Anda di halaman 1dari 4

Nama : Sukma Setya Nurjati

NIM : G1A009040

Pertanyaan:
1. Memberi vaksin harusnya diberikan 2 tetes. Jika pada saat pemberian, pipet pecah
kemudian vaksin masuk ½ botol. Apa yang harus dilakukan?
2. Apa kepanjangan dari VAPP & VDPP?
3. Seorang anak berumur 4 bulan. Ibu dari sang anak meminta agar sang anak
mendapatkan vaksinasi DPT yang ke 2. Pada waktu pemberian DPT yang pertama
setelah divaksinasi, sang anak panas & kejang. Apa yang harus dilakukan atau
diberikan, melakukan atau tidak atau diberikan suntikan apa?
4. Apa yang dimaksud rubella?
5. Mengapa suntikan vaksinasi tidak boleh dilakukan gluteus?
6. Bagaimana penanganan shock anaplatik?
7. Apa bedanya jadwal hepatitis B PPI 012 dan hepatitis B IDAI 016?

1. Kelebihan Dosis Polio


Vaksin polio yang diberikan pada anak-anak akan meningkatkan kekebalan dan
perlindungannya terhadap polio. Vaksin polio oral itu aman dan tidak ada overdosis.
Anak-anak yang memiliki status imunisasi lengkap akan menerima dosis extra selama PIN
atau Sub-Pin sehingga akan mempunyai perlindungan extra/tambahan terhadap polio.
Pemberian dosis berkali-kali vaksin polio kepada anak aman. Sebab vaksin akan bekerja
efektif melalui pemberian dosis berkali-kali. Ini akan lebih memastikan perlindungan
penuh. Di Negara tropis, dimana suhu udara panas, perlu sampai 10 dosis polio agar anak
benar-benar terlindung dari polio. Tidak ada resiko efek samping dari tetes vaksin polio.
Setiap dosis tambahan akan memperkuat tingkat kekebalan anak terhadap virus polio.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada kata overdosis untuk pemberian
vaksin polio.

2. VAPP-VDPP?
Vaccine-associated paralytic poliomyelitis atau lebih dikenal dengan sebutan VAPP
adalah suatu kejadian yang sangat jarang ditemukan dimana terjadi gangguan atau
kerusakan pada persarafan yang dikarenakan oleh termakannya (masuknya) virus yang
berasal dari vaksin oral polio. Menyebabkan kelumpuhan dan bersifat permanen. VAPP
sering terjadi pada orang yang berumur lebih dari 18 tahun dan anak-anak yang masuk
kategori immunodeficient.
Vaccine derived paralytic polio atau lebih dikenal dengan sebutan VDPP adalah suatu
keadaan dimana terjadinya mutasi pada virus vaksin menjadi patogen yang secara genetik
berbeda dari poliovirus dan lebih virulen daripada poliovirus yang asli.

3. Kasus DPT
Jika kejadian ikutan pasca-imunisasi hanya ringan, vaksinasi berikutnya sesuai dengan
jadwal yang ada, tetapi jika kejadian ikutan pasca-imunisasi berat, sebaiknya dosis
berikutnya tidak dilanjutkan. Jika kejadian ikutan pasca imunisasi DPT cukup berat, dosis
berikutnya menggunakan vaksin DT.

4. Rubella
Rubella atau juga disebut Campak Jerman adalah infeksi virus yang sangat menular yang
biasa diderita anak-anak, tetapi juga menjangkiti remaja dan orang dewasa. Umumnya
gejalanya yang muncul berupa sedikit demam, pembengkakan kelenjar, nyeri pada
persendian, dan kulit kemerahan pada wajah dan leher yang berlangsung selama dua atau
tiga hari.
Rubella disebarkan melalui cara yang serupa dengan pilek biasa dan dapat terjangkit
melalui batuk dan bersin dari penderita. Gejalanya perlu waktu sekitar 2 minggu untuk
berkembang dan orang mungkin tidak menyadari bahwa mereka sudah terkena penyakit
ini.

5. Vaksin tidak boleh di gluteal?


Pemilihan tempat penyuntikan vaksin berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain tebal
otot atau lemak, untuk mendapatkan kekebalan optimal, cedera yang minimal pada
jaringan, pembuluh darah, saraf di sekitarnya, memperkecil kemungkinan rasa tidak
nyaman pada bayi dan anak akibat gerakan, sentuhan, terutama apabila bayi sudah dapat
berjalan, dan bayi dan anak akibat gerakan, sentuhan, terutama apabila bayi sudah dapat
berjalan, dan pertimbangan estetis. Perbedaan tempat penyuntikan tidak menimbulkan
perbedaan kekebalan, asalkan kedalaman penusukan jarum atau jaringan yang disuntik
vaksin (infrakutan, subkutan, intramuskular) sesuai dengan ketentuan untuk setiap jenis
vaksin. Khusus untuk BCG sudah ada kesepakatan diberikan pada lengan kanan atas
(deltoid).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik suatu benang merah dimana dengan
mempertimbangkan tebal otot atau lemak, untuk mendapatkan kekebalan optimal, cedera
yang minimal pada jaringan, pembuluh darah dan saraf di sekitarnya, memperkecil
kemungkinan rasa tidak nyaman pada bayi dan anak akibat gerakan, dan lain-lain, menjadi
sebuah alasan yang cukup kuat mengapa vaksin tidak boleh dilakukan di gluteal.
Sumber lain menyebutkan juga bahwa suntikan sebaiknya diberikan ke dalam otot deltoid
pada orang dewasa dan ke dalam otot pada bayi dan anak. Suntikan di pantat (gluteus)
tidak dianjurkan karena terbukti mengakibatkan respons antibodi yang rendah. Berbagai
percobaan memberikan suntikan secara intradermal menunjukkan bahwa dengan dosis
1/10 dapat diperoleh respons yang cukup baik.

6. Penanganan Shock Anafilaktik


Langkah-langkah yang harus dilakukan :
a. Penanganan Utama dan Segera
1) Hentikan pemberian obat / antigen penyebab,
2) Baringkan penderita dengan posisi tungkai lebih tinggi dari kepala,
3) Berikan Adrenalin 1 : 1000 ( 1 mg/ml ),
a) Segera secara IM pada otot deltoideus, dengan dosis 0,3 – 0,5 ml (anak : 0,01
ml/kgBB), dapat diulang tiap lima menit,
b) Pada tempat suntikan atau sengatan dapat diberikan 0,1 – 0,3 ml,
c) Pemberian adrenalin IV apabila terjadi tidak ada respon pada pemberian
secara IM, atau terjadi kegagalan sirkulasi dan syok, dengan dosis ( dewasa) :
0,5 ml adrenalin 1 : 1000 ( 1 mg / ml ) diencerkan dalam 10 ml larutan garam
faali dan diberikan selama 10 menit,
4) Bebaskan jalan napas dan awasi vital sign (tensi, nadi, respirasi) sampai
syok teratasi,
5) Pasang infus dengan larutan glukosa faali bila tekanan darah systole
kurang dari 100 mmHg,
6) Pemberian oksigen 5-10 L/menit,
7) Bila diperlukan, rujuk pasien ke RSU terdekat dengan pengawasan tenaga
medis.
b. Penanganan Tambahan
1) Pemberian Antihistamin
Difenhidramin injeksi 50 mg, dapat diberikan bila timbul urtikaria.
2) Pemberian Kortikosteroid
Hydrokortison injeksi 7–10 mg / kg BB, dilanjutkan 5 mg/kg BB setiap 6 jam atau
deksametason 2-6 mg/kgBB, untuk mencegah reaksi berulang.
Antihistamin dan Kortikosteroid tidak untuk mengatasi syok anafilaktik.
3) Pemberian Aminofilin IV, 4-7 mg/kgBB selama 10-20 menit bila terjadi tanda–
tanda bronkospasme, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/kgBB/jam, atau
brokodilatator aerosol (terbutalin, salbutamo).
c. Penanganan Penunjang
1) Tenangkan penderita, istirahat dan hindarkan pemanasan.
2) Pantau tanda-tanda vital secara ketat sedikitnya pada jam pertama.

7. Perbedaan imunisasi hepatitis B, pemerintah= 0-1-2 bln, IDAI=0-1-6 bln?


Alasan yang paling mendasari dalam kasus ini adalah Departemen Kesehatan RI (Depkes
RI) ingin meningkatkan cakupan Hepatitis B. Oleh karena cakupan DPT selama ini baik,
maka disatukanlah menjadi kombinasi antara pemberian Hepatitis B dan DPT pada usia 2,
3, dan 4 bulan.

IDAI selama ini memberikan Hepatitis B pada 0, 1 dan 6 bulan. Berdasarkan bukti- bukti
ilmiah yang didapat, memperlihatkan efektivitas terutama jangka panjang pemberian
dengan jadwal tersebut, sedangkan IDAI belum menemukan laporan proteksi jangka
panjang pada pemberian 2, 3, dan 4 bulan. Oleh karena itu, IDAI belum dapat
menyamakan jadwal dengan yang dianjurkan Depkes RI.
Oleh karena pemberian Hepatitis B pada 0 bulan sangat penting sebagai proteksi awal
seperti yang dilakukan oleh IDAI, maka Depkes RI menambahkan 1 lagi pada usia 0
bulan, sehingga Depkes RI memberikan 4 kali.
Pemberian Hepatitis B 4 kali seperti yang dianjurkan oleh Depkes RI atau 3 kali seperti
yang dianjurkan oleh IDAI tidak memberikan dampak yang negatif. Walaupun demikian,
jadwal Depkes RI tersebut telah direkomendasikan oleh WHO, dengan pertimbangan
utamanya adalah pada negara dengan prevalensi Hepatitis B yang tinggi, maka imunisasi
untuk Hepatitis B harus sudah selesai dengan diberikannya vaksinasi sedini mungkin
(sekitar 4 bulan).

Anda mungkin juga menyukai