Desain Jalan Rel merupakan salah satu mata kuliah pilihan yang tersedia pada
Program Studi Teknik Sipil S-1. Desain Jalan Rel adalah bentuk aplikatif dan kompetensi
dasar yang menunjang keberhasilan mahasiswa dalam mempelajarinya.
Jaringan jalan rel merupakan prasarana transportasi darat yang dapat memegang
peranan yang sangat penting dalam sektor perhubungan terutama untuk kesinambungan
distribusi barang dan jasa. Dalam jumlah sangat besar. Keberadaan jalan rel juga sangat
diperlukan untuk menunjang laju pertumbuhan ekonomi dengan meningkatnya sarana
transportasi yang dapat menjangkau seluruh kawasan nusantara.
Dari seluruh fungsi dan runutan di atas, maka perencanaan jalan rel harus
bertujuan terciptanya lalu lintas yang lancar, aman, cepat, efisien dan ekonomis. Jalan-rel
harus memiliki syarat-syarat ekonomis menurut fungsi, volume serta sifat-sifatnya. Untuk
itu diperlukan perencanaan yang memenuhi atau sesuai dengan standar perencanaan.
Dalam perencanaan, bentuk geometriknya ditetapkan sedemikian rupa sehingga
lintasan yang bersangkutan dapat memberikan pelayanan yang optimal pada lalu lintas
sesuai dengan fungsi yang dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik dan
konstruksinya.
Perencanaan geometrik jalan rel merupakan bagian dari perkerjaan yang
menentukan dimensi yang dinyatakan dari suatu jalan rel beserta bagian-bagiannya.
Geometrik jalan rel meliputi:
Alinemen Horizontal
Alinemen horizontal dititik beratkan pada bagian tikungan jalan yang memenuhi
persyaratan teknik.
Alinemen Vertikal
Alinemen vertikal menggambarkan tinggi rendahnya jalan terhadap muka tanah asli
dan juga erat hubungannya dengan pembiayaan dan jumlah kecelakaan lalu lintas.
Selain itu dapat menghasilkan keindahan jalan yang harmonis dengan lingkungan alam
sekitas.
Penyelesaian desain jalan rel ini bertujuan untuk memberikan gambaran dari teori-teori
yang telah dipelajari pada:
Perencanaan Geometrik Jalan Rel
Kekuatan dan klasifikasi tanah, sebagai dasar perletakan konstruksi secara umum
dan khususnya pada konstruksi rel.
Disamping itu, penyelesaian tugas jalan rel ini juga bertujuan untuk memenuhi salah
satu syarat dalam menyelesaikan jejang studi Teknik Sipil S1 di Fakultas Teknik
Universitas Riau.
BAB II
PERMASALAHAN
Dalam perencanaan geometrik jalan rel yang dititik beratkan pada perencanaan
fisik rel akan timbul permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan perencanaan.
Adapun masalah-masalah tersebut harus dianalisa, didesain, dan dikalkulasikan oleh
seorang perencana teknik (designer engineering).
Berdasarkan topografi, akan ditentukan lintasan jalan yang menghubungkan titik F
dan titik M dengan data-data sebagai berikut :
Sasaran Tugas:
1. Merencanakan alinemen horizontal dan alinemen vertical jalan rel
2. Membuat gambarnya
3. Merencanakan struktur dan komponen jalan rel
4. Merencanakan stasiun pengalih
BAB III
LANDASAN TEORI
c = 1,25
Ni = Jumlah Kereta api yang lewat.
Vi = Kecepatan Operasi
c) Untuk perencanaan jari-jari lengkung lingkaran dan lengkung
peralihan
Vrencana = Vmaks
2) Kecepatan Maksimum
Kecepatan maksimum adalah kecepatan tertinggi yang diijinkan
untuk operasi suatu rangkaian kereta pada lintas tertentu.
a. Lengkung Lingkaran
Dua bagian lurus, yang perpanjangnya saling membentuk sudut harus
dihubungkan dengan lengkung yang berbentuk lingkaran, dengan atau tanpa
lengkung-lengkung peralihan. Untuk berbagai kecepatan rencana, besar jari-
jari minimum yang diijinkan.
b. Lengkung Peralihan.
Lengkung peralihan adalah suatu lengkung dengan jari-jari yang
berubah beraturan. Lengkung peralihan dipakai sebagai peralihan antara
bagian yang lurus dan bagian lingkaran dan sebagai peralihan antara dua jari-
jari lingkaran yang berbeda. Lengkung peralihan dipergunakan pada jari-jari
lengkung yang relatif kecil, lihat Tabel 3.2. Panjang minimum dari lengkung
peralihan ditetapkan dengan rumus berikut :
Lh = 0,01 hv
Dimana Lh = panjang minimal lengkung peralihan
h = pertinggian relative antara dua bagian yang dihubungkan (mm)
v = kecepatan rencana untuk lengkungan peralihan (km/jam)
c. Lengkung S
Lengkung S terjadi bila dua lengkung dari suatu lintas yang berbeda
arah lengkungnya terletak bersambungan. Antara kedua lengkung yang
berbeda arah ini harus ada bagian lurus sepanjang paling sedikit 20 meter di
luar lengkung peralihan.
d. Perlebaran Sepur
Perlebaran sepur dilakukan agar roda kendaraan rel dapat melewati
lengkung tanpa mengalami hambatan. Perlebaran sepur dicapai dengan
menggeser rel dalam kearah dalam. Besar perlebaran sepur untuk berbagai
jari-jari tikungan adalah seperti yang tercantum dalam Tabel 3.3.
e. Peninggian Rel.
Pada lengkungan, elevasi rel luar dibuat lebih tinggi dari pada rel dalam
untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang dialami oleh rangkaian kereta.
Peninggian rel dicapai dengan menepatkan rel dalam pada tinggi semestinya
dan rel luar lebih tinggi.
Peninggian rel dicapai dan dihilangkan secara berangsur sepanjang
lengkung peralihan. Untuk tikungan tanpa lengkung peralihan peninggian rel
dicapai secara berangsur tepat di luar lengkung lingkaran sepanjang suatu
panjang peralihan.
1.2.4 Landai
a. Pengelompokan Lintas
Berdasar pada kelandaian dari sumbu jalan rel dapat dibedakan atas 4
(Empat) kelompok seperti yang tercantum dalam Tabel 3.4.
c. Landai Curam
Dalam keadaan yang memaksa kelandaian (Pendakian) dari lintas
lurus dapat melebihi landai penentu. Kelandaian ini disebut landai curam;
panjang maksimum landai curam dapat ditentukan melalui rumus pendekatan
sebagai berikut :
Dimana:
ℓ = Panjang maximum landai curam (m).
Va = Kecepatan minimum yang diijinkan dikaki landai curam m/detik.
Vb = Kecepatan minimum dipuncak landai curam (m/detik) vb ≥ ½ va.
g = Percepatan gravitasi.
Sk = Besar landai curam ( ‰ ).
Sm = Besar landai penentu ( ‰ ).
Tabel 3.7 Penampang melintang jalan rel pada lengkung jalur ganda
Kelas Vmax d1 b c k1 (cm) d2 e k2 a
jalan rel (km/jam) (cm) (cm) (cm) (cm) (cm) (cm) (cm)
1st 120 30 150 235 265-315 15-50 25 375 185-237
2nd 110 30 150 254 265-315 15-50 25 375 185-237
rd
3 100 30 140 244 240-270 15-50 22 325 170-200
4th 90 25 140 234 240-250 15-35 20 300 170-190
4th s 80 25 135 211 240-250 15-35 20 300 170-190
Sumber : PD 10
e. Sambungan Rel
Sambungan rel adalah konstruksi yang mengikat dua ujung rel
sedemikian rupa sehingga operasi kereta api tetap aman dan nyaman.
Dari kedudukkan terhadap bantalan dibedakan dua macam
sambungan rel, yaitu :
a) Sambungan melayang
b) Sambungan menumpu
f. Celah
Di sambungan rel harus ada celah untuk menampung timbulnya
perubahan panjang rel akibat perubahan suhu. Besar celah ditentukan
sebagai berikut :
1) Untuk semua tipe rel, besar celah pada sambungan rel standard dan rel
pendek tercantum pada table 3.12.
2) Pada sambungan rel panjang, besar celah dipengaruhi juga oleh tipe rel
dan jenis bantalan.
a) Untuk sambungan rel panjang pada bantalan kayu, besar celah
tercantum pada Tabel 3.13.
b) Untuk sambungan rel panjang pada bantalan beton, besar celah
tercantum pada Tabel 3.14.
Tabel 3.12 Besar celah untuk semua tipe rel pada sambungan rel standard dan rel
pendek
Suhu Panjang rel (m)
pemasangan
25 50 75 100
(0C)
≤ 20 8 14 16 16
22 7 13 16 16
24 6 12 16 16
26 6 10 15 16
28 5 9 13 16
30 4 8 11 14
32 4 7 9 12
34 3 6 7 9
36 3 4 6 7
38 2 3 4 4
40 2 2 2 2
42 1 1 0 0
44 0 0 0 0
≥ 46 0 0 0 0
Sumber : PD 10
g. Suhu Pemasangan
MEI EFTARIKA H Page | 14
0707112305
TEKNIK SIPIL UNIV RIAU
DESAIN JALAN REL
Yang dimaksud dengan suhu pemasangan adalah suhu rel waktu
pemasangan.
1) Batas suhu pemasangan rel standard dan rel pendek tercantum pada
Tabel 3.12.
2) Batas suhu pemasangan rel panjang pada bantalan kayu tercantum dalam
tabel 3.15.
3) Batas suhu pemasangan rel panjang pada bantalan beton tercantum pada
tabel 3.16.
Tabel 3.13 Besar celah untuk sambungan rel panjang pada bantalan kayu
Suhu Panjang rel (m)
0
pemasangan ( C) R42 R50 R54 R60
≤ 28 16 16 16 16
30 14 16 16 16
32 12 14 15 16
34 10 11 12 13
36 8 9 10 10
38 6 6 8 8
40 5 4 6 6
42 4 3 5 5
44 3 3 3 4
46 2 3 3 3
≥ 48 2 2 2 2
Sumber : PD 10
Tabel 3.14 Besar celah untuk sambungan rel panjang pada bantalan beton
Suhu Panjang rel (m)
pemasangan (0C) R42 R50 R54 R60
≤ 22 16 16 16 16
24 14 16 16 16
h. Kedudukan Rel
Kecuali pada wesel dan di emplasemen dengan kecepatan kereta
lambat, rel dipasang miring ke dalam dengan kemiringan 1:40.
1.3.2 Wesel
Fungsi wesel adalah untuk mengalihkan kereta dari satu sepur ke sepur
yang lain.
a. Jenis Wesel :
1) Wesel biasa.
(a). Wesel Biasa
b. Komponen Wesel
Wesel terdiri atas komponen-komponen sebagai berikut:
1) Lidah
2) Jarum beserta sayap-sayapnya
3) Rel lantak
4) Rel paksa
5) Sistem penggerak
1) Lidah
a) Lidah adalah bagian dari wesel yang dapat bergerak pangkal lidah disebut akar.
b) Jenis Lidah
(1) Lidah berputar adalah lidah yang mempunyai engsel diakarnya.
(2) Lidah berpegas adalah lidah yang akarnya dijepit sehingga melentur
c) Sudut Tumpu (β)
Sudut tumpu adalah sudut antara lidah dengan rel lantak, sudut tumpu
dinyatakan dengan tangennya, yakni tg = 1 : m, dimana harga m berkisar
antara 25 sampai 100.
2) Jarum dan sayap-sayapnya
a) Jarum adalah bagian wesel yang memberi kemungkinan kepada flens roda
melalui perpotongan bidang-bidang jalan yang terputus antara dua rel.
b) Sudut kelancipan jarum (α) disebut sudut samping arah.
c) Jenis jarum.
(1) Jarum-kaku dibaut (bolted rigid frogs) terbuat dari potongan-potongan
rel standar yang dibuat (gambar 3.23).
(2) Jarum–rel–pegas (spring rail frogs)
(3) Jarum-baja–mangan–cor (cast manganese steel frogs). Dipakai untuk
lintas dengan tonase beban yang berat atau lintas yang frekuensi
keretanya tinggi.
(4) Jarum – keras – terpusat (hard centered frogs).
3) Rel lantak
Suatu rel yang diperkuat badannya yang berguna untuk bersandarnya lidah wesel.
4) Rel paksa
Dibuat dari rel biasa yang kedua ujungnya dibengok ke dalam. Rel paksa luar
biasanya dibuat pada rel lantak dengan menempatkan blok pemisah diantaranya.
5) Sistem penggerak atau pembalik wesel
Pembalik wesel adalah mekanisme untuk menggerakkan ujung lidah.
Tabel 3.15 Tangen sudut simpang arah, nomor wesel dan kecepatan izin
tg. α 1:8 1 : 10 1 : 12 1 : 14 1 : 16 1 : 18
b. Penggunaan penambat
Penambat kaku tidak boleh dipakai untuk semua kalas jalan rel.
Penambat elastic tunggal hanya boleh dipergunakan pada jalan kelas 4 dan
kelas 5. Penambat elastik ganda dapat dipergunakan pada semua kelas jalan
rel, tetapi tidak dianjurkan untuk jalan rel kelas 5.
c. Model penambat
Jenis penambat yang tergolong dalam jenis penambat elastic ganda
mempunyai berbagai bentuk dengan hak paten tersendiri. Pemilihan model
penambat harus disetujui oleh pemberi tugas.
d. Persyaratan Bahan
Persyaratan bahan untuk penambat harus memenuhi persyaratan
bahan pada Peraturan Bahan Jalan Rel Indonesia atau peraturan Dinas No.
10 C.
Penambat Kaku
1. Kerusakan jalan akibat gaya lateral
Tercabutnya paku
Gaya-gaya penahan
H = 2ή W+
H + H’= µ (W+W’) +
γ= γ”=
dimana:
EIx = kekuatan vertical Rel (kg-cm2)
EIy = Kekakuan lateral rel (kg-cm2)
a = jarak bantalan
D = Gaya untuk menekan rel sehingga jalan rel sehingga jalan rel berdefleksi
satu satuan (kg/cm)
ϵ = konstanta pegas arah lateral dari rel terhadap gaya vertical (cm-1)
W = Tekanan pada roda rata-rata (kg)
W, W’ = Tahanan roda (kg0
H,H’ = Tahanan Lateral
K” = Konstanta pegas arah lateral dari bantalan (kg/cm)
µ = Koefisien gesekan antara balas dan bantalan
ή= koefisien gesekan antara rel dan bantalan
Sn = Gaya untuk mencabut paku (kg/buah)
T= Gaya gesekan bantalan dan balas (200kg/bantalan)
2. Batas sekunder, dimana gaya yang bekerja terjadi setelah lebar sepur
berubah atau jalan telah bergeser.
Batas Primer: (Q1 – Q2) < 1+0,35 (P1 +P2) dengan pelat andas
Batas Sekunder (Q1 – Q2) < 0,85 l1+0,35 (P1 + P2)l tanpa pelat andas
Penambat Eastis
Penambat Elastis dipergunakan secara besar-besaran saat ini. Kekuata jepit
(clamping force) dan kekuatan torsi (torsional resistace) menjadi hal yang
sangat penting, karena dapat betul-betul mengikat rel ke bantalan dalam waktu
lama,sehingga bantalan dan rel sehingga satu kesatuan dapat menahan gaya-
gaya yang bekerja padanya. Besarnya gaya jepit penambat adalah factor utama
dalam menentukan jenis penambat.
BAB IV
PEMBAHASAN
No Kelompok Kelandaian
1 Lintasan Datar 0 sampai 10 0/00
2 Lintasan Pegunungan 10 0/00 sampai 40 0/00
3 Lintasan dengan Rel Gigi 40 0/00 sampai 80 0/00
Sumber: PD.10
Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka jenis medan adalah lintas pegunungan
(100/00 - 400/00 )
Rmin = 0,054 x V2
= 0,054 x 1202 km/jam
= 777,6 m
Direncanakan:
Tikungan pertama (PI 1) tidak menggunakan lengkung Transisi, R = 2400 m
= 2 x π 2400 m
= 335,1 m
2. Tikungan 2 (PI 2)
Sudut tikungan (α2) = 140
Jari-jari (R) = 800 m
= 0,06
= 129,6 m
= 4,60
= x2x x 800
= 67,02 m
Yc =
= 3,5 m
P’ = Yc – R( 1-cos αs )
= 3,5 – 800(1 – cos 4,6 )
= 0,923 m
Es = (R + p’)sec ½
= (800 + 0,923) sec ½ 14 - 800
= 6,938 m
Ltot = Lc + 2 Ls
= 67,02 + 2x 129,6
= 326,22 m
h normal = 5,95
= 5,95
=107,1 mm 110 mm
h normal = 5,95
= 5,95
=35,7 mm 35 mm
= 928,72 - 167,82
= 760,9
STA PPl1 = STA TC1 + ½ LC
= 760,9 + ½ x 335,1
= 928,45
STA CT1 = STA TC1 + LC
= 760,9 + 335,1
= 1096
STA TS2 = STA CT1 + ( (CT_TS))
= 1096 + 870,88
= 1966,88
STA SC2 = STA TS2 + LS
= 1966,88 + 129,6
= 2096,48
STA PPl 2 = STA SC2 + ½ LC
= 2096,48 + ½ X 67,02
= 2129,99
STA CS2 = STA SC2 + LC
= 2096,48 + 67,02
= 2163,5
STA ST2 = STA SC2 + LS
= 2163,5 + 129,6
= 2230,52
g = x 100 %
g1 = x 100 %
= 0,588 %
g2 = x 100 %
= 0
l = r = 0,1% (Hay,1982)
= 5,88
L = 5,88 x 100 ft = 5,88 x 30 m = 176,4 m
2. Lengkung Cekung
g = x 100 %
g3 = x 100 %
= 1,422 %
l = r = 0,05% (Hay,1982)
= 28,44
L = 28,44 x 100 ft = 28,44 x 30 m = 853,2 m
0+020 85,1
1 0 85,2 7 84,9 85,17
0+040 90,3
2 0 90,5 2 90 86,35
0+060
3 0 92,5 92,5 92,5 87,53
0+080
4 0 82,4 82,4 82,4 88,71
0+100
5 0 82,7 82,6 82,5 89
0+120
6 0 84,8 84,8 84,8 89
0+140
7 0 88,8 88,7 88,6 89
0+160
8 0 87,6 87,4 87,3 89
0+180 88,2
9 0 88,4 8 88,2 89
0+200
10 0 88,6 88,6 88,6 89
0+220
11 0 89,8 89,1 88,7 89,71
0+240
12 0 92,3 92 91,8 92,58
0+260
13 0 93,9 93,7 93,6 96,4
0+280
14 0 98,5 98,5 98,5 98,25
(x5,y5)
(x7,y7)
(x4,y4)
(x6,y6)
(x1,y1)
(x3,y3)
(x2,y2)
Perencangan Wesel
Panjang jarum ( P) = ((B+C)/(2 tan α/2)) – d
= ((70 + 140)/(2 tan 60)) – 5
= 176,87 mm
BAB V
KESIMPULAN
Dalam pengerjaan desain jalan raya ini dapat di ambil suatu kesimpulan:
1. Medan jalan adalah pegunungan ( kemiringan rata-rata 10 0/00 )
2. Jalan rencana, dari titik F menuju titik M dengan kelas Rel 1.
3. Menggunakan dua tikungan dengan kecepatan rencana 120 km/jam.
4. Dengan pegunungan, direncanakan menggunakan satu lengkung vertikal
cembung dan satu lengkung vertikal cekung.
5. Volume galian dan timbunan cukup seimbang, namun tergolong kurang
ekonomis karena jumlah galian dan timbunan yang relatif besar, ini dikarenakan
medan jalan yang pegunungan sedangkan kelandaian maksimum yang harus dicapai
hanya 10 0/00 . Dengan mengutamakan kesesuan kelandaian, maka volume galian
dan timbunan yang besar terpaksa dilakukan.