Anda di halaman 1dari 29

Shalat adalah mi rajnya orang beriman, demikian sabda Rasul saw.

Alangkah agung makna


sabda tersebut bagi para pecinta. Dalam setiap shalatnya, seorang pecinta akan bercengkerama
dengan Zat yang dicintainya. Sehingga tidaklah heran apabila banyak riwayat yang menyebutkan
bahwa baginda Rasul saw dan para syiahnya selalu menanti-nantikan tibanya waktu
pelaksanaan shalat.
Ibadah shalat merupakan ajang bagi seorang pecintauntuk secara langsung berkeluh kesah dan
menyampaikan kerinduannya kepada Zat yang dicintainya. Setiap pecinta yang hendak
menunaikan shalat akan mempersiapkan betul keadaan dirinya dengan berhias sebaik mungkin.
Sebabnya, pada saat itu dirinya akan berjumpa dengan kekasihnya, Allah swt. Ibadah shalat juga
merupakan sarana komunikasi antara manusia dengan Allah swt. Bahkan, boleh dibilang sebgai
sarana terbaik. Karena itulah, dalam berbagai riwayat, disebutkan bahwa shalat merupakan
tonggak agama.
Tujuan utama dari pelaksanaan ibadah shalat adalah mendekatkan dan selalu mengingatkan
manusia kepada Tuhannya. Dengan begitu, mereka tidak akan sampai terjerumus dalam lembah
kenistaan. Inilah intisari dari uraian yang akan disampaikan Imam Ali Khamenei dalam bukunya
yang amat berharga ini.
Dengan cara yang memukau, beliau memaparkan tentang makna sebenarnya dari ibadah shalat
dan apa pengaruh positifnya; selain pula mengemukakan tentang apa saja yang harus
dipersiapkan seseorang yang hendak shalat. Uraian beliau yang begitu padat, gamlang, namun
kaya makna ini, memudahkan siapapun untuk memahaminya. Semoga Allah swt memberikan
inayah kepada kita semua sehingga memiliki kesanggupan untuk mencerna dengan baik apa
yang diinginkan penulis dengan uraiannya tentang shalat.

Daftar Isi
Makna Shalat
Ibadah Shalat
I. Allahu Akbar
II. Isi Surat al-Fatihah
III. Isi Surat at-Tauhid
IV. Tasbihat Arbaah
V.Ruku
VI. Sujud

VII. Tasyahhud
VIII. Penutup Ibadah Shalat

Makna Shalat
Bismillahir Rahmanir Rahim
Dengan Nama Allah Mahapengasih Mahapenyayang
Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan al-Kitab (Taurat) serta mendirikan shalat, (akan
diberi pahala) karena sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
mengadakan perbaikan. (al-Araf: 170)
Nabi saw bersabda, Perbuatan ruku dan sujud (dalam shalat) ibarat mengetuk pintu gerbang
alam ghaib. Tatkala seseorang terus-menerus mengetuk pintu tersebut, niscaya dirinya akan
diliputi kebahagiaan tiada tara.[1]
Ibadah shalat pada dasarnya merupakan ajang untuk mendekatkan hubungan seseorang dengan
Tuhannya, atau antara Pencipta dengan makhluk-Nya. Dalam hal ini, ibadah shalat memiliki
pengaruh terapis terhadap manusia. Terlebih terhadap mereka yang hatinya hancur, bersedih
lantaran dihimpit kesulitan, atau merasa jiwanya terganggu dan tertekan. Ibadah shalat
menjadikan ruh kita tenang dan pikiran kita damai. Ibadah shalat merupakan langkah awal yang
tulus dalam upaya menghentikan segenap kejahatan serta kebiasaan buruk seseorang. Dan pada
gilirannya, ia akan menggantikannya dengan pelbagai tindakan positif dan bermanfaat.
Ibadah shalat merupakan program kejiwaan untuk menemukan, mengembangkan, dan
merekonstruksi jati diri manusia. Pendeknya, ibadah shalat merupakan sarana menghubung
manusia kepada sumber utama segenap kebaikan, yakni Allah swt. Mengapa iabadah shalat
sangat diperintahkan dan dianggap sebagai pilar utama Islam? Mengapa seluruh amal shalih
seseorang tidak dinilai kecuali ia menunaikan kewajiban shalat hariannya?
Adakah manfaat lain di balik pelaksanaan ibadah shalat harian kita? Tentu saja, shalat harian
mengandungi manfaat dari perbagai sisi. Kita akan menelaah lebih jauh tentangnya.
Pertama, mari kita mencari tahu tentang tujuan penciptaan manusia dari sudut pandang Islam.
Persoalan ini bahkan menjadi pusat perhatian Islam. Kita percaya bahwa Allah yang Mahakuasa
menciptakan kita, manusia, demi suatu tujuan.
Maksudnya, manusia diharuskan untuk mengikuti jalan yang lurus dan meraih tujuan tertentu
(tanpa penyimpangan apapun). Oleh sebab itu, kita harus benar-benar mengenal arah dari tujuan
tersebut dan senantiasa mengendapkannya dalam benak. Ketahuilah, barangsiapa yang teguh hati
niscaya tidak akan kehilangan pandangan objektifnya dan akan terus melangkah di atas titian
yang lurus. Namun tetaplah waspada!

Di samping jalan lurus tersebut, terdapat pula berbagai jalan lain yang terkadang amat mirip
dengannya, namun tidak berujung oada tujuan dan maksud. Ya, ia harus segera meninggalkan
semua itu. Untuk lebih yakin dan aman, seyogianya mereka mengikuti segenap perintah dan
anjuran pemimpin (nabi).
Maksud dan tujuan dari semua itu adalah terjadinya pertumbuhan dan perkembangan terus
menerus pada diri manusia dalam proses kembali kepada Allah. Kita harus berusaha
mengembangkan segenap potensi kita yang tersembunyi setinggi mungkin.
Hasilnya, kita akan menemukan kembali jati diri kita serta sanggup memanfaatkan seluruh
keahlian kita demi kebaikan diri alam dan manusia. Demikianlah, kita harus mengenal Allah
dan mematuhi ketetapan-Nya demi terciptanya kebahagiaan hidup.
Dengan mengikuti suatu ajaran, seseorang akan memperoleh nilai lebih bagi kehidupannya.
Menghidupkan berbagai kebiasaan baik dan membuang yang buruk akan menjadikan kehidupan
seseorang penuh makna. Hidup tanpa kehati-hatian tiada berguna dan sia-sia belaka. Di sini kita
bisa membandingkan kehidupan kita dengan belajar di sekolah atau bekerja di sebuah
laboratorium. Kita semua tahu, seseorang tidak akan mendapatkan apapun dari pelajaran atau
pekerjaannya itu apabila tidak mematuhi segenap aturan dan prosedur yang diberlakukan.
Demikian pula dengan mengikuti pelajaran di sekolah kehidupan.
Dalam hal ini, kita diharuskan untuk menelaah dan memahami segenap hukum dan prinsip hasil
rumusan Allah. Dengan mamatuhi dan menerapkan segenap hukum tersebut dalam kehidupan
sehari-hari, kita niscaya akan mengecap keberhasilan. Melalaikannya, atau bahkan
menentangnya, hanya akan menghasilkan penderitaan. Bukan yang lain. Agama menyediakan
arah dan petunjuk bagi umat dalam mencapai tujuan hidupnya. Dan, lebih oenting dari itu,
agama mendekatkan manusia kepada Tuhan.
Kedekatan kepada Allah merupakan sebaik-baiknya keadaan yang harus ditempuh umat
manusia. Dengan mengingat Allah, kita akan mengetahui tempat yang akan dituju (demi meraih
kesempurnaan sekaligus menjadi yang terbaik semampu kita). Allah Mahasempurna dan
lambang kebaikan absolut. Mengingat Allah akan menjadikan kita menempuh arah yang benar.
Selain pula akan menjulangkan semangat dan keyakinan kita, mengurangi ketakutan dalam
menghadapi kesulitan, dan mencegah dari kesesatan. Masyarakat Islam, secara keseluruhan
maupun individu, tentunya sanggup meniti jalan para Nabi atau mematuhi segenap doktrin Islam
kalau saja mau mengingat Allah. Inilah mengapa Islam senantiasa berusaha mengingatkan
manusia akan keberadaan Allah.
Salah satu cara paling efektif untuk itu adalah menegakkan shalat harian. Banyak inspirasi serta
daya tarik yang menghunjam diri seseorang yang menunaikan ibadah shalat. Berbagai pertanda,
isyarat, dan rangsangan niscaya muncul demi menjadikannya sanggup memahami makna
kehidupan ini.
Dalam keseharian hidup, kita jarang menjumpai orang yang benar-benar memikirkan tentang apa
yang sesungguhnya terjadi. Bergumul dengan kehidupan yang bising dan tak karuan semacam itu

menjadikan seseorang nyaris tak punya waktu luang untuk berpikir dan merenung. Jam demi
jam, hari demi hari, minggu demi minggu, dan bulan demi bulan berlalu dengan cepat tanpa
interupsi. Kita tak tahu lagi, mana awal dan akhir dari periode kehidupan ini.
Kewajiban shalat harian yang dilaksanakan pada selang-selang waktu tertentu dalam sehariberperan sebagai alat pengingat yang memberitahukan kita tentang berjalannya waktu.[2]
Ia tak ubahnya sebuah program yang dimaksudkan untu menyadarkan kita pada kenyataan
bahwa hari-hari yang kita jalani akan dihisab, kehidupan ini hanyalah sebentar, sementara kita
masih harus menempuh perjalanan panjang. Tugas tersebut sungguh sangat berat.
Padahal, batas-batas kehidupan kita semakin hari semakin dekat. Karena itu, seyogianya kita
berdikap lebih bijak dalam menghadapinya. Di bawah tekanan hidup sehari-hari, seseorang akan
mudah kehilangan pandangan dan tujuan hakikinya. Dalam keadaan demikian, mustahil kita
selalu mengingat seluruh janji dan tanggung jawab yang harus diemban. Ini diperparah dengan
sangat sedikitnya figur-figur dalam masyarakat yang layak diikuti dan diteladani. Dengan
keterbatasan dan kurangnya disiplin diri, kita tentu tidak akan sanggup menunaikan seluruh
kewajiban yang diajarkan Islam. Di sinilah arti penting ibadah shalat harian.
Ibadah ini merupakan ringkasan padat dari segenap rangkaian doktrin Islam. Ya, shalat adalah
miniatur Islam yang memantulkan prinsip-prinsip utama Islam melalui gerakan-gerakan dan
langkah-langkah yang telah ditetapkan sebelunya. Dalam banyak hal, sekalipun di tingkat
permukaan, terdapat kemiripan antara shalat dan lagu kebangsaan.
Tentu saja, keduanya memiliki perbedaan dalam hal makna dan ruang lingkup. Lagu kebangsaan
suatu negeri, yang mengandung sejumlah prinsip ideologis dan nilai-nilai sosial budaya lainnya,
menyimpan ide-ide segar. Dengan terus mengulang-ulangnya, ide-ide tersebut akan merasuki
hati dan pikiran para pendengarnya, yang pada gilirannya akan membentuk watak tertentu.
Mengumandangkannya secara bersama-sama akan mengentalkan dan mengokohkan kepercayaan
serta keterikatan mereka terhadap negeri dan idealisme yang dijunjungnya. Mereka merasa
bersatu, berani, dan siap menjalankan kewajibanya.
Singkatnya, ibadah shalat merupakan jalan Islam yang memunculkan perhatian seseorang
terhadap prinsip-prinsip utama, kewajiban-kewajiban, tanggung jawab, sekaligus cara untuk
melaksanakannya.
Sepanjang hari seorang muslim diwajibkan untuk menunaikan shalat; mulai dari subuh, tengah
hari, sore hari, magrib, dan malam hari. Dalam keadaan itu, seorang hamba akan mengulangulang segenap prinsip utama, tujuan-tujuan, dan sasaran-sasaran akhir Islam. Dan pada akhirnya,
ia akan mengetahui tugas-tugas serta tanggung jawabnya (sebagai muslim).
Ia senantiasa menilai seluruh perbuatannya dan berusaha mengarahkan dirinya ke jalan yang
lurus. Inilah fungsi shalat harian. Dengannya, seorang muslim hakiki secara bertahap akan
sanggup menggapai status kemanusiaan dan spiritual tertingga. Nabi saw bersabda, Shalat
adalah mirajnya orang mukmin.[3]

Umat manusia akan menempuh perjalanan panjang dan membosankan dalam mencapai
kesejahteraan dan keselamatan hakiki. Semua itu seyogianya menjadi tujuan serta maksud dari
keberadaannya.
Namun, pada kenyataannya, jalan menuju tujuan tersebut tidak hanya satu. Dengan kata lain,
banyak tersedia jalan lain yang mengarah ke sana; sebagiannya sangat gamblang dan menarik,
sebagian lainnya berbahaya, dan sisanya samar-samar.
Keadaan ini tentu akan menyulitkan sekaligus membingungkan siapapun yang bermaksud
menempuh jalan yang benar. Untuk membebaskan diri dari kebimbangan tersebut, seseorang
tentu memerlukan kejelasan tentang tujuan akhir, peta yang baik, serta petunjuk arah yang
sesuai.
Kini jelas sudah bagi kita tentang teramat pentingnya ibadah shalat lima waktu. Memberi ruh
berbagai santapan bergizi, ibarat memberi tubuh makanan bergizi beberapa kali dalam sehari.
Setiap kali menunaikan ibadah shalat, seseorang sangat dianjurkan untuk mengumandangkan
ayat-ayat suci al-Quran.
Maksudnya agar orang-orang yang menunaikan shalat menjadi akrab dengan al-Quran dan
memikirkan segenap konsepnya yang mendasar.[4]
Ibadah shalat wajib harian dengan semua rukunnya, sekalipun dalam skala kecil, mencerminkan
keberadaan Islam yang dinamis. Islam jelas-jelas memiliki perhatian terhadap keadaan tubuh,
pikiran, serta jiwa setiap individu masyarakat.
Unsur-unsur tersebut ditempatkan sesuai fungsinya masing-masing demi menciptakan
kesejahteraan umat manusia. Selama menunaikan shalat, tubuh, pikiran, dan jiwa seorang hamba
akan menjalankan fungsinya masing-masing.
Tubuh melaksanakan berbagai aktifitas ragawi: menggerakkan tangan, kaki, lidah, ruku, duduk,
berdiri, dan sujud. Sementara pikiran bertugas untuk menelaah makna kata, kalimat, serta
pernyataan, sekaligus juga merenungkan landasan serta pook-pokok keislaman.
Adapun jiwa si hamba bertugas untuk merenungkan keberadaan Tuhan, mencari inspirasi, serta
menghayati kedekatannya dengan Tuhan.
Kerendahan hati dan ketakutan kepada-Nya merupakan prestasi yang dicapai seseorang yang
senantiasa membersihkan jiwanya. Telah dikatakan bahwa pemujaan merupakan rangkuman
serta intisari setiap agama.
Demikian pula halnya ibadah shalat dalam Islam. Pemaduan jiwa dan tubuh, substansi dan
makna, serta kehidupan dunia dan Hari Akhir merupakan ciri menonjol dari agama Islam.
Dengan bantuan kekuatan dari (fisik, mental, dan spiritual) yang terpadu lewat penegakan ibadah
shalat secara sempurna, seorang muslim akan mampu menggapai kedudukan yang luhur.

Ya, seorang abid (ahli ibadah) hakiki akan mampu mengendalikan hasrat-hasrat rendah dan
godaan-godaan setani lainnya. Namun bukan hanya pelaksanaan ibadah shalat yang
membuahkan segenap manfaat tersebut. Persiapan untuk melaksanakan shalat juga memiliki
perlbagai hikmah dan manfaat tersendiri. Dalam hal ini, al-Quran justru lebih banyak
mengungkap perihal persiapan untuk menunaikan ibadah shalat ketimbang poros
pelaksanaannya. Misalnya, seorang hamba (yang hendak melaksanakan shalat) yang
mengumandangkan azan (waktu shalat).
Dengannya, ia tengah mengingatkan sesamanya untuk segera menegakkan shalat. Lebih dari itu,
ia bermaksud mempengaruhi orang lain untuk mengingat Allah swt dan untuk merenungkan apa
yang sedang dilakukan dan apa yang seharusnya dilakukan.
Kalau kita melihat keadaan seorang hamba dari dekat, kita akan menjumpai adanya perubahan
sikap pada dirinya, baik yang berkenaan dengan perkataan maupun perbuatannya. Dengan kata
lain, dirinya benar-benar memancarkan cahaya Ilahi. Cakrawala di sekelilingnya dan daya tarik
perbuatannya mengundang banyak orang untuk hadir bersama-sama menunaikan shalat.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa seorang mukmin hakiki maupun sekumpulan ahli
ibadah yang senantiasa berdiri dalam barisan shalat wajib (berjamaah) harian niscaya akan
terhindar dari pelbagai problem serta penyakit sosial, seperti kejahatan, korupsi, dan tindakantindakan amoral lainnya. Sesungguhnya shalat mencegah manusia dari perbuatan-perbuatan keji.
[5]
Dalam pergulatan hidup sehari-hari, kita tentu merasakan sendiri betapa sulitnya memerangi
perbagai godaan, hasrat, kebutuhan, dan dorongan nafsu. Satu-satunya senjata yang harus
dimiliki seseorang demi membungkam semua itu adalah kekuatan kehendak dan pengendalian
diri.
Pada saat yang sama, kekuatan jahat akan berusaha memalingkan dirinya dari jalan yang lurus.
Dengan hilangnya kendali diri, seseorang pada dasarnya tengah membuka peluang lebar bagi
kekuatan jahat untuk menyesatkannya.
Setan lebih mengincar dan menyukai orang-orang yang ingin berbuat demi kemanusiaan atau
membuat sesuatu yang bersejarah. Untuk itu, lebih dari yang lain, mereka harus senantiasa
bersikap waspada dan berhati-hati. Itu dimaksudkan agar semangat serta tujuan hidup mereka
tidak sampai goyah.
Ibadah shalat dalam Islam mengandung kekuatan yang sungguh luar biasa dan menakjubkan.
Dengan kata lain, ibadah shalat berperan dalam membentangkan tali yang menghubungkan kaum
lemah dan tertindas dengan Allah yang Mahakuasa, sumber segala kebajikan.
Ketika hubungan tersebut telah terbina, seseorang akan merasakan dirinya jauh lebih kokoh,
tegar, dan stabil. Siapapun tentu bisa memanfaatkan shalat demi mengubah kelemahan menjadi
kekuatan serta demi memperbarui keyakinan dan semangatnya.

Selama masa kebangkitan Islam, Nabi saw harus menghadapi sekumpulan orang jahil dan
pembangkang. Beliau saw kemudian diperintahkan Allah swt untuk menunaikan ibadah shalat
malam.
Wahai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali
sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari
seperdua itu. Dan bacalah al-Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan
menurunkan kepadamu perkataan yang berat. (al-Muzzammil: 1 5)
Marilah kita telaah lebih jauh kandungan makna ibadah shalat harian, tanpa harus terjebak
pelbagai istilah tentangnya.
Ibadah Shalat
I. Allahu Akbar (Allah Mahabesar)
Dengan mengucapkan kalimat pembukaan nan suci ini, seorang hamba akan memulai ibadah
shalatnya. Allahu Akbar, Allah Mahabesar; maksudnya, Allah swt lebih besar dari yang dapat
kita bayangkan; lebih besar dari seluruh tuhan lainyang disembah manusia sepanjang sejarah;
lebih besar dari seluruh kekuatan dan kekuasaan yang paling menakutkan sekalipun, yang
dijadikan sandaran sekaligus tempat bergantung umat manusia; lebih besar dari orang-orang
yang paling berani membangkang dan melanggar hukum-hukum-Nya. Setiap orang yang
mengetahui dan berupaya menyesuaikan aktifitas kehidupannya dengan prinsip-prinsip tersebut
niscaya akan merasakan adanya kekuatan luar biasa dalam dirinya setelah mengucapkan kalimat
Allahu Akbar. Ia merasa yakin dirinya berpijak di atas landasan yang kokoh, aman, dan
menjanjikan kebahagiaan.
Dengan mengucapkan kalimat agung ini, seorang hamba resmi memasuki shalatnya. Setelah itu,
masih dalam keadaan berdiri, dirinya diharuskan membaca surat al-Fatihah[6], yang kemudian
dilanjutkan dengan membaca surat lain dalam al-Quran.
II. Isi Surat al-Fatihah
A. Bismillahir Rahmanir Rahim (Dengan nama Allah Yang Mahapengasih Mahapenyayang)
Dengan nama Allah yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu dan kemurahan-Nya bersifat kekal
nan abadi. Kalimat bismillahirrahmanirrahim merupakan pembuka setiap surat dalam al-Quran
dan seyogianya dibaca seorang muslim sebelum memulai setiap aktifitasnya. Sungguh teramat
penting untuk memulai segala sesuatu dengan nama Allah yang Mahaagung.
Dimulai dan diakhirinya kehidupan seseorang harus disertai dengan mengucapkan nama Allah
swt. Seorang muslim akan memulai hari-hari kehidupannya di dunia ini dengan menyebut nama
Allah swt.
Dan dirinya juga harus mengakhiri aktifitas sehari-harinya dengan menyebut nama-Nya. Ia pergi
tidur seraya mengingat dan mengharap pertolongan Allah swt; demikian pula ketika dirinya

bangun di pagi hari untuk memulai kembali kegiatan rutinnya. Akhirnya, ia meninggalkan
kehidupan di dunia fana ini, untuk kemudian melangkah menuju keabadian, dengan menyebut
nama Allah swt.
B. Alhamdu Lillahi Rabbil Alamin (Segala Puji Bagi Allah Tuhan Semesta Alam)
Segala puja-puji hendaknya dipanjatkan ke hadirat Allah swt karena seluruh keagungan hanyalah
milik-Nya dan segenap rahmat hanya tercurah dari-Nya. Segenap kebajikan dan kesempurnaan
hanya kembali kepada-Nya.
Dengan memuji Allah swt, sesungguhnya kita tengah memuji kebaikan dan kesempurnaan
mutlak. Dan semua itu niscaya akan menuntun kita dalam menggapai kesempurnaan dan
kebaikan insani.
Kita harus yakin bahwa sejumlah tulang yang kuat dalam tubuh kita semata-mata berasal dariNya. Itulah Dia yang menciptakan kita sedemikian rupa sehingga kita mampu meraih kebajikan
dan menggapai kemuliaan diri. Allah swt telah menganugerahkan kita kemampuan untuk
merancang keputusan demi mencapai suatu tujuan yang penuh berkah.
Dengan anugerah Allah swt berupa kemampuan dan kecerdasan diri tersebut, manusia
diharapkan dapat memanfaatkan segenap potensi fitrahnya demi menciptakan kesejahteraan bagi
dirinya dan orang lain. Dan Allah swt melarang manusia untuk mementingkan dirinya sendiri
dan menyia-nyiakan atai menyalahgunakan potensinya itu.
Pernyataan Rabbil Alamin (Tuhan semesta alam) menyiratkan bahwasanya selain bumi ini,
terdapat pula bumi-bumi lainnya yang terhubung satu sama lain.
Karenanya, orang yang beriman akan berpikir bahwasanya di jagat raya ini terdapat banyak
planet, galaksi, dan sesuatu lainnya yang berada di luar jangkauan penglihatannya yang serba
terbatas. Allah swt adalah Pemilik alam semesta dan segenap apa yang ada di dalamnya.
Dengan itu, wawasan berpikir seorang hamba akan semakin luas dan mendalam. Dan dirinya
akan merasa bangga dan beruntung dikarenakan memiliki kemampuan untuk memahami semua
itu.
Dirinya akan menjumpai kenyataan bahwa seluruh umat manusia, hewan, tumbuhan, dan
segenap keberadaan lainnya di jagat raya ini semata-mata diciptakan Allah swt. Allah swt bukan
hanya Tuhan dirinya, sukunya, bangsanya, atau sejenisnya semata.
Namun, Allah swt adalah juga Tuhan dari segenap planet, galaksi, dan berjuta-juta bintang di
langit. Allah swt menantiasa mengawasi kita semua serta menyayangi segenap ciptaan-Nya;
mulai dari yang terkecil (seperti semut), sampai yang paling besar sekalipun (galaksi, misalnya).
Dengan meyakini konsep tersebut, seorang hamba tidak akan merasa hidup sendirian. Ia yakin
bahwa dirinya merupakan bagian dari keluarga besar umat manusia serta pelbagai mekhluk
lainnya. Lebih khusus lagi, ia akan memiliki hubungan yang dekat dengan maujud lain yang

seolah-olah menyertainya menaiki bahtera yang sama; bahtera mana yang secara umum bergerak
berdasarkan sunnatullah (ketetapan Allah).
Dengan meyakini bahwa dirinya memiliki keterkaitan dengan makhluk lain, ia kemudian merasa
berkewajiban untuk membantu dan membimbing umat manusia (ke jalan yang benar) sesuai
dengan kemampuannya.
Selain itu, ia juga akan semakin terpacu untuk merenungkan dan mengkaji lebih mendalam, apaapa yang ada di jagat alam ini. Kelak, ia akan meraih keuntungan yang melimpah-ruah dari
semua itu dan akan senantiasa memanfaatkannya secara bijak, sesuai dengan fungsinya masingmasing.
C. Ar-Rahmanir Rahim (Mahapengasih Mahapenyayang)
Secara umum, kemurahan dan kasih sayang Allah swt meliputi segenap makhluk-Nya. Dengan
kata lain, berdasarkan hukum alam, seluruh makhluk akan memperoleh keuntungan dari segenap
pemberian Allah (Rahman).
Namun, di sisi lain, terdapat pula kasih sayang dan rahmat Allah swt yang hanya diperuntukkan
bagi umat manusia, khususnya bagi orang-orang yang menyembah-Nya dan mematuhi segenap
perintah-Nya.
Kemurahan khusus ini bersifat abadi dan akan menantiasa menyertai seseorang untuk selamalamanya (Rahim). Berdasarkan itu, kita memahami bahwasanya terdapat dua jenis rahmat Allah;
yang satu bersifat umum dan sementara, di mana setiap orang bisa mendapatkannya; dan satunya
lagi bersifat khusus dan abadi, di mana hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang selalu
memperbaiki dirinya.
Penyebutan nama Allah swt dan pengakuan atas belas kasih-Nya merupakan pernyataan
pembuka dari al-Quran, shalat, dan setiap surat dalam al-Quran. Penempatan kalimat tersebut
lebih menekankan sifat pengasih dan penyayang-Nya ketimbang kemurkaan dan kemarahanNya.
Adapun sifat yang terakhir disebutkan lebih ditujukan bagi orang-orang yang keras kepala,
gemar membangkang, tidak jujur, dan berperilaku buruk. Ya, kemurahan-Nya sungguh tak
terbatas dan meliputi segenap makhluk-Nya.[7]
D. Maliki Yaumid Diin (Pemilik Hari Kemudian)
Hari kemudian adalah Hari akhir. Setiap orang tentu akan mengalaminya. Baik orang-orang ateis
(tidak bertuhan) dan materialis, maupun orang-orang beriman dan bertuhan sama-sama
bersepakat tentang adanya Hari Akhir. Namun, setiap kelompok memiliki penafsiran masingmasing tentangnya. Kaum materialis lebih memandangnya sebagai proses mengalir dan
berlalunya waktu (jam, hari, dan tahun), yang darinya kemudian terjadilah ketuaan dan kematian.

Namun, orang-orang yang beriman kepada Allah swt memiliki pandangan jauh lebih luas.
Dirinya tidak menganggap bahwa kehidupan di dunia berakhir begitu saja. Sebaliknya, ia
meyakini adanya Hari Pengadilan.
Hal ini meniscayakan dirinya hanya akan melakukan perbuatan yang memiliki ganjaran pahala
seraya menghindari perbuatan dosa, khususnya terhadap mekhluk lain.
Sebabnya, di Hari Pengadilan kelak, ia akan ditanya tentang apa yang telah diperbuat selama
hidup di dunia. Seseorang yang berpandangan demikian niscaya akan berusaha menjaga
perilakunya dan tetap menyandarkan harapannya semata (kepada Allah swt) sampai kapan pun.
Mengingat bahwa dirinya kelak akan dibangkitkan di hadapan Allah swt, penguasa Hari
Pengadilan, seorang hamba tentu akan berusaha untuk mengarahkan perhatiannya semata-mata
kepada Allah swt dan hanya berbuat demi menggapai keridhaan-Nya.
Ia mencari pengetahuan dengan tujuan meningkatkan kualitas dirinya dan juga untuk membantu
manusia. Inilah perbuatan yang sesuai dengan keinginan Allah swt.
Pada sisi lain, dengan mengetahui bahwa Allah swt akan menjadi hakim absolut di Hari
Pengadilan nanti, dirinya sama sekali tidak akan tertarik untuk melakukan tipu daya,
penyelewengan dan kemunafikan. Ia juga akan berkeyakinan bahwa sesuatu yang diperoleh
dengan cara yang keliru atau kesejahteraan hidup yang dibangun di atas dasar kezaliman tidak
akan pernah menguntungkan dirinya. Sebaliknya, ia malah akan diganjar hukuman nan pedih
atas perbuatannya itu. Sejauh kini kita telah membahas bagian pertama dari surat al-Fatihah yang
berkenaan dengan pujian kepada Allah swt dan sifat-sifat-Nya. Bagian kedua darinya (yang akan
kita bahas di bawah ini) berkenaan dengan ketundukan seorang hamba kepada Allah demi
memohon keselamatan dari-Nya serta mengharap agar Allah swt membimbingnya di atas jalan
yang lurus. Beberapa ajaran ideologi Islam yang bersifat mendasar juga ditetapkan dalam bagian
ini.
E. Iyyaaka Nabudu (Kepada-Mu lah Kami Menyembah)
Maksudnya, segenap keberadaan kita dan apapun kemampuan kita (baik secara fisik, mental,
maupun spiritual) semata-mata berada di tangan Allah swt. Dan kita wajib melaksanakan
segenap perintah-Nya.
Pernyataan suci ini pada dasarnya menghendaki seorang hamba tunduk patuh di hadapan Allah
swt dan membebaskan dirinya dari segenap belenggu penghambaan kepada tuhan-tuhan lain.
Dirinya wajib menolak seluruh tuhan lain, terlebih tuhan-tuhan yang dalam sejarah umat
menusia di masa lalu telah menciptakan pembedaan sekaligus penindasan di tengah-tengah
masyarakat. Setiap orang yang beriman tentunya selalu berpikiran maju.
Ia beserta orang-orang beriman lainnya tidak akan pernah tunduk kepada orang lain atau sistem
tertentu, kecuali orang atau sistem tersebut berpijak di atas jalan yang diridhai Allah swt.
Prinsip utama dalam Islam serta segenap agama langit lainnya adalah tidak menyembah apapun
kecuali Allah swt dan hanya tunduk patuh kepada-Nya.

Sejumlah orang tidak memahami makna yang sebenarnya dari prinsip ini dan secara tidak sadar
menyembah makhluk lain. Mereka menganggap bahwa hanya dengan berdoa kepada Allah swt
dan mengingat nama-Nya, dirinya telah menyembah semata-mata kepada Allah swt.
Dalam pandangan al-Quran dan hadis Nabi saw, cara berpikir semacam itu jelas keliru. Makna
penyembahan atau pemujaan dalam al-Quran dan juga hadis Nabi saw adalah kepatuhan dan
ketundukan mutlak terhadap segenap perintah. Perintah tersebut bisa berasal dari sumber
tersendiri ataupun kolektif.
Dan dalam menunaikan ibadah shalat, seseorang bleh jadi menyertakan ketundudukannya, atau
bahkan tidak sama sekali. Karena itu, siapapun yang tunduk serta melaksanakan perintah seorang
penguasa atau sistem yang zalim yang tidak mendasari dirinya di atas hukum-hukum Allah swt,
tak lain dari pengikut dan pendukung sang penguasa atau sistem tersebut.
Dan bila orang-orang seperti itu mengabaikan beberapa ketentuan (penguasa atau sistem yang
zalim) dalam kehidupan pribadi atau sosialnya untuk kemudian menyembah Allah swt, maka
sesungguhnya mereka adalah kaum politeis (menyembah lebih dari satu tuhan.
Adapun jika tidak pernah menyembah Allah swt sama sekali, maka mereka tergolong orangorang yang kafir (orang-orang yang menyangkal keberadaan Tuhan atau bertingkah laku seolaholah Tuhan tidak ada).
Dengan ditopang pengetahuan tentang Islam, kita dengan mudah dapat menemukan alasan
tentang mengapa seluruh agama langit sebelum Islam sangat menjunjung semboyan dasar laa
ilaaha illallah (tidak ada Tuhan kecuali Allah).[8] Kita juga akan memahami apa yang mereka
katakan, apa tujuan utamanya, dan siapa-siapa yang menentang.
Konsep yang berkenaan dengan persoalan penyembahan yang acapkali dinyatakan dalam alQuran dan hadis Nabi saw[9] ini kiranya sangatlah jelas sehingga dipastikan akan menghapus
keraguan yang muncul dalam benak intelektual. Sebagai contoh, al-Quran mengatakan:
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah
dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh
menyembah Tuhan yang Mahaesa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha
Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (at-Taubah: 31)
Abu Bashir meriwayatkan bahwa Imam Jafar as-Sadiq as berkata kepada para pengikut beliau,
Kalian adalah orang-orang yang menjauhkan diri dari ketundukan terhadap segenap aturan yang
zalim. Mematuhi seseorang yang zalim adalah sama dengan menyembahnya.
Kitab tafsir Nur ats-Tsaqalain (vol. 5, hal 481) menyebutkan ayat lain yang berbunyi:
Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- Nya dan kembali kepada
Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku.
(Az-Zumar (39): 17)

F. Wa Iyyaaka Nastaiin (Dan kepada-Mu lah Kami Mengharap Pertolongan)


Kita tentu tidak akan pernah mengharapkan pertolongan dari musuh-musuh-Nya atau dari
seseorang yang menyebut dirinya tuhan. sebabnya, mereka tidaklah menyembah Tuhan dan tidak
akan bersungguh-sungguh menolong orang-orang yang menyembah atau mencari Tuhan.
Jalan Allah adalah jalan lurus dan sangat bersahaja yang dilintasi seluruh nabi. Jalan tersebut
mengajarkan agar dalam kehidupan sosial, setiap individu menjalin hubungan persaudaraan antar
satu sama lain. Lebih dari itu, jalan tersebut juga menghendaki terwujudnya gagasan tentang
kerukunan hidup bersama antarbangsa.
Sebuah sistem yang tunduk kepada Allah swt sama sekali bersih dari tindakan pelecehan,
ketidakadilan dan penindasan terhadap sesama. Lagipula, keberadaan manusia dan nilai-nilai
kemanusiaan justru sangat dijunjung tinggi.
Demi melanggengkan eksploitasinya, hampir semua rezim dan orang yang menggenggam
kekuasaan berusaha mati-matian untuk menghapus cita-cita kemanusiaan tersebut dari benak
masyarakatnya. Jadi, bagaimana mungkin seseorang bisa mengharapkan bantuan atau dukungan
dari para perampas kekuasaan atau penjahat politik seperti itu?
Mereka (para rezim yang jahat) secara terus-menerus menentang kebenaran dan begitu bernafsu
memerangi kaum yang beriman. Oleh sebab itu, kita harus meminta pertolongan semata-mata
kepada Allah swt dan berdiri di atas kaki sendiri serta memanfaatkan bakat dan potensi dasar
pemberian-Nya demi meraih tujuan kita.
Mempelajari prinsip-prinsip yang mendasari ayat ini serta memahami pelbagai hubungan
kompleks yang terkandung di dalamnya, akan membuka wawasan pemikiran dan meningkatkan
standar kehidupan kita.
G. Ihdinash Shiratal Mustaqiim (Tunjukilah Kami Jalan Yng Lurus)
Seluruh umat manusia jelas lebih membutuhkan Allah swt ketimbang yang lain sebagai
pembimbing hidup. Dan secara pasti, kebutuhan tersebut nampak sebagai bentuk pengharapan
dalam surat al-Fatihah, yang sekaligus menjadi prolog dari al-Quran dan juga bagian terpenting
dari shalat.
Hanya lewat bimbingan Allah swt saja kecerdasan dan kebijaksanaan seseorang akan
dimanfaatkan secara konstruktif dan diarahkan semata-mata bagi kebaikan.
Memanfaatkan kecerdasan dan kebijaksanaan di atas jalan kezaliman dan kebatilan tak ubahnya
memberikan lampu kepada seorang pencuri di tengah kegelapan atau membiarkan orang gila
dengan sebilah pisau belati nan tajam di tangannya. Jalan kebenaran adalah jalan yang sangat
menyenangkan, yang melazimkan seseorang melangkah maju dan memenuhi kebutuhan
dasarnya sebagai manusia.

Para nabi Allah lah yang telah merintis dan melintasi jalan ini. Dengan melintasi jalan ini,
niscaya seseorang akan menapaki kemajuan dirinya dan tanpa kesulitan mampu mencapai tujuan
akhirnya yang mulia.
Hal ini sangatlah masuk akal. Sebabnya, sudah menjadi ketetapan hidup bahwa seseorang harus
mengembangkan dan meningkatkan kualitas dirinya semaksimal mungkin.
Dan apabila semua itu dijalankan dengan sungguh-sungguh, niscaya akan tercipta kemakmuran,
kebebasan, sikap saling menghargai, dan rasa persaudaraan dalam tubuh masyarakat. Dengan
demikian, segenap musuh besar kemanusiaan pun akan segera binasa. Bagaimana cara
mengenali jalan ini dan membedakannya dari segenap jalan yang menyesatkan?
Al-Quran menyajikan gambaran yang paling ringkas sekaligus paling gamblang dalam ayat
berikutnya, yang akan kita bahas di bawah ini.
H. Shiraathal Ladhiina Anamta Alaihim (Jalan Orang-orng Yang Engkau Ridhai)
Siapakah orang-orang yang diridhai dan dirahmati-Nya? Dalam hal ini, yang disebut dengan
rahmat-Nya bukanlah martabat, kesehatan, dan harta yang dimiliki seseorang.
Seabnya, kita acapkali menyaksikan bagaimana musuh-musuh besar Allah swt dan para
sekutunya hidup bergelimang kekayaan, kedudukan, serta segenap hal lainnya yang bersifat
material. Makna rahmat atau anugerah Allah swt tentunya jauh lebih tingi dan lebih bernilai dari
sekadar itu, seperti luasnya wawasan berpikir, kebijaksanaan, dan kedalaman spiritual. Sungguh
sangat beruntung orang-orang yang memperoleh segenap nikmat anugerah tersebut; mereka akan
benar-benar menghargai serta menyayangi segenap makhluk ciptaan-Nya, termasuk terhadap
dirinya sendiri.
Dalam sejumlah ayat, al-Quran menyebut mereka sebagai:
Barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orangorang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu; nabi-nabi, para shiddiqin[10], orang-orang
yang mati syahid, dan orang-orang yang shalih (an-Nisa: 69)
Sesungguhnya ketika membaca ayat yang tercantum dalam surat al-Fatihah ini, seorang hamba
tengah berharap kepada Allah swt untuk menuntunnya di atas jalan para nabi, para shiddiqin,
para syuhada, dan orang-orang yang shalih. Jalan ini telah terbentang sejak dululkala dan telah
banyak dilintasi orang-orang terkemuka dalam sejarah. Dan adalah teramat jelas, ke mana muara
akhir dari jalan tersebut.
Namun bagaimanapun juga, disamping jalan ini terbentang pula jalan lain yang dilintasi sebagian
orang. Setiap orang yang beriman kepada Allah niscaya akan berlepas diri dari jalan tersebut
serta dari orang-orang yang melintasinya. Dirinya benar-benar takut terhempas atau tergoda
untuk berjalan di atas jalan tersebut. Ya, itulah jalan yang dimurkai Allah swt.
I. Ghairil Maghdhubi Alaihim (Bukan Jalan Orang-orang Yang Engkau Murkai)

Siapakah orang-orang yang membangkitkan kegusaran dan kemurkaan Allah swt?


Sungguh teramat banyak! Di antaranya adalah orang-orang yang menentang Allah serta orangorang korup yang senantiasa menjerumuskan orang-orang dungu ke dalam kubangan dosa.
Termasuk juga para penindas yang suka memaksa dan menekan orang-orang untuk berbuat
keburukan dan kejahatan, ara tiran, para pendusta, dan orang-orang culas.
Sepanjang sejarah, para diktator dan penindas selalu hidup bermewah-mewah di atas penderitaan
serta kehinaan orang banyak.
Ini sekaligus bisa dijadikan bukti bahwa kemurkaan Allah secara khusus hanya ditujukan kepada
orang-orang yang secara sadar dan sengaja berbuat dosa; bukan kepada orang-orang yang secara
tidak sengaja dan tidak sadar melakukan kekeliruan atau dosa.
Sejarah menunjukkan bahwa pada umumnya orang-orang kaya dan orang-orang yang
menggenggam kekuasaan di tangannya memiliki keyakinan agama yang begitu dangkal. Bahkan
beberapa di antaranya sama sekali tidak memilikinya. Di samping kedua kelompok terkutuk
tersebut, terdapat pula kelompok ketiga yang juga menjadi sasaran kutukan. [11] Isi ayat penutup
(dalam surat al-Fatihah) sesungguhnya merujuk kepada kelompok terakhir ini.
J. Waladhdhaalliin (Juga Bukan Jalan Orang-orang Sesat)
Siapapun yang menapaki jalan selain jalan Allah lantaran kebodohan atau mengikuti orangorang sesat yang dsangkanya melangkah di jalan benar- niscaya kelak akan menjumpai situasi
yang tidak diinginkan. Banyak orang di masa lalu yang mengikuti, mempercayai, mengagumi,
dan menobatkan pemimpinnya secara membabi-buta. Apa akibatnya?
Ya, orang-orang tersebut malah terjerumus ke jurang kesengsaraan lantaran perilaku kotor pada
pemimpinnya itu di kemudian hari. Namun sayang, orang-orang tersebut sudah betul-betul
terikat dengan jalan pilihannya sendiri dan akalnya juga sedemikian terbelenggu sehingga
menjadikannya tidak mengindahkan sama sekali risalah kebenaran yang dikumandangkan para
nabi Allah.
next
Bahkan hampir setiap waktu mereka menentangnya. Mereka tidak mau merenung barang sejenak
pun demi melakukan perbaikan diri atau untuk keluar dari kebodohan tersebut. Disebut
kebodohan karena keadaan tersebut secara total hanya menguntungkan kaum penindas dan
semata-mata merugikan kaum tertindas. Adapun dengan menumpuh jalan para nabi, keadaannya
akan berbalik seratus delapan puluh derajat: kaum penindas menjadi lemah, sementara kaum
teritndas dan terpinggirkan semakin kuat.
Seraya berlepas diri dari jalan serta cara-cara yang dipraktikkan kedua kelompok (yang tidak
diridhai Allah dan yang sesat) di atas, seorang hamba pada akhirnya harus menentukan jalan
yang akan dilaluinya.

Dengan mempelajari dan menilai keberadaan dirinya, seseorang niscaya akan menemukan jalan
pilihannya yang terbaik; jalan para nabi. Saat itu, dirinya akan mengucapkan, Alhamdulillahi
Rabbil Aalamiin (segala puji bagi Allah, Tuhan semsta alam).[12]
Dengan membaca surat al-Fatihah yang merupakan surat pembuka dari al-Quran ini, maka pada
dasarnya bagian utama dari ibadah shalat telah dilaksanakan secara sempurna.
Sebagaimana yang berlaku dalam sebuah prolog (pembukaan), surat ini (yang berposisi sebagai
prolog) merangkum seluruh gagasan utama al-Quran. Bila ibadah shalat merupakan intisari
Islam, maka surat ini merupakan intisari dari keseluruhan isi al-Quran. Tema-tema penting alQuran yang terdapat dalam surat ini adalah sebagai berikut:
1- Alam semesta serta seluruh keberadaan di dalamnya semata-mata milik Allah swt (Rabbil
Aalamiin).
2- Setiap orang dan setiap sesuatu senantiasa berada dalam lingkup kasih sayang-Nya (ArRahman), terlebih orang-orang yang menyembah-Nya (Ar-Rahim).
3- Kehidupan seseorang tidak berakhir begitu saja berkat kematian, melainkan terus berlanjut
dan Allah secara mutlak bertindak sebagai pengawas (Maliki Yaumiddin).
4- Umat manusia harus dibebaskan dari belenggu perbudakan duniawi dan diserukan untuk tidak
menyembah papun kecuali Allah swt. Dan berkat usaha ini, kelak akan tercipta kesejahteraan
hidup bagi umat manusia (Iyyaka Nabudu).
5- Seseorang harus senantiasa mengharap bimbingan Allah dalam mencari jalan hidup yang
hakiki (Ihdinashshiratal Mustaqim).
6- Seseorang harus mampu membedakan mana kawan dan mana lawan (musuh), dan menyikapi
masing-masing kelompok (kawan maupun lawan) sesuai dengan keyakinannya (Shiratalladhina).
III. Isi Surat at-Tauhid
Setelah membaca surat (al-Fatihah) yang maknanya sangat kaya dan begitu mendalam tersebut,
seorang hamba melanjutkan ibadah shalatnya (masih dalam keadaan berdiri) dengan membaca
secara utuh salah satu surat lainnya dalam al-Quran.
Seorang hamba bebas menentukan surat mana dalam al-Quran yang akan dibacanya itu (dengan
syarat, isinya dibaca, secara keseluruhan). Inilah salah satu bentuk ajaran Islam yang penuh
makna. Untuk mengetahui betapa pentingnya membaca surat lain dalam al-Quran dalam ibadah
shalat sehari-hari, ada baiknya bila kita menghayati pernyataan Imam Ridha as, Membaca alQuran setiap hari akan menjaga kesegaran gagasan-gagasannya dalam ingatan kita. Selain itu,
kita juga akan terhindar dari kelupaan atau kesalahpahaman terhadap isi al-Quran.[13]
Dalam kesempatan ini, saya akan membahas salah satu surat al-Quran, yakni surat at-Tauhid (alIkhlash), yang acapkali dibaca dalam ibadah shalat harian.

A- Bismillahirrahmanirrahim (Dengan Nama Allah Yang Mahapengasih Mahapenyayang)


B- Qul (Katakanlah)
Wahai Nabi! Kenalilah dirimu dan katakanlah kepada yang lain bahwa Aku (Allah) Mahaesa.
C- Huwallahu Ahad (Allah Mahaesa)[14]
Keberadaan Allah tidaklah sebagaimana yang digambarkan oleh pelbagai keyakinan yang sesat.
Allah tidak memilki sekutu, tidak tertandingi, tidak ada yang menyerupai, dan tidak
membutuhkan tuhan lain dalam mencipta makhluk. Seluruh ciptaan beserta segenap hukum,
rumus, dan prinsipnya semata-mata berasal dari satu sumber.
Inilah alasan mengapa segala sesuatu yang ada di jagad raya ini bergerak secara harmonis dan
begitu tertata rapi sesuai dengan hukum-hukum alam. Satu-satunya pengecualian dari semua itu,
sekaligus merupakan skala kecil (mikrokosmos) dari seluruh keberadaan di alam semesta ini
(makrokosmos), adalah manusia. Itu disebabkan dirinya dianugerahi kemampuan berpikir dan
membuat keputusan.
Adakalanya manusia tersesat dan tidak mengambil bagian dalam keseluruhan tatanan yang
harmonis ini. Namun, ia akan segera sadar bahwa dirinya tidak dapat berbuat sejauh itu kecuali
dengan mengikuti hukum-hukum alam (tentu saja itu berlaku dalam masalah fisik, sementara
dirinya tetap memiliki kebebasan dalam berpikir tentang apa yang diinginkannya. Allah telah
menganugerahkan manusia kemampuan semacam itu dan Dia ingin melihat apa yang kita
perbuat dengannya).
D- Allahush Shamad (Allah Tempat Bergantung Segala Sesuatu)
Maksudnya, Allah (Tuhan yang kini saya sembah dengan bersujud dan tunduk di hadapan-Nya),
tidaklah seperti tuhan-tuhan lainnya.
Sebabnya, tuhan-tuhan lain datang dan pergi begitu saja, serta terikat oleh ruang dan waktu.
Lagipula, keberadaan mereka amatlah bergantung pada seseorang atau sesuatu. Siapa yang
membutuhkan tuhan-tuhan seperti itu?
Tuhan-tuhan seperti itu sungguh tidaklah pantas untuk disembah. Sebabnya, mereka sama
dengan, atau bahkan lebih rendah dari manusia. Tidaklah layak bagi seseorang yang
berpengetahuan luas dan memiliki pelbagai potensi serta kemampuan diri, untuk merendahkan
diri dan menundukkan kepalanya di hadapan seseorang atau sesuatu yang tidak lebih dari ciptaan
(makhluk) belaka.
Seharusnya ia hanya menyembah Tuhan Yang Mahakuasa; yang tidak membutuhkan apapun;
yang segenap kekuatan serta keberadaan di jagat raya ini semata-mata bersumber dari-Nya.
E- Lam Yalid (Dia Tidak Beranak)

Keberadaan Allah bukanlah sebagaimana yang seringkali dipropagandakan oleh beberapa agama
yang menyimpang.
Umpamanya, konsep Tuhan Bapa dan Tuhan Anak dalam ajaran Kristen dan kaum politeis
lainnya. Allah tidaklah memiliki atau melahirkan anak.
Dia memang Pencipta segala sesuatu dan segenap umat manusia, namun Dia bukanlah ayah dari
ciptaan-Nya. Segenap kehidupan di permukaan bumi atau di tempat lain di jagad raya ini sematamata adalah hamba-Nya, bukan anak-anak-Nya.
Hubungan (tuan-hamba) antara Allah dan manusia mencegah orang-orang yang beriman dari
penghambaan kepada sesuatu atau orang lain. Sebabnya, seseorang tidak dapat menghamba
kepada dua tuan.
Orang-orang yang mengatakan bahwa umat manusia terlampau agung hanya untuk menjadi
hamba Tuhan, pada kenyataannya telah membuka jalan bagi manusia untuk memperbudak
sesamanya.
Dengan memperhatikan kehidupan orang-orang tersebut, kita dapat menjumpai bahwasanya
mereka secara nyata menghamba kepada para pemimpin dan bos yang zalim. Bahkan sebagian
dari mereka mempraktekkan beberapa bentuk kezaliman itu sendiri.

F- Wa Lam Yulad (Dan Tidak Pula Diperanakkan)


Keberadaan Allah bukanlah akibat dari gejala alam; dari tiada menjadi ada. Allah tidak
dilahirkan siapapun, juga bukan lahir dari pikiran seseorang. Allah bukanlah seperti yang dapat
kita kenal atau bayangkan. Dia adalah kebenaran yang Mahaagung dan hadir di mana-mana.
Keberadaan-Nya tidak berawal dan tidak berakhir (abadi).
G- Wa Lam Yakun Lahu Kufuan Ahad (Tak Ada Sesuatupun Setara Dengan-Nya)
Kita tentu tidak dapat membandingkan antara Allah dengan apapun yang kita kenal atau dapat
kita bayangkan. Pengaruh dan kekuasaan Allah meliputi seluruh jagad raya. Karenanya, siapapun
tidak layak untuk menuntut kepemilikan atas sejumlah bagian terlebih keseluruhan- yang ada di
dalamnya. Janganlah kita memasrahkan atau merendahkan keberadaan kita secara keseluruhan
atau sebagiannya kepada siapapun atau apapun. Sekaitan itu, kita dihadapkan dengan dua
pilihan; hidup dan mereguk kenyataan (dengan memasrahkan diri kepada Allah) atau mati dan
tenggelam dalam kehidupan semu (lantaran pasrah kepada selain-Nya).
Sebagaimana kita ketahui, isi surat ini menyeru umat manusia untuk benar-benar menjunjung
tinggi ketauhidan (monoteisme). Memang, dalam beberapa surat lain, al-Quran menyebutkan
pula soal ketauhidan Allah swt.

Namun, surat at-Tauhid mengemukakan persolan tersebut dalam bentuk yang jauh lebih ringkas
tapi padat serta menggunakan bentuk ungkapan yang berlaku di kalangan orang-orang sesat yang
hidup di zaman penyembahan berhala waktu itu.
Untuk terakhir kalinya, ayat yang merupakan penutup dari keseluruhan surat ini, secara tegas
menolak segenap keberadaan tuhan lain. Surat ini mengemukakan tentang siapa sesungguhnya
Tuhan yang patut disembah. Seraya itu, ia juga memaparkan tipe Tuhan yang diyakini kaum
Muslimin.
Tuhan yang bersekutu (tidak tunggal) dan pada saat yang sama memiliki sejumlah persamaan
dengan seseorang atau apapun, tidak layak atau tidak perlu disembah.
Jangan sampai kita memuja-muja negara superpower atau seseorang yang zalim yang pada
hakikatnya membutuhkan kekuatan di luar dirinya dalam melanggengkan kekuasaannya.
Tinggalkanlah dan abaikanlah mereka!
Setiap orang harus terus bersikap waspada sehingga dirinya tidak sampai menobatkan mereka
sebagai tuhan yang pantas dipuja dan disembah.
Seseorang yang menyembah atau tunduk sepada boneka-boneka bernyawa nan buas tersebut
pada dasarnya tengah menghinakan dirinya sendiri, bahkan juga manusia lainnya.
Adapun secara positif, surat ini menunjukkan kepada kita tentang sifat-sifat keesaan Tuhan, dan
pada saat yang sama, menyingkapkan segenap kelemahan tuhan-tuhan palsu.
Selain itu terdapat pula peringatan keras terhadap kaum Muslimin dan orang-orang yang beriman
kepada Allah untuk tidak menghamburkan waktunya secara sia-sia.
Dengan kata lain, peringatan tersebut menghendaki agar mereka berusaha sekuat tenaga
mencarai dan mempelajari argumen filosofis yang kokoh seutar keberadaan dan sifat-sifat Tuhan.
semua itu niscaya akan melenyapkan keraguan dalam lubuk hati seseorang tentang keberadaan
Tuhan.
Waktu yang dimiliki serta usaha yang dilakukan seseorang seyogianya digunakan untuk kian
mempertajam pemahamannya tentang keesaan Tuhan. Dan semua itu pada gilirannya akan
semakin mempertebal keyakinan religiusnya. Imam Ali Zainal Abidin mengatakan, Allah
mengetahui bahwasanya terdapat orang-orang yang merasa heran dan ingin tahu tentang-Nya,
sampai Allah menurunkan wahyu-Nya, Qul huwallaahu Ahad, dan ayat dari surat al-Hadid yang
berbunyi, Alimun bi dzatishshudur, untuk menentukan batasan pemikiran tentang keberadaanNya. Dan telah berulangkali dinyatakan dalam al-Quran bahwa barangsiapa yang melewati
ambang batas tersebut tak akan memperoleh apapun kecuali kehancuran.[15]
Surat at-Tauhid ini mengatakan kepada para hamba bahwasanya Allah Mahakuasa, Mahaesa,
Mahaagung, serta mutlak bebas dari kebutuhan dan ketergantungan. Allah tidak dilahirkan
ataupun melahirkan siapapun (tidak beranak atau diperanakkan).

Tak ada yang sebanding, serupa dan mendekati kemiripan dengan-Nya. Beberapa pandangan dan
persepsi seputar keberadaan Allah ini kiranya memadai bagi kaum Muslimin untuk merumuskan
keyakinannya. Dalam sejumlah ayat lain, al-Quran menganjurkan kita untuk tidak berlebihan
dalam menelaah ihwal yang berkenaan dengan sifat serta esensi Tuhan. seseorang selayaknya
menerapkan keyakinannya dalam kehidupan sehari-hari demi menumbuhkan ketundukan
kepada-Nya, ketimbang terus-menerus tenggelam dalam pemikiran spekulatif tanpa akhir. Sesuai
dengan prinsip bahwa tindakan atau perbuatan lebih utama ketimbang ucapan, kita harus
berusaha keras menjadikan diri kita sebagai contoh hidup dari ketauhidan. Inilah jalan yang
dipilih para nabi Allah, para shiddiqin, dan orang-orang shalih. Ya, mereka telah berhasil
memiliki kesadaran yang agung tentang-Nya.
IV. Tasbihat Arbaah
Dalam keadaan berdiri pada rakaat ketiga dan keempat dalam shalatnya[16], seorang hamba
akan membaca empat rangkaian kalimat yang penuh makna seputar kemahaagungan Allah swt.
Kami akan menguraikan maksud dari masing-masing kalimat suci yang dibaca sebelum ruku
dan sujud tersebut.
Kalimat-kalimat suci itu adalah subhanallah (Mahasuci Allah), walhamdulillah (segala puji
hanya milik Allah), wala ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah), dan Wallahu akbar (Allah
Mahabesar).
Dengan memahami makna yang sebenarnya dari keempat kalimat suci tersebut, seseorang bisa
dikatakan telah memiliki pemahaman yang utuh tentang ketauhidan. Masing-masing kalimat
tersebut pada hakikatnya mengungkapkan aspek yang berbeda dari konsep ketauhidan.
Mengulang-ulang pernyataan tersebut dalam ibadah shalat sehari-hari tidak hanya akan
menumbuhkan kesadaran diri orang-orang yang melakukannya. Lebih dari itu, ia juga akan
mengubah pola perilakunya. Dengan kata lain, keyakinan suci Islam secara umum terwujud
dalam keseharian hidupnya. Islam adalah jalan hidup.
Sungguh, pemahaman tentang segenap hal yang berkenaan dengan Islam sangatlah bernilai.
Namun, sesuatu yang kita pahami, kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tentu jauh
lebih bernilai lagi. Islam sangat menganjurkan untuk memeluk jenis keyakinan yang membebani
tugas-tugas (mulia) tertentu ke pundak seseorang.
Semua itu dimaksudkan agaar seseorang lebih bertanggung jawab terhadap tindak-tanduknya
sendiri. Jalan hidup orang-orang beriman yang meyakini betul keberadaan Allah sangatlah
berbeda dengan jalan hidup orang-orang yang tidak mempercayai keberadaan Allah. Seseorang
yang meyakini dirinya merupakan bagian dari keseluruhan tatanan alam oleh Sang Pencipta yang
Mahakuasa dan Mahatahu, akan senantiasa bertanggung jawab terhadap segenap tindaktanduknya.
Dirinya selalu merasa terikat dan mengerahkan segenap tindakannya kepada cita-cita serta tujuan
hidupnya. Secara konsekwen, ia akan berusaha mati-matian untuk mewujudkan segenap
(kebaikan) yang sebelumnya telah direncanakan.

Berkat kehidupan yang mengandungi tujuan tersebut, dirinya pun merasakan kebahagiaan dan
kepuasan yang tiada tara. Begitu pula dengan keyakinan dan pemahaman terhadap konsep Hari
Pengadilan, kenabian, dan keimamahan.
Sebagaimana ketauhidan, masing-masing dari konsep tersebut juga akan menimbulkan pengaruh
pada diri seseorang. Secara konsekwen, semua itu akan membedakan mana orang-orang yang
memiliki keyakinan dan mana yang tidak. Dalam kehidupan sehari-hari, kita memang tidak dapat
membedakan secara lahiriah siapa saja pengikut mazhab pemikiran ini dan siapa saja yang
bukan. Sebab, kuat atau rapuhnya keyakinan, lebih disebabkan oleh mendalam atau dangkalnya
pemahaman seseorang terhadap prinsip-prinsip dasar (Islam).
Bagaimanapun, perbedaan antara orang yang benar-benar beriman dan orang yang berpura-pura
akan ditampakkan kelak dalam situasi kehidupan yang sesungguhnya. Bertolak dari diskusi di
atas, kita akan membahas makna dari keempat kalimat suci tersebut.
1- Subhanallah
Allah Mahasuci dan mustahil bersekutu, bertindak sewenang-wenang, dan memiliki kekurangan.
Allah tidak diciptakan dan tidak pernah melakukan kesalahan.
Lagipula , kita tidak dapat menyifati Allah dengan sifat-sifat atau ketidaksempurnaan sesuatu
sebagaimana yang kita kenal atau dapat kita bayangkan. Allah lebih (besar) dari apa yang dapat
kita bayangkan.
Berdasarkan itu, seorang hamba yang selalu mengingat Allah akan menyadari posisinya sebagai
sosok makhluk yang membutuhkan Tuhan yang Mahakuasa serta menyerahkan dirinya secara
penuh kepada Allah yang Mahasempurna dan sumber segala keindahan absolut. Akankah
seseorang merasa keberatan untuk menyembah Tuhan semacam itu?
Inilah maksud dari ibadah shalat yang diperintahkan Islam; menjadikan manusia hanya bertekuklutut menyembah Allah yang Mahakuasa dan mengakui-Nya sebagai sumber segenap kebaikan,
keindahan, dan kesempurnaan mutlak.
Tentu hal ini bukanlah dimaksudkan untuk melecehkan manusia; setiap orang pasti menyukai
serta menghargai kecantikan dan kesempurnaan. Ini sesuai dengan fitrah manusia yang mampu
memahami sesuatu yang dirasakan dan bersifat abstrak, seperti kecantikan, cinta, dan kasih
sayang.
Dan semua itu jelas menjadikan manusia memiliki nilai lebih ketimbang makhluk lainnya. Selain
pula berfungsi untuk membatasi apa-apa yang dapat dirasakannya. Akankah setiap orang
menolak untuk menyembah kebaikan, cinta, dan kecantikan sempurna?
Tentu saja kemampuan untuk menghargai semua itu semata-mata merupakan sebuah anugerah.
Ya, anugerah yang diperoleh seseorang yang menapaki jalan (kebenaran) ini adalah tumbuhnya
ketaatan (kepada Allah) dalam dirinya, sehingga menjadikan hidupnya begitu terarah dan
bermakna.

Siapapun yang menganggap remeh ibadah atau penyembahan kepada Allah pada dasarnya tidak
memahami hakikat dari persoalan ini. Mereka menyamakan penghambaan kepada Allah dengan
tunduk atau mencium kaki seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Sesungguhnya kehendak untuk menghargai serta menghormati keindahan, kesucian, dan
kesempurnaan mutlak merupakan fitrah manusia. Kalimat suci subhanallah (Mahasuci Allah),
pada dasarnya menghendaki kita untuk terus-menerus merenungkan kesempurnaan mutlak
Tuhan yang Mahakuasa.
2- Walhamdulillah
Segala puji bagi Allah semata. Dalam kehidupan sehari-hari, kita menyaksikan hampir sebagian
besar orang senantiasa giat berusaha demi mendapatkan sesuatu; status, kedudukan, harta
kekayaan, atau bahkan kebutuhan hidupnya yang paling primer (pangan, sandang dan papan).
Apakah dibenarkan jika kita menengadahkan tangan atau bahkan sampai mengemis kepada
orang-orang semacam itu demi mendapatkan sekantong uang?
Sekalipun orang-orang semacam itu tingkat kecerdasannya di bawah kita, namun dikarenakan
memiliki kedudukan tertentu atau sanggup memberi kita sesuatu (yang sebenarnya tidak
berharga), maka hampir setiap waktu kita selalu memuji dan begitu menghargai mereka.
Dengan selalu mengingat bahwa segenap kemuliaan serta pujian seyogianya hanya tercurah
kepada Allah dan segala sesuatu hanyalah milik-Nya, niscaya hidup kita akan jauh lebih mudah.
Pada kenyataannya, Allah lah yang memberi anugerah kepada setiap orang. Karenanya, tak
seorang yang berhak untuk menumpuk makanan atau pelbagai barang kebutuhan lainnya demi
mendapat penghormatan atau penghargaan orang lain.
Para fakir miskin seyogianya tidak berharap kepada kaum hartawan (orang kaya), orang-orang
yang hidup makmur, atau para penimbun. Sebaliknya, ia harus berusaha hidup mandiri dan pada
saat yang sama menganggap mereka sebagai para perampas yang serakah.
3- Wala ilaha illallah
Inilah kaidah kencana Islam yang memperlihatkan universalitas sekaligus kekhasan ideologinya.
Pernyataan ini memiliki dua sisi; pengingkaran (nafi) sekaligus penetapan (itsbat).
Sisi yang pertama (pengingkaran) dimaksudkan untuk mengenyahkan segenap kontrol, tirani dan
dominasi kekuasaan para adikuasa atau penguasa zalim lainnya terhadap masyarakat. Atau
dengan kata lain, membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan.
Seorang Muslim yang sesungguhnya tidak akan tunsuk di hadapan kekuasaan lain selain
kekuasaan Allah dan tidak akan pernah melakukan pelanggaran terhadap segenap perintah-Nya.
Berkat sikap pengingkaran yang sungguh luar biasa ini, ia akan terbebas dari kesengsaraan,
belenggu penghambaan, perbudakan dan keragu-raguan. Ia meleburkan dirinya semata-mata ke

dalam sistem Ilahi, yakni pemerintahan yang benar-benar Islami. Dirinya memilih untuk menaati
Allah dan bukan menaati orang-orang yang acapkali memaksanya untuk melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan perintah-Nya. Untuk menjadi hamba Allah, seseorang harus menata pola
hidupnya sesuai dengan keinginan Allah dan menjadikan dirinya sebagai teladan orang lain.
Selain itu, ia juga harus berusaha untuk mengembangkan gagasan seputar pendirian negara atau
wadah kehidupan bersama yang ditopang nilai-nilai ketuhanan. Sistem sosial lain di muka bumi
ini yang tidak dibentuk secara demikian adalah sistem sosial yang bersifat sekuler.
Sistem sosial semacam itu didesain dan dibangun oleh manusia sehingga tidak memiliki tujuan
akhir yang bersifat hakiki dan tidak akan pernah menciptakan kemakmuran hidup. Kemampuan
manusia sangatlah terbatas sehingga menjadikannya tidak sanggup mengetahui masing-masing
kebutuhan dari sesamanya. Selain itu, dirinya acapkali bersikap subjektif dalam menilai sesuatu.
Dengan kekurangan seperti itu, maka sistem yang didesain dan dibangunnya pasti tidak akan
pernah sempurna. Hanya ketetapan suci yang berasal dari yang Mahaagung, yang mengetahui
segenap kebutuhan manusia saja yang dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
pertumbuhan dan perkembangan kehidupan umat manusia. Upaya seluruh nabi Allah, dengan
cara masing-masing, untuk merumuskan hal semacam itu tidaklah ditentang para penguasa atau
bangsa-bangsa lain. Alasannya, para nabi justru melindungi dan menginginkan mereka (penguasa
atau suatu bangsa) hidup makmur.
Para nabi memainkan peran sebagai seorang ayah yang sangat bijak bagi masyarakatnya. Mereka
senantiasa membimbing masyarakat dalam menentukan pilihan bagi jalan hidupnya. Seraya itu,
para nabi juga tidak henti-hentinya menjelaskan bahwa siapapun tak akan pernah mengecap
kebahagiaan hidup dalam sistem sosial apapun kecuali dirinya bertuhan dan bertindak sesuai
dengan titah Allah swt.
Sepanjang sejarah umat manusia sampai hari ini, kita tentu menyaksikan dengan hati pilu betapa
hina, sengsara dan menderitanya orang-orang yang hidup di bawah kekuasaan para penguasa
lalim. Sebaliknya, betapa makmur dan sejahteranya masyarakat yang hidup dalam sistem sosial
Ilahiah.
4- Wallahu Akbar
Allah Mahabesar. Rata-rata manusia tidak dapat merubah kehidupannya begitu saja, sekalipun
keadaannya sudah sangat mengerikan. Dirinya sudah sedemikian dibayang-bayangi ketakutan
dan kengerian sehingga memilih untuk tidak mengatakan tidak kepada para penguasa zalim,
penindas dan arogan. Ya, mereka lebih cenderung untuk menyandarkan dirinya kepada lembagalembaga tersebut. Padahal kalau saja berani mengatakan tidak, niscaya mereka akan
menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana kekuasaan zalim yang selama ini telah
menjadi momok yang begitu menyeramkan itu ambruk dalam sekejap.
Sayang, ketidakpedulian dan kurangnya keyakinan di satu sisi, serta ketakutan untuk
menghadapi resiko balas dendam yang mungkin dilancarkan pihak penguasa zalim di sisi yang

lain, sudah sedemikian meliputi diri mereka. Pada saat seperti itu, seharusnya mereka
mengucapkan, Allahu Akbar.
Sungguh, Allah Mahabesar, lebih besar dari segenap apapun, siapapun dan kekuasaan manapun.
Allah bahkan lebih besar dari apa yang dapat kita bayangkan. Allah adalah perancang seluruh
hukum alam, termasuk hukum alam ghaib. Keberhasilan hidup hanya mungkin dicapai bila
seseorang menyesuaikan diri dengan rangkaian hukum-hukum tersebut serta mengikuti tuntunan
Ilahi.
Rasulullah saw adalah pribadi agung yang sangat menyadari kenyataan ini. Disertai keyakinan
yang penuh terhadapnya, beliau saw bangkit sendirian menentang segenap penindasan yang pada
waktu itu banyak dipraktekkan orang-orang kafir Mekah.
Pada akhirnya, beliau saw berhasil mengubah pemikiran sejumlah orang yang sebelumnya
menempuh kesesatan. Seraya itu, belaiu juga menunjukkan kepada mereka jalan kebenaran yang
akan menyelamatkan seluruh umat manusia. Tatkala merasa tidak berdaya untuk melawan suatu
ketidakadilan, seyogianya seseorang ingat bahwa Allah Mahakuasa.
Dengannya, niscaya ia akan mendapat kekuatan yang sungguh luar biasa. Tekad dirinya pun akan
menjadi sedemikian kukuh sehingga tak seorang pun yang mampu mencegah dan merintanginya.
Inilah pembahasan ringkas tentang pelbagai keuntungan yang dapat diperoleh seseorang ketika
mengucapkan secara berulang-ulang (dalam keadaan berdiri), keempat kalimat suci tersebut pada
rakaat ketiga dan keempat dari setiap shalatnya.
V. Ruku
Setelah membaca surat atau ungkapan-ungkapan tasbih dalam keadaan berdiri,[17] seorang
hamba wajib membungkukkan tubuh dan kepalanya (melakukan ruku) di hadapan Allah, Tuhan
yang lebih agung dari yang dapat dibayangkan serta dipuja umat manusia.
Allah swt begitu Mahaagung sehingga seorang hamba mau tak mau harus membungkukkan
badannya dengan penuh penghayatan. Hal ini memperlihatkan ketundukan seorang hamba di
hadapan Tuhan yang Mahakuasa; sumber kekuasaan utama yang mengatasi segenap kekuasaan
yang dimiliki manusia. Karena itu, seorang hamba tidak dibenarkan membungkukkan tubuhnya
di hadapan sesuatu atau manusia lain. Seraya berada dalam posisi tunduk (ruku) di hadapan
Tuhan, seorang hamba seyogianya menyampaikan pujian kepada-Nya dengan membaca,
Subhaana Rabbiyal Adhimi wa bihamdih (Mahasuci Allah yang Mahaagung dan saya
menyembah-Nya).[18]
Dengan menundukkan diri seraya mengucapkan kalimat yang tepat semacam ini, pada dasarnya
seseorang telah bertekad untuk menjadi seorang hamba Allah, bukan hamba selain-Nya. Dan
tanda-tanda kebahagiaan, kemerdekaan dan harga dirinya pun akan segera membayang di
wajahnya.
VI. Sujud

Setelah berdiri dari ruku, seorang hamba bersiap-siap untuk menundukkan dirinya lebih dalam
lagi. Ya, ia akan segera bersimpuh dan menempelkan dahinya ke atas tanah. Menempelkan dahi
di atas tanah merupakan bukti tertinggi bagi kerendah-hatian seseorang.
Seorang hamba akan mempersembahkan penghormatan yang sedemikian tinggi hanya kepada
Allah swt, sumber dari segenap kebaikan dan keindahan absolut. Dengan keyakinan serta
pengetahuannya, ia tidak pernah mau menyembah sesuatu atau sesamanya, apalagi sampai
semendalam itu.
Sebab, ia juga tahu bahwa memperlihatkan kerendah-hatian seerti itu kepada makhluk lain
adalah terlarang. Tatkala bersujud di atas tanah dan menghayati keagungan Tuhan, seorang
hamba akan segera mengucapkan kalimat penuh makna ini, Subhana Rabbiyal Alaa Wa
Bihamdih (Aku menyembah Allah yang Mahasuci dan Mahatinggi).[19]
Sungguh, kalimat suci serta perbuatan (sujud) ini sangatlah serasi! Darinya jelas bahwa setiap
manusia harus memanjatkan pujian serta penghormatannya hanya kepada Allah, bukan kepada
selain-Nya.
Bersujud dalam shalat dan bersimpuh di hadapan Allah yang Mahakuasa dan Mahaagung
tidaklah sama dengan berlutut di hadapan makhluk lain yang tidak memiliki kesempurnaan.
Apalagi dengan berlutut di hadapan benda-benda atau berhala-berhala.
Dengan tindakan ini, seorang hamba menyatakan ketundukan serta ketaatannya kepada Allah swt
yang Mahatahu dan Mahamelihat.
Sungguh, seorang hamba telah menggapai kedudukan sebagai hamba Allah telah menghindarkan
dan membebaskan dirinya dari segenap belenggu enghambaan dan perbudakan antar sesama.
Hasil terpenting yang terkandung dari kewajiban untuk mengucapkan kalimat suci serta
melaksanakan kewajiban sujud dan bersimpuh tersebut adalah menjadikan seorang hamba
mengetahui kepada siapa dirinya harus tunduk. Selain pula mengukuhkan pandangan bahwa
seluruh pujian dan ketundukan hanya khusus ditujukan kepada Allah. Darinya, ia juga akan
mengetahui bahwa tak satupun makhluk yang wajib disembah dan dipuji. Imam Ali ar-Ridha as
berkata, Seseorang akan merasa dekat kepada Allah ketika dirinya sedang bersujud di atas
tanah.[20]
VII. Tasyahhud (Penyaksian Keesaan Allah)
Setelah menyelesaikan rakaat kedua dan juga pada rakaat terakhir dalam shalat sehari-hari,
seorang hamba akan duduk bersimpuh seraya membacakan tiga buah pernyataan, yang masingmasing darinya menyingkapkan sejumlah aspek yang berkenaan dengan keimanan. Perbuatan
(salam shalat) ini disebut dengan tasyahhud.
1- Seorang hamba wajib mengakui keesaan Tuhan dengan membaca, Asyhadu anlaa ilaha
illallah (ak bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah). Setelah itu, dirinya harus memberi
penekanan yang lebih terhadapnya dengan mengucapkan, Wahdahu la syarikalah (hanya Dia

Tuhan alam semesta, tak ada sekutu bagin-Nya). Apapun atau siapapun yang menjadikan
manusia terjebak dalam perbudakan akan dianggap sebagai tuhannya.
Lewat sudut pandang ini, kita menyaksikan bagaimana sesekali kita tunduk mengikuti keinginan
hawa nafsu. Bahkan, kita tak jarang mengikuti keinginan serta perintah seseorang atau sebuah
lembaga yang dalam hal ini berperan sebagai tuhan.[21]
Dengan engucapkan laa ilaaha illallah, kehidupan seorang hamba akan bersih dari pengaruh para
penguasa semacam itu. Maksud dari tasyahhud adalah penolakan secara tegas terhadap segenap
pengaruh kekuasaan selain-Nya dalam kehidupan seseorang. Seorang hamba niscaya mengetahui
bahwa hanya Allah yang berkuasa, bukan makhluk-Nya. Setelah memahami dan menerima
kenyataan ini, seseorang harus tegas menolak apapun atau siapapun (baik manusia, hewan,
malaikat atau bahkan hawa nafsu) yang mencoba menguasai dirinya.
Hal ini bukan dimaksudkan bahwa orang yang bertauhid dilarang menerima atai mengikuti
tatanan, aturan-aturan, hukum-hukum, serta kesepakatan sosial. Namun, semua itu lebih
dimaksudkan agar oeng yang mengaku bertauhid menolak melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip Ilahi.
Seorang Muslim sejati tentu tahu bagaimana seharusnya ia berperilaku serta bagaimana
membedakan antara benar dan salah. Langkah kehidupannya dibimbing semata-mata oleh Allah,
bukan oleh manusia lain. Sebagaimana individu lainnya dalam masyarakat, ia mengikuti segenap
aturan main serta ketetapan yang berlaku.
Namun, tatkala diketahui bahwa semua itu diarahkan untuk memenuhi ketamakan atau keinginan
buruk seseorang, dirinya niscaya akan langsung berlepas tangan dan menjauh darinya.
Tolok ukur yang digunakannya untuk menilai semua itu adalah ketetapan Allah swt, bukan yang
lain. Ia juga akan bersikap patuh kepada orang-orang yang memegang teguh hukum-hukum
Allah. Teristimewa kepada mereka yang ditugaskan Allah untuk membimbing umat manusia.
Sebabnya, misi yang diemban para penasehat serta pemimpin tersebut hanyalah membimbing
umat manusia dalam kerangka keinginan Allah swt. Ini sebagaimana difirmankan dalam alQuran, taatilah Allah dan taatilah rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. (an-Nisa: 49)
[22]
2- Agaknya dengan pertimbangan yang semacam itu, seorang hamba mengucapkan pernyataan
tasyahhud yang kedua, Asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluh (aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba dan utusan Allah).
Mengakui Muhammad saw sebagai utusan Allah secara tidak langsung meyakini bahwa segenap
perkataan Nabi saw semata-mata wahyu yang datang dari Allah. Adakah cara untuk
mendekatkan diri kepada Allah yang lebih baik dari mengikuti utusan Allah?
Sebelumnya, banyak orang yang beriman menjadi tersesat lantaran dalam usahanya menapaki
jalan Tuhan, ia hanya mengandalkan dirinya sendiri. Kemudian Allah mengutus Nabi
Muhammad saw dengan perintah yang jelas untuk membimbing umat manusia. Bahwa

Muhammad saw adalah benar-benar utusan Allah dan ucapannya adalah wahyu Allah,
merupakan keyakina seluruh hamba Allah yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Persoalan penting lainnya yang terkandung dalam maklumat tasyahhud kedua ini adalah bahwa
kata hamba (abd) mendahului kata utusan (rasul).
Hal ini menunjukkan bahwa dalam kacamata Islam, keutamaan seseorang diukur berdasarkan
ketulusannya dalam menghamba ketimbang misi yang diembannya.
Sesungguhnya kebajikan atau keutamaan seseorang diukur berdasarkan kedalaman
keyakinannya, khususnya keyakinan kepada Allah swt. Orang-orang yang lebih luas dan lebih
mendalam keyakinannya (kepada Allah) tentunya jauh lebih utama dari selainnya. Orang-orang
yang mengenal konsep penghambaan tentunya tidak akan kesulitan untuk memahami pernyataan
di atas.
Kita seyogianya membandingkan dan memutuskan apakah kita lebih memilih bergantung kepada
Allah ataukah kepada selain-Nya. Sunguh, Allah Mahalembut, Mahapenyayang dan Mahakuasa.
Lawannya adalah pemarah, suka mementingkan diri sendiri dan bersifat sementara.
Bisakah dikatakan bahwa penyebab utama timbulnya kesengsaraan masyarakat tak lain dari
bentuk ketergantungan yang mereka lestarikan (ketergantungan kepada seseorang, benda-benda
dan sebagainya)?
Juga, bisakah dikatakan bahwa ketergantungan kepada Allah semata akan menghapus keinginan
untuk bergantung kepada sesuatu yang lain?[23]
Pernyataan tentang keesaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad saw muncul secara
berdampingan dalam tasyahhud. Para hamba harus menyadari bahwa pengucapan kedua
maklumat tersebut tidaklah bernilai kecuali bila kemudian diikuti oleh lahirnya komitmen serta
perbuatan yang sesuai dengannya.
Dalam hal ini, terdapat keharusan serta aturan bertingkah-laku yang bersifat khusus bagi orangorang yang beriman kepada-Nya dan yang meyakini kerasulan Muhammad saw. Proses
penghambaan yang sesuai dengan segenap prinsip tersebut merupakan persoalan paling pokok
dalam setiap shalatnya, seorang hamba akan senantiasa memperbarui kesaksiannya kepada Allah
dan rasul-Nya.
3- Pernyataan ketiga dalam tasyahhud merupakan sebuah doa dan harapan yang dipanjatkan ke
hadiran Ilahi. Seorang hamba mengatakan, Allahumma shalli ala Muhammad wa aali
Muhammad (Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad).
Rasulullah saw beserta Ahlul Baitnya merupakan para penghulu ajaran (Islam) mulia ini.
Dengannya, seorang hamba akan senantiasa sadar bahwa didinya harus berpedoman kepada
mereka serta terus memperbarui hubungannya dengan mereka (Ahlul Bait Nabi saw). Adalah
wajib untuk berdiri di atas garis pedoman dari segenap doktrin tersebut. Dalam ajaran Islam, kita
diharuskan mengikuti mereka yang menjadi contoh hidup kesempurnaan manusia tersebut.

Mereka adalah buah dari pembinaan dan perjuangan suci Rasulullah saw sepanjang sejarah. Ya,
mereka adalah para pengikut Nabi yang paling taat dan penuh disiplin.
Para insan mulia didikan Rasul saw tersebut melanjutkan risalah bukan hanya dengan perkataan,
melainkan juga, bahkan hampir sebagian besarnya, dengan perbuatan dalam kehidupan seharihari.
Sepanjang sejarah, terdapat banyak filosof dan pemikir yang datang dan pergi begitu saja.
Mereka hanya duduk berangan-angan seraya mengotak-atik rumus kehidupan yang dianggap
terbaik bagi umat manusia. Lebih dari itu, mereka tidak menerapkan buah pikirannya dalam
kehidupannya sendiri. Demikian pula dengan segelintir pengikutnya (yang sekalipun tidak
menerapkan rumus pikir tokohnya dalam kehidupannya sendiri, namun giat menyebarkan
doktrin-doktrin ismenya ke tengah-tengah masyarakat).
Oleh karenanya, kita bisa saksikan bahwa orang-orang yang menjadi pengikut mereka jumlah
sangat sedikit sekali. Seorang amba akan dengan penuh santun menyampaikan salam kepada
Rasulullah saw beserta Ahlul Baitnya. Seraya itu, dirinya amat berharap agar ikatan spiritual
yang selama ini terjalin antara dirinya dengan para insan pilihan Allah tersebut bertambah kuat.
Jalinan serta kecenderungan dirinya kepada orang-orang suci tersebut niscaya akan menuntunnya
melangkah menuju jalan yang semestinya.
VIII. Penutup Ibadah Shalat
Dalam mengakhiri setiap shalatnya, seorang hamba akan mengucapkan tiga jenis salam.[24]
Tentu saja semua salam tersebut menyertakan nama Allah. Ibadah shalat dalam Islam dimulai
dengan nama Allah dan diakhiri juga dengan nama Allah selain tentunya praktek shalat itu
sendiri merupakan doa kepada Allah.
Penyebutan nama Rasulullah saw dan Ahlul Baitnya, tentunya selalu disertai dengan nama Allah
dan ungkapan rasa syukur atas segenap limpahan karunia-Nya.
1- Salam yang pertama ditujukan secara khusus kepada Rasulullah saw. Dalam salam ini juga
terkandung harapan (doa) agar Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada beliau saw, Assalamu
alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh (salam sejahtera bagimu wahai nabi
Allah dan semoga rahmat serta berkah Allah selalu tercurah kepadamu).
Pada saat itu, seorang hamba tengah menyampaikan salamnyakepada sosok mulia Nabi
Muhammad saw. Beliau saw merupakan nabi suci yang menyebarkan syiar Islam ke seantero
dunia dan menegakkan Islam secara praktis bersama-sama para pengikutnya.
Islam adalah sebuah jalan hidup yang menekankan pentingnya harkat dan martabat umat
manusia. Ajaran mulia ini membolehkan, bahkan menganjurkan setiap orang untuk
menumbuhkan dan mengembangkan dirinya masing-masing semaksimal mungkin.

Nabi suci saw telah menggambarkan, menggariskan serta memperlihatkan secara nyata kepada
orang-orang di seluruh dunia bagaimana bentuk masyarakat yang hidup di bawah aturan-aturan
Islam.
Sebuah dunia yang didambakan adalah dunia di mana setiap orang hidup damai dan dekat
kepada Allah. Tatkala memiliki pemahaman semacam itu, seorang hamba niscaya akan
mengetahui kebesaran dan peran penting Nabi saw dalam membangun kesejahteraan umat
manusia. Karenanya, ia akan bersegera menyampaikan salam kepada beliau saw.
2- Salam kedua ditujukan kepada diri hamba itu sendiri serta kepada segenap hamba lainnya
yang berdiri dan melangkah di jalan yang sama (jalan Allah), Assalamu alaina wa ala
ibadillahish shalihin (salam dan sejahtera teruntuk kami serta orang-orang yang shaleh).
Dengan selalu memikirkan tentang kemuliaan dan keutamaan orang-orang yang shaleh, serang
hamba akan semakin terpacu untuk mengikuti mereka, atau bahkan menjadi seperti mereka
(menjadi orang shaleh, -pent.).
Lihatlah di sekeliling kita! Sungguh kehidupan di dunia dewasa ini sudah sedemikian dikotori
oleh pelbagai polusi kemanusiaan seperti kejahatan, kelicikan, kelancangan, kesombongan,
kezaliman, kriminalitas dan korupsi. Polusi-polusi semacam itu bisa kita jumpai di mana-mana
dan nyaris setiap orang tenggelam di dalamnya. Orang-orang yang berpandangan tajam atau
senantiasa bersikap waspada tentunya dapat memperkirakan bahwa dalam tempo tidak lama lagi,
kebangkrutan nilai-nilai kemanusiaan bakal terjadi di mana-mana.
Ya, dalam dunia yang begitu bising dan bergemuruh oleh isak tangis (benar-benar atau hanya
sekadar berpura-pura), kita nyaris tidak dapat mendengar ratapan dan rintihan orang-orang lemah
dan tertindas.
Kegemparan, kegaduhan dan huru-harayang diciptakan oleh para penghasut seperti Muawiyah,
Yazid dan al-Mansur telah menenggelamkan kebutuhan akan kehadiran pada pemimpin yang
sesungguhnya seperti Imam Ali bin Abi Thalib, Imam Husain dan Imam Jafar Shadiq.
Ringkasnya dapat kita katakan bahwa di tengah-tengah situasi kelam dan carut marut seperti ini,
di mana setan-setan durjana dan para penasehatnya tengah berkuasa, masih mungkinkah
seseorang mengharap kejujuran dan keadilan? Sungguh nyaris mustahil untuk menemukan jejak
kebaikan dalam batang tubuh masyarakat seperti itu!
Ucapan selamat seyogianya diucapakan kepada mereka yang, sekalipun terjebak dalam situasi
serba sulit, mampu dan mau mengulurkan tangannya demi membantu kaum miskin dan tak
berdaya.
Dengan hadirnya orang-orang seperti itu di kancah kehidupan masyarakat, orang-orang yang
sebelumnya hidup tercekik kini dapat kembali menghirup angin segar. Menyaksikan kenyataan
bahwa di sekelilingnya masih terdapat segelintir dermawan nan tulus tersebut, mendorong
mereka untuk tidak menyerah kalah.

Mereka berpikir bahwa di sejumlah tempat lain masih ada orang-orang yang bernasib sama
dengan mereka. dan pada akhirnya, mereka tidak merasa sendirian dalam berjuang untuk
menuntut hak-haknya.
Sebagaimana dicatat baik dalam sejarah, kita dapat melihat bahwasanya di sana sini terdapat
seelintir orang yang tidak ikut tercebur dalam kubangan orang banyak, khususnya kubangan
mausia-manusia korup dan gemar menyeleweng.
back

next

Mereka bangkit seraya menawarkan jalan hidup yang jauh lebih baik bagi masyarakatnya. Hari
ini, sesuai dengan janji Allah, kit juga menemukan adanya sejumlah orang alim yang sungguhsungguh menyembah Allah, memperjuangkan keadilan, dan memesuhi kaum penindas. Siapakah
orang-orang shaleh dan berjasa tersebut? Di manakah mereka? bukankah sebuah kebijakan jika
kita belajar dan mengikuti langkah mereka?
Tentu saja bila seorang hamba taat kepada mereka, menyampaikan salam kepada mereka dalam
shalatnya (termasuk menyalami kita dan segenap orang-orang shaleh), niscaya akan benar-benar
menyatu dengan mereka.
Dalam keadaan demikian, dirinya merasa bangga karena menjadi bagian dari barisan mereka.
kalau kurang bersungguh-sungguh dalam berjuang bersama mereka, niscaya dirinya akan merasa
malu. Namun, alih-alih menjadikannya mundur, semua itu malah akan memperbarui dan
semakin memacu semangat serta tekadnya untuk terus mengikuti kebenaran yang dijunjungnya.
Bagaimana ciri-ciri orang shaleh tersebut? Apa yang dimaksud dengan keshalehan? Keshalehan
bukanlah semata-mata diukur berdasarkan benyaknya doa yang dipanjatkan. Melainkan dinilai
berdasarkan prestasi seseorang dalam menunaikan berbagai kewajiban agamanya serta
bagaimana kesungguhannya dalam menghamba kepada Allah. Kalau memang demikian adanya,
panaskah seseorang disebut shaleh? Orang semacam itu tak ubahnya seorang murid yang cakap
dan berprestasi tinggi di kelasnya. Berbeda dengan (murid-murid) lain, ia tentu layak dianugerahi
penghargaan yang tinggi.
3- Dan akhirnya, salam ketiga ditujukan seorang hamba kepada segenap insan yang hidup dalam
kebaikan, para malaikat[25], dan setiap orang yang shalat bersama dirinya, Assalamu alaikum
wa rahmatullahi wa barakatuh (salam sejahtera kepada kalian semua dan semoga rahmat Allah
senantiasa tercurah kepada kalian).
Selain untuk menyampaikan salam kepada setiap orang serta memanjatkan harapan agar Allah
mengasihi dan merahmati mereka, pernyataan terakhir ini dimaksudkan pula untuk
mengingatkan seorang hamba terhadap sifat-sifat luhur para malaikat.

Anda mungkin juga menyukai