Anda di halaman 1dari 49

Vol. 3 NO.

1, Juni 2011

HUBUNGAN ANTARA MOBILISASI DINI DENGAN


INVOLUSI UTERI PADA IBU NIFAS
(Penelitian Analitik di BPS Vinsentia Ismijati, SST Surabaya)

(1)Dosen

(1)Ratna Kautsar
STIKES Insan Insan Se Agung Bangkalan
ABSTRAK

Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia berada pada angka 304/100.000 kelahiran hidup berdasarkan Survey Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2005. Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah kehamilan dan 50% kematian
masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama (Saifudin, 2002) salah satu penyebab utamanya adalah perdarahan pasca persalinan (40%) sehingga
perlu dilakukan suatu upaya mengatasi perdarahan pasca salin salah satu caranya yaitu dengan mobilisasi dini.
Penelitian ini penelitian analitik observasional dengan desain cross sectional. Populasi yang diambil adalah semua ibu nifas 24 jam post
partum di BPS Vinsentia Ismijati, SST Surabaya. Data dikumpulkan menggunakan lembar observasi. Sampel pada penelitian ini adalah Total
Populasi dan dilakukan uji statistik dengan chi-square.
Hasil penelitian didapatkan bahwa dari 37 responden yang melakukan mobilisasi dini dengan baik sebanyak 20 (54,1%) responden,
sedangkan mengalami involusi cepat setelah 24 jam post partum sebanyak 24 (64,9%) responden. Dengan uji Chi-Square didapatkan nilai
perhitungan 2 hitung (3,02) dan 2 tabel (3,84). Dengan demikian 2 hitung < 2 tabel maka Ho diterima, artinya tidak ada hubungan antara
mobilisasi dini dengan involusi uteri.
Untuk mempercepat proses involusio uteri, bidan sebagai pemberi asuhan yang terdekat dan terlama bersama klien dapat memberikan
perhatian khusus pada ibu hamil setelah masa nifas diantaranya adalah memberikan informasi tentang mobilisasi dini.
Kata kunci : Mobilisasi Dini, Involusi Uteri

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

PENDAHULUAN
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia berada pada angka
304/100.000 kelahiran hidup berdasarkan Survey Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2005. Diperkirakan 60%
kematian ibu terjadi setelah kehamilan dan 50% kematian masa
nifas terjadi dalam 24 jam pertama (Saifudin, 2002) dimana
penyebab utamanya adalah perdarahan pasca persalinan (40%)
sehingga perlu dilakukan suatu upaya mengatasi perdarahan
pasca salin, salah satu caranya yaitu dengan mobilisasi dini.
Segera setelah perang dunia II, perubahan penting mulai
terjadi dalam penatalaksanaan masa nifas menuju ke arah
ambulasi dini. Para wanita mengatakan bahwa mereka merasa
lebih kuat dan lebih baik setelah mobilisasi dini (Williams, 2005).
(2)Mobilisasi dini memperlancar pengeluaran lochea sehingga
dapat mempercepat proses kembalinya alat kandungan dan jalan
lahir setelah bayi dilahirkan hingga mencapai keadaan seperti
sebelum hamil (Christina, 1996) yang ditandai dengan penurunan
tinggi fundus uteri dan pengeluaran lochea.
Berdasarkan survey awal yang dilakukan pada bulan Juli
2009 di BPS Vinsentia Ismijati, SST Surabaya terdapat 5 (16,6%)
yang mengalami perdarahan dan 10 (33,3%) ada yang tidak
melakukan mobilisasi dini dengan baik. Hal ini disebabkan karena
perasaan takut terjadi perdarahan, nyeri, takut jahitan lepas atau
ibu-ibu nifas malas melakukan gerakan karena lelah setelah
melahirkan. Akan tetapi petugas kesehatan harus selalu
memberikan motivasi pada ibu nifas untuk melakukan mobilisasi
dini. (2)Apabila penderita terus menerus tiduran atau takut duduk
atau berjalan maka peredaran darah akan kurang lancar, otot-otot
akan pasif dengan demikian mengurangi peredaran zat asam dan
zat-zat makanan dalam tubuh yang sangat diperlukan untuk
memulihkan kesehatan ibu dan pembentukan air susu. Selain itu,
apabila penderita tidak selekas mungkin melakukan mobilisasi
dini bisa terjadi perdarahan post partum akibat otot uterus yang
tidak berkontraksi.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui Hubungan antara
Mobilisasi Dini dengan Involusi Uteri Pada Ibu Nifas di BPS
Vinsentia Ismijati, SST Surabaya.
TINJAUAN PUSTAKA
Involusi Uteri
Peningkatan kadar estrogen dan progesterone
bertanggung jawab untuk pertumbuhan masif uterus selama
masa hamil. Pertumbuhan uterus pada masa prenatal tergantung
pada hyperplasia, peningkatan jumlah sel-sel otot dan hipertropi,
yaitu pembesaran sel sel yang sudah ada. Pada masa
postpartum penurunan kadar hormon hormon ini menyebabkan
adanya autolisis.
Involusi uterus ini dari luar dapat diamati dengan
memeriksa tinggi fundus uteri. Segera setelah plasenta lahir
uterus masuk ke dalam rongga panggul dan fundus uteri dapat
teraba dari dinding perut pertengahan sympisis pusat. Dalam
waktu 2-4 jam setelah persalinan tinggi fundus uteri meningkat
menjadi 2 cm di atas pusat (12 cm di atas sympisis pubis).
Selanjutnya tinggi fundus uteri menurun 1 jari (1 cm) tiap hari.
Pada hari ke-7 post partum tinggi fundus uteri 5 cm di atas
sympisis. Pada hari ke-12 tinggi fundus uteri tidak dapat diraba
lagi melalui dinding perut(3).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Involusi
1. Status Gizi

(2)Status gizi yang kurang pada ibu pasca salin maka


pertahanan dasar pada ligamentum latum yang terdiri dari
kelompok infiltrat sel-sel bulat yang disamping mengadakan
pertahanan terhadap penyerbuhan kuman juga untuk
menghilangkan jaringan nerkotic. Pada ibu pasca salin dengan
status gizi yang baik akan terhindar dari infeksi dan mempercepat
involusi uterus.
2. Mobilisasi Dini
Mobilisasi dini adalah kemampuan untuk bergerak bebas
dalam lingkungan. (2)Mobilisasi dini memperlancar pengeluaran
lochea sehingga dapat mempercepat involusi uteri . Meskipun
mobilisasi dini banyak membawa keuntungan, tetapi tidak
dinasehatkan bagi penderita yang mengalami partus lama atau
terlalu banyak mengeluarkan banyak darah.
(1)Tahapan mobilisasi dini adalah :
1) Sesudah 2-8 jam melahirkan, klien miring kanan dan kiri
2) Melakukan latihan nafas dalam
3) Latihan kaki ringan
4) Klien duduk tegak lurus di tempat tidur dengan posisi
miring, klien membuat gerakan yang membuat dirinya
turun dari tempat tidur.
5) Klien menggerakkan kakinya ke samping mengarah keluar
tempat tidur dan kedua tangan sebagai alat untuk
menumpu
6) Dengan suatu gerakan mengayun klien akhirnya dapat
turun dari tempat tidur, pada gerakan ini kedua tangan
klien sebagai penopang
7) Klien dapat mendorong badannya dengan kedua
tangannya dari tempat tidur, maka klien dapat membawa
badannya turun dari tempat tidur
8) Klien sekarang berdiri disamping tempat tidur dan tetap
berpegangan pada tempat tidur untuk memperoleh rasa
aman
9) Klien berjalan pelan-pelan
Lakukan adaptasi berhadapan. Perbaikan keluhan klien baik
verbal maupun non verbal seperti pusing, pucat, dan keringat
dingin.
(4)cara-cara melakukan mobilisasi dini antara lain:
1) 15 menit pertama setelah 2 jam post partum ibu belajar
miring kiri dan kanan.
2) 15 menit kedua setelah 2 jam post partum ibu belajar
duduk ditempat tidur.
3) 15 menit ketiga setelah 2 jam post partum ibu belajar
berdiri di sebelah tempat tidur dan diikuti berjalan.
4)
3. Paritas (Jumlah Anak)
(6)Involusi uterus bervariasi pada ibu pasca salin, biasanya
ibu yang paritasnya tinggi proses involusinya menjadi lebih
lambat, karena makin sering hamil uterus akan sering mengalami
regangan.
4. Usia
(5)Ibu yang usianya lebih tua banyak dipengaruhi oleh
proses penuaan dimana mengalami perubahan metabolisme
yaitu terjadi peningkatan jumlah lemak, penurunan otot,
penurunan penyerapan lemak, protein, dan karbohidrat dan hal
ini akan menghambat involusio uterus.
5. Laktasi/Menyusui
(5)Menyusui merupakan rangsangan psikis dan juga
merupakan refleks dari mata ibu ke otak yang mengakibatkan
pengeluaran oksitosin, sehingga uterus akan berkontraksi lebih
baik dan pengeluaran lochea lebih lancar, oleh sebab itu ibu yang
menyusui involusio uterus lebih cepat dari yang tidak menyusui.

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

6. Senam Nifas
(5)Apabila

otot rahim di rangsang dengan latihan dan


gerakan senam maka kontaraksi uterus semakin baik sehingga
mempengaruhi proses pengecilan uterus.
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
penelitian
analitik
observasional
menggunakan desain cross sectional. Data dikumpulkan
menggunakan lembar observasi. Sampel pada penelitian ini
adalah Total Populasi yaitu semua ibu nifas 24 jam post partum di
BPS Vinsentia Ismijati, SST Surabaya bulan Oktober 2009
sebanyak 37 orang kemudian dilakukan uji chi-square.Variabel
independen dalam penelitian ini adalah mobilisasi dini, Variabel
dependen dalam penelitian ini adalah involusi uterus.
Tabel 1

Distribusi frekuensi menurut umur di BPS Vinsentia


Ismijati, SST Surabaya bulan Oktober sampai
November 2009.

Umur

Frekuensi

Prosentae (%)

< 20 th

13,5

20-35 th

26

70,3

> 35 th

16,2

Jumlah

37

100

Sumber : Data Primer, 2009

SD/SMP

11

29,7

SMA/SMEA

19

51,4

Akademik/S1

18,9

Jumlah

37

100

Sumber : Data Primer, 2009


Tabel 4

Distribusi frekuensi menurut pekerjaan di BPS


Visentia Ismijati, SST Surabaya bulan Oktober
sampai November 2009.

Pekerjaan

Frekuensi

Prosentase (%)

IRT

16

43,2

Swasta

15

40,6

Pegawai Negeri

16,2

Jumlah

37

100

Sumber : Data Primer, 2009


Tabel 5

Distribusi responden dalam mobilisasi dini di BPS


Visentia Ismijati, SST Surabaya bulan Oktober sampai
November 2009.
Mobilisasi Dini
Frekuensi
Prosentase (%)
Baik

20

54,1

Tidak baik

17

45,9

Jumlah

37

100

Tabel 6
Tabel 2

Distribusi frekuensi menurut paritas di BPS


Visentia Ismijati, SST Surabaya bulan Oktober
sampai November 2009.

Jumlah anak

Frekuensi

Prosentase (%)

19

51,4

2-3

16

43,2

>4

54

Jumlah

37

100

Sumber : Data Primer, 2009

Tabel 3

Distribusi involusi uteri di BPS Visentia Ismijati,


SST Surabaya bulan Oktober sampai November
2009.
Involusi Uteri
Frekuensi
Prosentase (%)
Cepat

24

64,9

Lambat

13

35.1

Jumlah

37

100

Tabel 7

Tabulasi Silang Mobilisasi Dini terhadap Involusi Uteri


Involusi Uteri
Mobilisasi Dini
Prosentase (%)
Cepat
Lambat
Baik

16 (80%)

4 (20%)

20 (100%)

Tidak baik

8 (47%)

9 (53%)

17 (100%)

Jumlah

24 (64,9%)

13 (35,1%)

37 (100%)

Distribusi frekuensi menurut pendidikan di BPS


Visentia Ismijati, SST Surabaya bulan Oktober
sampai November 2009.

Pendidikan

Frekuensi

Prosentase (%)

Tabel 8
Umur
< 20 tahun

Tabulasi silang antara umur dengan involusi uteri


Involusi Uteri
Prosentase
Cepat

Lambat

(%)

5 (100%)

- (0%)

5 (100%)

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

20-35 tahun
> 35 tahun

17

9 (34,6%)

26 (100%)

(65,4%)

4 (66,7%)

6 (100%)

2 (33,3%)
Jumlah

Tabel 9
Paritas

24

13

(64,9%)

(35,1%)

37 (100%)

Tabulasi silang antara paritas dengan involusi uteri


Involusi Uteri
Prosentase (%)
Cepat
Lambat

15 (78,9%)

4 (21,1%)

19 (100%)

2-3

8 (50%)

8 (50%)

16 (100%)

>4

1 (50%)

1 (50%)

2 (100%)

Jumlah

24 (64,9%)

13 (35,1%)

37 (100%)

Tabel 10 Tabulasi silang antara pendidikan dengan involusi uteri


Involusi Uteri
Prosentase
Pendidikan
(%)
Cepat
Lambat
SD/SMP

7 (63,6%)

4 (36,4%)

11 (100%)

SMA/SMEA

13 (68,4%)

6 (31,6%)

19 (100%)

Akademik/S1

4 (57,1%)

3 (42,9%)

7 (100%)

Jumlah

24 (64,9%)

13 (35,1%)

37 (100%)

Tabel 11 Tabulasi silang antara pekerjaan dengan involusi uteri


Involusi Uteri
Prosentase
Pekerjaan
(%)
Cepat
Lambat
IRT
Swasta
Pegawai
Negeri
Jumlah

11 (68,7%)

5 (31,3%)

16 (100%)

10 (66,7%)

5 (33,3%)

15(100%)

3 (50%)

3 (50%)

6 (100%)

24 (64,9%)

13 (35,1%)

37 (100%)

Hasil perhitungan uji statistik yang menggunakan uji ChiSquare didapatkan hasil nilai perhitungan 2 hitung (3,02) dan 2
tabel (3,84). Dengan demikian 2 hitung < 2 tabel maka Ho
diterima, artinya tidak ada hubungan antara mobilisasi dini
dengan involusi uteri.
PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian di BPS Vinsentia Ismijati, SST
Surabaya terdapat 37 responden, 20 responden yang melakukan
mobilisasi dini dengan baik, 16 responden terjadi involusi cepat.
Proses itu disebabkan karena mobilisasi dini dapat mengurangi

bendungan lochea sehingga dapat mempercepat kembalinya


organ kandungan seperti sebelum hamil. Dan 4 responden terjadi
proses involusi lambat karena selain mobilisasi dini proses
involusi uteri juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diantaranya
status gizi, usia, paritas dan menyusui yang saling berpengaruh
satu sama lain.
Sedangkan 17 respoden melakukan mobilisasi dini kurang
baik, 8 responden terjadi proses involusi cepat. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak hanya faktor mobilisasi dini saja yang
mempengaruhi proses involusi uteri tetapi dipengaruhi oleh
beberapa faktor misalnya paritas. Dalam penelitian ini ditemukan
bahwa ibu nifas yang mempunyai anak 1 cenderung mengalami
proses involusi uteri cepat yaitu sebanyak 15 responden (78,9%)
karena ibu nifas primipara otot uterusnya masih elastis sehingga
untuk mengembalikan ke keadaan semula tidak memerlukan
waktu yang lama. (6)Ibu yang paritasnya tinggi proses involusinya
lebih lambat karena semakin sering hamil uterus juga sering kali
mengalami regangan, dan terdapat 9 responden yang melakukan
mobilisasi dini kurang baik terjadi proses involusi uteri lambat
sehingga dapat menyebabkan bendungan lochea dalam rahim
dan memperlambat proses normalisasi alat-alat kandungan ke
keadaan semula.
Adapun hasil perhitungan statistik yang menggunakan uji
Chi-Square, diperoleh kesimpulan bahwa tidak terdapat
hubungan antara mobilisasi dini dengan proses involusi uteri
pada ibu nifas.
Pada ibu post partum sebaiknya melakukan mobilisasi dini
karena mempunyai pengaruh yang baik terhadap proses
penyembuhan dan proses pemulihan kesehatan seperti sebelum
hamil. Oleh sebab itu sangat pentimg pula diperhatikan
pengawasan terhadap tinggi findus uteri. (7)Melakukan aktivitas
fisik akan memberi pangaruh yang baik terhadap peredaran
darah, dimana peredaran darah sangat diperlukan untuk
memulihkan kesehatan. Pada seorang wanita pasca salin biasa
ditemui adanya lochea dalam jumlah yang sedikit sewaktu ia
berbaring, dan jumlahnya meningkat sewaktu ia berdiri. Karena
lochea lancar sehingga mempengaruhi proses pengecilan rahin
atau involusi uteri.
Selain mobilisasi dini terdapat faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi involusi uteri antara lain status gizi, usia, paritas,
menyusui dan senam nifas. Namun dalam lapangan involusi uteri
juga dipengaruhi oleh faktor pengetahuan, lingkungan dan
perilaku dimana dapat menunjang untuk mempercepat proses
involusi uteri.

DAFTAR PUSTAKA
Bobak (2004). Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC
Christina, S.I. (1996). Perawatan Kebidanan, Jilid III. Jakarta :
Bhatara Karya Aksara
Martin, Reeider. (1997). Maternity Nursing : Family, Newborn and
Womens. New York
Mary, Hamilton (1995). Dasar-dasar Keperawatan Maternitas.
Jakarta : EGC
Sarwono (2002). Ilmu Kebidanan. Jakarta : Bina Pustaka
Sweet, B. R. (1997). A Test Book For Midwifes. Philaadelhiu. WB
Sauders
Varney, H. (1997). Nurse Midwifery, Second Edition. New Haven,
Connecticut

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

PERBEDAAN PEMENUHAN KEBUTUHAN ISTIRAHAT TIDUR SEBELUM DAN SESUDAH


DIBERI TERAPI RELAKSASI DAN DISTRAKSI PADA LANSIA
DI KARANG WERDHA MEIDINA BANGKALAN
DIFFERENCE OF ACCOMPLISHMENT A REQUIREMENT OF REST AND SLEEP BEFORE AND AFTER
GIVEN BY THERAPY RELAXATION AND DISTRACTION AT ELDELY
IN KARANG WERDHA MEIDINA BANGKALAN.
(1)

(1)

Suci Kurniya
Dosen STIKES Insan Se Agung Bangkalan
ABSTRAK

Prevalensi masalah tidur pada lansia cenderung meningkat setiap tahun. Untuk mengatasi hal tersebut dalam proses
keperawatan terdapat terapi relaksasi dan distraksi yang dapat membantu mengurangi masalah dalam pemenuhan kebutuhan
istirahat tidur. Dimana tujuan penelitian ini adalah Menganalisis perbedaan pemenuhan kebutuhan istirahat tidur sebelum dan
sesudah diberi terapi relaksasi dan distraksi pada lansia di Karang Werdha Meidina Bangkalan.
Desain penelitian ini adalah action research tipe pra eksperimental dengan desain the pre test post test design. Jumlah
populasinya 20 dan sample yang digunakan 20 dengan tehnik sampling jenuh. Variabel dalam penelitian ini adalah pemenuhan
kebutuhan istirahat tidur. Data penelitian ini diambil dengan menggunakan kuesioner, uji statistik Wilcoxon Sign Rank Test.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pemenuhan kebutuhan istirahat tidur lansia sebelum diberi terapi relaksasi
dan distraksi adalah 20% (4) baik, 50% (10) cukup, 30% (6) kurang. Sedangkan tingkat pemenuhan kebutuhan tidur lansia
sesudah diberi terapi relaksasi dan distraksi adalah 30% (6) baik, 65% (13) cukup, dan 5% (1) kurang. Dari hasil uji statistik
dengan wilcoxon sign rank test didapatkan hasil p=0,020. Dimana p<0,05 (0,020<0,05) ini berarti ada perbedaan dalam
pemenuhan kebutuhan istirahat tidur sebelum dan sesudah diberi terapi relaksasi dan distraksi pada lansia di Karang Werdha
Meidina Bangkalan.
Tehnik relaksasi dan distraksi dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur seseorang karena dapat mengurangi
ketegangan di otak maupun di otot sehingga stres dapat berkurang dan timbul perasaan tenang dan rileks yang memudahkan
seseorang masuk kekondisi tidur.
Melihat hasil penelitian ini maka pentingnya penerapan tehnih-tehnik keperawatan dalam memberikan asuhan
keperawatan untuk mengatasi masalah pemenuhan kebutuhan istirahat tidur pada lansia sehingga dapat mewujudkan lansia yang
sehat dan bahagia.
Kata kunci : relaksasi distraksi, kebutuhan, istirahat tidur, lansia
ABSTRACT
Prevalence of sleep problem at elderly tend to increase every year. To overcome the mentioned in nurse treatment there
are therapy relaxation and distraction able to decrease the problem of accomplishment a requirement of sleep and rest.
This Research Desain is action research of pre eksperimental type with the pre test post test design. Amount of the
populations is 20 and the samples is 20 technicsly saturated sampling. Variable in this research is accomplishment a requirement
of sleep and rest. This Research result is taken by using quesioner, statistical test use Wilcoxon Sign Rank Test.
Research result indicate that level accomplishment a requirement of rest ans sleep at eldely before given by therapy
relaxation and distraction is 20% ( 4) good, 50% enough, 30% ( 6) less. The level accomplishment a requirement of sleep and
rest at eldely after given by therapy relaxation and distraction is 30% ( 6) good, 65% ( 13) enough, and 5% ( 1) less. Result of
statistical test with Wilcoxon Sign Rank Test got result of p=0,020. Where p<0,05 ( 0,020<0,05) it means there is having
difference of accomplishment a requirement of rest and sleep before and after given by therapy relaxation and distraction at
eldely in Karang Werdha Meidina Bangkalan.
Therapy relaxation and distraction can increase accomplishment a requirement of rest and sleep so stress in muscle and
brain be decrease because by Therapy relaxation and distraction stresses can decrease and can peep out feeling peace and rileks
where it will easy to enter sleep.
See result of this research hence important of applying of nurse treatment in giving treatment upbringing to overcome the
problem of accomplishment a requirement of rest and sleep at eldely so that can realize eldely the healthyness and happy.
Keyword : relaxation distraction, requirement, sleep, rest, eldely.

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

PENDAHULUAN
Pada zaman modern ini kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang saat ini sangat melelahkan, karena setiap orang
berjuang dan berusaha keras untuk bekerja. Untuk itu kita semua
membutuhkan istirahat untuk melawan kepenatan. Tidur
merupakan istirahat yang paling bermanfaat bagi tubuh dan
pikiran karena selama tidur terjadi proses pembentukan sel-sel
tubuh yang baru, perbaikan sel-sel tubuh yang rusak, waktu bagi
organ tubuh untuk beristirahat maupun untuk menjaga
keseimbangan metabolisme dan biokimiawi tubuh. Selain itu
hormon-hormon penting banyak diproduksi pada saat tidur
sehingga dapat meningkatkan vitalitas dan keseimbangan tubuh.
Oleh karena itu Jonson beranggapan bahwa tidur merupakan
salah satu kebutuhan fisiologis dasar manusia yang perubahan
kesadarannya terjadi secara periodik (Setiyo dan Zulaikah, 2007).
Kebutuhan tidur bervariasi pada masing-masing orang,
pada umumnya seseorang perlu tidur antara 4 sampai 9 jam
selama 24 jam untuk dapat berfungsi secara normal (Linda G.
Copel, 2007). Agar kesehatan tetap terjaga yang perlu
diperhatikan dalam tidur selain kuantitasnya tetapi juga kualitas
dari tidur tersebut. Seseorang dapat dikatakan kebutuhan
tidurnya terpenuhi apabila sudah melalui dua tahap tidur yaitu:
NREM sleep (Non Rapid Eye Movement) tidur dimana mata tidak
bergerak dengan cepat dan REM sleep (Rapid Eye Movement)
tidur dimana mata bergerak dengan cepat waktu mimpi (Dian,
2008).
Berdasarkan data awal yang dilakukan di Karang Werdha
Meidina Bangkalan pada 31 Januari 2009 melalui wawancara
lansung sekitar 5% lansia tidur kurang dari empat jam sehari,
30% mengeluhkan sering terjaga pada malam hari dan 10% sulit
untuk memulai tidur.
Menurut data international of sleep disorder prevalensi
penyebab kurang terpenuhinya kebutuhan istirahat tidur antara
lain: penyakit asma (60%-74%), gangguan pusat pernafasan (5%15%), ketergantungan alkohol (10%), sindroma terlambat tidur
(5%-10%), depresi (65%), demensia (5%), gangguan perubahan
jadwal kerja (2%-5%), gangguan obstruksi saluran nafas (1%2%), penyakit ulkus peptikus (<1%), narcolepsy atau mendadak
tidur (0,03%-0,16%) (Iskandar japardi, 2002).
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adakah perbedaan
pemenuhan kebutuhan istirahat tidur sebelum dan sesudah diberi
terapi relaksasi dan distraksi pada lansia di Karang Werdha
Meidina BangkalaN.

a. Latihan-latihan yang menggunakan gerakan tubuh


untuk mengendurkan otot-otot tubuh dan pada
gilirannya dapat mengendurkan pikiran
b. Kegiatan yang menggunakan pikiran untuk
mengendurkan tubuh
2.

Relaksasi pasif
Relaksasi pasif meliputi: tehnik pengolahan tubuh atau
pikiran yang secara mendalam dan menenangkan yang
dilakukan oleh orang lain.
a. Perlakuan pada tubuh untuk mengendurkan pikiran
b. Perla kuan pada pikiran untuk mengendurkan tubuh

Tehnik distraksi atau visualisasi


Tehnik distraksi atau visualisasi adalah suatu tehnik
dimana klien menciptakan kesan dalam pikiran, berkonsentarasi
pada kesan tersebut, sehingga klien secara bertahap dalam
keadaan tentram. Perawat melatih klien dalam membangun
kesan dan berkonsentrasi pada pengalaman sensori (Potter &
Perry, 2005).
Visualisasi atau yang lebih dikenal dengan tehnik distraksi
adalah suatu latihan untak membentuk suatu gambaran dalam
pikiran lalu menciptakan penyataan mental yang jelas tentang
suatu hal yang ingin diwujudkan (Patricia & Limberg, 1998).
Petunjuk untuk tehnik distraksi atau visualisasi
1. Tentukan tujuan mental anda misalnya: hilangnya perasaan
cemas yang muncul berulang-ulang.
2. Siapkan diri anda melakukan tehnik distraksi
3. Bawa pikiran anda ke tempat istimewa seperti pantai tropis.
Biarkan diri anda menggunakan semua indra untuk
menjelajahi tempat tersebut, seperti merasakan kehangatan
sinar matahari, mencium wangi tanaman, mendengar suara
burung, merasakan percikan air ditubuh anda dan pasir
yang menggelitik jari kaki anda.
4. Setelah merasakan tempat istimewa tadi, bayangkan
sebuah gambaran untuk mencapai tujuan. Pikiran yang rilek
dapat menerima gagasan apapun.
5. Buatlah pernyataan mental yang positif mengenai diri anda,
seperti saya merasa tenang dan terkendali.
6. Pergilah perlahan-lahan dari tempat istimewa anda. Saat
membuka mata, anda akan merasa rileks dan segar.
Jangan langsung bangun karena penurunan tekanan darah
mungkin membuat anda pusing (Jan Clark, 2005).

TINJAUAN PUSTAKA
Konsep terapi relaksasi
Relaksasi adalah hal yang menunjukkan pada pengenduran otototot yang dalam. Sedangkan tehnik relaksasi adalah tehnik
latihan keterampilan mengolah tubuh, menenangkan pikiran dan
menetralkan pengaruh stress (Patricia & Limbreg, 1998).
Menurut Patricia dan Limberg (1998) tehnik relaksasi
dibagi dua macam yaitu:
1. Relaksasi aktif
Relaksasi aktif meliputi: pengolahan tubuh, atau pikiran
yang secara mendalam atau disebut juga sebagai relaksasi
penenangan yang dilakukan diri sendiri.
tehnik relaksasi aktif menurut latihannya sebagai berikut:

Konsep Tidur
Tidur adalah keadaan istirahat normal yang perubahan
kesadaranya terjadi secara periodik. Tidur mempunyai efek
restoratif dan sangat penting bagi kesehatan dan kelangsungan
hidup. Pada umumnya seseorang perlu tidur antara 4 sampai 9
jam selama 24 jam untuk dapat berfungsi secara normal (Linda
G. Copel, 2007).
Tidur oleh Johnson dianggap sebagai salah satu
kebutuhan fisiologis dasar manusia. Tidur terjadi secara alami,
dengan fungsi fisiologis dan psikologis yang melekat merupakan
suatu proses perbaikan tubuh.

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

Gangguan
utama
dalam
memulai
dan
mempertahankan tidur banyak terjadi dikalangan lansia antara
lain :
1. Insomnia
Insomnia adalah ketidakmampuan untuk tidur walaupun ada
keinginan untuk melakukannya. Lansia rentan terhadap
insomnia karena adanya perubahan pola tidur, biasanya
menyerang tahap 4 dari NREM.
2. Hipersomnia
Hipersomnia dicirikan dengan tidur lebih dari 8-9 jam dalam
sehari dengan keluhan tidur berlebihan.
3. Apnea tidur
Apnea tidur adalah berhentinya pernafasan selama tidur.
Gangguan ini diidentifikasi dengan gejala mendengkur,
berhentinya pernafasan minimal 10 detik, dan rasa kantuk
yang luar biasa pada siang hari. Selama tidur pernafasan
dapat berhenti paling banyak 300 kali dan episode apnea
dapat berakhir dari 10-90 detik.

4.

Ada beberapa tanda klinis yang perlu diketahui


perawat terhadap pasien yang kurang istirahat atau tidur yaitu:
1. Pasien mengungkapkan rasa capai.
2. Pasien mudah tersinggung dan kurang santai.
3. Pusing.
Mual.
Apabila gangguan tidur atau kurang istirahat ini
berlangsung lama maka dapat terjadi gangguan tubuh. Beberapa
tanda gangguan tidur yang perlu diperhatikan adalah:

1.
1. Perubahan kepribadian dan berprilaku seperti: agresif,
menarik diri atau depresi.
2. Rasa capai meningkat.
3. Gangguan persepsi.
4. Halusinasi pandangan dan pendengaran.
5. Bingung dan disorientasi terhadap tempat dan waktu.
6. Koordinasi menurun.
7. Bicara tidak jelas (Erfandi, 2008).

2.

Sedangkan menurut Patriani (2008) dampak kurangnya


pemenuhan kebutuhan istirahat tidur adalah: depresi, kesulitan
untuk berkonsentrasi, aktivitas sehari-hari menjadi terganggu,
prestasi kerja atau belajar mengalami penurunan, mengalami
kelelahan di siang hari, hubungan interpersonal dengan orang
lain menjadi buruk, meningkatkan resiko kematian, menyebabkan
kecelakaan karena mengalami kelelahan yang berlebihan dan
memunculkan bebagai penyakit fisik.
Terapi Tidur
Tujuan utama dari terapi tidur adalah untuk
mengidentifikasi masalah tidur dan mempraktekkan higiene tidur
yang baik. Seringkali fokus keperawatannya adalah untuk
membuat modifikasi gaya hidup dan memperkuat pola tidur
bangun.
Beberapa terapi tidur yang digunakan dalam keperawatan
antara lain:
1. Terapi individu
1) Bantu klien membuat kebiasaan gaya hidup sehat
seperti program latihan, program mempertahankan
berat badan dan makan makanan yang sehat.
2) Atasi berbagai variabel seperti stressor yang terjadi
terus menerus, perubahan kehidupan, hubungan yang
3.

sulit dan area ketidakbahagiaan dalam kehidupan


yang dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas tidur.
3) Tetapkan intervensi prilaku yang bisa digunakan untuk
memperkuat kebiasaan tidur yang sehat.
4) Gunakan terapi kognitif bila ada pikiran yang
mengganggu, pengharapan yang tidak realistik, atau
distorsi kognitif yang dapat menyebabkan masalah
tidur.
5) Jelaskan pada klien tentang penggunaan alkohol dan
zat depresan serta stimulus lain (kafein, pil diet atau
amfetamin dan kokain) dapat memperburuk masalah
tidur.
6) Bantu klien untuk mengambil langkah untuk
meningkatkan kesehatan fisik dan emosi
7) Ajarkan tehnik mengurangi stress dan berbagai stategi
koping pada klien untuk meningkatkan kedamaian dan
meningkatkan tidur.
8) Kaji semua kondisi klien seperti gangguan depresi dan
ansietas.
9) Dorong klien untuk menuliskan tentang tidurnya pada
buku catatan dengan tujuan untuk mengidentifikasi
masalah, mendokumentasikan siklus tidur bangun dan
untuk mengenali faktor yang mengganggu tidur.
10) Bantu klien untuk mengekspresikan dan mengatasi
semua perasaan tertekan, rasa takut, sedih dan duka
yang mungkin menghalangi untuk tertidur.
11) Anjurkan klien untuk menggunakan tehnik relaksasi
seperti terapi musik dan latihan relaksasi dan distraksi.
12) Rujuk untuk melakukan polisonografi
(EEG
(elektroensefalografi) yang merekam berbagai variabel
fisik seperti aktivitas gelombang otak, respirasi, eye
movemen dan tonus otot selama tidur) bila perlu.
13) Rujuk klien ke kelompok yang sesuai.
Pendekatan farmakologis
1) Insomnia jangka pendek biasanya diobati dengan
benzodiazepin. Obat ini membantu klien agar dapat
tidur dan meningkatkan total jumlah jam tidur. Obat ini
memiliki beberapa efek samping tapi tidak
menyebabkan kecanduan.
2) Obat-obat nonbenzodiazepin seperti triazolam
(Halcion) dan zolpidem tartrate (Ambien) berguna
untuk klien yang mengalami kesulitan tidur.
3) Gejala depresi dan insomnia mungkin dapat diberikan
antidepresan trisiklik (TCA) biasanya diberikan pada
jam tidur untuk meningkatkan waktu tidur di malam
hari. Sebuah Selective Serotonin Reuptake Inhibitor
(SSRI) umumnya diberikan pada klien depresi dan
insomnia trazodon (Desyrel). SSRI ini diberikan secara
hati-hati karena dapat menyebabkan insomnia.
4) Penggunaan zat yang mengurangi tidur REM seperti
benzodiazepin dan TCAs dapat meningkatkan insiden
mimpi jika pengobatan dihentikan.
5) Obat ansietas bisa digunakan pada klien dengan
ansietas
6) Sedatif harus digunakan secara bijaksana karena
dapat memperparah apnea tidur.
7) Melatonin dapat digunakan pada klien insomnia.
8) Antihistamin dapat digunakan pada klien gangguan
tidur tetapi obat ini dapat menyebabkan berkurangnya
kewaspadaan, sedasi, perlambatan waktu reaksi,
mulut kering, retensi urine dan takikardi.
Asuhan keluarga

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

1)

Ajarkan keluarga perihal gangguan tidur, pola tidur


bangun yang sehat, perlunya rutinitas waktu tidur dan
variabel lingkungan yang menghalangi dan
meningkatkan tidur.
2) Dorong anggota keluarga untuk merencanakan
bebagai peristiwa penting di sekitar waktu
kewaspadaan optimal klien.
3) Diskusikan penurunan waktu tidur berlebihan
mempengaruhi
kemampuan
klien
untuk
mempertahankan fungsi kesehariannya, mengatasi
stressor setiap hari, mengambil keputusan dan merasa
positif tentang dirinya sendiri.
4) Monitor pola tidur yang berfungsi untuk memberi
informasi tentang kecenderungan klien mengalami
depresi, mania, atau masalah kesehatan lainnya.
5) Identifikasi mimpi dimana mimpi buruk dapat
dihubungkan dengan beberapa gangguan tidur dan
bagaimana semua itu dapat memberi pengaruh negatif
pada kesejahteraan seseorang.
6) Ceritakan pada anggota keluarga bagaimana
membantu klien menggunakan metode evaluasi untuk
mengkaji gangguan tidur.
7) Bersama keluarga mengidentifikasi semua stressor
dan membuat cara- cara untuk mengatasi atau
mengubah situasi yang memberi pengaruh negatif
pada tidur klien.
8) Bantu keluarga untuk mengkomunikasikan masalah
tidur secara efektif tanpa menyalahkan orang yang
mengalaminya.
9) Diskusikan perlunya mencegah klien agar tidak ragu
membedakan antara periode aktifitas berlebih
(hiperaktif) dan periode kurang aktif.
10) Dorong anggota keluarga untuk mengidentifikasi
bagaimana kesulitan tidur dapat mempengaruhi setiap
orang dan secara buruk menghilangkan kuantitas tidur
beberapa orang.
11) Diskusikan dengan keluarga bagaimana perubahan
gaya hidup lebih berpeluang terjadi jika masingmasing anggota keluarga turut berpatisipasi dalam
proses perubahan tersebut.
12) Bantu anggota keluarga mengidentifikasi dan
membangun kekuatan mereka dan juga kekuatan
klien.
13) Kuatkan penggunaan keterampilan penyelesaian
masalah dalam keluarga.
14) Anjurkan pada keluarga untuk mendorong klien
mencari bantuan jika diperlukan untuk mengatasi
masalah tidurnya.
15) Buat rujukan pada kelompok swabantu atau kelompok
pendukung jika diperlukan.
2.1 Konsep lansia
a.

Definisi lansia
Mengikuti definisi secara umum, dikatakan lansia apabila
usianya 65 tahun ke atas (Setianto, 2004). Lansia bukan suatu
penyakit, namun merupakan suatu tahap lanjut dari suatu proses
kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh
untuk beradaptasi dengan stess lingkungan. Lansia adalah
keadaan yang ditandai oleh kegagalan dari seseorang
mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologik
(Pujiastuti, 2003). Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan

daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan


secara individual (Darmojo R Boedhi, 2001).
Berikut adalah batasan lansia (Wahyudi Nugroho, 2000):
1. Menurut WHO (World Health Organization)
1) Usia pertengahan (middle age)
: 45-59 tahun.
2) Lansia (elderly)
:
60-74
tahun.
3) Lansia tua (old)
:
75-90
tahun.
4) Usia sangat tua (very old)
: diatas 90
tahun;
2.

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Menurut UU No.13 th 1998


Dalam BAB 1 pasal 1 ayat 2 berbunyi lanjut usia adalah
seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun
keatas.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketuaan meliputi:
Hereditas (keturunan/genetik)
Nutrisi (makanan)
Status kesehatan
Pengalaman hidup
Lingkungan
Stress

Perubahan yang terjadi pada lansia


Menjadi tua bukanlah menjadi sakit, tetapi suatu proses
perubahan dimana kepekaan bertambah atau batas kemampuan
beradaptasi menjadi berkurang, dimana sering dikenal dengan
Geriatric Giant.
1. Imobilitas
Imobilitas merupakan masalah yang sering dijumpai pada
lansia akibat berbagai masalah fisik, psikologis dan
lingkungan yang dialami mereka. Penyebab tersering
adalah gangguan musculoskeletal, neurologi, dan
kardiovaskuler. Penyakit sendi generatif, osteoporosis, dan
fraktur pinggul merupakan masalah tersering menyebabkan
imobilitas pada lansia (Czeresna H. Soejono, 2001).
2. Instabilitas (mudah jatuh)
Jatuh seringkali dialami lansia beberapa faktor yang
berperan di dalamnya antara lain faktor intrinsik pada lansia
seperti gangguan gaya berjalan, kelemahan otot ektrimitas
bawah, serta faktor ekstrinsik seperti lantai licin dan tidak
rata, tersandung benda-banda, penglihatan kurang karena
cahaya kurang terang dan sebagainya (Darmojo B, 2004).
3. Intelektualitas terhambat (demensia)
Demensia sering terdapat pada lansia karena pembuluh
darah otak pada lansia menderita arteriosklerosis
(penebalan pembuluh darah). Gejala yang tampak berupa
gangguan ingatan, bingung, kacau dan gelisah (Oeswari,
1997).
4. Isolasi (depresi)
Depresi merupakan suatu perasaan sedih dan pesimis yang
berhubungan dengan suatu penderitaan. Pada lansia
dimana stres lingkungan sering menyebabkan depresi dan
kemampuan beradaptasi sudah menurun (Wahyudi
Nugroho, 2000)
5. Inkontinensia
Inkontinensia merupakan salah satu keluhan utama pada
lansia. Batasan inkontinensia adalah pengeluaran urin atau

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

6.

feses secara tak terkendali dan atau tidak pada tempatnya


sehingga menyebabkan timbulnya masalah gangguan
kesehatan atau sosial (Czeresna H. Soejono, 2001).
Impotensi
Aktivitas seksual tetap merupakan kebutuhan bagi lansia.
Berbagai penyakit yang sering diderita lansia dan konsumsi
obat-obatan dapat menjadi penyebab terjadinya disfungsi
ereksi (Darmojo B, 2004).

7.

Imunodefisiensi
Kemampuan respon imun pada setiap orang berbeda dan
perbedaan ini diperbesar bila mereka menjadi tua. Diduga
ada hubungan antara proses penuaan dengan respon imun
(Darmojo B, 2004).
8. Infeksi mudah terjadi
Lansia paling sering terkena infeksi karena pengaruh
lingkungan, perubahan faali pada sistem organ dan sistem
tubuh (Oeswari, 1997).
9. Impaksi
Pada umumnya orang normal buang air besar berkisar
antara 3 kali sehari sampai beberapa kali seminggu.
Frekuensi buang air besar tidak berubah dengan
bertambahnya umur. Namun pada lansia biasanya
mengalami perubahan dalam pola makannya sehingga
kebanyakan lansia mengalami konstipasi karena
kekurangan serat dalam makanan (Oeswari, 1997).
10. Iatrogenesis
Pada golongan lansia berbagai perubahan fisiologik pada
organ dan sistem tubuh akan mempengaruhi tanggapan
tubuh terhadap obat. Berbagai perubahan tersebut
merupakan perubahan dalam hal farmakokinetik,
farmakodinamik, dan hal khusus lain yang merubah prilaku
obat dalam tubuh (Darmojo B, 2004).
11. Insomnia
Faktor usia merupakan faktor terpenting yang berpengaruh
terhadap kualitas tidur, telah dikatakan bahwa keluhan
terhadap kualitas tidur seiring dengan bertambahnya usia.
Pada kelompok lansia banyak dijumpai mengeluh masalah
tidur yang hanya dapat tidur tidak lebih dari lima jam sehari.
Demikian juga lansia banyak mengeluh terbangun lebih
awal dari pukul 05.00 pagi (Wahyudi Nugroho, 2000).
12. Impairment of (gangguan pada:)
Penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman,
komunikasi, konvalensi, dan integritas kulit (Darmojo B,
2004).

perbedaan pemenuhan kebutuhan istirahat tidur sebelum dan


sesudah diberi terapi relaksasi dan distraksi pada lansia di
Karang Werdha Meidina Bangkalan.

Xo

Gambar 4.1 Desain Penelitian


Keterangan:
T
: Perlakuan terapi relaksasi dan distraksi
Xo
: Observasi pemenuhan kebutuhan istirahat tidur
sebelum diberi terapi relaksasi distraksi.
X2
: Observasi pemenuhan kebutuhan istirahat tidur setelah
diberi terapi relaksasi distraksi.

etgtj

Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti atau


sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi
(Nursalam, 2003). Sampel didefinisikan sebagai bagian dari
populasi yang diambil untuk diketahui karekteristiknya.
Dalam penelitian ini, sample yang digunakan adalah
semua lansia di Karang Werdha Meidina Bangkalan dengan
kriteria sebagai berikut:
1. Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian
dari suatu populasi target yang terjangkau yang akan diteliti
(Nursalam, 2003).
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:
1) Lansia dengan umur 60 tahun ke atas.
2) Bersedia menjadi subyek penelitian.
3) Lansia yang orientasi terhadap orang, waktu, dan
tempat masih baik.
4) Berkomunikasi dengan baik.
5) Lansia tidak dalam keadaan sakit.
2. Kriteria eksklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian
tidak dapat mewakili sampel penelitian karena tidak
memenuhi syarat sebagai sampel penelitian (A. A. Alimul
Hidayat, 2007).
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:
1) Umur lansia kurang dari 60 tahun.
2) Lansia psikotik
3) Lansia yang menyatakan berhenti dari latihan.
Besar sampel adalah banyaknya responden yang akan
dijadikan sampel. Dalam penelitian ini sampel yang digunakan
adalah sebagian lansia yang ada di Karang Werdha Meidina
Bangkalan yang memenuhi kriteria yang berjumlah sebagai
berikut:

METODE PENELITIAN
Rumus:
Metode penelitian merupakan cara bagaimana penelitian
dilakukan yang meliputi: desain penelitian, populasi, sample,
besar sample, tehnik sampling, identifikasi variabel, definisi
operasional, pengumpulan dan pengolahan data, etika penelitian,
keterbatasan dan kerangka operasional.
Desain penelitian adalah sesuatu yang sangat penting
dalam penelitian, yang memungkinkan pemaksimalan kontrol
beberapa faktor yang mempengaruhi akurasi suatu hasil
(Nursalam, 2003). Penelitian yang akan dilaksanakan merupakan
action research tipe pra eksperimental dengan desain the pre test
post test design dimana rancangan ini berusaha mencari

X2

N . Z . p . q
n=

d . ( N-1) + Z . p . q

keterangan:
n = Besar sampel
p = Estimator proporsi populasi (0,5)

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

q = I-P (0,5)

Definisi Operasional

Z = Harga kurva normal yang tergantung dari harga alpha ()

Tabel 4.1 Definisi operasional penelitian perbedaan pemenuhan


kebutuhan istirahat tidur sebelum dan sesudah
diberi terapi relaksasi dan distraksi pada lansia
Di Karang Werdha Meidina Bangkalan.

(1,96)
N = Besar unit populasi
d = Derajat kepercayaan = 5% = 0,05

N . Za2 . p . q
n =
d2 . (N-1) + Za2 . p . q
20 x (1,96)2 . (0,5) (0,5)
n

Va
riabel

Definisi
Operasional

Variabel
Univariet:
pemenuh
an
kebutuha
n istirahat
tidur

Suatu kebutuhan
dasar manusia
yang secara
fisiologis dan
psikologis berguna
untuk perbaikan
tubuh dan
merupakan
keadaan istirahat
normal yang
perubahan
kesadarannya
terjadi secara
periodik .

Jenis
perlakuan
: Terapi
relaksasi

- Salah satu jenis


terapi yang
diberikan pada
pasien dalam
pemenuhan
istirahat kebutuhan
tidur yang
dilakukan dengan
cara
mengendurkan
otot-otot dengan
latihan pernafasan.
- Salah satu jenis
terapi yang
diberikan pada
pasien dalam
pemenuhan
kebutuhan istirahat
tidur yang
dilakukan dengan
menciptakan kesan
istimewa
pemandangan
alam dalam pikiran
.

(0.05)2. (19) + (1,96)2. (0,5) (0,5)


19,208
n =

= 19,0574462
1,0079

n=

19

Jadi jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 19 orang.


Dalam penelitian ini peneliti menggunakan simple random
sampling yaitu pengambilan sampel dengan cara acak tanpa
memperhatikan strata yang ada dalam anggota populasi (A. Aziz
Alimul, 2003).
Variabel Univariet
Variabel merupakan konsep dari berbagai konsep dari berbagai
level dari abstrak yang didefinisikan sebagai suatu fasilitas untuk
pengukuran atau manipulasi suatu penelitian

Terapi
Distraksi

Parameter

Frekuensi tidur >4


jam, tidak terjaga
saat tidur, perasaan
segar saat bangun
tidur, tidak sulit
untuk memulai tidur,
bangun tidur tidak
terlalu dini di pagi
hari, dapat
berkonsentrasi
dengan baik, tidak
mengantuk
berlebihan saat
siang, tidak
mengalami depresi
dan kecemasan.
Frekuensi kehadiran
lansia pada tiap
kegiatan terapi
relaksasi dan
distraksi yang
dilakukan setiap
satu kali seminggu
selama 30 menit
dalam 1 bulan.

Alat
Ukur
kuesio
ner

Skala

Kriteria

ordinal

1. kurang
(<55%)
2. cukup
(56%75%)
3. baik
(76%100%)

Pengumpulan dan Pengolahan Data


1.

Instrumen Penelitian

Instrumen adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan


oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan data agar
kegiatan tersebut menjadi sistematis dan lebih mudah (Arikunto,
2006). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuesioner yang di berikan pada lansia yang ada di Karang
Werdha Meidina Bangkalan.
1.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

Lokasi penelitian ini adalah di Karang Werdha Meidina


Bangkalan. Dilaksanakan pada bulan Juni 2009.
2.

Prosedur
Sebelum pengumpulan data dilakukan peneliti mengajukan
permohonan kepada pengurus Karang Werdha Meidhina
Bangkalan dan Puskesmas Bangkalan untuk mendapatkan
persetujuan penelitian, peneliti juga mengajukan permohonan ijin
kepada responden sebagai subyek penelitian.
Setelah mendapat ijin dari pengurus Karang Werdha
Meidina dan Puskesmas Bangkalan serta responden, peneliti

melakukan pengumpulan data. Pengumpulan data dengan menggunakan


instrumen yang berupa kuesioner (pre test dan post test). Pre test
dilakukan dengan menggunakan kuesioner riwayat tidur yang diberikan
pada lansia di Karang Werdha Meidina Bangkalan untuk mengetahui
pemenuhan kebutuhan istirahat tidur. Setelah dilakukan pre test peneliti
memberikan penyuluhan tentang terapi relaksasi dan distraksi dan
penyuluhan tentang kebutuhan istirahat tidur yang normal serta menyusun
jadwal pemberian kegiatan. Jenis kegiatan dari terapi relaksasi dan
distraksi diberikan antara lain: senam lansia yang di padu dengan

terapi relaksasi dan distraksi. Selama proses intervensi, peneliti


melakukan observasi. Setelah lansia mendapat perlakuan (terapi
relaksasi dan distraksi), peneliti melakukan post test dengan
menggunakan kuesioner riwayat tidur. Untuk memperoleh
jawaban dari kuesioner, peneliti melakukan wawancara ke
responden.
3.

Pengolahan data

Data yang terkumpul dari kuesioner yang telah diisi oleh


responden diolah dengan tahap:
1. Editing
Langkah ini dilakukan dengan maksud mengantisipasi
kesalahan-kesalahan dari data yang telah dikumpulkan,
juga monitor jangan sampai terjadi kekosongan dari data
yang dibutuhkan.
2. Coding
Untuk memudahkan dalam pengolahan data, maka untuk
setiap jawaban dari setiap kuesioner yang telah disebarkan
diberi kode dengan karakter masing-masing sesuai dengan
klasifikasi yang telah ditetapkan :
Tingkat pemenuhan kebutuhan istirahat tidur.
1) Bila pemenuhannya baik diberi kode 3
2) Bila pemenuhannya cukup diberi kode 2
3) Bila pemenuhannya kurang diberi kode 1
3. Scoring
Scoring adalah memberi skor terhadap item-item yang perlu
di beri skor. Nilai tertinggi dari semua pertanyaan adalah
100 % dan nilai yang terendah 0 %. Dimana soal yang
dijawab ya memperoleh nilai 1, dan soal yang dijawab tidak
nilainya 0, jawaban responden dari macam-macam
pertanyaan di bagi dengan jumlah pertanyaan dan
kemudian di kalikan 100 hasilnya berupa presentase,
sedangkan rumus yang di gunakan adalah :
f
P =
X 100%
n
KETERANGAN :
P
= prosentase
f
= jumlah jawaban benar
n
= jumlah pertanyaan

Kemudian digolongkan sebagai berikut :


Baik = Nilai 76 % - 100%
Cukup = Nilai 56 % - 75%
Kurang = Nilai < 55%
4. Tabulating
Tabulating adalah mentabulasikan hasil data yang diperoleh
sesuai dengan item pertanyaan. Berdasarkan hasil skoring
data yang terkumpul dilakukan tabulasi data menggunakan
tabel sesuai dengan variabel yang diukur.
5. Analisa data
1) Analisis deskriptif
Analisa deskiptif adalah suatu prosedur pengolahan
data dengan menggambarkan dan meringkas data
dengan cara ilmiah dalam bentuk tabel atau grafik
(Nursalam, 2003). Pengamatan yang dilakukan pada
tahap analisis deskriptif adalah pengamatan terhadap
tabel frekuensi. Adapun variabel yang dianalisis atau
diamati yaitu pemenuhan kebutuhan istirahat tidur
sebelum dan sesudah diberi terapi relaksasi dan
distraksi pada lansia di Karang Werdha Meidina
Bangkalan.
2) Analisis inferensial (uji signifikansi)
Uji signifikansi menggunakan uji Wilcoxon Sign Rank
Test dengan skala ordinal pada variabel univariate.
Tujuan uji signifikansi untuk mengetahui pemenuhan
kebutuhan istirahat tidur sebelum dan sesudah diberi
terapi relaksasi dan distraksi pada lansia di Karang
Werdha Meidina Bangkalan. Untuk menjawab hipotesa
dilakukan uji Wilcoxon Sign Rank Test dengan tingkat
signifikan < atau sama dengan 0,05.
Etika Penelitian
Apabila manusia dijadikan sebagai subyek suatu
penelitian, hak sebagai manusia harus dilindungi (Nursalam,
2001). Sebelum dilakukan pengumpulan data, peneliti terlebih
dahulu mengajukan permohonan ijin yang disertai proposal
penelitian. Setelah mendapatkan persetujuan, kuesioner
dibagikan kepada subyek penelitian dengan menekankan
masalah etik sebagai berikut:
1. Informed Concent (Lembar persetujuan)
Sebelum menjadi responden, peneliti menjelaskan maksud
dan tujuan penelitian. Setelah responden mengerti maksud dan
tujuan penelitian, responden menandatangani lembar
persetujuan.
2. Anonimity (Tanpa Nama)
Di dalam surat pengantar penelitian dijelaskan bahwa
nama responden atau subyek penelitian tidak harus dicantumkan.
Peneliti akan memberikan kode-kode pada tiap lembar jawaban
yang telah diisi oleh responden.
3. Confidentiality (Kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden
selaku subyek penelitian dijamin kerahasiaannya oleh peneliti.
Hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil
penelitian.
Keterbatasan
Keterbatasan yang dialami peneliti dalam melaksanakan
penelitian ini antara lain:
1. Sampel yang dipergunakan sebagai subyek peneliti terbatas
hanya lansia di Karang Werdha Meidina Bangkalan.
Sehingga kurang representatif untuk digeneralisasikan.

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

2.

Pemberian terapi relaksasi dan distraksi pada lansia oleh


peneliti sangat singkat.

HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian akan diuji dalam dua bagian meliputi data
umum dan data khusus. Data umum berupa gambaran umum
lokasi penelitian dan karakteristik lansia yang meliputi jenis
kelamin, usia, tingkat pendidikan, riwayat pekerjaan, dan status
perkawinan lansia. Data khusus berupa pemenuhan kebutuhan
istirahat tidur sebelum dan sesudah diberi terapi relaksasi dan
distraksi pada lansia yang disajikan dalam bentuk distribusi
frekuensi.
Data umum
Karang Werdha Meidina berada di kabupaten
Bangkalan tepatnya di jalan kemayoran. Dengan batasan sebagai
berikut:
Sebelah barat
: Jalan raya
Sebelah timur
: Rumah penduduk
Sebelah selatan
: Jalan raya
Sebelah utara
: Rumah penduduk

Tabel 3 Distribusi frekuensi lansia berdasarkan pekerjaan lansia


di Karang Werdha Meidina Bangkalan Juni 2009
No

Pekerjaan

Frekuensi

1
2
3

Tidak bekerja
Pensiunan
Wiraswasta/swasta
Jumlah

3
16
0
19

Berdasarkan tabel 3 di atas diketahui bahwa lansia


yang tidak bekerja sebanyak 3 orang (15,8%), lansia yang
pensiunan sebanyak 16 orang (84,2%), lansia yang pekerjaannya
berwiraswasta sebanyak 0 orang (0%) dan lansia yang swasta
sebanyak 0 orang (0%).
1. Karakteristik lansia berdasarkan status perkawinan
Tabel 4 Distribusi frekuensi lansia berdasarkan status perkawinan
lansia di Karang Werdha Meidina Bangkalan Juni 2009
No
1
2
3

1. Karakteristik lansia berdasarkan jenis kelamin


Tabel 1. Distribusi frekuensi lansia berdasarkan jenis kelamin
lansia di Karang Werdha Meidina Bangkalan Juni
2009
No

Jenis kelamin

Frekuensi

1
2

Laki-laki
Perempuan
Jumlah

7
12
19

Persentase
(%)
36,8
63,2
100

Berdasarkan tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa


lansia yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 12 orang
(63,2%) dan lansia yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 7
orang (36,8%).
5.1.1 Karakteristik lansia berdasarkan tingkat pendidikan lansia
Tabel 2 Distribusi frekuensi lansia berdasarkan tingkat pendidikan
lansia di Karang Werdha Meidina Bangkalan Juni
2009
No
1
2
3
4
5

Pendidikan
Tidak sekolah
SD
SMP
SMA
Perguruan tinggi
Jumlah

Frekuensi
0
1
5
8
5
19

Persentase (%)
0
5,3
26,3
42,1
26,3
100

Berdasarkan tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa


lansia yang tidak sekolah sebanyak 0 (0%), lansia yang tingkat
pendidikannya SD sebanyak 1 orang (5,3%), lansia yang tingkat
pendidikannya SMP sebanyak 5 orang (26,3%), lansia yang
tingkat pendidikannya SMA sebanyak 8 orang (42,1%), dan lansia
yang tingkat pendidikannya perguruan tinggi sebanyak 5 orang
(26,3%).
3.

Karakteristik lansia berdasarkan riwayat pekerjaan lansia

Persentase (%)
15,8
84,2
0
100

Status
perkawinan
Tidak kawin
Kawin
Janda/duda
Jumlah

Frekuensi
0
11
8
19

Persentase
(%)
0
57,9
42,1
100

Berdasarkan tabel 4 di atas diketahui bahwa lansia


yang tidak kawin sebanyak 0 orang (0%), lansia yang kawin
sebanyak 11 orang (57,9%), dan lansia yang janda/duda
sebanyak 6 orang (42,1%).
Data khusus
Berdasarkan hasil penelitian tentang pemenuhan
kebutuhan istirahat tidur sebelum dan sesudah diberi terapi
relaksasi dan distraksi pada lansia di Karang Werdha Meidina
Bangkalan didapatkan data sebagai berikut.
Karaktristik lansia berdasarkan tingkat pemenuhan
kebutuhan istirahat tidur sebelum di beri terapi relaksasi dan
distraksi.
Tabel 5 Distribusi frekuensi berdasarkan tingkat pemenuhan
kebutuhan istirahat tidur lansia sebelum diberi terapi
relaksasi dan distraksi di Karang Werdha Meidina
Bangkalan Juni 2009
1.

No
1
2
3

Tingkat
pemenuhan
kebutuhan
istirahat tidur
Baik
Cukup
Kurang
Jumlah

Frekuensi

Persentase
(%)

4
9
6
20

21,1
47,4
31,5
100

Berdasarkan tabel 5 di atas diketahui tingkat pemenuhan


kebutuhan tidur lansia sebelum diberi terapi relaksasi dan
distraksi adalah lansia yang tigkat pemenuhan kebutuhan istirahat
tidurnya baik berjumlah 4 orang (21,1%), lansia yang tingkat
pemenuhan kebutuhan tidurnya cukup 9 orang (47,4%), dan

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

lansia yang tingkat pemenuhan kebutuhan tidurnya kurang


berjumlah 6 orang (31,5%).
Karakteristik lansia berdasarkan tingkat pemenuhan
kebutuhan istirahat tidur setelah diberi terapi relaksasi dan
distraksi.

2.

Tabel 6 Distribusi frekuensi berdasarkan tingkat pemenuhan


kebutuhan istirahat tidur lansia sesudah diberi terapi
relaksasi dan distraksi di Karang Werdha Meidina
Bangkalan Juni 2009

No
1
2
3

Tingkat
pemenuhan
kebutuhan
istirahat tidur
Baik
Cukup
Kurang
Jumlah

Frekuensi

Persentase
(%)

6
12
1
19

31,5
63,2
5,3
100

No

Pemenuhan Kebutuhan Istirahat Tidur


Cukup
Kurang

Sebelum

Sesudah

%
21,
1
31,
5

PEMBAHASAN
Setelah hasil pengumpulan data diproses maka didapatkan
gambaran bahwa terdapat perbedaan tingkat pemenuhan
kebutuhan istirahat tidur sebelum dan sesudah diberi terapi
relaksasi dan distraksi pada lansia di Karang Werdha Meidina
Bangkalan. Adapun pembahasan dari hasil penelitian adalah
sebagai berikut:
Gambaran tingkat pemenuhan kebutuhan istirahat tidur
sebelum diberi terapi relaksasi dan distraksi

Berdasarkan tabel 6 di atas diketahui tingkat pemenuhan


kebutuhan tidur lansia sebelum diberi terapi relaksasi dan
distraksi adalah lansia yang tingkat pemenuhan kebutuhan
istirahat tidurnya baik berjumlah 6 orang (31,5%), lansia yang
tingkat pemenuhan kebutuhan tidurnya cukup 13 orang (63,2%),
dan lansia yang tingkat pemenuhan kebutuhan tidurnya kurang
berjumlah 1 orang (5,2%).
2.
Analisis perbedaan tingkat pemenuhan kebutuhan
istirahat tidur sebelum dan sesudah diberi terap relaksasi
dan distraksi
Tabel 7 Tabel perbedaan pemenuhan kebutuhan istirahat tidur
sebelum dan sesudah diberi terapi relaksasi dan distraksi
di Karang Werdha Meidina Bangkalan Juni 2009
Terapi
Relaksasi
dan
Distraksi

dan menurunnya jumlah lansia yang pemenuhan kebutuhan


istirahat tidur sesudah diberi terapi relaksasi dan distraksi.
Kemudian dilakukan uji statistik dengan menggunakan
wilcoxon sign rank test diperoleh nilai probability p lebih kecil dari
taraf signifikan yang diharapkan (p=0,020). Dimana p<0,05
(0,020<0,05) Berarti Ho ditolak dan HI diterima ini berarti ada
perbedaan dalam pemenuhan kebutuhan istirahat tidur sebelum
dan sesudah diberi terapi relaksasi dan distraksi pada lansia.

47,4

31,5

1
2

63,2

5,3

Dari tabel 7 tabel perbedaan antara pemenuhan kebutuhan


istirahat tidur sebelum dan sesudah diberi terapi relaksasi dan
distraksi didapatkan bahwa sebelum diberi terapi relaksasi dan
distraksi ditemukan lansia yang pemenuhan kebutuhan istirahat
tidurnya kurang sebanyak 6 lansia (31,5%), lansia yang
pemenuhan kebutuhan istirahat tidurnya cukup sebanyak 9
orang (47,4%), dan lansia yang pemenuhan kebutuhan istirahat
tidurnya baik sebanyak 4 orang (21,1%). Sedangkan pemenuhan
kebutuhan istirahat tidur lansia setelah diberi terapi relaksasi dan
distraksi ditemukan lansia yang pemenuhan kebutuhan istirahat
tidurnya kurang sebanyak 1 lansia (5,3%), lansia yang
pemenuhan kebutuhan istirahat tidurnya cukup sebanyak 12
orang (63,2%), dan lansia yang pemenuhan kebutuhan istirahat
tidurnya baik sebanyak 6 orang (31,5%). Dari pernyataan ini
dapat diketahui bahwa ada peningkatan pemenuhan kebutuhan
istirahat tidur pada lansia sesudah diberi terapi relaksasi dan
distrakasi yang ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah lansia
yang pemenuhan kebutuhan istirahat tidur yang baik dan cukup

Berdasarkan hasil penelitian di Karang Werdha Meidina


Bangkalan menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan istirahat
tidur pada lansia sebelum diberi terapi relaksasi dan distraksi
hampir setengahnya (47,4%) sudah cukup terpenuhi dan hampir
sepertiganya (31,5%) yang pemenuhan kebutuhan istirahat
tidurnya kurang. Namun hanya sebagian kecil (21,1%) yang
pemenuhan kebutuhan istirahat tidurnya baik. Rendahnya tingkat
pemenuhan kebutuhan tidur yang baik pada lansia di Karang
Werdha Meidina Bangkalan disebabkan kerena proses patologis
terkait usia dimana lansia lebih mudah terserang penyakit karena
fungsi-fungsi tubuh pada lansia mengalami penurunan sehingga
selama proses penuaan juga terjadi perubahan pada pola tidur
yang membedakan dari usia muda. Menurut Jonson (2005) lansia
berisiko tinggi mengalami penurunan terhadap pemenuhan
kebutuhan istirahat tidur hingga terjadi gangguan tidur. Keadaan
iniTotal
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya faktor jenis
kelamin. Dimana sebagian besar lansia yang ada di Karang
Werdha%Meidina Bangkalan berjenis kelamin perempuan yaitu
63,2% (12 orang) sedangkan yang berjenis kelamin laki-laki
19hanya 100
sebagian kecil yaitu 36,8% (7 orang). Seorang perempuan
dalam bertindak lebih banyak menggunakan perasaan dan emosi
19dari pada
100 laki-laki sehingga perempuan lebih cenderung untuk
mengalami stress yang pada akhirnya akan mengganggu
pemenuhan kebutuhan istirahat tidur seseorang. Pernyataan di
atas juga di dukung oleh Imam musbikin (2005) yang menyatakan
pemenuhan kebutuhan istirahat tidur dipengaruhi oleh jenis
kelamin seseorang, dimana sebagian besar gangguan tidur yang
terjadi pada seseorang yang berjenis kelamin perempuan.
Penurunan aktifitas pada lansia yang biasa dilakukan
sebelumnya juga dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan
istirahat tidur lansia. Di Karang Werdha Meidina Bangkalan
sebagian besar lansia adalah pensiunan (84,2%) dan tidak
bekerja (15,8%), keadaan yang seperti ini dapat meningkatkan
angka kecemesan seseorang. Pada lansia yang pensiunan akan
timbul perasaan diasingkan oleh keluarga dan masyarakat karena
sudah dianggap tidak berguna lagi dengan keterbatasan fisik
yang dialami lansia akibatnya lansia mengalami kecemasan dan
kesedian yang mendalam. Cemas dan depresi akan
menyebabakan gangguan pada frekuensi tidur. Hal ini
disebabkan karena pada kondisi cemas akan meningkatkan
norepinefrin darah melalui sistem syaraf simpatik. Zat ini akan

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

mengurangi tahap IV NREM dan REM (Asmadi, 2008).


Pernyataan ini juga didukung oleh pendapat Perry & Potter yang
menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
pemenuhan kebutuhan tidur seseorang antara lain: status
kesehatan, Obat-obatan dan Substansi, Usia, Gaya hidup, Stres
emosional (Pensiunan, status perkawinan, kematian orang yang
dicintai), Lingkungan dan diet.
Gambaran tingkat pemenuhan kebutuhan istirahat tidur
sesudah diberi terapi relaksasi dan distraksi
Berdasarkan hasil penelitian di Karang Werdha Meidina
Bangkalan menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan istirahat
tidur pada lansia sesudah diberi terapi relaksasi dan distraksi
sebagian besar pemenuhan kebutuhan tidur yang cukup 12 orang
(63,2%), hampir setengahnya pemenuhan kebutuhan istirahat
tidurnya baik berjumlah 6 orang (31,5%), dan hanya sebagian
kecil lansia yang tingkat pemenuhan kebutuhan tidurnya kurang
berjumlah 1 orang (5,3%). Terapi relaksasi akan membantu tubuh
segar kembali dan beregenerasi setiap hari. Karena dengan
terapi relaksasi dan distraksi membuat tubuh seseorang menjadi
rilek dan pikiran menjadi tenang. Keadaan ini juga disebabkan
karena pada terapi relaksasi terjadi pengaktifan dari syaraf
parasimpatis yang menstimulasi turunnya semua fungsi yang
dinaikkan oleh syaraf simpatis dan menstimulasi naiknya semua
fungsi yang diturunkan oleh saraf simpatis. Ketika seseorang
mengalami masalah dalam pemenuhan kebutuhan istirahat
tidurnya maka terdapat ketegangan dalam otak dan otot sehingga
dengan mengaktifkan saraf parasimpatis dengan tehnik relaksasi
dan distraksi maka secara otomatis ketegangan berkurang
keadaan ini menyebabkan seorang akan mudah untuk masuk
kekondisi tidur. Selain itu terapi relaksasi dapat memunculkan
perasaan tenang dan rileks dimana gelombang otak mulai
melambat semakin melambat akhirnya membuat seseorang
dapat beristirahat dan tidur (Setiyo & Siti Zulaekah, 2007).
Pada terapi distraksi atau visualisasi dapat membantu
membawa pikiran & tubuh menuju keselarasan. Selain itu terapi
distraksi merupakan sebuah cara menyeimbangkan kehidupan
yang aktif dengan rasa tenang untuk melakukan refleksi diri. Cara
ini juga membantu agar tidur mudah dan nyenyak. Visualisasi
sering disebut sebagai terowongan kereta api yang tujuannya
adalah membantu kita memusatkan diri pada masa kini dan
membebaskan diri dari kekhawatiran masa lalu. Cara ini bisa
menjadi sarana yang lebih efektif untuk membuka jalan menuju
tidur yang lelap (Kelly, 2005).
Analisis perbedaan pemenuhan kebutuhan istirahat tidur
sebelum dan sesudah diberi terapi relaksasi dan distraksi
Dari tabel 6 tabel perbedaan antara pemenuhan kebutuhan
istirahat tidur sebelum dan sesudah diberi terapi relaksasi dan
distraksi didapatkan bahwa sebelum diberi terapi relaksasi dan
distraksi ditemukan lansia yang pemenuhan kebutuhan istirahat
tidurnya kurang sebanyak 6 lansia (31,5%), lansia yang
pemenuhan kebutuhan istirahat tidurnya cukup sebanyak 9
orang (47,4%), dan lansia yang pemenuhan kebutuhan istirahat
tidurnya baik sebanyak 4 orang (21,1%). Sedangkan pemenuhan
kebutuhan istirahat tidur lansia setelah diberi terapi relaksasi dan
distraksi ditemukan lansia yang pemenuhan kebutuhan istirahat
tidurnya baik sebanyak 6 orang (31,5%), lansia yang pemenuhan
kebutuhan istirahat tidurnya cukup sebanyak 12 orang (63,2%),
dan lansia yang pemenuhan kebutuhan istirahat tidurnya kurang

sebanyak 1 lansia (5,3%). Dari 5 orang yang pemenuhan


kebutuhan istirahat tidur kurang sebelum terapi mengalami
peningkatan menjadi cukup sesudah terapi, dan 3 orang yang
pemenuhan kebutuhan istirahat tidurnya cukup sebelum terapi
mengalami peningkatan menjadi baik sesudah terapi. Dari
pernyataan di atas dapat diketahui bahwa ada peningkatan
pemenuhan kebutuhan istirahat tidur pada lansia sesudah diberi
terapi relaksasi dan distrakasi yang ditunjukkan dengan
meningkatnya jumlah lansia yang pemenuhan kebutuhan istirahat
tidur yang baik dan cukup dan menurunnya jumlah lansia yang
pemenuhan kebutuhan istirahat tidurnya kurang sesudah diberi
terapi relaksasi dan distraksi.
Berdasarkan data tersebut juga menunjukkan bahwa
masih adanya lansia yang pemenuhan kebutuhan istirahat
tidurnya kurang setelah diberi terapi relaksasi dan distraksi ini
disebabkan karena terapi relaksasi dan distraksi yang diberikan
kurang dipahami sehingga lansia dalam melakukan terapi
relaksasi dan distraksi kurang fokus. Selain faktor di atas jumlah
dan frekuensi kegiatan terapi yang kurang intensif juga dapat
mempengaruhi keberhasilan dan tujuan pemberian terapi
relaksasi dan distraksi.
Dari hasil uji wilcoxon sign rank test diperoleh nilai
probability p lebih kecil dari taraf signifikan yang di harapkan
(p=0,020). Dimana p<0,05 (0,020<0,05) Berarti Ho ditolak dan HI
diterima ini berarti ada perbedaan dalam pemenuhan kebutuhan
istirahat tidur sebelum dan sesudah diberi terapi relaksasi dan
distraksi pada lansia.
Adanya perbedaan pemenuhan kebutuhan istirahat tidur
sebelum dan sesudah diberi terapi relakssi dan distraksi sesuai
dengan manfaat terapi relaksasi dan distraksi oleh Perry & Potter
(2005) yang menyatakan manfaat terapi relaksasi dan distraksi
antara lain: penurunan frekuensi nadi, penurunana tekanan
darah dan pernafasan, penurunan konsumsi oksigen, penurunan
ketegangan otot, penurunan kecepatan metabolisme,
peningkatan kesadaran global, perasaan damai dan sejahtera,
dan menetralkan efek-efek respon stress pada tingkat fisiologis.
Suasana ini diperlukan untuk mencapai gelombang alpha yaitu
suatu keadaan yang diperlukan seseorang untuk memasuki fase
tidur awal.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari analisis data penelitian yang telah
dilaksanakan sejak tanggal 1 Juni 2009 sampai dengan 30 Juni
2009 yang berjudul perbedaan pemenuhan kebutuhan istirahat
tidur sebelum dan sesudah diberi terapi relaksasi dan distraksi
pada lansia di Karang Werdha Meidina Bangkalan. dengan
menggunakan sampel sebanyak 20 orang lansia diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemenuhan kebutuhan istirahat tidur pada lansia sebelum
diberi terapi relaksasi dan distraksi di Karang Werdha
Meidina Bangkalan hampir setengahnya (47,4%) sudah
cukup terpenuhi.
2. Pemenuhan kebutuhan istirahat tidur setelah diberi terapi
relaksasi dan distraksi sebagian besar (63,2%) cukup
terpenuhi.
3. Pemenuhan kebutuhan istirahat tidur pada lansia lebih baik
setelah diberikan terapi relaksasi dan distraksi. Hal ini
menujukkan bahwa ada pebedaan pemenuhan kebutuhan
istirahat tidur pada lansia sebelum dan sesudah diberi terapi

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

relaksasi dan distraksi


Bangkalan.

di Karang Werdha Meidina

18.
19.
20.

Saran
1. Bagi peneliti selanjutnya
Diharapkan adanya penelitian yang lebih lanjut tentang
pemenuhan kebutuhan istirahat tidur pada lansia dengan
menggunakan terapi relaksasi dan distraksi ataupun terapi
yang lain pada lansia, dengan menggunakan jumlah sampel
yang lebih representatif dan alat ukur yang telah teruji
validitas dan reliabilitasnya dalam permasalahan yang
serupa.
2. Bagi pelayanan keperawatan
Pelayanan keperawatan hendaknya lebih mampu
menerapakan
tehnih-tehnik
keperawatan
dalam
memberikan asuhan keperawatan untuk mengatasi masalah
kesehatan yang terjadi di lingkungan masyarakat.

21.
22.
23.
24.
25.

26.

DAFTAR PUSTAKA

27.
28.

1. Arikunto, Suharsimi (2006). Prosedur Penilitian Suatu


Pendekatan Praktek. Jakarta: Rienika Cipta
2. Arsiniati (2008). Pedoman Penyusunan Proposal Penelitian
dan Penulisan Skripsi STIKES Insan Unggul Surabaya
3. Asmadi (2008). Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.
Jakarta: Salemba Medika
4. Carpenito, L. J (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan.
Edisi kedelapan. Jakarta: EGC
5. Clark, Jan (2005). Fit dan Bugar Saat Menopouse. Jakarta:
EGC
6. Copel, Linda G (2007). Kesehatan Jiwa dan Psikiatri
Pedoman Klinis Perawat. Jakarta: EGC
7. Darmojo, B dan Martono, H (2000). Geriatri (Ilmu Kesehatan
Usia Lanjut). Jakarta: EGC
8. Darmojo, R Boedhi (2001). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Edisi
ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
9. Definite
(2008).
Epworth
Sleeping
Scale.
http://www.mendengkur.com. Selasa, 18 Maret 2008. 15:16
10. Dian (2008). Istirahat tidur. http://www.dianweb.org. Selasa,
18 Maret 2008. 15:30
11. Doengoes, M.E,dkk (2000). Rencana Asuhan Keperawatan
Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Cetakan I. Jakarta: EGC
12. Doengoes, M.E,dkk, (2006). Rencana asuhan keperawatan
psikiatri. Edisi ketiga. Jakarta: EGC
13. Erfandi (2008). Mengkaji pemenuhan kebutuhan istirahat
tidur. http://puskesmas-oke.blogspot.com. 21 December
2008. 16:00
14. Fajarqimi (2008). Terganggu kantuk saat tidur.
http://fajarqimi.com. Minggu, 17 Februari 2008. 16:35
15. Hidayat, Alimul A. A. (2007). Riset Keperawatan dan Teknik
Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika
16. Japardi,
Iskandar
(2002).
Gangguan
tidur.
http://library.usu.ac.id. 18 Januari 2009.

29.

17. Kaplan dan Sadock (1997). Sinopsis Psikiatri Ilmu


Pengetahuan Prilaku Psikiatri Klinis. Edisi ketujuh. Jilid 2.
Jakarta: Binaaksara

30.
31.
32.
33.
34.
35.

Kelly, Tracey (2005). 50 Rahasia Alami Tidur yang


Berkualitas. Jakarta: Erlangga
Klinis (2007). Terapi Insomnia. http://klinis.wordpress.com.
16 Agustus 2007. 15:59
Nevid, J.S. dan Rathus, S.A (2005).
Psikologi Abnormal. Edisi kelima. Jilid 2. Jakarta: Erlangga
Maramis, W.F (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.
Cetakan kesembilan. Surabaya: Airlangga University Press
Musbikin, Imam (2005). Kiat-Kiat Sukses Melawan Stress.
Madiun: Jawara
Nugroho,Wahyudi (2000). Keperawatan Gerontik. Jakarta:
EGC
Nurmiati, Amir (2009). Gangguan Tidur pada Lanjut Usia:
Diagnosis dan Penatalaksanaanya. http://www.kalbe.co.id.
09 Februari 2009 16:54
Nursalam (2003). Konsep & Penerapan Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis dan
Instrumen Penelitian Keperawatan. Adisi pertama. Jakarta:
Salemba Medika
Oeswari, E (1997). Menyongsong Usia Lanjut Dengan
Bugar dan Bahagia. Jakarta:
Sinar Harapan
Patricia & limberg, (1998). Mengatasi Stress secara Positif.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Potter & Perry, (2005). Buku Ajar Fundamental
Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Edisi
kedelapan. Jakarta: EGC
Setiyo dan Siti Zulaikah (2007). Pengaruh Pelatihan
Relaksasi Religius untuk Mengurangi Gangguan Insomnia.
http://klinis.wordpress.com. 28 Agustus 2007. 16:00
Sintia (2007). Stress Picu Insomnia. Metropolis. Kamis, 7
Juni 2007. 16:15
Soejono, C,H, Setiati,S, Raharjo,T,W (2000). Pedoman
Pengelola Kesehatan Pasien Geriatri. Jakarta: FK-UI
Sugiono (2005). Statistika untuk Penelitian. Bandung:
Alphabeta
Tom, A.D (2003). Buku saku psikiatri. Edisi keenam.
Jakarta: EGC
Weller, stella (2005). Yoga terapi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI PERAWAT DENGAN TINGKAT KECEMASAN


KELUARGA PASIEN YANG DIRAWAT DI RUANG ICURSUD
SYARIFAH AMBAMI RATO EBU BANGKALAN
1 Rodiyatun,

S.Kep.Ns.,M.Pd

2 Ansori
1 Dosen

Stikes Insan Se Agung Bangkalan


Insan Se Agung Bangkalan

2 Mahasiswa

ABSTRAK
Pada umumnya pasien yang ada di unit intensif adalah dalam keadaan yang tidak berdaya, sehingga keluarga pasien datang dengan
wajah bermacam-macam stressor. Hal demikian terjadi karena pelaksanaan komunikasi yang tidak efektif atau kurang baik antara perawat
dengan pasien dan keluarganya sehingga menyebabkan mereka sering kesulitan bekerja sama dengan perawat. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui hubungan komunikasi perawat dengan tingkat kecemasan keluarga yang di rawat yang di rawat ruang ICU Syarifah Ambami
Rato Ebu Bangkalan.
Desain penelitian ini yang digunakan adalah analitik dengan pendekatan penelitian cross sectional. Jenis sampling yang di gunakan
adalah probability sampling dengan tindakan sistematic sampling, jumlah populasi 27 orang keluarga pasien dengan besar sampel 22
keluarga pasien. Variabel independennya adalah komunikasi perawat dan variabel dependennya adalah tingkat
kecemasan keluarga. Cara pengambilan data dengan menggunakan kuesioner. Analisa data dilakukan dengan korelasi spearman.
Dari hasil penelitian menggambarkan (40,9%) komunikasi parawat kurang, dengan tingkat kecemasan keluarga pasien berat yaitu (55,6). Dari
uji spearman rho nilai = 0,007 < derajat kemaknaan = 0,05, menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara komunikasi perawat
dengan tingkat kecemasan keluarga.
Saran yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh perawat, mampu menjalankan komunikasi dengan baik dan tepat dalam
melaksanakan perannya sebagai care giver dalam pelaksanaan asuhan keperawatan dengan menggunakan dirinya secara efektif dalam
melaksanakan asuhan keperawatan profesional.
Kata kunci = komunikasi perawat, kecemasan keluarga
ABSTRACT
In general, patients in the intensive unit is in a state of helplessness, so that the patient's family came to face a variety of stressors. It so
happens because the implementation of the communication was not effective or less well among nurses with patients and their families so
that they often cause difficulties in cooperation with the nurses. The purpose of this study to determine the relationship of anxiety level of
communication with family caregivers who cared for the in-patient ICU room Syarifah Ambami Rato.Ebu Bangkalan
This research design used is analytic approach cross-sectional study. Type of sampling used is a probability sampling with sampling
sistematic action, a population of 27 patients with a large family of 22 samples of the patient's family. The independent variable is the
communication of nurses and the dependent variable is the level of family anxiety. How to capture data using a questionnaire. Analysis of data
was spearmen rho.
From the results of the study describes (40,9%) less parawat communication, with the level of anxiety that is severe the patient's family
(55.6%). From the test spearman rho value = 0.007 < significance degrees = 0,05, showed no significant relationship between anxiety
level of communication with family caregivers
Suggestions that need to be considered and implemented by nurses, capable of running well and proper communication in carrying out
its role as a care giver in the implementation of nursing care by using him effectively in the implementation of professional nursing care.
Keyword = nurse communication, family anxiet

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pasien gawat darurat merupakan seseorang atau banyak
orang yang mengalami suatu keadaan yang mengancam jiwanya
yang memerlukan pertolongan secara cepat, tepat dan cermat
yang mana bila tidak ditolong maka seseorang atau banyak orang
tersebut dapat mati atau mengalami kecacatan. Secara medis
pasien dengan kondisi gawat darurat membutuhkan unit layanan
khusus yang menyediakan fasilitas memadai yaitu intensive care
unit (ICU). Merupakan tempat atau unit tersendiri di dalam rumah
sakit yang menangani pasien-pasien gawat karena penyakit,
trauma atau komplikasi penyakit lain. (Hartono A, 2007)
Penanganan terhadap pasien dengan kondisi gawat
darurat, membutuhkan penanganan ektra, baik penanganan
medis maupun psikologis. (Kaplan, H.I & Soddock, B. J)
Pasien yang dirawat di ICU tidak hanya membutuhkan
tehnologi dan terapi tapi juga memerlukan perawatan humanistik
dari keluarganya. Pada umumnya pasien yang ada di unit intensif
adalah dalam keadaan yang tidak berdaya, hal ini yang
menyebabkan keluarga dari pasien datang dengan wajah yang
merengus dengan bermacam-macam stressor yaitu ketakutan
akan kematian, ketidakpastian hasil, perubahan pola,
kekhawatiran akan biaya perawatan, situasi dan keputusan
antara hidup dan mati, rutinitas yang tidak beraturan,
ketidakberdayaan untuk tetap atau selalu berada disamping
orang yang disayangi sehubungan dengan peraturan kunjungan
yang ketat, tidak terbiasa dengan perlengkapan atau lingkungan
di ruang perawatan, personel atau staf di ruang perawatan, dan
rutinitas ruangan.
Penelitian Sri Asih Rusmini tahun 2002 pada RSU Doris
Sylvanus Palangkaraya didapatkan bahwa perilaku perawat
khususnya dalam berkomunikasi kurang baik. Juga penelitian
yang dilakukan Hj. Indirawaty di RSU Haji Sukolilo Surabaya
bahwa bahwa 74,2 % keluarga pasien yang masuk rumah sakit
mengalami kecemasan karna sikap komunikasi perawat yang
tidak efektif. (Kompas, 2003).
Kecemasan disebabkan oleh komunikasi yang tidak efektif
(Hawari, 2004). Pasien dan orang-orang terdekatnya mungkin
diberi informasi dalam bentuk yang tidak keluarga pasien
mengerti (istilah-istilah medis). Keluarga pasien tidak mampu
untuk cukup asertif untuk meminta penjelasan dan akibatnya
cemas mereka meningkat karena kurangnya pemahaman.
Cemas juga mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
berkonsentrasi, rentang perhatian juga bisa sangat berkurang dan
menyebabkan kurangnya kemampuan mengingat informasi.
Banyak faktor penyebab terjadinya kecemasan dalam diri
pasien dan keluarganya selama pasien di rumah sakit, salah
satunya adalah faktor komunikasi perawat. Keluarga akan
mengalami ansietas (cemas) dan perasaan yang tidak menentu
ketika anggota keluarganya mengalami sakit yang harus dirawat
di rumah sakit yang berada di ruang ICU.
Semua stressor ini menyebabkan keluarga jatuh pada
kondisi krisis dimana koping mekanisme yang digunakan menjadi
tidak efektif dan perasaan menyerah atau apatis dan kecemasan
akan mendominasi perilaku keluarga. Pada saat demikian
perawat kurang atau tidak dapat melaksanakan komunikasi yang
efektif sehingga keluarga akan terus terpuruk dalam situasi yang
demikian dan pada akhirnya asuhan keperawatan yang kita
berikan secara komperhensif dan holistik tidak akan tercapai
dengan baik (Kelliat, 1998).

Sebenarnya hal demikian tidak akan terjadi apabila sejak


dari pertama kali pasien masuk ruang intensif care unit (ICU),
perawat mampu memberikan pengertian dan pendekatan yang
terapeutik kepada pasien dan keluarganya yang diwujudkan
dengan pelaksanaan komunikasi yang efektif antara perawat
dengan pasien dan keluarganya berupa komunikasi terapeutik.
Tapi ternyata dari beberapa riset dinyatakan bahwa komunikasi
terapeutik perawat masih kurang baik. (perry and potter 2005).
Perawat harus menyadari bahwa komunikasi terapeutik
adalah elemen penting dari kemampuan perawat. Sehingga
berkomunikasi yang asertif dalam praktek keperawatan
profesional sangat berpengaruh atau membantu pasien dan
keluarganya dalam proses penyembuhan atau dalam memenuhi
kebutuhan dasarnya serta memberikan perasaan tenang tanpa
kecemasan selama dirawat di rumah sakit.
Disisi lain pasien dan keluarga sebagai komunikan dapat
memberikan respon atau persepsi yang obyektif terhadap nilainilai sikap atau ketrampilan yang ada dalam komunikasi yang
ditampilkan oleh perawat selama terjadinya interaksi dengan
pasien dan keluarganya. Evaluasi yang dibangun atas dasar
persepsi yang benar dari pasien dan keluarganya akan
membantu memperbaiki kinerja perawat dalam asuhan
keperawatan yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu
pelayanan keperawatan menuju profesionalisme keperawatan.
Penggunaan komunikasi terapeutik merupakan hal yang
perlu mendapat perhatian dari perawat untuk mendapatkan
informasi yang akurat dan membina hubungan saling percaya
pada klien dan keluarganya (Sacharin, 1996), membangun rasa
percaya antara perawat dan klien dan keluarganya sangatlah
berguna dalam berkomunikasi secara efektif (Ellis & Nowlis,
2006).
Berdasarkan hasil wawancara langsung peneliti dengan 4
orang (2,2%) keluarga dari klien yang dirawat di Ruang ICU
RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan pada tanggal 17
januari 2011, menunjukan bahwa ketika melakukan tindakan,
perawat tidak selalu mengajak keluarga dari klien untuk
berkomunikasi. Wawancara langsung peneliti dengan kepala
ruang ICU RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu bangkalan dari
observasi yang peneliti lakukan terhadap 3 orang (1,7%) perawat
didapatkan keterangan bahwa komunikasi terhadap keluarga
sudah dilakukan perawat dalam melayani klien dan keluarganya,
tetapi hasil penelitian atau evaluasi yang berkaitan dengan
komunikasi untuk menurunkan kecemasan terhadap keluarga
klien belum pernah dilakukan.
Berdasarkan pemikiran dan fenomena di atas, maka
penulis tertarik untuk meneliti hubungan antara komunikasi
perawat dengan tingkat kecemasan keluarga pasien yang di
rawat di ruang ICU RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan.
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut Apakah ada
Hubungan antara komunikasi perawat dengan tingkat kecemasan
keluarga pasien yang dirawat di ruang ICU RSUD Syarifah
Ambami Rato Ebu.

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

TINJAUAN PUSTAKA
1.

Konsep ICU

ICU adalah ruang rawat di Rumah Sakit yang dilengkapi


dengan staf dan peralatan khusus untuk merawat dan mengobati
pasien yang terancam jiwa oleh kegagalan / disfungsi satu organ
atau ganda akibat penyakit, bencana atau komplikasi yang masih
ada harapan hidupnya (reversible).
Level ICU
1.
Level I (di Rumah Sakit Daerah dengan tipe C dan D)
Pada Rumah Sakit di daerah yang kecil, ICU lebih
tepat disebut sebagai unit ketergantungan tinggi (High
Dependency). Di ICU level I ini dilakukan observasi
perawatan ketat dengan monitor EKG. Resusitasi segera
dapat dikerjakan, tetapi ventilator hanya diberikan kurang
dari 24 jam.
2.

3.

Level II
ICU level II mampu melakukan ventilasi jangka lama,
punya dokter residen yang selalu siap di tempat dan
mempunyai hubungan dengan fasilitas fisioterapi, patologi
dan radiologi.
Bentuk fasilitas lengkap untuk menunjang kehidupan
(misalnya dialisis), monitor invasif (monitor tekanan
intrakranial) dan pemeriksaan canggih (CT Scan) tidak
perlu harus selalu ada.
Level III
ICU Level III biasanya pada rumah Sakit tipe A yang
memiliki semua aspek yang dibutuhkan ICU agar dapat
memenuhi peran sebagai Rumah Sakit rujukan.
Personil di ICU level III meliputi intensivist dengan
trainee, perawat spesialis, profesional kesehatan lain, staf
ilmiah dan sekretariat yang baik. Pemeriksaan canggih
tersedia dengan dukungan spesialis dari semua disiplin
ilmu.

Fungsi ICU
Dari segi fungsinya, ICU dapat dibagi menjadi :
1.
ICU Medik
2.
ICU trauma/bedah
3.
ICU umum
4.
ICU pediatrik
5.
ICU neonatus
6.
ICU respiratorik
Semua jenis ICU tersebut mempunyai tujuan yang sama,
yaitu mengelola pasien yang sakit kritis sampai yang terancam
jiwanya.
ICU di Indonesia umumnya berbentuk ICU umum, dengan
pemisahan untuk CCU (Jantung), Unit dialisis dan neonatal ICU.
Alasan utama untuk hal ini adalah segi ekonomis dan operasional
dengan menghindari duplikasi peralatan dan pelayanan
dibandingkan pemisahan antara ICU Medik dan Bedah.
Etik di ICU

Etik dalam penanganan pasien riset, dan hubungan


dengan kolega harus dilaksanakan secara cermat. Etik di ICU
perlu pertimbangan berbeda dengan etik di pelayanan kesehatan
atau bangsal lain. Terkadang muncul kontroversi etik dalam
legalitas moral di ICU, misalnya tentang euthanasia.
Indikasi masuk ICU
Pasien yang masuk ICU adalah pasien yang dalam
keadaan terancam jiwanya sewaktu-waktu karena kegagalan atau
disfungsi satu atau multple organ atau sistem dan masih ada
kemungkinan dapat disembuhkan kembali melalui perawatan,
pemantauan dan pengobatan intensif.
Selain adanya indikasi medik tersebut, masih ada indikasi
sosial yang memungkinkan seorang pasien dengan kekritisan
dapat dirawat di ICU.
2.

Konsep Kecemasan

Pasien yang dirawat di rumah sakit umumnya dengan


masalah fisik juga mengalami masalah psikososial seperti
berdiam diri, tidak ingin bertemu dengan orang lain, merasa
kecewa/putus asa, malu dan tidak berguna disertai keraguraguan dan percaya diri yang kurang. Keluarga juga sering
merasakan kekhwatiran dan ketidakpastian keadaan pasien
ditambah dengan kurangnya waktu petugas (perawat dan dokter)
untuk membicarakan keadaan pasien. Pasien dan keluarganya
sering tidak diajak berkomunikasi, kurang diberikan informasi yag
dapat mengakibatkan perasaan sedih, ansietas/cemas, takut,
marah, frustasi, tidak berdaya karena informasi yang tidak jelas
disertai ketidakpastian. Mereka tidak menyatakan proses yang
terjadi. Sewaktu-waktu mereka dipanggil untuk membeli obat atau
alat mereka tidak berani bertanya, atau jika bertanya akan
mendapat jawaban yang tidak memuaskan (Kelliat, 1998).
Kecemasan yang dirasakan oleh klien dan keluarganya
disaat klien harus dirawat mendadak dan tidak terencana
merupakan reaksi pertama yang muncul begitu mulai masuk
rumah sakit dan akan terus menyertai klien dan keluarganya
dalam setiap upaya perawatan terhadap penyakit yang diderita
klien.
Kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan, yang
ditandai dengan istilah-istilah kekhawatiran, keprihatinan dan
rasa takut yang kadang-kadang kita alami dalam tingkat yang
berbeda-beda (Atkinson, 2000).
Ansietas/kecemasan sangat berkaitan dengan perasaan
tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini dialami secara
objektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal.
Ansietas berbeda dengan rasa takut. Takut merupakan penilaian
intelektual terhadap stimulus yang mengancam dan objeknya
jelas, sedangkan ansietas adalah respon emosional terhadap
penilaian. Ansietas merupakan istilah yang akrab dengan
kehidupan sehari-hari yang menggambarkan keadaan khawatir,
gelisah, takut, tidak tentram disertai keluhan fisik. Keadaan
tersebut dapat terjadi atau menyertai berbagai kondisi situasi
kehidupan dan berbagai gangguan kesehatan (Herawati, 1997)
Cemas atau ansietas merupakan reaksi emosional yang
timbul oleh penyebab yang tidak pasti dan tidak spesifik yang
dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman dan merasa
terancam. Sedangkan kemampuan individu dalam berespon
terhadap kecemasan tersebut ditentukan oleh faktor-faktor antara
lain : umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan (Stuart &
Sundeen, 1998).

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

Kecemasan muncul bila ada ancaman ketidakberdayaan,


kehilangan kendali, perasaan kehilangan fungsi-fungsi dan harga
diri, kegagalan pertahanan, perasaan terisolasi (Hudak dan Gallo,
1999).
Penyebab Kecemasan
1. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart & Sundeen (1998), beberapa teori yang
mengemukakan faktor predisposisi (pendukung) terjadinya
kecemasan antara lain :
a. Teori psikoanalitik
Kecemasan merupakan konflik emosional yang terjadi
antara 2 elemen kepribadian yaitu Id dan super ego. Id
melambangkan dorongan insting dan impuls primitif, super ego
mencerminkan hati nurani seseorang, sedangkan ego atau aku
digambarkan sebagai mediator dari tuntutan Id dan super ego.
Kecemasan berfungsi untuk memperingatkan ego tentang suatu
bahaya yang perlu diatasi.
b. Teori interpersonal
Kecemasan terjadi dari ketakutan dan penolakan
interpersonal, hal ini digabungkan dengan trauma pada masa
pertumbuhan seperti kehilangan atau perpisahan yang
menyebabkan seseorang tidak berdaya. Individu yang
mempunyai harga diri rendah biasanya sangat mudah untuk
mengalami kecemasan berat.
c. Teori behavior (perilaku)
Kecemasan merupakan hasil frustasi segala sesuatu yang
mengganggu kemampuan untuk mencapai tujuan yang diingikan.
Para ahli prilaku menganggap kecemasan merupakan suatu
dorongan yang mempelajari berdasarkan keinginan untuk
menghindari rasa sakit. Pakar teori meyakini bahwa bila pada
awal kehidupan dihadapkan pada rasa takut yang berlebihan
maka akan menunjukkan kecemasan yang berat pada masa
dewasanya.
d. Kajian keluarga
Gangguan kecemasan dapat terjadi dan timbul secara
nyata dalam keluarga, biasanya tumpang tindih antara gangguan
cemas dan depresi.
e. Kajian biologis
Kajian biologi menunjukkan bahwa otak mengandung
reseptor spesifik untuk benzodiasepin. Reseptor ini mungkin
mempengaruhi kecemasan.
2. Faktor Presipitasi
a.
Faktor internal
Menurut Soewardi (1997), kemampuan individu
dalam merespon terhadap penyebab kecemasan
ditentukan oleh :
Potensi stresor
Stresor psikososial merupakan setiap keadaan atau
peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan
seseorang sehingga orang itu terpaksa mengadakan
adaptasi.
b. Maturitas
Individu yang memiliki kematangan kepribadian lebih
sukar mengalami gangguan cemas. Karena individu yang
matur mempunyai daya adaptasi yang lebih besar terhadap
kecemasan.
a.

c.

Keadaan fisik

Seseorang yang mengalami gangguan fisik seperti


cedera akan mudah mengalami kelelahan fisik sehingga lebih
mudah mengalami kecemasan.
d. Lingkungan dan situasi
Seseorang yang berada pada suatu lingkungan yang
asing ternyata lebih mudah mengalami kecemasan dibanding
berada pada lingkungan yang biasa ia tempati.
e.

Pendidikan dan status ekonomi


Tingkat pendidikan dan status ekonomi yang rendah
pada seseorang akan memudahkan orang tersebut
mengalami kecemasan. Tingkat pendidikan dan pengetahuan
individu akan berpengaruh terhadap kemampuan berfikir,
semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin mudah
berfikir secara rasional dan menangkap informasi, termasuk
dalam menguraikan masalah yang baru.
b.

a.
b.

Faktor eksternal

Ancaman integritas diri, meliputi ketidakmampuan fisiologis


atau gangguan terhadap kebutuhan dasar (penyakit, trauma
fisik, pembedahan yang akan dilakukan).
Ancaman konsep diri antara lain : ancaman terhadap
identitas diri, harga diri, dan hubungan interpersonal,
kehilangan serta perubahan status atau peran (Stuart &
Sundeen, 1998).

Konsep Komunikasi
Komunikasi adalah proses pengoperasian rangsangan
(stimulus) dalam bentuk lambang atau simbol bahasa atau gerak
(non verbal), untuk mempengaruhi perilaku orang lain
(Notoatmodjo, 2003).
Komunikasi adalah peristiwa sosial, peristiwa yang
terjadi ketika manusia berinteraksi dengan manusia lain
(Rakhmat, 2007).
Komunikasi merupakan alat yang efektif untuk
mempengaruhi tingkah laku manusia, sehingga komunikasi
dikembangkan dan dipelihara terus-menerus. Ada empat alasan
yang mengharuskan orang untuk berkomunikasi yaitu :
1. Mengurangi ketidakpastian
Ketidakpastian dapat terletak pada seluruh kehidupan,
segala rencana dan perkiraan yang kadang begitu saja mudah
berubah. Dalam hal ini alat yang ampuh untuk mengatasi
ketidakpastian adalah dengan komunikasi.
2. Memperoleh informasi
Informasi sebagai salah satu pendukung berhasil tidaknya
kebutuhan manusia dan mutlak diperlukan agar dapat bergaul
dalam lingkungan masyarakat.
3.

Menguatkan keyakinan
Dengan diperolehnya informasi sebaai hasil dari
komunikasi akan menguatkan keyakinan untuk melangkah
mencapai tjuan yang diharapkan.
4. Pengungkapan perasaan
Melalui komunikasi dapat diungkapkan perasaan senang
atau tidak terhadap orang lain atau sekelompok orang sehingga
terdapat koreksi bagi orang lain dan diharapkan terjadi hubungan
harmonis terhadap manusia.
Ada 3 (tiga) macam komunikasi (Kariyoso, 1994) :
1.
Komunikasi searah

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

2.

3.

Komunikator mengirim pesannya melalui saluran


atau media dan diterima oleh komunikan. Sedangkan
komunikan tersebut tidak memberikan umpan balik
(feedback).
Komunikasi dua arah
Komunikator mengirim pesan (berita) diterima oleh
komunikan, setelah disimpulkan kemudian komunikan
mengirimkan umpan balik kepada sumber berita atau
komunikator.
Komunikasi berantai
Komunikan menerima pesan atau berita dari
komunikator kemudian disalurkan kepada komunikan
kedua, dari komunikan kedua disampaikan kepada
komunikan ketiga dan seterusnya.

Konsep dasar keluarga


.
Beberapa dekade yang lalu, ahli sosiologi memepredisi
bahwa keluarga dalam keadaan penurunan pengaruhnya pada
individu anggotanya. Perubahan sosial yang cepat dan
meningkatnya gerakan populasi menyebabkan adanya jarak baik
psikologis maupun fisik dari anggota keluarga. Hal yang juga di
rasakan adalah bahwa anggota keluarga akan mempertahankan
komitmen satu dengan yang lainya dan dekatnya ikatan keluarga
akan berlanjut. Perubahan yang besar sudah terjadi sejak
prediksi ini di buat, tetapi hal ini terbukti bahwa keluarga tetap
merupakan institusi sentral dalam masyarakat. Asumsi umum
yang berlaku adalah walaupun keluarga dalam masa transisi dan
mungkin terlihat sangat berbeda dalam keluarga tahun 1950-an,
keluarga di sini adalah tempat untuk tinggal. Keluarga pada masa
kini menghadapi banyak tantangan, mereka di tandai dengan tiga
atribut penting: kekuatan, kelenturan, dan perbedaan. (pery
potter, 2005).
Tipe bentuk keluarga (sudiharto,2007)
1.
Keluarga inti (nuclear family), adalah keluarga yang di
bentuk karna ikatan perkawinan yang di rencanakan yang
terdiri dari suami, istri, dan anak anak , baik karna
kelahiran (natural) maupun adopsi.
2.
Keluarga asal (family of origin), merupakan satu unit
keluarga tempat seseorang di lahirkan .
3.
Keluarga besar (extended family), adalah keluarga inti di
tambah keluarga yang lain ( karna hubungan darah ) ,
misalnya kakek, nenek, bibi, paman, sepupu.
4.
Keluarga berantai (sosial family)
5.
adalah keluarga yang terdiri dari wanita dan pria yang
menikah lebih dari satu kali dan merupakan suatu keluarga
inti.
6.
Keluaraga duda dan janda, adalah keluarga yang terbentuk
karna perceraian dan / kematian pasangan yang di cintai.
7.
Keluarag komposit (composite family), adalah keluarga dari
perkawinan poligami dan hidup bersama.
8.
Keluaga kohabitasi (cohabitation), adalah dua orang
menjadi satu keluarga tanpa pernikahan, bisa memiliki
anak atau tidak. Di indonesia bentuk keluarga ini tidak
lazim dan bertentangan dengan budaya timur. Namun ,
lambat laun keluarga kohabitasi ini mulai dapat di terima.
9.
Keluarga inses (incest family), seiring dengan masuknya
nilai nilai global dan penuh informasi yang sangat
dahsyat, di jumpai bentuk keluarga yang tidak lazim,
misalnya anak perempuan menikah dengan ayah
kandungnya, ayah yang nikah dengan anak tirinya.
Walaupun tidak lazim dan melanggar nilai nilai budaya,

jumlah keluarga inses semakin hari semakin besar. Hal


tersebut dapat di cermati melalui pemberitaan dari
berbagai media cetak dan elektronik.
10. Keluarga tradisional dan keluarga nontradisional, di
bedakan berasarkan ikatan perkawinan. Keluarga
tradisional berdasarkan ikatan perkawinan. Keluarga
tradisional di ikat oleh perkawinan, sedangkan keluarga
nontradisional tidak di ikat oleh perkawinan.

METODE PENELITIAN
Jenis dan Rancangan Penelitian
Desain penelitian adalah suatu strategi untuk mencapai
tujuan penelitian yang telah ditetapkan dan berperan sebagai
pedoman atau penuntun peneliti pada seluruh proses penelitian
(Nursalam & Pariani, 2001).
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
Analitik dengan pendekatan Cross sectional, artinya obyek
diobservasi satu kali saja dan pengukuran menggunakan variabel
independen dan dependen di lakukan pada saat pengkajian data,
Metode menggunakan pendekatan kuantitatif yaitu dengan
korelasi dimana analisa digunakan untuk mengetahui hubungan.
(Notoatmodjo, 2010)
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi
Populasi adalah sekelompok subyek atau data dengan
karakteristik tertentu yang akan diteliti (Hidayat, 2003). Pada
penelitian ini populasinya adalah keluarga pasien yang dirawat di
ruang ICU RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan.
Populasi dalam penelitian ini berjumlah 27 orang, pada bulan
desember 2010 yang di tetapkan berdasarkan data estimasi
jumlah rata-rata perbulan.
Dengan kriteria (inklusi) sebagai berikut :
1. Keluarga inti ( ayah, ibu, anak, saudara kandung, suami, istri
)
2. Tidak mengalami gagguan realita, umur 18-55 tahun
3. Keluarga pasien harus berada di ruang ICU selama minimal
12 jam sebelumnya.
Besar Sampel
Dari populasi didapatkan perhitungan sample sebagai
berikut
N x z 2 x p x q
n=
d2 (N-1) + z 2 x p x q
keterangan :

n = Perkiraan jumlah sampel


N = Jumlah populasi
d = Tingkat kepercayaan / ketepatan yang
diiinginkan 10% (d = 0,10)
p = Perkiraan proporsi populasi = 0,5
q = 1 p = 1 0,5 = 0,5 (Notoatmodjo,
2003)

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

Definisi operasional
27 x 1,962 x 0,5 x 0,5
n=
0,102 x (27-1) + 1,962 x 0,5 x 0,5
25,93
n=

= 21,25

1,22
n = 22

Tabel Operasional Hubungan antara Komunikasi Perawat


Dengan Tingkat Kecemasan Keluarga Pasien yang Dirawat di
Ruang ICURS
Jenis
Variab
el
Komu
nikasi
peraw
at

Cara pemilihan Sampel (sampling)


Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi
untuk dapat mewakili populasi (Nursalam, 2008). Dalam
penelitian ini menggunakan
Probability Sampling, Systematic
Sampling yaitu pengambilan secara sistematik dapat dilakukan
jika tersedia daftar subjek yang dibutuhkan.. (Heriyanto B, 2010)

Definisi
Operasiona
l
Proses
penyampai
an pesan
dari
perawat
kepada
keluarga
pasien
yang
dirawat di
ruang ICU

Parameter

Alat
Ukur

Kriteria

Skala
Ukur

Komunikasi perawat
meliputi 3 item yaitu:
1. Sikap perawat
dalam
komunikasi
2. Tehnik
komunikasi
perawat
3. Tahapan
komunikasi
perawat

Kuesio
ner

Terdiri dari
15
pertanyaa
n:

Ordinal

1.

2.
3.

Kecem
asan
keluar
ga

Perasaan
khawatir
yang
Di
alami
keluarga
pasien
yang
di
rawat
di
ruang ICU

Meliputi 14 item:
1. Perasaan cemas
2. Ketergangan
3. Ketakutan
4. Gangguan tidur
5. Gangguan
kecerdasan
6. Persaan depresi
7. Gejala somatik
8. Gejala sensorik
9. Gejala sensorik
10.
Gejala
pernafasan
11.
Gejala gastro
inestinal
12.
Gejala
urogenital
13.
Gejala
vegetatif atau
otonom
14.
Tingkah laku
(sikap) pada
wawancara.

Baik
:
1315
Cuk
up :
8-12
Kura
ng :
<7

Kuesio 1. Cemas
ner
ringan
Denga
jika skor
n
6-14
skala 2. Cemas
HARS
sedang
jika skor
15-27
3. Cemas
berat,
jika skor
> 27

Ordinal

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

Sumber data dan Instrumen Penelitian

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Sumber data
Data yang di peroleh dengan teknik wawancara
menggunakan acuan kuisoner dengan responden pada keluarga
pasien yang di rawat di ruang ICU.

Pada bab ini akan di uraikan tentang hasil penelitian


dan pembahasan sesuai dengan tujuan yang di tetepkan, di mulai
dari gambaran tempat penelitian, kemudian data umum tentang
karakteristik responden yang meliputi jenis kelamin keluarga, usia
keluarga, pendidikan keluarga, pekerjaan keluarga, dan data
khusus yang meliputi kecemasan keluarga dan komunikasi
perawat, serta hubungan antara variabel independent
(kecemasan keluarga) dengan dependen (komunikasi perawat).
Dan selain itu akan akan di uraikan pembahasannya.

Instrument Penelitian.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuesioner yaitu sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan
untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan
tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui (Arikunto, 2006).
Pengolahan Data
Pengolahan data merupakan suatu proses dalam
memperoleh data ringkasan atau angka ringkasan dengan
menggunakan cara-cara atau rumus-rumus tertentu. Adapun
langkah-langkah dalam melakukan pengolahan data yaitu:
1. Editing (Pemeriksaan Data)
Editing adalah proses pengecekan atau pengoreksian
data yang telah dikumpulkan, karena kemungkinan data yang
dimasukkan (raw data) atau data terkumpul itu tidak logis dan
meragukan. Tujuan editing adalah untuk menghilangkan
kesalahan-kesalahan yang terdapat pada pencatatan di lapangan
atau bersifat koreksi.
2 Coding (Pemberian Kode)
Merupakan kegiatan untuk merubah data berbentuk
huruf menjadi data berbentuk angka atau bilangan.
1) Komunikasi perawat
Baik
:1
Cukup
:2
Kurang
:3
2) Kecemasan keluarga
Cemas ringan : 1
Cemas sedang : 2
Cemas berat : 3
3. Scoring
Pemberian scoring dilakukan untuk variable independent
dan variable dependent dengan langkah peneliti melakukan
observasi
Untuk menentukan kategori komunikasi digunakan
kuesioner dengan 15 pertanyaan, jika dijawab ya skor 1, tidak
skor 0, selanjutnya di kategorikan sebagai berikut:
Baik
: nilai yang di capai 70% - 100%
Cukup
: nilai yang di capai 56% - 70%
Kurang : nilai yang di capai < 55%
Sedangkan untuk kategori kecemasan menggunakan kuesioner
HARS
Score 6-14
:
kecemasan Ringan
Score 15-27
:
kecemasan Sedang
Score >27
:
kecemasan Berat
4. Tabulating
Kegiatan memasukkan data hasil penelitian ke dalam tabel
kemudian diolah dengan bantuan komputer.

HASIL PENELITIAN
Gambaran tempat penelitian
1. lokasi Penelitian
Lokasi pada penelitian ini di laksanakan di Ruang ICU
RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan yang terletak di
samping IRNA B.
2. Fasilitas
Di ruang ICU terdapat 1 kamar untuk pasien dengan
kapasitas 5 Bed medical, 1 ruang untuk perawatan dengan 1
kamar mandi, tiap tempat tidur dilengkapi dengan ventilator dan
monitor pasien dengan 1 parameter, terdapat meja untuk
konsultasi dokter. Di ruangan tersebut tidak terdapat ruang
tunggu untuk keluarga pasien sehingga keluarga pasien
menunggunya di ruangan yang lainya.
3. Sumber Daya Manusia
Di ruangan tersebut terdapat tenaga perawat sebanyak
9 oarang perawat dengan pendidikan terakhir S1 sebanyak 5
orang, D3 sebanyak 4 orang, dan SMA/SPK sebanyak 2 orang.
4. jenis pasien yang di rawat
Jenis pasien yang masuk ICU adalah pasien yang
kedaanya terancam jiwanya sewaktu waktu karena kegagalan
atau disfungsi satu atau multiple organ atau sistem dan masih
ada kemungkinan dapat di sembuhkan kembali melalui
keperawatan, pemantauan dan pengobatan intensif.
Pasien yang ada di rungan tersebut kebanyakan
kiriman dari ruangan yang lainya, baik dari rawat inap maupun
langsung dari IRD, pasien yang yang di kirim harus di setujui oleh
dokter dari runagan yang telah mengirimnya dan pasienya harus
mengalami kritis.
Data Khusus
Di dalam poin ini akan menjelaskan tentang data
khusus responden yang meliputi variabel Independen (Komuniasi
Perawat) dan variabel Dependen (Kecemasan Keluarga.)
1. Komunikasi Perawat
Tabel 1 : Distribusi Frekuensi Pelaksanaan Komunikasi Perawat
di Ruang ICU RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu
Bangkalan tahun 2011
Komunikasi perawat
Frekuensi
Persentase
(%)
Baik
6 orang
27,3
Cukup
7 orang
31,1
Kurang
9 orang
40,9
Total
22 orang
100
Berdasarkan tabel 1 di atas dari 22 orang rata-rata
responden mengatakan komunikasi perawat adalah kurang yaitu
sebanyak 9 orang (40,9%).

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

Tabel 2 : Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Keluarga Dari


Pasien Yang Dirawat di Ruang ICU RSUD
Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan Tahun
2011.
Kecemasan keluarga
Frekuensi
Persentase
(%)
Ringan
7
31,8
Sedang
8
36,4
Berat
7
31,8
Total
22
100
Berdasarkan tabel 2 di atas dari 22 orang responden
rata-rata responden mengalami tingkat kecemasan sedang yaitu
sebayak 8 orang (36,4%).
Hubungan Variabel Independen dengan Variabel Dependen
Tabel 3 : Tabulasi silang komunikasi perawat dengan tingkat
kecemasan keluarga pasien yang di rawat di Ruang
ICU RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan
tahun 2011.
Komunikasi Perawat
Kecemasan Keluarga
Jumlah
Ringan Sedang Berat
Baik
4
2
__
6
66,7
33,3
100
Cukup
2
3
2
7
28,6
42,9
28,6
100
Kurang
1
3
5
9
11,1
33,3
55,6
100
Berdasarkan hasil tabulasi silang sesuai tabel 3 di atas
diketahui bahwa dari 6 keluarga pasien (27,3%) yang
mengatakan komunikasi perawat baik, mengalami kecemasan
ringan yaitu sebanyak 4 keluarga pasien (66,7%). Sedangkan dari
9 keluarga pasien (40,9%) yang mengatakan komunikasi parawat
kurang, mengalami kecemasan berat yaitu sebayak 5 keluarga
pasien (55,6).
Dari data di atas menggambarkan bahwa semakin baik
komunikasi yang di lakukan oleh perawat, semakin ringan
kecemasan yang di alami oleh keluarga pasien.
Hasil Uji Spearmant
Correlations
Komunikasi
Perawat
Komunikasi
Perawat

Pearson
Correlation

Kecemasan
Keluarga
1

Sig. (2-tailed)

.007

N
Kecemasan
Keluarga

Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)

.560**

22

22

.560**

.007

22

22

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2tailed).


Hasil uji korelasi Spearment dengan nilai = 0,05 di
dapatkan hasil = 0,007. Dimana = 0,007 < nilai = 0,05

menunjukan bahwa Ho di tolak dan H1 di terima yang berarti Ada


Hubungan antara Komunikasi Perawat Dengan Tingkat
Kecemasan Keluarga Pasien yang Dirawat di Ruang ICU RSUD
Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan.
PEMBAHASAN
Komunikasi Perawat
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti
kepada 22 keluarga pasien di ruang ICU RSUD Syarifah Ambami
Rato Ebu Bangkalan didapatkan 9 orang keluarga pasien (40,9%)
mengatakan perawat berkomunikasi kurang.
Dari data di atas komunikasi perawat di ruang ICU RSUD
Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan sebagian besar dikatakan
kurang baik oleh keluarga pasien karena perawat kurang mampu
menyampaikan informasi tentang keadaan anggota keluarga
yang terbaring lemah di ruang ICU sesuai dengan apa yang
diharapkan keluarga pasien dan karena keluarga pasien sangat
membutuhkan informasi yang tepat dan benar tentang kondisi
anggota keluarganya yang dirawat. Untuk membantu
meningkatkan perasaan pengendalian diri pada klien dan
keluarga salah satunya dapat melalui pemberian informasi dan
penjelasan.
Menurut (Rahmat, 2007) informasi merupakan salah satu
pendukung berhasil tidaknya kebutuhan manusia dan mutlak di
perlukan agar dapat berkomunikasi dengan dengan baik karena
komunikasi merupakan alat yang efektif untuk mempengaruhi
tingkah laku manusia, sehingga komunikasi dikembangkan dan
dipelihara terus-menerus. Cara kita berespon terhadap suatu
komunikasi seringkali akan tergantung pada status orang yang
melakukan komunikasi (Roger, 1999).
Informasi atau penjelasan, merupakan hak asasi pasien
yang paling utama bahkan dalam tindakan-tindakan khusus
diperlukan Persetujuan Tindakan Medik yang ditanda-tangani
oleh pasien dan atau keluarganya.
Bahwa dalam hubungan perawat dengan pasien, posisi
perawat adalah dominant, jika dibandingkan dengan posisi pasien
yang awam dalam bidang kesehatan. Perawat dianggap
mempunyai kekuasaan tertentu dengan pengetahuan dan
ketrampilan yang dimilikinya.
Dalam memberikan informasi kepada pasien, kadangkala
agak sulit menentukan informasi yang mana harus diberikan,
karena sangat bergantung pada usia, pendidikan, keadaan umum
pasien dan mentalnya. Namun pada umumnya dapat diperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
1. Informasi yang diberikan haruslah dengan bahasa yang
dimengerti pasien.
2. Pasien dan keluarganya harus memperoleh informasi tentang
penyakitnya, tindakan-tindakan yang akan diambil,
kemungkinan komplikasi dan resiko- resikonya
3. Untuk anak-anak dan pasien akit jiwa, maka informasi
diberikan kepada orang tua atau walinya.
Kecemasan Keluarga
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 22
orang keluarga pasien menunjukan bahwa rata-rata berada pada
tingkat kecemasan sedang yaitu 8 orang (36,4%), yang sebagian
besar adalah adalah wanita. Hal ini membuktikan bahwa
kedekatan yang paling berperan dalam keluarga adalah
wanita(ibu,istri dan anak) dari pasien yang di rawat.

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

Kedekatan anggota keluarga wanita (ibu,istri dan


anak) terbentuk dari komunikasi intens dengan anggota keluarga
lainya. Dalam proses komunikasi tersebut sejatinya merupakan
komunikasi psikologis yang sangat menguntungkan dalam
keharmonisan keluarga. Oleh sebab itu apabila ada salah satu
anggota keluarga yang mengalami musibah atau sakit, maka
anggota keluarga yang paling merasa cemas adalah anggota
keluarga wanita terutama istri dan ibu. Hal ini terlihat dari
keluarga pasien di ruang ICU yang telah disinggung di atas
(Kartini Kartono, 2009).
Peran seorang ibu atau istri dalam membina
kedekatan antar sesama anggota keluarga sangat penting karena
seorang ibu mempunyai dua modal unsur psikologis dalam
menjaga kedekatan dalam keluarga yaitu ; narsisme dan
mesochisme. Narsisme merupakan bentuk psikologis wanita yang
menggambarkan bahwa seorang wanita membutuhkan perhatian
dan perlindungan dari orang lain (anggota keluarga yang lain).
Sedangkan Mesochisme merupakan sikap mental seorang wanita
yang ingin mencintai sehingga rasa cinta yang ada dalam dirinya
melebihi cintanya pada dirinya. Hal ini bermamfaat dalam
membina hubungan keluarga yang didasari rasa cinta mendalam
seorang wanita (ibu, istri dan anak) (Kartini Kartono, 2009).
Hubungan Komunikasi Perawat Dengan Tingkat Kecemasan
Keluarga
Berdasarkan hasil tabulasi silang sesuai tabel 5.7 di atas
diketahui bahwa dari 6 keluarga pasien (27,3%) yang
mengatakan komunikasi perawat baik, mengalami kecemasan
ringan yaitu sebanyak 4 keluarga pasien (66,7%). Sedangkan dari
9 keluarga pasien (40,9%) yang mengatakan komunikasi parawat
kurang, mengalami kecemasan berat yaitu sebayak 5 keluarga
pasien (55,6).
Hasil uji korelasi Spearmant dengan nilai = 0,05 di
dapatkan hasil = 0,007. Dimana = 0,007 < nilai = 0,05
menunjukan bahwa Ho di tolak dan H1 di terima yang berarti Ada
Hubungan antara Komunikasi Perawat Dengan Tingkat
Kecemasan Keluarga Pasien yang Dirawat di Ruang ICU RSUD
Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan.
Dari data di atas menandakan bahwa komunikasi yang
dilakukan perawat mempengaruhi kecemasan keluarga pasien
yang dirawat di ruang ICU RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu
Bangkalan. Komunikasi disini dikaitkan dengan pemberian
informasi tentang keadaan pasien yang dirawat dengan adanya
informasi tersebut cukup membuat kecemasan keluarga yang
ada.
Komunikasi mempengaruhi tingkat kecemasan keluarga
pada pasien yang dirawat di ruang ICU, hal ini disebabkan karena
keluarga sangat membutuhkan adanya informasi dan penjelasan
tentang keadaan anggota keluarganya yang sedang terbaring dan
dirawat di ruang ICU. Selama pasien dirawat di ruang ICU,
keluarga sangat membutuhkan informasi dan bantuan dari
perawat untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan pasien. Apabila
keluarga tidak mendapatkan informasi yang dibutuhkan
kemungkinan kecemasan akan meningkat.
Pemberian informasi dan penejelasan ini dapat dilakukan
dengan baik apabila didukung oleh pelaksanaan komunikasi
perawat yang efektif yaitu untuk menyampaikan informasi tentang
keadaan pasien sesuai dengan wewenangnya sehingga
kecemasan yang dialami oleh keluarga pasien dapat diturunkan
yaitu dengan keluarga mengetahui bagaimana keadaan anggota
keluarganya yang terbaring di ruang ICU sehingga asuhan
keperawatan kepada individu, keluarga dan masyarakat dapat

terlaksana dengan baik sebagaimana pasien tidak hanya


membutuhkan pengobatan dan terapi tapi juga membutuhkan
perawatan dari keluarga dan orang-orang terdekat yang
menyayangi mereka.
Peristiwa masuk rumah sakit itu sendiri sudah
menyebabkan kecemasan dan paling sering disebabkan karena
komunikasi yang tidak efektif. Pasien dan orang-orang
terdekatnya mungkin telah diberi informasi tetapi dalam bentuk
yang tidak mereka mengerti (istilah-istilah medis). Mereka tidak
mampu untuk cukup asertif untuk meminta penjelasan dan
akibatnya cemas mereka meningkat karena kurangnya
pemahaman terhadap informasi yang diberikan perawat tentang
keadaan anggota keluarga yang sakit. Cemas juga
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berkonsentrasi;
rentang perhatian juga bisa sangat berkurang dan menyebabkan
kurangnya kemampuan mengingat informasi (Ellis, 1999).
Ketakutan dan rasa cemas dihubungkan dengan
kurangnya infomasi mengenai prosedur dan pengobatan atau
tidak familiar dengan peraturan rumah sakit (Nursalam, 2005).
Bila orang berada dalam keadaan yang mencemasakan atau
harus memikul tekanan emosional, ia akan menginginkan
kehadiran orang lain. Keuntungan komunikasi dalam tatap muka
yaitu memungkinkan tiap individu untuk berespon secara
langsung. Ketika perawat memberikan informasi tentang diri, ide,
nilai, perasaan dan sikapnya sendiri untuk memfasilitasi
kerjasama, proses belajar, atau dukungan klien ditemukan bahwa
peningkatan keterbukaan melalui komunikasi antara perawatklien-keluarga menurunkan tingkat kecemasan (Purba, 2006).
Dalam memberikan informasi/ komunikasi yang tepat
tentang situasi dapat menurunkan cemas akibat hubungan yang
asing antara perawat dengan klien serta dapat membantu klien
atau orang terdekatnya untuk menerima situasi secara nyata
(Rahma, 2000). Perawat yang berhubungan langsung dengan
klien selama 24 jam berperan penting dalam pemberian informasi
yang dibutuhkan klien. Dalam berhubungan tersebut perawat
harus mempunyai keterampilan komunikasi sehingga interaksi
akan berdampak positif bagi klien dan keluarga.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Sebanyak 9 orang keluarga pasien (40,9%) dari 22 keluaga
pasien mengatakan komunikasi perawat di ruang ICU
RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan adalah
kurang.
2. Sebanyak 8 orang keluarga pasien (36,4%) dari 22 orang
responden mengalami tingkat kecemasan sedang.
3. Ada hubungan yang signifikan antara komunikasi perawat
dengan tingkat kecemasan keluarga dari pasien dengan =
0,007 yang berarti < 0,05.
Saran
a) Bagi rumah sakit
Rumah sakit hendaknya
senantiasa mendorong
peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang dilakukan,
khususnya sikap dan kemampuan komunikasi perawatnya
dengan melaksanakan pelatihan dan kursus-kursus tentang
bagaimana komunikasi perawat dengan pasien dan
keluarganya.

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

b)

c)

Bagi perawat
Diharapkan perawat mampu menjalankan komunikasi
dengan baik dan tepat dalam melaksanakan perannya
sebagai care giver dalam pelaksanaan asuhan keperawatan
dengan menggunakan dirinya secara efektif dalam
melaksanakan asuhan keperawatan profesional.
Bagi pasien dan keluarga
Pasien dan keluarga dapat menerima informasi yang
diberikan oleh perawat melalui komunikasi yang dilakukan
oleh perawat kepada pasien dan keluarganya.

DAFTAR PUSTAKA
1.

5.
6.

urwanto, Heri (1994). Komunikasi untuk perawat. Editor


: Ni Luh Gede Yasmin Asih. EGC Jakarta.
otter, Patricia A. & Perry, Anne Griffin. (2005). Buku ajar
fundamental keperawatan : konsep, proses dan praktik
(volume I). Jakarta: EGC.
20.

Friedman, MM 2003. Family Nursing : Research, Theory


& Practice
(5 thed), Appleton-CenturyCropts
Ellis, Roger B., Gates, Robert J. & Kenworthy, Neil.
(2006). Komunikasi Interpersonal dalam Keperawatan
Teori dan Praktik. Jakarta: EGC.
Hamid, Achiryani S. (1996). Komunikasi terapeutik.
Jakarta: Pelatihan keperawatan jiwa.
Hawari, D. (2004). Manajemen stres, cemas, dan
depresi. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

7.

Herawati, N. (1997). Asuhan keperawatan klien


ansietas. Jakarta: FKUI.

8.

Heriyanto, B. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif :


Pengkok jaya plastic. Surabaya

9.

Hudak dan Gallo. (1999). Keperawatan kritis


pendekatan holisti (Volume I Edisi VI Jakarta: EGC.

10. Kapplan, H. I. & Soddock, B. J. (1998). Ilmu kedokteran


jiwa darurat (terjemahan). Jakarta : Widya Medika.
11. Kariyato. (1994). Pengantar komunikasi bagi siswa
perawat. Jakarta: EGC.
12. Kartini Kartono. (2009). Psikologi Perkembangan.
Jakarta :EGC
13.

18.

Atkinson, R.L. at all. (2000). Pengantar psikolog.Batam:


Interaksara.
epkes RI (1994). Pedoman perawatan psikiatri. Jakarta:
Depkes RI.

4.

17. Purba, Jenny Marlindawani. (2006). Komunikasi dalam


keperawatan. http://inna-ppni.or.id/index.php.

19.

2.

3.

16. Nurjannah, I. (2001). Hubungan terapeutik perawat dan


klien. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran UGM.

Keliat. B.A. (1996). Hubungan terapeutik perawat


klien. Jakarta: EGC.

14. Mulyana, D. (2005). Ilmu komunikasi. Bandung: PT


Remaja Rosdakarya.
15. Notoatmodjo, S. (2002). Metodologi
kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

penelitian

D
ahmat, Jalaluddin. (2007). Psikologi komunikasi.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

21. Stuart, Gail W., & Sandra J. Sunden. (1998). Buku saku
keperawatan jiwa (edisi 3). Jakarta: EGC.
22. Suprajitno. (2004). Asuhan keperawatan keluarga:
aplikasi dalam praktik/penulis. Jakarta: EGC.

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

ANALISIS RESPONS IMUNITAS YANG RENDAH


PADA TUBUH MANUSIA USIA LANJUT
1 Andri Setiya Wahyudi
1 Dosen Stikes Insan Se Agung Bangkalan
Abstrak
Penuaan (aging) dikaitkan dengan sejumlah besar perubahan fungsi imunitas tubuh, terutama penurunan Cell Mediated Immunity (CMI)
atau imunitas yang diperantarai sel. Kemampuan imunitas kelompok lanjut usia menurun sesuai peningkatan usia termasuk kecepatan
respons imun melawan infeksi penyakit. Hal itu berarti bahwa kelompok lansia beresiko tinggi terserang penyakit seperti infeksi, kanker,
jantung koroner, kelainan autoimmun atau penyakit kronik lainnya. Seluruh penyakit ini mudah terjadi pada lansia karena produksi
imunoglobulin menurun. Akibatnya vaksinasi yang diberikan pada kelompok orang tua seringkali tidak efektif melawan penyakit. Orangorang tua yang umumnya menderita kekurangan gizi makro dan mikro akan memiliki respons sistem dan fungsi imun yang rendah. Oleh
karena itu, kasus malnutrisi pada lansia seharusnya memiliki perhatian khusus secara dini, termasuk pemberian vaksinasi untuk
pencegahan penyakit. Penyakit infeksi yang dialami oleh lansia dapat dicegah atau diturunkan melalui upaya- upaya perbaikan gizi karena
sistem imun akan meningkat. Jika fungsi imun lansia dapat ditingkatkan, maka kualitas hidup individu meningkat dan biaya pelayanan
kesehatan dapat ditekan.
Abstract
Low Immunity Response in the Elderly. Aging is related to a number of changes in the immunity function, mainly the reducing of Cell
Mediated Immunity (CMI). The immunocompetence of elderly worsen with age including the rate of immune respons against infection. It
means that older people have a high risk of getting diseases such as infection, cancer, cardiovascular, autoimmune disorder, or other
chronic diseases. All of these diseases occured in elderly due to the immunoglobulin production decrease. Thus, vaccination given to
elderly often might not be effective against diseases. Older people who commonly suffer from a decrease of macro and micronutrients will
have a low function and response of the immune system. Therefore, malnutrition cases in elderly should have early specific attention
including consideration in given vaccination for preventing diseases. Infectious diseases mostly suffered by older people can be prevented
or reduced through improving nutrition efforts because the immune system will be improved. If the immune function of the elderly can be
improved, the individual quality of life increases and the health cost can be suppressed.
Keywords: elderly, immune response, vaccination, infectious disease

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

PENDAHULUAN
Populasi penduduk usia lanjut (usila) di dunia terus meningkat
tanpa disadari. Dengan adanya kemajuan teknologi kedokteran,
perbaikan pelayanan kesehatan, dan gizi yang lebih baik, maka
mereka hidup lebih lama dari sebelumnya khususnya di negara
maju sehingga usia harapan hidup (UHH) meningkat dua kali lipat
dari 45 tahun di tahun 1900 menjadi 80 tahun di tahun 2000 1.
Sementara itu dalam dua dekade terakhir ini terdapat
peningkatan populasi penduduk usia lanjut (usila) di Indonesia.
Proporsi penduduk usila di atas 65 tahun meningkat dari 1,1%
menjadi 6,3% dari total populasi. Dalam 20 tahun terakhir ini ada
peningkatan 5,2% penduduk usila di Indonesia pada tahun 1997.
Hal itu mencerminkan bahwa proporsi penduduk usila akan
meningkat dua kali pada tahun 2020 menjadi 28,8 juta atau
11,34% dari seluruh populasi 2. Fenomena terjadinya
peningkatan itu disebabkan oleh perbaikan status kesehatan
akibat kemajuan teknologi dan penelitian-penelitian kedokteran,
transisi epidemiologi dari penyakit infeksi menuju penyakit
degeneratif, perbaikan status gizi yang ditandai peningkatan
kasus obesitas usila daripada underweight, peningkatan Usia
Harapan Hidup (UHH) dari 45 tahun di awal tahun 1950 ke arah
65 tahun pada saat ini, pergeseran gaya hidup dari urban rural
lifestyle ke arah sedentary urban lifestyle, dan peningkatan
income per kapita sebelum krisis moneter melanda Indonesia.
Peningkatan jumlah manula mempengaruhi aspek kehidupan
mereka seperti terjadinya perubahan- perubahan fisik, biologis,
psikologis, dan sosial sebagai akibat proses penuaan atau
munculnya penyakit degeneratif akibat proses penuaan tersebut.
Secara signifikan orang tua mengalami kasus mortalitas dan
morbiditas lebih besar daripada orang muda. Kerentanan orang
tua terhadap penyakit disebabkan oleh menurunnya fungsi
sistem imun tubuh.
Untuk memahami terjadinya perubahan respons imunitas tubuh
pada orang tua dibutuhkan suatu kajian mendalam tentang
sistem imun yaitu salah satu sistem tubuh yang dipengaruhi oleh
proses penuaan (aging). Ilmu yang mempelajari sistem imun
pada kelompok lansia (elderly) disebut Immuno-gerontologi. Ilmu
ini sebenarnya relatif baru dan memiliki banyak temuan- temuan
baru di dalamnya seperti yang akan diulas dalam makalah ini.
2. Isi
Pengaruh Aging terhadap Perubahan Sistem Imun Tubuh
Sistem imunitas tubuh memiliki fungsi yaitu membantu perbaikan
DNA manusia; mencegah infeksi yang disebabkan oleh jamur,
bakteri, virus, dan organisme lain; serta menghasilkan antibodi
(sejenis protein yang disebut imunoglobulin) untuk memerangi
serangan bakteri dan virus asing ke dalam tubuh. Tugas sistem
imun adalah mencari dan merusak invader (penyerbu) yang
membahayakan tubuh manusia.
Fungsi sistem imunitas tubuh (immunocompetence) menurun
sesuai umur. Kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi
menurun termasuk kecepatan respons imun dengan peningkatan
usia. Hal ini bukan berarti manusia lebih sering terserang
penyakit, tetapi saat menginjak usia tua maka resiko kesakitan
meningkat seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan autoimun,

atau penyakit kronik. Hal ini disebabkan oleh perjalanan alamiah


penyakit yang berkembang secara lambat dan gejala-gejalanya
tidak terlihat sampai beberapa tahun kemudian. Di samping itu,
produksi imunoglobulin yang dihasilkan oleh tubuh orang tua
juga berkurang jumlahnya sehingga vaksinasi yang diberikan
pada kelompok lansia kurang efektif melawan penyakit. Masalah
lain yang muncul adalah tubuh orang tua kehilangan kemampuan
untuk membedakan benda asing yang masuk ke dalam tubuh
atau memang benda itu bagian dari dalam tubuhnya sendiri.
Salah satu perubahan besar yang terjadi seiring pertambahan
usia adalah proses thymic involution 3. Thymus yang terletak di
atas jantung di belakang tulang dada adalah organ tempat sel T
menjadi matang. Sel T sangat penting sebagai limfosit untuk
membunuh bakteri dan membantu tipe sel lain dalam sistem
imun. Seiring perjalanan usia, maka banyak sel T atau limfosit T
kehilangan fungsi dan kemampuannya melawan penyakit.
Volume jaringan timus kurang dari 5% daripada saat lahir. Saat
itu tubuh mengandung jumlah sel T yang lebih rendah
dibandingkan sebelumnya (saat usia muda), dan juga tubuh
kurang mampu mengontrol penyakit dibandingkan dengan masamasa sebelumnya. Jika hal ini terjadi, maka dapat mengarah
pada penyakit autoimun yaitu sistem imun tidak dapat
mengidentifikasi dan melawan kanker atau sel-sel jahat. Inilah
alasan mengapa resiko penyakit kanker meningkat sejalan
dengan usia.
Salah satu komponen utama sistem kekebalan tubuh adalah sel
T, suatu bentuk sel darah putih (limfosit) yang berfungsi mencari
jenis penyakit pathogen lalu merusaknya. Limfosit dihasilkan oleh
kelenjar limfe yang penting bagi tubuh untuk menghasilkan
antibodi melawan infeksi. Secara umum, limfosit tidak berubah
banyak pada usia tua, tetapi konfigurasi limfosit dan reaksinya
melawan infeksi berkurang. Manusia memiliki jumlah T sel yang
banyak dalam tubuhnya, namun seiring peningkatan usia maka
jumlahnya akan berkurang yang ditunjukkan dengan rentannya
tubuh terhadap serangan penyakit.
Kelompok lansia kurang mampu menghasilkan limfosit untuk
sistem imun. Sel perlawanan infeksi yang dihasilkan kurang
cepat bereaksi dan kurang efektif daripada sel yang ditemukan
pada kelompok dewasa muda. Ketika antibodi dihasilkan, durasi
respons kelompok lansia lebih singkat dan lebih sedikit sel yang
dihasilkan. Sistem imun kelompok dewasa muda termasuk
limfosit dan sel lain bereaksi lebih kuat dan cepat terhadap
infeksi daripada kelompok dewasa tua. Di samping itu, kelompok
dewasa tua khususnya berusia di atas 70 tahun cenderung
menghasilkan autoantibodi yaitu antibodi yang melawan
antigennya sendiri dan mengarah pada penyakit autoimmune.
Autoantibodi adalah faktor penyebab rheumatoid arthritis dan
atherosklerosis. Hilangnya efektivitas sistem imun pada orang
tua biasanya disebabkan oleh perubahan kompartemen sel T
yang terjadi sebagai hasil involusi timus untuk menghasilkan
interleukin 10 (IL-10). Perubahan substansial pada fungsional
dan fenotip profil sel T dilaporkan sesuai dengan peningkatan
usia.
Fenotip resiko imun dikenalkan oleh Dr. Anders Wikby yang
melaksanakan suatu studi imunologi longitudinal untuk
mengembangkan faktor-faktor prediktif bagi usia lanjut. Fenotip

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

resiko imun ditandai dengan ratio CD4:CD8 < 1, lemahnya


proliferasi sel T in vitro, peningkatan jumlah sel-sel CD8+CD28-,
sedikitnya jumlah sel B, dan keberadaan sel-sel CD8T adalah
CMV (Cytomegalovirus). Efek infeksi CMV pada sistem imun
lansia juga didiskusikan oleh Prof. Paul Moss dengan sel T clonal
expansion (CD8T) 4.
Secara khusus jumlah sel CD8 T berkurang pada usia lanjut. Sel
CD8 T mempunyai 2 fungsi yaitu: untuk mengenali dan merusak
sel yang terinfeksi atau sel abnormal, serta untuk menekan
aktivitas sel darah putih lain dalam rangka perlindungan jaringan
normal. Para ahli percaya bahwa tubuh akan meningkatkan
produksi berbagai jenis sel CD8 T sejalan dengan bertambahnya
usia. Sel ini disebut TCE (T cell clonal expansion) yang kurang
efektif dalam melawan penyakit. TCE mampu berakumulasi
secara cepat karena memiliki rentang hidup yang panjang dan
dapat mencegah hilangnya populasi TCE secara normal dalam
organisme. Sel-sel TCE dapat tumbuh lebih banyak 80% dari
total populasi CD8. Perbanyakan populasi sel TCE memakan
ruang lebih banyak daripada sel lainnya, yang ditunjukkan
dengan penurunan efektifitas sistem imunitas dalam memerangi
bakteri patogen. Hal itu telah dibuktikan dengan suatu studi yang
dilakukan terhadap tikus karena hewan ini memiliki fungsi sistem
imunitas mirip manusia. Ilmuwan menemukan tifus berusia lanjut
mempunyai tingkat TCE lebih besar daripada tikus normal,
populasi sel CD8 T yang kurang beragam, dan penurunan
kemampuan melawan penyakit. Peningkatan sel TCE pada tikus
normal menggambarkan berkurangnya kemampuan melawan
penyakit. Ilmuwan menyimpulkan bahwa jika produksi TCE dapat
ditekan pada saat terjadi proses penuaan, maka efektifitas sistem
imunitas tubuh dapat ditingkatkan dan kemampuan melawan
penyakit lebih baik lagi.
Aging juga mempengaruhi aktivitas leukosit termasuk makrofag,
monosit, neutrofil, dan eosinofil. Namun hanya sedikit data yang
tersedia menjelaskan efek penuaan terhadap sel-sel tersebut.
Jumlah dan Sub-populasi Limfosit
Aging mempengaruhi fungsi sel T dengan berbagai cara.
Beberapa sel T ditemukan dalam thymus dan sirkulasi
darah yang disebut dengan sel T memori dan sel T naive.
Sel T naive adalah sel T yang tidak bergerak/diam dan tidak
pernah terpapard engan antigen asing, sedangkan sel T
memori adalah sel aktif yang terpapar dengan antigen. Saat
antigen masuk, maka sel T naive menjadi aktif dan
merangsang sistem imun untuk menghilangkan antigen
asing dari dalam tubuh, selanjutnya merubah diri menjadi
sel T memori. Sel T memori menjadi tidak aktif dan dapat
aktif kembali jika menghadapi antigen yang sama. Pada
kelompok usila, hampir tidak ada sel T naive sejak
menurunnya produksi sel T oleh kelenjar timus secara cepat
sesuai usia. Akibatnya cadangan sel T naive menipis dan
sistem imun tidak dapat berespons secepat respons
kelompok usia muda. Jumlah sel B, sel T helper (CD4+)
juga berubah pada orang tua 4.
Selain terjadi perubahan jumlah sel T, pada kelompok usila
juga mengalami perubahan permukaan sel T. Ketika sel T
menggunakan reseptor protein di permukaan sel lalu
berikatan dengan antigen, maka rangsangan lingkungan

harus dikomukasikan dengan bagian dalam sel T. Banyak


molekul terlibat dalam transduksi signal, proses
perpindahan ikatan signal-antigen melalui membran sel
menuju sel. Sel T yang berusia tua tidak menunjukkan
antigen CD28, suatu molekul penting bagi transduksi signal
dan aktivasi sel T. Tanpa CD28, sel T tidak berespons
terhadapnya masuknya patogen asing. Pada tubuh
kelompok elderly juga terdapat kandungan antigen CD69
yang lebih rendah. Sel T dapat menginduksi antigen CD69
setelah berikatan dengan reseptor sel T. Bila ikatan signalantigen tidak dipindahkan ke bagian dalam sel T, maka
antigen CD69 akan hilang di permukaan sel dan terjadi
penurunan transduksi signal.
Respons Proliferasi Limfosit
Perubahan utama pada fungsi imun orang tua adalah
perubahan respons proliferatif limfosit seperti berkurangnya
Interleukin-2 (IL-2) yang tercermin dari rusaknya proses
signal pada orang tua, minimnya kadar Ca dalam tubuh, dan
perubahan membran limfosit sehingga mempengaruhi
fungsi imun. Penurunan Calcium (Ca) pada orang tua
mempengaruhi perpindahan signal dengan gagalnya
merangsang enzim termasuk protein kinase C, MAPK dan
MEK; serta menghambat produksi cytokines, protein yang
bertanggung jawab untuk koordinasi interaksi dengan
antigen dan memperkuat respons imun. Salah satu cytokine
yang dikenal adalah interleukin 2 (IL-2), cytokine diproduksi
dan disekresi oleh sel T untuk menginduksi proliferasi sel
dan mendukung pertumbuhan jangka panjang sel T. Sesuai
peningkatan usia sel T, maka kapasitas sel T untuk
menghasilkan IL-2 menurun. Jika terpapar antigen, maka
sel T memori akan membelah diri menjadi lebih banyak
untuk melawan antigen. Jika produksi IL-2 sedikit atau sel T
tidak dapat berespons dengan IL-2, maka fungsi sel T
rusak. Perubahan cytokine lain adalah interleukin 4, tumor
necrosis factor alpha, dan gamma interferon.
Viskositas membran sel T juga berubah pada orang tua,
tetapi viskositas sel B tetap. Kompoisisi lipid pada membran
limfosit orang tua menunjukkan peningkatan proporsi
kolesterol dan fosolipid dibandingkan orang muda. Serum
darah orang tua mengandung banyak VLDL dan LDL.
Perubahan komposisi lipid di atas dapat meningkatkan
penurunan imunitas tubuh orang tua. Pembatasan asupan
lemak mempengaruhi komposisi membran lipid limfosit,
meningkatkan level asam linoleat, menurunkan kadar asam
docosatetraenoat dan arakhidonat.
Produksi Cytokine
Respons limfosit diatur oleh cytokine. Respons limfosit atau sel T
helper dibagi menjadi 2 jenis yaitu: 1. Th-1 dan 2. Th-2. Respons
antibodi biasanya diperoleh dari Th-2 cytokine. Perubahan
produksi cytokine merubah imunitas perantara sel (Cell Mediated
Immunity) pada roang tua. Respons limfosit pada makrofag
berubah pada orang tua di mana terdapat sensitivitas yang lebih
tinggi terhadap efek inhibitor 4.
Penurunan fungsi sel T pada orang tua juga mempengaruhi
fungsi sel B karena sel T dan sel B bekerjasama untuk mengatur

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

produksi antibodi. Sel T menginduksi sel B untuk hipermutasi


gen-gen immunoglobulin, menghasilkan perbedaan antibodi
untuk mengenali jenis-jenis antigen. Pada orang tua terdapat
jenis antibodi yang lebih sedikit dibandingkan pada orang muda,
rendahnya respons IgM terhadap infeksi, dan menurunnya
kecepatan pematangan sel B. Semua itu berkontribusi terhadap
penurunan jumlah antibodi yang diproudksi untuk melawan
infeksi.

Depresi/Stress dan Rasa Marah mempengaruhi Sistem Imun 6

Respons tubuh pada orang tua terhadap infeksi penyebab


penyakit yang ditunjukkan dengan reaksi demam tidak
berlangsung secara otomatis. Lebih dari 20% manusia berusia di
atas 65 tahun mempunyai infeksi bakteri yang serius tidak
mengalami demam, karena tubuh mampu menetralisir demam
dan reaksi imun lainnya, tetapi sistem syaraf pusat kurang sensitif
terhadap tanda-tanda imun dan tidak bereaksi cepat terhadap
infeksi.

Saat terjadi stress, maka hormon glukokortikoid dan kortisol


memicu reaksi anti-inflammatory dalam sistem imun.

Peningkatan Respons Sistem Imun


Fungsi organ-organ menurun sejalan dengan peningkatan usia
manusia. Organ kurang efisien dibandingkan saat usia muda,
contohnya timus yang menghasilkan hormon terutama selama
pubertas. Pada lansia, sebagian besar kelenjar timus tidak
berfungsi. Tetapi ketika limfosit terpapar pada hormon timus,
maka sistem imun meningkat sewaktu-waktu. Sekresi hormon
termasuk hormon pertumbuhan dan melatonin menurun pada
usia tua dan mungkin dihubungkan dengan sistem imun.
Sistem endokrin dipengaruhi oleh penuaan dan sirkulasi hormonhormon
menurun
dengan
umur.
Hormon
DHEA
(Dehydroepiandrosterone) erat hubungannya dengan penurunan
fungsi kekebalan tubuh. Prostaglandin, hormon yang
mempengaruhi proses tubuh seperti suhu dan metabolisme
tubuh mungkin meningkat pada usia tua dan menghambat sel
imun yang penting. Kelompok lansia mungkin lebih sensitif pada
reaksi prostaglandin daripada dewasa muda, yang menjadi
penyebab utama defisiensi imun pada lansia. Prostaglandin
dihasilkan oleh jaringan tubuh, tetapi respons sistem imun pada
kelompok dewasa muda lebih baik saat produksi prostaglandin
ditekan 5.
Nutrisi berperan penting dalam sistem imun tubuh. Pada
kelompok dewasa tua yang sehat dan mengalami defisiensi gizi,
maka asupan vitamin dan suplemen makanan dapat
meningkatkan respons sistem imun, ditunjukkan dengan lebih
sedikitnya hari-hari penyakit yang diderita.
Orang tua sering mengalami perasaan kehilangan dan stress,
dan penekanan imunitas dihubungkan dengan perasaan
kehilangan, depresi, dan rendahnya dukungan sosial.
Memelihara kehidupan sosial yang aktif dan memperoleh
pengobatan depresi dapat meningkatkan sistem imun kelompok
lansia. Secara umum kelompok lansia lebih sering menderita
infeksi atau tingkat keparahan infeksi yang lebih besar dan
penurunan respons terhadap vaksin lebih rendah (contohnya
kematian akibat penyakit tetanus dan flu).

Pada orang tua, perasaan depresi dan marah dapat melemahkan


sistem imun. Mereka rentan terhadap stress dan depresi. Stress
menyebabkan perubahan- perubahan fisiologis tubuh yang
melemahkan sistem imun, dan akhirnya mempengaruhi
kesehatan sehingga mudah terserang penyakit, serta timbulnya
kelainan sistem imun dengan munculnyapsoriasis dan eczema.

Peneliti telah mempelajari hubungan antara marah, perasaan


depressi, dan sistem imun pada 82 orang lansia yang hidup
dengan pasangan penderita penyakit Al-zheimer. Ternyata
beberapa tahun kemudian kondisi psikologi dan fisik kesehatan
mereka menurun, ditunjukkan oleh response sistem imun yang
memicu aktivasi sel limfosit. Studi lain yang dilakukan terhadap
kesehatan lansia dengan stress menunjukkan level IL-6 atau
interleukin-6 (suatu protein dalam kelompok cytokine) meningkat
4 kali lipat lebih cepat sehingga mereka rentan terhadap penyakit
jantung, arthritis, dan sebagainya.
Pada lansia pria, depresi dikaitkan dengan berkurangnya
respons imun. Depresi ditimbulkan oleh rasa kesepian, enggan
menceritakan masalah hidup yang dialami, dan cenderung
memiliki teman dekat lebih sedikit daripada lansia wanita. Lansia
pria mengalami ledakan hormon stress saat menghadapi
tantangan dibandingkan dengan lansia wanita. Meskipun
hubungan antara depresi dengan imunitas berbeda menurut
gender, ternyata kombinasi marah dan stress yang dikaitkan
dengan penurunan fungsi imun pada kedua kelompok lansia pria
dan wanita tidak berbeda.
Gangguan tidur pada orang tua dapat melemahkan sistem imun
karena darah mengandung penurunan NKC (Natural Killer Sel).
NKC adalah bagian dari sistem imun tubuh, jika kadarnya
menurun dapat melemahkan imunitas sehingga rentan terhadap
penyakit. Studi yang dilakukan di Pittsburgh tahun 1998
menunjukkan pentingnya tidur bagi orang tua untuk memelihara
kesehatan tubuh 7.
Upaya Pemeliharaan Kesehatan Lansia terhadap Sistem
Imunitas Tubuh: Vaksinasi dan Nutrisi
Sistem imunitas tubuh orang tua ditingkatkan melalui upaya
imunisasi dan nutrisi. Tujuan imunisasi untuk memelihara sistem
imunitas melawan agen infeksi. Imunisasi/vaksin mengandung
substansi antigen yang sama dengan patogen asing agar sistem
imun kenal patogen asing dengan menghasilkan sel T dan sel B.
Influenza dan pneumonia adalah dua penyakit yang paling sering
diderita oleh orang tua sehingga perlu diberikan vaksinasi
influenza bagi mereka. Tetapi respons antibodi tubuh dan
response sel T orang tua terhadap vaksin lebih rendah daripada
orang muda mempengaruhi efek pemberian vaksin tersebut.
Karakteristik penyakit infeksi yang sering diderita oleh orang tua
disajikan pada Tabel 1.
Nutrisi berperan penting dalam peningkatan respons imun.
Orang tua rentan terhadap gangguan gizi buruk (undernutrition),
disebabkan oleh faktor fisiologi dan psikologi yang

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

mempengaruhi keinginan makan dan kondisi fisik serta ekonomi.


Gizi kurang pada orang tua disebabkan oleh berkurangnya
kemampuan penyerapan zat gizi atau konsumsi makanan bergizi
yang tidak
Tabel 1. Karakteristik Penyakit Infeksi yang Sering Diderita oleh
Orang Tua
Bakteri/Jamur:

Virus :

- pneumonia
-infeksi saluran
kencing/kandung kemih
- endocarditis
- diverticulitis
- meningitis
- TBC
- ulcer/tukak lambung
dikaitkan dengan
penurunan sirkulasi
- influenzae
- herpes zoster

memadai. Berkurangnya asupan kalori diketahui dapat


memperlambat proses penuaan dan membantu pemeliharaan
sejumlah besar sel T naive dan tingkat IL-2. Konsumsi protein
dan asam amino yang tidak cukup mempengaruhi status imun
karena berhubungan dengan kerusakan jumlah dan fungsi imun
selluler, serta penurunan respons antibodi.
Vitamin E dan Zn khususnya berperan penting dalam
memelihara sistem imun. Defisiensi Zn jangka panjang
menurunkan produksi cytokine dan merusak pengaturan aktivitas
sel helper T. Vitamin E merupakan treatment yang baik dalam
mencegah penyakit Alzheimer, meningkatkan kekebalan tubuh,
dan sebagai antioksidan yang melindungi limfosit, otak, dan
jaringan lain dari kerusakan radikal bebas.
Nutrisi dan Mineral-Mineral yang dapat Meningkatkan Sistem
Imun Orang Tua 8

Beta-glucan. Adalah sejenis gula kompleks (polisakarida)


yang diperoleh dari dinding sel ragi roti, gandum, jamur (maitake).
Hasil beberapa studi menunjukkan bahwa beta glucan dapat
mengaktifkan sel darah putih (makrofag dan neutrofil).

Hormon DHEA. Studi menggambarkan hubungan signifikan


antara DHEA dengan aktivasi fungsi imun pada kelompok orang
tua yang diberikan DHEA level tinggi dan rendah. Juga wanita
menopause mengalami peningkatan fungsi imun dalam waktu 3
minggu setelah diberikan DHEA.

Protein: arginin dan glutamin. Lebih efektif dalam


memelihara fungsi imun tubuh dan penurunan infeksi pascapembedahan. Arginin mempengaruhi fungsi sel T, penyembuhan
luka, pertumbuhan tumor, dans ekresi hormon prolaktin, insulin,
growth hormon. Glutamin, asam amino semi esensial berfungsi
sebagai bahan bakar dalam merangsang limfosit dan makrofag,
meningkatkan fungsi sel T dan neutrofil.
Lemak. Defisiensi asam linoleat (asam lemak omega 6)
menekan respons antibodi, dan kelebihan intake asam linoleat
menghilangkan fungsi sel T. Konsumsi tinggi asam lemak omega
3 dapat menurunkan sel T helper, produksi cytokine.

Yoghurt yang mengandung Lactobacillus acidophilus


dan probiotik lain. Meningkatkan aktivitas sel darah putih
sehingga menurunkan penyakit kanker, infeksi usus dan
lambung, dan beberapa reaksi alergi.
Mikronutrien (vitamin dan mineral). Vitamin yang berperan
penting dalam memelihara sistem imun tubuh orang tua adalah
vitamin A, C, D, E, B6, dan B12. Mineral yang mempengaruhi
kekebalan tubuh adalah Zn, Fe, Cu, asam folat, dan Se.

Zinc. Menurunkan gejala dan lama penyakit influenza.


Secara tidak langsung mempengaruhi fungsi imun melalui peran
sebagai kofaktor dalam pembentukan DNA, RNA, dan protein
sehingga meningkatkan pembelahan sellular. Defisiensi Zn
secara langsung menurunkan produksi limfosit T, respons limfosit
T untuk stimulasi/rangsangan, dan produksi IL-2.

Lycopene. Meningkatkan konsentrasi sel Natural Killer (NK)


Asam Folat 9. Meningkatkan sistem imun pada kelompok
lansia. Studi di Canada pada sekelompok hewan tikus melalui
pemberian asam folate dapat meningkatkan distribusi sel T dan
respons mitogen (pembelahan sel untuk meningkatkan respons
imun). Studi terbaru menunjukkan intake asam folat yang tinggi
mungkin meningkatkan memori populasi lansia.
Fe (Iron). Mempengaruhi imunitas humoral dan sellular dan
menurunkan produksi IL-1.
Vitamin E 10. Melindungi sel dari degenerasi yang terjadi
pada proses penuaan. Studi yang dilakukan oleh Simin Meydani,
PhD. di Boston menyimpulkan bahwa vitamin E dapat membantu
peningkatan respons imun pada penduduk lanjut usia. Vitamin E
adalah antioksidan yang melindungi sel dan jaringan dari
kerusakan secara bertahap akibat oksidasi yang berlebihan.
Akibat penuaan pada respons imun adalah oksidatif secara
alamiah sehingga harus dimodulasi oleh vitamin E.
Vitamin C. Meningkatkan level interferon dan aktivitas sel
imun pada orang tua, meningkatkan aktivitas limfosit dan
makrofag, serta memperbaiki migrasi dan mobilitas leukosit dari
serangan infeksi virus, contohnya virus influenzae.
Vitamin A. Berperan penting dalam imunitas non- spesifik
melalui proses pematangan sel-sel T dan merangsang fungsi sel
T untuk melawan antigen asing, menolong mukosa membran
termasuk paru- paru dari invasi mikroorganisme, menghasilkan
mukus sebagai antibodi tertentu seperti: leukosit, air, epitel, dan
garam organik, serta menurunkan mortalitas campak dan diare.
Beta karoten (prekursor vitamin A) meningkatkan jumlah monosit,
dan mungkin berkontribusi terhadap sitotoksik sel T, sel B,
monosit, dan makrofag. Gabungan/kombinasi vitamin A, C, dan E
secara signifikan memperbaiki jumlah dan aktivitas sel imun pada
orang tua. Hal itu didukung oleh studi yang dilakukan di Perancis
terhadap penghuni panti wreda tahun 1997. Mereka yang
diberikan suplementasi multivitamin (A, C, dan E) memiliki infeksi
pernapasan dan urogenital lebih rendah daripada kelompok yang
hanya diberikan plasebo.

Vitamin D. Menghambat respons limfosit Th-1.

Kelompok Vitamin B. Terlibat dengan enzim yang


membuat konstituen sistem imun. Pada penderita anemia
defisiensi vitamin B12 mengalami penurunan sel darah putih
dikaitkan dengan fungsi imun. Setelah diberikan suplementasi
vitamin B12, terdapat peningkatan jumlah sel darah putih.
Defisiensi vitamin B12 pada orang tua disebabkan oleh
menurunnya produksi sel parietal yang penting bagi absorpsi
vitamin B12. Pemberian vitamin B6 (koenzim) pada orang tua

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

dapat memperbaiki respons limfosit yang menyerang sistem


imun, berperan penting dalam produksi protein dan asam nukleat.
Defisiensi vitamin B6 menimbulkan atrofi pada jaringan limfoid
sehingga merusak fungsi limfoid dan merusak sintesis asam
nukleat, serta menurunnya pembentukan antibodi dan imunitas
sellular.

7.

Penutup

9.

Aging (penuaan) dihubungkan dengan sejumlah perubahan pada


fungsi imun tubuh, khususnya penurunan imunitas mediated sel.
Fungsi sistem imunitas tubuh (immunocompetence) menurun
sesuai umur. Kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi
menurun termasuk kecepatan respons immun dengan
peningkatan usia. Hal ini bukan berarti manusia lebih sering
terserang penyakit, tetapi saat menginjak usia tua maka resiko
kesakitan meningkat seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan
autoimun, atau penyakit kronik. Hal ini disebabkan oleh
perjalanan alamiah penyakit yang berkembang secara lambat
dan gejala- gejalanya tidak terlihat sampai beberapa tahun
kemudian. Di samping itu, produksi imunoglobulin yang
dihasilkan oleh tubuh orang tua juga berkurang jumlahnya
sehingga vaksinasi yang diberikan pada kelompok lansia kurang
efektif melawan penyakit. Masalah lain yang muncul adalah
tubuh orang tua kehilangan kemampuan untuk membedakan
benda asing yang masuk ke dalam tubuh atau memang benda
itu bagian dari dalam tubuhnya sendiri (autobody immune).
Defisiensi makro dan mikronutrient umum terjadi pada orang tua
yang menurunkan fungsi dan respons sistem imun tubuh.
Malnutrisi pada kelompok lansia harus diwaspadai sejak dini
termasuk memikirkan kembali efektifitas pemberian vaksin bagi
orang tua dalam mencegah penyakit infeksi seperti influenza.
Penyakit infeksi yang banyak diderita oleh orang tua dapat
dicegah atau diturunkan tingkat keparahannya melalui upayaupaya perbaikan nutrisi karena dapat meningkatkan kekebalan
tubuh. Jika fungsi imun orang tua dapat diperbaiki, maka kualitas
hidup individu meningkat dan biaya pelayanan kesehatan dapat
ditekan.
Daftar Acuan
1. Abikusno N, Rina KK. Characteristic of Elderly Club
Participants of Tebet Health Center South Jakarta. Asia
Pacific J Clinical Nutrition 1998; 7: 320-324.
2. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Tatalaksana Gizi Usia
Lanjut untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: Direktorat Bina Gizi
Masyarakat Ditjen Binkesmas Depkes RI, 2003.
3. Aspinall R. Ageing and the Immune System in vivo:
Commentary on the 16th session of British Society for
Immunology Annual Congress Harrogate December 2004.
Immunity and Ageing 2005; 2: 5.
4. Bell R, High K. Alterations of Immune Defense Mechanisms
in The Elderly: the Role of Nutrition. Infect Med^ 1997; 14:
415-424.
5. Nikolich-Zugich J, T cell aging: naive but not young. J Exp
Med 2005; 201: 837-840.
6.
Scanlan JM, Vitaliano PP, Zhang P, Savage M, Ochs HD,
Lymphocyte Proliferation Is Associated with Gender,

8.

10.

Caregiving, and Psychosocial Variables in Older Adults.


Journal of Behavioural Medicine 2001; 24: 537-555.
Dunhoff C. Sleep May Have Negative Impact on Immune
System. UPMC News Bureau, 1998.
Dickinson A. Benefits of Nutritional Supplements: Immune
Function in the Elderly. The Benefits of Nutritional
Supplements 2002.
Daniels S. Folate Supplements could Improve Immune
System in
the
Elderly.
http://www.nutraingredients.com. 2002.
Murray F. Vitamin E can Boost Immune Response in
Elderly
People.
Better
Nutrition
1989-1990.
http://www.findarticles.com. 1991.

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI DI POLIKLINIK


PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SYARIFAH AMBAMI RATO EBU BANGKALAN
CORRELATIONS BETWEEN DIET WITH THE INCIDENCE OF HYPERTENSION IN THE POLIKLINIK
PENYAKIT DALAM SYARIFAH AMBAMI RATO EBU BANGKALAN HOSPITAL
(1)Firman

Ade Pratama

(2)Marniyah
(1)Mahasiswa
(2)

STiKES INSAN Se Agung Bangkalan


Dosen STIKES Insan Se Agung Bangkalan
ABSTRAK

Dengan berkembangnya zaman menjadi globalisasi menyebabkan pola hidup masyarakat menjadi masyarakat modern dimana
masyarakat menjadi konsumtif yang banyak mengkonsumsi bahan-bahan kimia dan pola hidup yang selalu praktis sehingga timbul penyakit
kardiovaskuler. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan menganalisis hubungan pola makan dengan kejadian hipertensi di Poliklinik Penyakit
Dalam RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan.
Metode penelitian yang digunakan adalah analitik dengan desain penelitian cross sectional. Populasinya adalah sebanyak 55
pasien hipertensi dengan jumlah sampel 48 orang diambil secara Simple Random Sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner,
kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi. Selanjutnya dianalisa dengan menggunakan uji statistik Rank Spearman
dengan = 0,05.
Hasil penelitian menunjukkan pola makan penderita hipertensi yang baik sebesar 8,33%, pola makan sedang sebesar 60,42%, dan
pola makan yang tidak baik sebesar 31,25%. Sedangkan tingkat hipertensinya yaitu 6,25 mengalami pra hipertensi, 64,58 mengalami
hipertensi derajat 1, dan 29,17% mengalami hipertensi derajat 2. Sedangkan hasil uji statistik Spearman Rank diperoleh P = 0,000 = 0,005
sehingga H1 diterima.
Kesimpulannya ada hubungan pola makan dengan kejadian hipertensi di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Syarifah Ambami Rato
Ebu Bangkalan Tahun 2011. Sehingga perlu disasrankan adanya suatu program dari institusi pelayanan yang dapat mengatasi kejadian
hipertensi di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan, serta perlu diadakannya kegiatan penyuluhan kepada
masyarakat tentang bagaimana menjaga pola makan yang baik. Selain itu hendaknya bagi penderita dapat mematuhi aturan diet bagi
penderita hipertensi dan dapat menerapkan pola hidup sehat dan gizi seimbang.
Kata kunci : Pola Makan, Hipertensi
ABSTRACT
With growing of globalization make to a lifestyle of modern society into a society where a consumer society that consumes a lot of
chemicals and lifestyle are always practical causing cardiovascular disease. This research to analyzing the correlations between diet with the
incidence of hypertension in the Poliklinik penyakit dalam Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan Hospital.
Used by research method is analytic reseacrh, by the design research cross sectional . Population is 55 hypertention patient with
amount of sample 48 one who is taken by simple random sampling. Technique data collecting by questionnaire. Then is processed an
presented in the form of frequency distribution. Test statistic with rank spearman test with =0,05.
The results showed that the good diet of hypertensive patients both at 8.33%, the maesureable diet was at 60.42%, and diet is not
good at 31.25%. 6.25 While the level of hypertension that have pre hypertension, 64.58 degrees 1 had hypertension, and 29.17% had
hypertension degrees 2. While the statistical test results obtained by Spearman Rank P = 0.000 = 0.005 so that H1 is received.
The conclusion there is correlations between diet with the incidence of hypertension in the Poliklinik penyakit dalam Syarifah
Ambami Rato Ebu Bangkalan Hospital. Thus need advised there is a program of service institutions that can decrease the incidence of
hypertension in the Poliklinik penyakit dalam Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan hospital , and need the holding of activities to education the
public about how to maintain a good diet. further ,hypertensions patient should be able to comply with the rules of diet for hypertension patient
and can implement a healthy lifestyle and balanced nutrition.
Keyword : Diet, Hypertension

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

PENDAHULUAN
Penyakit kardiovaskuler yang sering terjadi pada
masyarakat yaitu penyakit hipertensi. Hipertensi sering kali
disebut dengan pembunuh gelap (silent killer), karena termasuk
penyakit yang mematikan tanpa disertai gejala-gejala telebih
dahulu sebelum serangan (Sustrany dkk, 2005). Banyak faktor
yang berpengaruh terhadap timbulnya penyakit hipertensi.
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat diklasifikasikan
menjadi dua yaitu hipertensi primer yang disebabkan oleh gaya
hidup modern, genetika, pola makan yang salah, obesitas, usia,
kehamilan, dan stres. Sedangkan hipertensi
sekunder
disebabkan oleh penyakit lain misalnya gangguan hormonal,
penyakit jantung, diabetes, ginjal, penyakit pembuluh darah atau
berhubungan dengan kehamilan. Penyebab terbesar pada
umumnya adalah hipertensi primer. Pola makan seseorang dapat
dipengaruhi oleh salah satu dari Teori Lawrence Green yaitu
faktor predisposisi yang terwujud dalam pengetahuan,sikap,
kepercayaan, keyakinan,dan nilai-nilai (Notoatmojo, 2003). Para
pakar menemukan faktor makanan modern sebagai penyebab
utama terjadinya hipertensi misalnya bahan pengawet, pewarna,
MSG (Mono Sodium Glutamat) yang bisa disebut penyedap rasa,
penggunaan garam dapur secara berlebihan, makanan siap saji,
lemak dan minyak yang dapat menyebabkan penyempitan
pembuluh darah. Konsumsi minuman yang mengandung kafein
misalnya kopi dan teh juga dapat meningkatkan tekanan darah
karena sifat kafein yang dapat mempengaruhi cara kerja jantung
dalam memompa darah (8).
Berdasarkan riset kesehatan dasar kesehatan
(riskedas) 2007 prevalensi hipertensi di Indonesia sangat tinggi,
yaitu mencapai 37,1 persen dari total jumlah penduduk dewasa.
Jumlah hipertensi itu lebih tinggi dibanding dengan Singapura
yang mencapai 27,3 persen, Thailan 22,7 persen, dan Malaysia
yang hanya mencapai 20 persen. Sedangkan data di RSUD
Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan selama tahun 2010,
jumlah kunjungan pasien hipertensi yang memeriksakan diri ke
poliklinik penyakit dalam RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu
Bangkalan pada tahun tersebut berjumlah 1147 orang.
Pola makan yang buruk dapat menyebabkan masalah
gizi ganda yaitu masalah gizi lebih dan masalah gizi kurang.
Selain itu pola makan yang buruk juga merupakan faktor utama
yang dapat menyebabkan hipertensi. Dan komplikasi yang
ditimbulkan hipertensi itu sendiri yaitu rusaknya organ-organ
tubuh yang sering rusak antara lain otak, mata, jantung,
pembuluh arteri, dan ginjal (4).
Penyakit hipertensi sebenarnya merupakan penyakit
yang dapat dicegah bila faktor resiko dapat dikendalikan. Upaya
tersebut meliputi monitoring tekanan darah secara teratur,
program hidup sehat tanpa asap rokok, peningkatan aktifitas
fisik,pola makan teratur (rendah lemak dan rendah garam). Hal ini
merupakan kombinasi upaya mandiri oleh individu/masyarakat
dan didukung oleh program pelayanan kesehatan yang ada,
misalnya seperti program penyuluhan kepada masyarakat. Hal ini
merupakan salah satu upaya meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang bahaya penyakit hipertensi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Hipertensi di Poliklinik
Penyakit Dalam RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Perilaku
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik
yang dapat diamati langsung maupun yang tidak bisa diamati

oleh pihak luar. Perilaku itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu perilaku tertutup (covert behavior) dan perilaku
terbuka (overt behavior)(5).
a. Perilaku tertutup (covert behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
terselubung atau tertutup. Respon atau reaksi terhadap
stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi,
pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada
orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum
dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
b. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus
tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek,
yang dengan mudah dapat diamati dan dilihat oleh orang
lain.
A. Perilaku kesehatan
Perilaku kesehatan adalah suaatu respon seseorang
(organisme) terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan
sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan
minuman, serta lingkungan.
Perilaku kesehatan dapat dibedakan menjadi tiga
kelompok yaitu :
1. Perilaku
pemeliharaan
kesehatan
(health
maintanance)
2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau
fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut
perilaku pencarian pengobatan (health seeking
behavior)
B. Perubahan (adopsi) perilaku dan indikatornya
Perubahan atau adopsi perilaku baru adalah suatu proses
yang kompleks dan memerlukan waktu yang relative lama.
Secara teori perubahan perilaku atau seseorang menerima atau
mengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya melalui tiga tahap
yaitu pengetahuan, sikap, dan praktek atau tindakan.
Menurut teori Lawrence Green, perilaku dapat dipengaruhi
oleh tiga faktor yaitu :
1. Faktor predisposisi yang terwujud dalam pengetahuan,
sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan
sebagainya.
2. Faktor pendukung yang terwujud dalam lingkungan
fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas
kesehatan.
3. Faktor pendorong yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain,
yang merupakan kelompok referensi dari perilaku
masyarakat.
2. Konsep Pola Makan
Banyak penyakit berat bersumber dari makanan atau pola
makan yang salah. Seperti hipertensi, asam urat, ginjal,
kolesterol, dan kanker. Makanan memang erat kaitannya dengan
kondisi kesehatan.
Perubahan gaya hidup dan perilaku makan telah
menimbulakan masalah gizi ganda yaitu masalah gizi lebih dan
gizi kurang dengan berbagai resiko penyakit yang ditimbulkannya.
Upaya menanggulangi masalah gizi ganda adalah membiasakan
hidup sehat dan teratur serta mengkonsumsi makanan sehari-hari
dengan susunan zat gizi yang seimbang berdasarkan 13 pesan
Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS).

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

A. Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS)


PUGS (Pedoman Umum Gizi Seimbang) berisi pesanpesan utama yang perlu diketahui dan dipraktekkan oleh semua
orang disemua golongan dan lapisan masyarakat untuk hidup
sehat(1).
1. Faktor-faktor yang dijadikan dasar dalam penyusunan
PUGS adalah : Masalah gizi yang dihadapi, Keadaan
social budaya, Penemuan-penemuan mutakhir di bidang
gizi, Slogan 4 sehat 5 sempurna.
2. 13 pesan dasar tentang prilaku makan: Makanlah aneka
ragam makanan, Makanlah makanan untuk memenuhi
kecukupan energy, Makanlah makanan sumber
karbohidrat setengah dari kebutuhan energy, Batasi
konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari
kecukupan energy, Gunakan garam beryodium
secukupnya, Makanlah makanan sumber zat besi,
Biasakan makan teratur dan tepat waktu, Minumlah air
bersih dan aman yang cukup jumlahnya, Lakukan
kegiatan fisik dan olahraga secara teratur, Hindari
minuman beralkohol, Makanlah makanan yang aman
bagi kesehatan, Bacalah label pada makanan yang
dikemas.
B. Faktor yang mempengaruhi pola makan masyarakat :
1. Sosial budaya
2. Ekonomi
3. Pendidikan
4. Jenis kelamin
5. Pekerjaan
6. Suku bangsa
7. Ras
C. Pola menu seimbang
Menu adalah susunan makanan yang dimakan oleh
seseorang untuk sekali makan atau untuk sehari. Pola menu
seimbang bila disusun dengan baik mengandung semua zat gizi
yang dibutuhkan oleh tubuh yaitu makanan pokok, lauk pauk,
sayuran, buah-buahan, dan susu.
Pola menu seimbang tersebut dapat diurai sebagai berikut:
a. Golongan makanan pokok yang dianjurkan sehari untuk
orang dewasa adalah sebanyak 300-500 gram beras
atau sebanyak 3-5 piring nasi sehari.
b. Golongan lauk yang dianjurkan sehari untuk orang
dewasa adalah sebanyak 100 gram atau 2 potong
ikan/daging sehari, sedangkan porsi lauk nabati
sebanyak 100-150 gram atau 4-6 potong tempe/tahu
setiap hari.
c. Golongan sayuran yang dianjurkan adalah terdiri dari
campuran sayuran daun dan kacang-kacangan. Porsi
sayuran dalam bentuk tercampur yang dianjurkan sehari
untuk orang dewasa adalah sebanyak 150-200 gram
atau 1-2 mangkok setiap hari.
d. Golongan buah yang dianjurkan adalah 200-300 gram
atau 2-3 buah setiap hari.
e. Porsi susu yang dianjurkan adalah 1-2 gelas setiap hari.
3. Konsep Hipertensi
Hipertensi adalah penyakit kelainan jantung dan pembuluh
darah yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah(4).
Hipertensi adalah sebagai tekanan persisten dimana tekanan
sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya di atas 90
mmHg(10).

A. Jenis Hipertensi
Menurut Mansjoer, 2001 hipertensi dapat dikelompokkan
menjadi dua golongan, yaitu :
a. Hipertensi primer atau hipertensi esensial
Hipertensi primer adalah peningkatan tekanan darah
diatas normal dimana tidak diketahui penyebabnya.
Sekitar 90% penderita menunjukkan meningkatnya
tekanan darah mempunyai penyebab yang tidak jelas
untuk hipertensi.
Menurut Sustrani dkk, 2005 banyak sekali faktor
yang dapat menyebabkan hipertensi primer, antara lain :
1. Gaya hidup modern
2. Pola makan yang salah
3. Obesitas
4. Genetik
5. Usia
6. Jenis kelamin
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah peningkatan
tekanan darah yang dapat diketahui penyebebnya,yaitu
disebabkan oleh penyakit lain(11)..
Hipertensi sekunder dapat disebabkan oleh
berbagai kondisi, antara lain :
1. Hipertensi renalis
2. Hipertensi renovaskular
3. Sindrom cushing
4. Hiperaldosteronisme primer
5. Feokromositoma
B. Klasifikasi tekanan darah
Klasifikasi tekanan darah menurut National Institute of
Health, Lembaga Kesehatan Nasional di Amerika
mengklasifikasikan sebagai berikut :
Tekanan sistolik :
a. 110 mmHg : normal
b. 120-139 mmHg
: pra hipertensi
c. 140-159 mmHg
: hipertensi derajat 1
d. 160 mmHg : hipertensi derajat 2
Tekanan diastolik :
a. 70 mmHg : normal
b. 80-89 mmHg : pra hipertensi
c. 90-99 mmHg : hipertensi derajat 1
d. 100 mmHg : hipertensi derajat 2 (Lanny dkk, 2005)
C. Gejala klinis
1. Hipertensi primer
Gejala seperti sakit kepala, epistaksis,pusing, dan
migren dapat ditemukan sebagai gejala klinis hipertensi primer
meskipun tidak jarang yang tanpa adanya gejala
Pada penelitian tidak didapatkan korelasi antara
tingginya tekanan darah dan gejala yang timbul. Gejala lain yang
disebabkan komplikasi hipertensi seperti gangguan penglihatan,
gangguan neurologi, gagal jantung, dan gangguan fungsi ginjal.
Gagal jantung dan gangguan penglihatan ini sering dijumpai pada
hipertensi berat atau maglina yang umumnya juga disertai oleh
gangguan fungsi ginjal bahkan gagal ginjal.
2. Hipertensi sekunder
Gejala atau menifestasi klinis yang timbul pada
hipertensi sekunder adalah berbeda-beda, dimana tergantung
pada jenis hipertensi sekundernya.
a. Hipertensi renalis gejalanya dapat ditemukan dengan tes
yang spesifik yaitu peningkatan ureum dan kreatinin.
b. Hipertensi renovaskular gejala atau menifestasi klinisnya
sangat bervariasi, tergantung pada gambaran

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

epidemologis, gambaran hipertensi, keterlibatan ginjal,


adanyahiperaldosteronisme, dan gambaran lainnya.
c. Sindrom cushing gejala klinisnya tergantung dari aktifitas
glukokortikoid yaitu mudah lelah, striae, moon face,
obesitas daerah perut, hipertensi, gangguan toleransi
glukosa, dan sebagainya.
d. Hiperaldosteronisme primer
Gejala yang sering timbul adalah tanda-tanda hipertensi,
hiperaldosteronisme, renin plasma rendah, dan
hipokalemia.
e. Feokromositoma
Gejalanya adalah hipertensi bersifat labil dan berat
disertai sakit kepala, berkeringat, palpitasi, dan tremor
pada tangan. Pada penderita bisa terjadi hiperglikemia
atau diabetes resistensi insulin. Kebanyakan penderita
adalah kurus.
D. Obat-obat antihipertensi
Diuretika :
1. Thiazide
2. Loop-duretika
Furesemide (lasix), Etacrynic acid (Edecrin)
3. Obat penahan kalium (Potassium sparing agents)
Spironoloctone, Ameloride, Triamterene
Obat-obat penghalang simpatik (adrenergic) :
1. Yang bekerja sentral : Clonidine
2. Penghalang simpatik di ganglion
Trimetaphan, Pentolinium, Pempidine
3. Penghalang transmissi neuro-efektor
Guanetidine, Betadhine, Debrisoquine, Reserpine
4. Yang bekerja sentral dan perifer menghalang simpatik
Methyldopa
5. Penhalang reseptor adrenergic
a. Penghalang alpha adrenoreseptor
Phentolamine, Phenoxibenzamine (pre-pos
synaptic), Prazosin (post synaptic)
b. Penghalang beta adrenoreseptor
Non kardioselektif beta 1 dan beta 2,
Kardioselektif beta 1
c. Kombinasi penghalang alpha dan beta
adrenergic reseptor
Labetolol
6. Tak jelas bekerjanya
MAO- : Inhibitor, Pargyline
Vasodilator langsung
a. Arterial vasodilator
Hidralazyne, Diazoxide, Minoxidil
b. Vasodilator arterial dan vena
Sodiumnitroprusside (nipride)
Penghalang convertin enzyme : Captopril
E. Komplikasi
Komplikasi terjadi karena kerusakan organ yang
diakibatkan adanya peningkatan darah yang sangat tinggi dalam
waktu lama. Organ-organ yang sering rusak antara lain otak,
mata, jantung, pembuluh arteri, dan ginjal (Marliani, 2007).
Pada otak hipertensi akan menimbulkan komplikasi yang
sangat berbahaya dan dapat menimbulakan kematian.
Berdasarkan penelitian, sebagian besar kasus stroke disebabkan
oleh hipertensi. Selain itu komplikasi pada otak akibat hipertensi

adalah demensia (penyakit kehilangan daya ingat dan


kemampuan mental yang lain).
Pada mata hipertensi dapat menimbulkan kerusakan
pembuluh darah halus mata. Hipertensi menyebabkan pembulupembuluh darah halus pada retina robek. Darah merembes ke
jaringan sekitarnya sehingga dapat menimbulkan kebutaan.
Komplikasi juga banyak terjadi pada jantung dan pembuluh
darah, antara lain :
1. Arteriosklerosis atau pengerasan pembululuh darah arteri
Pengerasan pada dinding arteri ini terjadi karena terlalu
besarnya tekanan, karena hipertensi lama-kelamaan
membuat dinding arteri menjadi tebal dan kaku. Hal ini juga
dapat disebabkan oleh penumpukan lemak pada lapisan
pembuluh arteri yang disebut dengan plak. Pengerasan ini
dapat mengakibatkan tidak lancarnya aliran darah sehingga
dibutuhkan tekanan yang lebih kuat sebagai kompensasinya.
2. Aneurisma
Merupakan gambaran seperti balon pada dinding pembuluh
darah akibat melemah atau tidak elastisnya pembuluh darah
akibat kerusakan yang timbul. Aneurisma ini sangat
berbahaya karena bias pecah yang bias mengakibatka
perdarahan yang sangat fatal. Gejala yang dapat timbul dari
aneurisma ini adalah sakit kepala hebat yang tidak bisa
hilang bila terjadi pada arteri otak, dan sakit perut
berkepanjangan jika terjadi pada daerah perut.
3. Penyakit pada arteri koronaria
Arteri koronaria adalah pembuluh utama yang member
pasokan darah pada otot jantung. Apabila arteri ini
mengalami gangguan misalnya karena plak, maka aliran
darah ke jantung akan terganggu sehingga menyebabkan
kekurangan darah.
4. Gagal jantung
Merupakan suatu keadaan ketikan jantung tidak kuat lagi
untuk memompa darah ke seluruh tubuh sehingga banyak
organ lain yang rusak akibat kekurangan darah.
5. Gagal ginjal
Komplikasi hipertensi timbul karena pembuluh darah dalam
ginjal mengalami arteriesklerosis karena tekanan darah
terlalu tinggi sehingga aliran darah ke ginjal menurun dan
ginjal tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Dan
bila ginjal tidak berfungsi, bahan sisa akan menumpuk dalam
darah dan ginjal akan mengecil dan berhenti berfungsi.
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Desain yang digunakan adalah observasional analitik
dengan cross sectional untuk mengetahui hubungan pola makan
dengan hipertensi di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Syarifah
Ambami Rato Ebu Bangkalan.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien
hipertensi yang memeriksakan diri ke Poliklinik Penyakit Dalam
RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan pada bulan Mei
tahun 2010 yang diperkirakan berjumlah 55 orang.
Sampel pada penelitian ini berjumlah 48 orang diambil
dengan menggunakan Probability Sampling, yaitu secara simple
random sampling.
Pengumpulan data yang digunakan adalah data primer
menggunakan kuesioner kemudian dilakukan tabulasi silang
menggunakan computer dengan cara SPSS, dan diuji dengan uji
spearmen rank dengan derajat kemaknaan p 0,05 artinya ada
hubungan yang bermakna antara 2 variabal, maka H0 ditolak.

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

HASIL PENELITIAN
1. Data Pola Makan Responden
Tabel 6 Distribusi Pola Makan Pasien Hipertensi di Poliklinik
Penyakit Dalam RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan
Tingkat
Frekuensi
Persentase (%)
Pola Makan
Pola Makan Baik
4
8,33
Pola Makan Sedang
29
60,42
Pola Makan Tidak Baik
15
31,25
Total
48
100
Sumber: Data Primer 2011
Secara umum pola makan yang salah diterapkan oleh para
pasien hipertensi, diantaranya dalam mengkonsumsi makanan
dan mengolah makanan itu sendiri. Misalnya, pemakaian garam
yang berlebihan, pemakaian penyedap rasa yang berlebihan, dan
cara penggunaan minyak goreng yang tidak baik. Oleh karena itu
konsumsi lemak yang dikonsumsi cukup tinggi.
Menurut teori Lawrence Green pola makan (prilaku)
seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu salah satunya
faktor predisposisi yang terdiri dari pengetahuan, sikap
kepercayaan, keyakinan, dan lain-lain. Menurut Emilia, 2003
bahwa berdasarkan kemudahan proses pencernaan, lemak
dibagi menjadi 3 yaitu : lemak yang mengandung asam lemak tak
jenuh ganda, asam lemak tak jenuh tunggal, dan asam lemak
jenuh. Asam lemak tak jenuh ganda dan asam lemak tak jenuh
tunggal mudah dicerna dan berasal dari sumber pangan nabati
(kecuali minyak kelapa). Sedangkan asam lemak jenuh tidak
mudah dicerna yang berasal dari sumber pangan hewani, dimana
pengkonsumsian lemak hewani yang berlebihan dapat
menyebabkan penyempitan pembuluh darah arteri dan penyakit
jantung koroner.
2. Data Tingkat Hipertensi Responden
Tabel 7 Distribusi Tingkat Pasien Hipertensi di Poliklinik Penyakit
Dalam RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan
Tingkat Hipertensi
Frekuensi
Persentase (%)
Pra Hipertensi
3
6,25
Hipertensi Derajat 1
31
64,58
Hipertensi Derajat 2
14
29,17
Total
48
100
Sebagian besar responden mengalami hipertensi derajat
1 yang disebabkan oleh pola makan sedang. Hal ini tidak
menutup kemungkinan adanya beberapa faktor yang
menyebabkan hipertensi tersebut seperti usia, jenis kelamin, dan
lain-lain.
Menurut Sustrani dkk, 2005 yaitu hipertensi disebabkan
oleh beberapa faktor diantaranya gaya hidup modern, pola makan
yang salah, obesitas, genetik, usia, dan jenis kelamin.
Faktor gaya hidup modern, dalam gaya hidup modern
dimana orang lebih mengutamakan kesuksesan, kerja keras,
dalam situasi penuh tekanan, dan stress berkepanjangan adalah
hal yang paling umum terjadi. Dalam kondisi tertekan, adrenalin
dan kortisol dilepaskan ke aliran darah sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan darah agar tubuh siap untuk bereaksi.
Disamping itu, gaya hidup modern yang penuh kesibukan juga
dapat membuat orang kurang berolah raga yang juga dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah.
Pola makan yang salah. Para pakar telah menemukan
faktor makanan modern sebagai penyebab terjadinya hipertensi.

Makanan yang diawetkan, garam dapur, serta bumbu penyedap


rasa yang berjumlah tinggi yang dapat menyebabkan tekanan
darah meningkat karena mengandung natrium dalam jumlah
berlebih. Selain konsumsi natrium dalam jumlah berlebihan, faktor
makan modern juga dapat memicu tekanan darah misalnya
makanan siap saji yang kaya daging dan mengandung empat zat
yaitu gula, garam, minyak (lemak), dan zat kimia yang tidak alami
seperti pengawet dan pewarna sehingga menjadi faktor
peningkatan tekanan darah.
Faktor yang ketiga yaitu obesitas atau berat badan yang
berlebihan yang dapat membuat seseorang susah untuk bergerak
dengan bebas. Oleh sebab itu jantung harus bekerja lebih keras
untuk memompa darah agar bisa menggerakkan beban yang
berlebihan dari tubuh tersebut.
Faktor genetik merupakan faktor ke empat dimana dapat
menimbulkan perubahan pada ginjal dan membrane sel, aktifitas
saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin yang mempengaruhi
kedaan hemodinamik, asupan natrium dan metabolism natrium
dalam ginjal. Peran faktor genetik pada hipertensi primer
dibuktikan dengan berbagai fakta yaitu adanya bukti bahwa
keejadian hipertensi lebih banyak dijumpai pada pasien kembar
monozigot daripada heterozigot. Jika salah satu diantaranya
menderita hipertensi, menyokong pendapat bahwa faktor genetik
mempunyai pengaruh terhadap timbulnya hipertensi.
Faktor usia merupakan faktor kelima dimana terdapat
perubahan structural dan fungsional pada sistem pembuluh
perifer yang bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah
yang terjadi pada usia lanjut.perubahan tersebut meliputi
arteriosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan
pada relaksasi otot polos pembuluh darah. Konsekuensinya,
aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam
mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung yang
mengakibatkan curah jantung dan peningkatan tekanan perifer.
Yang terakhir yaitu faktor jenis kelamin. Sekitar 60%
hipertensi lebih banyak menyerang wanita setelah usia 55 tahun.
Hal ini sering dikaitkan dengan pemakaian pil kontrasepsi dengan
kandungan estrogen dan progesterone yang berlebihan, selain itu
juga karena terapi hormone yang digunakan setelah terjadi
perubahan hormon karena menopause.
3. Hubungan Pola Makan Dengan Kejadian Hipertensi
Tabel 8 Tabulasi Silang Hubungan Pola Makan Dengan Kejadian
Hipertensi Pada Pasien Hipertensi di Poliklinik Penyakit Dalam
RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan
Hipertensi
Pra
Hipertensi Hipertensi
Total
hiperte
derajat 1
derajat 2
nsi
Pola
3
1
0
4
makan
baik
75,0%
25,0%
0%
100%
Pola
0
26
3
29
makan
sedang
0%
89,7%
10,3%
100%
Pola
0
4
11
15
makan
tidak baik
0%
26,7%
73,3%
100%
3
31
14
48
total
6,2%
64,6%
29,2%
100%

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

Dan berdasarkan analisa hasil penelitian, hasil uji


statistik dengan spearman tampak pada tabel 5.7 bahwa nilai p
value (0.000) < (0,05), maka hipotesis diterima. Dapat
diputuskan bahwa ada hubungan yang signifikan pola makan
dengan kejadian hipertensi di Poli Dalam RSUD Syarifah Ambami
Rato Ebu Bangkalan.
Faktor peningkatan tekanan darah sangat perlu
diperhatikan karena faktor pola makan merupakan salah satu
faktor yang paling sering diremehkan oleh masyarakat. Oleh
sebab itu masyarakat perlu memperhatikan pola makannya
secara maksimum agar terhindar dari segala macam penyakit,
terutama penyakit hipertensi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan Sustrani dkk, 2005
bahwa para pakar menemukan faktor makanan modern sebagai
faktor utama penyebab terjadinya hipertensi. Makanan yang
diawetkan, garam dapur, serta bumbu penyedap rasa dalam
jumlah tinggi yang dapat meningkatkan tekanan darah karena
kandungan natrium yang berlebihan. Selain konsumsi natrium
yang berlebihan, faktor makanan modern juga dapat memicu
meningkatnya tekanan darah misalnya makanan siap saji yang
kaya daging dan mengandung empat zat yaitu gula, garam,
minyak-lemak, dan zat kimia yang tidak alami seperti pengawet
dan pewarna sehingga menjadi faktor peningkatan tekanan
darah.
DAFTAR PUSTAKA

1.

Emilia, Esi 2003, Tiga Belas Pesan Pedoman Umum Gizi


Seimbang (PUGS) Sebagai Pedoman Untuk Hidup Sehat.
http://tumotou.net/702-07134/esi-emilia.htm.

2.

Marliani, Lili Dr. & H. Tantan S 2007, 100 questions &


Answers Hipertensi. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

3.

Notoadmodjo, soekidjo 2003, Pendidikan dan Perilaku


Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

4.

Rachmi, Cut Novianty Dr 2006, Konsultasi Kesehatan.


http.//www.pikiran rakyat.com.htm.

5.
6.

Smeltzer, Suzanne C 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah brunner & Suddarth, Edisi 8. Jakarta: EGC.
Sustrani, Lani. dkk 2005, Hipertensi. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP ORANG TUA TENTANG TOILET


TRAINING DENGAN KEBERHASILAN PENGGUNAAN TOILET
PADA ANAK USIA 3 TAHUN
(1)

(1)Faridah
Prodi Ilmu Keperawatan STIKES Insan Unggul Surabaya

ABSTRAK
Pemilihan waktu yang tepat untuk toilet training akan memberi dampak keberhasilan pada anak. Masih tingginya angka
kejadian ngompol pada anak pra sekolah disebabkan kurang berhasilnya orang tua mengajarkan penggunaan toilet. Tujuan
penelitian untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan sikap orang tua tentang toilet training dengan tingkat keberhasilan
penggunaan toilet pada anak usia 3 tahun.
Jenis penelitian ini observasional desain penelitian analitik dengan pendekatan Cross Sectional. Jumlah populasi 40
orang dan besar samplenya 36 orang yang dilakukan melalui simple randem sampling. Data penelitian ini diambil dengan kuesioner
tertutup. Setelah ditabulasi data yang ada dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Spearman Rank dengan tingkat kemaknaan
0,05.
Hasil penelitian menunjukkan hampir seluruhnya pengetahuan orang tua pada kategori baik yaitu sebanyak 24 orang
(66,7%) kemudian kategori kurang sebanyak 6 orang (16,7%). Hampir seluruhnya sikap orang tua baik sebanyak 16 orang (44,4%)
kemudian kategori kurang sebanyak 8 orang (22,2%) Hampir seluruhnya toilet training berhasil sebanyak 18 orang (50,0%),
sebagian kecil tidak berhasil 8orang (22,2%). Sedangkan dari hasil pengujian statistik diperoleh hasil ada hubungan tingkat
pengetahuan orang tua dengan keberhasilan penggunaan toilet training dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,031. dan nilai
sikap orang tua dengan keberhasilan dengan signifikan 0,001 dimana (P < 0,05).
Hasil penelitian ini menjadi perlu adanya peningkatan pengetahuan orang tua terutama penggunaan toilet agar dapat meningkatkan
keberhasilan dalam penggunaan toilet dan mengurangi angka kejadian ngompol pada anak, oleh karena itu perawat perlu
memberikan penyuluhan kepada orang tua tentang bagaimana cara mengajarkan toilet training.
Kata kunci : pengetahuan, sikap, toilet training

JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

PENDAHULUAN
Anak membutuhkan persiapan baik secara fisik, psikologis
maupun secara intelektual, agar anak mampu mengontrol buang air
kecil atau besar secara mandiri (Hidayat, 2005). Cara orang tua
mendidik anaknya agar terbiasa untuk dapat pipis dan buang air
besar (BAB) atau toilet training adalah dengan mengenalkan dan
membiasakan si kecil untuk buang air kecil (BAK) dan BAB di toilet,
mengajari anak untuk mengatakan bahwa ia akan BAK atau BAB,
kurangi minum sebelum anak tidur, membawa si kecil ke toilet pada
waktu-waktu akan BAK (misal bangun tidur) dan ajari menggunakan
toilet. Istilah yang digunakan adalah tatur, pujilah anak jika berhasil
dan jangan tergesa dimarahi jika melakukan kesalahan (Asti, 2008).
Beberapa anak mencapai kontrol buang air kecil atau kontrol
buang air besar lebih awal pada usia 18 sampai 24 bulan akan tetapi
toilet training harus dimulai ketika anak telah memperlihatkan tanda
kesiapan sehingga pelatihan buang air besar biasanya dilakukan
pada saat anak berumur 2-3 tahun, sedangkan pelatihan buang air
kecil dapat dilakukan pada usia 3-4 tahun. Dikarenakan kontrol buang
air besar sering kali lebih cepat dikuasai daripada kontrol buang air
kecil sehingga pada kenyataannya akan lebih sering dijumpai
permasalahan buang air kecil dari pada buang air besar, kegagalan
tidak dapat menahan keluarnya air kencing disebut enuresis
(Anonymous, 2001).
Suatu survei di Indonesia didapatkan prevalensi enuresis
sekitar 30% anak berusia 4 tahun, 10% anak berumur 6 tahun, 3%
anak berumur 12 tahun sedangkan di negara Eropa dan Amerika
Utara menunjukkan bahwa enuresis didapatkan 15% pada anak
berusia 5 tahun, 7% pada anak berusia 10 tahun, 1-2% pada anak
berusia 15 tahun. Hal ini disebabkan terlambatnya proses
pendewasaan, kelainan fisik, masalah psikologis, maturasi cerebral
pada anak perempuan lebih cepat dari pada anak laki-laki. Oleh
karena itu, insiden pada anak laki-laki menyebabkan lebih banyak dari
pada anak perempuan. (Hansakunachai, 2005).
Dampak kegagalan dalam toilet training memberikan pengaruh
pada anak sehingga anak tidak percaya diri, rendah diri, malu,
hubungan sosial dengan teman-temannya terganggu, anak
berkepribadian ekspresif dimana anak menolak untuk latihan toilet
training, emosional, cenderung ceroboh dan sesuka hati dalam
melakukan kegiatan sehari-hari (Harjaningrum,2005).
Hasil survei pendahuluan yang dilakukan terhadap 10 anak
didapatkan anak yang tidak bisa mengungkapkan keinginannya
untuk BAK sebesar 60 %, anak yang tidak dapat mengungkapkan
keinginannya untuk BAB 40%, anak yang mampu melepaskan celana
sendiri sebelum BAB/BAK 50%.
Cara terbaik untuk menghindari timbulnya masalah pelatihan
buang air (toilet training) adalah dengan mengenali kesiapan anak,
adapun tanda dari kesiapan anak sebagai berikut: selama beberapa
jam pakaian dalamnya kering, anak menginginkan pakaian dalamnya
diganti jika basah, anak menunjukkan ketertarikan duduk diatas potty
chair (pispot khusus untuk anak-anak) atau di atas toilet (jamban,
kakus) sehingga anak mampu mengikuti petunjuk atau aturan lisan
sederhana dari orang tua (Prince, 2001). Orang tua memiliki peran
yang sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi anak,
dimana keluarga merupakan lingkungan primer bagi setiap individu
sejak lahir sampai tiba masanya untuk meninggalkan rumah dan
membentuk keluarga sendiri. Sebelum anak mengenal lingkungan
yang lebih luas, terlebih dahulu anak mengenal lingkungan
keluarganya melalui pengenalan norma-norma dan nilai-nilai dalam
keluarga untuk dijadikan bagian dari pribadinya melalui proses
pengasuhan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adakah
hubungan tingkat pengetahuan dan sikap orang tua tentang toilet

training dengan keberhasilan penggunaan toilet pada


anak usia 3 tahun?
BAHAN DAN METODE
Jenis penelitian ini observasional disain yang
digunakan adalah analitik yang bertujuan untuk
menggali bagaimana dan mengapa fenomena
kesehatan itu terjadi, dengan pendekatan cross
sectional yakni penelitian yang menekankan pada waktu
pengukuran data variabel independen dan dependen
sekaligus pada satu saat (Soekidjo, 2005). Instrumen
penelitian menggunakan kuesioner terstruktur. Populasi
dari penelitian ini adalah semua orang tua siswa PAUD
Pelita Harapan kelas A dan B yang berusia 3 tahun
yang berjumalah 40. Sampel berjumlah 52 ibu. Teknik
sampling pada penelitian ini dengan purposive
sampling.
Pada penelitian ini yang menjadi variabel
dependen adalah Tingkat Keberhasilan Toilet Training
Pada Anak Usia 3 Tahun di PAUD Pelita Harapan dan
variabel independennya adalah Pengetahuan dan Sikap
Orang tua Tentang Toilet Training.
Analisis data dengan menggunakan SPSS untuk
mengetahui hubungan antara variabel independen
(bebas) Pengetahuan dan Sikap Orang tua Tentang
Toilet Training dengan variabel dependen (terikat)
Tingkat Keberhasilan Toilet Training Pada Anak Usia 3
Tahun dilakukan dengan uji statistik menggunakan uji
Rank Spearman karena skala data variabel ordinal &
ordinal
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
1. Tingkat Pengetahuan Orang Tua

kurang
6
16,7%
cukup
6
16,7%

pengetahuan

baik
24
66,7%

Gambar
1. Distribusi Frekuensi Tingkat
Pengetahuan Orang Tua siswa PAUD Pelita
Harapan Tahun 2010
Dari gambar di atas diperoleh data pengetahuan
orang tua baik sebanyak 66,7% orang tua, cukup dan
kurang didapatkan persentase sama yaitu 16,7% orang
tua.

JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

2.

Sikap Orang Tua

cukup
12
33,3%

kurang
8
22,2%

4.

sikap

baik
16
44,4%

Gambar 2. Distribusi frekuensi sikap orang tua pada anak umur


3 tahun di PAUD Pelita Harapan pada Tahun 2010.
Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa sikap orang tua
baik sebanyak 44,4% orang tua, sikap orang tua cukup sebanyak
33,3% dan sikap kurang sebanyak 22,2%.
3.

Keberhasilan Penggunaan Toilet Pada Anak

Keberhasilan
kurang
berhasil
10
27,8%

tidak
berhasil
8
22,2%

berhasil
18
50,0%
Gambar 3. Distribusi frekuensi orang tua berdasarkan
keberhasilan penggunaan toilet pada anak umur 3 tahun di
PAUD Pelita Harapan Tahun 2010
Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa keberhasilan
penggunaan toilet pada anak diperoleh hasil sebagian besar orang
tua menyatakan berhasil sebanyak 50,0%, kurang 27,8%, dan tidak
berhasil sebanyak 22,2%.

Hubungan Pengetahuan Orang Tua dengan


Keberhasilan Penggunaan Toilet pada anak
usia 3 tahun.
Tabel 1. Tabulasi silang pengetahuan orang
tua
dengan
keberhasilan
penggunaan toilet
pada anak di PAUD Pelita
Harapan Tahun 2010.

Keberhasilan
Penggunaan
Toilet

Berhasil

Kurang
Berhasil

Tidak
Berhasil

Total

Baik

15

62,5

20,8

16,7

24

100

Cukup

33,3

50,0

16,7

100

Kurang

16,7

33,3

50,0

100

Total

18

50,0

10

27,8

22,2

36

100

Pengetahuan

Dari tabel 1 Disimpulkan bahwa keberhasilan


penggunaan toilet, berhasil didapatkan proporsi
pengetahuan baik 62,5% lebih besar daripada cukup
33,3% maupun kurang 16,7%. Penggunaan toilet
kurang berhasil proporsi pengetahuan ibu cukup 50,0%
lebih besar daripada kurang 33,3% maupun baik 20,8%.
Sedangkan Penggunaan toilet tidak berhasil proporsi
pengetahuan kurang 50,00% lebih besar bila
dibandingkan dengan pengetahuan cukup maupun
kurang yaitu 16,7%.
Hasil uji hubungan dengan Korelasi Rangk
Spearman Rho antara pengetahuan dengan
keberhasilan diperoleh nilai korelasi positif sebesar
0,359 dengan signifikansi P = 0,031 dimana P < 0,05.
Maka Ho ditolak H1 diterima, artinya terdapat hubungan
antara tingkat pengetahuan orang tua dengan
keberhasilan toilet training.
Pembahasan
1. Pengetahuan Ibu tentang Toilet Training
Sebagian besar orang tua sebanyak 66,7% (24)
orang mempunyai pengetahuan baik, dan sebagian
kecil orang tua sebanyak 16,7% (6) orang mempunyai
pengetahuan kurang.
Pengetahuan seseorang juga dipengaruhi oleh
tingkat pendidikannya, karena semakin tinggi
pendidikan seseorang maka orang tersebut akan lebih
mudah untuk menerima dan menerapkan informasi
yang telah diterimanya. Hal ini diperkuat oleh hasil
penelitian penulis bahwa orang tua yang berpendidikan
SMA dan Sarjana berhasil dalam melakukan toilet
training sedangkan yang berpendidikan SMP cukup
berhasil. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi
pendidikan seseorang makin mudah pula mereka
menerima informasi, dan akhirnya makin banyak pula
pengetahuan yang dimilikinya.
Sebaliknya jika seseorang tingkat pendidikannya
rendah, akan menghambat perkembangan sikap

JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

seseorang terhadap penerimaan, informasi dan nilai-nilai yang baru


diperkenalkan.Lingkungan pekerjaan juga mempunyai pengaruh
terhadap seseorang terutama mengenai pengetahuan karena
dilingkungan pekerjaan seseorang memperoleh pengalaman baik itu
pengalaman yang diperoleh secara langsung maupun cerita dari
teman kerja, sehingga hal tersebut akan menambah pengetahuan
seseorang. Jadi semakin banyak kita bertemu orang lain terutama
dilingkungan kerja maka semakin banyak pula pengetahuan baru
yang kita peroleh. Sesuai dengan pendapat Iqbal Mubarak, Wahid
dan kawan kawan (2007) Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan
seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara
langsung maupun secara tidak langsung.
2.

Sikap Orang Tua Tentang Toilet Training

Berdasarkan gambar 2 dapat dijelaskan bahwa sikap orang tua


dalam toilet training sebanyak 44,4% mempunyai sikap baik, dan
22,2% orang tua mempunyai sikap kurang.
Sikap yang positif merupakan gambaran tentng keberhasilan.
Akan tetapi sikap dapat menimbulkan pola-pola cara berfikir tertentu
dalam masyarakat dan sebaliknya, pola-pola cara berfikir ini
mempengaruhi tindakan dan kelakuan masyarakat, baik dalam
kehidupan sehari-hari maupun dalam hal membuat keputusan yang
penting dalam hidup.
Dengan sikap secara minimal, orang tua memiliki pola berfikir
diharapkan dapat berubah dengan diperolehnya pengalaman,
pendidikan, dan pengetahuan melalui interaksi dengan
lingkungannya. Seperti halnya yang terjadi pada orang tua disini,
sikapnya dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi.
Dibuktikan dengan adanya suatu peningkatan nilai dari yang kurang
baik menjadi lebih baik.
Pembentukan sikap dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu
pengetahuan pengalaman pribadi, lembaga agama, dan vaktor emosi
dalam diri individu (Azwar, 2005).
3.

Keberhasilan Tentang Toilet Training

Keberhasilan penggunaan toilet diperoleh 50,0% anak berhasil


dan sebagian kecil anak tidak berhasil yaitu 22,2%. Urutan anak juga
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian eneuresis
pada anak, dimana anak terkadang akan ngompol dan tidak mau
belajar untuk ketoilet saat akan BAK jika menginginkan perhatian dari
orang tuanya, karena anak merasa orang tuanya lebih
memperhatikan adiknya. Dimana ini menjadi hal yang sedikit
menguntungkan dimana anak terakhir tidak perlu mengalami
kecemburuan/sibling rivalry sehingga dari data diatas diperoleh hasil
hampir setengah dari jumlah anak yang merupakan anak bungsu
berhasil dalam toilet training atau tidak ngompol. Diperkuat oleh
pendapat Nelson (1999) Tipe ngompol regresif dipercepat oleh
peristiwa-peristiwa lingkungan yang penuh tekanan, seperti pindah
kerumah baru, konflik perkawinan, kelahiran saudara kandung, atau
kematian dalam keluarga. Ngompol demikian adalah sebentarsebentar (intermitten).
Menurut Nursalam (2005) Reaksi sibling rivalry atau perasaan
cemburu dan benci yang biasanya dialami oleh seseorang anak
terhadap kehadiran/kelahiran saudara bisa diluapkan dengan cara
mengompol.
4.

Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Keberhasilan


Penggunaan Toilet pada anak usia 3 tahun

Dari hasil uji Rank Spearman variabel


pengetahuan menunjukkan tingkat kemaknaan ( p < )
yaitu 0,031 <0,005 maka H1 diterima H0 ditolak. Maka
di simpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan
dan keberhasilan toilet training di PAUD Pelita Harapan
Desa Kemelaten Sidoarjo.
Dari hasil uji Rank Spearman dan di perkuat
dengan data tabulasi silang menunjukkan bahwa
keberhasilan penggunaan toilet, berhasil didapatkan
proporsi pengetahuan baik 62,5%, kurang berhasil
proporsi pengetahuan ibu cukup 50,0% sedangkan
Penggunaan toilet tidak berhasil proporsi pengetahuan
kurang 50,00%.
Usia merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi seseorang untuk belajar dan menjadi
lebih tahu, sehingga informasi yang diperoleh dari mana
dan dari siapapun terutama mengenai anak bisa
dengan mudah diterima dan diterapkan pada anaknya.
Karena dengan bertambahnya usia maka orang
tersebut akan bisa lebih matang dalam berpikir dan
mempertimbangkan hal-hal yang lebih baik untuk
dirinya ataupun orang yang ada disekitarnya. Ini sesuai
dengan pendapat Iqbal Mubarak, Wahid dan kawankawan (2007) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
pengetahuan adalah pendidikan, pekerjaan, umur,
minat, pengalaman, kebudayaan dan informasi. Dengan
bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan
pada aspek fisik dan psikologis (mental). Pertumbuhan
pada fisik secara garis besar ada empat ketegori
perubahan pertama, perubahan ukuran, kedua,
perubahan proporsi, ketiga, hilangnya ciri-ciri lama,
keempat, timbulnya ciri-ciri baru. Ini terjadi akibat
pematangan fungsi organ. Pada aspek psikologis atau
mental taraf berpikir seseorang semakin matang dan
dewasa.
Didalam hasil penelitian anak yang berusia 3
tahun lebih berhasil dalam toilet training, hal ini
menandakan bahwa pengajaran kencing dan berak
harus sesuai dengan usia dan perkembangan anak
agar tingkat keberhasilannya lebih tinggi, meskipun
pada usia yang lebih dini toilet training bisa
diperkenalkan pada anak akan tetapi orang tua jangan
menuntut anak untuk langsung bisa, karena dari teori
diatas anak belum mencapai fase perkembangannya
untuk bisa merasakan keinginan dan bisa mengontrol
dalam BAB dan BAK kalau belum berusia 3-5 tahun.
Karena Menurut Freud dalam Hidayat, (2005) pada
umur 3-5 tahun anak berada dalam fase phalik dengan
perkembangan sebagai berikut: kepuasan pada anak
terletak pada rangsangan autoerotic yaitu meraba-raba,
merasakan kenikmatan dari beberapa daerah
erogennya..
5.

Hubungan Sikap Dengan Keberhasilan


Penggunaan Toilet pada anak usia 3 tahun

Dari hasil uji Rank Spearman variabel sikap


menunjukkan tingkat kemaknaan ( p < ) yaitu 0,001
<0,005 maka H1 diterima H0 ditolak. Maka di simpulkan
bahwa ada hubungan antara sikap dan keberhasilan
toilet training di PAUD Pelita Harapan Desa Kemelaten
Sidoarjo.

JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

Dari hasil uji Rank Spearman dan di perkuat dengan data


tabulasi silang menunjukkan bahwa yang sikapnya baik paling
dominan memiliki proporsi keberhasilan dalam penggunaan toilet
berhasil 81,2% sedangkan yang paling dominan pada pengetahuan
cukup yaitu kurang berhasil 50,0%, dan yang berpengetahuan kurang
yang paling dominan adalah tidak berhasil 50,0%.
Sikap yang positif merupakan gambaran tentang keberhasilan
di mana sikap yang baik menggambarkan kemauan seseorang
terhadap suatu hal tertentu. Begitu juga orang tua harus lebih saling
memberikan informasi antar orang tua lainnya supaya pengetahuan
warga lebih banyak, sehingga sikap positif orang tua akan terbentuk
terutama sikap tentang toiltet training. Menurut New Comb setelah
seorang ahli psikologi sosial yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003),
menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk
bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap
belum merupakan suatu tindakan aktivitas akan tetapi merupakan
reaksi tetap, bukan reaksi terbuka atau reaksi terbuka.
Mengajarkan anak secara dini tentang penggunaan toilet
memang bagus tetapi jika masih belum berhasil tidak ada salahnya
anak diajarkan lagi pada usia 1 tahun karena pada usia 1 tahun anak
mengalami fase anal dan pada fase inilah saat yang tepat untuk anak
diajarkan penggunaan toilet. Pengetahuan akan hal ini penting bagi
orang tua dan harus diketahui agar latihan toilet training bisa berhasil.
Pengetahuan orang tua mempengaruhi keberhasilan dalam
penggunaan toilet, terutama kapan saat yang tepat anak diajarkan
untuk ke toilet, karena anak mempunyai fase dalam tumbuh kembang
yang akan mempermudah anak dalam pembelajaran penggunaan
toilet. Sehingga akan lebih meningkatkan keberhasilan dalam
penggunaan toilet.
KESIMPULAN
1. Sebagian besar orang tua anak pra sekolah PAUD Pelita
Harapan yang berpengetahuan baik 66,7%, sikap yang baik
44,4%, keberhasilan anak pra sekolah Paud Pelita Harapan
dalam penggunaan toilet berhasil 50,0%.
2. Ada hubungan antara Pengetahuan dengan keberhasilan
penggunaan toilet pada anak umur 3 tahun dengan hasil uji Rank
Spearman menunjukkan tingkat kemaknaan ( p < ) yaitu 0,031
<0,005 maka H1 diterima H0 ditolak
3. Ada hubungan antara sikap orang tua dengan keberhasilan
penggunaan toilet pada anak umur 3 tahun, dengan nilai P=0.001
<0,005 maka H1 diterima H0 ditolak di PAUD Pelita Harapan.
SARAN
1. Untuk mengatasi kejadian eneuresis pada anak maka
penggunaan toilet perlu diajarkan kepada anak, oleh karena itu
pengetahuan orang tua tentang toilet training perlu ditingkatkan
agar berhasil dalam mengajarkan penggunaan toilet pada
anaknya
2. Sosialisasi informasi tentang toilet training juga perlu diberikan
pada guru di PAUD Pelita Harapan sehingga dapat memberikan
pembelajaran pada anak selama anak berada di PAUD.

KEPUSTAKAAN
1. Budiarti, Eko, (2001). Biostatistika Untuk
Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat,
Jakarta :EGC
2. Hansakunachai T. (2005). Epidemiologi of
enuresis
among
pre-schools
age
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/pubmed.htm.
Di askses tanggal 30 Desember 2009 jam:11.15
WIB.
3. Harjaningrum Tri, Agnes. 2005. Sudah Besar
Masih Ngompol, Bolehkah Dibiarkan?
http://wrm-indonesia.htm. di akses tanggal 01
Januari 2010 jam:17.00 WIB.
4. Hawari, Dadang.( 2007). Our Children Our
Future Dimensi Psikoloreligi Pada Tumbuh
Kembang Anak Dan Remaja. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
5. Hidayat, Aziz Alimul. (2005). Pengantar Ilmu
Keperawatan Anak 1. Jakarta:Salemba Medika.
6. Hidayat, Aziz Alimul. (2007). Riset Keperawatan
dan Teknik Penulisan Ilmiah Edisi 2.
Jakarta:Salemba Medika.
7. Iqbal Mubarak, Wahid, dkk., (2008). Promosi
Kesehatan:Sebuah Pengantar Proses Belajar
Mengajar Dalam Pendidikan, Yogyakarta:Graha
Ilmu
8. Notoatmodjo, Soekidjo, (2003). Ilmu Kesehatan
Masyarakat
(Prinsip-Prinsip
Dasar),
Jakarta:Rineka Cipta.
9. Notoatmodjo, Soekidjo, (2005). Metodologi
Penelitian Kesehatan, Jakarta:Rineka Cipta.
10. Notoatmodjo,
Soekidjo
(2007).
Promosi
Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta:Rineka
Cipta.
11. Nursalam, (2005). Asuhan Keperawatan Bayi
dan Anak (Untuk Perawat dan
Bidan),
Jakarta:Salemba Medika
12. Nursalam, (2008). Konsep dan Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan
Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen
Penelitian Keperawata, Jakarta:Salemba Medika.
13. Prince, Silvia (2001). Toilet Trainning to your
child. http.//www.Family doctor.Org/about.xml.
Diaskes tanggal 1 januari 2010 jam 17.30
14. Sherk, Stepnanie. (2006).Gale Enclopedia Of
Childrens Health
15. http://www.healthline.com/directory/disease-andconditions. Diakses tanggal 1 Januari 2010.
Jam:17.20

JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

GAMBARAN PENGETAHUAN REMAJA AWAL TENTANG PERUBAHAN


ORGAN REPRODUKSI BERDASARKAN SUMBER INFORMASI
DI SMP DARUL MUSTOFA TONJUNG BANGKALAN
DESCRIBING TEENS KNOWLEDGE ABOUT CHANGES OF REPRODUCTIVE
ORGANS ON THE BASIS FROMINFORMATION BASICAT THE SMP DARUL
MUSTOFATONJUNG BANGKALAN.

(1)

(1) Esarachmani Julita,(2)Aim Matun Nadhiroh, S. SiT.,MPH


Mahasiswa D.III Kebidanan STIKES Insan Se Agung Bangkalan
(2)Dosen STIKES Insan Se Agung Bangkalan

ABSTRAK
Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak kedewasaan bukan hanya dalam arti psikolog, tetapi juga fisik,
bahkan perubahan yang terjadi itulah yang menjadi gejala primer dalam pertumbuhan remaja, dan seharusnya remaja mengerti
tentang perubahan organ reproduksi. Dari survei awal yang dilakukan dari 10 responden 60% tidak mengerti tentang perubahan
organ reproduksi pada remaja sangat penting, jika tidak diberikan pengetahuan tersebut dikhawatirkan remaja menarik diri dari
pergaulan dan dari mana informasi tersebut didapat agar mendapatkan informasI yang benar. Adapun tujuan dari penelitian ini
didapatkannya gambaran pengetahuan remaja awal tentang perubahan organ reproduksi berdasarkan sumber informasi di SMP
Darul Mustofa Tonjung Bangkalan.
Desain penelitian secara deskriptif populasi 59 siswa dengan sampel seluruh siswa kelas 1 SMP Darul Mustofa Tonjung
Bangkalan (total populasi). Cara pengambilan sampel adalah total sampling. Metode pengumpulan data menggunakan alat ukur
kuisioner yang dijabarkan dalam bentuk distribusi, frekuensi dan tabulasi silang.
Hasil penelitian menunjukkan mayoritas pengetahuan kurang (74,58%), sedangkan banyak yang belum mendapat sumber
informasi (67,80). Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan yang kurang disebabkan kurangnya
informasi yang didapat dari pendidikan pengajaran dan pengalaman serta kurangnya peran serta orang tua tentang perubahan
organ reproduksi. Saran dalam penelitian ini perlu diberikan pendidikan tentang perubahan organ reproduksi baik dirumah atau di
sekolah, dan perlu diadakan penelitian lebih lanjut tentang sikap dan perilaku seksual remaja (dampak dari pengetahuan tentang
organ reproduksi remaja), dampak dari informasi yang di dapat dari media masa.
ABSTRACT
Kata Kunci : Pengetahuan, sumber informasi organ reproduksi
Teenagers are the transition from oldest children not only in the sense of psychologists, but also physical, even a change
which is the primary symptom of growth in adolescents, and teens should know about changes in reproductive organs. From the
initial survey of 10 respondents 60% do not understand about the changes in reproductive organs in adolescents is very important, if
not given this knowledge is feared teenagers withdraw from society and from which the information was obtained in order to obtain
the correct information. Purpose of these reasech was taken describing teens knowledge about changes of reproductive organs on
the basis from information basic at the SMP Darul Mustofa Tonjung Bangkalan.
Descriptive study of the population of 59 students with a sample of all grade 1 students design SMP Darul Mustafa Tonjung
Bangkalan (total population). How is the smpling total sampling.? Methods of collecting data through questionnaires instrument of
measurement described in a table of distribution, frekuaensi and narrative.
The results showed that most knowledge is smaller (74,58%), while many have not get font information (67.80%). On the
basis of the results of these studies concluded that the lack of consciousness due to lack of information obtained from the school of
education and experience so less participation from their parent about changes of reproductive organs. This study suggestions
should receive education about changes in reproductive organs either at home or at school, and there should be more research on
teen attitudes and sexual behaviour (the impact of the knowledge of the adolescent reproductive organs), the impact of the
information to the media.
Keywords: knowledge, information reproductive organs

JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

PENDAHULUAN
Dalam siklus kehidupannya, masa remaja merupakan masa
keemasan. Pada masa ini terjadi banyak perubahan dan masalah,
Apabila masalah tersebut tidak cepat ditangani maka akan menjadi
masalah yang berkepanjangan dan berdampak serius pada remaja.
Salah satu masalah remaja yang memerlukan perhatian adalah
masalah kesehatan, dimana kesehatan merupakan elemen penting
manusia untuk dapat hidup produktif. Remaja yang sehat adalah
remaja yang produktif sesuai dengan tingkat perkembangannya
(Depkes, 2010).
Pada masa remaja juga terjadi pertumbuhan fisik yang cepat
disertai dengan banyak perubahan, termasuk didalamnya adalah
pertumbuhan organ-organ reproduksi (organ seksual) sehingga
tercapai kematangan yang ditunjukkan dengan kemampuan
melaksanakan fungsi reproduksi. Perubahan yang terjadi pada
pertumbuhan tersebut diikuti munculnya tanda-tanda seks primer dan
tanda-tanda seks sekunder (Widya stuti, 2009). Ciri masa remaja
yang paling menonjol adalah tercapainya kematangan organ-organ
seks secara bio-fisiologis yang diikuti kemampuan untuk melakukan
hubungan seks sekaligus munculnya hasrat untuk melakukan
hubungan tersebut (Gunarsa, 2001). Berdasarkan data Survei
Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI, 2007) didapatkan
bahwa sebanyak 83,4% remaja setuju dengan hubungan seksual
sebelum menikah .
Pada suatu survey di sekolah menengah yang baru-baru
ini dilakukan di USA, Mc Carry mendapatkan bahwa kebanyakan dari
murid-murid tersebut melontarkan kritik terhadap orang tua karena
tidak pernah memberikan informasi seks (pendidikan seks) kepada
anak-anaknya. Dua pertiga dari mereka sama sekali tidak
mendapatkan informasi apa-apa, sedangkan sisanya hanya
mendapatkan informasi sekedarnya. Pengetahuan anak-anak muda
tentang seks biasanya didapat dari kawan-kawan seumur melalui
lelucon-lelucon yang kotor dan cabul, sehingga sering timbul
tanggapan yang salah atau emosi yang negatif (Sulistyo, 2001).
Berdasarkan gambaran tersebut di atas maka peneliti tertarik
untuk mengetahui Bagaimana gambaran pengetahuan remaja awal
tentang perubahan organ reproduksi berdasarkan sumber informasi di
SMP Darul Mustofa Tonjung Bangkalan.
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dikemukakan tentang: pertama; konsep
dasar pengetahuan yang meliputi; Definisi pengetahuan,
pengetahuan tentang seks, pembentukan pengetahuan, tingkat
pengetahuan, macam-macam pengetahuan. Yang kedua konsep
dasar informasi seks yang meliputi pengertian sumber informasi seks,
sumber-sumber informasi seks, macam-macam informasi seks, dan
rencana informasi seks menurut umur. Ketiga Konsep remaja awal
dan perubahan organ reproduksi, penyebab terjadinya perubahan,
kreteria seksual,ciri-ciri seks primer dan seks sekunder, Keempat
dampak kematangan organ reproduksi.
Konsep Dasar Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil teliti dalam hal ini
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek
tertentu , penginderaan terjadi melalui indra penglihatan,
pendengaran dan penciuman (Notoatmodjo, 2005).
Pengetahuan adalah suatu kata yang digunakan untuk
menunjuk kepada apa yang diketahui oleh seseorang tentang suatu

hal (Purwodarminto, 2005). pengetahuan datang dari


pendidikan dan pengalaman dan itu dapat dibuktikan
kebenarannya (Soemirat, 2000)
Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari
pengalaman yang berasal dari berbagai sumber,
misalnya: petugas kesehatan, buku petunjuk, media,
poster dan lain-lain, kerabat keluarga dan sebagainya
(Istiarti, 2000).
Disini pengetahuan sangat berpengaruh sekali
pada seseorang terutama pada remaja sehingga
remaja tidak mudah dipengaruhi untuk melakukan halhal yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain
, dan remaja ini akan menjadi generasi bangsa yang
berkwalitas.
Pengetahuan
datang
dari
pendidikan,
pengajaran,dan pengalaman dan itu dapat dibuktikan
kebenarannya (Soemirat, 2000). Pengetahuan ibu
sebagian besar dipengaruhi karakteristik ibu yang
meliputi umur, pendidikan, intelegensi dan social
ekonomi (Latipum, 2001).
Pengetahuan Yang Dicakup Dalam Domain Kognitif
Kognitif adalah perolehan, penataan dan
penggunaann pengetahuan (Purwodarminto, 2005).
Maka kognitif merupakan domain yang sangat penting
untuk bentuknya tindakan seseorang, karena dari
pengalaman dan penelitian ternyata, perilaku yang
didasari pengetahuan akan lebih langgeng dari pada
perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Pengetahuan
yang dicakup dalam domain kognitif tersebut
mempunyai enam tingkatan yaitu :
1. Tahu (Know)
2. Memahami (Comprehension)
3. Aplikasi (Aplication)
4. Analisis (Analysis)
5. Sintesis (Syntesis)
Macam-macam pengetahuan menurut polanya :
1. Tahu, Bahwa
Pengetahuan bahwa adanya pengetahuan tentang
informasi tertentu, jenis pengetahuan ini disebut jenis
pengetahuan teoritis, pengetahuan ilmiah.
2. Tahu, Bagaimana
Pengetahuan ini menyangkut jenis bagaimana
melakukan sesuatu dikenal dengan know-know
berkaitan dengan keterampilan dalam melakukan
sesuatu, ini tidak berarti hanya bersifat praktis tapi tetap
mempunyai landasan teoritis tertentu.
3. Tahu, Akan/ Mengenai
Adalah suatu yang sangat spesifik menyangkut
pengetahuan akan sesuatu atau seseorang melalui
pengalaman atau pengenalan pribadi . Ciri pengetahuan
model ini adalah mempunyai tingkat obyektifitas tinggi.

JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

4. Tahu, Mengapa
Pengetahuan ini berkaitan dengan pengetahuan bahwa
hanya saja tahu, mengapa jauh lebih mendalam dan serius karena
berkaitan dengan penjelasan.
Konsep Dasar Sumber Informasi Seks
Informasi seks adalah media atau sesuatu yang dapat
memberikan informasi sehingga seseorang dari tidak tahu menjadi
tahu atau lebih mengetahui (Notoatmodjo, 2005).
Sumber- sumber informasi
1. Orang tua
Informasi seks yang paling efektif ialah didapatkan dari orang
tua atau penggantinya, dalam rumah tangga yang berbahagia
(Sulistyo, 2001).
2. Media massa dan elektronik
Media massa dan elektronik merupakan akses utama bagi
remaja dalam medapat banyak informasi (Alatas, 2004).
3. Teman
Pengetahuan anak-anak muda tentang seks biasanya
didapatkan dari kawan-kawan seumur melalui lelucon-lelucon
yang kotor dan cabul, sehingga sering timbul tanggapan yang
salah atau emosi yang negative (Sulistyo, 2001).
4. Guru
Peranan guru, ahli atau petugas-petugas yang benar-benar
terlatih dan terampil serta dibekali dasar-dasar pengetahuan
dari berbagai jenis disiplin ilmu pengetahuan dapat saja
melaksanakan pendidikan seks sejauh hal ini dibutuhkan karena
orang tua kurang atau tidak bisa memberikan informasi seks
(Gunarsa, 2001)
Tahapan pemberian informasi seks menurut golongan umur:
Umur 10-12 tahun
Dimulai dengan memberikan fakta-fakta tentang reproduksi
pada umurnya yaitu, fertilisasi, perkawinan serta persalinan pada
binatang-binatang. Kemudian tentang konsepsi pada manusia,
bersayunya sel telur dari ibu dengan sel mani dari ayah.
Umur 13-15 tahun
Diberikan embriologi alat kelamin dalam, Anatomi, dan
terjadinya tanda-tanda kelamin sekunder, menstruasi, uraian yang
mendetail dari konsepsi, pertumbuhan fetus dan persalinan. Harus
diberikan nasehatpada anak-anak supaya jangan mau ikut dengan
orang yang tidak dikenal karena kemungkinan penculikan.
Umur 16-19 tahun
Diberikan diskusi tentang seksual Intercouse, premarital
lntercouse, promisluity illigitimasi dan video. Diterangkan aspek
sosial dari hubumgan seks yaitu tanggung jawab terhadap patnernya,
terhadap anak yang mungkin dilahirkan, diskusi mengenai rumah
tangga, pembatasan jumlah anak. Harus ditekankan pada mereka
bahwa seksual lntercouse berarti juga kesediaan untuk menerima
tanggung jawab dari tindakan itu (Sulistyo, 2001).
KONSEP REMAJA
Remaja atau adolescence (Inggris), berasal dari bahasa latin
adolescere yang berarti tumbuh kearah kematangan. Kematangan
yang dimaksud adalah bukan hanya kematangan fisik saja, tetapi
juga kematangan sosial dan psikologis (Widyastuti, 2009).

Perkembangan Remaja Dan Ciri-Cirinya


1. Masa remaja awal (10-12 tahun)
a. Tampak dan mmang merasa lebih dekat
dengan teman sebaya.
b. Tampak dan merasa ingin bebas
c. Tampak dan memang lebih banyak
memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai
berfikir yang khayal (abstrak)
2. Masa Remaja Tengah (13-15 tahun)
a. Tampak dan merasa ingin mencari identitas diri.
b. Ada keinginan untuk berkencan atau
ketertarikan pada lawan jenis.
c. Timbul perasaan cinta yan mendalam.
d. Kemampuan berfikir abstrak (berkhayal) makin
berkembang.
e. Berkhayal mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan seksual.
3. Masa Remaja Akhir (16-19 tahun)
a. Menampakkan pengungkapan kebebasan diri.
b. Dalam mencari teman sebaya lebih selektif.
c. Memiliki citra ( gambaran,keadaan,peranan)
terhadap dirinya.
d. Dapat mewujudkan perasaan cinta.
e. Memiliki kemampuan berpikir khayal atau
abstrak.
Peningkatan jumlah hormon yang dikeluarkan
oleh gonad menyebabkan matangnya fungsi dan
struktur dari organ-organ seks (Widyastuti, 2009).
Kriteria perubahan seksual
1. Pada anak perempuan
Haid adalah digunakan sebagai kriteria
kematangan primer pada perempuan, bila haid
terjadi organ-organ dan ciri seks sekunder sudah
berkembang, tetapi belum ada yang matang. Pada
tahun tahun pertama biasanya haid terjadi tidak
teratur yang dikenal dengan tahap steril dalam
tahap ini terjadi ovulasi atau kematangan dan
pelepasan sel telur yang matang dari folikel dalam
indung telur, pada remaja rata-rata mencapai
kematangan seksual pada umur 13 tahun
(Widyastuti, 2009).
2. Pada anak laki-laki
Kalau fungsi organ reproduksi pria sudah matang,
maka biasanya mulai terjadi mimpi basah malam,
biasanya kalau anak laki-laki mimpi tentang
seksual yang menggairahkan Remaja laki-laki
mencapai kematangan seksual (Widyastuti,
2009).
Ciri-ciri seks primer dan sekunder
Yang termasuk ciri-ciri seks primer dan
sekunder menurut (widyastuti, 2009).
1.
Ciri-ciri seks primer
a. Wanita : terjadi haid berat uterus usia 11 s/d
12 tahun berkisar 5,3 gram, pada usia 16
tahun rata-rata beratnya 43 gram, tuba
fallopii, telur-telur dan vagina juga tumbuh
pesat.
b. Pria : Kematangan gonad atau testis yang
terletak dalam scrotum pada usia 14 tahun
baru sekitar 10% dari ukuran matang,

JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

2.

Kemudian terjadi pertumbuhan pesat selama 1atau2


tahun, dan berkembang penuh pada usia 20 tahun atau 21
tahun segera setelah itu, maka pertumbuhan penis
meningkat pesat, yang mula-mula meningkat adalah
panjangnya, kemudian dengan besarnya.
Ciri-ciri seks sekunder
a. Wanita :
1) Panggul menjadi lebar dan bulat akibat
membesarnya tulang pinggul dan berkembangnya
lemak bawah kulit.
2) Rambut kemaluan tumbuh setelah pinggul atau
payudara ayudara berkembang, putting susu
membesar dan menonjol.
3) Berkembang, bulu ketiak atau bulu wajah nampak
setelah haid.
4) Kulit menjadi lebih kasar, lebih tebal, agak pucat dan
pori-pori membesar, lemak dapat menyebabkan
jerawat, kelenjar keringat diketiak mengeluarkan
banyak keringat dan baunya menusuk sebelum dan
selama haid.
5) Suara menjadi lebih jernih atau semakin merdu.
b. Laki-laki :
1) Rambut kemaluan tumbuh sekitat setahun setelah
testis dan penis membesar,rambut ketiak dan
diwajah tumbuh kalau pertumbuhan rambut
kemaluan sudah selesai. Pada mulanya rambut yang
tumbuh sedikit, halus dan warnanya agak terang,
kemudian habis gelap, kasar, subur dan agak
keriting.
2) Kulit menjadi kasar, tidak jernih warna pucat dan
pori-pori meluas, otot bertambah besar dan kuat,
sehingga memberi bentuk lengan, tungkai, kaki dan
bahu.
3) Kelenjar lemak dan keringat menjadi aktif sehingga
sering menimbulkan jerawat.
4) Suara berubah setelah rambut kemaluan tumbuh,
mula-mula serak kemudian menurun, volume
meningkat dan mencapai pada yang lebih baik.
5) Benjolan dada (benjolan kecil disekitar kelenjar susu)
timbul sekitar umur 12-14 tahun, setelah beberapa
minggu besar dan jumlahnya menurun.

8)
9)
10)
11)

Keterbatasan penelitian
Kerangka kerja
Jadwal penelitian
Lokasi penelitian.

Populasi, Sampel Penelitian Dan Cara Pengambilan


Sampel
Populasi adalah keseluruhan dari suatu
variable yang menyangkut masalah yang diteliti
(Nursalam, dan Pariani, S. (2001). Populasi yang
dipakai dalam penelitian ini adalah siswa kelas 1 SMP
Darul Mustofa Tonjung Bangkalan yang berumur 11-13
tahun dengan jumlah 59 siswa dan yang bersedia diteliti
pada tahun 2010. Tehnik pengambilan sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah total sampling
(sampling penuh).
Definisi operasional variabel
Tabel 4.1 Definisi operasional variable
Jenis
variabel

Definisi
operasional

Pengetahuan
tentang
perubahan
organ
reproduksi

Segala
g
yang
diketahui atau
er
pemahaman
remaja
tentang
perubahan
organ
reproduksi

Dampak kematangan organ reproduksi.


Apabila ada sperma yang memasuki kawasan reproduksi
wanita pada saat subur maka terjadinya pembuahan dan kehamilan
(Ned, 2001) sedangkan menurut (Depkes, 2010), perilaku seksual
yang menyimpang akan berakibat tertular penyakit seksual berbahaya
dan kehamilan yang tidak diinginkan
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan cara untuk memecahkan
masalah berdasarkan ilmu pengetahuan (Nursalam dan
Pariani,2003). Pada bab ini akan disajikan metode penelitian yang
digunakan untuk menjawab tujuan penelitian berdasarkan masalah
yang ditetapkan antara lain:
1) Rancangan penelitian
2) Populasi, sampel penelitian dan cara pengambilan
3) Definisi operasional varabel
4) Sumber data dan instrument penelitian
5) Pengolahan data.
6) Analisa data
7) Etika penelitian
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN

Parameter

Alat
ukur

Remaja
1.
mampu
kuession
mengeta hui
tentang
2.
perubahan
organ
reproduksi
3.
baik sekunder
maupun
primer:
a
Ciri-ciri
perubah
an seks
sekund
er pada
wanita
dan pria
b
Ciri-ciri
perubah
an seks
primer
pada
wanita
dan
pria.

Kriteria
Baik
:
Jika nilai
70
Cukup :
Jika nilai
61-69
Kurang :
Jika nilai
60

Skala
ukur
Ordinal

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

Lanjutan Tabel 4.1


Jenis
variabel

Definisi
operasional

Sumber
informasi

Segala hal
yang
memberikan
informasi
tentang
perubahan
organ
reproduksi

Parameter

Alat ukur

Kriteria

Meliputi:
- Orang
tua
- Guru
- Teman
- Media
massa

Kuessioner

1. Ya :
mendapat
informasi

2.

Skala
ukur
Nominal

2. Tidak : belum
mendapat
informasi

Pengolahan Data
1. Editing
Langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi kesalahankesalahan dari data yang telah dikumpulkan. Juga memonitor jangan
sampai terjadi kekosongan dari data yang dibutuhkan.
2. Coding
Untuk memudahkan dalam pengolahan data maka setiap
jawaban dari kuessioner yang telah disebarkan diberi kode dengan
karakter masing-masing. Adapun variable yang diberi kode sebagai
berikut:
1. Variabel pengetahuan:
a. Kriteria pengetahuan tinggi diberi kode 3
b. Kriteria pengetahuan sedang diberi kode 2
c. Kriteria pengetahuan rendah diberi kode 1
2. Variabel sumber informasi
a. Kriteria ya diberi kode 2
b. Kriteria tidak diberi kode 1
Skoring
skoring untuk variable pengetahuan dan motivasi
menggunakan prosentase dimana untuk setiap butir pertanyaan
hanya ada satu jawaban
Pemberian yang benar dengan skoring : bila jawaban benar dengan
skor = 1 dan jika salah = 0. Kemudian dimasukkan kedalam rumus
Arikunto (2002) sebagai berikut :
3.

P=

x 100

Keterangan :
P = porsentase
F = frekwensi jawaban benar
n = banyak pertanyaan
Setelah dimasukkan rumus, dilakukan pengkatagorian sebagai berikut
:
1. Variabel pengetahuan:
a. Baik, jika nilai 70
b. Cukup, jika nilai 61-69
c. Kurang, jika nilai 60
2. . Variabel sumber informasi:
a. ya, jika mendapatkan informasi
b. Tidak, jika tidak mendapatkan informasi

Analisa data
Setelah Kuessioner terkumpul,
lalu tiap
pertanyaan diberi nilai dan dianalisa dengan
menggunakan table silang (Cross tab) untuk
mengetahui keterkaitan sumber informasi dengan
pengetahuan. Sedangkan untuk mengetahui gambar
masing-masing variabel digunakan tabel distribusi.
Baik
: Jjika nilai 70
Cukup
: Jika nilai 61- 69
Kurang
: Jika nilai 60
Sumber informasi diambil jumlah rata- rata yang
terbesar.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMP Darul Mustofa
Tonjung Bangkalan wilayah kerja Puskesmas Burneh
Kabupaten Bangkalan pada bulan Juni 2010. Karena
didapatkannya dari 10 siswa kelas 1 SMP tersebut
sebanyak 6 orang siswa (60%) tidak mengerti tentang
perubahan alat reproduksinya dan 4 orang siswa (40%)
mengerti tentang perubahan alat reproduksinya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan disampaikan hasil
pengumpulan data yang dilaksanakan pada tanggal 20
Juli 2010 di SMP Darul Mustofa Tonjung Bangkalan,
dengan jumlah populasi yakni keseluruhan siswa kelas I
sebanyak 59 orang, dengan menggunakan data primer,
dimana responden yang mengisi kuesioner yang telah
disediakan.
Data hasil penelitian tentang gambaran
pengetahuan remaja awal tentang perubahan organ
reproduksi berdasarkan sumber informasi di SMP Darul
Mustofa Tonjung Bangkalan disajikan dalam bentuk
tabel frekuensi kemudian diuraikan pembahasannya.
Data tanggal 20 juli 2010 diambil dari 59
responden kemudian diolah dan hasil penelitian ini akan
disajikan deskripsi dan hasil penelitian
dari
pengumpulan data dalam bentuk distribusi frekuensi
berdasarkan variabel
yang diteliti, meliputi
pengetahuan dan sumber informasi. Adapun cara
penyajiannya dalam bentuk tabel distribusi, persentase
dan narasi.
Data frekuensi umur siswa
Tabel 1 Distribusi frekuensi umur siswa kelas I SMP
Darul Mustofa Tonjung Bangkalan
Bulan Juli Tahun 2010
Umur
Frekuensi
Persentase
12 Tahun
25
42,4%
13 Tahun
23
39%
14 Tahun
11
18,6%
Total
59
100%
Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian
besar murid berusia 12 tahun sebanyak 25 siswa
(42,4%)

Tabulating
Proses penyusunan data ke dalam bentuk tabel. Pada tahap
ini dapat dianggap selesai diproses, sehingga harus segera disusun
ke dalam format yang dirancang.
4.

JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

Data frekuensi jenis kelamin siswa.


Tabel 2 Distribusi frekuensi jenis kelamin siswa kelas I SMP
Darul Mustofa Tonjung Bangkalan Bulan Juli
Tahun 2010
Jenis kelamin
Frekuensi
persentase
Laki-laki
27
45,8%
Perempuan
32
54,2%
Total
59
100%
Dari tabel 2 menunjukkan bahwa mayoritas siswa kelas I
adalah perempuan sebanyak 32 siswa (54,2%).
Data khusus
Distribusi pengetahuan
Tabel 5.3 Distribusi pengetahuan organ reproduksi remaja awal
di SMP Darul Mustofa Tonjung Bangkalan Bulan Juli
Tahun 2010
Tingkat
Jumlah
Persentase
Pengetahuan
Baik
6
10,17%
Cukup
Kurang
Total

9
44
59

15,25%
74,58%
100%

Dari tabel 3 menunjukkan bahwa mayoritas pengetahuan


remaja adalah kurang sebanyak 44 siswa (74,58%).
Distribusi sumber informasi
Tabel
4 Distribusi sumber informasi perubahan organ
reproduksi remaja awal di SMP Darul Mustofa Tonjung
Bangkalan Bulan Juli Tahun 2010
Sumber
Jumlah
Persentase
Informasi
Pernah
19
32,20%
Tidak pernah
Jumlah

40
59

67,80%
100%

Dari tabel 4 menunjukkan bahwa mayoritas tidak pernah


mendapat informasi sebanyak 40 siswa (67,80%)
Tabulasi silang pengetahuan perubahan organ reproduksi
berdasarkan sumber informasi
Tabel 5 Tabulasi silang pengetahuan remaja awal berdasarkan
sumber informasi di SMP Darul Mustofa Tonjung
Bangkalan Bulan Juli Tahun 2010
Pengetahuan
Sumber
Jumla
Informa
Baik
Cukup
Kurang
h
si
6
4
9
19
Pernah
(31,58
(21,05
(47,37
(100%
%)
%)
%)
)
40
Tidak
5
35
_
(100%
pernah
(12,5%) (87,5%)
)
6
9
44
59
Total
(10,17
(15,25
(74,58
(100%
%)
%)
%)
)

tidak pernah mendapat sumber informasi dibandingkan


dari yang pernah mendapat informasi sebanyak 9
(47,37%).
PEMBAHASAN
Pengetahuan
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa
sebagian besar siswa pengetahuannya tentang
perubahan organ reproduksi kurang (74,58%). Hal ini
disebabkan oleh faktor lingkungan (orang tua) yang
menganggap bahwa pendidikan tentang perubahan
organ reproduksi adalah sesuatu yang tabu atau porno
yang dianggap sebagai suatu yang menstimulasi anak
atau remaja untuk melakukan tindakan yang kurang
baik . Selain itu juga pengetahuan orang tua yang
kurang. Dilihat dari faktor pendidikan disekolah bisa
juga karena keterbatasan waktu dan kesempatan yang
ada padahal dalam menanamkan suatu pengertian
diperlukan pengulangan (Gunarsa, 2001). Sebagaimana
teori yang dikemukakan oleh (Soemirat, 2000)
pengetahuan datang dari pendidikan, pengajaran dan
pengalaman. Sedangkan pengetahuan siswa tentang
perubahan organ reproduksi yang baik (10,17%) dan
yang cukup (15,25%). Hal ini menunjukkan bahwa ilmu
pengetahuan tentang perubahan organ reproduksi
belum semua siswa mengetahuinya karena minimnya
ilmu yang diperoleh baik dari orang tua,guru,teman dan
media massa mengingat di SMP Darul Mustofa Tonjung
Bangkalan merupakan sarana pendidikan yang
sekaligus merupakan pondok pesantren yang masih
memegang teguh terhadap norma dan agama.
Sumber Informasi
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa
sebagian besar siswa tidak pernah mendapat sumber
informasi tentang perubahan organ reproduksi
(67,80%). Hal ini mungkin disebabkan karena orang tua
malas memberikan informasi kepada anak dan remaja
karena pengetahuannya yang masih kurang dan
menganggap hal ini sesuatu yang tabu dan porno. Data
yang dari 59 siswa (0%) dapat dari orang tua
sedangkan pendidikan disekolah dimana keterbatasan
waktu tidak dapat diberikan. Sehingga teman adalah
sarana utama untuk mendapatkan sumber informasi
tentang perubahan organ reproduksi dalam hal ini dari
59 siswa (13,56%) selain guru, dari 59 siswa
(16,94%)dan media massa atau elektronik dari 59 siswa
(1,65%) yang dapat dijangkau oleh semua golongan
dan kecenderungan remaja mencari dan menggunakan
alat yang canggih dan dianggap modern. Menurut
Alatas (2004) media massa dan elektronik merupakan
akses bagi remaja dalam mendapatkan informasi.
Tetapi hal ini harus diimbangi dengan pendidikan moral,
agama dan pengawasan dari orang tua. Sebagaimana
teori yang dikemukakan oleh Gunarsa (2004),
lingkungan sosial dengan ciri khususnya memegang
peranan besar atau penting terhadap munculnya corak
dan gambaran kepribadian anak dan remaja.

Dari tabel 5 menunjukkan bahwa dari 59 siswa pada


penelitian ini mayoritas pengetahuan kurang 35 (87,5%) di karenakan
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN

Vol. 3 NO. 1, Juni 2011

Pengetahuan berdasarkan sumber informasi pada remaja awal


tentang perubahan organ reproduksi di SMP Darul Mustofa
Tonjung Bangkalan.
Pada tabel 5 menunjukkan banyak pengetahuan yang kurang
35 siswa (87,5%) tidak pernah mendapat sumber informasi dan juga
masih kurang sumber informasi dari orang tua, guru, teman sehingga
pengetahuannya kurang.
Berdasarkan hasil penelitian pengetahuan yang sumber
informasi didapatkan dari orang tua, guru banyak yang kurang
mungkin disebabkan kurangnya pengetahuan orang tua dan adanya
anggapan bahwa pendidikan organ reproduksi adalah sesuatu yang
tabu, porno yang akan menstimulasi perilaku yang kurang baik
sehingga enggan untuk disampaikan. Sedangkan dari pendidikan
disekolah dikarenakan keterbatasan waktu untuk diberikan. Dalam hal
ini perlu mengimbangi orang tua mungkin melalui bacaan, kursuskursus atau konsultasi dengan ahlinya. Menurut Gunarsa (2001)
pendidikan seks yang terbaik diberikan oleh orang tuanya sendiri.
Faktor pendidikan disekolah juga mendukung, peranan guru sangat
diperlukan dalam memberikan informasi yang dibutuhkan dimana
untuk mengimbangi kurangnya
atau orang tua yang tidak
memberikan informasi kepada anaknya. Dalam penyampaian perlu
keterbukaan dan pengulangan agar informasi dapat diterima.
Informasi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan, misalnya bagianbagian alat-alat kelamin, perubahan-perubahan, dampak dari
perubahan organ tersebut baik secara fisik, psikologis dan perilaku.
Sehingga pada saat terjadi perubahan tersebut tidak timbul
kekhawatiran pada anak. Sebagaimana teori yang dikemukakan oleh
Soemirat (2001) pengetahuan datang dari pendidikan, pengajaran
dan pengalaman.
Informasi dari teman menunjukkan banyak pengetahuan yang
kurang ini mungkin disebabkan karena pada masa remaja ini
cenderung untuk berkumpul dengan teman sebaya yang
pengaruhnya cepat. Tetapi kemungkinan informasi yang didapat
keliru karena ketidak tahuannya dan kadang-kadang disampaikan
melalui lelucon yang kotor dan cabul sehingga menimbulkan persepsi
yang salah (Sulistyo, 2001).
Informasi dari media massa menunjukkan pengetahuan kurang
ini mungkin disebabkan kecenderungan remaja untuk
mempergunakan Sesuatu yang menarik, canggih dan serba modern,
media massa dalam menyampaikan informasi yang dikemas secara
menarik. Sehingga mudah diterima oleh remaja dan ini mudah
mempengaruhi pengetahuan dan perilaku remaja. Karena itu
diperlukan pendidikan moral, agama disertai dengan informasi yang
benar.
Menurut Alatas (2004) media massa dan elektronik merupakan
akses utama bagi remaja dalam mendapatkan informasi
KESIMPULAN DAN SARAN

Saran
Dari hasil penelitian diatas dapat disarankan antara lain
Bagi sekolah
1. Pendidikan yang diberikan disekolah sebaiknya
diberikan waktu yang cukup sehingga dapat
dievaluasi baik dari segi kwalitas dan kwantitas.
2. Pihak sekolah dapat menyarankan kepada
keluarga untuk menberikan pendidikan perubahan
organ reproduksi sedini mungkin serta pendidikan
moral dan agama.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Alatas A. (2004). Remaja Gaul Nggak Mesti


Ngawur. Bandung: Mizan
Arikunto,S. (2007). Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek Edisi Revisi IV Carpanite.
Rineka Cipta. Jakarta
Depkes (2010). Kesehatan Remaja Problem dan
Solusinya, Jakarta: Salemba Medika.
Gunarsa,SD (2001). Psikologi Praktis Anak,
Remaja dan Keluarga. Jakarta Gunung Mulia.
Latipum. (2001). Psikologi Konseling, Malang:
UMM Press.
Notoatmodjo.S. (2005). Metodologi Penelitian
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam dan Pariani, S. (2001). Pendekatan
Praktis Metodologi Riset Keperawatan . Jakarta :
CV Agung Solo
Nursalan dan Pariani, S. (2003). Konsep dan
Penerapan
Metodologi
Penelitian
Ilmu
Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis dan
Instrumen Penelitian keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika
Nursalam dan Pariani, S. (2007). Pendekatan
Praktis Metode Riset Keperawatan. Jakarta: CV
Infomedika.
Purwodarminto,S. (2005). Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Rono, S. (2001). Pendidikan sex. Bandung:
Universitas Padjadjaran Bandung.
Soemirat, J. (2000). Epidemiologi LIngkungan .
Yogyakarta: Gajah mada University Press.
Sulistyo. (2001). Pendidikan sex. Bandung:
Universitas Padjadjaran Bandung.
SKRRI. (2007). Survei Kesehatan Reproduksi
Remaja, Jakarta.
Widyastuti. (2009). Kesehatan Reproduksi,
Yogyakarta: Fitramaya.

Kesimpulan
Gambaran pengetahuan remaja awal tentang organ reproduksi di
SMP Darul Mustofa Tonjung Bangkalan sebagian besar
pengetahuannya kurang (74,58%).
Gambaran sumber informasi perubahan organ reproduksi pada
remaja awal di SMP Darul Mustofa Tonjung Bangkalan sebagian
besar tidak mendapatkan sumber informasi (67,80%).
Gambaran pengetahuan berdasarkan sumber informasi pada remaja
awal di SMP Darul Mustofa Tonjung Bangkalan sebagian besar
pengetahuannya kurang dikarenakan tidak pernah mendapat sumber
informasi (87,5%).

JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN

Anda mungkin juga menyukai