Anda di halaman 1dari 16

Leukimia Granulositik Kronis pada Pasien Usia Lanjut

PENDAHULUAN
Leukemia Granulositik Kronis (LGK) atau Leukemia Mielositik Kronis
(LML)

atau

Chronic

Myelogenous

Leukemia

(CML)

merupakan

suatu

Myeloproliferative Disorder (MPD) yang ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit
tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi dapat dengan mudah
dilihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit (bahkan
mieloblas), meta mielosit, mielosit, sampai granulosit. LGK terutama dijumpai pada
orang dewasa berusia 25 sampai 60 tahun, dengan insiden puncak pada dekade
keempat dan kelima kehidupan. LGK merupakan 15% dari semua jenis leukemia.
LGK merupakan kelainan klonal dari sel punca pluripoten. Diagnosis LGK
dibantu dengan adanya kromosom Philadelphia (Ph) yang khas. Kromosom ini
merupakan translokasi antara kromosom 9 dan 22 sebagai akibat bagian dari onkogen
ABL1 berpindah ke gen BCR pada kromosom 22 dan bagian kromosom 22 berpindah
ke kromosom 9. Kromosom Ph menghasilkan gen chimeric BCR-ABL1 yang
mengkode suatu protein gabungan yang memiliki aktivitas tirosin kinase berlebih.
Pada sebagian besar pasien kromosom Ph terlihat dengan pemeriksaan kariotip sel
tumor, tetapi pada sebagian kecil kasus, abnormalitas Ph tidak tampak dengan
mikroskop, namun dengan pemeriksaan molecular kromosom ini dapat tampak
dengan teknik yang lebih sensitive yaitu fluorescent in situ hybridization (FISH) atau
polymerase chain reaction (PCR). LGK dengan Ph-negatif BCR-ABL1 memiliki
klinis sama seperti LGK Ph-positif. Oleh karena kromosom Ph merupakan kelainan
yang didapat pada sel punca hematopoietic, kelainan dapat terlihat pada kedua jalur
baik myeloid (granulositik, eritroid, dan megakariositik) dan limfoid (sel B dan T).
Pada LGK, jumlah leukosit dapat meningkat demikian rupa (biasanya berjumlah
50.000-250.000/mm3), sehingga darah tampak berwarna keabu-abuan.

Kasus Skenario
Seorang laki-laki berusia 60 tahun datang ke Poliklinik RS Ukrida dengan
keluhan utama lemas sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Rumusan Masalah
Laki-laki usia 60 tahun keluhan lemas sejak 2 bulan lalu.
Working Diagnosis
Leukimia Granulositik Kronis
Diagnosis Banding
1. Reaksi Leukemoid
2. Mielofibrosis
3. Leukimia Mielomonositik kronis
Hipotesis
Laki-laki usia 60 tahun keluhan lemas sejak 2 bulan lalu karena menderita
Leukimia Granulositik Kronis.
I.

Anamnesis
Anamnesis atau wawancara medis merupakan tahap awal dari rangkaian

pemeriksaan pasien. Hasil anamnesis bersifat subjektif. Penjelasan perihal keluhan


utama pasien dan berapa lamanya. Anamnesis pada kasus lemas atau lelah kronis
ini dapat dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien. Tanyakan pada pasien
lelah seperti apa yang dimaksud, kapan pertama kali terjadi, dan dugaan
pemicu gejala. Apakah lelah sepanjang waktu, sesak sehabis melakukan aktivitas
berat yang menguras tenaga atau pikiran yang jenuh. Apakah sampai mengganggu
aktivitas sehari-hari pasien.1
Adakah gejala fisik lain yang mengarahkan diagnosis ke penyakit fisik
organik, seperti: demam, penurunan berat badan, cepat kenyah dan begah serta
hilangnya nafsu makan (anoreksia), pucat (anemis), keringat malam, nyeri perut
spesifik termasuk onsetnya gejala. Untuk menyingkirkan kemungkinan dugaan
adanya gangguan sistem urogenital, tanyakan apakah ada nyeri saat berkemih.1
Selanjutnya pertanyaan pelengkap lainnya seperti riwayat penyakit dahulu
(RPD). Apakah penyakitnya ini hilang timbul atau menetap dan pengobatan apa
yang telah dilakukan untuk mengurangi gejala-gejala tersebut. Adakah riwayat
penyakit lain (seperti TBC) atau masalah psikologis dalam hidupnya (untuk

menyingkirkan diagnosis penyakit psikiatrik). Penting untuk ditanyakan pula


riwayat keluarga, riwayat merokok atau terpapar radiasi, dan kondisi social
yang lengkap termasuk konsumsi makanan sehari-hari.1,3
II.

Pemeriksaan Fisik
Langkah selanjutnya untuk mengetahui apakah informasi bersifat konfirmatif

atau tidak, perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan klinis pasien. Pemeriksaan fisik
meliputi tingkat kesadaran pasien (tampak sakit ringan atau berat, compos
mentis/apati/somnolen/sopor/koma) dan TTV (T, HR, RR, dan BP).1
Selanjutnya inspeksi bagian kulit pasien apakah ada memar atau tandatanda pendarahan (ptekiae, ekimosis, purpura). Pasien dengan keluhan lelah
kronis wajib dilakukan pemeriksaan mata (khususnya konjungtiva dan sclera)
sebab kuat dugaan pasien mengalami anemia, sekaligus untuk menyingkirkan
differensial diagnosis kearah infeksi hepatobilier (sclera ikterik). Mungkin juga
terdapat pendarahan retina pada pemeriksaan funduskopi. Setiap pasien dengan
keluhan hipermetabolisme atau gangguan pada saluran pencernaan baik hanya
perasaan tidak enak di perut, nyeri, dan demam dilakukan palpasi hati dan limpa
untuk mengetahui apakah ada pembesaran atau tidak.3,4
III.

Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan hematologi rutin, kadar Hb umumnya normal atau

sedikit menurun yang menunjukkan adanya anemia ringan (Hb<11g/dl pada 1/3
pasien), leukositosis berat antara 20-60.000/L. Persentasi eosinofil dan basofil
meningkat. Trombosit biasanya meningkat antara 500-600.000/L, pada beberapa
kasus dapat normal atau trombositopeni walaupun jarang. Sering juga ditemukan
hiperurikemia akibat peningkatan pertukaran sel dan dapat dicetuskan oleh terapi
ototoksik. LDH meningkat sebagai akibat increased ineffective turn over of
hemopoietic cells. Dapat ditemukan juga peningkatan mencolok kadar dan kapasitas
daya ikat vitamin B12 serum karena peningkatan pembentukan transkobalamin I oleh
granulosit.2,5
Sediaan Apus Darah Tepi mampu membedakan antara reaksi leukemoid
dengan LGK. Pada LGK, eritrosit sebagian besar normokrom normositer, sering
ditemukan adanya polikromasi eritroblas asidofil atau polikromatofil. Tampak seluruh
tingkatan diferensiasi dan maturasi seri granulosit dengan pergeseran ke kiri, termasuk
peningkatan promielosit, mielosit dan metamielosit. Persentasi eosinofil dan atau

basofil juga meningkat. Skor Leukosit Alkali Fosfatase (LAP) netrofil rendah atau
nol.2,5
Pada sediaan apus sumsum tulang terlihat adanya peningkatan kedapatan
tulang (hiperseluler) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio myeloid
terhadap eritroid pun juga meningkat. Aktivitas eritropoiesis menurun. Trombopoiesis
bervariasi (biasanya menurun), megakaryosit tampak lebih banyak. Dengan
pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis.
Sumsum tulang dan limpa mungkin mengandung fagosit yang berisi glikolipid mirip
sel Gaucher atau histiosit laut biru akibat peningkatan pertukaran glukoserebrosida
dan sfingolipid yang mirip dengan penampakan pada ALL.2,5

Gambar1. Gambaran Histiosit Laut-Biru dan sel Pseudo-Gaucher


(Sumber: Greer JP, et al. Wintrobes Clinical Hematology. 12th edition, 2009)
Karyotipik dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding technique),
saat ini digantikan oleh metoda FISH (Fluorescen Insitu Hybridization) yang lebih
akurat. Beberapa aberasi gen fusi BCR-ABL kromosom Philadelphia (Ph) ditemukan
pada LGK adalah +8, +9, +19, +21, i(17). Sementara dengan pemriksaan Polymerase
Chain Reaction (PCR) dapat terdeteksi penyakit residual minimal pada LGK dengan
adanya mRNA hybrid produksi BCL-ABR. Penggunaan teknik ini juga dapat
mengkonfirmasi diagnosis pada pasien yang tidak jelas apakah memiliki kromosom
Ph atau tidak.2,5,6

Gambar2. Kariotipe Philadelphia saat Metaphase (pembelahan) dan Interfase


(diam)
(Sumber: Hoffbrand AV. Moss PAH. Kapita selekta hematologi. Edisi 6, 2013)
IV.

Diagnosis Kerja
Manifestasi klinis yang dijumpai dari hasil anamnesis adalah rasa lemas,

demam dan keringat malam, juga sering merasa cepat kenyang dan begah membuat
kita memikirkan adanya infeksi atau keganasan. Namun riwayat batuk, nyeri
berkemih, dan paparan radioaktif disangkal semakin mengarahkan diagnosis kearah
adanya keganasan darah. Belum lagi ditambah dengan adanya anemia, splenomegali,
leukositosis, dan sel blas mengarahkan diagnosis kearah Leukimia Granulositik
Kronik (LGK) dengan diagnosis banding terdekatnya adalah reaksi leukemoid akibat
suatu infeksi.
Diagnosis LGK bergantung pada hubungan mielopoiesis yang meningkat
mencolok, splenomegali dan adanya kromosom Philadelphia. Pemeriksaan apus
darah tepi dan sumsum tulang dapat menegakkan diagnosis dalam fase yang
sesuai. Terkadang diperlukan juga pemeriksaan konfirmasi seperti kajian sitogenik
dengan adanya kromosom Philadelphia t(9,22) pada 98% kasus, translokasi
sebagian lengan panjang kromosom 22 ke lengan panjang kromosom 9, dan gen
gabungan BCR-ABL 1 pada pemeriksaan PCR (50% kasus). Pemahaman
mekanisme kerja gen BCR-ABL1 mutlak diketahui, mengingat besarnya peranan gen
ini pada diagnostic, perjalanan penyakit, prognostic, serta implikasi terapetiknya.
Oleh karena itu perlu diketahui sitogenetik dan kejadiannya di tingkat molecular.
Biasanya LGK dapat dibedakan dengan reaksi leukemoid yang berkaitan dengan
5

infeksi atau neoplasma dengan adanya kromosom Philadelphia, eosinofilia, basofilia,


dan skor alkali fosfatase netrofil yang rendah. Metaplasia myeloid agnogenk
biasanya muncul dengan mielofibrosis mencolok dan splenomegali tanpa adanya
kromosom Philadelphia.2,5-7
V.
Gejala Klinis
Perjalanan penyakit LGK umumnya kronik dengan lama penyakitnya
bervariasi. Berdasarkan hal tersebut, LGK dibagi menjadi 3 fase, yaitu: fase kronik,
fase akselerasi, dan fase krisis blas. Meskipun berlangsung kronis, pasien LGK jarang
asimptomatik. Gejala awal LGK pada fase kronik hampir sama seperti penyakit
kronik lainnya yang memiliki manifestasi yang tidak khas, seperti: rasa lemah, cepat
lelah, penurunan berat badan, demam subfebril, keringat malam dan peningkatan
kadar

asam

urat.

Semua

keluhan

tersebut

merupakan

gambaran

hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia. Pasien mungkin saja datang


tanpa gejala dan ditemukan leukositosis berat (100.000/L) tanpa gejala infeksi
secara tidak sengaja (50% kasus) pada saat pemeriksaan darah rutin, screening
kesehatan untuk persiapan pra-operasi, atau mengeluhkan rasa tidak enak di kuadran
kiri atas, cepat kenyang akibat splenomegali yang mendesak lambung. Kadang juga
timbul rasa nyeri seperti diremas di perut kanan atas. Splenomegali merupakan
temuan fisik yang paling konsisten (>90% kasus) pada pasien LGK.2-5,8

Gambar3. Persentase Gejala dan Tanda Klinis pada Pasien LGK


(Sumber: Greer JP, et al. Wintrobes Clinical Hematology. 12th edition, 2009)
Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien memasuki fase akselerasi dengan ciri khas
leukositosis yang sukar dikontrol dengan obat-obatan mielosupresif, mieloblas di
perifer mencapai 15-30%, promielosit >30% dan trombosit <100.000/L. Pada fase

ini diduga limpa yang tadinya sudah mengecil dengan terapi kembali membesar
(organomegali progresif), keluhan anemia bertambah berat, dan mungkin terjadi
pendarahan (ptekiae, ekimosis, purpura, atau pendarahan di retina) sehingga hasil
laboratorium dapat terjadi trombositopenia atau trombositosis. Mungkin juga ada
nyeri tulang atau nyeri akibat infark limpa. Gejala yang jarang timbul adalah
perdarahan retina yang mengakibatkan adanya gangguan penglihatan, pembesaran
kelenjar getah bening atau priapismus.2,4,5,7
Fase krisis blas (de novo blastic) berkaitan dengan gejala dan tanda leukemia
akut yang sering disertai penyakit ekstrameduler meliputi adanya lesi tulang dan
pansitopenia. Fase ini biasanya merupakan fase dengan gejala terburuk. Adanya sel
blas pada darah tepi dan sumsum tulang (SST) 20%, meliputi myeloid (terbanyak),
erytroid, megakarioblastik tergantung penampakan morfologi, sitokimia, dan
immunologicnya. Fase ini tidak mempan diobati dengan imatinib.3,5
VI.

Diagnosis banding
1. Reaksi Leukemoid
Reaksi leukemoid merupakan leukositosis reaktif yang berlebih dengan sel

darah putih matur dan imatur membanjiri sirkulasi. Karena gambaran darah mirip
dengan leukemia kronis, proses ini disebut reaksi leukemoid. Penyakit ini bukan
penyakit primer sumsum tulang dan biasanya sekunder terhadap penyakit lain.
Granulosit paling sering terlibat, tetapi monositosis yang mencolok dapat terjadi pada
tuberkulosis, sedangkan limfositosis leukemoid pernah dilaporkan pada tuberculosis,
batuk rejan, dan mononucleosis infeksiosa.6
Granulositosis dengan proporsi leukemoid dapat menyertai tumor-tumor ganas
dengan atau tanpa metastasis ke tulang, infeksi tuberculosis atau piogenik yang parah,
keracunan logam berat, krisis sel sabit, gangguan metabolik berat yang mengenai
ginjal atau hati, dan ketoasidosis diabetes. Pasien yang baru pulih dari agranulositosis
atau dari kemoterapi mungkin memperlihatkan produksi berlebih sel darah putih
menyerupai proliferasi pada leukemia, tetapi leukopoesis dengan kecepatan seperti ini
jarang menetapkan lebih dari seminggu.6
Apabila reaksi leukemoid terjadi karena penyakit mendasar yang sudah jelas,
pembedaan dengan leukemia tidak sulit. Namun, perlu diingat bahwa leukemia dapat
timbul bersama dengan penyakit lain. Leukemia dan tuberculosis, misalnya, dapat
timbul bersama-sama, dan masing-masing memperparah yang lain. Apabila penyakit

yang primer tidak jelas, gambarannya mengisyaratkan leukemia. Gambaran yang


membedakan reaksi leukemoid dengan LGK diperlihatkan pada table 4 di bawah ini.6
Tabel 4. Perbedaan Antara Reaksi Leukemoid dan Leukemia Granulositik Kronik6,7
Reaksi Leukemoid
Leukosit biasanya <50.000/L
Granulasi toksik dan badan Dohle ++
Basofilia dan eosinofilia tidak ada
Sel batang menonjol
Tidak ada trombositopenia
Anemia ringan atau tidak ada sama sekali
Ada hiperseluler sumsum tulang
Eritopoesis dan trombopoesis normal
Leukocyte Alkali Phosphatase (LAP) meningkat (>100)
Limpa biasanya tidak teraba
Tidak terdapat kromosom Philadelphia
2.

Leukemia Granulositik Kronik


Leukosit biasanya >50.000/L
Granulasi toksik / = 0
Terdapat basofilia dan eosinofilia, bisa juga tidak ada
Semua stadium ada, terutama mielosit
Terdapat trombositopenia
Ada anemia, biasanya berat
Ada hiperseluler sumsum tulang (lebih berat)
Eritropoesis dan trombopoesis terhambat oleh leukopoesis
LAP bisa meningkat atau tidak meningkat
Limpa biasanya membesar
Kromosom Philadelphia terdapat pada 90% kasus

Mielofibrosis dengan Metaplasia Mieloid (MMM)2


MMM merupakan suatu kelainan yang dihubungkan dengan adanya timbunan

substansi kolagen berlebih dalam sumsum tulang. Kelainan merupakan kelainan stem
sel hematopoesis klonal, dihubungkan dengan chronic myeloproliferative disorders
(CMPD), di mana adanya hematopoesis ekstramedular merupakan gambaran yang
mencolok. MMM menyerang golongan umur menengah dan tua, rata-rata umur 60
tahun, pria dan wanita memiliki kemungkinan yang sama.
Pada 25% kasus MMM berpenampilan asimtomatis. Diagnosis ditegakkan
dengan adanya pemeriksaan darah yang abnormal atau secara insidentil terdapat
splenomegali. Gejala klinis pada umumnya adalah kelelahan otot dan penurunan berat
badan (7-39%), sindrom hipermetabolik (5-20% pasien), pendarahan dan memar,
kadang terdapat massa dalam perut, gout, dan kolik renal terdapat 4-6%, diare dengan
sebab tidak jelas, dan nyeri substernal kadang diketemukan.
Tabel 3. Kelainan Klinis untuk Diagnosis Pasien dengan Mielofibrosis dengan Metaplasia Mieloid1
Sangat sering ditemukan (>50% kasus)
Splenomegali, hepatomegali, fatique, anemia, leukositosis, trombositosis
Sering ditemukan (10-50% kasus)
Asimtomatik, penurunan berat badan, keringat malam, perdarahan, nyeri splenik, leukositopenia,
trombositopenia
Kurang sering ditemukan (<10% kasus)
Edema perifer, hipertensi portal, limfadenopati, ikterik, gout

Splenomegali yang cukup besar merupakan penemuan fisik yang utama.


Hepatomegali ditemukan pada separuh pasien, 2-6% terdapat hipertensi portal,
mungkin diikuti komplikasi: asites, varises esophagus, perdarahan gastrointestinal,
dan ensefalopatia hepatik. Juga ditemukan ptekie, ekimosis, dan limpadenopatia.
Beberapa pasien memperlihatkan adanya dermatosis neutrofilik serupa pada sweet-

syndrome dan mengalami hematopoesis ekstramedulare dermal, osteosklerosis yang


sebagian diikuti periostetis dengan nyeri tulang dan ketulian. Bila permukaan serosa
terlibat dalam hematopoesis mungkin akan terdapat efusi pleura dan perikard atau
asites. Kadang diikuti komplikasi neuroplogis berupa tekanan intracranial meningkat,
delirium, koma, perdarahan subdural, kerusakan motorik, sensorik, dan paralisis.
Pada pemeriksaan darah tepi, didapatkan sel eritrosit berbentuk tear drop yang
dihubungkan dengan adanya eritrosit berinti dalam sirkulasi, leukosit neutrofil imatur
dan platelet besar abnormal. Retikulosit meningkat: eritrosit polikromasi, fragmentasi
dan sel target juga sering ditemukan.nabnormalitas morfologi ini diakibatkan adanya
perubahan hematopoesis, bebasnya sel lebih awal dari sumsum tulang dan
hematopoesis ekstramedular.
Anemia dengan Hb <10 gr/dl, ditemukan 60% kasus yang dapat terjadi akibat
hemodilusi akibat volume plasma yang meningkat, gangguan produksi sumsum
tulang, dan hemolisis. Hapusan darah tepi didapat aniso-poikilositosis, oval dari
eritrosit, reaksi leukomoid (samping granulosit terdapat 1 metamielosit, 1 promielosit,
dan 1 normoblas). Morfologi anemia tidak khas pada umumnya normositik
normokromik, makrositik bila defisiensi asam folat dan mikrositik hipokromik bila
defisiensi Fe atau perdarahan gastrointestinal. Jumlah leukosit meningkat pada 50%
kasus, diikuti eosinofilia dan basofilia, sedangkan jumlah limfosit normal. Beberapa
mieloblas ditemukan pada darah tepi, konsentrasi mieloblas >1% memberikan
prognosis buruk. Ditemukan juga neutrofil hipersegmen, kenaikan enzim neutrofil,
trombosit meningkat pada fase awal, pada progresifitas penyakit dapat terjadi
trombositopenia. Platelet baiasanya berukuran besar dan dalam sirkulasi ditemukan
megakariosit utuh atau terfragmentasi. Perubahan pada faktor pembekuan terlarut
dapat terjadi karena abnormalitas platelet. Kadar asam urat dan LDH hampir selalu
meningkat, menggambarkan ada massa berlebih dari sel hematopoetik atau ada
hematopoesis inefektif atau keduanya. Enzim alkali fosfatase serum meningkat yang
menunjukkan keterlibatan tulang. Kadar albumin, kolesterol, dan lipoprotein
menurun. Dapat terjadi kenaikan kadar vitamin B12 pada pasien dengan leukositosis
yang merupakan refleksi dengan peningkatan massa neutrofil.
Biopsi sumsum tulang diperlukan untuk menegakkan MMM. Kriteria yang
harus ada untuk membuat diagnosis MMM, antara lain fibrosis sumsum tulang,
kelainan morfologi hyperplasia sumsum tulang, dan hematopoesis ekstramedular.
Pada pemeriksaan patologi, ada osteosklerosis akibat fibrosis sumsum tulang,
9

terutama pada kerangka aksial dan proksimal tulang panjang. Korteks tulang
mengalami penebalan dan pola normal trabekula menghilang. Hematopoesis terutama
terjadi di lien dengan adanya splenomegali. Hepar juga dapat terlibat dengan adanya
hepatomegali. Proporsi eritroid lebih tinggi pada sisi ekstramedular daripada dalam
sumsum tulang. Hematopoesis ekstramedular ada tendensi indeks mitosis rendah, sel
imatur, dan megaloblastik yang tinggi daripada hematopoesis medulare.
3. Leukemia Mielomonositik kronik
Penyakit ini di tandai dengan peningkatan hitung absolut monosit di daerah
perifer. Banyak monosit yang termasuk atipikal atau imatur dan mungkin
memperlihatkan nukleolus. Sumsum tulang juga mungkin banyak memperlihatkan
banyak sel terbelah dan bercelah dengan inti sel seperti tapal kuda. Pasien juga
mungkin akan mengalami peningkatan lisozim.
VII.

Epidemiologi
Penyakit ini dapat mengenai laki atau perempuan (L:P = 4:1) dan semua usia,

usia puncak 40-60 tahun. Namun dapat juga terjadi pada anak-anak dan neonatus atau
pada orang sangat tua dan biasanya lebih progresif. Tidak ada faktor predisposisi
tertentu, tetapi kejadian meningkat pada korban yang selamat dari bom atom
Hiroshima Nagasaki di Jepang. Insidensi puncak dijumpai 5-12 tahun setelah pajanan
radiasi dan tampaknya berkaitan dengan dosis radiasi.2,5-7
Leukimia mielositik kronik mencapai 20% dari semua leukemia pada dewasa,
kedua terbanyak setelah leukemia limfositik kronik. Pada umumnya saat pertama
diagnosis ditegakkan pasien masih berada pada fase kronik dan sering kali diagnosa
ditemukan secara kebetulan saat persiapan pra bedah karena adanya penyakit lain.2
VIII. Etiologi
Tidak ada korelasi pajanan obat sitotoksik dan infeksi virus dengan LGK.
Adanya riwayat merokok meningkatkan progresifitas fase LGK ke fase krisis blas.
Tidak ada peningkatan insidensi LGK pada Chernobyl. Pajanan radiasi dalam dosis
besar dan jangka waktu yang lama juga dapat menginduksi terjadinya LGK.3
IX.
Patogenesis
Mekanisme terbentuknya kromosom Philadelphia (Ph) dan waktu yang
dibutuhkan sejak terbentuknya Ph sampai menjadi LGK dengan gejala klinis yang
jelas, hingga kini masih belum diketahui secara pasti, diduga akibat pengaruh radiasi
atau adanya mutasi spontan. Penyakit ini berasal dari stem cell ketika kromosom Ph
terdapat pada precursor eritroid, granulositik, megakariositik dan limfoid T.2,7
Sel leukemik pada 95% pasien memiliki translokasi resiprokal proto-onkogen
Abelson (abl) dari kromosom 9 ke breakpoint cluster region (brc) di kromosom 22

10

untuk membentuk gen fusi BCR- ABL t(9,22). Kromosom 22 yang mengalami
translokasi inilah yang dinamakan kromosom Philadelphia. Gen fusi pada ini
kromosom Philadelphia selanjutnya ditranskripsi menjadi mRNA hybrid yang
kemudian ditranslasikan, mengkode dan mensintesis protein tirosin kinase dengan
berat 210 kD (p210) yang sangat meningkat dibandingkan produk ABL normal dan
selanjunya berperan dalam leukemogenesis, menyebabkan proliferasi berlebihan sel
induk pluripoten pada system hematopoiesis. Klon-klon ini, selain proliferasinya
berlebihan juga dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal, karena gen
BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua mekanisme di atas adalah
terbentuknya klon abnormal yang akhirnya mendesak sistem hematopoiesis lainnya.
dengan demikian terjadi ekspansi kompartemen precursor myeloid disertai oleh
pembentukan berlebihan unsur-unsur myeloid matang. Walaupun pada GLK sel yang
mengandung kromosom Ph mendominasi sumsum tulang, namun sel bakal normal
tetap ada tetapi tertekan oleh klon positif Ph.2,5,7

Gambar5. Proses Pembentukan Kromosom Philadelphia


(Sumber: Isselbacher KJ, et al. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi
X.

13, 2000)
Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah untuk mecapai remisi lengkap, baik hematologi,

sitogenik, maupun reaksi biomolekular. Untuk mencapai remisi hematologi digunakan


obat-obatan yang bersifat mielosupresif. Begitu tercapai, dilanjutkan dengan terapi
interferon atau cangkok sum-sum tulang dengan indikasi usia <60 tahun, ada donor
yang cocok, dan termasuk gologan risiko rendah menurut perhitungan Sokal.2
Imatinib mesylate (Glyvec) 400 mg/hari p.c - inhibitor spesifik tirosin
kinase yang dikode BCR-ABl dengan cara bersaing pada ikatan ATP. Obat ini
11

merupakan obat lini pertama dalam penatalaksanaan penyakit fase kronis, karena
mampu mengontrol jumlah darah dan menyebabkan sumsum menjdi negative Ph.
Penilaian terhadap respon diawali dengan penilaian sumsum tulang secara
teratur (3-6 bulanan) untuk menilai sitogenetik metaphase. Pasien dengan respon
optimal dimana hitung darah tepi normal, dan setidaknya respon sitogenetik minimal
(Ph+ <95% dalam 3 bulan, Ph+ <35% dalam 6 bulan, atau Ph-dalam 12 bulan) serta
respon molecular mayor dengan setidaknya penurunan 3 log pada transkripsi BCRALB1 dalam 18 bulan tetap melanjutkan terapi ini. Untuk yang gagal, dosis dapat
dinaikkan menjadi 600-800 mg/hari atau diobati dengan generasi keduanya (Dasatinib
atau Nilotinib) atau bahkan sampai transplantasi sumsum tulang. Dosis harus
diturunkan apabila terjadi neutropeni berat (<500/ml) atau trombositopeni berat
(<50.000/ml) atau peningkatan SGOT/PT dan bilirubin. Efek samping yang mungkin
timbul mual, ruam kulit, nyeri kram otot, dan retensi cairan.6,7
Tabel1. Kriteria respon Pengobatan Pasien LGK4

Hidroksiurea (Hydrea) 30 mg/KgBB/hari. Apabila leukosit >300.000/ml,


dosis dinaikkan maks 2,5g/hari dan dihentikan bila leukosit <8.000/ml atau trombosit
<100.000/ml. Bila leukosit sangat tinggi dapat disertai hidrasi yang baik dan
alopurinol untuk mencegah hiperurisemia.Obat merupakan terapi terpilih untuk
induksi remisi hematologic pada LGK sebab akan lebih efektif dalam mengontrol
peningkatan jumlah sel darah putih dan tidak menimbulkan fibrosis paru atau supresi
SST berkepanjangan seperti pada penggunaan Busulfan. Oleh karena itu, selama
penggunaan obat harus dipantau Hb, leukosit, trombosit, fungsi ginjal, dan
fungsi hati.2
-Interferon 2a atau 2b 3juta IU/m 2/hari sampai terjadi remisi sitogenetik
(12 bulan pasca terapi). Obat ini juga dapat mengontrol leukosit sekaligus menunda
12

onset transformasi akut dan memperpanjang harapan hidup keseluruhan menjadi 1-2
tahun. Responder terbaik terhadap IFN menjadi Ph-, tetapi biasanya tetap BCR-ABL
+.2,7
Transplantasi sel stem alogenik (stem cell transplantation/SCT) merupakan
terapi definitive untuk LGK. Indikasi dilakukan jika pasien berusia <50 tahun,
pendonor berasal dari saudara kandung dengan HLA yang cocok dengan pasien.
Transfuse limfosit donor dapat berharga dalam mengeliminasi sel BCR-ABL + pada
kasus pasca SCT relaps.7
XI.
Komplikasi
Transformasi akut (20% atau lebih blas di sumsum tulang) dapat terjadi cepat
dalam beberapa hari atau minggu. Pada umumnya, pasien mempunyai fase akselerasi
bersama dengan anemia, trombositopenia, dan peningkatan basofil, eosinofil, atau sel
blas di darah tepi dan sumsum tulang. Limpa dapat membesar meskipun hitung darah
tepi terkontrol dan sumsum tulang dapat menjadi fibrosis. Pasien dapat berada dalam
fase ini selama beberapa bulan, fase penyakit yang lebih mudah dikontrol daripada
saat fase kronik. Pada kedua fase, akselerasi maupun akut, abnormalitas kromosom
baru sering muncul. Pada sekitar seperlima kasus, transformasi akut menjadi
limfoblastik. Pada sebagian besar kasus, transformasi yang terjadi adalah menjadi
leukemia myeloid akut (LMA) atau tipe campuran. Tipe tersebut lebih sulit untuk
diobati dan ketahanan hidup jarang melebihi beberapa bulan. Imatinib sangat berguna
dalam transformasi blastik, tetapi resistensi terhadap pengobatan biasa terjadi dalam
beberapa minggu.
Masalah metabolik dapat terjadi akibat cepatnya sitolisis yang akan
mengakibatkan terjadinya hiperurikemia, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia. Hal ini
dapat menyebabkan gangguan keseimbangan asam-basa dan bisa berakhir pada renal
failure. Peningkatan ekstrim dari leukosit dapat menyebabkan komplikasi leukostatik
pada beberapa organ, khususnya otak, paru, retina, dan penis. Perbandingan leukosit
dan eritrosit yang tidak seimbang menyebabkan peningkatan viskositas darah akibat
peningkatan fraksi leukosit tersebut. Myeloblas merupakan sel yang lebih kaku
dibandingkan dengan leukosit lain.
Penurunan jumlah trombosit dalam darah (trombositopenia) pada LGK dapat
mengganggu proses hemostasis. Keadaan ini dapat menyebabkan pasien mengalami
epistaksis, pendarahan dari gusi, dan ptechiae. Trombositopenia yang ekstrim dapat
menyebabkan pendarahan masif yang bisa berakhir pada kematian.

13

Pada suatu fase LGK di mana terjadi trombositosis, risiko terjadinya clotting
yang berlebihan (excess clotting) menjadi meningkat. Trombositopoesis yang tidak
terkendali akan menghasilkan trombosit dalam jumlah besar yang berpotensi
membentuk bekuan dalam jumlah besar pula. Bekuan yang terbentuk dapat menjadi
thrombus yang menyumbat pembuluh darah, terutama kapiler, sehingga besar
kemungkinan untuk terjadi infark jaringan.
Aktivitas

hematopoesis

extramedular

yang

berlebihan

menyebabkan

akumulasi produk sel darah dalam jumlah yang sangat besar pada limpa dan hati,
sehingga timbul splenohepatomegali. Jika limpa dan hati sudah tidak lagi memiliki
kapasitas untuk menampung produk hematopoesis, dapat terjadi ruptur hepar atau
ruptur limpa.
Pasien LGK rentan terkena berbagai macam infeksi karena leukosit yang
diproduksi adalah sel abnormal, tidak menjalankan fungsi imun yang seharusnya.
Selain itu, pengobatan LGK juga dapat menurunkan kadar leukosit hingga terlalu
rendah, sehingga sistem imun tidak efektif.
Leukemia meningeal pada LGK fase kronis sering tidak diketahui dan jarang
dijumpai pada stadium blas. Kejadian komplikasi ini akan meningkat bila penderita
bertahan hidup lama pada fase blas. Gejala yang dijumpai berupa paralisis saraf pusat
dan oedem papil. Diagnosis dibantu dengan ditemukanna sel blas pada cairan
serebrospinal.
Gagal sumsum tulang atau bone marrow failure dapat terjadi khususnya oleh
karena penurunan produksi sel darah merah dan trombosit, yaitu berupa:

Lemah, sesak nafas, takikardi karena hipoksia yang disebabkan oleh


anemia berat. Anemia berat dapat berakhir pada heart failure oleh
karena takikardi yang persisten.

Perdarahan, karena jumlah trombosit yang terlalu sedikit.

LMK sering terjadi bersama-sama dengan myelofibrosis dan akan


meningkatkan produksi kolagen pada sumsum tulang atau terjadi penurunan degradasi
kolagen.
XII.

Prognosis
Dahulu kelangsungan hidup pasien sekitar 3-5 tahun sejak diagnosis

ditegakkan. Sekarang dengan adanya uji klinis kombinasi hydrea dan IFN median

14

kelangsungan hidup menjadi 6-9 tahun. Meskipun Imatinib lebih memberikan hasil
yang menjajikan, tetapi median kelangsungan hidup masih menunggu beberapa hasil
uji klinik yang saat ini masih berlangsung. Faktor yang dapat memperburuk prognosis
pasien LGK adalah usia lanjut, keadaan umum yang buruk, disertai gejala sistemik
ditambah dengan hasil laboratorium yang menunjukan adanya anemia, basofilia,
eosinofilia, Ph-, BCR-ABL-. Terapinya lebih lama (>3 bulan) untuk mencapai remisi
serta memerlukan dosis tinggi, waktu remisi yang singkat.2
Sebagian besar pasien LGK akan meninggal setelah memasuki fase akhir yang
disebut krisis blastik. Gambarannya mirip dengan leukemia akut, yaitu produksi
berlebihan sel muda leukosit, biasanya berupa mieloblas dan promielosit, disertai
produksi neutrofil, trombosit, dan sel darah merah yang amat kurang.3,4

Kesimpulan
Pasien laki-laki usia 60 tahun dengan keluhan lemas sejak 2 bulan lalu karena
menderita Leukimia Granulositik Kronik (LGK). Diagnosis LGK bergantung pada
hubungan mielopoiesis yang meningkat mencolok, splenomegali dan adanya
kromosom Philadelphia. Pemeriksaan apus darah tepi dan sumsum tulang dapat
menegakkan diagnosis dalam fase yang sesuai. Terkadang diperlukan juga
pemeriksaan konfirmasi seperti kajian sitogenik dengan adanya kromosom
Philadelphia t(9,22) pada 98% kasus, translokasi sebagian lengan panjang kromosom
22 ke lengan panjang kromosom 9, dan gen gabungan BCR-ABL 1 pada pemeriksaan
PCR (50% kasus). Prognosis terrgantung keadaan awal pasien saat terdiagnosis dan
terapi yang dilakukan. Saat ini hasil klinis sangat baik dan pasien dapat mengontrol
penyakit dalam waktu lama.

Daftar Pustaka
1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga;
2006.h.70-1.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat peneribitan Departemen IPD-FKUI;
2010.h.698-700,9-14.
3. Harrisons hematology and oncology. 2nd edition. US: McGraw-Hill Education;
2013.
4. Buyukasik Y, Haznedaroglu IC, Osman I. Chronic Myeloid Leukimia: Practical
issue in diagnosis, treatment and follow-up. International Journal of Hematology
and Oncology. 2010; 2(20).p.1-10.

15

5. Isselbacher KJ, et al. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Jakarta: EGC;
2000.h.1956-62.
6. Hoffbrand AV. Moss PAH. Kapita selekta hematologi. Edisi ke-6. Jakarta: EGC;
2013.h.107,77-85.
7. Mehta AB, Hoffbrand AV. At a glance hematologi. Edisi ke-2. Jakarta: Erlangga;
2012.h.48-51.
8. Greer JP, et al. Wintrobes Clinical Hematology. 12th edition. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins; 2009.p.2003-20.
9. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim AL, Santoso S. Penuntun patologi klinik
hematologi. Jakarta: Bagian PK FK Ukrida; 2007.h.147-8.

16

Anda mungkin juga menyukai