1, Juni 2011
(1)Dosen
(1)Ratna Kautsar
STIKES Insan Insan Se Agung Bangkalan
ABSTRAK
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia berada pada angka 304/100.000 kelahiran hidup berdasarkan Survey Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2005. Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah kehamilan dan 50% kematian
masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama (Saifudin, 2002) salah satu penyebab utamanya adalah perdarahan pasca persalinan (40%) sehingga
perlu dilakukan suatu upaya mengatasi perdarahan pasca salin salah satu caranya yaitu dengan mobilisasi dini.
Penelitian ini penelitian analitik observasional dengan desain cross sectional. Populasi yang diambil adalah semua ibu nifas 24 jam post
partum di BPS Vinsentia Ismijati, SST Surabaya. Data dikumpulkan menggunakan lembar observasi. Sampel pada penelitian ini adalah Total
Populasi dan dilakukan uji statistik dengan chi-square.
Hasil penelitian didapatkan bahwa dari 37 responden yang melakukan mobilisasi dini dengan baik sebanyak 20 (54,1%) responden,
sedangkan mengalami involusi cepat setelah 24 jam post partum sebanyak 24 (64,9%) responden. Dengan uji Chi-Square didapatkan nilai
perhitungan 2 hitung (3,02) dan 2 tabel (3,84). Dengan demikian 2 hitung < 2 tabel maka Ho diterima, artinya tidak ada hubungan antara
mobilisasi dini dengan involusi uteri.
Untuk mempercepat proses involusio uteri, bidan sebagai pemberi asuhan yang terdekat dan terlama bersama klien dapat memberikan
perhatian khusus pada ibu hamil setelah masa nifas diantaranya adalah memberikan informasi tentang mobilisasi dini.
Kata kunci : Mobilisasi Dini, Involusi Uteri
PENDAHULUAN
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia berada pada angka
304/100.000 kelahiran hidup berdasarkan Survey Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2005. Diperkirakan 60%
kematian ibu terjadi setelah kehamilan dan 50% kematian masa
nifas terjadi dalam 24 jam pertama (Saifudin, 2002) dimana
penyebab utamanya adalah perdarahan pasca persalinan (40%)
sehingga perlu dilakukan suatu upaya mengatasi perdarahan
pasca salin, salah satu caranya yaitu dengan mobilisasi dini.
Segera setelah perang dunia II, perubahan penting mulai
terjadi dalam penatalaksanaan masa nifas menuju ke arah
ambulasi dini. Para wanita mengatakan bahwa mereka merasa
lebih kuat dan lebih baik setelah mobilisasi dini (Williams, 2005).
(2)Mobilisasi dini memperlancar pengeluaran lochea sehingga
dapat mempercepat proses kembalinya alat kandungan dan jalan
lahir setelah bayi dilahirkan hingga mencapai keadaan seperti
sebelum hamil (Christina, 1996) yang ditandai dengan penurunan
tinggi fundus uteri dan pengeluaran lochea.
Berdasarkan survey awal yang dilakukan pada bulan Juli
2009 di BPS Vinsentia Ismijati, SST Surabaya terdapat 5 (16,6%)
yang mengalami perdarahan dan 10 (33,3%) ada yang tidak
melakukan mobilisasi dini dengan baik. Hal ini disebabkan karena
perasaan takut terjadi perdarahan, nyeri, takut jahitan lepas atau
ibu-ibu nifas malas melakukan gerakan karena lelah setelah
melahirkan. Akan tetapi petugas kesehatan harus selalu
memberikan motivasi pada ibu nifas untuk melakukan mobilisasi
dini. (2)Apabila penderita terus menerus tiduran atau takut duduk
atau berjalan maka peredaran darah akan kurang lancar, otot-otot
akan pasif dengan demikian mengurangi peredaran zat asam dan
zat-zat makanan dalam tubuh yang sangat diperlukan untuk
memulihkan kesehatan ibu dan pembentukan air susu. Selain itu,
apabila penderita tidak selekas mungkin melakukan mobilisasi
dini bisa terjadi perdarahan post partum akibat otot uterus yang
tidak berkontraksi.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui Hubungan antara
Mobilisasi Dini dengan Involusi Uteri Pada Ibu Nifas di BPS
Vinsentia Ismijati, SST Surabaya.
TINJAUAN PUSTAKA
Involusi Uteri
Peningkatan kadar estrogen dan progesterone
bertanggung jawab untuk pertumbuhan masif uterus selama
masa hamil. Pertumbuhan uterus pada masa prenatal tergantung
pada hyperplasia, peningkatan jumlah sel-sel otot dan hipertropi,
yaitu pembesaran sel sel yang sudah ada. Pada masa
postpartum penurunan kadar hormon hormon ini menyebabkan
adanya autolisis.
Involusi uterus ini dari luar dapat diamati dengan
memeriksa tinggi fundus uteri. Segera setelah plasenta lahir
uterus masuk ke dalam rongga panggul dan fundus uteri dapat
teraba dari dinding perut pertengahan sympisis pusat. Dalam
waktu 2-4 jam setelah persalinan tinggi fundus uteri meningkat
menjadi 2 cm di atas pusat (12 cm di atas sympisis pubis).
Selanjutnya tinggi fundus uteri menurun 1 jari (1 cm) tiap hari.
Pada hari ke-7 post partum tinggi fundus uteri 5 cm di atas
sympisis. Pada hari ke-12 tinggi fundus uteri tidak dapat diraba
lagi melalui dinding perut(3).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Involusi
1. Status Gizi
6. Senam Nifas
(5)Apabila
Umur
Frekuensi
Prosentae (%)
< 20 th
13,5
20-35 th
26
70,3
> 35 th
16,2
Jumlah
37
100
SD/SMP
11
29,7
SMA/SMEA
19
51,4
Akademik/S1
18,9
Jumlah
37
100
Pekerjaan
Frekuensi
Prosentase (%)
IRT
16
43,2
Swasta
15
40,6
Pegawai Negeri
16,2
Jumlah
37
100
20
54,1
Tidak baik
17
45,9
Jumlah
37
100
Tabel 6
Tabel 2
Jumlah anak
Frekuensi
Prosentase (%)
19
51,4
2-3
16
43,2
>4
54
Jumlah
37
100
Tabel 3
24
64,9
Lambat
13
35.1
Jumlah
37
100
Tabel 7
16 (80%)
4 (20%)
20 (100%)
Tidak baik
8 (47%)
9 (53%)
17 (100%)
Jumlah
24 (64,9%)
13 (35,1%)
37 (100%)
Pendidikan
Frekuensi
Prosentase (%)
Tabel 8
Umur
< 20 tahun
Lambat
(%)
5 (100%)
- (0%)
5 (100%)
20-35 tahun
> 35 tahun
17
9 (34,6%)
26 (100%)
(65,4%)
4 (66,7%)
6 (100%)
2 (33,3%)
Jumlah
Tabel 9
Paritas
24
13
(64,9%)
(35,1%)
37 (100%)
15 (78,9%)
4 (21,1%)
19 (100%)
2-3
8 (50%)
8 (50%)
16 (100%)
>4
1 (50%)
1 (50%)
2 (100%)
Jumlah
24 (64,9%)
13 (35,1%)
37 (100%)
7 (63,6%)
4 (36,4%)
11 (100%)
SMA/SMEA
13 (68,4%)
6 (31,6%)
19 (100%)
Akademik/S1
4 (57,1%)
3 (42,9%)
7 (100%)
Jumlah
24 (64,9%)
13 (35,1%)
37 (100%)
11 (68,7%)
5 (31,3%)
16 (100%)
10 (66,7%)
5 (33,3%)
15(100%)
3 (50%)
3 (50%)
6 (100%)
24 (64,9%)
13 (35,1%)
37 (100%)
Hasil perhitungan uji statistik yang menggunakan uji ChiSquare didapatkan hasil nilai perhitungan 2 hitung (3,02) dan 2
tabel (3,84). Dengan demikian 2 hitung < 2 tabel maka Ho
diterima, artinya tidak ada hubungan antara mobilisasi dini
dengan involusi uteri.
PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian di BPS Vinsentia Ismijati, SST
Surabaya terdapat 37 responden, 20 responden yang melakukan
mobilisasi dini dengan baik, 16 responden terjadi involusi cepat.
Proses itu disebabkan karena mobilisasi dini dapat mengurangi
DAFTAR PUSTAKA
Bobak (2004). Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC
Christina, S.I. (1996). Perawatan Kebidanan, Jilid III. Jakarta :
Bhatara Karya Aksara
Martin, Reeider. (1997). Maternity Nursing : Family, Newborn and
Womens. New York
Mary, Hamilton (1995). Dasar-dasar Keperawatan Maternitas.
Jakarta : EGC
Sarwono (2002). Ilmu Kebidanan. Jakarta : Bina Pustaka
Sweet, B. R. (1997). A Test Book For Midwifes. Philaadelhiu. WB
Sauders
Varney, H. (1997). Nurse Midwifery, Second Edition. New Haven,
Connecticut
(1)
Suci Kurniya
Dosen STIKES Insan Se Agung Bangkalan
ABSTRAK
Prevalensi masalah tidur pada lansia cenderung meningkat setiap tahun. Untuk mengatasi hal tersebut dalam proses
keperawatan terdapat terapi relaksasi dan distraksi yang dapat membantu mengurangi masalah dalam pemenuhan kebutuhan
istirahat tidur. Dimana tujuan penelitian ini adalah Menganalisis perbedaan pemenuhan kebutuhan istirahat tidur sebelum dan
sesudah diberi terapi relaksasi dan distraksi pada lansia di Karang Werdha Meidina Bangkalan.
Desain penelitian ini adalah action research tipe pra eksperimental dengan desain the pre test post test design. Jumlah
populasinya 20 dan sample yang digunakan 20 dengan tehnik sampling jenuh. Variabel dalam penelitian ini adalah pemenuhan
kebutuhan istirahat tidur. Data penelitian ini diambil dengan menggunakan kuesioner, uji statistik Wilcoxon Sign Rank Test.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pemenuhan kebutuhan istirahat tidur lansia sebelum diberi terapi relaksasi
dan distraksi adalah 20% (4) baik, 50% (10) cukup, 30% (6) kurang. Sedangkan tingkat pemenuhan kebutuhan tidur lansia
sesudah diberi terapi relaksasi dan distraksi adalah 30% (6) baik, 65% (13) cukup, dan 5% (1) kurang. Dari hasil uji statistik
dengan wilcoxon sign rank test didapatkan hasil p=0,020. Dimana p<0,05 (0,020<0,05) ini berarti ada perbedaan dalam
pemenuhan kebutuhan istirahat tidur sebelum dan sesudah diberi terapi relaksasi dan distraksi pada lansia di Karang Werdha
Meidina Bangkalan.
Tehnik relaksasi dan distraksi dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur seseorang karena dapat mengurangi
ketegangan di otak maupun di otot sehingga stres dapat berkurang dan timbul perasaan tenang dan rileks yang memudahkan
seseorang masuk kekondisi tidur.
Melihat hasil penelitian ini maka pentingnya penerapan tehnih-tehnik keperawatan dalam memberikan asuhan
keperawatan untuk mengatasi masalah pemenuhan kebutuhan istirahat tidur pada lansia sehingga dapat mewujudkan lansia yang
sehat dan bahagia.
Kata kunci : relaksasi distraksi, kebutuhan, istirahat tidur, lansia
ABSTRACT
Prevalence of sleep problem at elderly tend to increase every year. To overcome the mentioned in nurse treatment there
are therapy relaxation and distraction able to decrease the problem of accomplishment a requirement of sleep and rest.
This Research Desain is action research of pre eksperimental type with the pre test post test design. Amount of the
populations is 20 and the samples is 20 technicsly saturated sampling. Variable in this research is accomplishment a requirement
of sleep and rest. This Research result is taken by using quesioner, statistical test use Wilcoxon Sign Rank Test.
Research result indicate that level accomplishment a requirement of rest ans sleep at eldely before given by therapy
relaxation and distraction is 20% ( 4) good, 50% enough, 30% ( 6) less. The level accomplishment a requirement of sleep and
rest at eldely after given by therapy relaxation and distraction is 30% ( 6) good, 65% ( 13) enough, and 5% ( 1) less. Result of
statistical test with Wilcoxon Sign Rank Test got result of p=0,020. Where p<0,05 ( 0,020<0,05) it means there is having
difference of accomplishment a requirement of rest and sleep before and after given by therapy relaxation and distraction at
eldely in Karang Werdha Meidina Bangkalan.
Therapy relaxation and distraction can increase accomplishment a requirement of rest and sleep so stress in muscle and
brain be decrease because by Therapy relaxation and distraction stresses can decrease and can peep out feeling peace and rileks
where it will easy to enter sleep.
See result of this research hence important of applying of nurse treatment in giving treatment upbringing to overcome the
problem of accomplishment a requirement of rest and sleep at eldely so that can realize eldely the healthyness and happy.
Keyword : relaxation distraction, requirement, sleep, rest, eldely.
PENDAHULUAN
Pada zaman modern ini kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang saat ini sangat melelahkan, karena setiap orang
berjuang dan berusaha keras untuk bekerja. Untuk itu kita semua
membutuhkan istirahat untuk melawan kepenatan. Tidur
merupakan istirahat yang paling bermanfaat bagi tubuh dan
pikiran karena selama tidur terjadi proses pembentukan sel-sel
tubuh yang baru, perbaikan sel-sel tubuh yang rusak, waktu bagi
organ tubuh untuk beristirahat maupun untuk menjaga
keseimbangan metabolisme dan biokimiawi tubuh. Selain itu
hormon-hormon penting banyak diproduksi pada saat tidur
sehingga dapat meningkatkan vitalitas dan keseimbangan tubuh.
Oleh karena itu Jonson beranggapan bahwa tidur merupakan
salah satu kebutuhan fisiologis dasar manusia yang perubahan
kesadarannya terjadi secara periodik (Setiyo dan Zulaikah, 2007).
Kebutuhan tidur bervariasi pada masing-masing orang,
pada umumnya seseorang perlu tidur antara 4 sampai 9 jam
selama 24 jam untuk dapat berfungsi secara normal (Linda G.
Copel, 2007). Agar kesehatan tetap terjaga yang perlu
diperhatikan dalam tidur selain kuantitasnya tetapi juga kualitas
dari tidur tersebut. Seseorang dapat dikatakan kebutuhan
tidurnya terpenuhi apabila sudah melalui dua tahap tidur yaitu:
NREM sleep (Non Rapid Eye Movement) tidur dimana mata tidak
bergerak dengan cepat dan REM sleep (Rapid Eye Movement)
tidur dimana mata bergerak dengan cepat waktu mimpi (Dian,
2008).
Berdasarkan data awal yang dilakukan di Karang Werdha
Meidina Bangkalan pada 31 Januari 2009 melalui wawancara
lansung sekitar 5% lansia tidur kurang dari empat jam sehari,
30% mengeluhkan sering terjaga pada malam hari dan 10% sulit
untuk memulai tidur.
Menurut data international of sleep disorder prevalensi
penyebab kurang terpenuhinya kebutuhan istirahat tidur antara
lain: penyakit asma (60%-74%), gangguan pusat pernafasan (5%15%), ketergantungan alkohol (10%), sindroma terlambat tidur
(5%-10%), depresi (65%), demensia (5%), gangguan perubahan
jadwal kerja (2%-5%), gangguan obstruksi saluran nafas (1%2%), penyakit ulkus peptikus (<1%), narcolepsy atau mendadak
tidur (0,03%-0,16%) (Iskandar japardi, 2002).
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adakah perbedaan
pemenuhan kebutuhan istirahat tidur sebelum dan sesudah diberi
terapi relaksasi dan distraksi pada lansia di Karang Werdha
Meidina BangkalaN.
Relaksasi pasif
Relaksasi pasif meliputi: tehnik pengolahan tubuh atau
pikiran yang secara mendalam dan menenangkan yang
dilakukan oleh orang lain.
a. Perlakuan pada tubuh untuk mengendurkan pikiran
b. Perla kuan pada pikiran untuk mengendurkan tubuh
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep terapi relaksasi
Relaksasi adalah hal yang menunjukkan pada pengenduran otototot yang dalam. Sedangkan tehnik relaksasi adalah tehnik
latihan keterampilan mengolah tubuh, menenangkan pikiran dan
menetralkan pengaruh stress (Patricia & Limbreg, 1998).
Menurut Patricia dan Limberg (1998) tehnik relaksasi
dibagi dua macam yaitu:
1. Relaksasi aktif
Relaksasi aktif meliputi: pengolahan tubuh, atau pikiran
yang secara mendalam atau disebut juga sebagai relaksasi
penenangan yang dilakukan diri sendiri.
tehnik relaksasi aktif menurut latihannya sebagai berikut:
Konsep Tidur
Tidur adalah keadaan istirahat normal yang perubahan
kesadaranya terjadi secara periodik. Tidur mempunyai efek
restoratif dan sangat penting bagi kesehatan dan kelangsungan
hidup. Pada umumnya seseorang perlu tidur antara 4 sampai 9
jam selama 24 jam untuk dapat berfungsi secara normal (Linda
G. Copel, 2007).
Tidur oleh Johnson dianggap sebagai salah satu
kebutuhan fisiologis dasar manusia. Tidur terjadi secara alami,
dengan fungsi fisiologis dan psikologis yang melekat merupakan
suatu proses perbaikan tubuh.
Gangguan
utama
dalam
memulai
dan
mempertahankan tidur banyak terjadi dikalangan lansia antara
lain :
1. Insomnia
Insomnia adalah ketidakmampuan untuk tidur walaupun ada
keinginan untuk melakukannya. Lansia rentan terhadap
insomnia karena adanya perubahan pola tidur, biasanya
menyerang tahap 4 dari NREM.
2. Hipersomnia
Hipersomnia dicirikan dengan tidur lebih dari 8-9 jam dalam
sehari dengan keluhan tidur berlebihan.
3. Apnea tidur
Apnea tidur adalah berhentinya pernafasan selama tidur.
Gangguan ini diidentifikasi dengan gejala mendengkur,
berhentinya pernafasan minimal 10 detik, dan rasa kantuk
yang luar biasa pada siang hari. Selama tidur pernafasan
dapat berhenti paling banyak 300 kali dan episode apnea
dapat berakhir dari 10-90 detik.
4.
1.
1. Perubahan kepribadian dan berprilaku seperti: agresif,
menarik diri atau depresi.
2. Rasa capai meningkat.
3. Gangguan persepsi.
4. Halusinasi pandangan dan pendengaran.
5. Bingung dan disorientasi terhadap tempat dan waktu.
6. Koordinasi menurun.
7. Bicara tidak jelas (Erfandi, 2008).
2.
1)
Definisi lansia
Mengikuti definisi secara umum, dikatakan lansia apabila
usianya 65 tahun ke atas (Setianto, 2004). Lansia bukan suatu
penyakit, namun merupakan suatu tahap lanjut dari suatu proses
kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh
untuk beradaptasi dengan stess lingkungan. Lansia adalah
keadaan yang ditandai oleh kegagalan dari seseorang
mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologik
(Pujiastuti, 2003). Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
6.
7.
Imunodefisiensi
Kemampuan respon imun pada setiap orang berbeda dan
perbedaan ini diperbesar bila mereka menjadi tua. Diduga
ada hubungan antara proses penuaan dengan respon imun
(Darmojo B, 2004).
8. Infeksi mudah terjadi
Lansia paling sering terkena infeksi karena pengaruh
lingkungan, perubahan faali pada sistem organ dan sistem
tubuh (Oeswari, 1997).
9. Impaksi
Pada umumnya orang normal buang air besar berkisar
antara 3 kali sehari sampai beberapa kali seminggu.
Frekuensi buang air besar tidak berubah dengan
bertambahnya umur. Namun pada lansia biasanya
mengalami perubahan dalam pola makannya sehingga
kebanyakan lansia mengalami konstipasi karena
kekurangan serat dalam makanan (Oeswari, 1997).
10. Iatrogenesis
Pada golongan lansia berbagai perubahan fisiologik pada
organ dan sistem tubuh akan mempengaruhi tanggapan
tubuh terhadap obat. Berbagai perubahan tersebut
merupakan perubahan dalam hal farmakokinetik,
farmakodinamik, dan hal khusus lain yang merubah prilaku
obat dalam tubuh (Darmojo B, 2004).
11. Insomnia
Faktor usia merupakan faktor terpenting yang berpengaruh
terhadap kualitas tidur, telah dikatakan bahwa keluhan
terhadap kualitas tidur seiring dengan bertambahnya usia.
Pada kelompok lansia banyak dijumpai mengeluh masalah
tidur yang hanya dapat tidur tidak lebih dari lima jam sehari.
Demikian juga lansia banyak mengeluh terbangun lebih
awal dari pukul 05.00 pagi (Wahyudi Nugroho, 2000).
12. Impairment of (gangguan pada:)
Penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman,
komunikasi, konvalensi, dan integritas kulit (Darmojo B,
2004).
Xo
etgtj
Sampel
METODE PENELITIAN
Rumus:
Metode penelitian merupakan cara bagaimana penelitian
dilakukan yang meliputi: desain penelitian, populasi, sample,
besar sample, tehnik sampling, identifikasi variabel, definisi
operasional, pengumpulan dan pengolahan data, etika penelitian,
keterbatasan dan kerangka operasional.
Desain penelitian adalah sesuatu yang sangat penting
dalam penelitian, yang memungkinkan pemaksimalan kontrol
beberapa faktor yang mempengaruhi akurasi suatu hasil
(Nursalam, 2003). Penelitian yang akan dilaksanakan merupakan
action research tipe pra eksperimental dengan desain the pre test
post test design dimana rancangan ini berusaha mencari
X2
N . Z . p . q
n=
d . ( N-1) + Z . p . q
keterangan:
n = Besar sampel
p = Estimator proporsi populasi (0,5)
q = I-P (0,5)
Definisi Operasional
(1,96)
N = Besar unit populasi
d = Derajat kepercayaan = 5% = 0,05
N . Za2 . p . q
n =
d2 . (N-1) + Za2 . p . q
20 x (1,96)2 . (0,5) (0,5)
n
Va
riabel
Definisi
Operasional
Variabel
Univariet:
pemenuh
an
kebutuha
n istirahat
tidur
Suatu kebutuhan
dasar manusia
yang secara
fisiologis dan
psikologis berguna
untuk perbaikan
tubuh dan
merupakan
keadaan istirahat
normal yang
perubahan
kesadarannya
terjadi secara
periodik .
Jenis
perlakuan
: Terapi
relaksasi
= 19,0574462
1,0079
n=
19
Terapi
Distraksi
Parameter
Alat
Ukur
kuesio
ner
Skala
Kriteria
ordinal
1. kurang
(<55%)
2. cukup
(56%75%)
3. baik
(76%100%)
Instrumen Penelitian
Prosedur
Sebelum pengumpulan data dilakukan peneliti mengajukan
permohonan kepada pengurus Karang Werdha Meidhina
Bangkalan dan Puskesmas Bangkalan untuk mendapatkan
persetujuan penelitian, peneliti juga mengajukan permohonan ijin
kepada responden sebagai subyek penelitian.
Setelah mendapat ijin dari pengurus Karang Werdha
Meidina dan Puskesmas Bangkalan serta responden, peneliti
Pengolahan data
2.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian akan diuji dalam dua bagian meliputi data
umum dan data khusus. Data umum berupa gambaran umum
lokasi penelitian dan karakteristik lansia yang meliputi jenis
kelamin, usia, tingkat pendidikan, riwayat pekerjaan, dan status
perkawinan lansia. Data khusus berupa pemenuhan kebutuhan
istirahat tidur sebelum dan sesudah diberi terapi relaksasi dan
distraksi pada lansia yang disajikan dalam bentuk distribusi
frekuensi.
Data umum
Karang Werdha Meidina berada di kabupaten
Bangkalan tepatnya di jalan kemayoran. Dengan batasan sebagai
berikut:
Sebelah barat
: Jalan raya
Sebelah timur
: Rumah penduduk
Sebelah selatan
: Jalan raya
Sebelah utara
: Rumah penduduk
Pekerjaan
Frekuensi
1
2
3
Tidak bekerja
Pensiunan
Wiraswasta/swasta
Jumlah
3
16
0
19
Jenis kelamin
Frekuensi
1
2
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
7
12
19
Persentase
(%)
36,8
63,2
100
Pendidikan
Tidak sekolah
SD
SMP
SMA
Perguruan tinggi
Jumlah
Frekuensi
0
1
5
8
5
19
Persentase (%)
0
5,3
26,3
42,1
26,3
100
Persentase (%)
15,8
84,2
0
100
Status
perkawinan
Tidak kawin
Kawin
Janda/duda
Jumlah
Frekuensi
0
11
8
19
Persentase
(%)
0
57,9
42,1
100
No
1
2
3
Tingkat
pemenuhan
kebutuhan
istirahat tidur
Baik
Cukup
Kurang
Jumlah
Frekuensi
Persentase
(%)
4
9
6
20
21,1
47,4
31,5
100
2.
No
1
2
3
Tingkat
pemenuhan
kebutuhan
istirahat tidur
Baik
Cukup
Kurang
Jumlah
Frekuensi
Persentase
(%)
6
12
1
19
31,5
63,2
5,3
100
No
Sebelum
Sesudah
%
21,
1
31,
5
PEMBAHASAN
Setelah hasil pengumpulan data diproses maka didapatkan
gambaran bahwa terdapat perbedaan tingkat pemenuhan
kebutuhan istirahat tidur sebelum dan sesudah diberi terapi
relaksasi dan distraksi pada lansia di Karang Werdha Meidina
Bangkalan. Adapun pembahasan dari hasil penelitian adalah
sebagai berikut:
Gambaran tingkat pemenuhan kebutuhan istirahat tidur
sebelum diberi terapi relaksasi dan distraksi
47,4
31,5
1
2
63,2
5,3
18.
19.
20.
Saran
1. Bagi peneliti selanjutnya
Diharapkan adanya penelitian yang lebih lanjut tentang
pemenuhan kebutuhan istirahat tidur pada lansia dengan
menggunakan terapi relaksasi dan distraksi ataupun terapi
yang lain pada lansia, dengan menggunakan jumlah sampel
yang lebih representatif dan alat ukur yang telah teruji
validitas dan reliabilitasnya dalam permasalahan yang
serupa.
2. Bagi pelayanan keperawatan
Pelayanan keperawatan hendaknya lebih mampu
menerapakan
tehnih-tehnik
keperawatan
dalam
memberikan asuhan keperawatan untuk mengatasi masalah
kesehatan yang terjadi di lingkungan masyarakat.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
DAFTAR PUSTAKA
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
S.Kep.Ns.,M.Pd
2 Ansori
1 Dosen
2 Mahasiswa
ABSTRAK
Pada umumnya pasien yang ada di unit intensif adalah dalam keadaan yang tidak berdaya, sehingga keluarga pasien datang dengan
wajah bermacam-macam stressor. Hal demikian terjadi karena pelaksanaan komunikasi yang tidak efektif atau kurang baik antara perawat
dengan pasien dan keluarganya sehingga menyebabkan mereka sering kesulitan bekerja sama dengan perawat. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui hubungan komunikasi perawat dengan tingkat kecemasan keluarga yang di rawat yang di rawat ruang ICU Syarifah Ambami
Rato Ebu Bangkalan.
Desain penelitian ini yang digunakan adalah analitik dengan pendekatan penelitian cross sectional. Jenis sampling yang di gunakan
adalah probability sampling dengan tindakan sistematic sampling, jumlah populasi 27 orang keluarga pasien dengan besar sampel 22
keluarga pasien. Variabel independennya adalah komunikasi perawat dan variabel dependennya adalah tingkat
kecemasan keluarga. Cara pengambilan data dengan menggunakan kuesioner. Analisa data dilakukan dengan korelasi spearman.
Dari hasil penelitian menggambarkan (40,9%) komunikasi parawat kurang, dengan tingkat kecemasan keluarga pasien berat yaitu (55,6). Dari
uji spearman rho nilai = 0,007 < derajat kemaknaan = 0,05, menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara komunikasi perawat
dengan tingkat kecemasan keluarga.
Saran yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh perawat, mampu menjalankan komunikasi dengan baik dan tepat dalam
melaksanakan perannya sebagai care giver dalam pelaksanaan asuhan keperawatan dengan menggunakan dirinya secara efektif dalam
melaksanakan asuhan keperawatan profesional.
Kata kunci = komunikasi perawat, kecemasan keluarga
ABSTRACT
In general, patients in the intensive unit is in a state of helplessness, so that the patient's family came to face a variety of stressors. It so
happens because the implementation of the communication was not effective or less well among nurses with patients and their families so
that they often cause difficulties in cooperation with the nurses. The purpose of this study to determine the relationship of anxiety level of
communication with family caregivers who cared for the in-patient ICU room Syarifah Ambami Rato.Ebu Bangkalan
This research design used is analytic approach cross-sectional study. Type of sampling used is a probability sampling with sampling
sistematic action, a population of 27 patients with a large family of 22 samples of the patient's family. The independent variable is the
communication of nurses and the dependent variable is the level of family anxiety. How to capture data using a questionnaire. Analysis of data
was spearmen rho.
From the results of the study describes (40,9%) less parawat communication, with the level of anxiety that is severe the patient's family
(55.6%). From the test spearman rho value = 0.007 < significance degrees = 0,05, showed no significant relationship between anxiety
level of communication with family caregivers
Suggestions that need to be considered and implemented by nurses, capable of running well and proper communication in carrying out
its role as a care giver in the implementation of nursing care by using him effectively in the implementation of professional nursing care.
Keyword = nurse communication, family anxiet
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pasien gawat darurat merupakan seseorang atau banyak
orang yang mengalami suatu keadaan yang mengancam jiwanya
yang memerlukan pertolongan secara cepat, tepat dan cermat
yang mana bila tidak ditolong maka seseorang atau banyak orang
tersebut dapat mati atau mengalami kecacatan. Secara medis
pasien dengan kondisi gawat darurat membutuhkan unit layanan
khusus yang menyediakan fasilitas memadai yaitu intensive care
unit (ICU). Merupakan tempat atau unit tersendiri di dalam rumah
sakit yang menangani pasien-pasien gawat karena penyakit,
trauma atau komplikasi penyakit lain. (Hartono A, 2007)
Penanganan terhadap pasien dengan kondisi gawat
darurat, membutuhkan penanganan ektra, baik penanganan
medis maupun psikologis. (Kaplan, H.I & Soddock, B. J)
Pasien yang dirawat di ICU tidak hanya membutuhkan
tehnologi dan terapi tapi juga memerlukan perawatan humanistik
dari keluarganya. Pada umumnya pasien yang ada di unit intensif
adalah dalam keadaan yang tidak berdaya, hal ini yang
menyebabkan keluarga dari pasien datang dengan wajah yang
merengus dengan bermacam-macam stressor yaitu ketakutan
akan kematian, ketidakpastian hasil, perubahan pola,
kekhawatiran akan biaya perawatan, situasi dan keputusan
antara hidup dan mati, rutinitas yang tidak beraturan,
ketidakberdayaan untuk tetap atau selalu berada disamping
orang yang disayangi sehubungan dengan peraturan kunjungan
yang ketat, tidak terbiasa dengan perlengkapan atau lingkungan
di ruang perawatan, personel atau staf di ruang perawatan, dan
rutinitas ruangan.
Penelitian Sri Asih Rusmini tahun 2002 pada RSU Doris
Sylvanus Palangkaraya didapatkan bahwa perilaku perawat
khususnya dalam berkomunikasi kurang baik. Juga penelitian
yang dilakukan Hj. Indirawaty di RSU Haji Sukolilo Surabaya
bahwa bahwa 74,2 % keluarga pasien yang masuk rumah sakit
mengalami kecemasan karna sikap komunikasi perawat yang
tidak efektif. (Kompas, 2003).
Kecemasan disebabkan oleh komunikasi yang tidak efektif
(Hawari, 2004). Pasien dan orang-orang terdekatnya mungkin
diberi informasi dalam bentuk yang tidak keluarga pasien
mengerti (istilah-istilah medis). Keluarga pasien tidak mampu
untuk cukup asertif untuk meminta penjelasan dan akibatnya
cemas mereka meningkat karena kurangnya pemahaman.
Cemas juga mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
berkonsentrasi, rentang perhatian juga bisa sangat berkurang dan
menyebabkan kurangnya kemampuan mengingat informasi.
Banyak faktor penyebab terjadinya kecemasan dalam diri
pasien dan keluarganya selama pasien di rumah sakit, salah
satunya adalah faktor komunikasi perawat. Keluarga akan
mengalami ansietas (cemas) dan perasaan yang tidak menentu
ketika anggota keluarganya mengalami sakit yang harus dirawat
di rumah sakit yang berada di ruang ICU.
Semua stressor ini menyebabkan keluarga jatuh pada
kondisi krisis dimana koping mekanisme yang digunakan menjadi
tidak efektif dan perasaan menyerah atau apatis dan kecemasan
akan mendominasi perilaku keluarga. Pada saat demikian
perawat kurang atau tidak dapat melaksanakan komunikasi yang
efektif sehingga keluarga akan terus terpuruk dalam situasi yang
demikian dan pada akhirnya asuhan keperawatan yang kita
berikan secara komperhensif dan holistik tidak akan tercapai
dengan baik (Kelliat, 1998).
TINJAUAN PUSTAKA
1.
Konsep ICU
3.
Level II
ICU level II mampu melakukan ventilasi jangka lama,
punya dokter residen yang selalu siap di tempat dan
mempunyai hubungan dengan fasilitas fisioterapi, patologi
dan radiologi.
Bentuk fasilitas lengkap untuk menunjang kehidupan
(misalnya dialisis), monitor invasif (monitor tekanan
intrakranial) dan pemeriksaan canggih (CT Scan) tidak
perlu harus selalu ada.
Level III
ICU Level III biasanya pada rumah Sakit tipe A yang
memiliki semua aspek yang dibutuhkan ICU agar dapat
memenuhi peran sebagai Rumah Sakit rujukan.
Personil di ICU level III meliputi intensivist dengan
trainee, perawat spesialis, profesional kesehatan lain, staf
ilmiah dan sekretariat yang baik. Pemeriksaan canggih
tersedia dengan dukungan spesialis dari semua disiplin
ilmu.
Fungsi ICU
Dari segi fungsinya, ICU dapat dibagi menjadi :
1.
ICU Medik
2.
ICU trauma/bedah
3.
ICU umum
4.
ICU pediatrik
5.
ICU neonatus
6.
ICU respiratorik
Semua jenis ICU tersebut mempunyai tujuan yang sama,
yaitu mengelola pasien yang sakit kritis sampai yang terancam
jiwanya.
ICU di Indonesia umumnya berbentuk ICU umum, dengan
pemisahan untuk CCU (Jantung), Unit dialisis dan neonatal ICU.
Alasan utama untuk hal ini adalah segi ekonomis dan operasional
dengan menghindari duplikasi peralatan dan pelayanan
dibandingkan pemisahan antara ICU Medik dan Bedah.
Etik di ICU
Konsep Kecemasan
c.
Keadaan fisik
a.
b.
Faktor eksternal
Konsep Komunikasi
Komunikasi adalah proses pengoperasian rangsangan
(stimulus) dalam bentuk lambang atau simbol bahasa atau gerak
(non verbal), untuk mempengaruhi perilaku orang lain
(Notoatmodjo, 2003).
Komunikasi adalah peristiwa sosial, peristiwa yang
terjadi ketika manusia berinteraksi dengan manusia lain
(Rakhmat, 2007).
Komunikasi merupakan alat yang efektif untuk
mempengaruhi tingkah laku manusia, sehingga komunikasi
dikembangkan dan dipelihara terus-menerus. Ada empat alasan
yang mengharuskan orang untuk berkomunikasi yaitu :
1. Mengurangi ketidakpastian
Ketidakpastian dapat terletak pada seluruh kehidupan,
segala rencana dan perkiraan yang kadang begitu saja mudah
berubah. Dalam hal ini alat yang ampuh untuk mengatasi
ketidakpastian adalah dengan komunikasi.
2. Memperoleh informasi
Informasi sebagai salah satu pendukung berhasil tidaknya
kebutuhan manusia dan mutlak diperlukan agar dapat bergaul
dalam lingkungan masyarakat.
3.
Menguatkan keyakinan
Dengan diperolehnya informasi sebaai hasil dari
komunikasi akan menguatkan keyakinan untuk melangkah
mencapai tjuan yang diharapkan.
4. Pengungkapan perasaan
Melalui komunikasi dapat diungkapkan perasaan senang
atau tidak terhadap orang lain atau sekelompok orang sehingga
terdapat koreksi bagi orang lain dan diharapkan terjadi hubungan
harmonis terhadap manusia.
Ada 3 (tiga) macam komunikasi (Kariyoso, 1994) :
1.
Komunikasi searah
2.
3.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Rancangan Penelitian
Desain penelitian adalah suatu strategi untuk mencapai
tujuan penelitian yang telah ditetapkan dan berperan sebagai
pedoman atau penuntun peneliti pada seluruh proses penelitian
(Nursalam & Pariani, 2001).
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
Analitik dengan pendekatan Cross sectional, artinya obyek
diobservasi satu kali saja dan pengukuran menggunakan variabel
independen dan dependen di lakukan pada saat pengkajian data,
Metode menggunakan pendekatan kuantitatif yaitu dengan
korelasi dimana analisa digunakan untuk mengetahui hubungan.
(Notoatmodjo, 2010)
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi
Populasi adalah sekelompok subyek atau data dengan
karakteristik tertentu yang akan diteliti (Hidayat, 2003). Pada
penelitian ini populasinya adalah keluarga pasien yang dirawat di
ruang ICU RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan.
Populasi dalam penelitian ini berjumlah 27 orang, pada bulan
desember 2010 yang di tetapkan berdasarkan data estimasi
jumlah rata-rata perbulan.
Dengan kriteria (inklusi) sebagai berikut :
1. Keluarga inti ( ayah, ibu, anak, saudara kandung, suami, istri
)
2. Tidak mengalami gagguan realita, umur 18-55 tahun
3. Keluarga pasien harus berada di ruang ICU selama minimal
12 jam sebelumnya.
Besar Sampel
Dari populasi didapatkan perhitungan sample sebagai
berikut
N x z 2 x p x q
n=
d2 (N-1) + z 2 x p x q
keterangan :
Definisi operasional
27 x 1,962 x 0,5 x 0,5
n=
0,102 x (27-1) + 1,962 x 0,5 x 0,5
25,93
n=
= 21,25
1,22
n = 22
Definisi
Operasiona
l
Proses
penyampai
an pesan
dari
perawat
kepada
keluarga
pasien
yang
dirawat di
ruang ICU
Parameter
Alat
Ukur
Kriteria
Skala
Ukur
Komunikasi perawat
meliputi 3 item yaitu:
1. Sikap perawat
dalam
komunikasi
2. Tehnik
komunikasi
perawat
3. Tahapan
komunikasi
perawat
Kuesio
ner
Terdiri dari
15
pertanyaa
n:
Ordinal
1.
2.
3.
Kecem
asan
keluar
ga
Perasaan
khawatir
yang
Di
alami
keluarga
pasien
yang
di
rawat
di
ruang ICU
Meliputi 14 item:
1. Perasaan cemas
2. Ketergangan
3. Ketakutan
4. Gangguan tidur
5. Gangguan
kecerdasan
6. Persaan depresi
7. Gejala somatik
8. Gejala sensorik
9. Gejala sensorik
10.
Gejala
pernafasan
11.
Gejala gastro
inestinal
12.
Gejala
urogenital
13.
Gejala
vegetatif atau
otonom
14.
Tingkah laku
(sikap) pada
wawancara.
Baik
:
1315
Cuk
up :
8-12
Kura
ng :
<7
Kuesio 1. Cemas
ner
ringan
Denga
jika skor
n
6-14
skala 2. Cemas
HARS
sedang
jika skor
15-27
3. Cemas
berat,
jika skor
> 27
Ordinal
Sumber data
Data yang di peroleh dengan teknik wawancara
menggunakan acuan kuisoner dengan responden pada keluarga
pasien yang di rawat di ruang ICU.
Instrument Penelitian.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuesioner yaitu sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan
untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan
tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui (Arikunto, 2006).
Pengolahan Data
Pengolahan data merupakan suatu proses dalam
memperoleh data ringkasan atau angka ringkasan dengan
menggunakan cara-cara atau rumus-rumus tertentu. Adapun
langkah-langkah dalam melakukan pengolahan data yaitu:
1. Editing (Pemeriksaan Data)
Editing adalah proses pengecekan atau pengoreksian
data yang telah dikumpulkan, karena kemungkinan data yang
dimasukkan (raw data) atau data terkumpul itu tidak logis dan
meragukan. Tujuan editing adalah untuk menghilangkan
kesalahan-kesalahan yang terdapat pada pencatatan di lapangan
atau bersifat koreksi.
2 Coding (Pemberian Kode)
Merupakan kegiatan untuk merubah data berbentuk
huruf menjadi data berbentuk angka atau bilangan.
1) Komunikasi perawat
Baik
:1
Cukup
:2
Kurang
:3
2) Kecemasan keluarga
Cemas ringan : 1
Cemas sedang : 2
Cemas berat : 3
3. Scoring
Pemberian scoring dilakukan untuk variable independent
dan variable dependent dengan langkah peneliti melakukan
observasi
Untuk menentukan kategori komunikasi digunakan
kuesioner dengan 15 pertanyaan, jika dijawab ya skor 1, tidak
skor 0, selanjutnya di kategorikan sebagai berikut:
Baik
: nilai yang di capai 70% - 100%
Cukup
: nilai yang di capai 56% - 70%
Kurang : nilai yang di capai < 55%
Sedangkan untuk kategori kecemasan menggunakan kuesioner
HARS
Score 6-14
:
kecemasan Ringan
Score 15-27
:
kecemasan Sedang
Score >27
:
kecemasan Berat
4. Tabulating
Kegiatan memasukkan data hasil penelitian ke dalam tabel
kemudian diolah dengan bantuan komputer.
HASIL PENELITIAN
Gambaran tempat penelitian
1. lokasi Penelitian
Lokasi pada penelitian ini di laksanakan di Ruang ICU
RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan yang terletak di
samping IRNA B.
2. Fasilitas
Di ruang ICU terdapat 1 kamar untuk pasien dengan
kapasitas 5 Bed medical, 1 ruang untuk perawatan dengan 1
kamar mandi, tiap tempat tidur dilengkapi dengan ventilator dan
monitor pasien dengan 1 parameter, terdapat meja untuk
konsultasi dokter. Di ruangan tersebut tidak terdapat ruang
tunggu untuk keluarga pasien sehingga keluarga pasien
menunggunya di ruangan yang lainya.
3. Sumber Daya Manusia
Di ruangan tersebut terdapat tenaga perawat sebanyak
9 oarang perawat dengan pendidikan terakhir S1 sebanyak 5
orang, D3 sebanyak 4 orang, dan SMA/SPK sebanyak 2 orang.
4. jenis pasien yang di rawat
Jenis pasien yang masuk ICU adalah pasien yang
kedaanya terancam jiwanya sewaktu waktu karena kegagalan
atau disfungsi satu atau multiple organ atau sistem dan masih
ada kemungkinan dapat di sembuhkan kembali melalui
keperawatan, pemantauan dan pengobatan intensif.
Pasien yang ada di rungan tersebut kebanyakan
kiriman dari ruangan yang lainya, baik dari rawat inap maupun
langsung dari IRD, pasien yang yang di kirim harus di setujui oleh
dokter dari runagan yang telah mengirimnya dan pasienya harus
mengalami kritis.
Data Khusus
Di dalam poin ini akan menjelaskan tentang data
khusus responden yang meliputi variabel Independen (Komuniasi
Perawat) dan variabel Dependen (Kecemasan Keluarga.)
1. Komunikasi Perawat
Tabel 1 : Distribusi Frekuensi Pelaksanaan Komunikasi Perawat
di Ruang ICU RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu
Bangkalan tahun 2011
Komunikasi perawat
Frekuensi
Persentase
(%)
Baik
6 orang
27,3
Cukup
7 orang
31,1
Kurang
9 orang
40,9
Total
22 orang
100
Berdasarkan tabel 1 di atas dari 22 orang rata-rata
responden mengatakan komunikasi perawat adalah kurang yaitu
sebanyak 9 orang (40,9%).
Pearson
Correlation
Kecemasan
Keluarga
1
Sig. (2-tailed)
.007
N
Kecemasan
Keluarga
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
.560**
22
22
.560**
.007
22
22
b)
c)
Bagi perawat
Diharapkan perawat mampu menjalankan komunikasi
dengan baik dan tepat dalam melaksanakan perannya
sebagai care giver dalam pelaksanaan asuhan keperawatan
dengan menggunakan dirinya secara efektif dalam
melaksanakan asuhan keperawatan profesional.
Bagi pasien dan keluarga
Pasien dan keluarga dapat menerima informasi yang
diberikan oleh perawat melalui komunikasi yang dilakukan
oleh perawat kepada pasien dan keluarganya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
5.
6.
7.
8.
9.
18.
4.
19.
2.
3.
penelitian
D
ahmat, Jalaluddin. (2007). Psikologi komunikasi.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
21. Stuart, Gail W., & Sandra J. Sunden. (1998). Buku saku
keperawatan jiwa (edisi 3). Jakarta: EGC.
22. Suprajitno. (2004). Asuhan keperawatan keluarga:
aplikasi dalam praktik/penulis. Jakarta: EGC.
PENDAHULUAN
Populasi penduduk usia lanjut (usila) di dunia terus meningkat
tanpa disadari. Dengan adanya kemajuan teknologi kedokteran,
perbaikan pelayanan kesehatan, dan gizi yang lebih baik, maka
mereka hidup lebih lama dari sebelumnya khususnya di negara
maju sehingga usia harapan hidup (UHH) meningkat dua kali lipat
dari 45 tahun di tahun 1900 menjadi 80 tahun di tahun 2000 1.
Sementara itu dalam dua dekade terakhir ini terdapat
peningkatan populasi penduduk usia lanjut (usila) di Indonesia.
Proporsi penduduk usila di atas 65 tahun meningkat dari 1,1%
menjadi 6,3% dari total populasi. Dalam 20 tahun terakhir ini ada
peningkatan 5,2% penduduk usila di Indonesia pada tahun 1997.
Hal itu mencerminkan bahwa proporsi penduduk usila akan
meningkat dua kali pada tahun 2020 menjadi 28,8 juta atau
11,34% dari seluruh populasi 2. Fenomena terjadinya
peningkatan itu disebabkan oleh perbaikan status kesehatan
akibat kemajuan teknologi dan penelitian-penelitian kedokteran,
transisi epidemiologi dari penyakit infeksi menuju penyakit
degeneratif, perbaikan status gizi yang ditandai peningkatan
kasus obesitas usila daripada underweight, peningkatan Usia
Harapan Hidup (UHH) dari 45 tahun di awal tahun 1950 ke arah
65 tahun pada saat ini, pergeseran gaya hidup dari urban rural
lifestyle ke arah sedentary urban lifestyle, dan peningkatan
income per kapita sebelum krisis moneter melanda Indonesia.
Peningkatan jumlah manula mempengaruhi aspek kehidupan
mereka seperti terjadinya perubahan- perubahan fisik, biologis,
psikologis, dan sosial sebagai akibat proses penuaan atau
munculnya penyakit degeneratif akibat proses penuaan tersebut.
Secara signifikan orang tua mengalami kasus mortalitas dan
morbiditas lebih besar daripada orang muda. Kerentanan orang
tua terhadap penyakit disebabkan oleh menurunnya fungsi
sistem imun tubuh.
Untuk memahami terjadinya perubahan respons imunitas tubuh
pada orang tua dibutuhkan suatu kajian mendalam tentang
sistem imun yaitu salah satu sistem tubuh yang dipengaruhi oleh
proses penuaan (aging). Ilmu yang mempelajari sistem imun
pada kelompok lansia (elderly) disebut Immuno-gerontologi. Ilmu
ini sebenarnya relatif baru dan memiliki banyak temuan- temuan
baru di dalamnya seperti yang akan diulas dalam makalah ini.
2. Isi
Pengaruh Aging terhadap Perubahan Sistem Imun Tubuh
Sistem imunitas tubuh memiliki fungsi yaitu membantu perbaikan
DNA manusia; mencegah infeksi yang disebabkan oleh jamur,
bakteri, virus, dan organisme lain; serta menghasilkan antibodi
(sejenis protein yang disebut imunoglobulin) untuk memerangi
serangan bakteri dan virus asing ke dalam tubuh. Tugas sistem
imun adalah mencari dan merusak invader (penyerbu) yang
membahayakan tubuh manusia.
Fungsi sistem imunitas tubuh (immunocompetence) menurun
sesuai umur. Kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi
menurun termasuk kecepatan respons imun dengan peningkatan
usia. Hal ini bukan berarti manusia lebih sering terserang
penyakit, tetapi saat menginjak usia tua maka resiko kesakitan
meningkat seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan autoimun,
Virus :
- pneumonia
-infeksi saluran
kencing/kandung kemih
- endocarditis
- diverticulitis
- meningitis
- TBC
- ulcer/tukak lambung
dikaitkan dengan
penurunan sirkulasi
- influenzae
- herpes zoster
7.
Penutup
9.
8.
10.
Ade Pratama
(2)Marniyah
(1)Mahasiswa
(2)
Dengan berkembangnya zaman menjadi globalisasi menyebabkan pola hidup masyarakat menjadi masyarakat modern dimana
masyarakat menjadi konsumtif yang banyak mengkonsumsi bahan-bahan kimia dan pola hidup yang selalu praktis sehingga timbul penyakit
kardiovaskuler. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan menganalisis hubungan pola makan dengan kejadian hipertensi di Poliklinik Penyakit
Dalam RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan.
Metode penelitian yang digunakan adalah analitik dengan desain penelitian cross sectional. Populasinya adalah sebanyak 55
pasien hipertensi dengan jumlah sampel 48 orang diambil secara Simple Random Sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner,
kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi. Selanjutnya dianalisa dengan menggunakan uji statistik Rank Spearman
dengan = 0,05.
Hasil penelitian menunjukkan pola makan penderita hipertensi yang baik sebesar 8,33%, pola makan sedang sebesar 60,42%, dan
pola makan yang tidak baik sebesar 31,25%. Sedangkan tingkat hipertensinya yaitu 6,25 mengalami pra hipertensi, 64,58 mengalami
hipertensi derajat 1, dan 29,17% mengalami hipertensi derajat 2. Sedangkan hasil uji statistik Spearman Rank diperoleh P = 0,000 = 0,005
sehingga H1 diterima.
Kesimpulannya ada hubungan pola makan dengan kejadian hipertensi di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Syarifah Ambami Rato
Ebu Bangkalan Tahun 2011. Sehingga perlu disasrankan adanya suatu program dari institusi pelayanan yang dapat mengatasi kejadian
hipertensi di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan, serta perlu diadakannya kegiatan penyuluhan kepada
masyarakat tentang bagaimana menjaga pola makan yang baik. Selain itu hendaknya bagi penderita dapat mematuhi aturan diet bagi
penderita hipertensi dan dapat menerapkan pola hidup sehat dan gizi seimbang.
Kata kunci : Pola Makan, Hipertensi
ABSTRACT
With growing of globalization make to a lifestyle of modern society into a society where a consumer society that consumes a lot of
chemicals and lifestyle are always practical causing cardiovascular disease. This research to analyzing the correlations between diet with the
incidence of hypertension in the Poliklinik penyakit dalam Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan Hospital.
Used by research method is analytic reseacrh, by the design research cross sectional . Population is 55 hypertention patient with
amount of sample 48 one who is taken by simple random sampling. Technique data collecting by questionnaire. Then is processed an
presented in the form of frequency distribution. Test statistic with rank spearman test with =0,05.
The results showed that the good diet of hypertensive patients both at 8.33%, the maesureable diet was at 60.42%, and diet is not
good at 31.25%. 6.25 While the level of hypertension that have pre hypertension, 64.58 degrees 1 had hypertension, and 29.17% had
hypertension degrees 2. While the statistical test results obtained by Spearman Rank P = 0.000 = 0.005 so that H1 is received.
The conclusion there is correlations between diet with the incidence of hypertension in the Poliklinik penyakit dalam Syarifah
Ambami Rato Ebu Bangkalan Hospital. Thus need advised there is a program of service institutions that can decrease the incidence of
hypertension in the Poliklinik penyakit dalam Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan hospital , and need the holding of activities to education the
public about how to maintain a good diet. further ,hypertensions patient should be able to comply with the rules of diet for hypertension patient
and can implement a healthy lifestyle and balanced nutrition.
Keyword : Diet, Hypertension
PENDAHULUAN
Penyakit kardiovaskuler yang sering terjadi pada
masyarakat yaitu penyakit hipertensi. Hipertensi sering kali
disebut dengan pembunuh gelap (silent killer), karena termasuk
penyakit yang mematikan tanpa disertai gejala-gejala telebih
dahulu sebelum serangan (Sustrany dkk, 2005). Banyak faktor
yang berpengaruh terhadap timbulnya penyakit hipertensi.
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat diklasifikasikan
menjadi dua yaitu hipertensi primer yang disebabkan oleh gaya
hidup modern, genetika, pola makan yang salah, obesitas, usia,
kehamilan, dan stres. Sedangkan hipertensi
sekunder
disebabkan oleh penyakit lain misalnya gangguan hormonal,
penyakit jantung, diabetes, ginjal, penyakit pembuluh darah atau
berhubungan dengan kehamilan. Penyebab terbesar pada
umumnya adalah hipertensi primer. Pola makan seseorang dapat
dipengaruhi oleh salah satu dari Teori Lawrence Green yaitu
faktor predisposisi yang terwujud dalam pengetahuan,sikap,
kepercayaan, keyakinan,dan nilai-nilai (Notoatmojo, 2003). Para
pakar menemukan faktor makanan modern sebagai penyebab
utama terjadinya hipertensi misalnya bahan pengawet, pewarna,
MSG (Mono Sodium Glutamat) yang bisa disebut penyedap rasa,
penggunaan garam dapur secara berlebihan, makanan siap saji,
lemak dan minyak yang dapat menyebabkan penyempitan
pembuluh darah. Konsumsi minuman yang mengandung kafein
misalnya kopi dan teh juga dapat meningkatkan tekanan darah
karena sifat kafein yang dapat mempengaruhi cara kerja jantung
dalam memompa darah (8).
Berdasarkan riset kesehatan dasar kesehatan
(riskedas) 2007 prevalensi hipertensi di Indonesia sangat tinggi,
yaitu mencapai 37,1 persen dari total jumlah penduduk dewasa.
Jumlah hipertensi itu lebih tinggi dibanding dengan Singapura
yang mencapai 27,3 persen, Thailan 22,7 persen, dan Malaysia
yang hanya mencapai 20 persen. Sedangkan data di RSUD
Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan selama tahun 2010,
jumlah kunjungan pasien hipertensi yang memeriksakan diri ke
poliklinik penyakit dalam RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu
Bangkalan pada tahun tersebut berjumlah 1147 orang.
Pola makan yang buruk dapat menyebabkan masalah
gizi ganda yaitu masalah gizi lebih dan masalah gizi kurang.
Selain itu pola makan yang buruk juga merupakan faktor utama
yang dapat menyebabkan hipertensi. Dan komplikasi yang
ditimbulkan hipertensi itu sendiri yaitu rusaknya organ-organ
tubuh yang sering rusak antara lain otak, mata, jantung,
pembuluh arteri, dan ginjal (4).
Penyakit hipertensi sebenarnya merupakan penyakit
yang dapat dicegah bila faktor resiko dapat dikendalikan. Upaya
tersebut meliputi monitoring tekanan darah secara teratur,
program hidup sehat tanpa asap rokok, peningkatan aktifitas
fisik,pola makan teratur (rendah lemak dan rendah garam). Hal ini
merupakan kombinasi upaya mandiri oleh individu/masyarakat
dan didukung oleh program pelayanan kesehatan yang ada,
misalnya seperti program penyuluhan kepada masyarakat. Hal ini
merupakan salah satu upaya meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang bahaya penyakit hipertensi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Hipertensi di Poliklinik
Penyakit Dalam RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Perilaku
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik
yang dapat diamati langsung maupun yang tidak bisa diamati
oleh pihak luar. Perilaku itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu perilaku tertutup (covert behavior) dan perilaku
terbuka (overt behavior)(5).
a. Perilaku tertutup (covert behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
terselubung atau tertutup. Respon atau reaksi terhadap
stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi,
pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada
orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum
dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
b. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus
tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek,
yang dengan mudah dapat diamati dan dilihat oleh orang
lain.
A. Perilaku kesehatan
Perilaku kesehatan adalah suaatu respon seseorang
(organisme) terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan
sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan
minuman, serta lingkungan.
Perilaku kesehatan dapat dibedakan menjadi tiga
kelompok yaitu :
1. Perilaku
pemeliharaan
kesehatan
(health
maintanance)
2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau
fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut
perilaku pencarian pengobatan (health seeking
behavior)
B. Perubahan (adopsi) perilaku dan indikatornya
Perubahan atau adopsi perilaku baru adalah suatu proses
yang kompleks dan memerlukan waktu yang relative lama.
Secara teori perubahan perilaku atau seseorang menerima atau
mengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya melalui tiga tahap
yaitu pengetahuan, sikap, dan praktek atau tindakan.
Menurut teori Lawrence Green, perilaku dapat dipengaruhi
oleh tiga faktor yaitu :
1. Faktor predisposisi yang terwujud dalam pengetahuan,
sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan
sebagainya.
2. Faktor pendukung yang terwujud dalam lingkungan
fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas
kesehatan.
3. Faktor pendorong yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain,
yang merupakan kelompok referensi dari perilaku
masyarakat.
2. Konsep Pola Makan
Banyak penyakit berat bersumber dari makanan atau pola
makan yang salah. Seperti hipertensi, asam urat, ginjal,
kolesterol, dan kanker. Makanan memang erat kaitannya dengan
kondisi kesehatan.
Perubahan gaya hidup dan perilaku makan telah
menimbulakan masalah gizi ganda yaitu masalah gizi lebih dan
gizi kurang dengan berbagai resiko penyakit yang ditimbulkannya.
Upaya menanggulangi masalah gizi ganda adalah membiasakan
hidup sehat dan teratur serta mengkonsumsi makanan sehari-hari
dengan susunan zat gizi yang seimbang berdasarkan 13 pesan
Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS).
A. Jenis Hipertensi
Menurut Mansjoer, 2001 hipertensi dapat dikelompokkan
menjadi dua golongan, yaitu :
a. Hipertensi primer atau hipertensi esensial
Hipertensi primer adalah peningkatan tekanan darah
diatas normal dimana tidak diketahui penyebabnya.
Sekitar 90% penderita menunjukkan meningkatnya
tekanan darah mempunyai penyebab yang tidak jelas
untuk hipertensi.
Menurut Sustrani dkk, 2005 banyak sekali faktor
yang dapat menyebabkan hipertensi primer, antara lain :
1. Gaya hidup modern
2. Pola makan yang salah
3. Obesitas
4. Genetik
5. Usia
6. Jenis kelamin
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah peningkatan
tekanan darah yang dapat diketahui penyebebnya,yaitu
disebabkan oleh penyakit lain(11)..
Hipertensi sekunder dapat disebabkan oleh
berbagai kondisi, antara lain :
1. Hipertensi renalis
2. Hipertensi renovaskular
3. Sindrom cushing
4. Hiperaldosteronisme primer
5. Feokromositoma
B. Klasifikasi tekanan darah
Klasifikasi tekanan darah menurut National Institute of
Health, Lembaga Kesehatan Nasional di Amerika
mengklasifikasikan sebagai berikut :
Tekanan sistolik :
a. 110 mmHg : normal
b. 120-139 mmHg
: pra hipertensi
c. 140-159 mmHg
: hipertensi derajat 1
d. 160 mmHg : hipertensi derajat 2
Tekanan diastolik :
a. 70 mmHg : normal
b. 80-89 mmHg : pra hipertensi
c. 90-99 mmHg : hipertensi derajat 1
d. 100 mmHg : hipertensi derajat 2 (Lanny dkk, 2005)
C. Gejala klinis
1. Hipertensi primer
Gejala seperti sakit kepala, epistaksis,pusing, dan
migren dapat ditemukan sebagai gejala klinis hipertensi primer
meskipun tidak jarang yang tanpa adanya gejala
Pada penelitian tidak didapatkan korelasi antara
tingginya tekanan darah dan gejala yang timbul. Gejala lain yang
disebabkan komplikasi hipertensi seperti gangguan penglihatan,
gangguan neurologi, gagal jantung, dan gangguan fungsi ginjal.
Gagal jantung dan gangguan penglihatan ini sering dijumpai pada
hipertensi berat atau maglina yang umumnya juga disertai oleh
gangguan fungsi ginjal bahkan gagal ginjal.
2. Hipertensi sekunder
Gejala atau menifestasi klinis yang timbul pada
hipertensi sekunder adalah berbeda-beda, dimana tergantung
pada jenis hipertensi sekundernya.
a. Hipertensi renalis gejalanya dapat ditemukan dengan tes
yang spesifik yaitu peningkatan ureum dan kreatinin.
b. Hipertensi renovaskular gejala atau menifestasi klinisnya
sangat bervariasi, tergantung pada gambaran
HASIL PENELITIAN
1. Data Pola Makan Responden
Tabel 6 Distribusi Pola Makan Pasien Hipertensi di Poliklinik
Penyakit Dalam RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan
Tingkat
Frekuensi
Persentase (%)
Pola Makan
Pola Makan Baik
4
8,33
Pola Makan Sedang
29
60,42
Pola Makan Tidak Baik
15
31,25
Total
48
100
Sumber: Data Primer 2011
Secara umum pola makan yang salah diterapkan oleh para
pasien hipertensi, diantaranya dalam mengkonsumsi makanan
dan mengolah makanan itu sendiri. Misalnya, pemakaian garam
yang berlebihan, pemakaian penyedap rasa yang berlebihan, dan
cara penggunaan minyak goreng yang tidak baik. Oleh karena itu
konsumsi lemak yang dikonsumsi cukup tinggi.
Menurut teori Lawrence Green pola makan (prilaku)
seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu salah satunya
faktor predisposisi yang terdiri dari pengetahuan, sikap
kepercayaan, keyakinan, dan lain-lain. Menurut Emilia, 2003
bahwa berdasarkan kemudahan proses pencernaan, lemak
dibagi menjadi 3 yaitu : lemak yang mengandung asam lemak tak
jenuh ganda, asam lemak tak jenuh tunggal, dan asam lemak
jenuh. Asam lemak tak jenuh ganda dan asam lemak tak jenuh
tunggal mudah dicerna dan berasal dari sumber pangan nabati
(kecuali minyak kelapa). Sedangkan asam lemak jenuh tidak
mudah dicerna yang berasal dari sumber pangan hewani, dimana
pengkonsumsian lemak hewani yang berlebihan dapat
menyebabkan penyempitan pembuluh darah arteri dan penyakit
jantung koroner.
2. Data Tingkat Hipertensi Responden
Tabel 7 Distribusi Tingkat Pasien Hipertensi di Poliklinik Penyakit
Dalam RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan
Tingkat Hipertensi
Frekuensi
Persentase (%)
Pra Hipertensi
3
6,25
Hipertensi Derajat 1
31
64,58
Hipertensi Derajat 2
14
29,17
Total
48
100
Sebagian besar responden mengalami hipertensi derajat
1 yang disebabkan oleh pola makan sedang. Hal ini tidak
menutup kemungkinan adanya beberapa faktor yang
menyebabkan hipertensi tersebut seperti usia, jenis kelamin, dan
lain-lain.
Menurut Sustrani dkk, 2005 yaitu hipertensi disebabkan
oleh beberapa faktor diantaranya gaya hidup modern, pola makan
yang salah, obesitas, genetik, usia, dan jenis kelamin.
Faktor gaya hidup modern, dalam gaya hidup modern
dimana orang lebih mengutamakan kesuksesan, kerja keras,
dalam situasi penuh tekanan, dan stress berkepanjangan adalah
hal yang paling umum terjadi. Dalam kondisi tertekan, adrenalin
dan kortisol dilepaskan ke aliran darah sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan darah agar tubuh siap untuk bereaksi.
Disamping itu, gaya hidup modern yang penuh kesibukan juga
dapat membuat orang kurang berolah raga yang juga dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah.
Pola makan yang salah. Para pakar telah menemukan
faktor makanan modern sebagai penyebab terjadinya hipertensi.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
(1)Faridah
Prodi Ilmu Keperawatan STIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRAK
Pemilihan waktu yang tepat untuk toilet training akan memberi dampak keberhasilan pada anak. Masih tingginya angka
kejadian ngompol pada anak pra sekolah disebabkan kurang berhasilnya orang tua mengajarkan penggunaan toilet. Tujuan
penelitian untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan sikap orang tua tentang toilet training dengan tingkat keberhasilan
penggunaan toilet pada anak usia 3 tahun.
Jenis penelitian ini observasional desain penelitian analitik dengan pendekatan Cross Sectional. Jumlah populasi 40
orang dan besar samplenya 36 orang yang dilakukan melalui simple randem sampling. Data penelitian ini diambil dengan kuesioner
tertutup. Setelah ditabulasi data yang ada dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Spearman Rank dengan tingkat kemaknaan
0,05.
Hasil penelitian menunjukkan hampir seluruhnya pengetahuan orang tua pada kategori baik yaitu sebanyak 24 orang
(66,7%) kemudian kategori kurang sebanyak 6 orang (16,7%). Hampir seluruhnya sikap orang tua baik sebanyak 16 orang (44,4%)
kemudian kategori kurang sebanyak 8 orang (22,2%) Hampir seluruhnya toilet training berhasil sebanyak 18 orang (50,0%),
sebagian kecil tidak berhasil 8orang (22,2%). Sedangkan dari hasil pengujian statistik diperoleh hasil ada hubungan tingkat
pengetahuan orang tua dengan keberhasilan penggunaan toilet training dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,031. dan nilai
sikap orang tua dengan keberhasilan dengan signifikan 0,001 dimana (P < 0,05).
Hasil penelitian ini menjadi perlu adanya peningkatan pengetahuan orang tua terutama penggunaan toilet agar dapat meningkatkan
keberhasilan dalam penggunaan toilet dan mengurangi angka kejadian ngompol pada anak, oleh karena itu perawat perlu
memberikan penyuluhan kepada orang tua tentang bagaimana cara mengajarkan toilet training.
Kata kunci : pengetahuan, sikap, toilet training
PENDAHULUAN
Anak membutuhkan persiapan baik secara fisik, psikologis
maupun secara intelektual, agar anak mampu mengontrol buang air
kecil atau besar secara mandiri (Hidayat, 2005). Cara orang tua
mendidik anaknya agar terbiasa untuk dapat pipis dan buang air
besar (BAB) atau toilet training adalah dengan mengenalkan dan
membiasakan si kecil untuk buang air kecil (BAK) dan BAB di toilet,
mengajari anak untuk mengatakan bahwa ia akan BAK atau BAB,
kurangi minum sebelum anak tidur, membawa si kecil ke toilet pada
waktu-waktu akan BAK (misal bangun tidur) dan ajari menggunakan
toilet. Istilah yang digunakan adalah tatur, pujilah anak jika berhasil
dan jangan tergesa dimarahi jika melakukan kesalahan (Asti, 2008).
Beberapa anak mencapai kontrol buang air kecil atau kontrol
buang air besar lebih awal pada usia 18 sampai 24 bulan akan tetapi
toilet training harus dimulai ketika anak telah memperlihatkan tanda
kesiapan sehingga pelatihan buang air besar biasanya dilakukan
pada saat anak berumur 2-3 tahun, sedangkan pelatihan buang air
kecil dapat dilakukan pada usia 3-4 tahun. Dikarenakan kontrol buang
air besar sering kali lebih cepat dikuasai daripada kontrol buang air
kecil sehingga pada kenyataannya akan lebih sering dijumpai
permasalahan buang air kecil dari pada buang air besar, kegagalan
tidak dapat menahan keluarnya air kencing disebut enuresis
(Anonymous, 2001).
Suatu survei di Indonesia didapatkan prevalensi enuresis
sekitar 30% anak berusia 4 tahun, 10% anak berumur 6 tahun, 3%
anak berumur 12 tahun sedangkan di negara Eropa dan Amerika
Utara menunjukkan bahwa enuresis didapatkan 15% pada anak
berusia 5 tahun, 7% pada anak berusia 10 tahun, 1-2% pada anak
berusia 15 tahun. Hal ini disebabkan terlambatnya proses
pendewasaan, kelainan fisik, masalah psikologis, maturasi cerebral
pada anak perempuan lebih cepat dari pada anak laki-laki. Oleh
karena itu, insiden pada anak laki-laki menyebabkan lebih banyak dari
pada anak perempuan. (Hansakunachai, 2005).
Dampak kegagalan dalam toilet training memberikan pengaruh
pada anak sehingga anak tidak percaya diri, rendah diri, malu,
hubungan sosial dengan teman-temannya terganggu, anak
berkepribadian ekspresif dimana anak menolak untuk latihan toilet
training, emosional, cenderung ceroboh dan sesuka hati dalam
melakukan kegiatan sehari-hari (Harjaningrum,2005).
Hasil survei pendahuluan yang dilakukan terhadap 10 anak
didapatkan anak yang tidak bisa mengungkapkan keinginannya
untuk BAK sebesar 60 %, anak yang tidak dapat mengungkapkan
keinginannya untuk BAB 40%, anak yang mampu melepaskan celana
sendiri sebelum BAB/BAK 50%.
Cara terbaik untuk menghindari timbulnya masalah pelatihan
buang air (toilet training) adalah dengan mengenali kesiapan anak,
adapun tanda dari kesiapan anak sebagai berikut: selama beberapa
jam pakaian dalamnya kering, anak menginginkan pakaian dalamnya
diganti jika basah, anak menunjukkan ketertarikan duduk diatas potty
chair (pispot khusus untuk anak-anak) atau di atas toilet (jamban,
kakus) sehingga anak mampu mengikuti petunjuk atau aturan lisan
sederhana dari orang tua (Prince, 2001). Orang tua memiliki peran
yang sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi anak,
dimana keluarga merupakan lingkungan primer bagi setiap individu
sejak lahir sampai tiba masanya untuk meninggalkan rumah dan
membentuk keluarga sendiri. Sebelum anak mengenal lingkungan
yang lebih luas, terlebih dahulu anak mengenal lingkungan
keluarganya melalui pengenalan norma-norma dan nilai-nilai dalam
keluarga untuk dijadikan bagian dari pribadinya melalui proses
pengasuhan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adakah
hubungan tingkat pengetahuan dan sikap orang tua tentang toilet
kurang
6
16,7%
cukup
6
16,7%
pengetahuan
baik
24
66,7%
Gambar
1. Distribusi Frekuensi Tingkat
Pengetahuan Orang Tua siswa PAUD Pelita
Harapan Tahun 2010
Dari gambar di atas diperoleh data pengetahuan
orang tua baik sebanyak 66,7% orang tua, cukup dan
kurang didapatkan persentase sama yaitu 16,7% orang
tua.
2.
cukup
12
33,3%
kurang
8
22,2%
4.
sikap
baik
16
44,4%
Keberhasilan
kurang
berhasil
10
27,8%
tidak
berhasil
8
22,2%
berhasil
18
50,0%
Gambar 3. Distribusi frekuensi orang tua berdasarkan
keberhasilan penggunaan toilet pada anak umur 3 tahun di
PAUD Pelita Harapan Tahun 2010
Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa keberhasilan
penggunaan toilet pada anak diperoleh hasil sebagian besar orang
tua menyatakan berhasil sebanyak 50,0%, kurang 27,8%, dan tidak
berhasil sebanyak 22,2%.
Keberhasilan
Penggunaan
Toilet
Berhasil
Kurang
Berhasil
Tidak
Berhasil
Total
Baik
15
62,5
20,8
16,7
24
100
Cukup
33,3
50,0
16,7
100
Kurang
16,7
33,3
50,0
100
Total
18
50,0
10
27,8
22,2
36
100
Pengetahuan
KEPUSTAKAAN
1. Budiarti, Eko, (2001). Biostatistika Untuk
Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat,
Jakarta :EGC
2. Hansakunachai T. (2005). Epidemiologi of
enuresis
among
pre-schools
age
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/pubmed.htm.
Di askses tanggal 30 Desember 2009 jam:11.15
WIB.
3. Harjaningrum Tri, Agnes. 2005. Sudah Besar
Masih Ngompol, Bolehkah Dibiarkan?
http://wrm-indonesia.htm. di akses tanggal 01
Januari 2010 jam:17.00 WIB.
4. Hawari, Dadang.( 2007). Our Children Our
Future Dimensi Psikoloreligi Pada Tumbuh
Kembang Anak Dan Remaja. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
5. Hidayat, Aziz Alimul. (2005). Pengantar Ilmu
Keperawatan Anak 1. Jakarta:Salemba Medika.
6. Hidayat, Aziz Alimul. (2007). Riset Keperawatan
dan Teknik Penulisan Ilmiah Edisi 2.
Jakarta:Salemba Medika.
7. Iqbal Mubarak, Wahid, dkk., (2008). Promosi
Kesehatan:Sebuah Pengantar Proses Belajar
Mengajar Dalam Pendidikan, Yogyakarta:Graha
Ilmu
8. Notoatmodjo, Soekidjo, (2003). Ilmu Kesehatan
Masyarakat
(Prinsip-Prinsip
Dasar),
Jakarta:Rineka Cipta.
9. Notoatmodjo, Soekidjo, (2005). Metodologi
Penelitian Kesehatan, Jakarta:Rineka Cipta.
10. Notoatmodjo,
Soekidjo
(2007).
Promosi
Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta:Rineka
Cipta.
11. Nursalam, (2005). Asuhan Keperawatan Bayi
dan Anak (Untuk Perawat dan
Bidan),
Jakarta:Salemba Medika
12. Nursalam, (2008). Konsep dan Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan
Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen
Penelitian Keperawata, Jakarta:Salemba Medika.
13. Prince, Silvia (2001). Toilet Trainning to your
child. http.//www.Family doctor.Org/about.xml.
Diaskes tanggal 1 januari 2010 jam 17.30
14. Sherk, Stepnanie. (2006).Gale Enclopedia Of
Childrens Health
15. http://www.healthline.com/directory/disease-andconditions. Diakses tanggal 1 Januari 2010.
Jam:17.20
(1)
ABSTRAK
Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak kedewasaan bukan hanya dalam arti psikolog, tetapi juga fisik,
bahkan perubahan yang terjadi itulah yang menjadi gejala primer dalam pertumbuhan remaja, dan seharusnya remaja mengerti
tentang perubahan organ reproduksi. Dari survei awal yang dilakukan dari 10 responden 60% tidak mengerti tentang perubahan
organ reproduksi pada remaja sangat penting, jika tidak diberikan pengetahuan tersebut dikhawatirkan remaja menarik diri dari
pergaulan dan dari mana informasi tersebut didapat agar mendapatkan informasI yang benar. Adapun tujuan dari penelitian ini
didapatkannya gambaran pengetahuan remaja awal tentang perubahan organ reproduksi berdasarkan sumber informasi di SMP
Darul Mustofa Tonjung Bangkalan.
Desain penelitian secara deskriptif populasi 59 siswa dengan sampel seluruh siswa kelas 1 SMP Darul Mustofa Tonjung
Bangkalan (total populasi). Cara pengambilan sampel adalah total sampling. Metode pengumpulan data menggunakan alat ukur
kuisioner yang dijabarkan dalam bentuk distribusi, frekuensi dan tabulasi silang.
Hasil penelitian menunjukkan mayoritas pengetahuan kurang (74,58%), sedangkan banyak yang belum mendapat sumber
informasi (67,80). Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan yang kurang disebabkan kurangnya
informasi yang didapat dari pendidikan pengajaran dan pengalaman serta kurangnya peran serta orang tua tentang perubahan
organ reproduksi. Saran dalam penelitian ini perlu diberikan pendidikan tentang perubahan organ reproduksi baik dirumah atau di
sekolah, dan perlu diadakan penelitian lebih lanjut tentang sikap dan perilaku seksual remaja (dampak dari pengetahuan tentang
organ reproduksi remaja), dampak dari informasi yang di dapat dari media masa.
ABSTRACT
Kata Kunci : Pengetahuan, sumber informasi organ reproduksi
Teenagers are the transition from oldest children not only in the sense of psychologists, but also physical, even a change
which is the primary symptom of growth in adolescents, and teens should know about changes in reproductive organs. From the
initial survey of 10 respondents 60% do not understand about the changes in reproductive organs in adolescents is very important, if
not given this knowledge is feared teenagers withdraw from society and from which the information was obtained in order to obtain
the correct information. Purpose of these reasech was taken describing teens knowledge about changes of reproductive organs on
the basis from information basic at the SMP Darul Mustofa Tonjung Bangkalan.
Descriptive study of the population of 59 students with a sample of all grade 1 students design SMP Darul Mustafa Tonjung
Bangkalan (total population). How is the smpling total sampling.? Methods of collecting data through questionnaires instrument of
measurement described in a table of distribution, frekuaensi and narrative.
The results showed that most knowledge is smaller (74,58%), while many have not get font information (67.80%). On the
basis of the results of these studies concluded that the lack of consciousness due to lack of information obtained from the school of
education and experience so less participation from their parent about changes of reproductive organs. This study suggestions
should receive education about changes in reproductive organs either at home or at school, and there should be more research on
teen attitudes and sexual behaviour (the impact of the knowledge of the adolescent reproductive organs), the impact of the
information to the media.
Keywords: knowledge, information reproductive organs
PENDAHULUAN
Dalam siklus kehidupannya, masa remaja merupakan masa
keemasan. Pada masa ini terjadi banyak perubahan dan masalah,
Apabila masalah tersebut tidak cepat ditangani maka akan menjadi
masalah yang berkepanjangan dan berdampak serius pada remaja.
Salah satu masalah remaja yang memerlukan perhatian adalah
masalah kesehatan, dimana kesehatan merupakan elemen penting
manusia untuk dapat hidup produktif. Remaja yang sehat adalah
remaja yang produktif sesuai dengan tingkat perkembangannya
(Depkes, 2010).
Pada masa remaja juga terjadi pertumbuhan fisik yang cepat
disertai dengan banyak perubahan, termasuk didalamnya adalah
pertumbuhan organ-organ reproduksi (organ seksual) sehingga
tercapai kematangan yang ditunjukkan dengan kemampuan
melaksanakan fungsi reproduksi. Perubahan yang terjadi pada
pertumbuhan tersebut diikuti munculnya tanda-tanda seks primer dan
tanda-tanda seks sekunder (Widya stuti, 2009). Ciri masa remaja
yang paling menonjol adalah tercapainya kematangan organ-organ
seks secara bio-fisiologis yang diikuti kemampuan untuk melakukan
hubungan seks sekaligus munculnya hasrat untuk melakukan
hubungan tersebut (Gunarsa, 2001). Berdasarkan data Survei
Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI, 2007) didapatkan
bahwa sebanyak 83,4% remaja setuju dengan hubungan seksual
sebelum menikah .
Pada suatu survey di sekolah menengah yang baru-baru
ini dilakukan di USA, Mc Carry mendapatkan bahwa kebanyakan dari
murid-murid tersebut melontarkan kritik terhadap orang tua karena
tidak pernah memberikan informasi seks (pendidikan seks) kepada
anak-anaknya. Dua pertiga dari mereka sama sekali tidak
mendapatkan informasi apa-apa, sedangkan sisanya hanya
mendapatkan informasi sekedarnya. Pengetahuan anak-anak muda
tentang seks biasanya didapat dari kawan-kawan seumur melalui
lelucon-lelucon yang kotor dan cabul, sehingga sering timbul
tanggapan yang salah atau emosi yang negatif (Sulistyo, 2001).
Berdasarkan gambaran tersebut di atas maka peneliti tertarik
untuk mengetahui Bagaimana gambaran pengetahuan remaja awal
tentang perubahan organ reproduksi berdasarkan sumber informasi di
SMP Darul Mustofa Tonjung Bangkalan.
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dikemukakan tentang: pertama; konsep
dasar pengetahuan yang meliputi; Definisi pengetahuan,
pengetahuan tentang seks, pembentukan pengetahuan, tingkat
pengetahuan, macam-macam pengetahuan. Yang kedua konsep
dasar informasi seks yang meliputi pengertian sumber informasi seks,
sumber-sumber informasi seks, macam-macam informasi seks, dan
rencana informasi seks menurut umur. Ketiga Konsep remaja awal
dan perubahan organ reproduksi, penyebab terjadinya perubahan,
kreteria seksual,ciri-ciri seks primer dan seks sekunder, Keempat
dampak kematangan organ reproduksi.
Konsep Dasar Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil teliti dalam hal ini
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek
tertentu , penginderaan terjadi melalui indra penglihatan,
pendengaran dan penciuman (Notoatmodjo, 2005).
Pengetahuan adalah suatu kata yang digunakan untuk
menunjuk kepada apa yang diketahui oleh seseorang tentang suatu
4. Tahu, Mengapa
Pengetahuan ini berkaitan dengan pengetahuan bahwa
hanya saja tahu, mengapa jauh lebih mendalam dan serius karena
berkaitan dengan penjelasan.
Konsep Dasar Sumber Informasi Seks
Informasi seks adalah media atau sesuatu yang dapat
memberikan informasi sehingga seseorang dari tidak tahu menjadi
tahu atau lebih mengetahui (Notoatmodjo, 2005).
Sumber- sumber informasi
1. Orang tua
Informasi seks yang paling efektif ialah didapatkan dari orang
tua atau penggantinya, dalam rumah tangga yang berbahagia
(Sulistyo, 2001).
2. Media massa dan elektronik
Media massa dan elektronik merupakan akses utama bagi
remaja dalam medapat banyak informasi (Alatas, 2004).
3. Teman
Pengetahuan anak-anak muda tentang seks biasanya
didapatkan dari kawan-kawan seumur melalui lelucon-lelucon
yang kotor dan cabul, sehingga sering timbul tanggapan yang
salah atau emosi yang negative (Sulistyo, 2001).
4. Guru
Peranan guru, ahli atau petugas-petugas yang benar-benar
terlatih dan terampil serta dibekali dasar-dasar pengetahuan
dari berbagai jenis disiplin ilmu pengetahuan dapat saja
melaksanakan pendidikan seks sejauh hal ini dibutuhkan karena
orang tua kurang atau tidak bisa memberikan informasi seks
(Gunarsa, 2001)
Tahapan pemberian informasi seks menurut golongan umur:
Umur 10-12 tahun
Dimulai dengan memberikan fakta-fakta tentang reproduksi
pada umurnya yaitu, fertilisasi, perkawinan serta persalinan pada
binatang-binatang. Kemudian tentang konsepsi pada manusia,
bersayunya sel telur dari ibu dengan sel mani dari ayah.
Umur 13-15 tahun
Diberikan embriologi alat kelamin dalam, Anatomi, dan
terjadinya tanda-tanda kelamin sekunder, menstruasi, uraian yang
mendetail dari konsepsi, pertumbuhan fetus dan persalinan. Harus
diberikan nasehatpada anak-anak supaya jangan mau ikut dengan
orang yang tidak dikenal karena kemungkinan penculikan.
Umur 16-19 tahun
Diberikan diskusi tentang seksual Intercouse, premarital
lntercouse, promisluity illigitimasi dan video. Diterangkan aspek
sosial dari hubumgan seks yaitu tanggung jawab terhadap patnernya,
terhadap anak yang mungkin dilahirkan, diskusi mengenai rumah
tangga, pembatasan jumlah anak. Harus ditekankan pada mereka
bahwa seksual lntercouse berarti juga kesediaan untuk menerima
tanggung jawab dari tindakan itu (Sulistyo, 2001).
KONSEP REMAJA
Remaja atau adolescence (Inggris), berasal dari bahasa latin
adolescere yang berarti tumbuh kearah kematangan. Kematangan
yang dimaksud adalah bukan hanya kematangan fisik saja, tetapi
juga kematangan sosial dan psikologis (Widyastuti, 2009).
2.
8)
9)
10)
11)
Keterbatasan penelitian
Kerangka kerja
Jadwal penelitian
Lokasi penelitian.
Definisi
operasional
Pengetahuan
tentang
perubahan
organ
reproduksi
Segala
g
yang
diketahui atau
er
pemahaman
remaja
tentang
perubahan
organ
reproduksi
Parameter
Alat
ukur
Remaja
1.
mampu
kuession
mengeta hui
tentang
2.
perubahan
organ
reproduksi
3.
baik sekunder
maupun
primer:
a
Ciri-ciri
perubah
an seks
sekund
er pada
wanita
dan pria
b
Ciri-ciri
perubah
an seks
primer
pada
wanita
dan
pria.
Kriteria
Baik
:
Jika nilai
70
Cukup :
Jika nilai
61-69
Kurang :
Jika nilai
60
Skala
ukur
Ordinal
Definisi
operasional
Sumber
informasi
Segala hal
yang
memberikan
informasi
tentang
perubahan
organ
reproduksi
Parameter
Alat ukur
Kriteria
Meliputi:
- Orang
tua
- Guru
- Teman
- Media
massa
Kuessioner
1. Ya :
mendapat
informasi
2.
Skala
ukur
Nominal
2. Tidak : belum
mendapat
informasi
Pengolahan Data
1. Editing
Langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi kesalahankesalahan dari data yang telah dikumpulkan. Juga memonitor jangan
sampai terjadi kekosongan dari data yang dibutuhkan.
2. Coding
Untuk memudahkan dalam pengolahan data maka setiap
jawaban dari kuessioner yang telah disebarkan diberi kode dengan
karakter masing-masing. Adapun variable yang diberi kode sebagai
berikut:
1. Variabel pengetahuan:
a. Kriteria pengetahuan tinggi diberi kode 3
b. Kriteria pengetahuan sedang diberi kode 2
c. Kriteria pengetahuan rendah diberi kode 1
2. Variabel sumber informasi
a. Kriteria ya diberi kode 2
b. Kriteria tidak diberi kode 1
Skoring
skoring untuk variable pengetahuan dan motivasi
menggunakan prosentase dimana untuk setiap butir pertanyaan
hanya ada satu jawaban
Pemberian yang benar dengan skoring : bila jawaban benar dengan
skor = 1 dan jika salah = 0. Kemudian dimasukkan kedalam rumus
Arikunto (2002) sebagai berikut :
3.
P=
x 100
Keterangan :
P = porsentase
F = frekwensi jawaban benar
n = banyak pertanyaan
Setelah dimasukkan rumus, dilakukan pengkatagorian sebagai berikut
:
1. Variabel pengetahuan:
a. Baik, jika nilai 70
b. Cukup, jika nilai 61-69
c. Kurang, jika nilai 60
2. . Variabel sumber informasi:
a. ya, jika mendapatkan informasi
b. Tidak, jika tidak mendapatkan informasi
Analisa data
Setelah Kuessioner terkumpul,
lalu tiap
pertanyaan diberi nilai dan dianalisa dengan
menggunakan table silang (Cross tab) untuk
mengetahui keterkaitan sumber informasi dengan
pengetahuan. Sedangkan untuk mengetahui gambar
masing-masing variabel digunakan tabel distribusi.
Baik
: Jjika nilai 70
Cukup
: Jika nilai 61- 69
Kurang
: Jika nilai 60
Sumber informasi diambil jumlah rata- rata yang
terbesar.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMP Darul Mustofa
Tonjung Bangkalan wilayah kerja Puskesmas Burneh
Kabupaten Bangkalan pada bulan Juni 2010. Karena
didapatkannya dari 10 siswa kelas 1 SMP tersebut
sebanyak 6 orang siswa (60%) tidak mengerti tentang
perubahan alat reproduksinya dan 4 orang siswa (40%)
mengerti tentang perubahan alat reproduksinya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan disampaikan hasil
pengumpulan data yang dilaksanakan pada tanggal 20
Juli 2010 di SMP Darul Mustofa Tonjung Bangkalan,
dengan jumlah populasi yakni keseluruhan siswa kelas I
sebanyak 59 orang, dengan menggunakan data primer,
dimana responden yang mengisi kuesioner yang telah
disediakan.
Data hasil penelitian tentang gambaran
pengetahuan remaja awal tentang perubahan organ
reproduksi berdasarkan sumber informasi di SMP Darul
Mustofa Tonjung Bangkalan disajikan dalam bentuk
tabel frekuensi kemudian diuraikan pembahasannya.
Data tanggal 20 juli 2010 diambil dari 59
responden kemudian diolah dan hasil penelitian ini akan
disajikan deskripsi dan hasil penelitian
dari
pengumpulan data dalam bentuk distribusi frekuensi
berdasarkan variabel
yang diteliti, meliputi
pengetahuan dan sumber informasi. Adapun cara
penyajiannya dalam bentuk tabel distribusi, persentase
dan narasi.
Data frekuensi umur siswa
Tabel 1 Distribusi frekuensi umur siswa kelas I SMP
Darul Mustofa Tonjung Bangkalan
Bulan Juli Tahun 2010
Umur
Frekuensi
Persentase
12 Tahun
25
42,4%
13 Tahun
23
39%
14 Tahun
11
18,6%
Total
59
100%
Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian
besar murid berusia 12 tahun sebanyak 25 siswa
(42,4%)
Tabulating
Proses penyusunan data ke dalam bentuk tabel. Pada tahap
ini dapat dianggap selesai diproses, sehingga harus segera disusun
ke dalam format yang dirancang.
4.
9
44
59
15,25%
74,58%
100%
40
59
67,80%
100%
Saran
Dari hasil penelitian diatas dapat disarankan antara lain
Bagi sekolah
1. Pendidikan yang diberikan disekolah sebaiknya
diberikan waktu yang cukup sehingga dapat
dievaluasi baik dari segi kwalitas dan kwantitas.
2. Pihak sekolah dapat menyarankan kepada
keluarga untuk menberikan pendidikan perubahan
organ reproduksi sedini mungkin serta pendidikan
moral dan agama.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Kesimpulan
Gambaran pengetahuan remaja awal tentang organ reproduksi di
SMP Darul Mustofa Tonjung Bangkalan sebagian besar
pengetahuannya kurang (74,58%).
Gambaran sumber informasi perubahan organ reproduksi pada
remaja awal di SMP Darul Mustofa Tonjung Bangkalan sebagian
besar tidak mendapatkan sumber informasi (67,80%).
Gambaran pengetahuan berdasarkan sumber informasi pada remaja
awal di SMP Darul Mustofa Tonjung Bangkalan sebagian besar
pengetahuannya kurang dikarenakan tidak pernah mendapat sumber
informasi (87,5%).