PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertanian organik adalah teknik budidaya pertanian yang mengandalkan
bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan-bahan kimia sintetis. Tujuan utama
pertanian organik adalah menyediakan produk-produk pertanian, terutama bahan
pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan konsumennya serta tidak
merusak lingkungan. Dengan begitu dapat dipastikan
digunakan dalam sistem pertanian organik yaitu bebas dari bahan kimia seperti
halnya pupuk kimia serta pestisida kimia.
Salah satu input yang dapat diberikan yaitu pemberian kompos. Dimana
kompos merupakan salah satu pupuk anorganik yang dapat dimanfaatkan untuk
pertanian organik. Kompos sendiri memiliki fungsi yang mengarah pada
perbaikan sifat tanah. Sifat tanah tersebut terdiri dari sifat fisika tanah, sifat
biologi tanah, dan sifat kimia tanah.
Kompos merupakan hasil dari pelapukan bahan-bahan berupa dedaunan,
jerami, kotoran hewan, sampah kota dan sebagainya. Proses pelapukan bahanbahan tersebut dapat dipercepat melalui bantuan manusia. Secara garis besar
membuat kompos berarti merangsang pertumbuhan bakteri (mikroorganisme)
untuk menghancurkan atau menguraikan bahan-bahan yang dikomposkan
sehingga terurai menjadi senyawa lain. Proses yang terjadi adalah dekomposisi,
yaitu menghancurkan ikatan organik molekul besar menjadi molekul yang lebih
kecil, mengeluarkan ikatan CO2 dan H2O serta penguraian lanjutan yaitu
transformasi ke dalam mineral atau dari ikatan organik menjadi anorganik. Proses
penguraian tersebut mengubah unsur hara yang terikat dalam senyawa organik
yang sukar larut menjadi senyawa organik yang larut sehingga dapat
dimanfaatkan oleh tanaman.
1.2 Tujuan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pupuk Organik
Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik
asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi
tanaman. Dalam Permentan No.2/Pert/Hk.060/2/2006, tentang pupuk organik dan
pembenah tanah, dikemukakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian
besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan
atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair
yang digunakan mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia,
dan biologi tanah. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pupuk organik lebih
ditujukan kepada kandungan C-organik atau bahan organik daripada kadar
haranya; nilai C-organik itulah yang menjadi pembeda dengan pupuk anorganik.
Bila C-organik rendah dan tidak masuk dalam ketentuan pupuk organik maka
diklasifikasikan
sebagai
pembenah
tanah
organik.
(Suriadikarta
dan
Simanungkalit, 2006)
2.2 Macam Macam Pupuk Organik
Ada berbagai jenis pupuk organik yang digunakan para petani di
lapangan. Secara umum pupuk organik dibedakan berdasarkan bentuk dan bahan
penyusunnya. Dilihat dari segi bentuk, terdapat pupuk organik cair dan padat.
Sedangkan dilihat dari bahan penyusunnya terdapat pupuk hijau, pupuk kandang
dan pupuk kompos.
1. Pupuk Hijau
Pupuk hijau merupakan keseluruhan tanaman hijau maupun hanya bagian dari
tanaman seperti sisa batang dan tunggul akar setelah bagian atas tanaman
yang hijau digunakan sebagai pakan ternak. Sebagai contoh pupuk hijau ini
adalah sisasisa tanaman, kacang-kacangan, dan tanaman paku air Azolla.
(Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006)
2. Pupuk Kandang
Pupuk kandang merupakan kotoran ternak. Seperti halnya kotoran sapi,
kambing, kerbau, ayam, itik, dan bebek. Pupuk kandang tidak memerlukan
proses pembuatan yang panjang seperti kompos. Kotoran hewan cukup
didiamkan sampai keadaannya kering dan matang sebelum diaplikasikan ke
lahan. (Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006)
3. Pupuk Kompos
Kompos merupakan bahan organik, seperti daun-daunan, jerami, alang-alang,
rumput-rumputan, dedak padi, batang jagung, sulur, carang-carang serta
kotoran
hewan
yang
telah
mengalami
proses
dekomposisi
oleh
Proses dekomposisi bahan organik dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu
tahap dekomposisi dan sanitasi, tahap konversi, dan tahap sintetik. Pada tahap
awal atau dekomposisi intensif berlangsung, dihasilkan suhu yang cukup tinggi
dalam waktu yang relatif pendek dan bahan organik yang mudah terdekomposisi
akan diubah menjadi senyawa lain. Pada tahap pematangan utama dan pasca
pematangan, bahan yang sukar akan terdekomposisi akan terurai dan membentuk
ikatan kompleks lempung-humus. Produk yang dihasilkan adalah kompos matang
yang mempunyai ciri antara lain: (1) tidak berbau; (2) remah; (3) berwarna
kehitaman; (4) mengandung hara yang tersedia bagi tanaman; dan (5) kemampuan
mengikat air tinggi.
Perkembangan proses dekomposisi yang kurang baik pada umumnya
disebabkan oleh kandungan lengas tidak sesuai dan atau campuran bahan
campuran kompos yang tidak sesuai. Selama proses dekomposisi berlangsung
harus dilakukan monitoring terhadap kelembapan dan suhu dengan tujuan
mengidentifikasi dan memperbaiki kesalahan pada tahap awal dekomposisi.
Pengomposan dibagi menjadi 2, yaitu aerob dan anaerob. Dalam sistem
aerob, kurang lebih dua pertiga unsur karbon (C) menguap (menjadi CO2) dan
sisanya satu pertiga bagian bereaksi dengan nitrogen dalam sel hidup. Selama
proses pengomposan aerob tidak timbul bau busuk. Selama proses pengomposan
berlangsung akan terjadi reaksi eksotermik sehingga timbul panas akibat pelepasan
energi. Kenaikan suhu dalam timbunan bahan organik menghasilkan suhu yang
menguntungkan mikroorganisme temofilik. Akan tetapi, apabila suhu melampaui
65-70oC, kegiatan mikroorganisme akan menurun karena kematian organisme
akibat panas yang tinggi.
Sedangkan untuk sistem anaerob, penguraian bahan organik terjadi pada
kondisi anaerob (tanpa oksigen). Tahap pertama, bakteri fakultatif penghasil asam
menguraikan bahan organik menjadi asam lemak, aldehida, dan lainlain.; proses
selanjutnya bakteri dari kelompok lain akan mengubah asam lemak menjadi gas
metan, amoniak, CO2 dan hidrogen. Pada proses aerob energi yang dilepaskan
lebih besar (484-674 kcal mole glukosa-1) sedangkan pada proses anaerob hanya
25 kcal mole glukosa-1.
bakteri
saprolitik,
pembawa
penyakit,
dan
parasit
kotoran ayam mengandung Salmonella sp. Oleh karena itu pengelolaan dan
pemanfaatan pupuk kandang harus hati-hati.
3. Sampah Kota
Sampah (waste) didefinisikan sebagai bahan-bahan yang sudah tidak digunakan dan
tidak bermanfaat sehingga disebut bahan buangan. Menurut sumbernya, sampah
dibagi menjadi sampah domestik/kota dan sampah industri. Berdasarkan data di
berbagai tempat, sampah kota ini relatif kurang tertangani dibandingkan sampah
bahan lain. Hal ini terjadi karena bahan tersebut banyak terkontaminasi B3 (bahan
beracun berbahaya), seperti logam berat sehingga apabila dimanfaatkan sebagai
kompos untuk tanaman pangan dapat mencemari hasil. Tertimbunnya sampah
domestik dalam waktu lama akan mengundang risiko penurunan kualitas sanitasi,
keindahan lingkungan serta berjangkitnya penyakit tertentu. Menurut jenis dan
asalnya sampah domestik dibedakan menjadi sampah kertas, plastik, kaca, karet, dan
logam yang biasanya dimanfaat-kan oleh pemulung untuk didaur ulang menjadi
produk yang bermanfaat. Sedangkan sampah organik yang proporsinya (volume)
jauh lebih besar daripada sampah anorganik biasanya tertimbun tanpa ada yang
memanfaatkan. Sampah organik terdiri atas sisa sayuran, tanaman, dan sisa makanan
yang mengandung karbon (C) berupa senyawa sederhana maupun kompleks.
Selulosa merupakan salah satu senyawa kompleks yang memerlukan proses
dekomposisi relatif lama namun dapat dipecah oleh enzim selulosa yang dihasilkan
oleh bakteri menjadi senyawa monosakarida, alkohol, CO2, dan asam-asam organik
lain.
BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Pembuatan kompos ini dilakukan pada hari Minggu tanggal 20 Maret
2016 pukul 06.00 di Lahan Praktikum Jatimulyo Kota Malang.
3.2 Alat dan Bahan
A. Alat :
1. Timbangan
2. Ember
3. Termometer
B. Bahan :
1. Daun Paitan
2. Kotoran sapi
3. EM4
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
BAB V
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Simanungkalit, R.D. M. dan D.A. Suriadikarta. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. P.
1 - 7.
Setyorini et al,. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. P. 11 24.