Anda di halaman 1dari 12

Hasil Perhitungan

Variasi Laju Evaporasi dengan suhu


Langkah Pengolahan Data

Menghitung tekanan uap rata-rata (P2) dan menggunakan data tersebut untuk mengetahui
suhu uap dengan menggunakan uap table
Menghitung perbedaan temperatur (TE = Tuap T7)
Plot L2 vs waktu, tentukan slope dari plot tersebut (S2)
Menghitung laju rata-rata dari evaporasi (E) dengan rumus:
E = 60 x S2 x C2
Dimana :
C2 adalah factor kalibrasi untuk tangki kondensat sebesar 17.6 kg/m

Table . Hasil Pengolahan data sirkulasi alami P 100 mmHg

L1
0.038
0.038
0.037

P1
(mmH
g)
0
100
200

L2

F2

F3

(m)

(L/hr)

(L/hr)

0.06
0.13
0.19

5
5
5

7
7
7

C2

WE

EC

17.6
17.6
17.6

1.056
2.288
3.344

1.4
1.4
1.4

1.060
2.296
3.356

0.996
0.996
0.996

Table . Hasil Pengolahan data sirkulasi alami P 200 mmHg

Q 1 d2 dL
4

Table . Hasil perhitungan laju rata-rata evaporasi tiap-tiap tekanan


0 mmHg
S2
C2
E
0.0022 17.6 2.3232

100 mmHg
S2
C2
E
0.0081 17.6 8.5536

200 mmHg
S2
C2
0.005
17.6

Dimana slope untuk menghitung E didapatkan dari grafik dibawah ini :

Grafik L2 vs Waktu pada P1 = 0 mmHg


0.09
0.08
0.07
0.06
0.05
L2 (m) 0.04
0.03
0.02
0.01
0

f(x) = 0x + 0.05
R = 0.73

10

t (min)

Gambar . Grafik L2 vs Waktu pada tekanan 0 mmHg

12

E
5.28

Grafik L2 vs Waktu pada P1 = 100 mmHg


0.2
0.15

f(x) = 0.01x + 0.08


R = 0.98

0.1

L2 (m)

0.05
0

10

12

t (min)

Gambar . Grafik L2 vs Waktu pada tekanan 100 mmHg

Grafik L2 vs Waktu pada P1 = 200 mmHg


0.25
f(x) = 0.01x + 0.17
R = 0.85

0.2
0.15
L2 (m)
0.1
0.05
0

10

12

t (min)

Gambar . Grafik L2 vs Waktu pada tekanan 200 mmHg


Dari grafik tersebut, dapat dibuat hubungan laju rata-rata evaporasi dengan perbedaan
temperature (dT). Hasil pengolahan datanya adalah sebagai berikut :
Table . Pengolahan data pada sirkulasi alami

E
2.323
8.554
5.280

log E
0.366
0.932
0.723

dT
18.63
15.14
18.85

log dT
1.270
1.180
1.275

Dari dari tersebut praktikan dapat memplot ke dalam grafik untuk menentukan korelasi Log E
dan Log dTe sebagai berikut :

Grafik Log E vs Log dT

Log E

1.000
0.900
0.800
0.700
0.600
0.500
0.400
0.300
0.200
0.100
0.000
0.000

0.500

1.000

1.500

2.000

Log dT

Gambar . Gragik Log E cs Log dT

Analisis Keekonomisan
Tujuan percobaan adalah untuk menentukan dan membandingkan keekonomisan (massa air
yang terevaporasi/ massa air yang terkondensasi) pada operasi sirkulasi alamiah dan paksa.
Diketahui:

F2 = 10 lt/hr, F3 = 5 lt/hr
Langkah perhitungan:
Menghitung tekanan rata-rata uap dan system (P 2, P1), titik didih

rata-rata (T7), laju alir rata-rata masukan dan sirkulasi (F2, F3).
Menghitung rasio sirkulasi rata-rata (R) , yaitu:

1,4 L
F3
hr 1,4
R
, Contoh : R
F2
10 L
hr
Menghitung jumlah air yang terevaporasi dari perubahan level pada

tangki kondensat L2.

WE C 2 .L 2

, dengan nilai C2 = 17.6 kg/m.

Menghitung Q (jumlah total kondensat yang terkumpul) dengan

menggunakan persamaan volume yang ditempati air dalam tangki kondensat dikalikan
massa jenisnya.

Q 1 .d 2 .dL2 m 3 x1000 kg 3
4
m

dimana
dL2 adalah selisih antara ketinggian awal tangki dan ketinggian akhir tangki di
kondensat.
Q (kg/menit) yang diambil adalah pada saat t =10 menit.
EC

Menghitung keekonomisan, Ec yaitu:

WE
Q

Berikut disajikan data Hasil Perhitungan


Table . Hasil perhitungan keekonomisan pada sirkulasi alami
P1
(mmHg
)

L2

F2

F3

(m)

(L/hr)

(L/hr)

C2

WE

EC

0
100
200

0.06
0.13
0.19

5
5
5

7
7
7

17.6
17.6
17.6

1.056
2.288
3.344

1.4
1.4
1.4

1.060
2.296
3.356

0.996
0.996
0.996

Analisis Neraca Massa dan Energi

Menghitung neraca energi untuk kedua jenis sirkulasi, yaitu sirkulasi alamiah dan sirkulasi
paksa dengan menggunakan langkah perhitungan sebagai berikut:

Mencari entalpi (kJ/kg) masukan dari steam table. h f pada fungsi temperatur (T5), Hs
pada fungsi tekanan (P2), He pada fungsi temperatur (T3), hc pada fungsi temperatur (T8),
dan hs pada fungsi tekanan (P2).

Menghitung perubahan level pada tangki masukan, kondensat, dan konsentrat (L1, L2,
L3)

dimana

1
d 2 dL2
4

d = diameter tangki kondensat = 0,15 m


Q = jumlah total kondensat yang terkumpul

Menghitung massa air umpan, air yang terevaporasi dan konsentrat (W F, WE, WC) dengan
rumus:
WC C3 x L3
WF C1 x L1 WE C2 x L2
,
, dan

Dengan C1 = 110; C2 = 17.6, dan C3 = 17.6


Dimana C1, C2, C3 adalah konstanta kalibrasi masing-masing tangki.

Menghitung

neraca

massa

WF WE WC

W F .hF Q.H s W E .hE WC .hC Q.hs

dimana :

WF

= massa air masukan ke evaporator (kg)

WE

= massa air terevaporasi (kg)

dan

neraca

energi

WC

= massa air konsentrat (kg)

= massa steam terkondensasi (kg)

hF

= entalpi umpan pada T5 (kJ/kg)

hC

= entalpi konsentrat pada T8 (kJ/kg)

HS

= entalpi steam masuk jaket evaporator pada P2 (kJ/kg)

hS

= entalpi kondensat keluar dari jaket evaporator (kJ/kg)

hE

= entalpi uap air keluar evaporator pada T3, P1 (kJ/kg)

Menghitung kesalahan relatif


Kesalahan Relatif Mass Balance:

KR

WF WC WE
WF

x100%

Berikut hasil pengolahan datanya :


Table . pengolahan data analisis neraca massa dan neraca energy sirkulasi alami

Analisis
Variasi Laju Evaporasi dengan Suhu
Hasil pengamatan pada praktikum ini dapat dilihat bahwa tekanan dari uap (P 2) berubah dari
waktu ke waktu. Perubahan pada tekanan uap yang dilihat ini akan mempengaruhi laju
evaporasi. Perhitungan pertama yang dilakukan adalah menghitung nilai P 2 rata-rata. Kemudian,
data P2 rata-rata tersebut ini dipakai untuk mencari nilai suhu uap pada kondisi tekanan uap
tersebut. Untuk memperoleh suhu uap pada kondisi tekanan uap tertentu, dapat dilakukan dengan
membaca tabel uap atau software physprop. Kemudan setelah diperoleh suhu uap pada kondisi
tekanan tertentu. Hal berikut yang selanjutnya dilakukan adalah menghitung rata-rata suhu
keluaran (T7). Nilai ini akan digunakan untuk mengetahui besarnya selisih antara suhu uap
dengan suhu keluaran.
Kemudian yang selanjutnya dihitung adalah laju evaporasi tiap kondisi tekanan sistem.
Langkah awalnya adalah melakukan plotting antara besarnya level kondensat (L2) dengan waktu.
Slope yang didapatkan dari grafik ini akan digunakan untuk menghitung besarnya laju evaporasi.
Menghitung laju evaporasi pada kasus ini menggunakan persamaan E = 60 x S 2 x C2. Kemudian
akan diperoleh besarnya laju evaporasi untuk setiap tekanan sistem. Selanjutnya hal yang
berikutnya dilakukan adalah membuat plotting antara nilai logaritma dari selisih suhu uap dan
suhu keluaran dengan nilai logaritma dari besarnya laju evaporasi.
Pada percobaan ini praktikan akan mengamati pengaruh perbedaan temperatur antara sistem
dan uap terhadap laju evaporasi. Dari grafik L2 vs t didapatkan bahwa seiring dengan naiknya
waktu maka tinggi kondensat semakin besar. Hal ini dikarenakan proses evaporasi yang terjadi
seiring dengan waktu sehingga menyebabkan adanya kondensat yang terkumpul hingga
mencapai ketinggian tertentu. Selain itu kelinierisasian yang besar menunjukan kenaikan
ketinggian kondensat cenderung naik secara signifikan. Hal ini ditandai dengan nilai derajat
linerisasi yang mendekati 1.
Pada semua nilai P1, didapatkan data T7 (titik didih air) yang cenderung konstan pada waktu
0, 2, 4, 6, 8 dan 10 menit. Hal itu terjadi karena T7 merupakan titik didih air pada P 1. Nilai P2
mengalami fluktuasi seiring berjalannya waktu. Hal tersebut membuat nilai Ts juga fluktuatif
sehingga perlu dicari P2 dan Ts rata-ratanya dengan nilai T7 yang konstan sehingga nilai laju
evaporasi semakin kecil. Hal ini terjadi dikarenakan keadaan belum steady, sehingga dapat kita
lihat pada t di atas 2 menit, keadaan sudah mulai konstan. Hal ini dikarenakan karena tekanan
sudah berada diatas 1 bar, sehingga keadaan sudah sangat steady.

Grafik hubungan log E dengan log Ts diperoleh dengan menghitung nilai E pada masing
masing tekanan melalui persamaan :
E=60 x S 2 x C2
Seperti yang kita ketahui bahwa laju evaporasi bergantung pada perbedaan suhu. Semakin besar
perbedaan suhu maka laju evaporasi akan semakin besar, dan sebaliknya.
E=

Q
H

E=U E A E T E
Dengan T E =T sT 7
AE = luas permukaan perpindahan panas
UE = Koefisien perpindahan panas
Berdasarkan hukum termodinamika, tekanan dan suhu saling berpengaruh. Ketika
tekanan dinaikkan, maka suhu akan naik atau sebaliknya. Dalam percobaan ini, ketika tekanan
uap turun, maka akan terjadi penurunan titik didih dari uap yang digunakan. Berdasarkan rumus:
E=K 1 U E T E
Jika nilai K1 dan UE konstan, laju evaporasi akan semakin besar karena nilai

TE

akan

semakin besar saat tekanan dinaikkan. Untuk pengaruh perbedaan temperatur sistem dan uap
terhadap laju evaporasi, untuk sirkulasi alami, ketika beda temperatur sistem dan uap diperbesar,
maka laju evaporasi yang dihasilkan akan semakin besar, sedangkan untuk sistem dengan
sirkulasi paksa, ketika beda temperatur sistem dan uap diperbesar, maka laju evaporasi yang
dihasilkan akan semakin kecil. Secara teoritis, seharusnya seiring besarnya perbedaan tekanan
maka nilai E akan semakin besar.
Anomali pada sistem sirkulasi paksa dikarenakan kesalahan yang terjadi pada saat
praktikum berlangsung seperti temperatur yang tidak akurat. Selain itu ketidaktepatan pada
perhitungan nilai E. Seharusnya seiring bertambahnya tekanan maka jumlah kondensat yang
terkumpul semakin sedikit. Hal ini dikarenakan pengaruh tekanan akan memberikan pengaruh
termodinamika pada sistem dimana seiring kenaikan tekanan maka akan terjadi penurunan suhu

uap akan turun sehingga laju evaporasi yang terjadi tidak maksimal. Hal ini menyebabkan
ketinggian kondensat yang terjadi akan lebih kecil.
Analisis Keekonomisan

Nilai keekonomisan evaporator (efisiensi) dapat didefinisikan sebagai


EC =

WE
QC

Dimana
W E (kg) adalah banyak air yang terevaporasi, dan
QC (kg) adalah uap air yang terkondensasi dalam proses evaporasi air yang terkumpul dari
uap trap
Dalam industri, untuk kepentingan ekonomi dilakukan perbandingan nilai efisiensi uap yang
digunakan terhadap laju evaporasinya. Hal ini menyangkut penggunaan energi listrik sebagai
utilitasnya. Idealnya bilamana umpan air memasuki evaporator (titik didih T6 sama dengan T7)
dengan tidak ada panas yang terbuang, nilai keekonomisannya (Ec) adalah 1. Hal ini
dimaksudkan setiap 1 kg uap yang terkondensasi akan menguapkan 1 kg air pula. Namun pada
kenyataannya tetap ada sejumlah kalor yang akan dilepaskan ke lingkungan. Kemudian hal ini
akan disebut tambahan uap (QL) akan terkondensasi juga. Sehingga nilai Ec yang sesuai dengan
kenyataan dapat dirumuskan sebagai;
EC =

WE
W
= E
QC +Q L Q

Dengan WE = QC sehingga
EC =

WE
WE
=
QC +Q L
Q
1+ L
WE

Kedua jenis sirkulasi yang terjadi pada evaporator di praktikum ini; sirkulasi alami dan paksa
pada dasarnya hanya akan berbeda pada banyak air yang terevaporasi. Pada sirkulasi alami,

jumlah air yang terevaporasi hanya berdasarkan aliran alami saja sedangkan pada sirkulasi paksa
terjadi pemaksaan aliran yang menyebabkan jumlah air yang terevaporasi menjadi semakin
banyak. Hal ini karena perpindahan massa pada aliran paksa akan semakin besar juga.
Jumlah uap yang terkondensasi (QL) akan selalu konstan. Penyebabnya yaitu jumlah uap yang
menjadi kondensat pada rangkaian alat tidak bergantung pada laju evaporasi. Ia hanya
bergantung pada laju alir umpan uap itu saja. Sehingga berdasarkan penjelasan ini dapat
dikatakan bahwa secara teori, keekonomisan dari evaporator yang disebut E C pada sirkulasi
paksa akan lebih besar daripada sirkulasi alami.
Analisis Neraca Massa dan Energi
Hasil perhitungan untuk bagian ini dapat dilihat pada tabel dibawah. Secara umum,
semakin kecil nilai presentase kesalahan relative maka semakin baik hasil percobaan.
Berikut disajikan nilai hasil perhitungannya.

Tabel 4.4 Nilai Kesalahan Relatif Neraca Massa dan Energi


Sirkulas
i

P
76

alami

paksa

0
66
0
56
0
76
0
66
0

Kr
(mass), %

KR
(energi),
%

44.207

55.77

27.77

71.87

32.80

162.42

39.29

43.87

15.82

106.62

56
0

24.14

69.31

Dari tabel diatas kita dapat mengamati bahwa perhitungan untuk neraca massa
menghasilkan hasil yang cukup baik, dimana secara keseluruhan tidak ada kesalahan yang
melebihi 50%. Hal ini bisa dianggap baik untuk sebuah percobaan. Namun untuk neraca
energi, tabel tersebut menunjukkan kesalahan relative yang sangat besar (>50%). Dimana
hasil ini oleh kelompok kami diduga karena selain kesalahan kesalahan yang dilakukan
selama percobaan termasuk dalam pengukuran, dsb ada juga faktor heat loss atau
hilangnya panas ke lingkungan selama proses berlangsung. Heat Loss ini mengakibatkan
banyak energi yang terbuang ke lingkungan sehingga pada perhitungan tidak menghasilkan
nilai yang akurat. Hal ini dapat terjadi, karena mungkin insulasi dari alat percobaan yang
kurang sempurna, dimana memungkinkan banyaknya panas yang hilang ke lingkungan.
Seharusnya kesalahan ini bisa diperkecil lagi dengan menambah kualitas dari insulasi yang
terpasang pada alat percobaan itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai