Anda di halaman 1dari 53

BAB I

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
Tanggal Masuk
Tanggal Pulang
Bangsal Perawatan

: Tn. S
: 40tahun
:Godengan,RT3/RW1,Ngargosoko,Kec.Kaliangkrik
: SWASTA
: 15/09/2015
: 21/09/2015
: Cempaka

B. ANAMNESA
1. Keluhan Utama

: Kaki kiri terasa nyeri

2. Keluhan Tambahan

:-

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien post kecelakaan datang dengan keluhan kaki kiri terasa nyeri setelah
mengalami kecelakaan pada pukul 18.30 WIB. Pasien menabrak motor
yang ada di depannya, kemudian terjatuh ke arah kanan tertimpa motor dan
tubuh kakak pasien. Saat kecelakaan terjadi, pasien menggunakan helm.
Mual (-), muntah (-), pusing (-), pingsan (-), pandangan kabur (-). Terdapat
luka lecet pada paha kiri bagian dalam dan genu kiri. Pasien mengaku saat
jatuh terdengar suara patah pada kaki kiri dan nampak darah yang keluar
pada kaki kiri disertai penonjolan tulang yang keluar.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi obat-obatan : disangkal
Riwayat trauma sebelumnya : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat operasi (disangkal)
Kelainan penyakit saraf (disangkal)

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Primary Survey
A: Clear
B: Spontan, RR 24 x/menit
C: TD 140/100 mmHg, HR: 88 x/menit
D: GCS 15 (E4M6V5), compos mentis
2. Status Generalis
a. Kepala

: Normocephal

b. Wajah

: tidak nampak kelainan

c. Mata

Konjungtiva/Sklera

: Conjungtiva Anemis -/-, Sklera Ikterik -/-,

Kornea

: Jernih pada kedua mata kanan dan kiri

Pupil

: Isokor +/+, refleks cahaya +/+

d. THT

Telinga

: Lubang telinga lapang , cairan (-), darah(-)

Bibir

: Vulnus(-), hematom (-)

Hidung

: Deformitas (-/-), sekret (-/-)

Tenggorokan

: Hiperemis (-), Tonsil T0 T0

e. Leher

: trakea terletak di tengah, tidak ada deviasi, tidak

ada luka
f. Thoraks

Bentuk

: Tidak ada kelainan, jejas (-)

Pergerakan

: Pergerakan hemithorax kiri dan kanan simetris

dalamkeadaan statis dan dinamis


g. Jantung

Inspeksi

: Ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus cordis teraba, tidak kuat angkat

Perkusi

Batas kanan atas

: ICS II LPS dekstra

Batas kiri atas

Batas kanan bawah : ICS IV LPS dekstra

Batas kiri bawah

Auskultasi

: ICS II LPS sinistra


: ICS VLMC sinistra

: Bunyi jantung I II reguler, murmur (-),


gallop (-)

h. Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

: Pergerakan dada simetris, statis dan dinamis


: Fremitus vokal : kanan = kiri
: Perkusi sonor pada seluruh lapang paru kanan dan

kiri
Auskultasi

: Suara nafas vesikular pada lapang paru kanan dan


kiri, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

i. Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi

: Perut datar, jejas (-)


: Bising usus (+) normal
: Defans muscular (-), nyeri tekan epigastrium (-)

Hepar

: Tidak teraba pembesaran

Lien

: Tidak teraba pembesaran

Perkusi

: Tympani, Nyeri ketuk (-)

3. Status Lokalis
(Regio cruris sinistra )
Look
: Tampak fraktur terbuka os. Tibia 1/3 distal dan os.
Fibula 1/3 distal (+)
Feel
Move

: Nyeri (+),akral hangat


: Range of Movement terbatas

(Regio femoris sinistra)


Look
: Tampak deformitas (-), tampak vulnus excoriatum
pada genu dan pada 1/3 medial bagian dalam
Feel
: Nyeri (+), akral hangat
Move
: Range of Movements terbatas

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Radiologi (X-FOTO Cruris Sinistra AP dan LAT; Thorax AP View)

Kesan :
X-foto Cruris Sinistra AP dan LAT
-

Comminutive fracture os. Tibia sinistra 1/3 distal, aposisi dan alignment

kurang
Comminutive fracture os. Fibula sinistra 1/3 distal, aposisi dan alignment
kurang

Thorax AP view
-

Tak tampak pneumothorax maupun hematothorax


Besar cor normal
Sistema tulang intact

Laboratorium 15/09/2015
Result

Normal range

RBC

3.93

3.50-5.50

MCV

86.3

75.0-100.0

RDW %

15.8

11.0-16.0

HCT

33.9

35.0-55.0

PLT

227

100-400

MPV

6.3

8.0-11.0

WBC

10.2

3.5-10.0

HGR

11.6

11.5-16.5

MCH

29.6

25.0-35.0

MCHC

34.3

31.0-38.0

LYM

4.0

0.5-5.0

GRAN

5.5

1.2-8.0

MID

0.7

0.1-1.5

D. DIAGNOSIS KERJA
OpenFractureTibia I/3 distal sinistra dan Fracture Fibula 1/3 distal sinsitra
E. PLANNING
Inj. Ceftriaxon 2x1
Inj. ATS

Inj. Ketorolac 3x1


Inj. Asam tranexamat 3x1
Pro orif tibia sinistra dan fibula sinsitra
F. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad sanam: dubia ad bonam

Quo ad fungsionam: dubia ad bonam

G. FOLLOW UP PRE OP
Rabu, 16 September 2015
S : nyeri tungkai kiri (+), tidak dapat digerakkan, pusing (-)
mual (-), muntah (-), demam (-)
O : a. Status Generalis : dbn (TD : 120/80 mmHg, HR : 81
x/menit, RR : 20, T : 37,30 C)
b. Status Lokalis
Look = deformitas (+)
Feel = Nyeri (+), terpasang bidai
Move = ROM terbatas
A : OpenFraktur Gustilo-Anderson derajat III B Tibia I/3
tengah sinistra dan Fraktur Fibula 1/3 distal sinsitra
P : Pro orif tibia + fibula sinistra
ACC anestesi, pasien puasa 6 jam pre op

Dokumentasi Operasi Tanggal 16September 2015

Laporan operasi

Intruksi Post Op
-

Infus RL 20 tpm
Inj. Ketorolac 3x30 mg
Inj. Ceftriaxon 2x1g
Inj. Plasminex 3x500mg
Boleh makan dan minum
Foto ulang : cruris sinistra AP lateral

Foto post Op

H. FOLLOW UP POST OP

Post op Hari + 1 Tanggal 17September 2015


S

O
Nyeri

luka Keadaan Umum : sakit ringan.

P
Post

Inj Cetriaxon2x1 gr

post op (+), Kesadaran : CM, E4V5M6

op

Inj Ketorolac 3x1 amp

mual

(-), Tanda Vital

H+1

As. Tranexamat 3x1 amp

muntah

(-), 120/70mmHg / 82 x/menit


20 x/menit / 36,20 C

demam (-)

Monitor keadaan umum

dan tanda vital


Kaji skala nyeri
Ajarkan distraksi relaksasi

Head to toe: dbn


Status lokalis :
L : terdapat luka post op tertutup
perban, darah (-), pus (-)
F :Nyeri tekan (+)
M : ROM terbatas

Post op Hari + 2 Tanggal 18September 2015


S

O
Nyeri

luka Keadaan Umum : sakit ringan.

P
Post

Inj Cetriaxon2x1 gr

post op (+), Kesadaran : CM, E4V5M6

op

Inj Ketorolac 3x1 amp

mual

(-), Tanda Vital

H+2

As. Tranexamat 3x1 amp

muntah

(-), 110/70 mmHg / 78x/menit


20 x/menit / 36,30 C

demam (-)

Monitor keadaan umum

dan tanda vital


Kaji skala nyeri
Ajarkan distraksi relaksasi

Head to toe: dbn


Status lokalis :
L : terdapat luka post op
tertutup perban, darah (-), pus
(-)
F :Nyeri tekan (+)
M : ROM terbatas
Post op Hari + 3 Tanggal 19September 2015
S

O
Nyeri

Keadaan Umum : sakit ringan.

P
Post

Inj Cetriaxon2x1 gr

luka post Kesadaran : CM, E4V5M6

op

Inj Ketorolac 3x1 amp

op

H+3

As. Tranexamat 3x1 amp

(+), Tanda Vital

mual (-),
muntah

100/70 mmHg / 80 x/menit


20 x/menit / 36,70 C

(-),

Head to toe: dbn

demam

Status lokalis :

(-)

L : terdapat luka post op tertutup


perban, darah (-), pus (-)
F :Nyeri tekan (+)
M : ROM terbatas

Post op Hari + 4 Tanggal 20 September 2015

Monitor keadaan umum

dan tanda vital


Kaji skala nyeri
Ajarkan distraksi relaksasi

O
Nyeri

Keadaan Umum : sakit ringan.

P
Post

Inj Cetriaxon2x1 gr

luka post Kesadaran : CM, E4V5M6

op

Inj Ketorolac 3x1 amp

op

H+4

As. Tranexamat 3x1 amp

(+), Tanda Vital

mual (-), 130/90 mmHg / 80 x/menit


muntah
(-),

20 x/menit / 36,20 C

demam

Head to toe: dbn

(-)

Status lokalis :

Monitor keadaan umum

dan tanda vital


Kaji skala nyeri
Ajarkan distraksi relaksasi

L : terdapat luka post op tertutup


perban, darah (-), pus (-)
F :Nyeri tekan (+)
M : ROM terbatas

Post op Hari + 5 Tanggal 21 September 2015


S

O
Nyeri

Keadaan Umum : sakit ringan.

P
Post

Inj Cetriaxon2x1 gr

luka post Kesadaran : CM, E4V5M6

op

Inj Ketorolac 3x1 amp

op

H+5

As. Tranexamat 3x1 amp

(+), Tanda Vital

mual (-), 120/80 mmHg / 84 x/menit


muntah
(-),

20 x/menit / 36,2 0 C

demam

Head to toe: dbn

(-)

Status lokalis :

Monitor keadaan umum

dan tanda vital


Kaji skala nyeri
Ajarkan distraksi relaksasi

L : terdapat luka post op tertutup


perban, darah (-), pus (-)
F :Nyeri tekan (+)
M : ROM terbatas

I. MONITORING DAN EDUKASI

Pasien boleh pulang

Monitoring

Keadaan umum, tanda vital, hasil pemeriksaan penunjang, polamakan,


kondisi luka operasi, perbaikan movement.

Edukasi

Penjelasan mengenai penyakit dan prognosisnya, minum obat teratur,


makanan tinggi protein, vitamin dan mineral, memberikan penjelasan
mengenai teknik relaksasi, menjaga kebersihan luka, cukup istirahat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Regio Cruris
2.1.1

Sistem Tulang
Tulang Tibia
Tulang tibia terdiri dari 3 bagian, yaitu epyphysis proksimalis,

diaphysis dan epyphysis. Epyphysis proksimalis terdiri dari dua bulatan


yaitu condylus medialis dan condylus lateralis.Diaphysis mempunyai 3
tepi, yaitu margo anterior, margo lateralis, dan crista interosea disebelah
lateral. Sehingga terdapat 3 dataran yaitu facies medialis, facies posterior
dan facies lateralis. Margo anterior di bagian proksimal menonjol disebut
tuberositas tibia. Pada epyphysis distalis bagian distal terdapat tonjolan
yang disebut malleolus medialis, yang mempunyai dataran sendi
menghadap lateral untuk bersendi dengan talus, disebut facies malleolus
lateralis. Epyphysis distalis mempunyai dataran sendi lain yaitu facies
articularis inferior untuk bersendi dengan tulang talus dan incisura
fibularis untuk bersendi dengan tulang fibula.
Diaphysis pada penampang melintang merupakan segitiga dengan
basis menghadap ke belakang dan apex menghadap ke depan. Memiliki
tiga tepi yaitu margo anterior, margo medialis dan crista interossea di
sebelah lateral. Sehingga terdapat dataran yaitu facies medialis, facies
posterior dan facies lateralis. Margo anterior di bagian proximal menonjol
disebut tuberositas tibi. Pada epiphysis distalis menonjol disebut maleolus
medialis. Bagian ini memiliki tiga dataran sendi yaitu facies articularis
melleolaris, facies articularis inferior dan incisura fibularis

Tulang Fibula
Tulang fibula terletak di sebelah lateral tibia, mempunyai 3 bagian
yaitu epyphysis proksimal, diaphysis dan epyphysis distal. Epyphysis
proksimal membulat disebut capitulum fibula yang ke arah proksimal
meruncing menjadi apex kapituli fibula. Diaphysis memiliki 4 crista yaitu
crista lateralis, crista medialis, crista anterior, dan crista interosea. Serta 3
dataran yaitu facies medialis, facies lateralis dan facies posterior.
Epyphysis distalis kebelakang agak membulat dan sedikit keluar disebut
malleolus lateralis. Disebelah dalam terdapat dataran sendi yang disebut
facies aticularis melleolus lateralis. Disebelah luar terdapat suatu sulcus
disebut sulcus tendo musculi tendo perineum dan dilalui tendo otot
peroneus longus dan peroneus brevis.

2.1.2

Sistem Syaraf

Sistem persyarafan pada tungkai atas berasal dari plexus sacralis


mensarafi otot-otot pada sekitar tungkai atas.
Sistem persyarafan tungkai atas
1) Nervus femoralis
Merupakan cabang dari cabang plexus lumbalis. Plexus ini berisi 3
bagian, yaitu plexus anterior yang berasal dari n.Lumbalis (L2-L4).
N.femoralis mensyarafi semua otot ruas anterior paha.
2) Nervus obturatorius
Berasal dari plexus lumbal (L2-4). Berjalan kebawah dan kedepan
pada dinding lateral pelvis untuk mencapai bagian atas foramen
obturatorium, pecah menjadi divisi anterior dan posterior. Divisi
anterior

memberi

cabang-cabang

muscular

pada

m.brachialis,

m.adductor brevis dan m.adductor longus. Divisi posterior mensyarafi


articularis genue dan memberi cabang-cabang muscular kepada
m.obturatorius externus, adductor magnus.
3) Nervus gluteal superior dan inferior
Cabang plexus sacralis meninggalkan pelvis melalui bagian atas
dan bawah foramen ischiadicus majus diatas m.piriformis. Dan bagian
bawah foramen ischiadicus mensyarafi tensorfacialata, m.gluteus
minimus serta gluteus maximus.
4) Nervus ischiadicus
Merupakan cabang plexus sacralis (L4-S3) meninggalkan regio
glutealis menuju kebawah sepanjang caput longum m.biceps femoris.

2.1.3

Sistem Vaskularisasi

Arteri memabawa darah keluar dari jantung menuju tubuh dan arteri
ini selalu membawa darah segar berisi oksigen, kecuali a.pulmonare yang
membawa darah kotor yang memerlukan oksigenasi. Pembuluh darah
arteri pada tungkai antara lain :
1) Arteri femoralis
Memasuki bagian paha melalui bagian lutut belakang dari
ligamentum inguinale dan merupakan lanjutan dari a.iliaca external.
Dan terletak dipertengahan antara SIAS (Spina Iliaca Anterior
Superior) dan symphisis pubis. Arteri femoralis merupakan pemasok
darah utama bagian tungkai, berjalan menuju hampir vertical ke

tuberculum adductor femoralis dan berakhir pada lubang otot magnus


dengan memasuki spatica poplitea sebagai a.poplitea.

2.3 Definisi Fraktur


Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang
rawan umumnya di karenakan rudapaksa (Mansjoer, 2008). Dikehidupan
sehari hari yang semakin padat dengan aktifitas masing- masing manusia dan
untuk mengejar perkembangan zaman, manusia tidak akan lepas dari fungsi
normal musculoskeletal terutama tulang yang menjadi alat gerak utama bagi
manusia, tulang membentuk rangka penujang dan pelindung bagian tubuh dan
tempat untuk melekatnya otot- otot yang menggerakan kerangka tubuh,.
Namun dari aktivitas, fungsi tulang dapat terganggu karena mengalami fraktur.
Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan
sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang
akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap
(Mansjoer, 2008).
Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi diintegritas pada tulang.
Penyebab terbanyaknya adalah insiden kecelakaan, tetapi factor lain seperti
proses degeneratif dan osteoporosis juga dapat berpengaruh terhadap

terjadinya fraktur (Depkes RI, 2011). Kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan
kerja merupakan suatu keadaan yang tidak di inginkan yang terjadi pada
semua usia dan secara mendadak. Berbagai penyebab fraktur diantaranya
cidera atau benturan, faktor patologik,dan yang lainnya karena faktor beban.
Selain itu fraktur akan bertambah dengan adanya komplikasi yang berlanjut
diantaranya syok, sindrom emboli lemak, sindrom kompartement, kerusakan
arteri, infeksi, dan avaskuler nekrosis. Komplikasi lain dalam waktu yang
lama akan terjadi mal union, delayed union, non union atau bahkan
perdarahan (Price, 2005).
2.4 Definisi Fraktur Cruris 1/3 Distal
Fraktur adalah suatu patahan kontinuitas struktur tulang (Appley, 1995).
Cruris berasal dari kata latin yaitu crus atau cruca yang berarti tungkai bawah
yang terdiri dari tulang tibia dan fibula (Ramali, 1987). Sedangkan sepertiga
distal adalah satu benda dibagi menjadi tiga kemudian diambil bagian ujung
bawahnya. Jadi pengertian dari fraktur cruris 1/3 distal adalah suatu patahan
kontinuitas pada struktur tulang tibia dan fibula pada 1/3 bawah
2.5 Etiologi Fraktur
a. Etiologi secara umum.
Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas setruktur tulang.
Patahan tadi mungkin tak lebih dari suatu retakan, suatu penyusutan atau
pengurangan korteks, biasanya patahan itu lengkap dan frakmen tulang
bergeser. Kalau kulit diatasnya masih utuh, kedaan ini disebut fraktur
tertutup atau sederhana, kalau kulit atau salah satu dari rongga tubuh
tertembus, kedaan ini di sebut fraktur terbuka atau compound, yang
cenderung untuk mengalami kontaminasi dan infeksi.(appley, 1995).
Secara umum fraktur disebabkan oleh :
1) Fraktur akibat peristiwa trauma

Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan


berlebihan , yang dapat berupa pemukulan , penghancuran , penekukan ,
pemuntiran , atau penarikan .
2) Fraktur akibat kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang, seperti halnya pada logam dan
benda lain, akibat tekanan yang berulang-ulang. Keadaan ini paling sering
ditemukan pada tibia atau metatarsal, terutama pada atlit, penari dan calon
tentara yang jalan berbaris dalam jarak jauh.
3) Fraktur akibat patologi
Fraktur yang dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang
itu lemah misalnya oleh tumor atau kalau tulangitu sangat rapuh misalnya
pada penyakit paget.
b. Etiologi secara khusus.
Fraktur cruris 1/3 distal disebabkan karena terjadi trauma pada
tungkai bawah akibat benturan dengan benda yang keras, baik benturan
secara langsung maupun tidak langsung. Untuk penanganan fraktur
biasanya dilakukan dengan reduksi. Reduksi adalah usaha dan tindakan
reposisi fragmen-fragmen yang patah agar sedapat mungkin untuk kembali
ke letak normalnya (Carter, 1994). Reduksi terdiri dari dua jenis yaitu
reduksi tertutup dan reduksi terbuka. Reduksi tertutup ditujukan untuk
semua fraktur dengan pergeseran minimal, seperti pada fraktur yang
dialami oleh anak-anak dan pada fraktur yang stabil setelah reduksi.
Sedangkan reduksi terbuka biasanya merupakan langkah awal untuk
tindakan operasi, seperti pemasangan internal fiksasi (Appley, 1995).
Dalam kasus fraktur cruris 1/3 distal, tindakan yang biasa
dilakukan untuk reposisi antar fragmen adalah dengan reduksi terbuka atau
operasi. Ini dilakukan karena pada kasus ini memerlukan pemasangan
internal fiksasi untuk mencegah pergeseran antar fragmen pada waktu
proses penyambungan tulang (Appley, 1995). Dari tindakan operasi ini

akan timbul gangguan paska operasi fraktur cruris 1/3 distal, seperti
timbul oedema dan nyeri, penurunan luas gerak sendi, penurunan nilai
kekuatan otot serta gangguan aktifitas transfer dan ambulasi berupa
ganggua fungsional berjalan. Gangguan tersebut saling berhubungan satu
sama lain dan pasti timbul bila telah dilakukan operasi (Garison, 2001)
2.6 Patologi Fraktur
Penyembuhan tulang pada kasus paska operasi fraktur cruris 1/3 distal
sangat bervariasi tergantung dari usia pasien, banyaknya displacement fraktur,
jenis fraktur, lokasi fraktur, suplai darah pada lokasi fraktur dan kondisi medis
yang menyertai (Garden, 1995). Secara fisiologis, tulang memiliki
kemampuan untuk menyambung kembali setelah terjadi perpatahan pada
tulang. Pada fraktur, proses penyambungan tulang terdiri dari lima tahap yaitu:
a. Haematoma
Dalam 24 jam bekuan darah mulai diorganisaikan. Haematoma
banyak mengandung fibrin yang melindungi tulang yang rusak.
Setelah 24 jam suplai darah ke area fraktur mulai meningkat. Proses ini
memerlukan waktu selama 1 sampai 3 hari (Gartland, 1974).
b. Proliferasi
Terjadi pembentukan granulasi jaringan yang banyak mengandung
pembuluh darah, fibroblast dan osteoblast. Haematoma memberikan
dasar untuk proses penggantian dan penyambungan tulang. Proses ini
memerlukan waktu 3 hari sampai 2 minggu (Gartland, 1974).
c. Pembentukan callus
Terjadi setelah granulasi jaringan menjadi matang. Jika stadium
putus maka proses penyembuhan luka menjadi lama. Pembentukan
callus memerlukan waktu 2 sampai 6 minngu (Gartland, 1974).
d. Ossifikasi
Pada tahap ini, ossifikasi terjadi penyatuan kedua ujung tulang.
Callus

yang

tidak

diperlukan

mulai

direabsorbsi.

Ossifikasi

memerlukan waktu minggu sampai 6 bulan (Gartland, 1974).

e. Remodelling
Pada tahap ini tulang sudah terbentuk kembali. Remodelling
memerlukan waktu 6 minggu sampai 1 tahun (Gartland, 1974).

Proses penyambungan akan dapat terhambat jika pasien kurang


menjaga kondisi pada luka operasi yang bisa mengakibatkan infeksi.
Pada operasi untuk penanganan fraktur cruris 1/3 distal biasanya akan
diikuti dengan kerusakan jaringan lunak, pembuluh darah dan otot.
Perubahan patologi setelah dilakukan operasi adalah:
1) Oedema
Oedem adalah hasil dari peningkatan cairan dijaringan dan
cairan itu sendiri disebut dengan exudates. Ketika efek dari media
kimia seperti histamin maupun pada kasus pasca operasi yang
terjadi karena trauma akan menyebabkan terjadinya proses radang.
Selanjutnya akan terjadi peningkatan permeabilitas membrane
kapiler yang mengakibatkan plasma protein (albumin, globulin dan
fibrinogen) meninggalkan pembuluh darah dan memasuki ruangan
antar sel atau interstitial (Low, 2000)

2) Nyeri
Reaksi nyeri terjadi karena adanya substansi aktif yang
menyebabkan timbulnya nyeri. Pada saat timbul reaksi inflamasi
histamine, akan segera keluar dari eosinophyl, sel mast dan
basiphyl pada pembuluh darah kapiler yang rusak dan dapat
menimbulkan dilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas
(Lachmann, 1988). Vasodilatasi pada pembuluh darah kapiler,
arteri dan vena akan mengeluarkan cairan transudat yang
selanjutnya akan menekan saraf sensoris sehingga timbul nyeri.
Terapi latihan dapat mengurangi nyeri yaitu dengan
menggunakan Active exercise karena dilakukan secara sadar
dengan perlahan lahan hingga mencapai lingkup gerak sendi yang
penuh dan diikuti relaksasi otot yang akan menghasilkan
penurunan nyeri . Gerak dalam mekanisme pengurangan nyeri
dapat terjadi secara reflek dan disadari. Gerak yang dilakukan
sadar secara perlahan dan berusaha hingga mencapai lingkup gerak
penuh dan diikuti dengan rileksasi otot akan menimbulkan
pumping action pada kondisi bengkak sering menimbulkan nyeri,
sehingga akan mendorong cairan mengalir ke proksimal. Gerakan
ini merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang dapat
diaplikasikan untuk mengurangi ketegangan jaringan lunak
termasuk otot dengan rileksasi dari jaringan tersebut.
3) Keterbatasan luas gerak sendi dan penurunan nilai kekuatan
otot
Akibat rasa nyeri tersebut maka pasien cenderung untuk
membatasi gerakan. Hal ini berdampak pada menurunnya luas
gerak sendi dan nilai kekuatan otot. Dalam jangka waktu lama bisa
berpengaruh pada penurunan kemampuan aktifitas fungsional
terutama berjalan. (Appley, 1995).

2.7 Jenis Fraktur Cruris

1) Fraktur intra kapsuler : yaitu terjadi dalam tulang sendi panggul dan
kapsula
a. Melalui kapital fraktur
b. Hanya dibawah kepala femur
c. Melalui leher dari femur
2) Fraktur ektra kapsuler
a. Terjadi di luar sendi dan kapsul melalui trokanter cruris yang lebih
besar atau yang lebih kecil pada daerah intertrokanter
b. Terjadi di bagian distal menuju leher cruris tetapi tidak lebih drai 2
inchi di bawah trokanter terkecil
Selain 2 tipe di atas ada lebih dari 150 klasifikasi fraktur, diantaranya 5 yang
utama adalah :
1. Incomplete

: fraktur yang hanya melibatkan bagian potongan

menyilang tulang satu sisi patah yang lain biasanya hanya bengkok
(a) Hair line fraktur (patah retak rambut)

(b) Bukle fraktur atau torus frakture, bila terjadi lipatan dari
suatu korteks dengan kompresi tulang sepingiola
dibawahnya, biasanya pada distal radius anak-anak
2. Complete

garis

fraktur

melibatkan

seluruh

potongan

menyilang dari tulang dan fragmen tulang biasanya berupa tempat


3. Tertutup (simple)

: fraktur tidak meluas melewati kulit

4. Terbuka (complete)

: fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit

dimana potensial untuk terjadi infeksi


5. Patologis

: fraktur trejadi pada penyakit tulang (seperti kanker,

osteoporosis
Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar Fraktur,
dapat dibagi menjadi :
a. Fraktur tertutup (closed) bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open/compound) bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka
terbagi atas tiga derajat (menurut R. Gustillo), yaitu:

Derajat I: Luka 1 cm, kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulsi,


fraktur kominutif sedang, kontaminasi sedang

Derajat II : Laserasi >1 cm, kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/
avulsi, Fraktur kominutif sedang iv. Kontaminasi sedang

Derajat III : Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi


struktur kulit, otot, dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi.
Fraktur terbuka derajat III terbagi atas:

i.

Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun


terdapat laserasi luas/flap/avulsi atau fraktur segmental/sangat
kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa
melihat besarnya ukuran luka.

ii.

Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau


kontaminasi masif.

iii.

Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa


melihat kerusakan jaringan lunak.

Berdasarkan bentuk garis patah yang hubunganya dengan mekanisme


trauma
Garis patah melintang : trama angulasi langsung.
Garis patah oblik : trama angulasi.
Garis patah sepiral : trauma rotasi.
Fraktur kompresi : trauma aksial-fleksi pada tulang spongiosa.
Fraktur avulasi : trama tarikan / teraksi pasa insersinya di tulang,
misalnya fraktur patella
Berdasarkan jumlah garis patah
Fraktur komunitif : garir patah lebih dari satu dan berhubungan
Fraktur segmental : garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.bila dua garis patah maka disebut juga fraktur bifokal
Fraktur multiple : garis patah lebih dari satu tapi pada tulang yang
berlainan tempatnya, misalnya fraktur femur, fraktur kruris tulang
belakang.
Berdasarkan pergeseran garis fraktur

Fraktur undisplaced (tidak bergeser), garis patah komplit tapi tidak


bergeser, periosteumnya masih utuh.
Fraktur displaced (bergeser) terjadai pergeseran fragmen-fregmen
fraktur yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi :
Dislokasi ad longitodinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overleping)
Dislokasi ad axiam (pergeseran yang membentuk sudut)
Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauhi)
2.8 Patofisiologi

2.9 Manifestasi Klinik


1. Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya, perubahan keseimbangan dan kontur terjadi seperti :
a. Rotasi pemendekan tulang
b. Penekanan tulang

2. Bengkak
Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravasasi darah dalam
jaringan yang berdekatan dengan fraktur
3. Echimosis
Ekstravasasi darah di dalam jaringan subkutan
4. Spasme otot involunter dekat fraktur
5. Tenderness/keempukan
6. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot, berpindahnya tulang dari
tempatnya, dan kerusakan di daerah berdekatan
7. Kehilangan sensasi (mati rasa, terjadi akibat rusaknya persarafan)
8. Pergerakan abnormal
9. Shock hipovolemik akibat perdarahan
10. Krepitasi
2.10

Diagnosis
Menegakkan diagnosis fraktur dapat secara klinis meliputi anamnesis

lengkap dan melakukan pemeriksaan fisik yang baik, namun sangat penting
untuk dikonfirmasikan dengan melakukan pemeriksaan penunjang.
A. Anamnesis
Penderita biasanya datang dengan suatu trauma (traumatic fraktur),
baik

yang

hebat

maupun

trauma

ringan

dan

diikuti

dengan

ketidakmampuan untuk menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus


dilakukan dengan cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah
trauma. Penderita biasanya datang dengan nyeri, pembengkakan,
gangguan fungsi anggota gerak, deformitas, kelainan gerak, krepitasi atau
datang datang dengan gejala-gejala lain.
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya :
-

Syok, anemia atau perdarahan

Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang


belakang atau organ-organ dalam rongga thorax, panggul dan abdomen

Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis (penyakit Paget)

Pada pemeriksaan fisik dilakukan :


-

Look (Inspeksi)
o Deformitas : angulasi (medial, lateral, posterior atau anterior),
diskrepensi (rotasi, perpendekan atau perpanjangan)
o Bengkak atau kebiruan
o Fungsio laesa (hilangnya fungsi gerak)
o Pembengkakan, memardan deformitas mungkin terlihat jelas, tetapi
hal yang penting adalah apakah kulit itu utuh. Jika kulit robek dan
luka memiliki hubungan dengan fraktur, cedera itu adalah cedera
terbuka (compound)

Feel (Palpasi)
Palpasi dilakukan secara hati-hati karena penderita biasanya mengeluh
sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan :
o Temperatur sekitar yang meningkat
o Nyeri tekan; nyeri tekan yang superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
o Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan
secara hati-hati
o Pemeriksaan vasculer pada daerah distal trauma berupa palpasi
a.radialis, a.dorsalis pedis, a.tibialis posterior sesuai anggota gerak
yang terkena. Refilling (pengisian) arteri pada kuku.
o Cedera pembuluh darah adalah keadaan darurat yang memerlukan
tindakan pembedahan

Move (pergerakan)
o Nyeri bila digerakkan, baik gerakan aktif maupun pasif
o Gerakan yang tidak normal yaitu gerakan yang terjadi tidak pada
sendinya

o Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan


nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara
kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada
jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf
C. Pemeriksaan Penunjang
-

Sinar X
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya
fraktur. Walaupun demikian, pemeriksaan radiologis diperlukan untuk
menentukan

keadaan,

lokasi

serta

eksistensi

fraktur.

Untuk

menghindari nyeri serta kerusakan jaringan lunak selanjutnya, maka


sebaiknya kita mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen untuk
imobilisai sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan dengan sinar X harus dilakukan dengan ketentuan Roles
of Two :
o Dua pandangan
Fraktur atau dislokasi mungkin tidak terlihat pada film sinar X
tunggal dan sekurang-kurangnya harus dilakukan 2 sudut pandang
(AP & Lateral/Oblique)
o Dua sendi
Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami fraktur
atau angulasi. Tetapi angulasi tidak mungkin terjadi kecuali jika
tulang yang lain juga patah, atau suatu sendi mengalami dislokasi.
Sendi-sendi di atas dan di bawah fraktur keduanya harus disertakan
dalam foto sinar X

o Dua tungkai

Pada sinar X anak-anak epifisis dapat mengacaukan diagnosis


fraktur. Foto pada tungkai yang tidak cedera akan bermanfaat
o Dua cedera
Kekuatan yang hebat sering menyebabkan cedera pada lebih dari 1
tingkat. Karena itu bila ada fraktur pada kalkaneus atau femur perlu
juga diambil foto sinar X pada pelvis dan tulang belakang
o Dua kesempatan
Segera setelah cedera, suatu fraktur mungkin sulit dilihat, jika raguragu, sebagai akibat resorbsi tulang, pemeriksaan lebih jauh 10-14
hari kemudian dapat memudahkan diagnosis
-

Pencitraan Khusus
Umumnya dengan foto polos kita dapat mendiagnosis fraktur,
tetapi perlu dinyatakan apakah fraktur terbuka atau tertutup, tulang
mana yang terkena dan lokalisasinya, apakah sendi juga mengalami
fraktur serta bentuk fraktur itu sendiri. Konfigurasi fraktur dapat
menentukan prognosis serta waktu penyembuhannya, misalnya
penyembuhan fraktur transversal lebih lambat dari fraktur obliq karena
kontak yang kurang. Tomografi mungkin berguna untuk lesi spinal
atau fraktur kondilus tibia. CT atau MRI mungkin merupakan satusatunya cara yang dapat membantu, potret transeksional sangat penting
untuk visualisasi fraktur secara tepat pada tempat yang sulit.

2.11

Penatalaksanaan Fraktur

A. Non Operatif
a. Reduksi
Adalah terapi fraktur dengan cara menggantungkan kaki dengan tarika
atau traksi
b. Imobilisasi
Imobilisasi dengan menggunakan bidai. Bidai dapat dirubah dengan
gips dalam 7-10 hari, atau dibiarkan selama 3-4 minggu

c. Pemeriksaan dalam masa penyembuhan


Dalam penyembuhan, pasien harus di evaluasi dengan pemeriksaan
rontgen tiap 6 atau 8 minggu. Program penyembuhan dengan latiahn
berjalan, rehabilitasi ankle, memperkuat otot kuadricep yang nantinya
diharapkan akan mengambalikan ke fungsi normal.
B. Operatif
Adapun jenis-jenis operasi yang dilakukan pada fraktur tibia diantaranya
adalah :
1. Open reduction with internal fixation (ORIF)
Biasanya digunakan pada fraktur diafisis tibia yang mencapai ke
matafisis. Keuntungan cara ini yaitu gerakan sendinya menjadi lebih
stabil. Kerugian cara ini adalah mudahnya terjadi komplikasi pada
penyembuhan luka operasi.

2. Fiksasi eksternal
a. Standar
Dilakukan

pada

pasien

dengan

cedera

multiple

yang

hemodinamiknya tidak stabil, dan dapat juga digunakan pada


fraktur terbuka dengan luka terkontaminasi. Dengan cara ini, luka
operasi yang dibuat bisa lebih kecil, sehingga menghindari
kemungkinan trauma tambahan yang dapat memperlambat
penyembuhan.

b. Ring fixators
Ring

fixators

dilengkapi

dengan

fiksator

ilizarov

yang

menggunakan sejenis cincin dan kawat yang dipasang pada tulang.


Keuntungannya adalah dapat digunakan untuk fraktur ke arah
proksimal atau distal. Cara ini baik digunakan pada fraktur tertutup
tipe kompleks.

c. Intramedullary nailing
Cara ini baik digunakan pada fraktur displaced, baik pada fraktur
terbuka atau tertutup. Keuntungan cara ini adalah mudah untuk
meluruskan tulang yang cedera dan menghindarkan trauma pada
jaringan lunak.

3. Amputasi
Dilakukan pada fraktur yang sudah mengalami iskemik, putusnya
nervus tibia dan pada crush injury dari tibia.
2.12

Tanda dan gejala klinis pasca oprasi fraktur cruris 1/3 distal
Pada penderita paska operasi fraktur cruris 1/3 distal akan ditemui

berbagai tanda dan gejala yaitu pasien mengalami oedema pada daerah yang
mengalami fraktur, timbul nyeri pada tungkai bawah akibat oedema dan incisi
paska operasi, keterbatasan luas gerak sendi pada ankle, penurunan nilai
kekuatan otot, gangguan aktifitas berjalan dan bila dilihat dari foto roentgen
akan tampak perpatahan pada tulang tibia fibula
2.13

Komplikasi
Pada pasien paska operasi fraktur cruris 1/3 distal akan timbul
berbagai komplikasi. Komplikasi bisa terjadi karena operasi dan fraktur.
Komplikasi kerena operasi, antara lain: (Appley, 1995).
a. Infeksi
Infeksi timbul karena luka yang tidak steril. Luka itu akan
meradang

dan

mulai

mengeluarkan

cairan

seropurulen,

pemeriksaan contoh cairan ini dapat menghasilkan stafilokokus


atau kuman campuran. Infeksi ini paling sering menyebapkan

osteitis kronis. Keadaan ini tidak mencegah penyatuan fraktur,


tetapi penyatuan akan berjalan lambat dan kesempatan mengalami
fraktur tulang meningkat.
b. Avasculer necrosis
Avasculer necrosis adalah necrosis tulang akibat defisiensi
suplai darah. Komplikasi dini dari cedera tulang, karena iskemia
terjadi selama beberapa jam pertama setelah fraktur atau
dislokasi.tetapi efek-efek klinik dan radiologi tidak terlihat sampai
beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan kemudian.
c. Kerusakan pembuluh darah
Hal ini terjadi sebagai dampak dari incisi yang dilakukan
pada waktu tindakan operasi. Arteri dapat terputus , robek ,
tertekan atau mengalami kontusi , akibat cidera awal atau
sesudahnya akibat fragmen tulang yang lancip . Meskipun tampilan
luarnya normal , intima dapat terlepas dan pembuluh dapat
tersumbat oleh trombus , atau segmen ateri mungkin mengalami
spasme . Efek-efeknya berfariasi mulai dari pengurangan aliran
darah sementara sampai iskemia yang jelas, kematian jaringan dan
gangren perifer.
d. Komplikasi karena fraktur, antara lain:
1) Kekakuan Sendi
Biasanya terjadi setelah fraktur. Kekakuan sendi timbul
karena terdapat oedema dan fibrosis pada kapsul, ligamen
dan otot di sekitar sendi atau perlengketan dari jaringan
lunak satu sama lain atau ke tulang yang mendasari (Rae,
1994).
2) Delayed Union
Delayed union adalah terjadinya penyambungan tulang
yang terlambat yang disebabkan karena infeksi, suplai
darah yang tidak bagus pada fragmen dan adanya gerakan
pada ujung fragmen. (Appley, 1995).

3) Non Union
Non union adalah suatu keadaan di mana fragmen gagal
untuk menyambung walaupun telah dilakukan immobilisai.
Dikarenakan celah yang terlalu lebar dan inter posisi
jaringan. (Appley, 1995).
4) Mal Union
Mal union adalah penyambungan yang tidak sesuai dengan
posisi yang semestinya, seperti angulasi, overlapping dan
rotasi. Dikarenakan tidak tereduksinya fraktur secara cukup,
kegagalan

mempertahankan

reduksi

ketika

terjadi

penyembuhan, atau kolaps yang berangsur-angsur pada


tulang yang osteoporotik atau kominutif. (Appley, 1995).
5) Shortening
Shortening terjadi karena pemendekan pada tulang yang
diakibatkan mal union, loss of bone dan gangguan
epiphysial plate pada anak-anak (Appley, 1995).
2.14

Prognosis
Perkiraan proses perjalanan penyakit merupakan suatu hal yang
penting menginggat langkah-langkah yang dibutuhkan dalam pemberian
terapi dan akan bermanfaat untuk mengetahui bagaimana kelanjutan dari
penyakit atau kelainan yang dialami oleh pasien fraktur.
Prognosis fraktur cruris 1/3 distal dikatakan baik, jika : (1) frakturnya
ringan, (2) bentuk perpatahan simple, (3) tidak ada infeksi, (4) pada daerah
fraktur mempunyai peredaran darah yang lancar, (5) kondisi umum
penderita baik, (6) usia penderita muda (Garrison, 1996), tetapi jika ada
tanda yang berkebalikan dari yang di atas maka prognosisnya jelek.
Pada pemberian terapi latihan secara tepat dan adekuat akan
memberikan prognosis baik dimana (1) quo ad vitam yaitu yang
berhubungan dengan hidup matinya pasien karena pasien telah
menjalankan operasi di mana telah dilakukan reposisi pada fraktur

tersebut, (2) quo ad sanam yaitu menyangkut segi penyembuhan di


prediksi baik, (3) quo ad fungsionam yaitu menyangkut fungsionalnya
yang berhubungan dengan aktifitas keseharian dari pasien adalah baik, (4)
quo ad cosmetikam disebut juga remodeling sehingga dapat berbentuk
seperti semula (Prasetyo Hudoyo, 2002). Selain itu dibutuhkan waktu yang
relatif lama dan latihan yang intensif untuk mengembalikan fungsi secara
optimal.
Waktu yang diperlukan untuk penyembuhan fraktur tulang sangat
bergantung pada lokasi fraktur, juga umur pasien. Rata-rata masa
penyembuhan fraktur :

2.15

Lokasi Fraktur

Masa

Lokasi

Masa

1.Pergelangan

Penyembuhan
3-4 minggu

Fraktur
7.Kaki

Penyembuhan
3-4 minggu

tangan
2.Fibula
3.Tibia
4.Pergelangan

4-6 minggu
4-6 minggu
5-8 minggu

8.Metatarsal
9.Metakarpal
10.Hairline

5-6 minggu
3-4 minggu
2-4 minggu

Kaki
5.Tulang Rusuk

4-5 minggu

11.Jari

2-3 minggu

6.Jones Fracture

3-5 minggu

Tangan
12.Jari Kaki

2-4 minggu

Fisioterapi
fisioterapi yang digunakan untuk penanganan kasus paska operasi
fraktur cruris 1/3 distal dengan terapi latihan statik kontraksi, passif
movment, aktif movement, hold relax, positioning dan latihan jalan. Terapi
latihan

adalah

upaya

pengobatan

yang

pelaksanaannya

dengan

menggunakan latihan-latiahan gerakan tubuh, baik secara aktif maupun


pasif (Kisner, 1996). Terapi latihan ini ditujukan untuk pemeliharaan dan
perbaikan kekuatan, daya tahan otot, kemampuan kardiovaskuler,

mobilitas dan fleksibilitas, stabilitas, rileksasi, koordinasi, keseimbangan


dan kemampuan fungsional (Kisner, 1996).
Terapi latihan yang dapat dilakukan adalah:
1

Static Contraction
Static contraction merupakan kontraksi otot tanpa disertai
perubahan panjang otot dan lingkup gerak sendi. Tujuan static
contraction adalah mengurangi nyeri dengan pumping action
pembuluh darah balik, yaitu terjadinya peningkatan perifer
resistance of blood vessels. Dengan adanya hambatan pada perifer
maka akan didapatkan peningkatan blood pressure dan secara
otomatis

cardiac

output

meningkat

sehingga

mekanisme

metabolisme menjadi lancar, oedema menurun menyebabkan


tekanan ke serabut saraf sensoris juga menurun. Sehingga
menyebabkan nyeri berkurang (Khisner, 1996)
2

Passive Exercise
Passive exercise merupakan gerakan yang terjadi oleh kekuatan
dari luar tanpa diikuti dengan kerja otot. Dalam gerakan ini pasien
dalam keadaan rileks sehingga akan menimbulkan rileksasi pada
otot sehingga nyeri bisa berkurang. Pada waktu pelaksanaan,
biasanya pasien dalam kondisi rileks. Gerakan yang dilakukan
adalah:
a. Relax Passive Exercise
Relax passive exercise yaitu gerakan yang kekuatannya berasal
dari luar tanpa disertai dari kerja otot penderita dan dilakukan
pelan-pelan sampai batas nyeri yang dirasakan pasien. Gerakan
ini bertujuan untuk melatih otot secara pasif, oleh karena
gerakan berasal dari luar atau terapis sehingga dengan gerak
relaxed passive exercise ini diharapkan otot yang dilatih
menjadi rileks, maka menyebabkan efek pengurangan atau
penurunan nyeri akibat incisi serta mencegah keterbatasan
gerak dan elastisitas otot (Khisner, 1996).

b. Force Passive Exercise


Force passive exercise yaitu gerakan yang berasal dari terapis,
dimana pada akhir gerakan disertai dengan forced atau
penekanan, penguluran. Pasien tidak ikut mengerakkan bagian
tubuh yang digerakkan. Selain itu dilakukan penguluran secara
manual yang bertujuan untuk meningkatkan Lingkup Gerak
Sendi (LGS) dengan mengulur jaringan yang kemungkinan
terjadi pemendekan. Tehnik yang perlu diperhatikan adalah
adanya penguluran selama gerakan dan fiksasi yang stabil.
Gerakan ini bertujuan untuk mencegah kontraktur otot disekitar
sendi (Kisner, 1996).
3. Active Exercise
Active exercise yaitu gerak yang dilakukan secara sadar dengan
perlahan-lahan hingga mencapai lingkup gerak sendi yang
penuh dan diikuti relaksasi otot yang akan menghasilkan
penurunan nyeri (Kisner, 1996). Gerak dalam mekanisme
pengurangan nyeri dapat terjadi secara reflek dan disadari.
Gerak yang dilakukan sadar secara perlahan dan berusaha
hingga mencapai lingkup gerak penuh dan diikuti dengan
rileksasi otot akan menimbulkan pumping action pada kondisi
bengkak sering menimbulkan nyeri, sehingga akan mendorong
cairan mengalir ke proksimal. Gerakan ini merupakan salah
satu modalitas fisioterapi yang dapat diaplikasikan untuk
mengurangi ketegangan jaringan lunak termasuk otot dengan
rileksasi dari jaringan tersebut.

Active exercise yang dilakukan pada pasien dengan kondisi


fraktur cruris 1/3 distal, yaitu :
a. Free Active Axercise
Free active exercise yaitu gerakan yang dilakukan oleh adanya
kekuatan otot dan anggota tubuh itu sendiri tanpa bantuan, gerakan
yang dihasilkan oleh karena kontraksi dengan melawan pengaruh
gravitasi

(Basmajian,

1978).

Prinsip

gerakan

ini

yaitu

memanfaatkan kontraksi otot untuk meningkatkan pumping action


pada vena sehingga oedema dapat terbawa oleh aliran vena dengan
kontraksi otot diharapkan terjadi pengaliran cairan oedema oleh

vena menuju jantung sehingga dapat mencegah perlengketan


jaringan lunak dan membantu penyembuhan fraktur (Apley, 1995).
b. Assisted Active Excercise
Assisted active excercise merupakan gerakan yang pelaksanaannya
dengan disangga untuk mengurangi kerja otot. Sanggaan tersebut
bisa berupa tangan terapis, papan licin, sling maupun suspension
(Kisner, 1996). Gerakan ini dapat mengurangi nyeri karena
merangsang rileksasi propioseptif.

c. Resisted Active Excercise


Resisted active excercise merupakan gerakan dengan memberikan
kekuatan

berupa

tahanan

terhadap

otot-otot

yang

sedang

berkontraksi. Ini merupakan salah satu cara untuk memperkuat


otot. Caranya dengan meningkatkan tahanan setiap pemberian
latihan. (Kisner, 1996).
4. Hold Relaxed

Hold relaxed yaitu merupakan salah satu tehnik PNF yaitu metode
untuk memajukan atau mempercepat respon dari mekenisme
neuromuscular

melalui

rangsangan

pada

propioseptor. Dalam

pelaksanaan tehnik hold relaxed sebelum otot antagonis dilakukan


penguluran, otot antagonis dikontraksikan secara isometric melawan
tahanan dari terapis kearah agonis kemudian disusul dengan rileksasi
dari otot tersebut (Yulianto Wahyono, 2002). Dengan adanya kontraksi
yang maksimal dari otot yang memendek akan merangsang golgi
tendon sehingga ketegangan otot dapat berkurang disertai rileksasi
sehingga memudahkan pengguluran terhadap otot. Penguluran otot
yang berulang-ulang membuat sarcomer yang memendek akan
kembali panjang, sehingga fungsi otot dan lingkup gerak sendi (LGS)
dapat bertambah, selain gerakan isometric melawan tahanan juga dapat
mengurangi rasa nyeri pada daerah sekitar fraktur.
5. Positioning
Positioning adalah perubahan posisi pada tungkai yang sakit. Untuk
mengurangi oedema dan nyeri pada ankle, kaki dielevasikan kurang
lebih 30 sampai 45 derajat dengan cara diganjal guling.
6. Latihan Jalan
Agar pasien dapat secara mendiri melakukan ambulasi maka latihan
jalan secara bertahap. Diawali dengan latihan jalan tanpa menumpu
berat badan atau non weigh bearing, baik menggunakan alat bantu
walker maupun ditingkatkan dengan pemakaian kruk, dengan metode
jalan swing yang terdiri dari swing to dan swing through. Latihan ini
bertujuan agar pasien dapat melakukan ambulasi secara mandiri tanpa
bantuan orang lain, walaupun ambulasi masih menggunakan alat
bantu, tanpa menapakkan kaki sebagai penyangga tubuh.

DAFTAR PUSTAKA
Appley, A. Graham, Louis Solomon, 1995; Terjemahan Ortopedi, dan Fraktur
Sistem-Appley; Edisi Ketujuh, Widya Medika, Jakarta.
Basmajian, John, 1978; Therapeutic Exercise; Third Edition, The William and
Wilkins, London.
Chusid, JG, 1993; Neuro Anatomi Korelatif dan Neurologi fungsional. Edisi
Empat, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Data RSO Dr. Soeharso Surakarta, 2005; Jurnal Penderita Fraktur Cruris; RSO Dr.
Soeharso Surakarta.
Garrison, S.J, 1996; Dasar-dasar Terapi Latihan dan Rehabilitasi Fisik;
Terjemahan Hipocrates, Jakarta.
Kim PH, Leopold SS; In brief: Gustilo-Anderson classification. [corrected]. Clin
Orthop Relat Res. 2012 Nov;470(11):3270-doi: 10.1007/s11999-012-23766. Epub 2012 May 9.
Kisner, Carolyn and Lynn Callby, 1996; Therapeutic Exercise Fondation and
Techniques: Third Edition, Fa. Davis Company, Philadelphia.
Mahyudin, Lestari, 2010. Fraktur Diafisis Tibia. (http://www. Belibis17.tk.
Diakses pada 7 September 2014.
Norkin, C.C, Juice and White, 1995; Measurement of Joint Motion a Guide to
Goniometry; Second Edition, F.A Davis Company, Philadelphia.
Rasjad, Chairuddin, 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makassar. Bintang
Lamumpatue.
Sjamsuhidayat R, Jong W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi II. Jakarta: EGC.
Skinner, Harry B, 2006. Current Diagnosis & Treatment In Orthopedics. USA:
The McGraw-Hill Companies.
Smeltzer, Suzanne C. Bare Brenda G. 2001. Buku Ajar Ilmu Bedah Ortopedi
Medikal Bedah Brunner & Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC
Snell, Richard. S, 1998. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Bagian 2.
Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

The Management of Severe Open Lower Limb Fractures; British Orthopaedic


Association (2009)

Anda mungkin juga menyukai