT).
The purpose of this research is to know the influence of music therapy concerning
the alteration of GOAT to the Post Traumatic Amnesia (PTA) Patient.
Method: This research used Quasi Experiment plan with one group pretest-posttest
design technique. Chosen sample was 43 people which were selected by
nonprobability sampling with consecutive sampling. Data were analyzed by
using Wilcoxon test.
Result: The Wilcoxon test showed that there were existence of significance GOAT
score for 22 people (73%). While only a small percentage of respondents who did
not change that 8 people (27%). The increase of the average GOAT score of 12.44
after intervention and demonstrate the value of p = 0.000.
Conclusions and Recommendations: There is a classical music therapeutic
effects to the change of GOAT score in PTA at the Neurosurgery RS.Dr. Wahidin
Sudirohusodo. Next studies should assess the effects of music therapy by assessing
the levels of endorphins in the blood, thus strongly believed that the cause of the
improvement TOAG score really due to the production of endorphins that improve
memory.
Key Word : Music therapy, Brain injury, GOAT, PTA
Literature : 72 (1996-2012)

` BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala (traumatic brain injury) merupakan salah satu kasus yang
paling sering dijumpai pada kasus kecelakaan. Cedera kepala didefinisikan
sebagai ruda paksa tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat distansi
cerebral sementara. Cedera kepala adalah suatu cedera yang mengenai daerah
kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita, 2001)
Di Amerika serikat kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Jumlah tersebut 10% meninggal sebelum tiba di rumah
sakit , sedangkan pengelompokan cedera kepala masih dapat dijumpai di rumah
sakit 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan, 10% termasuk cedera
kepala sedang, 10% sisanya cedera kepala berat. Insiden cedera kepala terutama
terjadi pada usia produktif antara 15-44 tahun. (Irwana 2009).
Di Indonesia sendiri cedera kepala merupakan salah satu penyebab
kematian utama setelah Strok, Tuberkolosis dan Hipertensi (DEPKES RI 2009).
Proporsi bagian tubuh yang terkena cedera akibat jatuh dan kecelakaan lalulintas,
salah satunya adalah kepala yaitu 6.036 (13%) dari 45.987 orang yang mengalami
cedera jatuh dan 4.089 (19.6%) dari 20.289 orang yang mengalami kecelakaan
lalulintas (RISKESDAS, 2007).

Data rekaman medik Rumah Sakit Umum Pendidikan .Dr. Wahidin


Sudirohusodo Makassar menunjukkan bahwa angka kejadian cedera kepala
mencapai 1.236 kasus terutama cedera kepala selama tahun 2010 Januari sampai
dengan Desember. Jumlah ini cenderung mengalami peningkatan di tahun
berikutnya. Hal ini terbukti dengan jumlah pasien cedera kepala yang telah
mencapai 597 orang selama periode Januari sampai dengan Juni 2011.
Berdasarkan hasil penelitian Midawati , (2011) sekitar 35 orang responden
yang menderita cedera kepala, 32 diantaranya mengalami Amnesia dan 3 oarang
responden yang mengalami amnesia borderline . Jumlah ini menunjukkan
tingginya kebutuhan penanganan khusus pada kasus ini. Menurut Japardi , 2002
bahwa amnesia pasca traumatic dapat pulih setelah 2 tahun, namun tidak sedikit
pasien yang mengalami gejala sisa atau tidak pulih sempurna. Sehingga, dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan pada perilaku, bahasa maupun fungsi
kognitif.
Amnesia Pasca Trauma merupakan gangguan pada memori episodik yang
digambarkan sebagai ketidakmampuan pasien unuk menyimak informasi kejadian
yang terjadi dalam konteks teporospatial yang spesifik, akan tetapi fase
penyembuhan

dini setelah penyembuhan gangguan

kesadaran juga

dikarakteristikkan oleh gangguan atensi dan perubahan perilaku yang bervariasi


dan mulai letargi sampai dengan agitasi ( Levin 1997, dikutip dalam Asrini 2008).
Levin (1997), Amnesia pasca cedera merupakan salah satu akibat dari
cedera kepala, dimana amnesia adalah suatu gangguan mental yang
dikarakteristikkan oleh disorientasi, kegagalan memori kejadian dari hari kehari,
ilusi dan salah dalam menganalisa keluarga, teman dan staf medis. PTA yang

berlangsung kurang dari 14 hari adalah prediktif dari good recovery sedangkan
PTA yang berlangsung telah dari 14 hari adalah prediktif untuk distabilitas sedang
sampai berat. ( Silvia 2008). Salah satu instrument yang dapat digunakan untuk
menilai tingkat amnesia adalah dengan menggunakan Teso Orientasi dan Amnesia
Galveston (TOAG). (King, dkk, 1997), Penelitian yang dilakukan oleh silvia &
souse 2007, menegaskan bahwa instrument dari TOAG ini dapat diterapkan ketika
nilai skor GCS 12-15.
Perubahan memori pada pasca trauma seperti terjadinya amnesia tersebut
kemungkinan dapat diperbaiki melalui terapi musik. Seperti penelitian yang
dilakuakan oleh Lerik & Prawitasari (2005) yang meneliti sekelompok mahasiswa
yang mengalami depresi. Hasilnya, musik sebagai media terapi mampu
menurunkan tingkat depresi setelah pelaksanaan satu bulan. Musik yang dipakai
pun dalam menurunkan gangguan neurotik, salah satunya kecemasan, dapat
bermacam-macam. Musik yang dapat memberikan ketenangan dan kedamaian
adalah musik dengan tempo yang lebih lambat (Rachmawati, 2005). Musik dengan
tempo lambat tersebut dapat ditemukan dalam semua genre, salah satunya adalah
musik klasik.

B. RumusanMasalah

Salah satu gejala sisa dari penderita cedera kepala adalah amnesia.
Dimana jika masalah amnesia ini terus berlanjut maka akan berdampak terhadap
kehidupan sehari-hari misalnya salah dalam mengenali anggota keluarga. Dalam
menilai hal tersebut skor TOAG merupakan salah satu instrument yang dapat
digunakan dalam menilai tingkat amnesia pada pasien PTA. Sehubungan dengan
latar belakang diatas maka penulis merasa tertarik untuk mengetahui, apakah ada
pengaruh terapi musik klasik terhadap perubahan skor TOAG pada pasien Post
Traumatic Amnesia?
C. TujuanPenelitian
1.TujuanUmum
Menganalisa pengaruh terapi musik klasik terhadap perubahan skor TOAG (Test
Orientasi Amnesia Galveston) pada PTA (Post traumatic Amnesia).
2. TujuanKhusus
a. Untuk mengidentifikasi skor TOAG pada PTA sebelum diberi terapi musik
klasik.
b. Untuk mengidentifikasi skor TOAG pada PTA setelah diberi terapi musik
klasik.
c.

Untuk melihat perbedaan skor TOAG sebelum dan setelah diberikan terapi
musik.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Ilmiah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya dan
sebagai tambahan pengetahuan yang bermanfaat bagi para pembaca bahwa
terapi musik klasik berpengaruh terhadap perubahan skor TOAG pada penderita
post traumatic amnesia.
2. Manfaat Institusi
Sebagai referensi tambahan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan tentang
perubahan skor TOAG melalui pemberian terapi musik dalam melakukan
asuhan keperawatan klien Post Traumatic Amnesia.
3. Manfaat bagi peneliti
Melalui penelitian ini, peneliti mendapatkan tambahan wawasan, pengalaman,
dan ilmu pengetahuan mengenai pentingnya pemberian terapi musik klasik
terhadap pasien Post Traumatic Amnesia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Cedera Kepala


1. Defenisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer
maupun permanen (Bedong, 2001). Cedera kepala menurut Depkes RI
(2010) adalah salah satu penyakit yang disebabkan oleh benturan langsung
maupun tidak langsung di kepala akibat kecelakaan lalu lintas, jatuh, atau
terpukul/dipukul sehingga menyebabkan gangguan kognitif pada anak,
remaja, dewasa dan usia lanjut. Grace & Borley (2006) mengemukakan
bahwa cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan pada tengkorak
maupun otak.
Batticaca (2008) juga mendefinisikan bahwa cedera kepala adalah
gangguan fungsi normal otak akibat trauma tumpul maupun trauma tajam
yang menimbulkan defisit neurologis akibat rusaknya substansia alba,
iskemia, dan pengaruh massa karena hemoragik, serta edema serebral di
sekitar jaringan otak. Cedera kepala juga didefinisikan sebagai trauma pada

kepala selain cedera superfisial pada wajah (National Institute for Health
and Clinical Excellence, 2007)
2. Etiologi
Penyebab dari cedera kepala adalah : kecelakaan lalu lintas, jatuh,
kecelakaan industri, kecelakaan olah raga dan luka pada persalinan
(Widagdo dkk,2008). Pada umumnya cedera kepala merupakan akibat salah
satu atau kombinasi dari dua mekanisme dasar yaitu kontak bentur dan
guncangan lanjut. Cedera kontak bentur terjadi bila kepala membentur atau
menabrak sesuatu objek atau sebaliknya, sedangkan cedera guncangan lanjut
yang sering kali dikenal sebagai cedera akselerasi deselerasi, merupakan
akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik yang disebabkan oleh
pukulan maupun bukan karena pukulan (Satyanegara,2010).
3. Klasifikasi
a. Berdasarkan nilai GCS, cedera kepala diklasifikasikan menjadi :
1) Cedera Kepala Ringan
Dewantoro (2009), mengemukakan bahwa cedera kepala
disebut ringan jika GCS > 13, tidak terdapat kelainan pada CT scan
otak, tidak memerlukan tindakan operasi, dan lama pasien dirawat di
rumah sakit < 48 jam. Hal yang serupa juga dijelaskan oleh Bernard
(2006) bahwa pasien cedera kepala ringan memiliki nilai GCS 14-15.
2) Cedera Kepala Sedang
Institute of Trauma and Injury Management (2011) menjelaskan
bahwa trauma kapitis sedang memiliki nilai GCS 9-13, terdapat sekitar
30-50% abnormalitas pada CT scan, membutuhkan sekitar 30-50 kali

intervensi neurologis, dan memiliki tingkat mortalitas 10-15%. Hal


serupa juga dijelaskan oleh Dewantoro et. al. (2009) yang menjelaskan
bahwa pasien cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13,
ditemukan kelainan pada CT scan otak, memerlukan tindakan operasi
untuk lesi intrakranial, dan dirawat di rumah sakit setidaknya 48 jam.
3) Cedera Kepala Berat
Cedera kepala digolongkan berat bila dalam waktu 48 jam
setelah trauma nilai GCS < 9 Dewantoro et. al. (2009). Hal yang serupa
juga dikemukakan oleh Bernard (2006) yang menjelaskan bahwa
cedera kepala digolongkan berat ketika dampak dari trauma
menyebabkan koma (ketidakmampuan untuk membuka mata,
berkomunikasi secara verbal, dan mengikuti perintah yang diberikan)
dan nilai GCS berubah hingga < 9. Santhanam et. al. (2007) juga
menambahkan bahwa tingkat mortalitas untuk cedera kepala berat
sekitar 46%.
b. Berdasarkan mekanismenya, trauma kapitis dibedakan menjadi :
1) Cedera kepala tertutup
Cedera kepala tertutup terjadi ketika kepala menerima benturan
ataupun pukulan yang keras dari sebuah objek, tetapi tidak terjadi
kerusakan pada tulang tengkorak. Tidak terjadi hubungan antara otak
dengan dunia luar pada kondisi ini (Heller, 2010).
Cedera kepala tertutup dibagi menjadi primer dan sekunder.
Cedera primer menurut Pramono (2006) merupakan suatu kerusakan
yang dihasilkan dari impak mekanik secara langsung pada tulang

tengkorak dan jaringan otak. Cedera sekunder merupakan akibat dari


hipotensi, hipoksia, asidosis, edema, ataupun faktor-faktor yang dapat
menyebabkan kerusakan sekunder pada jaringan otak (Castilla, 2009).
2) Cedera kepala terbuka
Cedera kepala terbuka merupakan suatu kondisi dimana terjadi
hubungan antara isi rongga kepala dengan dunia luar, seperti pada luka
tembak, luka bacok, luka memar otak, benturan kepala, dan lain-lain.
Phillips & Fujii (2005) menambahkan bahwa cedera kepala terbuka
biasanya memerlukan tindakan pembedahan untuk membersihkan
jaringan otak. cedera seperti ini dapat menyebabkan kematian yang
mendadak, khususnya bila cedera diakibatkan oleh benda dengan
kekuatan yang tinggi (Heller,2010).
c. Berdasarkan lokasi perdarahannya, trauma kapitis diklasifikasikan
menjadi :
1) Epidural hematoma
Epidural hematom adalah perdarahan yang nenuju ke ruang
antara tengkorak dan duramater. Kondisi ini terjadi karena laserasi
dari arteri meningea media (Widagdo,2008). Pramono (2006)
menjelaskan bahwa hematoma epidural terdapat di luar dura mater
tetapi masih dalam tengkorak dan sering berlokasi di temporal atau
temporoparietal. Price & Wilson (2005) menambahkan bahwa
hematoma yang membesar di daerah temporal akan menyebabkan
tekanan pada lobus temporalis otak yang akan menyebabkan bagian
medial dari lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium.

Keadaan inilah yang akan menyebabkan timbulnya tanda-tanda


neurologik yang kemudian akan dapat dikenali oleh tim medis.
Pereira et. al. (2005) menyatakan bahwa hematoma yang
semakin membesar akan mendorong seluruh isi otak ke arah yang
berlawanan akan menyebabkan peningkatan TIK. Selanjutnya akan
timbul

tanda-tanda

lanjut

peningkatan

TIK

seperti

yang

dikemukakan oleh Phillips & Fujii (2005) antara lain penurunan


derajat kesadaran, hipertensi, muntah, gangguan tanda-tanda vital,
dan gangguan fungsi pernapasan.
2) Subdural hematoma
Subdural hematom adalah perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arachnoid (Markam,1999). Hal yang sama juga
dijelaskan oleh Mardjono & Sidharta (2008) yang menyatakan
bahwa subdural hematoma berlokasi di bawah duramater, tepatnya
diantara duramater dan arachnoid. Setelah beberapa waktu, jumlah
dari perdarahan dapat menyebabkan peningkatan TIK dan
menunjukkan gejala seperti yang terlihat pada epidural hematoma.
Zieve (2010) menyatakan bahwa perdarahan dengan cepat
akan mengisi area otak dan menekan jaringan otak. Hal ini sering
menimbulkan kematian. Pramono (2006) juga menambahkan bahwa
akumulasi perdarahan akan tampak di CT scan kepala sebagai
kumpulan darah berbentuk bulan sabit diantara otak dan dura mater.
Hematoma subdural dapat dibagi menjadi tipe-tipe yang
berbeda yaitu :

a) Hematoma subdural akut


Price & Wilson (2005) menjelaskan bahwa hematoma
subdural akut menimbulkan gejala neurologik penting dan serius
dalam 24 jam sampai dengan 48 jam setelah cedera. Stone
(dikutip dalam Sastrodiningrat, 2006) mendefinisikan sebagai
akut untuk kasus-kasus perdarahan subdural yang dioperasi
dalam waktu 24 jam.
b) Hematoma subdural kronik
Dugdale (2010) menjelaskan bahwa hematoma subdural
akut yang tidak ditangani dapat berkembang menjadi hematoma
subdural kronik. Plaha et al. (2008) juga menambahkan bahwa
hematoma subdural kronik merupakan masalah yang sering
dijumpai dalam kasus bedah saraf. Hal ini biasanya terjadi pada
kelompok lanjut usia.
3) Perdarahan subarachnoid
Fusco

(2009)

mengemukakan

bahwa

perdarahan

subarachnoid terjadi pada daerah di bawah arachnoid, tempat dari


cairan serebrospinal. Seringkali terdapat nyeri kepala hebat dan
perasaan mual muntah. Price & Wilson (2005) juga mengemukakan
bahwa keadaan ini sering terjadi bersamaan dengan jenis perdarahan
pada otak lainnya.
4) Perdarahan intracerebral
Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak
karena

pecahnya

pembuluh

darah

arteri,

kapiler,

vena

(Musliha,2010). Intracerebral hematom akibat cedera kepala yang


berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja. Grace &
Borley (2006) menambahkan bahwa perdarahan ini akan
menyebabkan kerusakan otak yang ireversibel. Perdarahan
semacam ini sering ditemukan di lobus temporalis dan frontalis
(Mardjono & Sidharta, 2008).
5) Fraktur tengkorak
Adanya fraktur tengkorak menunjukkan bahwa terjadi
benturan kuat yang dijalarkan ke kepala pasien (Pramono, 2006).
Hal ini serupa dengan penjelasan yang dikemukakan oleh Fusco
(2009) bahwa tulang tengkorak diklasifikasikan sebagai tulang
pipih, artinya tulang ini tidak memiliki sumsum di dalamnya.
Dibutuhkan kekuatan dalam jumlah yang signifikan untuk
mematahkan tulang tengkorak, dan tulang ini tidak menyerap
pengaruh dari kekuatan tersebut. Semuanya akan ditransmisikan
secara langsung ke otak.
d. Berdasarkan Patologi, Cedera Kepala diklasifikasikan menjadi :
1) Cedera kepala Primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut,
yaitu terjadi segera saat benturan terjadi.cedera kepala primer dapat
berupa : fraktur linear, depresi,kebocoran liquor,trauma tembak,
cedera fokal, cedera difus.
2) Cedera kepala Sekunder adalah kelainan atau kerusakan yang terjadi
setelah terjadinya trauma/benturan dan meruapakan akibat dari
peristiwa yang terjadi pada kerusakan primer.cedera kepala primer

dapat berupa gangguan sistemik dan hematoma traumatika


(Satyanegara,2010).
4. Manifestasi klinis
Harsono (1999) menyatakan secara umum dapat dikatakan bahwa
semakin berat kualitas trauma kepala semakin besar kemungkinan timbulnya
akibat jangka panjang. Markam (1999) menambahkan pada trauma kapitis
lesi yang terjadi pada otak dapat menimbulkan macam-macam kelainan
dalam bidang memori, kognisi, emosi maupun perilaku.
Zieve (2010) menjelaskan bahwa gejala akibat trauma kapitis dapat
timbul seketika ataupun berkembang dengan lambat lebih dari beberapa jam
hingga beberapa hari. Fusco (2009) juga mengungkapkan bahwa tanda dan
gejala dari trauma kapitis dapat bervariasi mulai dari kehilangan kesadaran
dan koma.
5. Penatalaksanaan
a. Cedera kepala ringan
Satyanegara

(2010)

menyatakan

penanganannya

mencakup

anamnesa yang berkaitan dengan jenis dan waktu kecelakaan, riwayat


penurunan kesadaran atau pingsan, riwayat adanya amnesia (retrograde
atau antegrade) serta keluhan-keluhan lain yang berkaitan dengan
peninggian tekanan intracranial seperti : nyeri kepala, pusing, dan muntah.
Hal ini kemudian ditambahkan oleh Grace & Borley (2006) yang
menjelaskan bahwa pada trauma kapitis ringan, pasien sadar tetapi
mungkin memiliki riwayat periode kehilangan kesadaran.

Kurniawan (2011) juga menjelaskan penetalaksanaan cedera kepala


ringan meliputi:
1) Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan,
terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup
bermakna, amnesia atau sakit kepala hebat. 3 % penderita cedera kepala
ringan ditemukan fraktur tengkorak, dengan gejala klinis :
a) Keadaan penderita sadar
b) Mengalami amnesia yang berhubungna dengan cedera yang
dialaminya
c) Dapat disertai dengan hilangnya kesadaran yang singkat
Pembuktian kehilangan kesadaran sulit apabila penderita dibawah
pengaruh obat-obatan / alkohol.
d) Sebagain besar penderita pulih sempurna, mungkin ada gejala sisa
ringan
e) Fractur tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala,
namun indikasi adanya fractur dasar tengkorak meliputi, ekimosis
periorbital, rhinorea, otorea, hemotimpani, battles sign.
f) Penilaian terhadap Foto ronsen meliputi, fractur linear/depresi,
posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah, batas udara air
pada sinus-sinus, pneumosefalus, fractur tulang wajah, benda asing.
g) Pemeriksaan laboratorium, darah rutin tidak perlu, kadar alkohol
dalam darah, zat toksik dalam urine untuk diagnostik / medikolagel.

h) Therapy meliputi, obat anti nyeri non narkotik, toksoid pada luka
terbuka, penderita dapat diobservasi selama 12 24 jam di Rumah
Sakit
b. Cedera kepala sedang
Untuk pasien dengan trauma kapitis sedang, penatalaksanaan yang
dapat dilakukan antara lain periksa dan atasi gangguan jalan nafas,
sirkulasi, fiksasi leher dan patah tulang ekstremitas, dan CT scan kepala
bila curiga adanya hematom intracranial, Japardi (2002).satyanegara
(2010) juga menambahkan pada tingkat ini semua kasus mempunyai
indkasi untuk dirawat. Selama hari pertama perawatan di rumah sakit perlu
dilakukan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam sekali, sedangkan
follow up sken tomografi komputer otak pada hari ke-3 atau bila ada
perburukan neurologis.
Kurniawan (2011) juga menjelaskan, penatalaksanaan pasien cedera
kepala sedang meliputi:
1) Tindakan di unit gawat darurat meliputi :
a) Anamnese singkat
b) Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan
neulorogis
c) Pemeriksaan CT scan
2) Penderita harus dirawat untuk diobservasi
3) Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat bila :
a) Status neulologis membaik

b) CT scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang


memerlukan pembedahan
4) Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan
cedera kepala berat.
5) Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya
c. Cedera kepala berat
Penanganan yang cepat dan tepat sangat di perlukan pada penderita
dalam kelompok ini karena sedikit keterlambatan akan mempunyai resiko
terbesar berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas, di mana tindakan
menunggu

(wait

and

see)

di

sini

dapat

berakibat

fatal

(Satyanegara,2010). menyatakan . penatalaksanaan yang penting untuk


pasien dengan trauma kapitis berat menurut Grace & Borley (2006)
meliputi intubasi dan ventilasi pasien tidak sadar untuk melindungi jalan
napas dan mencegah cedera otak sekunder akibat hipoksial.
Menurut Kurniawan (2011) penatalaksaan pada penderita cedera
kepala berat meliputi:
1) Airway dan breathing
Sering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian
karena terjadi apnoe yang berlangsung lama
Intubasi endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan
penderita cedera kepala berat dengan memberikan oksigen 100 %
Tindakan

hyeprveltilasi

mengoreksi sementara

dilakukan

secara

hati-hati

untuk

asidosis dan menurunkan TIK pada

penderita dengan pupil telah dilatasi dan penurunan kesadaran

PCo2 harus dipertahankan antara 25 35 mm Hg.


2) Sirkulasi
a)

Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi.

b)

Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat


pada kasus multiple truama, trauma medula spinalis, contusio
jantung / tamponade jantung dan tension pneumothorax.

c)

Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan


untuk mengganti cairan yang hilang.

d)

UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan adanya


akut abdomen.

6. Komplikasi
a. Kebocoran cairan Serebrospinal, akibat fraktor pada Fossa anterior dekat
sinus frontal atau dari fraktor tengkorak bagian petrous dari tulang
temporol.
b. Kejang pasca trauma dapat terjadi secara (dalam 24 jam pertama) dini
(minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).
c. Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatik pada rangkai
hipofisis menyebabkan penghentian sekresi hormon antideuretik. Hudak
& Gallo ( 1996 )
7. Prognosis
Grace & Borley (2006) juga menyatakan hal yang tidak jauh
berbeda. Menurutnya, prognosis berhubungan dengan derajat kesadaran saat
pasien tiba di rumah sakit.
Tabel 1. Tingkat Mortalitas Berkaitan dengan GCS

GCS saat tiba

Mortalitas

15

1%

8-12

5%

<8

40%

McPhee & Papadakis (2008) menyatakan bahwa prognosis dari


trauma kapitis bergantung pada lokasi dan derajat keparahan dari kerusakan
otak. Beberapa pedoman untuk prognosis adalah dengan menilai status
mental, sejak kehilangan kesadaran lebih dari satu atau dua menit
menunjukkan prognosis yang buruk dan sebaliknya.
B. Tinjauan Umum Tentang Amnesia Pasca Trauma
Amnesia Pasca Trauma didefenisikan pertama kali oleh Russel dan
Smith sebagai periode setelah trauma kapitis dimana informasi tentang
kejadian yang berlangsung tidak tersimpan (Levin,1997; Ellenberg dkk,1996).
Dalam istilah neuropsikologi kognitif, Amnesia Pasca Trauma adalah suatu
gangguan pada memori episodic yang digambarkan sebagai ketidakmampuan
pasien untuk menyimpan informasi kejadian yang terjadi dalam konteks
temporospatial yang spesifik. Akan tetapi fase penyembuhan dini setelah
gangguan kesadaran juga dikarakteristikkan oleh gangguan atensi dan
perubahan behavioral yang bervariasi dari mulai letargi sampai dengan agitasi
(Levin,1997 ; Ellenberg dkk,1996 dikutip dalam Asrini Silvia 2008).
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk
mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama

berlalu. Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Cedera pada


otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi sesaat
sebelum terjadinya kecelakaan (amnesia retrograd) atau peristiwa yang terjadi
segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca trauma).
Dasar patologi dari Amnesia Pasca Trauma masih tidak jelas,
meskipun korelasinya terhadap MRI terlihat mengindikasikan sesuatu yang
berasal dari hemisfer dibanding dengan diencephalic (Greenwood, 1997).
Memori dan new learning dipercaya melibatkan korteks serebral, proyeksi
subkortikal,

hippocampal

formation

(gyrus

dentatus,

hipokampus,

gyrus parahippocampal), dan diensefalon, terutama bagian medial dari


dorsomedial dan adjacent midline nuclei of thalamus . Sebagai tambahan, lesi
pada lobus frontalis juga dapat menyebabkan perubahan pada behavior ,
termasuk iritabilitas, aggresiveness, dan hilangnya inhibisi dan judgment.
Sekarang ini, telah didapati bukti adanya keterlibatan lobus frontalis kanan
pada atensi (Cantu, 2001).
Cedera kepala dapat bersifat primer maupun sekunder. Cedera
primer dihasilkan oleh tekanan akselerasi dan deselerasi yang merusak
kandungan intrakranial oleh karena pergerakan yang tidak seimbang dari
tengkorak dan otak. Akan tetapi, faktor yang paling penting pada cedera otak
traumatik adalah shearing yang berupa tekanan rotasi yang cepat dan berulang
terhadap otak segera setelah trauma kapitis. Concussion mengakibatkan
tekanan shearing yang singkat dan penyembuhan komplet. Jika tekanan
shearing lebih banyak dan berulang, kerusakan akson juga menjadi lebih
banyak, durasi hilangnya kesadaran lebih panjang dan penyembuhan

melambat. Dalam praktek, gambaran klinisnya adalah koma yang diikuti


dengan amnesia pasca trauma. Oleh karena itu tingkat keparahan trauma
kapitis tertutup dapatdinilai dengan durasi koma dan amnesia pasca trauma.
Sedangkan suatu contusion adalah suatu trauma yang lebih luas terhadap
otak dimana robekan jaringan yang memperlihatkan tekanan shearing dengan
gangguan akson yang disebabkan oleh axonal shearing dan injury terhadap
otak dengan dampak ke permukaan tulang : bagian medial, ujung dan dasar
lobusfrontalis dan bagian anterior dari lobus temporalis paling sering terlibat.
Area yang rusak adalah berbentuk kerucut dengan dasar pada permukaan otak,
terutama mengenai lapisan pertama dari korteks (Gilroy, 2000).
Taksonomi keparahan cedera kepala berdasarkan Amnesia Pasca
cedera kepala sebagai berikut: cedera kepala ringan jika amnesia pasca trauma
kurang dari 1 jam, cedera kepala sedang jika amnesia cedera kepala antara 124 jam, cedera kepala berat jika amnesia cedera kepala lebih dari 7 hari. Dari
penelitian ini diperoleh hasil bahwa durasi yang lebih dari 14 hari memprediksi
outcome yang kurang baik, disabilitas sedang terlihat pada durasi amnesia
pasca trauma lebih dari 7 hari. Kebanyakan pasien dengan good recovery
memiliki durasi amnesia pasca trauma antara 1 sampai 7 hari dan kebanyakan
pasien dengan disabilitas sedang memiliki durasi amnesia pasca trauma lebih
dari 14 hari (Silvia,2008).
Amnesia Pasca Trauma dapat dibagi dalam 2 tipe. Tipe yang
pertama adalah retrograde, yang didefinisikan oleh Cartlidge dan Shaw,
sebagai hilangnya kemampuan secara total atau parsial untuk mengingat
kejadian yang telah terjadi dalam jangka waktu sesaat sebelum trauma kapitis.

Lamanya amnesia retrograde biasanya akan menurun secara progresif. Tipe


yang kedua dari PTA adalah amnesia anterograde, suatu defisit dalam
membentuk memori baru setelah kecelakaan, yang menyebabkan penurunan
atensi dan persepsi yang tidak akurat. Memori anterograde merupakan fungsi
terakhir yang paling sering kembali setelah sembuh dari hilangnya kesadaran
(Cantu,2001).
Satyanegara (2010) mengklasifikasikan amnesia: amnesia anterograd,
amnesia retrograd, dan amnesia psikogenik. Amnesia anterograd merupakan
ketidakmampuan untuk mempelajari materi baru setelah mengalami gangguan
otak. Amnesia retrograde merupakan amnesia terhadap kejadian sebelum
terjadinya gangguan otak. Amnesia psikogenik merupakan amnesia di mana
pasien memblok suatu kurun waktu.
Ada beberapa penanganan pada penderita amnesia, dalam penelitan yang
dilakukan oleh Kikuchi & Hirokazu (2009) menjelaskan bahwa penganan
yang dapat dilakukan antara lain:
1. Terapi kognitif, mungkin memberi manfaat spesifik untuk individu dengan
gangguan trauma. Identifikasi spesifik dari penyimpangan kognitif berdasar
pada trauma mungkin memberikan jalan untuk mengingat riwayathidupnya
pada pasien dengan riwayat amnesia. Pasien menjadi mampu untuk
memperbaiki penyimpangan kognitif, khususnya arti trauma sebelumnya,
mengingat kembali dengan lebih detail kejadian traumatik yang mungkin
terjadi.

2. Hipnosis dapat digunakan sebagai salah satu jalan terapi amnesiadisosiatif.


Intervensi hipnosis dapat digunakan untuk membatasi, mengatur intensitas
gejala; memfasilitasi pengendalian recall; menyediakan dukungan pada pasien.
3. Terapi somatik, Tidak diketahui farmakoterapi yang ada untuk amnesia
disosiatif selainwawancara yang difasilitasi farmakologi. Beberapa agen
digunakan untuk tujuan ini, termasuk sodium amobarbital, thiopental,
benzodiazepine, amphetamine. Wawancara yang difasilitasi farmakologi
digunakan terutama dalammenangani amnesia akut dan reaksi konversi, atau
indikasi lainnya.Prosedur ini juga terkadang digunakan pada kasus amnesia
disosiatif kronik dimana pasien tidak memberi respon pada intervensi lain
C. Tinjauan Umum Tentang Glasgow Coma Scale (GCS)
Iankova (2003) menjelaskan bahwa Glasgow Coma Scale (GCS)
pertama kali dikembangkan di Kota Glasgow Skotlandia pada tahun 1974 dan
dimodifikasi oleh Teasdale & Jennett pada tahun 1976 dengan menambahkan
satu elemen, abnormal fleksi, sehingga menghasilkan skala 15 seperti yang
digunakan saat ini. Satyanegara (2010) mengemukakan bahwa Skala ini mulamula dikembangkan sehubungan dengan penentuan gradatasi dan prognosa
cedera kepala traumatik, tetapi sering juga di aplikasikan pada keadaan
gangguan kesadaran lainnya (non-traumatika). Widagdo (2008) menambahkan
Glasgow Coma Scale (GCS) cara yang mudah dan objektif, serta dapat di
percaya untuk mengukur tingkat kesadaran dimana aspek yang dinilai meliputi
membuka mata, respon verbal dan motorik. Bertambah atau berkurangnya
jumlah nilai merupakan petunjuk dari tingkat kesadaran. Nilai 7 atau kurang
umumnya klien mengalami koma. Seseorang yang normal mempunyai nilai 15.

Table 2. Pengukuran Tingkat Kesadaran Glassgow Coma Scale


Respons

Nilai

Respon (membuka) Mata


Membuka mata dengan spontan

Membuka mata dengan instruksi

Membuka mata dengan ransangan

Tidak ada respon

Respon Verbal
Orientasi orang, tempat dan waktu
Berbicara

tetapi

tidak

sepenuhnya

5
dapat

dimengerti

Berbicara tetapi tidak dimengerti

Bersuara tetapi tidak dikenal kata-katanya

Tidak ada respon


Respon Motorik
Mengikuti perintah dengan mudah

Mengenal lokasi nyeri tetapi tidak dapat

mengikuti perintah

Menarik

dari

ransangan

dengan

tangan

difleksikan

Fleksi abnormal (decorticate rigidity)

Ekstensi abnormal (decerebrate rigidity)


Tidak ada respon

D. Tinjauan umum Tentang Tes Orientasi dan Amnesia Galveston


(TOAG)
Diantara beberapa penilaian Amnesia Pasca Trauma yang tersedia
sekarang, TOAG adalah yang paling banyak digunakan (Frey dkk, 2007).
Penilaian ini pendek dan mudah digunakan. Penilaiannya terdiri dari sejumlah

poin yang ditambahkan ketika menjawab dengan benar atau jumlah kesalahan.
Skor yang mendekati angka 100, berarti fungsi masih terjaga. Tes ini dapat
diberikan beberapa kali dalam sehari, meskipun pada hari yang berturut-turut.
Sehingga dapat dibuat grafik untuk menggambarkan perjalanan kapasitas dari
mulai waktu tertentu sampai orientasi total tercapai. Pengarang dari tes ini
percaya bahwa tes ini sesuai bagi seseorang pasien untuk memulai pemeriksaan
kognitf ketika skor 75 atau lebih dicapai pada tes ini yang mengindikasikan
pasien tidak confusion dan disorientasi lagi. (Frey dkk, 2007).
Tes TOAG diciptakan Levins dan kawan-kawan untuk menentukan
apakah penderita trauma kepala sudah pulih daya mengingatnya. Tes ini terdiri
atas pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab pasien.
Skor TOAG ditentukan = 100 jumlah skor kesalahan yang dibuat.
Penilaian hasil :

Normal lebih dari 75


Perbatasan : 66-75
Abnormal

: 65 atau kurang

E. Tinjauan Umum tentang terapi musik


1. Pengertian
Terapi musik teridiri dari dua kata, yaitu kata terapi dan musik.
Terapi (therapy) adalah penganan penyakit dan diartikan juga sebagai
pengobatan sedangkan musik adalah suara atau nada yang mengandung
irama. (Djohan, 2006)

2. Hubungan musik dengan fungsi otak


Musik merupakan getaran uadara harmonis yang ditangkap oleh
organ pendengaran kemudian menggetarkan gendang telinga, menggucang
cairan ditelinga dalam sertakan menggetarkan sel-sel berambut didalam
cochlea untuk selanjutnya melalui saraf koklearis menuju ke otak. (Djohan,
2006)
Ada tiga buah jaras retikuler atau reticalr actifating system yaitu:
a. Jaras retikuler thalamus, musik akan diterima langsung oleh thalamus,
yaitu suatu bagian otak yang mengatur emosi, sensasi dan perasaan
tanpa terlebih dahulu dicerna oleh bagian otak yang berpikir mengenai
baik buruk maupun intelegensia.
b. Melalui hypothalamus mempengaruhi struktur basal forebrain
termahsuk system limbik.
c. Melalui

azon

neuron

secara

difus

mempersarafi

neoporteks.

Hipothalamus merupakan pusat saraf otonom yang mengatur fungsi


pernapasan, denyut jantung, tekanan darah, pergerakan otot usus, fungsi
endokrin, memori, dan lain-lain. Seorang peneliti Ira Altschuler
mengatakan sekali suatu stimulus mencapai thalamus, maka secara
otomatis pusat otak telah diinvasi. (Djohan, 2006)
Dalam penelitiannya, donal Hodges (dikutip dalam Sirait, 2006)
mengemukakan nahwa bagian otak yang dikenal sebagai plamum
temporale dan corpus callosum memiliki ukuran yang lebih besar pada
otak musisi jika dibandingkan dengan mereka yang bukan musisi.
Kedua bagian ini bahkan lebih besar lagi jika para musisi tersebut telah

belajar musik setelah usia yang masih sangat muda yakni di bawah usia
tujuh tahun.
Gilman dan Newman (dikutip dalam sirait, 2006) mengemukakan
bahwa plannum temporale adalah bagian otak yang banyak berperan
dalam proses verbal dan pendengaran, sedangakan corpus callosum
berfungsi sebagai pengirim pesan berita dari otak kiri kesbelah kanan
dan sebaliknya.
Pada dasarnya otak manusia memiliki dua bagian besar, yaitu otak
kiri dan otak kanan. Pada beberapa penelitian mengatakan bhawa
kemampuan musikal seseorang berpusat pda belahan otak kanan,
namun pada proses perkembangannya proporsi kemampuan yang
tadinya terhimpun hanya pada otak kanan akan menyebar melalui
corpus callosum ke belahan otak kiri. Akibatnya kemampuan tersebut
berpengaruh pada perkembangan linguistic seseorang (guyton dan hall,
2008).
Dr. Lawrence Parsons dari Universitas Texas San Antonio
menemukan data bahwa harmoni, melodi, dan ritme memiliki
perbedaan pola aktivitas pada otak. Melodi menghasilkan gelombang
otak yang sama pada otak kiri maupun otak kanan, sedangkan harmoni
dan ritme lebih terfokus pada belahan otak kiri saja. Namun secara
keseluruhan, musik melibatkan hamper seluruh bagian otak. (Sirait,
2006).
Dr. Gottfried Schlaug dari Boston mengemukakan bahwa otak
seorang laki-laki musisi memiliki cerebellum (otak kecil) 5% lebih

besar dibandingkan yang bukan musisi. Oleh dasar teori tersebut telah
memberikan pengertian bahwea latihan musik memberikan dampak
tertentu pada proses perkembangan otak (Sirait, 2006).
3. Musik dan produksi hormon
Mary Griffith, seorang ahli fisiologi, mengemukakan bahwa
hipothalamus mengontrol berbagai fungsi saraf otonom, seperti bernapas,
denyut jantung, tekanan darah, pergerakan usus, pengeluaran hormon tiroid,
hormon adrenal korteks, hormon seks, bahkan dapat mengotrol seluruh
metabolisme tubuh kita. Sebuah studi menemukan adanya peningkatan
luteinizing hormon (LH) pada saat mendengarkan musik. Adalah suatu
hormon sex yang merangsang pematangan sel telur (Sirait, 2006).
Penelitian lain oleh satiadarma (dikutip dalam sirait, 2006)
dilakukan dengan cara mengukur suhu kulit menggunakan alat Galvanic
Skin Response (GSR). Pada saat subyek penelitian mendengarkan musik
hingar-bingar, maka suhu kulit lebih rendah dari suhu basal (suhu normal
inidividu tersebut tanpa musik). Sebaliknya, ketika musik lembut
diperdengarkan, suhu kulit meninggi dari biasanya. Hal ini menunjukkan
suatu hormon stress yang dilepaskan oleh otak yaitu adrenalin yang
membuat vasokontriksi atau vasodilatasi pembuluh darah. Pada kondisi
stress, adrenalin banyak dikeluarkan dan pembuluh darah kulit
bervasokontriksi, sehingga suhu kulit menurun. Kesimpulannya adalah
jenis musik hingar bingar dapat menyebabkan efek stress, sedangkan musik
lembut memiliki efek menenangkan.

David Noebel meneliti bahwa nada bass dengan getaran frekuensi


rendah bersama-sama dengan dentuman drum, mempengaruhi cairan
cerebrospinal yang akan mempengaruhi kelenjar pituitary di otak. Kelenjar
ini memiliki fungsi sekresi berbagai hormon tubuh. (American Musik
Therapy Asossiation, 2006)
4. Musik sebagai terapi
Hylock & Curtis (dikutip dalam Sirait, 2006), menjelaskan bahwa
terapi musik ini sudah menjadi pilihan alternatif nonframakologis dalam
perawatan kanker, terutama dipusat-pusat perawatan kanker di Rumah Sakit
besar dan sentra medic.Dalam bidang kedokteran, terapi musik dikenal
sebagai

complementary

medicine

yang

dapt

digunakan

untuk

meningkatkan, mempertahankan, dan mengembalikan kesehatan fisik,


mental, emosional, maupun spiritual dengan menggunakan bunyi atau
irama tertentu. Samuel (dikutip dalam Sirait, 2006).
Peranannnya sebagai terapi, O.Sullivan (dikutip dalam American
musik terapi, 2006) mengemukakan bahwa musik mempengaruhi
imanjinasi, intelegensi dan memori, disamping juga mempengaruhi
hipofisis di otak untuk melepaskan endorphin. Endorpin kita tahu dapat
mengurangi rasa nyeri, hingga dapat mengurangi penggunaan obat
analgetik, juga menurunkan kadar katekolamin dalam darah sehingga
denyut jantung menurun.
5. Karakteristik trapi musik klasik
Djohan

(2006)

menyebutkan

bahwa

terapi

musik

adalah

penggunaan musik sebagai alat terapi untuk memperbaiki, memelihara, dan

meningkatkan keadaan mental, fisik dan emosi. Terapi musik juga


merupakan cara yang mudah yang bermanfaat positif bagi tubuh, psikis,
serta meningkatkan daya ingat dan hubungan sosial. Terapi musik adalah
penggunaan

musik

untuk

relaksasi,

mempercepat

penyembuhan,

meningkatkan fungsi mental dan menciptakan rasa sejahtera.


Dalam peneltian yang dilakukan oleh Susanti dan Rohmah (2011)
yang menggunakan musik klasik sebagai terapi dalam menangani
kecemasan, hasilnya menunjukkan bahwa dengan mendengarkan musik
klasik dapat secara efektif menurunkan kecemasan matematika siswa. Ada
perbedaan tingkat kecemasan matematika yang signifikan antara sebelum
perlakuan (pretest) dan sesudah perlakuan (posttest) pada siswa. Siswa
yang belajar matematika dengan mendengarkan musik klasik mengalami
penurunan skor kecemasan matematika.
Menurut Greer (2003), keunggulan terapi musik yaitu : (1) Lebih
murah daripada analgetik, (2) Prosedur non-invasif, tidak melukai pasien,
(3) Tidak ada efek samping, (4) Penerapannya luas, bias diterapkan pada
pasien yang tidak bias diterapkan terapi secara fisik untuk meurunkan nyeri.
Dalam bentuk yang paling sederhana, terapi musik selain efektif dan juga
tidak membutuhkan persiapan dan alat yang cukup banyak. Sebuah pemutar
CD, kaset, atau Mp4 dengan Headphones merupakan komponen pokok
yang dibutuhkan dalam pelaksanaan terapi musik.

BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Kerangka Konsep
Kelana (2011) menjelaskan bahwa kerangka konsep penelitian adalah suatu
hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep lainnya dari masalah
yang akan diteliti.. Secara rinci kerangka konsep pengaruh terapi musik klasik
terhadap perubahan skor TOAG pada pasien PTA adalah sebagai berikut:
Variabel Independen
Terapi Musik Klasik

Variabel Dependen

Variabel Dependen

Pre test Skor


TOAG pada
pasien PTA

Post test Skor


Toag pada pasien
PTA

Variabel Confounding
-

Letak Perdarahan
Lama Pasca Trauma
GCS

Ket :
Variabel yang diteliti
Variabel Moderat

B. Hipotesis Penelitian
Hipotesis Alternatif (Ha)
Ada pengaruh terapi musik klasik terhadap perubahan skor TOAG pada
pasien Post Traumatic Amnesia di RS Dr.Wahidin Sudirohusodo.

BAB IV
METODE PENELITIAN
C. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan Quasi Experiment dimana teknik yang
digunakan adalah one group pre test-psot test design. (Kelana, 2011).
Prestest
Kelompok Eksperimen

01

Perlakuan

Postest

02

03
Keterangan:
01: Pengukuran skor TOAG sebelum diberikan terapi musik.
X: Pemberian perlakuan terapi musik pada pasien PTA.
02: Pengukuran skor TOAG setelah diberikan terapi musik.
03: Perbandingan skor TOAG dan setelah diberikan terapi musik.
D. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di ruang bedah saraf Lontara III RSUP
Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
2. Waktu
Penelitian ini dimulai pada bulan April sampai Desember 2012
E. Populasi Sampel Penelitian
1. Populasi
Hidayat (2007) mengemukakan bahwa populasi merupakan seluruh
subjek atau objek dengan karakteristik tertentu yang akan diteliti. Adapun

populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien pasca trauma di ruang
bedah saraf Lontara III RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
2. Sampel
Kelana (2011) menyatakan bahwa sampel penelitian sebagai unit
yang lebih kecil lagi adalah individu yang merupakan bagian dari populasi
terjangkau dimana peneliti langsung melakukan pengumpulan data atau
melakukan pengamatan/pengukuran pada unit ini. Sampling yang dipakai
dalam penelitian ini adalah non probality sampling dengan teknik
consecutive sampling yaitu teknik yang tidak memberikan kesempatan
yang sama bagi anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel dengan
menentukan sampel yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Kriteria Inklusi
1) Pasien post traumatic amnesia.
2) Pasien rawat jalan maupun rawat inap.
3) Usia > 17 tahun dan dibawah <65 tahun.
4) Pasien dengan GCS 12-15.
b. Kriteria Eksklusi
1) Menjalani riwayat, perawatan atau pengobatan pada alat-alat
pendengaran.
2) Nilai GCS Menrurun dibawah 12.
3) Responden yang berhenti ditengah-tengah ketika penelitian
berlangsung.

c. Sampel

Besar sampel dalam penelitian ini akan ditentukan dengan


menggunakan rumus sebagai berikut (Sugiyono, 2008)

2.N.P.Q
d2.(n-1)+ 2.p.q

S = 5t

S = Perkiraan jumlah sampel


N = Perkiraan besar populasi
2 dengan dk = 1
r
d = Taraf kesalahn (d+0.05)
Jadi, besarnya sampel:

S=

2.N.P.Q
d .(n-1)+ 2.p.q

S=

12.40.0,5.0,5

0.052(40-1)+12.0,05.0,05
S=

10
0.0975+0,25

S = 29 Responden
Dalam penelitian ini jumlah sampel yang diperoleh adalah 30
responden.

F. Alur Penelitian
Adapun alaur penelitian dari populasi terjangkau hingga hasil penyajian
data, kesimpulan dapat dilihat sebagai berikut:
Persetujuan judul penelitian
Izin pengambilan data awal
Penyusunan dan pengajuan proposal
Izin penelitian
Menentukan Populasi: pasien Post Traumatic Amnesia
Pengumpulan sampel yang dipenuhi kriteria inklusi &
eksklusi
Pemberian penjelasan & kesediannya melalui surat persetujuan responden
Pengukuran skor TOAG (pre test) pada kedua kelompok penelitian

Intervensi (terapi musik)


Pengukuran akhir skor TOAG pada kedua kelompok penelitiaan
Pengelolaan dan analisa data dengan (Wilcoxon)
Penyajian hasil penelitian
Kesimpulan dan saran
Laporan hasil

G. Variabel Penelitian
1. Identifikasi Variabel
Dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu variabel bebas dan
variabel terikat.
a. Variabel Bebas (Independent)
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau dianggap
menentukan variabel terikat (saryono, 2008). Adapun variabel bebas
vbdalam penelitian ini adalah terapi musik.
b. Variabel Terikat (Dependent)
Notoatmojo (2005) mengatakan variabel terikat adalah variabel yang
dipengaruhi oleh variabel bebas. Dalam penelitian ini variabel
terikatnya adalah skor TOAG pasien PTA.
H. Definisi Operasional dan kriteria Objektif
1. Terapi Musik yaitu memperdengarkan musik pada pasien PTA
menggunakan headphones yang disambungkan dengan Mp3 dengan
volume maksimal 80 persen, adapun musik yang diperdengarkan adalah
musik klasik dengan durasi 15 menit dengan frekuensi 1 kali sehari,
diberikan minimal selama 3. Skor TOAG diukur hari pertama dan hari
ketiga.
2. Tes TOAG adalah tes orientasi yang dilakukan dengan mengajukan
beberapa pertanyaan, kemudian penilaiannya terdiri dari sejumlah poin
yang ditambahkan ketika menjawab dengan benar atau jumlah kesalahan.

Skor yang mendekati angka 100, berarti fungsi masih terjaga. Kriteria
obyektif penilain skor TOAG meliputi skor 1-100.
3. Prosedur
a. Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan sebagai berikut:
1.

Alat:
Kepekaan telinga manusia normal terhadap intensitas bunyi
memiliki dua ambang, yaitu ambang pendengaran dan ambang rasa
sakit. Bunyi dengan intensitas di bawah ambang pendengaran tidak
dapat didengar. Intensitas ambang pendengaran bergantung pada
frekuensi yang dipancarkan oleh sumber bunyi. Frekuensi yang
dapat didengar oleh telinga manusia normal adalah antara 20 Hz
sampai dengan 2000 Hz. Di luar batas frekuensi tersebut , anda
tidak dapat mendengarnya. Pemutar musik digital pada volume
optimal atau maksimal (intensitas sekitar 100 desibel), telinga
hanya boleh terpapar maksimal 5 menit per hari, pada volume 90
persen (90 desibel) hanya boleh terpapar selama 18 menit, pada
volume 80 persen (80 desibel), hanya boleh 1 ,2 jam dosis
maksimal per hari. dan, pada volume 70 persen (70 desibel), hanya
boleh sekitar 4 ,6 jam maksimal per hari.(Dicky, 2006)
Sesuai dengan petunjuk diatas penelitian ini akan menggunakan
alat pemutar musik media player four (Mp4) dan headset telinga
tertutup penuh dengan sensitivitas maksimal volume 80 persen (80
dB) dan frekuensi 20-20.000 Hz selama 15 menit perhari.

2. Bahan
Musik yang digunakan adalah jenis aliran musik klasik.
(Rahmawati, 2005), menjelaskan bahwa gelombang suara musik
yang dihantarkan ke otak berupa energi listrik melalui jaringan
syaraf akan membangkitkan gelombang otak yang dibedakan atas
fekuensi alfa, beta, theta, dan delta.
4. Penatalaksanaan
a. Dilakukan pengukuran awal pada hari pertama (pre test) skor TOAG
pada pasien PTA.
b. Setelah

skor

TOAG

didapatkan

kelompok

perlakuan

mulai

diperdengarkan menggunakan headphones yang dihubungkan dengan


Mp4

sebelum

mendengarkan

diberikan

instruksi

kemudian

diperdengarkan musik (15 menit) dimana durasi waktu ini dengan jenis
musik klasik yang diulang selama durasi tersebut.
c. Pada hari kedua masih diberikan perlakuan yaitu terapi musik klasik
selama 15 menit.
d. Pada hari ketiga masih diberikan perlakuan yaitu terapi musik selama
15 menit kemudian dilakukan pengukuran skor TOAG.
e. Selajutnya pada hari keempat dan kelima masih diberikan terapi musik
klasik selama 15 menit dan pada hari kelima dilakukan pengukuran
akhir skor TOAG.
I. Pengelolaan dan Analisa Data
1. Teknik pengelolaan data
a. Koding

Pertama-tama memberi kode di kanan lembar observasi. Pengisian


berdasarkan pelaksanaan setiap indikator yang diamati pada respon
tersebut.
b. Editing
Editing dilakukan untuk meneliti setiap item penilaian. Editing meliputi
kelengkapan pengisian, kesalahan dan konsistensi dari setiap
pelakasanaan indikator yang diteliti.
c. Skoring
Skoring yaitu member skor data yang telah dikumpulkan.
d. Tabulasi Data
Tabulasi data merupakan kelanjutan dan pengkodean pada proses
penglolahan. Dalam hal ini setiap data tersebut dikoding kemudian
ditabulasi agar lebih mempermudah penyajian data dalam bentuk
distribusi frekuensi.
2. Teknik Analisa Data
a. Analisa Univariat
Analisa univariat untuk menganilisis data secara deskriptif yakni data
yang diperoleh dapat disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi,
ukuran tendensi sentral atau grafik (Saryono, 2010).

b. Analisa Bivariat
Dilakukan untuk melihat pengaruh variabel bebas terhadap variabel
independen dengan menggunakan uji statistik wilcoxon dengan
menggunakan program komputer.

J. Instrument Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Tes Orientasi Amnesia Galveston (TOAG)
Tes TOAG adalah paling banyak di gunakan diantara beberapa
penilaian PTA yang tersedia sekarang. Tes ini penilaiannya pendek dan
mudah di gunakan. Tes ini Penilaiannya terdiri dari sejumlah poin yang
ditambahkan ketika menjawab dengan benar atau jumlah kesalahan.
Skor TOAG ditentukan 100 dikurang dengan jumlah skor kesalahan
yang dibuat. Skor yang mendekati angka 100, berarti fungsi masih terjaga.
Pengarang dari tes ini percaya bahwa tes ini sesuai bagi seseorang pasien
untuk memulai pemeriksaan kognitf ketika skor 75 atau lebih dicapai pada
tes ini yang mengindikasikan pasien tidak confusion dan disorientasi lagi.
2. Glosgow Coma Scale (GCS)
Standar baku yang digunakan untuk menilai derajat kesadaran
pasien trauma kapitis dan reaksinya terhadap rangsangan. GCS terdiri dari
tiga kategori penilaian yaitu respon membuka mata, respon verbal, dan
respon motorik. Respon membuka mata memiliki skor maksimum 4, respon
verbal memiliki skor maksimum 5, dan respon motorik memiliki skor
maksimum 6. Skor minimum untuk ketiga kategori penilaian adalah 1. Nilai
GCS diperoleh dari penjumlahan skor untuk ketiga kategori penilaian
tersebut sehingga skor GCS maksimum yang dapat diperoleh adalah 15 dan
skor minimum yang dapat diperoleh adalah 3.

K. Etika Penelitian

Dalam

melakukan

penelitian,

peneliti

memandang

perlu

adanya

rekomendasi dari pihak intitusi atas pihak lain dengan mengajukan permohonan
izin kepada kepada isntansi tempat penelitian dalam hal ini RS Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar. Setelah mendapat persetujuan barulah dilakukan
penelitian dengan menekankan masalah etika penelitian. (Hidayat, 2007).
1. Anonymity (Tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan
nama responden dengan memberikan kode tertentu.
2. Confindentiality (Kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi dijamin oleh peneliti, dan hanya kelompok
data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.
3. Justice (keadilan)
Peneliti mempertimbangkan aspek keadilan dan hak subyek untuk
mendapatkan perlakuan yang sama baik sebelum, selama, maupun sesudah
berpartisipasi dalam penelitian. Responden juga dapat mengundurkan diri
jika merasa keberatan walaupun ketika penelitian sedang berlangsung.
4. Beneficiance (Keuntungan)
Peneliti melaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur penelitian
guna mendapatkan hasil yang bermanfaat semaksimal mungkin bagi subyek
penelitian dan dapat digeneralisasikan ditingkat populasi.
5. Respect for Person (Penghormatan terhadap Manusia), mencakup 2 (dua)
pertimbangan etik fundamental yaitu :

a. Penghormatan terhadap otonomi yang mengharuskan mampu membuat


pertimbangan pilihan pribadi mereka harus diperlakukan dengan hormat
untuk kemampuannya menentukan nasib sendiri (self determination).
b. Perlindungan terhadap otonomi yang cacat atau berkurang. Penelitian
yang dilakukan hendaknya tidak mengandung unsur bahaya atau
merugikan subjek penelitian, apalagi sampai mengancam jiwa. Jika
penelitian sampai mengorbankan atau mendatangkan bahaya bagi
subjek penelitian sebaiknya penelitian tersebut dihentikan (Wasis,
2008).

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dikemukakan hasil dan pembahasan tentang pengaruh
pengaruh terapi musik klasik terhadap perubahan skor TOAG (Test Orientasi
Amnesia Galveston) pada PTA (Post traumatic Amnesia) di Ruang Bedah Saraf
RS.Dr. Wahidin Sudirohusodo. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian
dengan metode quasi eksperimental design : one group pre test and post test
design.
A. Hasil
1. Analisa univariat
a. Umur
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Umur di
Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 2012 (n=30)
Kategori Umur
Jumlah (f)
Persentase (%)
Remaja Awal 12-16

10

Remaja Akhir 17-25

15

50

Dewasa Awal 26-35

Dewasa Akhir 36-44

20

Pra Lansia 45-59

10

Lansia Akhir 60

Tabel 1 Menunjukkan bahwa usia 17-25 merupakan angka tertinggi


responden yang menderita cedera kepala, dengan persentase sebesar 50%.

b. Jenis Kelamin

Tabel 2
Distribusi Frekuensi Responden Kerdasarkan karakteristik Jenis
Kelamin di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun
2012. (n=30)
Jenis kelamin

Jumlah (f)

Persentase (%)

25
5
30

83,3
16,7
100

Laki-laki
Perempuan
Total

Pada analisis univariat diperoleh gambaran bahwa sebagian besar


responden adalah laki-laki yaitu berjumlah 25 orang (83,3%).
c. Skor Penilaian Kesadaran
Tabel 3
Distribusi rata-rata responden berdasarkan skor GCS di Rumah
Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 2012. (n=30)
Variabel

Mean

Median

SD

Min-Maks

Skor GCS

14,47

15

0,819

13 15

Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata responden memiliki nilai GCS


14,47 dengan nilai minimal 13 dan nilai maksimal 15.

d. Kemampuan Memori (Skor TOAG)


Tabel 4
Distribusi Rata-Rata Responden berdasarkan Skor TOAG pretest
dan postest di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 2012
(n=30)
Variabel

Mean

Median

SD

Min-Maks

Skor TOAGpre

57,53

62,5

19,29

6 85

Skor TOAGpost

69,97

75

19,5

15 93

Nilai rata-rata skor TOAG responden postest lebih tinggi (69,97)


dibanding nilai rata-rata skor TOAG pretst (57,53). Dari hasil intervensi
dengan terapi musik menunjukkan ada perubahan selisih nilai Skor
TOAG sebelum di intervensi dan setelah di intervensi menjadi 12,44
poin.
e. Lama Pasca Trauma

Tabel 5.
Distribusi rata-rata responden berdasarkan lama pasca trauma di
Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 2013 (n=30)
Variabel

Mean

Median

SD

Lama Pasca Trauma

15,77

9,5

20,74

MinMaks
4 90

Tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata lama kejadian pasca trauma


responden adalah 15,77 hari. Dimana responden paling cepat 4 hari pasca
trauma dirawat di rumah sakit dan paling lama 90 hari.
f.

Skor TOAG Kategorik


Tabel 6

Distribusi Rata-Rata Responden berdasarkan Skor TOAG Kategorik


pretest dan postest di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun
2012 (n=30)
TOAG
Abnormal
Perbatasan
Normal

Pretest
23
3
4

Postest
12
5
13

Tabel 6 menunjukkan responden yang memiliki skor TOAG terbanyak


adalah yang abnormal sebanyak 23 responden dan setelah posttest
berkurang menjadi 12 responden.

2. Analisa Bivariat
a.

Analisis perbedaan Skor TOAG pretest dan postest


Tabel 7
Analisis Perbedaan Skor TOAG pretest dan postest di Rumah
Sakit
Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 2013 (n=30)
MinVariabel
Mean Median
SD
Nilai p
Maks
Skor TOAGpre 57,53
62,5
19,29
6 85
0,000*
Skor
69,97
75
19,5
15 93
TOAGpost
Selisih mean
12,44

*Uji Wilcoxon

Nilai rata-rata skor TOAG pretest (57,53) berbeda dengan nilai rata-rata
skor TOAG postest (69,97) dengan selisih mean yaitu 12,44.
b.

Analisis perbedaan Skor TOAG Kategorik pretest dan postest


Tabel 8
Analisis Perbedaan Skor TOAG Kategorik pretest dan postest di
Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 2013 (n=30)
Abnormal

Borderline

23

Postest
12
*Uji Marginal Homogeneity

13

Pretest

Normal

p
0,000

Tabel 8 menunjukkan P=0,000 yang berarti terdapat perbedaan yang


bermakna skor TOAG prtest dan postest. Dengan selisih responden
yang abnormal pretest sebanyak 23 responden dan postest menjadi 12
responden.
B. Pembahasan
1.

Analisis perbedaan Skor TOAG sebelum dan setelah intervensi


Terapi musik yang diberikan pada pasien PTA ternyata memberikan

pengaruh yang sangat significan. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan rata-rata
skor TOAG setelah intervensi sebesar 12,44. Responden

mengalami

peningkatan skor TOAG pada 22 orang (7 3%). Sedangkan hanya sebagian


kecil responden saja yang tidak mengalami perubahan yaitu 8 orang (27%).
Hasil yang diperoleh pada penelitian juga didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Baker (2009) terhadap pasien PTA menunjukkan bahwa
ternyata dengan pemberian terapi musik dapat meningkatkan orientasi dan
mengurangi perilaku agitasi pada responden. Hanya saja dalam penelitian
tersebut menggunakan terapi musik secara berkelompok . Selain itu, penelitian
tersebut juga tidak menjelaskan secara detail instrumen yang digunakan dalam
penelitian. Penelitian oleh Baker (2001, dalam Bradt, et al, 2010) juga
membuktikan bahwa terjadi perubahan yang sigifikan pada kondisi agitasi dan
level orientasi (kondisi memori) pada pasien PTA setelah pemberian terapi
musik pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok control (p <
0,0001).
Peranannnya sebagai terapi, O.Sullivan (dikutip dalam American musik
terapi, 2006) mengemukakan bahwa musik mempengaruhi imanjinasi,
intelegensi dan memori, disamping juga mempengaruhi hipofisis di otak untuk
melepaskan endorphin. Endorpin kita tahu dapat mengurangi rasa nyeri, hingga
dapat mengurangi penggunaan obat analgetik, juga menurunkan kadar
katekolamin dalam darah sehingga denyut jantung menurun. Pada sistem saraf
pusat, kortisol dapat mengubah eksitasi neuron dan menginduksi apoptosis
khususnya pada sel jaringan hipokampus. Hal ini dapat mempengaruhi perilaku
dan aspek psikologis individunya, depresi merupakan hal yang sering dijumpai
pada terapi hormon glukokortikoid. Dan penderita depresi tanpa terapi hormon

glukokortikoid, juga sering menunjukkan peningkatan dan perubahan pola


waktu sekresi kortisol yang diikutian dengan perubahan jam biologis.
Musik merupakan salah terapi komplementer yang cukup banyak
digunakan dalam berbagai kondisi. Salah satu penelitian yang menggunakan
kelompok lansia yang mengalami demensia menggunakan terapi musik sebagai
upaya untuk meningkatkan keterampilan komunikasi dan perhatian serta
orientasi pada lansia tersebut. Hasilnya adalah terdapat pengaruh yang
signifikan pada kemampuan kognitif lansia yang mendapatkan terapi tersebut
(Brotons & Koger, 2000). Walaupun kerusakan yang terjadi berbeda
penyebabnya, tetapi perubahan memori yang terjadi pada cedera kepala dan
demensia sama-sama mengakibatkan gangguan perhatian, daya ingat dan
kemampuan verbal.
Kuhlmann & Wolf (2005) melalui hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa kortisol terbukti menurunkan secara signifikan level dari memori
(p<0,05). Sehingga berdasarkan hal tersebut dapat diasumsikan bahwa secara
tidak langsung, musik yang memiliki efek relaksasi terhadap responden telah
menurunkan level kortisol yang berdampak pada perbaikan memori responden
pada penelitian ini.
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa bahwa rata-rata lama kejadian
pasca trauma responden adalah 15,77 hari. Dimana responden paling cepat 4
hari pasca trauma dirawat di rumah sakit dan paling lama 90 hari. Hal ini
menunjukkan bahwa pada responden mengalami perlambatan dalam recovery
memory disebabkan karena waktu rata-rata lama kejadian pasca trauma sekitar
15-16 hari. Sedangakan waktu yang terbaik untuk terjadinya good recovery

pada memory sekitar 1- 7 hari, bahkan berdasarkan pada penelitian ini


beberapa responden yang rata-rata lama kejadian pasca trauma sekitar 90 hari
Meskipun menurut Japardi (2002) bahwa amnesia pasca traumatic
dapat pulih setelah 2 tahun, namun tidak sedikit pasien yang mengalami gejala
sisa atau tidak pulih sempurna. Sehingga, dapat mengakibatkan terjadinya
perubahan pada perilaku, bahasa maupun fungsi kognitif. Dua tahun
merupakan masa yang tidak singkat. Dampak yang ditimbulkan dari kondisi di
atas kemungkinan besar dapat menurunkan kualitas hidup dari penderita.
Sehingga, memang sangat penting untuk diatasi dan mendapat perhatian.
Terapi musik yang dilakukan dalam penelitian ini ternyata membuktikan bahwa
memori pada pasien PTA dapat ditingkatkan secara bertahap. Walaupun ada
sebagian kecil responden yang tidak mengalami perubahan.
Perubahan memori pada pasien PTA memang merupakan suatu masalah
yang kemungkinan besar sangat merisaukan bagi penderitanya karena akan
menentukan nasib mereka ke depannya terkait dengan pekerjaan yang dapat
mereka lakukan setelah PTA. Hal ini sesuai dengan pendapat Turana, Judianti,
dan Dewanto (2009) bahwa pasien-pasien yang mengalami cedera kepala harus
melakukan pemeriksaan fungsi kognitif apakah mereka masih dapat melakukan
pekerjaan mereka atau tidak. Hal ini disebabkan oleh lambatnya pemrosesan
informasi dan memori pada pasien sehingga akan mengganggu aktivitas dan
komunikasi penderitanya..
Taksonomi keparahan cedera kepala berdasarkan Amnesia Pasca cedera
kepala sebagai berikut: cedera kepala ringan jika amnesia pasca trauma kurang
dari 1 jam, cedera kepala sedang jika amnesia cedera kepala antara 1-24 jam,

cedera kepala berat jika amnesia cedera kepala lebih dari 7 hari. Dari penelitian
ini diperoleh hasil bahwa durasi yang lebih dari 14 hari memprediksi outcome
yang kurang baik, disabilitas sedang terlihat pada durasi amnesia pasca trauma
lebih dari 7 hari. Kebanyakan pasien dengan good recovery memiliki durasi
amnesia pasca trauma antara 1 sampai 7 hari dan kebanyakan pasien dengan
disabilitas sedang memiliki durasi amnesia pasca trauma lebih dari 14 hari (
Asrini Silvia,2008).
Hasil analisa peneliti, berapapun umur seseorang bila peristiwa trauma
kepala terjadi, berat ringannya amnesia yang dialami sangat tergantung dari
beratnya kerusakan atau cedera yang dialami serta lokasi pada daerah otak yang
mengalami cedera. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Midawati (2011) di Makassar tentang Analisis Gambaran Amnesia

Pada

Pasien Pasca Cedera Kepala Di RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar


bahwa bila terjadi multi truma misalnya Epidural Hematom dan Intracerebral
Hematom, umumnya pasien mengalami ketidaksadaran yang cukup lama.
Sedangkan Pasien yang mengalami Trauma Capitis Berat biasanya multi
trauma ditambah dengan luasnya volume perdarahan pada otak. Outcome
pasien sangat tergantung pada nilai GCS, Letak perdarahan

dan volume

perdarahan bukan berdasarkan pada umur pasien.


Score GCS merupakan salah satu indikator pengukuran tingkat
kesadaran pasien yang mengalami cedera kepala. Score GCS menjadi patokan
untuk menilai tingkat keparahan suatu trauma atau cedera. Pada penelitian ini
terdapat sekitar 2 orang (5,7 %) GCS yang rendah antara 3 8. Berdasarkan
letak perdarahan kedua pasien ini mengalami masing-masing Epidural

Hematom (EDH) dan Intra Cerebral Hematom (ICH) Frontal. Jika dilihat pada
kasus tersebut bahwa perdarahan yang disebabkkan oleh rupturnya pembuluh
darah arteri akan mengakibatkan perdarahan yang massif sehingga volume
perdarahan akan semakin meningkat.
Volume perdarahan yang meningkat hingga mencapai sekitar 50 cc
akan menimbulkan manifestasi gangguan neurologis antara lain kesadaran
menurun, herniasi yang menekan batang otak sehingga kesadaran semakin
menurun (Wahjoepramono, 2005). Pereira et. al. (2005) menyatakan bahwa
hematoma yang semakin membesar akan mendorong seluruh isi otak ke arah
yang berlawanan akan menyebabkan peningkatan TIK. Selanjutnya akan
timbul tanda-tanda lanjut peningkatan TIK seperti yang dikemukakan oleh
Phillips & Fujii (2005) antara lain penurunan derajat kesadaran, hipertensi,
muntah, gangguan tanda-tanda vital, dan gangguan fungsi pernapasan.
Penelitian yang dilakukan oleh Dederianty 2011 tentang Pengaruh
Operasi Trepanasi Terhadap Perubahan Nilai Glasgow Coma Scale (GCS),
Status Kardiovaskular, dan Status Respirasi Pasien Trauma Kapitis Di RSUP
Dr Wahidin Sudirohusodo menemukan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara tindakan Trepanasi dengan nilai GCS. Pada penelitian ini
score GCS saat dilakukan pengukuran Tes TOAG 25 orang diantaranya
memiliki nilai score GCS 15 ( normal/composmentis), 8 orang yang memiliki
nilai score GCS 14, sedangkan 1 orang yang memiliki nilai score GCS 13 dan
1 orang yang meiliki nilai score GCS.
Penelitian serupa dilakukan oleh Cristina Silvia dan Cardoso Marcia R,
2007 tentang Penerapan dan hubungan GCS dengan Galveston Orientasi dan

Uji Amnesia menyimpulkan bahwa GCS yang kurang dari 12 tidak dapat
diterapkan pada penilian GOAT. Pengukuran tes Galveston dapat dilakukan
pada pasien yang memiliki GCS lebih dari 12 namun hasil penilaian GOAT
menghasilkan skor dibawah 75.
Berdasarkan penelitian tersebut dapat dilihat bahwa nilai GCS yang
kurang dari atau sama dengan 12, memiliki skor TOAG 35 dari skor normal 75
100 hal ini berarti pada responden tersebut terjadi amnesia. Hal serupa
dialami oleh responden yang memiliki nilai score GCS 13, dari hasil
pengukuran tes TOAG responden ini memperoleh nilai 55 dari skor normal 75
100 hal ini berarti responden tersebut juga mengalami amnesia sehingga dapat
disimpulkan bahwa nilai Score GCS bukan satu-satunya yang mempengaruhi
terjadinya amnesia pasca trauma.
Penelitian yang lain yang dilakukan oleh Dederianty 2011 memperoleh
hasil bahwa terdapat perbedaan nilai GCS yang bermakna antara nilai GCS preoperasi dan nilai GCS hari kelima post-operasi. Hasil ini juga diperkuat oleh
rerata nilai GCS yang mengalami peningkatan pada periode post-operasi
dibandingkan dengan pre-operasi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Kumar et al. (2009) yang menemukan bahwa terjadi
peningkatan rerata nilai GCS pada pasien traumatik basal ganglia hemoragi.
Hasil ini diperoleh dengan membandingkan nilai GCS yang diukur saat pertama
kali pasien tiba di rumah sakit dengan nilai GCS saat pasien akan keluar dari
rumah sakit.
Menurut Satyanegara 2010, istilah kesadaran mengandung 2 komponen
fisiologis, yaitu content (isi kesadaran) dan arousal (keadaan bangun) di mana

berbagai penyakit atau gangguan otak dapat mempengaruhi tiap komponen


tersebut secara sendiri-sendiri dan atau saling mempengaruhi. Content atau isi
kesadaran merupakan gabungan

dari fungsi kognitif dan afek mental,

sedangkan arousal lebih menampilkan sikap bangun (wakefullness). Sehingga


pasien yang bersikap seperti orang tidur dan tingkah lakunya tidak
memeberikan respon terhadap rangsangan eksternal dikualifikasian sebagai
tidak sadar .
O.Sullivan

(dikutip

dalam

American

musik

terapi,

2006)

mengemukakan bahwa musik mempengaruhi imanjinasi, intelegensi dan


memori, disamping juga mempengaruhi hipofisis di otak untuk melepaskan
endorphin. Endorpin kita tahu dapat mengurangi rasa nyeri, hingga dapat
mengurangi penggunaan obat analgetik, juga menurunkan kadar katekolamin
dalam darah sehingga denyut jantung menurun.
Lawrence Parsons dari Universitas Texas San Antonio menemukan
bahwa harmoni, melodi, dan ritme memiliki perbedaan pola aktivitas pada otak.
Melodi menghasilkan gelombang otak yang sama pada otak kiri maupun otak
kanan, sedangkan harmoni dan ritme lebih terfokus pada belahan otak kiri
saja. Namun secara keseluruhan, musik melibatkan hampir seluruh bagian otak.
(Sirait, 2006).

2.

Analisis perbedaan Skor TOAG Kategorik pretest dan posttest


Terapi musik memang cukup banyak digunakan saat ini karena

memberikan

efek

relaksasi

yang

dapat

menstimulasi

hormon

dan

neurotransmitter. Menurut, Evers & Suhr (2000) terjadi penurunan hormon


kortisol dan peningkatan hormon endorfin serta penurunan neurotransmitter
serotonin saat seseorang diberikan terapi musik. Hal ini merupakan akibat dari
efek relakasasi yang timbul pada saat seseorang diberikan terapi musik yang
menyenangkan. Begitu pula dalam penelitian ini, responden diberikan terapi
musik yang menyenangkan sehingga responden sebagian besar melaporkan
kondisi rileks setelah terapi diberikan. Selain itu, menurut Isacshon & Berger
(2012), mendengarkan musik secara rutin setiap hari akan meningkatkan
kemampuan berpikir dan peningkatan memori.
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa bahwa skor TOAG kategorik
menunjukkan P=0,000 yang berarti terdapat perbedaan yang bermakna skor
TOAG pretest dan postest. Dengan selisih responden yang abnormal pretest
sebanyak 23 responden dan postest menjadi 12 responden. Penelitian ini
sejalan dengan Naalt, dkk dikutip dari Asrini Silvia bahwa kebanyakan pasien
mengalami trauma kapitis ringan atau sedang pulih setelah beberapa minggu
sampai dengan beberapa bulan tanpa terapi yang spesifik. Akan tetapi
sekelompok pasien akan terus mengalami gejala kecacatan setelah periode ini,
yang paling mengganggu pekerjaan aktifitas sosial adalah Amnesia. Saat ini
masih terdapat kontraversi antara tingkat morbiditas menetap jika dibandingkan
dengan outcome pada pasien dengan trauma kapitis berat .
Djohan (2006) menyebutkan bahwa terapi musik adalah penggunaan
musik sebagai alat terapi untuk memperbaiki, memelihara, dan meningkatkan
keadaan mental, fisik dan emosi. Terapi musik juga merupakan cara yang
mudah yang bermanfaat positif bagi tubuh, psikis, serta meningkatkan daya

ingat dan hubungan sosial. Terapi musik adalah penggunaan musik untuk
relaksasi, mempercepat penyembuhan, meningkatkan fungsi mental dan
menciptakan rasa sejahtera.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Susanti dan Rohmah (2011) yang
menggunakan musik klasik sebagai terapi dalam menangani kecemasan,
hasilnya menunjukkan bahwa dengan mendengarkan musik klasik dapat secara
efektif menurunkan kecemasan matematika siswa. Ada perbedaan tingkat
kecemasan matematika yang signifikan antara sebelum perlakuan (pretest) dan
sesudah perlakuan (posttest) pada siswa. Siswa yang belajar matematika
dengan mendengarkan musik klasik mengalami penurunan skor kecemasan
matematika.Terapi

musik

merupakan

salah

satu

terapi

yang

dapat

dikembangkan sebagai terapi komplementer yang dapat digunakan sebagai


terapi non farmakologis sehingga dapat mengurangi efef-efek dari amnesia
pasca trauma pada penderita cedera kepala.

C. Keterbatasan Penelitian
1. Pada Penelitian ini, peneliti tidak mengidentifikasi volume, letak dan luas
perdarahan, sehingga analisis yang lebih detail tentang efek yang paling
dominan yang mengakibatkan amnesia pada kasus pasca trauma belum
dapat dipastikan.

2. Jumlah sampel pada penelitian ini masih kurang, hanya sekitar 30 orang
responden yang dilibatkan pada penelitian ini, hal ini diakibatkan karena
ada beberapa pasien yang memiliki medical record yang tidak lengkap yang
dibutuhkan sebagai data awal seperti GCS saat Trauma.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Ada pengaruh terapi musik klasik terhadap perubahan skor TOAG (Test
Orientasi Amnesia Galveston) pada PTA (Post traumatic Amnesia) di Ruang
Bedah Saraf RS.Dr. Wahidin Sudirohusodo.
B. Saran
a. Bagi Instansi Pelayanan agar menggunakan terapi komplementer musik
klasik terapi musik klasik terhadap perubahan skor TOAG (Test Orientasi
Amnesia Galveston) pada PTA (Post traumatic Amnesia).
b. Bagi Institudi Pendidikan diharapkan agar dapat memberikan penyuluhan
kesehatan tentang pengaruh mendengarkan terapi musik klasik

untuk

meningkatkan skor TOAG (Test Orientasi Amnesia Galveston) pada PTA


(Post traumatic Amnesia).
c. Bagi peneliti selanjutnya perlu melakukan penelitian dengan menggunakan
cara yang lain dan memiliki sampel yang lebih banyak sehingga validitas
dapat dijamin.

DAFTAR PUSTAKA

American Music Therapy Association. (2006). Music Therapy in the treatment and
Management

of

Paint.

Diakses

tanggal

20

April

2012

(http://www.musictherapy.orgfactshets.pain.pdf).
Baker. (2009). Music Therapy for the Pediatric Patient Experiencing Agitation
During Post Traumatic Amnesia, Diakses tanggal 2 Januari 2013,
(http://mmd.sagepub.com/content/4/3/146.short)
Batticaca, B. Fransisca. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Salemba Medika, Jakarta.
Bedong MA. (2001) Cedera Jaringan Otak : Pengenalan dan Kemungkinan
Penatalaksanaannya. Diakses tanggal 20 April 2012.
: (http://www.tempo.ci.id/medica/arsip/052001/sek-1.htm)
Bernard, S. (2006). Paramedic intubation of patients with severe head injury:
review of current Australian practice and recommendations for change,
Emergency Medicine Australasia, vol. 18, p. 221-228
Bradt, et all. (2010) Music therapy for acquired brain injury, diakses tanggal 2
Januari 2013 ,
(http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/14651858.CD006787.pub2/abstr
act)
Brotons and Koger, (2000), Music therapy for dementia sympomts, Diakses tanggal
5 Januari 2013, (www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10908486)

Cantu, R.C. (2001) post traumatic Retrograde and Anteroetrograde Amnesia :


pathofisiology and Implications in Grading and safe Return to Play. Journal of
Athletic Training, 36(3), 244-248.
Castilla, L. (2009). Closed head trauma, emedicine, diakses tanggal 2 Mei 2012,
(http://emedicine.medscape.com/article/251834-overview)
Christina Silvia & Cardoso Marcia, R,. (2007). Glasgow Coma Scale as a predictor
for hemocoagulative disorders after blunt pediatric traumatic brain injury.
Diakses tanggal 8 januari 2013. (http://lib.bioinfo.pl/paper:22422166)
Dederiyanti, (2011). Pengaruh operasi trepanasi trehadap perubahan nilai GCS,
stutus repsirasi pasien trauma kapitis di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo.
Makassar
Dinas Kesehatan Sulsel (2010). Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan 2009,
Kementrian Kesehatan, Jakarta.
Departemen Kesehatan RI (2009). Profil Kesehatan Indonesia 2008, Kementrian
Kesehatan, Jakarta.
Dewantoro, G, dkk. (2009). Panduan praktis diagnosis dan tata laksana penyakit
saraf. EGC : Jakarta
Dicky, A. (2006), Frekuensi suara, Di akses tanggal 14 Juli 2012:
http://www.findtoyou.co.id/document/get/mULd666D/frekuensi-suara-bydicky-abdurachman-email-dicky-djahri.html
Djohan. (2006). Terapi Music Teori dan Aplikasi. Galangpress. Yogyakarta.
Dugdale, D. (2010). Chronic subdural hematoma- overview, University of
Maryland

Medical

Center,

diakses

tanggal

(http://www.umm.edu/ency/article/000781.htm)

18

April

2012,

Ellenberg, J.H., Levin, H.S., Saydjari C. (1996). Post Traumatic Amnesia as a


Predictor of Outcome After Severe Closed Head Injury Prospective Assesment.
Evers & Suhr, (2000). The emphasis on memory system. Di Akses tanggal 3
Januari 2013,
(http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0165017301000674)
Fusco, E. (2009). Head Injury, MedicineNet, diakses tanggal 15 April 2012,
(http://www.emedicinehealth.com/head_injury/article_em.htm)
Frey, K. L.,et all. (2007). Comparison of the O-Log and GOAT as measures of
posttraumatic amnesia. Brain Injury, 21(5), 513-520.
Gilroy.

(2000).

Basic

Neurology

3rd

ed.

New

York.

eprints.undip.ac.id/29352/8/.pdf
Greenwood, R. (1997). Value of Recording Duration of Post-traumatic Amnesia.
The

Lancet,

Journal.

Diakses

tanggal

19

Mei

2012.

(http://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS01406736%2805%2962288-X/fulltext)
Greer, S. (2003). The Effect of Music on Pain Perception. Diakses tanggal 1 Mei
2012. (http://hubel.sfasu.edu/courseinfo/SLO3/musictherapy.htm)
Grace, P. & Borley, N. (2006). At a glance : Ilmu bedah. Edisi 3. Erlangga :
Jakarta.
Guyton, A and Hall, E. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta
Hammond J. (2009). Towards a dynamic systems model of developmental
coordination

disorder.

Diakses

tanggal

April

URL:http://www.awch.org.au/2005%20con/poster _Hammond.pdf.

2012:

Harsono (1999), Buku Ajar Neurologi klinis.Edisi pertama. Penerbit Gajah Mada
University Press
Heller, J. (2010). Head injury - All information, University of Maryland Medical
Center,

diakses

tanggal

Mei

2012,

(http://www.umm.edu/ency/article/000028.htm)
Hidayat. (2007). Terapi Musik Teori dan Aplikasi. Galang Press. Jogjakarta.
Hudak and Gallo, (1996). Keperawatan Kritis Edisi VI. EGC. JakartA.
Iankova, A. (2005). The glasgow coma scale clinical application in emergency
departments, Emergency Nurse, vol. 14, p. 30-35.
Institute of Trauma and Injury Management. (2011). Classification of head
injuries,

NSW

Government,

diakses

tanggal

12

Mei

2012,

(http://www.itim.nsw.gov.au/wiki/Classification_of_head_injuries)
Isachsan and Berger, (2012). Music therapy of alzeimer, Diakses tanggal 3 januari
2013, (http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0165017301000674)
Japardi, I. (2002). Penatalaksanaan cedera kepala akut, USU Digital Library,
diakses tanggal 23 April 2012, (http://library.usu.ac.id/download/fk/bedahiskandar%20japardi37%20.pdf)
Kelana, KD. (2011). Metodologi Statistik Penelitian Keperawatan. TIM. Jakarta
Kikuchi,

Hirokazu,

et

MechanismUnderlying

all.

(2009).

Dissociative

Memory
Amnesia.

Repression:
In

Journal

Brain
of

Cognitive Neuroscience. 22 (4): 602-613.


King. N.S, et all. (1997). Measurement of Neurosurgery and Psychiatry.
Kurniawan, D. (2011). Pendahuluan Cedera Kepala. Diakses tanggal 6 Juli 2012.
Melalui: (http://www.scribd.com/doc/52376929/1/I-PENDAHULUAN)

Lerik, M.D.C. & Prawitasari, J.E. (2005). Pengaruh Terapi Musik terhadap
Depresidi antara Mahasiswa. Jurnal Sosiosains. 18 (7) Juli: P:200 219.
Levin, H.S. (1997). Memory Dysfunction After Head Injury. In : Feinberg, T.E,
Farah M.J. (eds). Behavioral Neurology and Neuropsychology. McGraw-Hill
Companies. United States of Amerika
Mardjono, M. & Sidharta, P. (2008). Neurologi klinis dasar. Edisi 12. Dian Rakyat
: Jakarta.
Markam, S., Atmadja, D.S., Budijanto, A. (1999). Cedera Tertutup Kepala ,
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
McPhee, S. & Papadakis, M. (2008). Current medical diagnosis & treatment.
Forty-seventh edition. McGraw Hill.
Midawati. (2011). Analisis gambaran amnesia pada pasien pasca cedera kepala
di ruang perawatan lontara iii bedah saraf rsup dr wahidin sudirohusodo.
Makassar
Musliha (2010).,Keperawatan Gawat Darurat. Penerbit numed. Yoyakarta.
National Institute for Health and Clinical Excellence. (2007). Head injury: triage,
assessment, investigation and early management of head injury in infants,
children and adults (NICE clinical guideline 56). MidCity Place : London.
National Center for Injury Prevention and Control, (2007). Traumatic Brain Injury.
Center for Disease Control and Prevention. Diakses tanggal 15 April 2012.
http://www.cdc.gov/ncipc/factsheets/tbi.htm.
Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi penelitian kesehatan. PT Rineka Cipta,
Jakarta.

Nicholl, J., and LaFrance, W.C., 2009. Neuropsychiatric Sequelae of Traumatic


Brain Injury. Semin Neurol ,29(3) : 247255. Diakses tanggal 22 April 2012.
(www.medscape.com/viewarticle/706300.)
Olva, I. (2009) Cedera Kepala (Head Injury)

Diakses tanggal 3 April 2012.

(http://belibisa17.com/2009/05/25/cedera-kepala/)
Pereira, C., et all. (2005). Frontal epidural haematoma : analysis of 30 cases, The
Internet Journal of Emergency Medicine, vol. 2(2).
Plaha, P., Malhotra. Heuer & Whitfield, P. (2008). Management of chronic
subdural haematoma, ACNR, vol. 8(5), p. 12-15.
Phillips, B. & Fujii, T. (2005). Traumatic brain injury : a review, The Internet
Journal of Surgery, vol. 6(1).
Pramono, A. (2006). Manajemen anestesi pada pasien operasi craniotomi anak
dengan cedera kepala sedang, Mutiara Medika, vol. 6(1), p. 55-68
Price, S. & Wilson, L. (2005). Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses penyakit.
Edisi 6. EGC : Jakarta
Rachmawati, Y. (2005). Musik sebagai Pembentuk Budi Pekerti. Yogyakarta:
Panduan.
Riset Kesehatan Dasar (2007), diakses pada tanggal

9 April 2012,

(http://kgm.bappenas.go.id/index.php?hal=13&keyIdHead=10)
Santhanam, R., et all (2007). Intensive care management of head injury patients
without routine intracranial pressure monitoring, Neurology India, vol. 55(4,
p. 349-354
Saryono. (2008). Metodologi Penelitian Kesehatan. Mitra Cendikia Press. Jakarta.

Sastrodiningrat, A. G. (2006). Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi


prognosa cedera kepala berat, Majalah Kedokteran Nusantara, vol. 39(3, p.
307-316.
Satyanegara., (2010)., Ilmu Bedah Saraf., Edisi 4, Penerbit Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
Silva and Sousa., (2007) Galveston Orientation and Amnesia Test: Applicability
and Relation with the Glasgow Coma Scale, Journal Rev Latino-am
Enfermagem 2007 julho-agosto, Brazil.
Silvia, A. (2008). Hubungan Amnesia Pasca Trauma Dengan Derajat Depresi
pada

Penderita Trauma Kepala Akut. Diakses tanggal 16 April 2012.

(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6415/1/15432.pdf)
Sirait, S.A.P, (2006). Efek musik pada tubuh manusia. Diakses tanggal 5 Mei 2012.
(http://gema.sabda.org/efek_musik_ pada_tubuh_manusia)
Sugiyono. (2008). Statistika Untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung
Susanti, D & Rohmah, F. (2011). Efektivitas Musik Klasik Dalam Menurunkan
kecemasan Matematika (Math Anxiety) Pada Siswa Kelas Xi. Diakses tanggal
7 Juli 2012:
(www.journal.uad.ac.id/index.php/HUMANITAS/article/view/237)
Suriadi & Yuliani. (2001) Asuhan Keperawatan Pada Anak , Edisi I. CV Sagung
Seto, Jakarta.
Wahjepramono, (2005). Severe brain atrophy in moderate alzeimers disesase,.
Diakses tanggal 5 Januari 2013,
(med.unhas.ac.id/jurnal/attachments/article/82/lk2-%20endo.pdf)
Wasis. (2008). Pedoman riset praktis untuk profesi perawat. EGC : Jakarta.

Widagdo.,W.,Suharyanto.,T.,Ratna.,A. (2008). Asuhan Keperawatan pada klien


dengan gangguan Persarafan
Zieve, D. (2010). Subdural Hematoma Overview, University of Maryland Medical
Center,

diakses

tanggal

30

(http://www.umm.edu/ency/article/000781.htm)

HASIL UJI STATISTIK

April

2012,

1.

Glasgow Coma Scale (GCS)


Statistics
GCS
N

Valid

30

Missing

Mean

14.47

Median

15.00

Mode

15

Std. Deviation

.819

Minimum

13

Maximum

15
GCS
Cumulative

Frequency

Percent

Valid Percent

Percent

13

20.0

20.0

20.0

14

13.3

13.3

33.3

15

20

66.7

66.7

100.0

Total

30

100.0

100.0

2. Kemampuan Memori (TOAG)


Paired T Test:
Paired Samples Statistics
Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

Pre Test

57.53

30

19.290

3.522

Post Test

69.97

30

19.500

3.560

Wilcoxon:

Statistics
Pre Test
N

Valid

Post Test

30

30

Mean

57.53

69.97

Median

62.50

75.00

65

65

19.290

19.500

Minimum

15

Maximum

85

93

Missing

Mode
Std. Deviation

Ranks
N
Post Test - Pre Test

Mean Rank

Sum of Ranks

Negative Ranks

0a

.00

.00

Positive Ranks

22b

11.50

253.00

Ties

8c

Total

30

a. Post Test < Pre Test


b. Post Test > Pre Test
c. Post Test = Pre Test
Test Statisticsb
Post Test - Pre
Test
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Based on negative ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test

-4.114a
.000

3. Lama Pasca Trauma

Statistics
Lama Pasca Trauma
N

Valid

30

Missing

Mean

15.77

Median

9.50
7a

Mode
Std. Deviation

20.741

Minimum

Maximum

90

a. Multiple modes exist. The smallest


value is shown

Lama Pasca Trauma


Cumulative
Frequency

Percent

Valid Percent

Percent

3.3

3.3

3.3

13.3

13.3

16.7

16.7

16.7

33.3

6.7

6.7

40.0

10.0

10.0

50.0

10

3.3

3.3

53.3

11

3.3

3.3

56.7

12

16.7

16.7

73.3

13

3.3

3.3

76.7

17

3.3

3.3

80.0

19

3.3

3.3

83.3

20

6.7

6.7

90.0

21

3.3

3.3

93.3

90

6.7

6.7

100.0

30

100.0

100.0

Total

Hasil Uji Transformasi Normalitas


Pretest
Case Processing Summary
Cases
Valid
N

Missing

Percent

trans_pretest

30

Total

Percent

100.0%

.0%

Percent
30

100.0%

Descriptives
Statistic
Mean

Std. Error

1.7147

95% Confidence Interval for

Lower Bound

1.6231

Mean

Upper Bound

1.8063

5% Trimmed Mean

1.7475

Median

1.7959

Variance

.04479

.060

Std. Deviation

.24532

Minimum

.78

Maximum

1.93

Range

1.15

Interquartile Range

.08

Skewness
Kurtosis

-2.556

.427

7.150

.833

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
trans_pretest

.316

a. Lilliefors Significance Correction

df

Shapiro-Wilk

Sig.
30

.000

Statistic
.677

df

Sig.
30

.000

Postest
Case Processing Summary
Cases
Valid
N

Missing

Percent

Trnas_post

30

Total

Percent

100.0%

.0%

Percent
30

100.0%

Descriptives
Statistic
Mean

Std. Error

1.8172

95% Confidence Interval for

Lower Bound

1.7489

Mean

Upper Bound

1.8855

5% Trimmed Mean

1.8409

Median

1.8751

Variance

.03338

.033

Std. Deviation

.18285

Minimum

1.18

Maximum

1.97

Range

.79

Interquartile Range

.11

Skewness
Kurtosis

-2.422

.427

5.730

.833

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
Trnas_post

df

.282

a. Lilliefors Significance Correction

Shapiro-Wilk

Sig.
30

.000

Statistic
.674

df

Sig.
30

.000

Uji Marginal Homogeneity

Marginal Homogeneity Test


Pre Test & Post
Test
Distinct Values
Off-Diagonal Cases

3
14

Observed MH Statistic

16.000

Mean MH Statistic

27.000

Std. Deviation of MH

3.082

Statistic
Std. MH Statistic
Asymp. Sig. (2-tailed)

-3.569
.000

BUKU PANDUAN PENELITIAN


PENGARUH TERAPI MUSIK KLASIK TERHADAP PERUBAHAN SKOR
TES ORIENTASI DAN AMNESIA GALVESTON (TOAG) PADA PASIEN
POST TRAUMATIK AMNESIA GALVESTON (PTA) DI RUANG BEDAH
SARAF RS. DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR

AHMAD.J
C12111615

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

DAFTAR ISI
Halaman judul

..............................................................................................

Daftar isi ...

ii

Prosedur Penelitian ..

Informed Konsen ..

Kuesioner Pasca Cedera Kepala ......

Kuesioner Skor TOAG ..

Lembar Evaluasi

PROSEDUR PENELITIAN
5. Terapi Musik yaitu memperdengarkan musik pada pasien PTA
menggunakan headphones yang disambungkan dengan Mp4 dengan
volume maksimal 15, adapun musik yang diperdengarkan adalah musik
klasik dengan durasi 15 menit dengan frekuensi 1 kali sehari, diberikan
minimal selama 3 hari dan maksimal 6 hari.
6. Tes TOAG adalah tes orientasi yang dilakukan dengan mengajukan
beberapa pertanyaan, kemudian penilaiannya terdiri dari sejumlah poin
yang ditambahkan ketika menjawab dengan benar atau jumlah kesalahan.
Skor yang mendekati angka 100, berarti fungsi masih terjaga.
a. Kriteria obyektif penilain skor TOAG meliputi skor 1-100.
7. Prosedur
b. Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan sebagai berikut:
3.

Alat:
Terapi ini menggunakan alat pemutar musik media player
four (Mp4) dengan volume maksimal 15 dan headset telinga
tertutup penuh dengan sensitivitas 96 dB dan frekuensi 20-20.000
Hz.

4. Bahan

Musik yang digunakan adalah jenis aliran musik klasik.


(Rahmawati, 2005), menjelaskan bahwa gelombang suara musik
yang dihantarkan ke otak berupa energi listrik melalui jaringan
syaraf akan membangkitkan gelombang otak yang dibedakan atas
fekuensi alfa, beta, theta, dan delta.

\
8. Penatalaksanaan
f. Dilakukan pengukuran awal pada hari pertama (pre test) skor TOAG
pada pasien PTA.
g. Setelah

skor

TOAG

didapatkan

kelompok

perlakuan

mulai

diperdengarkan menggunakan headphones yang dihubungkan dengan


Mp4

sebelum

mendengarkan

diberikan

instruksi

kemudian

diperdengarkan musik (15 menit) dimana durasi waktu ini dengan jenis
musik klasik yang diulang selama durasi tersebut.
h. Pada hari kedua masih diberikan perlakuan yaitu terapi musik klasik
selama 15 menit.
i. Pada hari ketiga masih diberikan perlakuan yaitu terapi musik selama
15 menit kemudian dilakukan pengukuran skor TOAG.
j. Selajutnya pada hari keempat dan kelima masih diberikan terapi musik
klasik selama 15 menit dan pada hari kelima dilakukan pengukuran
akhir skor TOAG.

Kuesioner Riwayat Pasca Cedera Kepala


No Responden
Inisial responden

:
:

Umur

Jenis Kelamin

Tanggal terjadinya cedera kepala :


Glasgow Coma Scale (GCS)

Lama pasca trauma

Letak perdarahan (CT SCAN)

Jenis cedera kepala

Kuesioner Tes Orientasi Amnesia Galveston (TOAG)


No Responden :
Skore
Pertanyaan
1.Siapa nama anda ?

kesalahan
-2

Dimana tempat tinggal anda?

-4

2.Di kota, desa mana anda lahir?

-4

Dikota mana anda berada pada

-5

Keterangan
Salah,tak dapat

saat ini?
Dimana anda berada pada saat

-5

ini?
3.Pada tanggal berapa anda

RS
-5

mulai berada di sini?


Bagaimana anda sampai di

-5

sini?
4.Apa peristiwa yang anda ingat

-5

setelah cedera?

Apa anda dapat mengingat


tanggal, waktu, orang-orang
yang bersama anda pada
peristiwa itu?

Cukup menjawab di

-5

5.Dapatkah anda menceritakan

-5

apa yang anda ingat tentang


kecelakaan yang anda alami?
Apa anda dapat merincinya?

-5

Tgl ,waktu, orangorang yang berada


bersamanya.

Apa yang anda ingat terakhir

-5

sebelum terjadinya cedera itu?


6.Jam berapa kira-kira sekarang?

-5

Skore 1 untuk tiap


kesalahan dari yang
sebenarnya.

7. Hari apa sekarang?

Maximal -5

Skore 1untuk tiap hari


beda dari yang
sebenarnya.

8. Tanggal berapa sekarang?

Maksimal -5

Skore 1 untuk tiap


tanggal kesalahan dari
yang sebenarnya.

9. Bulan berapa sekarang?

Maksimal -15

Skore 5 untuk tiap


bulan beda dari yang
sebenarnya.

10. Tahun berapa sekarang?

Maksimal -30

Skore 10 untuk tiap


tahun beda dari yang
sebenarnya.

Total
Kesalahan:

Skor TOAG ditentukan = 100 jumlah skor kesalahan yang dibuat.


Penilaian hasil :

Normal lebih dari 75


Perbatasan : 66-75
Abnormal

: 65 atau kurang

LEMBAR EVALUASI
No. Responden :
Hari
Pengujian 1
Skor
TOAG

Anda mungkin juga menyukai