Anda di halaman 1dari 18

Bagian Anestesiologi & Reanimasi

LAPORAN KASUS

SPINAL ANESTESI PADA PASIEN PRE EKLAMSIA BERAT


(PEB) DAN GAWAT JANIN YANG AKAN DILAKUKAN
SECTIO CAESARIA

Disusun Oleh :
Dina Adlina Mallappa
N 111 14 046
Pembimbing Klinik :
dr.Faridnan, Sp. An

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2016

BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi kebidanan berbeda dengan anestesi pada wanita biasa karena kehamilan
menyebabkan banyak perubahan fisiologis bagi ibu. Selain itu juga harus dihadapi janin
yang akan segera dilahirkan. Sebagian obat yang diberikan kepada ibu kan menerobos
melalui plasenta masuk kedalam peredaran darah janin yang kemudian dapat
menyebabkan depresi pernafasan setelah bayi lahir. Obat dan anestesi kebidanan yang
dipilih harus baik untuk ibu, baik untuk janinnya dan tidak mempengaruhi kontraksi
rahim.
Anestesi spinal bertujuan utama memblok saraf sensoris untuk menghilangkan
sensasi nyeri. Namun anestesi spinal juga memblok saraf motorik sehingga
mengakibatkan paresis/paralisis di miotom yang selevel dengan dermatom yang diblok.
Disamping itu juga memblok saraf otonom dan yang lebih dominan memblok saraf
simpatis sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Hipotensi adalah
efek samping yang paling sering terjadi pada anestesi spinal, dengan insidensi 38%
dengan penyebab utama adalah blokade saraf simpatis.
Sectio caesaria adalah suatu tindakan pembedahan dengan melakukan irisan pada
dinding abdomen dan uterus yang bertujuan untuk melahirkan bayi. Proses persalinan
dengan cara sectio caesarea dapat menggunakan anestesi umum dan regional. Anestesi
spinal merupakan teknik anestesi yang aman, terutama pada operasi di daerah umbilikus
ke bawah. Teknik anestesi ini memiliki kelebihan dari anestesi umum, yaitu kemudahan
dalam tindakan, peralatan yang minimal, efek samping yang minimal pada biokimia
darah, pasien tetap sadar dan jalan nafas terjaga, serta penanganan post operatif dan
analgesia yang minimal.
Berikut ini akan dilaporkan kasus pada pasien seorang wanita usia 38 tahun yang
didagnosis dengan G5P4A0 gravic 36-37 minggu + PEB + gawat janin yang akan
dilakukan ssection caesaria dengan teknik anestesi spinal.

BAB II
LAPORAN KASUS

I.

IDENTITAS PENDERITA
Nama

: Ny. S K

Umur

: 38 tahun

Jenis Kelamin : Wanita


Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Wiraswasta

Tanggal Masuk: 29 Maret 2016


Tanggal Operasi : 30 Maret 2016
II.

ANAMNESIS
A. Keluhan Utama :
Sakit perut tembus belakang 1 minggu yang lalu
B. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien baru datang dengan keluhan sakit perut tembus belakang sejak 1 minggu yang
lalu. Sakit perut yang dirasakan berintensitas jarang dan terjadi saat beraktivitas
maupun saat tidak beraktivitas. Pasien juga mengeluhkan bengkak pada kaki sejak 4
hari sebelum masuk rumah sakit dan 2 hari yang lalu pasien merasakan gerak janin
berkurang. Mual (-), muntah (-), sakit kepaa (-) dan pasien juga tidak mengeluhkan
keluar air, lendir maupun darah dari jalan lahir.
C.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat operasi sebelumnya (-)

Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu


No

Tahun

1
2
3
4

2006
2007
2009
2010

Usia

Jenis

Tempat

Penolon

BB

Kehamila

Persalina

persalian

Jenis

n
Aterm
Aterm
Aterm
Aterm

n
Normal
Normal
Normal
Normal

a
RS
RS
RS
RS

dokter
dokter
dokter
dokter

kelamin
3100/L
3100/L
2800/L
3200/L

Riwayat Penyakit Keluarga:


Riwayat penyakit asma (-), hipertensi (-), diabetes mellitus (-).
D. Anamnesis yang berkaitan dengan anestesi :

III.

Riwayat alergi obat dan makanan (-)

Riwayat asma (-)

Riwayat kencing manis (-)

Riwayat hipertensi (-)

Riwayat penyakit jantung (-)

Riwayat penyakit ginjal (-)

Gigi palsu (-)

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Baik, kesadaran composmentis
Tanda Vital

: T : 160/120 mmHg

RR : 24x/menit
: 36,9oC

N : 96x / menit

BB : 58 kg

ASA : I

Kepala

: Mesosefal

Kulit

: Sianosis (-)

Mata

: Konjungtiva palpebra anemis (-), sklera ikterik (-)

Telinga

: Discharge (-)

Hidung

: Discharge (-), nafas cuping (-)

Mulut

: Gigi palsu (-), sianosis (-)

Leher

: Pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-)

Tenggorok

: T1-1, faring hiperemis (-)

Thoraks : Paru : Inspeksi : Simetris, Retraksi (-)

Keadaan

Sehat
Sehat
Sehat
sehat

Palpasi

: Vocal fremitus kanan = kiri

Perkusi

: Sonor seluruh lapang paru

Auskultasi : Suara nafas vesikuler, suara tambahan (-)


- Jantung : Inspeksi

: IC tidak tampak

Palpasi

: IC teraba di SIC V

Perkusi

: Batas jantung Normal

Auskultasi : BJ I-II murni reguler, bising (-)


Abdomen : Inspeksi
Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Perkusi

: Pekak sisi (+), pekak alih (-)

Palpasi

: hepar dan lien tak teraba

Ekstremitas :

IV.

: tampak gravid

Superior

Inferior

Akral dingin

-/-

-/-

Oedema

-/-

-/-

Sianosis

-/-

-/-

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah :

WBC : 6,7 x 103/L


RBC

: 5,7 x 106/ L

HGB : 10,7 g/dL


HCT

: 29,4 %

PLT

: 327 x 103/L

HbsAg : Negatif
Urinalisis
Protein Urin
V.

: +3

DIAGNOSIS
G5P4A0 gravic 36-37 minggu + PEB + Gawat Janin

VI.

PENATALAKSANAAN
-

Oksigen 4 Lpm
IVFD Ringer Laktat
MgSo4
Nifedipin 3x10 mg
Inj. Piracetam 1 gr/8 jam/iv
Inj. Dexamethason 1 ampul/ 6 jam

Rencana section caesaria


Informed consent operasi
Konsul ke bagian anestesi
Informed consent pembiusan

VIII. TINDAKAN ANESTESI


Jenis anestesi
: Regional Anestesi
Teknik anestesi
: Sub-arachnoid blok
Induksi
: Bupivacaine Hyperbaric 0,5% sebanyak 15 mg
Anestesi mulai
: 10:35 WITA
Anestesi selesai
: 11:50 WITA
Operasi mulai
: 10:45 WITA
Operasi selesai
: 11:50 WITA
A. Pre-operatif
1. Pasien puasa 8 jam pre-operatif.
2. Infus RL 28 tpm
3. Keadaan umum dan vital sign baik
B. Intra operatif
Menit ke0 (10.35)

Sistole (mmHg)
140

Diastole (mmHg)
100

Pulse (x/m)
130

5 (10.40)

132

88

130

10 (10.45)

100

75

122

15 (10.50)

98

65

98

20 (10.55)

110

69

102

25 (11.00)

122

70

87

30 (11.05)
35 (11.10)
40 (11.15)

120
110
110

70
72
72

90
97
96

45 (11.20)

122

70

100

50 (11.25)

122

73

98

55 (11.30)

116

64

89

60 (11.35)

126

78

99

65 (11.40)

110

72

100

70 (11.45)

124

84

99

75 (11.50)

118
69
Tabel 1. TTV selama operasi

Terapi cairan :

96

BB

: 58 kg

EBV

: 70 cc/kgBB x 58 kg = 4060 cc

Jumlah perdarahan : 400 cc


% perdarahan : 400/4060 x 100% = 9 %
Kebutuhan cairan :
Maintenance

: 2 cc x 58 kg = 116 cc/jam

Defisit puasa

: 8 jam x 116 cc = 928 cc

Stress operasi (besar) : 8 x 58 kg = 464 cc/jam


Perdarahan

: 400 cc (9 %)
Kristaloid 400 cc x 3 = 1200 cc

C. Post operatif
Pemantauan di Recovery Room :
1. Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
2. Beri O2 3L/menit nasal canul.
3. Berikan antibiotik profilaksis, antiemetic, H2 reseptor bloker dan analgetik
4. Bila BS 2 boleh pindah ruangan.
5. Bila mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), boleh makan dan minum sedikit
sedikit.

BAB III

PEMBAHASAN

Pada kasus ini wanita hamil usia 38 tahun didagnosis dengan G5P4A0 gravic 36-37
minggu + PEB + gawat janin akan dilakukan section caesaria. Pre eklamsia adalah syndrome
spesifik kehamian berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivitas endotel.
Pre eklamsia adalahnya timbulnya hipertensi dan proteinuri setelah 20 minggu kehamilan yang
sering terjadi pada ibu primigravida. Pre eklamsia dapat dibagi kedalam 2 tipe:
1. Pre eklamsia ringan
Kriteria yang harus ada untuk mengkonfirmasi diagnosis preeklamsia ringan adalah
tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih tinggi setelah 20 minggu kehamilan .

proteinuria lebih dari 300 mg dalam 24 jam pengumpulan urin atau dalam skor +1 (30
mg/dL) pada paling kurang 2 kali test pengumpulan dipstick urin
2. Pre eklamsia berat
Kriteria yang digunakan untuk mengkomfirmasi diagnosis pre eklamsia berat adalah
tekanan darah selama istirahat 160/110 mmHg atau lebih, diukur pada dua kali
kesempatan paling tidak 6 jam secara terpisah. Proteinuria lebih dari 5 gram dalam 24
jam pengumpulan.
Pada pasien ini didiagnosis PEB karena pada pengukuran tekanan darah pasien
didapatkan 200/140 mmHg
Gawat Janin akan terjadi jika janin tidak menerima oksigen yang cukup, sehingga
mengalami hipoksia. Gejala yang dirasakan oleh ibu biasanya berkurangnya gerakan
janin. Ibu dapat melakukan deteksi dini dari gawat janin ini, dengan cara menghitung
jumah tendangan janin/kick count. Untuk kepentingan klinik perlu ditetapkan criteria
apa yang dimaksud dengan gawat janin. Disebut gawat janin bila ditemukan denyut
jantung janin diatas 160/menit atau dibawah 100/menit, denyut jantung tidak teratur atau
keluarnya mekonium yang kental pada awal persalian.
Anestesi obstetric merupakan hal yang unik karena pertama, dokter menghadapi
dua nyawa yang sama pentingnya. Kedua, selama kehamilan terjadi perubahan
fisiologik yang dinamis. Manajemen anestesi tentu juga harus disesuaikan dengan
perubahan fisiologik yang terjadi. Disamping itu, perlu juga diingat bahwa selalu ada
kemungkinan wanita hamil harus menjalani pembedahan yang sama sekai tidak
berhubungan dengan kehamilannya.
Perubahan fisiologis pada kehamilan dan kepentingannya bagi anestesi:
1. Perubahan fungsi pernafasan
Umumnya terjadi edema pada jalan nafas karena diperkirakan akibat kenaikan
progesteron dalam darah, sehingga mudah terjadi obstruksi jalan nafas dan resiko
trauma akibat laryngoskopi atau endotrakeal intubasi meningkat. Oleh karena itu
dianjurkan untuk menggunakan endotrakeal tube berdiameter kecil. Meskipun Vital
Capacity (VC) paru tidak berubah tetapi Total Lung Volume (TLV) turun sekitar 5%
sebagai akibat terdorongnya diafragma keatas. Alveolar Ventilation (AV) naik 40%
karena terjadi kenaikan pada tidal Volume (TV)
Perubahan ini menyebabkan penurunan functional Residual Capacity
(FRC) sebesar 15% yang akan memperbanyak uptake gas-gas anesthetic. Minimum
Alveolar Concrentration (MAC) dari obat anestesi menurun akibat sekunder

kenaikan prprogesteronean endhorpine dalam darah sehingga mudah terjadi over


dosis
2. Perubahan fungsi sirkulasi
Total Blood Volume (TBV) meningkat 30% terutama kenaikan volume
plasma akibatnya hematokrit akan turun yang bermanifestasi klinis anemia
relative. Diantara kenaikan volume darah ini 800cc akanmengisi uterus gravidus
yang akan ikut sirkulasi saat uterus berkontraksi waktu persalianan. Sehingga
pada persalian kehilangan darah sebanyak 1500 cc jarang menjadi masalah.
Sedangkan perdarahan pada persalianan pervaginam dan section caesaria pada
umumnya tidak melebihi 500cc dan 1000cc sehingga transfuse darah dan koloid
jarang diperlukan. Frekuensi nadi naik 10-15 x/menit. Selama uterus berkontraksi
cardiac output dan tekanan darah naik.
3. Perubahan Gastrointestinal
Keasaman lambung dan sekresi akan meningkat selama kehamilan. Waktu
pengosongan lambung memanjang biasa disebabkan: kecemasan, kesakitan dan
perubahan posisi gastroduidena junction akibat uterus gravidus. Akibat uterus
gravidus juga akan membuat incompetent gastro-oesphagel junction dan tekanan
intragastric meningkat sehingga akan memudahkan terjadinya refluks (regurgitas).
Dengan demikian pada pasien yang mendapat sedasi atau tidak sadar akan
meningkatkan resiko terjadinya pulmonary aspiration dari cairan lambung yang
disebut MENDELSON SYNDROME. Sindrom ini akan menjadi progresif
bilamana PH cairan lambung kurang dari 2,5 dan volume aspirate > 25 cc.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, banyak perubahan fisiologik karena
kehamilan meningkatkan resiko dibidang anestesi. Meningkatnya kemungkinan aspirasi
dan regurgitas, peningkatan tekanan intraabdominal dan sulitnya penanganan jalan nafas
adaah diantara alasan yang menyebabkan anestesi regional lebih disukai pada wanita
hamil.
Anestesi regional yang paling popular pada bedah sesar tanpa komplikasi adalah
sub Arachnooid Blok (SAB) atau anestesi spinal. Teknik ini mudah, awitannya cepat, dah
harganya murah.Selain itu, pemilihan jenis anestesi regional anestesi dengan teknik subarachnoid block (SAB) karena pembedahan dilakukan didaerah abdomen, berada
dibawah bagian yang dipersarafi oleh T4, yang merupakan indikasi dilakukannya anestesi
SAB.

Sebelum melakukan anestesi spinal, pasien harus disiapkan seperti persiapan bila
akan melakukan anestesi umum. Hal ini bertujuan sebagai antisipasi perubahan
mendadak tekanan darah, laju nadi, atau masalah oksigenasi. Harus ada akses intravena
yang adekuat dan perlengkapan monitor pasien. Standar minimanya antara lain EKG,
monitor tekanan darah invasif, atau kateter arterial, dan plus oxymeter. Mesin anestesi,
sungkup muka, sumber O2, dan suction harus tersedia dan siap pakai. Obat-obatan sedasi,
induksi, emergensi dan pelumpuh otot harus tetap tersedia meskipun tidak langsung
didalam spoit. Alat-alat manajemen jalan nafas seperti pipa endotrakea, laringoskop dan
pipa orofaringeal juga harus tersedia.
Pada pasien ini dilakukan anestesi spinal dengan posisi lateral dekubitus.
Pemilihan posisi tersebut dikarenakan akan lebih membuat pasien terasa nyaman dan
dapat meningkatkan aliran darah uterus pada wanita hamil.
Teknik Anestesi spinal
1. Setelah di monitor, Tidurkan pasien misalnya dalam posisi lateral dekubitus. Beri
banta kepala agar tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar
proc. Spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua crista illiaca, missal L2-L3,
L3-L4,L4-L5
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol
4. Beri anestesi local pada tempat tusukan
5. Cara tusukan median atau paramedian.
Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G, dapat langsung digunakan. Sedangkan
untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan untuk menggunakan penuntun jarum

yaitu jarum suntik biasa 10cc. tusukan introduser sedaam kira-kira 2cm agak sedikit
kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quinke-Babcock) irisan jarum (bevel)
harus sejajar dengan serat duramater, yaitu posisi tidur miring bevel mengarah keatas
atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat menimbulkan nyeri
kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan
akan keluar likuor, pasang semprit yang berisi obat dan obat dapat dimasukan pelanpelan (0,5ml/detik) diselangi aspira sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum
tetap baik.

Gambar 1. Anestesi spinal


Anestesi spinal adalah suatu metode anestesi yang diinduksi dengan
menyuntikkan sejumlah kecil obat anestesi local kedalam cairan cerebrospinal (CSS).
Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat anlgesik local ke dalam ruang sub
arachnoid didaerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5. Ruang sub arakhnoid
merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi cairan otak,
jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal dari medula
spinalis. Pada orang dewasa medula spinalis berakhir pada sisi vertebra lumbal 2. Dengan
fleksi tulang belakang medula spinalis berakhir pada sisi bawah vertebra lumbal.
Anestesi spinal ialah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestesi
local ke dalam ruang sub arachnoid. Larutan anestesi local yang disuntikan pada ruang
sub arachnoid akan memblok konduksi implus sepanjang serabut saraf secara reversible.

Terdapat tiga bagian serabut saraf yaitu, motor, sensosr dan otonom. Motor
menyampaikan pesan ke otot untuk berkontraksi dan ketika diblok , akan mengalami
paralisis. Syaraf sensori mengahantarkan sensasi seperti rabaan dan nyeri kesumsum
tulang ke otak, sdangakan syaraf otonom akan mengontrol tekanan darah, nadi, kontraksi
usus dan fungsi lainnya yang diluar kesadaran. Pada umumnya, serabut saraf otonom dan
nyeri adalah yang pertama kai diblok dan serabut saraf motor yang terakhir.
Anestesi spinal merupakan pilihan anestesi pada adaerah dibawah umbilicus ,
misalnya repair hernia, ginekologi, operasi urogenital dan operasi dibagian perineum dan
genitalia.
Tabel Indikasi, Kontraindikasi, dan Komplikasi Analgesia Spinal.
Indikasi/Kontraindikasi/

Keterangan

Komplikasi

Transurethral prostatectomy (blok


pada T10 diperlukan karena terdapat
inervasi pada buli buli kencing).
Hysterectomy Caesarean section (T6).
Indikasi

Evakuasi alat KB yang tertinggal.


Semua prosedur yang melibatkan
ekstrimitas bagian bawah seperti
arthroplasty.
Prosedur yang melibatkan pelvis dan
perianal.
Pasien menolak.
Deformitas pada lokasi injeksi.
Hipovolemia berat.

Kontraindikasi Absolut

Sedang dalam terapi antikoagulan.


Cardiac ouput yang terbatas; seperti
stenosis aorta.

Kontraindikasi Relatif

Peningkatan tekanan intrakranial.


Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia).

Infeksi sekitar tempat penyuntikan.


Kelainan neurologis.
Kelainan psikis.
Bedah lama.
Penyakit jantung.
Hipovolemia ringan.
Nyeri punggung kronis.
Hipotensi berat.
Bradikardia.
Hipoventilasi.
Komplikasi Tindakan

Trauma pembuluh darah.


Trauma saraf.
Mual muntah.
Gangguan pendengaran.
Blok spinal tinggi, atau spinal total.
Nyeri tempat suntikan.

Komplikasi Pasca
Pembedahan

Nyeri punggung.
Nyeri kepala karena kebocoran likuor.
Retensio urine.
Meningitis.

Pertama dilakukan premedikasi anestesi

dengan ondansentron dengan tujuan

untuk mengurangi efek mual muntah dari obat obatan anestesi selama operasi.
Ondansentron adalah suatu antagonis reseptor 5- HT3 ( serotonin) merupakan obat yang
paling sering digunakan sebagai antiemetik dengan yang lain karena efektivitas
keamanannya. Reseptor 5-HT3 terletak di perifer pada terminal nervus vagus dan di
sentral pada CTZ (Chemoreceptor Trigger Zone) di area postrema. Pada area postrema
inilah didasar ventrikel organ sirkumventrikuler yang berfungsi sebagai pusat yang
mencetuskan muntah. Dosis yang diberikan adalah pada pasien ini 4 mg.

Pada pasien ini obat anestesi yang digunakan adalah bupivakain hyperbaric 0,5%
dengan dosis 15 mg. Bupivacain adalah obat anastetik local yang termasuk dalam
golongan amino amida. Bipuvacain diindikasikan pada anestesi local termasuk anestesi
infiltrasi, blok serabut saraf, anestesi epidural dan anestesi intratekal.
Penggunaan bupivacain untuk anestesi spinal adalah 2-3 jam, dan memberikan
reaksasi otot derajat sedang (moderate). Efek blockade motorik pada otot perut
menjadikan obat ini sesuai untuk digunakan pada operasi-operasi perut yang berlangsung
45-60 menit. Lama blockade motorik ini tidak melebihi durasi anelgesiknya.
Bupivakain bekerja menstabilkan membran neuron dengan cara menginhibisi
perubahan ionik secara terus menerus yang diperlukan dalam memulai dan
menghantarkan impuls. Kemajuan anestesi yang berhubungan dengan diameter,
mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf yang terkena menunjukkan urutan
kehilangan fungsi sebagai berikut : otonomik, nyeri, suhu, raba, propriosepsi, tonus otot
skelet. Eliminasi bupivakain terjadi di hati dan melalui pernafasan (paru-paru).
Obat bupivakain segera setelah penyuntikan subarakhnoid akan mengalami
penurunan konsentrasi dengan secara bertahap karena terjadinya: dilusi dan pencampuran
di liquor serebro spinalis, difusi dan distribusi oleh jaringan saraf, uptake dan fiksasi oleh
jaringan saraf, absorbsi dan eliminasi oleh pembuluh darah. Bupivakain (local anestesi
amida) biasanya digunakan karena kemampuan analgesia yang poten. Obat ini
memberikan efek analgesia dengan menurunkan tahanan motoric lebih kuat dari pada
lidokain. Selain itu, dilusi larutan menyebabkan penurunan hipotensi

dibandingkan

konsentrasi larutan.
Penggunaan bupivacain untuk anestesi spinal adalah 2-3 jam, dan memberikan
reaksasi otot derajat sedang (moderate). Efek blockade motorik pada otot perut
menjadikan obat inisesuai untuk digunakan pada operasi-operasi perut yang berlangsung
45-60 menit. Lama blockade motorik ini tidak melebihi durasi anelgesiknya.
Bupivakain empat kali lebih kuat dibandingkan lidokain. Sekitar 90%-95% obat
ini berada dalam protein plasma maternal. Hal ini menyebabkan obat ini lebih bersifat
kardiotoksik dibandingkan lidokain. Mekanisme kerjanya dengan melalui saluran sodium
kardiak. Bupivakain dan lidokain sama-sama dapat memblok saluran sodium dari nervus

ke jantung. Keduanya sama karena keduanya sama-sama menyebabkan blok cepat pada
saluran sodium kardiak selama depolarisasi. Keduanya berbeda pada proses pemulihan
setelah blok. Blok lidokain lengkap berkurang setelah 1 detik., sedangkan bupivakain
membutuhkan waktu 5 kali lebih lama. Bupivakain merupakan agen masuk cepat, keluar
lambat. Hal inilah yang menjadi keuntungan yaitu durasinya yang panjang dan blok
motorik lama ketika kita memberikannya sebagai konsentrasi analgesia.
Pemberian bupivakain dapat membuat tekanan darah arteri menurun, oleh karena
itu pada pasien diberikan efedrin 10 mg untuk mencegah hipotensi. Efedrin merupakan
simpatomimetik nonkatekolamin yang meningkatkan curah jantung, tekanan darah dan
nadi melalui stimulasi adrenergic alfa dan beta. Dosis efedrin IV adalah 5 20 mg (100
200 mcg/kgBB) dengan onset hampir langsung dan durasi kerja 10 60 menit.
Pada saat operasi berlangsung, pasien menjadi gelisah dan cemas. Sehingga
dilakukan pemberian sedasi. berupa sedacum yang berisi midazolam termasuk golongan
benzodiazepine. Telah diketahui bahwa tujuan pemberian ialah untuk mengurangi respon
terhadap stress hormone endogen, mengurangi obat induksi maupun rumatan. Midazolam
berfungsi juga hipnotik sedative, atropine like effect, pelemas otot ringan. Dosis yang
aman untuk midazolam 0,15 0,45 mg/kg IV. Pada pasien kali ini diberi midazolam
dengan dosis 3 mg. akan tetapi pemberian midazolam pada kasus ini diberikan setelah
bayi lahir, karena menghindari efek dari obat ini terhadap bayi yang dilahirkan.
Selama operasi pasien diberikan oksitosin intravena untuk meningkatkan
kontraksi uterus dan mengurangi perdarahan. Oksitosin merupakan hormon peptide yang
disekresi oleh pituitari posterior. Oksitosin ini bekerja pada reseptor oksitosik untuk
menyebabkan kontraksi uterus pada kehamilan aterm yang terjadi lewat kerja langsung
pada otot polos maupun peningkatan produksi prostaglandin. Untuk dosis iv yang
diberikan 10- 20 iu/ml. Dapat juga di drips dalam laruran kristaloid dengan kecepatan 28 tetes/ menit.
Selama operasi juga perlu dimonitoring kebutuhan cairan, dimana perkiraan berat
badan pasien adalah 58 kg, maka estimated blood volume = 70 cc/kgBB x 58 kg = 4060
cc (estimated blood volume untuk orang dewasa 60-70cc/KgBB). Jumlah perdarahan

yang terjadi durante operasi adalah sekitar 400 cc (9%). Pemberian transfusi darah
diberikan sesuai dengan banyaknya darah yang hilang. Diberikan apabila terjadi
kehilangan darah 15-20% EBV. Pada pasien ini didapatkan EBV sekitar 9% sehingga
tidak dilakukan transfusi darah
Kebutuhan cairan maintenance pada pasien ini 116 cc/jam ditambah defisit puasa
928 cc, ditambah stress operasi (besar) 464 cc/jam, ditambah perdarahan 400 cc (1 c
darah diganti dengan 3 cc cairan kristaloid) sehingga total cairan pengganti yang
dibutuhkan durante operasi adalah 2708 cc
Selesai pembedahan untuk meringankan rasa nyeri pasca pembedahan diberikan
analgetik bias digunakan golongan opioid maupun non-opioid. Pada pasien ini diberikan
obat ketorolac yang merupakan obat anti nyeri. Cara kerja ketrolac ialah menghambat
sintesis prostaglandin di perifer tanpa menganngu reseptor opoid di sistem saraf pusat.
Ketorolac dapat diberikan secara oral, im, atau iv. Dosis awal 10- 30 mg dan dapat
diulang setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan. Untuk pasien normal dosis sehari-hari dapat
dibatasi maksimal 90 mg dan untuk berat <50 kg, manula atau gangguan faal ginjal
dibtasi maksimal 60 mg.
Beberapa saat setelah pasien dikeluarkan dari ruang operasi, didapatkan pada
pemeriksaan fisik nadi 82 x/menit, dan laju respirasi 18 x/menit. Maintenance pasien
dengan RL 500 cc/24 jam. GCS E4M6V5 dan kondisi umum pasien baik.
Setelah masa pasca bedah pasien perlu mendapatkan pemantauan di ruang pulih
sadar. Masalah pulih sadar pada anestesi tidak hanya dinilai asal pasien telah sadar, tetapi
ada hal-hal yang penting yang perlu diperatikan. Pada pemantauan post operatif, tanda
vital pasien terus dipantau setiap 30 menit. Pada pasien yang dilakukan spinal anestesi,
criteria pemindahan pasien jika Skor Bromage pasien 2 maka pasien boleh pindah ke
ruangan perawatan.
Tabel 2. Penilaian Skor Bromage
Kriteria

Nilai

Gerakan penuh dari tungkai

Tidak mampu ekstensi tungkai

Tidak mampu fleksi lutut

Skor

Tidak mampu fleksi pergelangan kaki

TOTAL

DAFTAR PUSTAKA
Benson, MD., 2002. Buku Saku Ilmu Kebidanan. Binarupa Aksara Publisher. Jakarta
Boulton, BT. Blogg, CE. 1994. Anestesiologi Edisi 10. EGC. Jakarta
Chestnut DH, 1999. ed. Obstetric anesthesia principles and practice, 2 nd ed. New
york: Churchill Livingstone
Mazoit JX, Boico O, Samii K. 1993. Myocardial uptake of bupivacaine, II:
pharmacokinetics and pharmacodynamics of bupivacaine enantiomers in the
isolated perfused rabbit heart.
Mulroy MF. 2002. Regional Anesthesia, 3rd edition. Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins
Soenarto, RF . 2012. Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi dan
Intensive Care Unit Universitas Indonesia/ RS Cipto Mangunkusumo. Jakarta

Wiknjosastro, GH., Saifuddin, AB., Rachhimhadhi, T., 2010. Ilmu Kebidanan


SarwonoPrawirohardjo. Penerbit Bina pustaka. Jakarat
Valenzuela C, Snyders DJ, Bennet PB, et al. 1995. Stereoselective block of cardiac
sodium channels by bupivacaine in guinea pig ventricular myocytes.

Anda mungkin juga menyukai