Anda di halaman 1dari 10

Tinjauan Pustaka

I. PENDAHULUAN
Lambung merupakan bagian sistem gastrointestinal yang terletak diantara
esofagus dan duodenum. Penamaan kelainan lambung biasanya menggunakan nama
latin, yaitu ventriculus, dan nama Yunani, yaitu gaster, umpamanya gastritis untuk
radang mukosa lambung dan ulcus ventriculi untuk tukak lambung. Berbagai
kelainan, seperti varises esofagus, gastritis hemoragik, keganasan, lesi Mallory-Weis,
dan tukak lambung atau duodenum, dapat memberikan gejala perdarahan saluran
cerna bagian atas. Perdarahan ini biasanya terjadi pada tukak duodenum yang
menyebabkan erosi dinding arteri karena penetrasi. Proses ini terjadi di bagian
belakang dan ditandai dengan hematemesis, melena, hematoskezia atau perdarahan
samar. Penderita perdarahan akut dan banyak sering datang dalam keadaan syok dan
anemia berat, sedangkan penderita perdarahan kronik biasanya datang dengan
keluhan anemia defisiensi besi. Pemeriksaan abdomen umumnya tidak
memperlihatkan kelainan pada kedua kasus ini.1
Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen.
Penyebab perforasi gastrointestinal adalah : ulkus peptik, inflamasi divertikulum
kolon sigmoid, kerusakan akibat trauma, perubahan pada kasus penyakit Crohn,
kolitis ulserasi, dan tumor ganas di sistem gastrointestinal. Perforasi paling sering
adalah akibat ulkus peptik lambung dan duodenum. Perforasi dapat terjadi di rongga
abdomen (perforatio libera) atau adesi kantung buatan (perforatio tecta).1
Pada tahun 1799 gejala klinik ulkus perforasi dikenali untuk pertama kali,
meskipun baru pada tahun 1892, Ludwig Hensner, seorang Jerman, pertama kali
melakukan tindaka bedah pada ulkus peptik lambung. Pada tahun 1894, Henry Percy
Dean melakukan tindakan bedah pada ulkus perforasi usus kecil duodenum.
Gastrektomi parsial, meskipun sudah dilaksanakan untuk ulkus gaster perforasi dari
awal 1892, tidak menjadi terapi populer sampai tahun 1940. Hal ini karena dirasakan
adanya rekurensi yang tinggi dari gejala-gejala setelah perbaikan sederhana. Efek
fisiologis vagotomi trunkal pada sekresi asam telah diketahui sejak awal abad 19, dan
pendekatan ini diperkenalkan sebagai terapi ulkus duodenum pada tahun 1940.1
Perkembangan selanjutnya terapi ulkus peptik adalah diperkenalkannya
vagotomi selektif tinggi pada akhir 1960. Namun, tidak ada satupun pencapaian ini
yang terbukti berhasil, dan beberapa komplikasi postoperatif, termasuk angka
rekurensi ulkus yang tinggi, telah membatasi penggunaan teknik-teknik ini. Akhir-
akhir ini, pada pasien dengan perforasi gaster, penutupan sederhana lebih umum
dikerjakan daripada reseksi gaster. Perforasi terjadi apabila isi dari kantung masuk ke
dalam kavum abdomen, sehingga menyebabkan terjadinya peritonitis. Contohnya
seperti pada kasus perforasi gaster atau perforasi duodenum.1
Selain itu, 10 – 15 % pasien yang didiagnosa divertikulitis akut akan
berkembang menjadi perforasi. Pasien biasanya akan datang ke tempat perawatan
dengan gejala peritonitis umum. Kadar mortalitas secara relatifnya tinggi yaitu hampir
20 – 40 %. Kebanyakkan disebabkan oleh komplikasi seperti syok septik kegagalan
multi organ.2

A. PERITONITIS
I. DEFINISI
Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membran serosa yang melapisi
abdomen dan menutupi visera abdomen). Keadaan ini biasanya terjadi akibat
penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus
abdomen.3 Peritonitis merupakan suatu kegawatdaruratan yang biasanya disertai
dengan bakterisemia atau sepsis. Peritonitis akut merupakan penyakit infeksi tersering
dan biasanya dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila tidak
ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis dikategori sebagai primary
peritonitis.4

II. EPIDEMIOLOGI
Data mengenai tingkat insidensi peritonitis sangat terbatas5, namun yang pasti
diketahui adalah diantara seluruh jenis peritonitis, peritonitis sekunder merupakan
peritonitis yang paling sering ditemukan dalam praktik klinik.5,6 Hampir 80% kasus
peritonitis disebabkan oleh nekrosis dari traktus gastrointestinal.6 Penyebab umum
dari peritonitis sekunder, antara lain appendicitis perforasi, perforasi ulkus peptikum
(gaster atau duodenum), perforasi kolon karena diverticulitis, volvulus, atau
keganasan, dan strangulasi dari usus halus.5 Terdapat perbedaan etiologi peritonitis
sekunder pada negara berkembang (berpendapatan rendah) dengan negara maju. Pada
negara berpendapatan rendah, etiologi peritonitis sekunder yang paling umum, antara
lain appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum, dan perforasi tifoid.7 Sedangkan,
di negara-negara barat appendisitis perforasi tetap merupakan penyebab utama
peritonitis sekunder, diikuti dengan perforasi kolon akibat diverticulitis8. Tingkat
insidensi peritonitis pascaoperatif bervariasi antara 1%-20% pada pasien yang
menjalani laparatomi.8

III. ETIOLOGI
1. Peritonitis primer (spontaneous)
Peritonitis primer merupakan peradangan pada peritoneum yang penyebabnya
berasal dari ekstraperitoneal dan umumnya dari hematogenous dissemination.5
2. Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendisitis,
perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenal, perforasi kolon (paling sering kolon
sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus.5
3. Peritonitis tersier
Adanya peritonitis persisten atau rekuren setelah penanganan yang tidak
adekuat terhadap peritonitis primer atau sekunder.5

IV. ANATOMI
Peritoneum merupakan membran serosa transparan yang terbesar di dalam
tubuh manusia dan terdiri dari 2 lapisan yang berkesinambungan, antara lain
peritoneum parietal yang melapisi bagian internal dari dinding abdominopelvis dan
peritoneum visceral yang melapisi organ-organ abdomen9. Hubungan peritoneum dan
organ-organ dalam kavitas intra abdomen dikelompokkan menjadi, antara lain organ
intraperitoneal yang terlapisi seluruhnya dengan peritoneum, dan retroperitoneal
(duodenum, kolon asendens, colon desendens, dan rectum) yang tidak terlapisi
maupun terlapisi hanya sebagian peritonum.
Peritoneum visceral yang membungkus atau menunjang organ-organ bersama-
sama dengan jaringan ikat disekitarnya dalam kavitas peritoneum, dikenal dengan
istilah ligament peritoneum, omentum atau mesenterium.9
Mesenterium merupakan dua lapis peritoneum yang terjadi akibat invaginasi
peritoneum karena suatu organ dan berfungsi melekatkan organ tersebut dengan
dinding posterior abdomen (mesenterium dari usus halus dan transverse mesokolon).9
Ligamen peritoneum terdiri dari dua lapis peritoneum yang menghubungkan
organ satu dengan lainnya atau dengan dinding abdomen (falciform ligament yang
menghubungkan liver dengan dinding abdomen anterior). Berbeda dengan ligamen
peritoneum dan mesenterium, greater omentum terdiri dari 4 lapisan peritoneum
(karena peritoneum melipat sehingga terdiri dari 4 lapisan) dengan sejumlah jaringan
adiposa dan terdiri dari 3 bagian, antara lain gastrophrenic ligament, gastrosplenic

ligament, dan gastrocolic ligament, sedangkan lesser omentum terdiri dari


hepatogastric dan hepatoduodenal ligament.9
Peritoneum parietal dipersarafi dari cabang saraf somatis eferen dan aferen
yang mempersarafi otot-otot dan kulit dari dinding abdomen9, sedangkan peritoneum
visceral dipersarafi dari cabang saraf visceral aferen yang juga memberikan suplai
saraf otonom pada organ visceral tersebut.10
Gambar 5. Potongan sagittal dari abdomen yang memperlihatkan peritoneum parietal
dan visceral (dikutip dari kepustakaan 9)

Adanya persarafan yang berbeda ini mengakibatkan perbedaan respon sensasi


apabila terjadi kondisi patologis yang menstimulasi peritoneum visceral atau parietal.
Nyeri yang terlokalisir terjadi akibat stimulus mekanik, termal, atau kimiawi pada
reseptor nyeri (nociceptor) di peritoneum parietal. Sensasi nyeri umumnya terjadi di
satu atau dua level dermatom pada setiap lokasi peritoneum parietal yang terstimulasi.
Saraf somatis tersebut selain menghantarkan sensasi nyeri terlokalisir, juga
menghantarkan refleks kontraksi otot apabila terjadi iritasi dari parietal peritoneum.
Refleks inilah yang menyebabkan hiperkontraksi lokal (muscle guarding) dan perut
papan (rigidity of abdominal wall).9
Di sisi lain, iritasi dari peritoneum visceral tidak memberikan sensasi nyeri
dan refleks otot yang serupa seperti pada iritasi peritoneum parietal. Ketika saraf
visceral peritoneum visceral terstimulasi sensasi nyeri akan dialihkan ke salah satu
daerah dari tiga lokasi, antara lain lokasi epigastrium, periumbilikal, dan suprapubik.9

V. PATOFISIOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa,
yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.4
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa
ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba
untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk
buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung,
tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.4
Organ-organ di dalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami edema. Edema disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan di dalam rongga peritoneum dan
lumen-lumen usus serta edema seluruh organ intra peritoneal dan udem dinding
abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia
bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan
tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan
menimbulkan penurunan perfusi.4
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau
bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen
usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan
dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat
mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.4
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus
karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik
usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana
yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat
total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau gangren dan
akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen
sehingga dapat terjadi peritonitis.4
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang
mulai di epigastrium dan meluas ke seluruh peritoneum akibat peritonitis generalisata.
Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut.
Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di
perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena
rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas.
Kemudian menyebar ke seluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal
perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia,
adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritoneum berupa mengenceran zat
asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai
kemudian terjadi peritonitis bakteria.4
Pada appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan
neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan, makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas
dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan udem,
diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem
bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan nekrosis atau gangren dinding apendiks sehingga menimbulkan
perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.4

VI. DIAGNOSIS
1. Manifestasi klinis
Peritonitis merupakan sebuah diagnosis klinis, berdasarkan pada anamnesis
dan pemeriksaan fisik.1,5 Gejala utama pada seluruh kasus peritonitis adalah nyeri
perut yang hebat, tajam, dirasakan terus-menerus, dan diperparah dengan adanya
pergerakan.1
Mayoritas pasien cenderung diam terlentang di tempat tidur dengan sedikit
menekuk lutut untuk mengurangi nyeri perut (karena maneuver tersebut mengurangi
tekanan pada dinding abdomen). Adanya anoreksia, mual, dan muntah seringkali pula
ditemukan, namun bervariasi tergantung etiologi dari peritonitis. Anamnesis harus
pula mencari kemungkinan sumber etiologi dari peritonitis sekunder sehingga harus
ditanyakan mengenai riwayat penyakit sekarang (riwayat dispepsia kronis
mengarahkan ke perforasi ulkus peptikum, riwayat inflammatory bowel disease atau
divertikulum mengarahkan perforasi kolon karena divertikulitis, riwayat demam lebih
dari 1 minggu disertai pola demam dan tanda-tanda klinis khas untuk tifoid
mengarahkan ke perforasi tifoid, adanya riwayat hernia daerah inguinal (inguinalis
atau femoralis) harus dicurigai kemungkinan adanya strangulasi, sedangkan nyeri
mendadak tanpa disertai adanya riwayat penyakit apapun mengarahkan ke
appendisitis perforasi), riwayat operasi abdomen sebelumnya.5
Berbeda dengan peritonitis sekunder, peritonitis primer patut dicurigai pada
pasien-pasien dengan tanda klinis asites dan riwayat penyakit liver kronis (terutama
sirosis hepatis).1,10
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan pasien sakit berat, dengan temuan
tanda-tanda SIRS (tanda sistemik), dan tanda-tanda lokal seperti dijelaskan pada
manifestasi klinis. Pada tanda-tanda lokal dapat dicari point of maximal tenderness
(daerah dimana terjadi iritasi maksimal dari peritoneum) untuk menentukan lokasi
proses patologis awal (etiologi dari peritonitis).5 Pemeriksaan colok dubur umumnya
akan menunjukan adanya nyeri pada seluruh lokasi.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah
lengkap dengan hitung jenis (ditemukan leukositosis, dengan shift to the left yaitu
peningkatan sel batang (PMN), kimia darah dapat ditemukan kelainan seperti
peningkatan ureum dan kreatinin (tanda syok hipovolemik atau sepsis berat), dan
pemeriksaan ABG (arterial blood gas) dapat menunjukan adanya asidosis metabolik,
pemeriksaan urinalisis untuk menyingkirkan diagnosis dari traktus urinarius. Selain
pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologi seperti x-ray dapat berguna (free air under
diafragma yang terlihat pada posisi tegak pada perforasi ulkus peptikum, 11 tetapi
jarang pada etiologi lainnya).
Pemeriksaan CT-scan umumnya tidak diperlukan dan hanya akan menunda
penanganan pembedahan (apabila peritonitis dapat ditegakkan berdasarkan klinis).
Apabila diagnosis klinis tidak konklusif dapat dilaksanakan diagnostik peritoneal
lavage (DPL) untuk analisis cairan peritoneum,1 ditemukannya hasil yang positif
(>500 leukosit/mL) mengarahkan diagnosis peritonitis.5

VII. PENATALAKSANAAN
Penanganan pada peritonitis primer mencakup pemberian antibiotik spektrum
luas, seperti sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime intravena 3 x 2 gram atau
ceftriaxone 1x2 gram), penicillin/β-lactamase inhibitor (piperacillin/tazobactam 4x
3,375 gram pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal).11
Terapi empiris untuk bakteri anaerob tidak dibutuhkan pada pasien dengan
primary bacterial peritonitis (PBP atau SBP). Pasien peritonitis primer umumnya
mengalami perbaikan gejala dalam 72 jam pemberian antibiotik yang tepat. Antibiotik
dapat diberikan selama 5 hari – 2 minggu (tergantung perbaikan gejala dan kultur
darah yang negatif). Hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya
rekurensi pada SBP, sampai 70% pasien mengalami rekurensi dalam 1 tahun.
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan tingkat rekurensi menjadi <20%.
Regimen yang diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal baik, antara lain
ciprofloxacin 750 mg/minggu, norfloxacin 400mg/hari, atau trimethoprim
sulfamethoxazole.11
Pendekatan utama pada pasien peritonitis sekunder, antara lain koreksi
etiologi (terutama dengan tindakan pembedahan), pemberian antibiotik sistemik, dan
terapi suportif (resusitasi)3. Tidak seperti penanganan peritonitis primer yang secara
prinsip adalah tindakan non-pembedahan, penanganan peritonitis sekunder adalah
tindakan pembedahan dan bersifat life-saving.11
Tindakan pembedahan tidak hanya dapat mengoreksi etiologi peritonitis
sekunder, tetapi juga dapat mengeliminasi bakteri dan toksinnya dalam rongga
abdomen.5
Keterlambatan dan tidak adekuatnya tindakan pembedahan dapat
memperburuk prognosis. Tindakan preoperatif meliputi, pemberian antibiotik
sistemik dan resusitasi cairan untuk mencegah terjadinya syok hipovolemik (dan syok
septik) yang memperparah disfungsi organ.5
Pemberian antibiotik mencakup bakteri gram positif dan negatif serta bakteri
anaerob (walaupun secara umum perforasi traktus gastrointestinal atas lebih mengarah
ke gram positif dan perforasi pada usus halus distal dan kolon lebih mengarah ke
polimikrobial aerob dan anaerob).1,5
Beberapa pilihan regimen antibiotik yang direkomendasikan, antara lain
gabungan dari golongan penicillin/β-lactamase inhibitor (ticarcilin 4x1 gram
intravena), atau golongan fluorokuinolon (levofloksasin 1x750 mg intravena), atau
sefalosporin generasi ketiga (ceftriaxone 1x2 gram intravena), dengan metronidazole
3x500 mg intravena (pada pasien yang masuk ICU diberikan meropenem 3x 1gram
intravena).11
Pemberian antibiotik dilanjutkan sampai pasien afebris dengan leukosit
normal dan hitung jenis batang < 3%12. Resusitasi cairan dan monitoring
hemodinamik perlu untuk dilakukan, target resusitasi, antara lain mean arterial
pressure >65 mmHg, dan urine output >0,5cc/kgBB/jam (bila dipasang central venous
pressure CVP antara 8-12mmHg).1
Tindakan lainnya, meliputi pemasangan nasogastric tube (NGT) pada pasien
ileus dengan distensi perut dan mual-muntah yang dominan. Pada pasien penurunan
kesadaran dan adanya syok septik perlu dipertimbangkan pemasangan intubasi.5
Tujuan utama tindakan pembedahan adalah eliminasi penyebab dari
kontaminasi (koreksi etiologi), mengurangi atau eliminasi inokulum bakteri, dan
mencegah sepsis3,5. Pendekatan bedah dilakukan dengan insisi midline dengan tujuan
agar eksplorasi rongga abdomen yang adekuat dan komplit tercapai.5
Secara umum, kontrol dan koreksi etiologi tercapai bila bagian yang
mengalami perforasi di reseksi (perforasi apendiks) atau repair (perforasi ulkus). Pada
perforasi kolon lebih aman dipasangkan stoma usus secara sementara sebelum
dilakukan tindakan anastomosis usus di kemudian hari (beberapa minggu setelah
keadaan umum pasien membaik)12. Pembilasan (peritoneal lavage) menggunakan
cairan normal saline (>3L) hangat dilakukan hingga cairan bilasan jernih dengan
tujuan mengurangi bacterial load dan mengeluarkan pus (mencegah sepsis dan re-
akumulasi dari pus).1,12
Tidak direkomendasikan pembilasan dengan menggunakan iodine atau agen
kimia lainnya. Setelah selesai, maka rongga abdomen ditutup kembali. Secara ideal,
fascia ditutup dengan benang non-absorbable dan kutis dibiarkan terbuka dan ditutup
dengan kasa basah selama 48- 72 jam. Apabila tidak terdapat infeksi pada luka,
penjahitan dapat dilakukan (delayed primary closure technique). Teknik ini
merupakan teknik closed-abdomen, pada laporan kasus ini tidak akan dibahas secara
mendalam mengenai teknik open-abdomen).

VIII. PROGNOSIS
Tingkat mortalitas pada peritonitis umum adalah bervariasi dari di bawah 10%
- 40% pada perforasi kolon.8 Faktor yang mempengaruhi tingkat mortalitias yang
tinggi adalah etiologi penyebab peritonitis dan durasi penyakitnya, adanya kegagalan
organ sebelum penanganan, usia pasien, dan keadaan umum pasien. Tingkat
mortalitas di bawah 10% ditemukan pada pasien dengan perforasi ulkus atau
appendisitis, pasien usia muda, kontaminasi bakteri yang minim, dan diagnosis-
penanganan dini. Skor indeks fisiologis yang buruk (APACHE II atau Mannheim
Peritonitis Index), riwayat penyakit jantung, dan tingkat serum albumin preoperatif
yang rendah merupakan pasien resiko tinggi yang membutuhkan penanganan intensif
(ICU) untuk menurunkan angka mortalitas yang tinggi.12

Anda mungkin juga menyukai