Anda di halaman 1dari 61

PT.

PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

BAB II
KRITERIA DESAIN

2.1. Perencanaan Teknik Jalan


Perencanaan teknik yang dimaksud adalah perencanaan teknik jalan atau jembatan,
perencanan teknik jalan mengacu kepada:
Tabel 2. 1 Peraturan Perencanaa Teknik Jalan dan Jembatan

No. Peraturan yang digunakan Tentang

1. Undang-Undang RI No.38 Tahun Jalan


2004
2. Perencanaan Teknis Jalan Persyaratan Teknis Jalan dan
PERMEN No.19/Prt/M/2011 Kriteria Perencanaan Teknis
Jalan
3. Perencanaan Perkerasan Jalan Manual Desain Perkerasan
No.02/M/BM/2013 Juli 2013 Jalan
4. Perencanaan Geometrik Jalan No. Tata Cara Perencanaan
031/T/BM/1999/SK.No.76/KPTS/ Geometrik Jalan
Db/1999
5. Standar Perhitungan Struktur Guide for Design of Pavement
Pavement Jalan AASHTO 1993 Structures
6. Standar Perhitungan Geometrik A Policy on Geometric Design
Jalan AASHTO 2001 of Highways and Streets.

2.2. Pertimbangan-Pertimbangan Konstruksi Dalam Desain


Desain akan mempertimbangkan metode-metode konstruksi dan resiko-resiko yang berkaitan
dengan metode dan proses konstruksi yang akan diterapkan. Faktor-faktor resiko yang
menjadi pertimbangan desainer dalam tim konsultan antara lain : resiko-resiko terhadap
pekerja konstruksi dan langkah-langkah untuk mengurangi/menghilangkan bahaya-bahaya,
mengurangi resiko atau menyarankan langkah-langkah kontrol dengan memodifikasi desain
dan memberikan informasi kepada kontraktor utama berkaitan dengan hal-hal tersebut. Hal-

2-1
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

hal yang berkaitan dengan konstruksi yang menjadi pertimbangan dalam menentukan suatu
solusi desain atau proses konstruksi adalah :
a. Akses/jalan masuk;
b. Batasan-batasan (bangunan, vegetasi, ROW dan sebagainya);
c. Proses penggalian dan penimbunan;
d. Layanan-layanan dan utilitas publik (pipa gas, kabel PLN dan sebagainya);
e. Ketersediaan dan umur material;
f. Ukuran dan berat peralatan berat;
g. Biaya dan perawatan.
2.3. Implementasi Desain
Untuk implementasi desain sehingga bisa secara efektif diterapkan di lapangan maka
konsultan akan menyiapkan :
a. Gambar rencana (ukuran A-3);
b. Spesifikasi;
c. Jika dipandang perlu, catatan-catatan berupa petunjuk untuk mendukung spesifikasi
dan membantu memahami desain;
d. Perhitungan biaya dan volume pelaksanaan fisik pembuatan jalan;
e. Ketentuan-ketentuan umum;
Sebagian dari hal-hal yang disebutkan di atas akan masuk ke dalam Dokumen
Kontrak/Tender yang disiapkan oleh Konsultan.
2.4. Perencanaan Teknik Pekerjaan Geometrik Jalan
Elemen dalam perencanaan geometrik jalan diantaranya adalah alinyemen horizontal dan
alinyemen vertikal. Perencanaan Geometrik Jalan dapat mengacu kepada peraturan seperti
pada tabel berikut.
Tabel 2. 2 Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan

No. Peraturan yang digunakan Tentang


1. Standar No. Tata cara perencanaan geometrik
031/T/BM/1999/SK.No.76/KPTS/Db/1 jalan
999
2. RSNI No. 14-2004 Geometrik jalan perkotaan
3. Pd. T-20-2004-B Perencanaan bundaran untuk

2-2
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

persimpangan
4. AASHTO 2001 A Policy on Geometric design of
higways and streets.

2.4.1. Alinyemen Horisontal


a. Umum
1. Alinyemen horizontal terdiri dari bagian lurus dan bagian lengkung (disebut juga
tikungan).
2. Perencanaan geometrik pada bagian lengkung dimaksudkan untuk mengimbangi
gaya sentrifugal yang diterima oleh kendaraan yang berjalan pada kecepatan V R.
3. Untuk keselamatan pemakai jalan, jarak pandang dan daerah bebas samping
jalan harus diperhitungkan.
b. Panjang Bagian Lurus
1. Dengan memepertimbangkan faktor keselamatan pemakai jalan, ditinjau dari
segi kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum bagian yang lurus harus
ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 2,5 menit (sesuai VR).
2. Panjang bagian lurus dapat ditetapkan dari Tabel berikut
Tabel 2. 3 Panjang Bagian Lurus Maksimum
Fungsi Panjang Bagian Lurus Maksimum (m)
Datar Perbukitan Pegunungan
Arteri 3.000 2.500 2.000
Kolektor 2.000 1.750 1.500

3. Tikungan
Bentuk bagian lengkung dapat berupa :
a) Spiral-Circle-Spiral (SCS);
b) Full Circle (FC); dan
c) Spiral-Spiral (SS).
Panjang Bagian Lurus
a) Superelevasi

2-3
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di tikungan yang


berfungsi mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima kendaraan pada saat
berjalan melalui tikungan pada kecepatan VR.
Nilai superelevasi maksimum ditetapkan 10%.
b) Jari-Jari Tikungan
Jari-jari tikungan minimum (Rmin) ditetapkan sebagai berikut :

( )
Dengan
R min = Jari-jari tikungan minimum (m)
VR = Kecepatan rencana (Km/jam)
emax = Superelevasi maksimum (%)
ƒ = Koefesien gesek, untuk perkerasan aspal ƒ = 0.14-0.24
Table berikut dapat menetapkan Rmin.
Tabel 2. 4 Panjang Jari-jari Minimum (dibulatkan)
VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Jari- Jari
Minimum,
600 370 210 110 80 50 30 15
Rmin (m)

c) Lengkung Peralihan
Lengkung peralihan adalah lengkung yang disisipkan di antara bagian
lurus jalan dan bagian lengkung jalan berjari-jari tetap R; berfungsi
mengantisipasi perubahan Alinyemen jalan dari bentuk lurus (R tak
terhingga) sampai bagian lengkung jalan berjari-jari tetap R sehingga gaya
sentrifugal yang bekerja pada kendaraan saat berjalan di tikungan berubah
secara berangsur-angsur baik ketika kendaraan mendekati tikungan
maupun meninggalkan tikungan.
d) Bentuk lengkung peralihan dapat berupa parabola atau spiral (clothoid).
Dalam metodologi ini digunakan bentuk spiral.
e) Panjang lengkung peralihan (Ls), ditetapkan atas pertimbangan bahwa :

2-4
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

1) lama waktu perjalanan di lengkung peralihan perlu dibatasi untuk


menghindarkan kesan perubahan Alinyemen yang mendadak,
ditetapkan 3 detik (pada kecepatan VR);
2) gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan dapat diantisipasi
berangsur-angsur pada lengkung peralihan dengan aman; dan
3) tingkat perubahan kelandaian melintang jalan (rc) dari bentuk
kelandaian normal ke kelandaian superelevasi penuh tidak boleh
melampaui r e-max yang ditetapkan sebagai berikut :
4) untuk VR  70 km/jam, re-max = 0,035 m/m/detik.
5) untuk VR  80 km/jam, re-max = 0,025 m/m/detik.
6) Ls ditentukan dari 3 rumus di bawah ini dan diambil nilai yang
terbesar :
Berdasarkan waktu tempuh maksimum di lengkung peralihan.

Dimana
T = waktu tempuh pada lengkung peralihan ditetapkan 3 detik.
VR = kecepatan rencana (km/jam)
7) Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal

Dimana :
e = Superelevasi
C = Perubahan percepatan, diambil 1-3 m/detik
R = jari-jari busur lingkaran, m
8) Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian
(

Dengan
VR = Kecepatan rencana (Km/jam)
em = Superelevasi maksimum
en = Superelevasi normal
re = Tingkat pencapaian perubahan kemiringan jalan ((m/m)/det))

2-5
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

9) Selain menggunakan rumus-rumus (1 s/d 3), untuk tujuan praktis LS


dapat ditetapkan dengan menggunakan Tabel berikut.

Tabel 2. 5 Panjang Lengkung Peralihan (Ls) dan Panjang Pencapaian Superelevasi (Le) untuk
jalan 1 jalur - 2 jalur - 2 arah
VR Superelevasi, e (%)
2 4 6 8 10
(km/jam) Ls Le Ls Le Ls Le Ls Le Ls Le
20
30
40 10 20 15 25 15 25 25 30 35 40
50 15 25 20 30 20 30 30 40 40 50
60 15 30 20 35 25 40 35 50 50 60
70 20 35 25 40 30 45 40 55 60 70
80 30 55 40 60 45 70 65 90 90 120
90 30 60 40 70 50 80 70 100 100 130
100 35 65 45 80 55 90 80 110 110 145
110 40 75 50 85 60 100 90 120 - -
120 40 80 55 90 70 110 95 135 - -

10) Lengkung dengan R lebih besar atau sama dengan yang ditunjukkan
pada Tabel berikut, tidak memerlukan lengkung peralihan.
Tabel 2. 6 Jari-jari Tikungan yang tidak memerlukan Lengkung Peralihan
VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Rmin (m) 2500 1500 900 500 350 250 130 60
11) Jika lengkung peralihan digunakan, posisi lintasan tikungan bergeser
dari bagian jalan yang lurus ke arah sebelah dalam (lihat Gambar
berikut) sebesar p. Nilai p (m) dihitung berdasarkan rumus berikut :

2-6
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

Dengan
Ls = panjang lengkung
R = jari-jari lengkung (m)

Gambar 2. 1 Pergerakan Lengkung Peralihan


12) Apabila nilai p kurang dari 0,25 meter, maka lengkung peralihan tidak
diperlukan sehingga tipe tikungan menjadi FC.
13) Superelevasi tidak diperlukan apabila nilai R lebih besar atau sama
dengan yang ditunjukkan dalam Tabel berikut.
Tabel 2.7 Jari-jari yang diijinkan tanpa Lengkung Peralihan
Kecepatan rencana R
(km/jam) (km)
60 700
80 1250
100 2000
120 5000

c. Pencapaian Superelevasi
1. Superelevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang normal pada
bagian jalan yang lurus sampai ke kemiringan penuh (superelevasi) pada bagian
lengkung.
2. Pada tikungan SCS, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear lihat
(Gambar 3.2), diawali dari bentuk normal sampai awal lengkung peralihan (TS)

2-7
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

pada bagian lurus jalan, lalu ditunjukkan sampai superelevasi penuh pada akhir
bagian lengkung peralihan (SC).
3. Pada tikungan TC, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear (lihat
Gambar 3.3), diawali dari bagian lurus sepanjang 2/3 Ls sampai dengan bagian
lingkaran penuh sepanjang 1/3 bagian panjang Ls.
4. Pada tikungan SS, pencapaian superelevasi seluruhnya dilakukan pada bagian
spiral.

Gambar 2. 2 Metode Pencapaian Superelevasi pada Tikungan Tipe SCS

Gambar 2. 3 Metode Pencapaian Superelevasi pada Tikungan Tipe TC

2-8
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

a. Tikungan Gabungan
1. Ada dua macam tikungan gabungan, sebagai berikut :
a) Tikungan gabungan searah, yaitu gabungan dua arau lebih tikungan dengan
arah putaran yang sama tetapi dengan jari-jari yang berbeda (lihat Gambar
3.4);
b) Tikungan gabungan balik arah, yaitu gabungan dua tikungan dengan arah
putaran yang berbeda (lihat Gambar 3.5).

Gambar 2. 4 Tikungan Gabungan Searah

Gambar 2. 5 Tikungan Gabungan Balik


2. Penggunaan tikungan gabungan tergantung perbandingan R1 dan R2 :

2-9
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

1 2
>= tikungan gabungan searah harus dihindarkan,
2 3
1 2
< = tikungan gabungan harus dilengkapi bagian lurus
2 3

atau clothoid sepanjang paling tidak 20 meter (lihat Gambar 3.6).

Gambar 2. 6 Tikungan Gabungan Searah dengan Sisipan Bagian Lurus Minimum


sepanjang 20 meter

Gambar 2. 7 Tikungan Gabungan Balik dengan Sisipan Bagian Lurus Minimum


Sepanjang 20 meter
2.4.2. Alinyemen Vertikal
a. Umum
1. Alinyemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung
vertikal.

2-10
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

2. Ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian landai vertikal dapat berupa landai
positif (tanjakan), atau landai negatif (turunan), atau landai nol (datar).
3. Bagian lengkung vertikal dapat berupa lengkung cekung atau lengkung
cembung.
b. Landai Maksimum
1. Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk memungkinkan kendaraan bergerak
terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti.
2. Kelandaian maksimun didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh
yang mampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh
kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah.
3. Kelandaian maksimum untuk berbagai VR ditetapkan dapat dilihat dalam Tabel
3.6.
Tabel 2. 8 Kelandaian Maksimum yang diijinkan

VR (km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40


Kelandaian
Maksimal 3 3 4 5 8 9 10 10
(%)

4. Panjang kritis yaitu panjang landai maksimum yang harus disediakan agar
kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian sehingga
penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh VR. Lama perjalanan tersebut
ditetapkan tidak lebih dari satu menit.
5. Panjang kritis dapat ditetapkan dari Tabel 3.7.
Tabel 2. 9 Panjang Kritis (m)

Kecepatan pada Kelandaian (%)


Awal Tanjakan
4 5 6 7 8 9 10
(km/jam)
80 630 460 360 270 230 230 200
60 320 210 160 120 110 90 80
c. Lengkung Vertikal

2-11
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

1. Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami


perubahan kelandaian dengan tujuan :
a) mengurangi genangan akibat perubahan kelandaian; dan
b) menyediakan jarak pandang henti.
2. Lengkung vertikal dalam metodologi ini ditetapkan berbentuk parabola
sederhana.
a) jika jarak pandang henti lebih kedl dari panjang lengkung vertikal
cembung, panjangnya ditetapkan dengan rumus :

b) jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertikal cekung,
panjangnya ditetapkan dengan rumus :

c) Panjang minimum lengkung vertikal ditentukan dengan rumus :

Dengan :
L = panjang lengkung vertical (m),
A = perbedaan grad (m),
S = jarak pandang henti (m),
Y = faktor penampilan kenyamanan, didasarkan pada tinggi objek 10
cm dan tinggi mata 120 cm.
d) Y dipengaruhi oleh jarak pandang di malam hari, kenyamanan, dan
penampilan. Y ditentukan sesuai tabel 2.8.
Tabel 2. 10 Penentuan Faktor Penampilan Kenyamanan, Y
Kecepatan Rencana
Faktor Penampilan Kenyamanan, Y
(km/jam)
< 40 1,5
40 - 60 3
> 60 8

2-12
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

e) Panjang lengkung vertikal bisa ditentukan langsung sesuai Tabel 2.11, yang
didasarkan pada penampilan, kenyamanan, dan jarak pandang. Untuk
jelasnya lihat Gambar 2.8 dan Gambar 2.9.
Tabel 2. 11 Panjang Minimum Lengkung Vertikal
Perbedaan
Kecepatan Rencana Panjang Lengkung
Kelandaian
(km/jam) (m)
Memanjang (%)
< 40 1 20 - 30
40 - 60 0,6 40 - 80
> 60 0,4 80 - 150

Gambar 2. 8 Lengkung Vertikal Cembung

Gambar 2. 9 Lengkung Vertikal Cekung

d. Lajur Pendakian
1. Lajur pendakian dimaksudkan untuk menampung truk-truk bermuatan berat
atau kendaraan lain yang berjalan lebih lambat dari kendaraan lain pada

2-13
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

umumnya, agar kendaraan lain dapat mendahului kendaraan lambat tersebut


tanpa harus berpindah lajur atau menggunakan lajur arah berlawanan.
2. Lajur pendakian harus disediakan pada ruas jalan yang mempunyai kelandaian
yang besar, menerus, dan volume lalu lintasnya relatif padat.
3. Penempatan lajur pendakian harus dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut
:
a) disediakan pada jalan arteri atau kolektor,
b) apabila panjang kritis terlampaui, jalan memiliki VLHR > 15.000 smp/hari,
dan persentase truk > 15%.
c) Lebar lajur pendakian sarna dengan lebar lajur rencana.
d) Lajur pendakian dimulai 30 meter dari awal perubahan kelandaian dengan
serongan sepanjang 45 meter dan berakhir 50 meter sesudah puncak
kelandaian dengan serongan sepanjang 45 meter (lihat Gambar 3.10).
e) Jarak minimum antara 2 lajur pendakian adalah 1,5 km (lihat Gambar
3.11).

Gambar 2. 10 Lajur Pendakian Tipikal

2-14
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

Gambar 2. 11 Jarak Antara Dua Lajur Pendakian


e. Koordinasi Alinyemen
1. Alinyemen vertikal, Alinyemen horizontal, dan potongan melintang jalan
adalah elemen-elemen jalan sebagai keluaran perencanaan harus
dikoordinasikan sedemikian rupa, sehingga menghasilkan suatu bentuk jalan
yang baik dalam arti memudahkan pengemudi mengemudikan kendaraannya
dengan aman dan nyaman. Bentuk kesatuan ketiga elemen jalan tersebut
diharapkan dapat memberikan kesan atau petunjuk kepada pengemudi akan
bentuk jalan yang akan dilalui di depannya sehingga pengemudi dapat
melakukan antisipasi lebih awal.
2. Koordinasi Alinyemen vertikal dan Alinyemen horizontal harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut :
a) Alinyemen horizontal sebaiknya berimpit dengan Alinyemen vertikal, dan
secara ideal Alinyemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi
Alinyemen vertikal;
b) Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau
pada bagian atas lengkung vertikal cembung harus dihindarkan;
c) Lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang
harus dihindarkan;
d) Dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu lengkung horizontal harus
dihindarkan;
e) Tikungan yang tajam di antara 2 bagian jalan yang lurus dan panjang harus
dihindarkan.

2-15
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

Sebagai ilustrasi, Gambar 3.12 s/d Gambar 3.14 menampilkan contoh-contoh


koordinasi Alinyemen yang ideal dan yang harus dihindarkan.

Gambar 2. 12 Koordinasi yang ideal antara Alinyemen Horisontal dan Alinyemen


Vertikal yang berimpit

Gambar 2. 13 Koordinasi yang harus dihindarkan, dimana Alinyemen Vertikal


menghalangi pandangan pengemudi pada saat mulai memasuki tikungan pertama

Gambar 2. 14 Koordinasi yang harus dihindarkan, dimana pada bagian pandangan


pengemudi sulit memperkirakan arah Alinyemen di balik puncak tersebut

2-16
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

2.5. Perencanaan Teknik Pekerjaan Perkerasan Beraspal


Perkerasan lentur yang direncanakan mempunyai umur pelayanan selama 10 tahun.
Perhitungan tebal perkerasan lentur dapat dihitung dengan beberapa metode, antara lain :
a. Metode Bina Marga
b. Metode AASHTO
Metode-metode tersebut pada dasarnya mempunyai prinsip yang sama, yaitu memasukkan
pengaruh tegangan (beban lalu-lintas), kekuatan bahan (modulus tanah dasar, modulus
subbase, modulus base dan modulus lapisan beraspal dan faktor lingkungan (drainase).

Pada metodologi ini disajikan dua metode perhitungan, yaitu metode perhitungan tebal
lapis tambah (overlay) dan perhitungan konstruksi perkerasan baru. Adapun metoda yang
digunakan adalah Metoda Bina Marga 1989 (SNI 03-1732-1989). Bagan alir perencanaan
perkerasan sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 3.15..

Gambar 2. 15 Bagan alir perencanaan perkerasan

2-17
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

2.6. Standar Perencanaan


a. Manual Desain Perkerasan Jalan No. 02/M/BM/2013
b. Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Pd T-01-202-B
c. Perencanaan Tebal Lapis Tambah Perkerasan Lentur dengan Metode Lendutan Pd T-05-
2005
d. Austroads, Pavement Design, A Guide to the Structural Design of Pavements, 2008 Astho
Guide for Design of Pavement Structure, 1993
2.7. Perencanaan Tebal Perkerasan
Desain perkerasan berpedoman kepada Manual Desain Perkerasan Jalan No.
02/M/BM/2013 dengan penajaman pada aspek - aspek sebagai berikut:
a. Penentuan umur rencana;
b. Penerapan minimalisasi discounted lifecycle cost;
c. Pertimbangan kepraktisan pelaksanaan konstruksi;
d. Penggunaan material yang efisien.
2.7.1. Umur Rencana
Umur rencana perkerasan baru seperti yang ditulis di dalam Tabel 2.10
Tabel 2. 12 Umur Perencanaan Perkerasan Jalan Baru

2.7.2. Pemilihan Stuktur Perkerasan


Pemilihan jenis perkerasan akan bervariasi sesuai estimasi lalu lintas, umur rencana, dan
kondisi pondasi jalan. Batasan di dalam
2 tidak absolut. Dengan mempertimbangkan biaya selama umur pelayanan terendah,

2-18
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

batasan dan kepraktisan konstruksi. Solusi alternatif diluar solusi desain awal
berdasarkan pada manual desain perkerasan jalan No. 02/M/BM/2013, harus
didasarkan pada biaya biaya umur pelayanan discounted terendah.

Tabel 2.13 Pemilihan Jenis Perkerasan

a. Sumber Daya Lokal dan Nilai Pekerjaan


Sumber daya setempat dan nilai pekerjaan akan menentukan pilihan jenis
perkerasan. Kontraktor lokal tidak akan mempunyai sumber daya untuk semua
kelas pekerjaan. Pekerjaan kecil tidak akan menarik bagi kontraktor besar untuk
menawar, sehingga solusi yang kurang rumit mungkin dibutuhkan. Solusi
perkerasan yang kompleks dapat dipertimbangkan untuk pekerjaan yang lebih
besar. Lebih banyak pilihan dapat dipertimbangkan pada pekerjaan yang ramah
lingkungan daripada pekerjaan pelebaran.

2-19
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

b. AC dengan Cement Treated Base (CTB)


CTB menawarkan penghematan yang signifikan dibanding perkerasan lapis
pondasi berbutir untuk jalan yang dilewati lalu lintas sedang dan berat. Biaya
perkerasan berbasis CTB secara tipikal lebih murah daripada perkerasan kaku atau
perkerasan beraspal tebal konvensional untuk kisaran beban sumbu 4 sampai
30 juta CESA, tergantung pada harga setempat dan kemampuan
kontraktor (catatan 3). CTB juga menghemat penggunaan aspal dan material
berbutir, dan kurang sensitif terhadap air dibandingkan dengan lapis pondasi
berbutir. LMC (Lean Mix Concrete) dapat digunakan sebagai pengganti CTB,
dan akan memberikan kemudahan pelaksanaan di area kerja yang sempit
misalnya pekerjaan pelebaran perkerasan atau pekerjaan pada area perkotaan.
Muatan berlebih yang merupakan kondisi tipikal di Indonesia, menyebabkan
keretakan sangat dini pada lapisan CTB. Maka dari itu desain CTB hanya
didasarkan pada tahap desain post fatigue cracking tanpa mempertimbangkan
umur pre fatigue cracking. Struktur perkerasan dalam desain 3 solusi perkerasan
dengan CTB ditentukan menggunakan CIRCLY dan metode desain perkerasan
Austroad Guide 2004 dengan nilai reliabilitas 95% (mengacu Austroads Guide
2004, Section 2.2.1.2). Konstruksi CTB membutuhkan kontraktor yang kompeten
dengan sumber daya peralatan yang memadai.Perkerasan CTB hanya bisa dipilih
jika sumber daya yang dibutuhkan tersedia.
c. AC dengan Lapis Pondasi Berbutir
AC dengan CTB cenderung lebih murah dari pada lapis AC yang tebal dengan
lapis pondasi berbutir untuk kisaran beban sumbu 4-10 juta CESA, namun
sangat sedikit kontraktor yang memliliki sumber daya untuk konstruksi CTB.
d. AC dengan Aspal Modifikasi
Aspal modifikasi direkomendasikan digunakan untuk lapis aus (wearing course)
untuk jalan dengan repetisilalu lintas selama 20 tahun melebihi 10 juta ESA. Tujuan
dari penggunaan bahan pengikat aspal modifikasi adalah untuk memperpanjang
umur pelayanan dan umur fatigue dan ketahanan deformasi lapis permukaan akibat
lalu lintas berat.
e. Lapis Aus Tipe SMA
Lapis aus (wearing course) tipe SMA dengan aspal modifikasi hanya bisa

2-20
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

dipertimbangkan jika agregat kubikal dengan gradasi dan kualitas memadai tersedia
yang memenuhi persyaratan campuran SMA.
f. Lapis Pondasi dengan Aspal Modifikasi
Prosedur desain mekanistik dapat digunakan untuk menilai sifat (property) dari lapis
pondasi dengan aspal modifikasi.
g. Pelebaran Jalan dan Penambalan (Heavy Patching)
Untuk penanganan perkerasan eksisting umumnya dipilih struktur perkerasan yang
sama dengan struktur eksisting. Kehati-hatian harus dilakukan untuk menjamin
drainase mengalir dari struktur eksisting dan lapisan berbutir baru. Jika perkerasan
kaku digunakan untuk pelebaran perkerasan lentur, terutama untuk jalan diatas tanah
lunak, maka rekonstruksi dengan lebar penuh harus dipertimbangkan, karena jika
tidak maka serangkaian pemeliharaan lanjutan pada perkerasan lentur akan menjadi
lebih sulit.
h. Gambut
Perkerasan kaku tidak boleh digunakan diatas tanah gambut, dan perkerasan lentur
harus digunakan.Konstruksi bertahap harus dipertimbangkan untuk membatasi
dampak penurunan yang tak seragam.
i. Pelaburan (Surface Dressing) diatas Lapis Pondasi
Surface dressing (Burda atau Burtu) sangat tepat biaya jika dilaksanakan dengan
benar.Sangat sedikit kontraktor yang memiliki sumber daya peralatan dan
kemampuan untuk melaksanakan pelaburan permukaan perkerasan dengan benar.
Dibutuhkan peningkatan dalam kapasitas dan kompetensi kontraktor dalam
teknologi ini.
j. 3.13 AC-WC HRS-WC tebal ≤50 mm diatas Lapis Pondasi Berbutir
AC-WC HRS-WC tebal ≤50 mm diatas Lapis Pondasi Berbutir merupakan solusi
yang paling tepat biaya untuk rekonstruksi jalan dengan volume lalu lintas
sedang (mencapai 5 juta ESA atau lebih tinggi tergantung kemampuan kontraktor
namun membutuhkan kualitas pelaksanaan terbaik khususnya untuk LPA Kelas A.
Solusi ini akan kurang tepat biayanamun harus dengan kompetensi kontraktor yang
lebih baik.
k. Lapis Pondasi Soil Cement
Digunakan di daerah dengan keterbatasan material berbutir atau jika stabilisasi tanah

2-21
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

dasar akan memberikan harga yang lebih murah.

2.7.3. Desain Pondasi Jalan


a. Pendahuluan
Desain pondasi jalan adalah desain perbaikan tanah dasar dan lapis penopang
(capping), tiang pancang mikro, drainase vertikal dengan bahan strip (wick
drain) atau penanganan lainnya yang dibutuhkan untuk memberikan landasan
pendukung struktur perkerasan lentur dan perkerasan kaku dan sebagai akses untuk
lalu lintas konstruksi pada kondisi musim hujan.
Tiga faktor yang paling berpengaruh pada desain perkerasan adalah analisis
lalu lintas, evaluasi tanah dasar dan penilaian efek kelembaban. Daya dukung tanah
dasar dan toleransi terhadap efek kelembaban akan dibahas dalam sub bab ini. Pada
perkerasan berbutir dengan lapisan permukaan aspal tipis (≤ 100 mm), kesalahan
dalam evaluasi tanah dasar dapat menyebabkan perbedaan daya dukung lalu lintas
sampai 10 kali lipat (contoh: perkiraan CBR 6% namun kenyataan hanya 4%).
Masalah tersebut tidak akan memberikan perbedaan yang begitu besar pada
perkerasan dengan lapisan aspal yang tebal (≥ 100 mm), tetapi perbedaan tersebut
masih tetap signifikan. Artinya penetapan nilai kekuatan tanah dasar yang akurat
dan solusi desain pondasi jalan yang tepat merupakan persyaratan utama untuk
mendapatkan kinerja perkerasan yang baik. Persiapan tanah dasar yang baik
sangatlah penting terutama pada daerah tanah dasar lunak.
Kerusakan perkerasan banyak terjadi selama musim penghujan. Kecuali jika tanah
dasar tidak dapat dipadatkan seperti tanah asli pada daerah tanah lunak, maka daya
dukung tanah dasar desainhendaknya didapat dengan perendaman selama 4 hari,
dengan nilai CBR pada 95% kepadatan kering maksimum Berdasarkan kriteria
tersebut, CBR untuk timbunan biasa dan tanah dasar dari tanah asli di Indonesia
umumnya 4% atau berkisar antara 2,5% -7%.
Desain ersering berasumsi bahwa dengan material setempat dapat dicapai CBR
untuk lapisan tanah dasar sebesar 6%, yang seringkali hal ini tidak tercapai.
Karena itu perlu dilakukan pengambilan sampel dan pengujian yang memadai.
Perkerasan membutuhkan tanah dasar yang:
1. Memiliki setidaknya CBR rendaman minimum desain

2-22
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

2. Dibentuk dengan baik


3. Terpadatkan dengan benar
4. Tidak sensitif terhadap hujan
5. Mampu mendukung lalu lintas konstruksi.
Pada kegiatan konstruksi, untuk dapat melaksanakan pemadatan yang benar pada
setiap lapis pekerasan, maka sangat penting untuk mengendalikan kadar air tanah
dasar menggunakan sistem drainase, pelapisan bahu jalan, dan geometri jalan.
Musim hujan yang cukup panjang serta curah hujan yang tinggi membuat
pekerjaan pemadatan tanah dasar relatif lebih sulit. Oleh sebab itu, memberikan
solusi konservatif yang sesuai, Untuk semua kasus kecuali yang membutuhkan lapis
penopang, maka tingkat pemadatan yang disyaratkan harus dapat dicapai baik untuk
tanah dasar atau pada timbunan. Pemadatan tanah dasar sering kali diabaikan di
Indonesia. Kontraktor dan Supervisi harus memberikan perhatian lebih pada masalah
ini.
b. Umur Rencana Pondasi jalan
Umur rencana pondasi jalan untuk semua perkerasan baru maupun pelebaran
digunakan minimum 40 tahun karena:
1. Pondasi jalan tidak dapat ditingkatkan selama umur pelayanannya kecuali dengan
rekonstruksi total;
2. Keretakan dini akan terjadi pada perkerasan kaku pada tanah lunak yang
pondasi-nya didesain lemah (under design);
3. Perkerasan lentur dengan desain pondasi lemah (under design), umumnya
selama umur rencana akan membutuhkan perkuatan dengan lapisan aspal
struktural, yang berarti biayanya menjadi kurang efektif bila dibandingkan
dengan pondasi jalan yang didesain dengan umur rencana lebih panjang.
c. Outline Prosedur Desain Pondasi jalan
Empat kondisi lapangan yang mungkin terjadi dan harus dipertimbangkan dalam
prosedur desain pondasi jalan adalah:
1. Kondisi tanah dasar normal, dengan ciri - ciri nilai CBR lebih dari 3% dan
dapat dipadatkan secara mekanis. Desain ini meliputi perkerasan diatas
timbunan, galian atau tanah asli.
2. Kondisi tanah dasar langsung diatas timbunan rendah (kurang dari 3m)

2-23
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

diatas tanah lunak aluvial jenuh. Prosedur laboratorium untuk penentuan


CBR tidak dapat digunakan untuk kasus ini, karena optimasi kadar airdan
pemadatan secara mekanis tidak mungkin dilakukan di lapangan. Lebih
lanjutnya, tanah asli akan menunjukkan kepadatan rendah dan daya
dukung yang rendah sampai kedalaman yang signifikan yang
membutuhkan prosedur stabilisasi khusus.
3. Kasus yang sama dengan kondisi B namun tanah lunak aluvial dalam
kondisi kering. Prosedur laboratorium untuk penentuan CBR memiliki
validitas yang terbatas karena tanah dengan kepadatan rendah dapat
muncul pada kedalaman pada batas yang tidak dapat dipadatkan dengan
peralatan konvensional. Kondisi ini membutuhkan prosedur stabilisasi khusus
4. Tanah dasar diatas timbunan diatas tanah gambut.

menggambarkan proses desain untuk desain pondasi jalan untuk tanah selain
gambut, menyajikan solusi pondasi jalan minimum selain kasus khusus untuk
perkerasan kaku diatas tanah lunak.
d. Metode A untuk Tanah Normal
Kondisi A1 : Apabila tanah tanah dasar bersifat plastis atau berupa lanau,
tentukan nilai batas-batas Atterberg (PI), gradasi, nilai Potensi Pengembangan
(Potential Swell), letak muka air tanah, zona iklim, galian atau timbunan dan
tetapkan nilai CBR dari BaganDesain1 atau dari uji laboratorium perendaman 4 hari.
Kondisi A2 : Apabila tanah dasar bersifat berbutir atau tanah residual
tropis (tanah merah, laterit), nilai desain daya dukung tanah dasar harus
dalam kondisi 4 hari rendaman, pada nilai 95% kepadatan kering modifikasi.
Untuk kedua kondisi, pilih tebal perbaikan tanah dasar Metode B untuk Tanah
Aluvial Jenuh
Lakukan survei DCP atau survei resistivitas dan karakterisasi tanah
untuk mengidentifikasi sifat dan kedalaman tanah lunak dan daerah yang
membutuhkan perbaikan tambahan (sebagai contoh daerah yang membutuhkan
lapis penopang, konstruksi perkerasan khusus, pondasi
cakar ayam atau pancang mikro). Jika tanah lunak terdapat dalam
kedalaman kurang dari 1 m, maka opsi pengangkatan semua tanah

2-24
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

lunak perlu ditinjau keefektivitas biayanya.Jika tidak, tetapkan tebal


lapisan penopang (capping layer) dan perbaikan tanah dasar. Tetapkan waktu
perkiraan awal pra-pembebanan dari
4.
Tabel 2. 14 Estimasi Waktu Pra-Pembebanan Timbunan diatas Tanah Lunak

Sesuaikan waktu perkiraan awal tersebut (umumnya primary settlement time)


jika dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan jadwal pelaksanaan melalui analisis
geoteknik dan pengukuran seperti beban tambahan (surcharge) atau vertikal
drain.
Jika tidak ada contoh atau pengalaman yang mendukung kecukupan
desain lapis penopang atau desain lainnya untuk kondisi sejenis, maka
perlu dilakukan uji timbunan percobaan dan pengujian pembebanan
untuk verifikasi.
e. Metode C untuk tanah alluvial kering
Tanah alluvial kering pada umumnya memiliki kekuatan sangat rendah
(misal CBR < 2%) di bawah lapis permukaan kering yang relatif keras.
Kedalaman lapisan permukaan tersebut berkisar antara 400 - 600 mm.
Identifikasi termudah untuk kondisi ini adalah menggunakan uji
DCP. Kondisi ini umumnya terdapat pada dataran banjir kering dan area
sawah kering.
Masalah terbesar dari kondisi tanah seperti ini adalah daya dukung yang
memuaskan dapat hilang akibat pengaruh dari lalu lintas konstruksi dan
musim hujan. Karenanya penanganan pondasi harus sama dengan
penanganan kasus tanah aluvial jenuh, kecuali jika perbaikan lanjutan
dilakukan setelah pelaksananpondasi jalan selesai pada musim kering,
jika tidak perbaikan metode B harus dilakukan. Metode perbaikan

2-25
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

LAPORAN PENDAHULUAN

lanjutan tersebut adalah:


1. Jika lapis atas dapat dipadatkan menggunakan pemadat pad foot roller, maka
tebal lapis penopang dapat dikurangi sebesar 200 mm.
2. Digunakan metode pemadatan dalam terbaru misal High energy
Impact Compaction (HEIC) atau pencampuran tanah dalam yang
dapat mengurangi kebutuhan lapis penopang.

2-26
LAPORAN PENDAHULUAN
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

Gambar 2. 16 Bagan Alir Desain Pemilihan Metode Desain Pondasi Jalan

Pekerjaan : Perencanaan Pelebaran Jalan Kabupaten Bandung


2-27
LAPORAN PENDAHULUAN
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

Tabel 2. 15 Perkiraan Nilai CBR Tanah Dasar

Tabel 2.16 Solusi Desain Pondasi Jalan Minimum3

Pekerjaan : Perencanaan Pelebaran Jalan Kabupaten Bandung


2-28
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

f. Pondasi Jalan untuk Tanah Ekspansif


Tanah ekspansif didefinisikan sebagai tanah dengan Potensi Pengembangan
(Potential Swell) melebihi 5%. Persyaratan tambahan untuk desain pondasi jalan
diatas tanah ekspansif (prosedur AE) adalah sebagai berikut:
1. Lapis penopang diatas lapisan ekspansif yang mempunyai Potensi
Pengembangan (Potential Swell) melebihi 5% harus diberi lapisan penopang
dengan tebal minimum seperti . Potensi Pengembangan (Potential Swell)
didefinisikan sebagai pengembangan yang diukur dalam metode uji CBR (SNI
No 03-1774-1989 pada kadar air optimum dan 100% Kepadatan Kering
Maksimum). Bagian atas dari lapis penopang atau lapis timbunan pilihan harus
memiliki
2. Variasi kadar air tanah dasar harus diminimasi. Pilihannya termasuk pemberian
lapis penutup (seal) untuk bahu jalan, drainase permukaan yang diberi
pasangan, pemasangan saluran penangkap (cut off drains), penghalang aliran.
Drainase bawah permukaan digunakan jika penggunaannya menghasilkan
penurunan variasi kadar air.
g. Penanganan Tanah Gambut
Penyelidikan geoteknik dibutuhkan untuk semua daerah tanah gambut. Analisis
geoteknik harus sudah termasuk penentuan pembebanan awal (preload) dan waktu
penurunan dan CBR efektif dari bagian atas lapis penopang. Pondasi harus
memenuhi ketentuan minimum , namun ketentuan tersebut umumnya tidak
mencukupi. Konstruksi harus dilaksanakan bertahap untuk mengakomodasi
terjadinya konsolidasi sebelum penghamparan lapis perkerasan
beraspal.Konsolidasi harus dipantau dengan menggunakan pelat penurunan
(settlement plate). Tinggi timbunan harus diminimasi tapi harus memenuhi
ketentuan, termasuk akomodasi konsolidasi setelah konstruksi. Jika dibutuhkan
timbunan tinggi, contohnya untuk oprit jembatan, struktur jembatan harus
diperpanjang atau timbunan harus dipancang untuk mengurangi beban lateral pada
tiang pancang jembatan. Kemiringan timbunan tidak boleh lebih curam dari 1
banding 3 kecuali terdapat bordes (berm). Drainase lateral harus diletakkan pada
jarak yang memadai dari kaki timbunan untuk menjamin stabilitas. Bordes (berm)
harus disediakan jika dibutuhkan untuk meningkatkan stabilitas timbunan. Jika

Pekerjaan : Perencanaan Pelebaran Jalan Kabupaten Bandung


2-29
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

pengalaman terdahulu dari kinerja jalan akibat lalu lintas diatas tanah gambut
terbatas, maka timbunan percobaan harus dilaksanakan. Timbunan percobaan
harus di monitor untuk memverifikasi stabilitas timbunan, waktu pembebanan, dan
data lainnya. Tidak boleh ada pelaksanaan pekerjaan sebelum percobaan selesai.
Setiap lokasi memiliki waktu pembebanan awal yang berbeda.
Dibutuhkan penyelidikan geoteknik untuk menentukan waktu pembebanan awal
tanah gambut.
h. Perkerasan kaku tidak boleh dibangun diatas tanah gambut.
1. CBR Karakteristik
Prosedur dalam penentuan daya dukung untuk tanah normal adalah sebagai
berikut:
a) Tentukan CBR rendaman 4 hari dari permukaan tanah asli pada elevasi
tanah dasar untuk semua area diatas permukaan tanah, untuk daerah
galian yang mewakili jika memungkinkan, dan untuk material timbunan
biasa, timbunan pilihan dan material dari sumber bahan (borrow material)
atau tentukan dengan Identifikasi awal seksi seragam (homogen) secara
visual dapat mengurangi jumlah sampel yang dibutuhkan. Daerah terburuk
secara visual harus dimasukkan dalam serangkaian pengujian. Perlu dicatat
apakah daerah terburuk tersebut diisolasi dan dapat dibuang maka harus
dicatat
b) Identifikasi segmen tanah dasar yang mempunyai daya dukung seragam
berdasarkan data CBR, titik perubahan timbunan/galian, titik perubahan
topografi lainnya dan penilaian visual. Variasi segmen seringkali terjadi
pada lokasi perubahan topografi.
c) Identifikasi segmen tanah dasar yang mempunyai daya dukung seragam
berdasarkan data CBR, titik perubahan timbunan/galian, titik perubahan
topografi lainnya dan penilaian visual. Variasi segmen seringkali terjadi
pada lokasi perubahan topografi) Mengidentifikasi kondisi-kondisi
yang memerlukan perhatian khusus
seperti: lokasi dengan muka air tanah tinggi; lokasi banjir (tinggi banjir 10
tahunan harus ditentukan) daerah yang sulit mengalirkan
air/drainase yang membutuhkan faktor koreksi m; daerah yang

Pekerjaan : Perencanaan Pelebaran Jalan Kabupaten Bandung


2-30
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

terdapat aliran bawah permukan /rembesan (seepage); daerah dengan tanah


bermasalah seperti tanah alluvial lunak/tanah ekspansif/tanah gambut.
2. Penentuan Segmen Tanah Dasar Seragam
Panjang rencana jalan harus dibagi dalam segmen - segmen yang seragam
(homogen) yang mewakili kondisi pondasi jalan yang sama:
a) Apabila data yang cukup valid tersedia (minimal 163 data pengujian
persegmen yang dianggap seragam), formula berikut dapat
digunakan:
CBR karakteristik= CBR rata2 - 1.3 x standar deviasi
Data CBR dari segmen tersebut harus mempunyai koefisien variasi 25% -
30% (standar deviasi/nilai rata-rata).
b) Bila set data kurang dari 16 bacaan maka nilai wakil terkecil dapat
digunakan sebagai nilai CBR dari segmen jalan. Nilai yang rendah
yang tidak umum dapat menunjukkan daerah tersebut membutuhkan
penanganan khusus, sehingga dapat dikeluarkan, dan penanganan
yang sesuai harus disiapkan
Nilai CBR karakteristik untuk desain adalah nilai minimum sebagaimana
ditentukan diatas untuk data valid dari:
a) Data CBR laboratorium rendaman 4 hari, atau
b) data DCP yang disesuaikan dengan musim, atau
c) Nilai CBR yang ditentukan dari batas atterberg
3. Alternatif Pengukuran Daya Dukung
Hasil-hasil pengujian DCP hanya dapat digunakan secara langsung
untuk memperkirakan nilai CBR bila saat pengujian kadar air tanah
mendekati kadar air maksimum. Tidaklah selalu dimungkinkan untuk
merencanakan program pengujian selama musim hujan, maka untuk
menentukan nilai CBR sebaiknya digunakan hasil uji CBR laboratorium
rendaman dari contoh lapangan. Kecuali untuk tanah dengan kondisi
berikut:
a) Tanah rawa jenuh mempunyai sifat sulit untuk dipadatkan di
lapangan. Untuk kasus tanah rawa jenuh, CBR hasil laboratorium
tidak relevan. Pengukuran CBR dengan DCP akan menghasilkan

Pekerjaan : Perencanaan Pelebaran Jalan Kabupaten Bandung


2-31
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

estimasi yang lebih handal.


b) Lapisan lunak atau kepadatan rendah (umumnya 1200 - 1500
kg/m3) yang terletak di bawah lapisan keras yang terletak di bawah
muka tanah dasar desain. Kondisi ini sering terjadi pada daerah
alluvial kering terkonsolidasi. Kondisi ini harus diidentifikasi dengan
pengujian DCP dan harus diperhitungkan dalam penentuan desain.
Data lendutan dapat juga digunakan untuk menentukan modulus tanah dasar dari
tanah dasar yang dipadatkan sebelumnya. misalnya dengan menggunakan data
LWD (light weight deflectometer), yang dikalibrasi baik dengan metode
AASHTO atau metode mekanistik dengan perhitungan mundur. Tapi metode ini
harus digunakan dengan hati-hati dan harus didukung dengan pengujian CBR
langsung Jika modulus tanah dasar diestimasi dengan DCP atau data lendutan
maka sangat penting untuk menyesuaikan modulus yang didapat dengan variasi
musiman.Perbedaan antara modulus musim kering dan musim hujan dapat
bervariasi sebesar tiga kali lipat atau lebih. Faktor penyesuaian harus diestimasi
dengan data lendutan musim kemarau dan musim hujan. Faktor penyesuaian
dari dapat digunakan sebagai nilai minimum. Penyelidikan sangat
diutamakan untuk dilaksanakan setelah musim hujan yang panjang untuk
mengurangi ketidakpastian terkait dengan penentuan pada musim kemarau.
Tabel 2. 17 Faktor Penyesuaian Modulus Tanah Dasar Akibat Variasi Musiman

Nilai desain (CBR/lendutan) = (hasil bacaan DCP atau data lendutan) x faktor
penyesuaian
Pendekatan umum untuk desain pondasi harus diambil konservatif, yang
mengasumsikan kondisi terendam pada tingkat pemadatan yang disyaratkan.
4. CBR Ekivalen untuk Tanah Dasar Normal untuk Perkerasan Kaku
Termasuk dalam perbaikan tanah dasar adalah penggunaan material timbunan
pilihan, stabilisasi kapur, atau stabilisasi semen. Pekerjaan pelebaran

Pekerjaan : Perencanaan Pelebaran Jalan Kabupaten Bandung


2-32
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

perkerasan pada area galian sering terjadi pada daerah yang sempit atau tanah
dasar yang dibentuk tak teratur, yang sulit untuk distabilisasi.Dalam kasus
ini maka timbunan pilihan lebih diutamakan.
Jika stabilisasi kapur atau semen digunakan daya dukung dari material
stabilisasi yang digunakan untuk desain harus diambil konservatif dan tidak
lebih dari nilai terendah dari:
a) Nilai yang ditentukan dari uji laboratorium rendaman 4 hari;
b) Tidak lebih dari empat kali lipat daya dukung material asli yang digunakan
untuk stabilisasi;
c) Tidak lebih besar dari nilai yang diperoleh dari formula:
CBRlapis atas tanah dasar distabilisasi= CBRtanah aslix 2^(tebal tanah dasar stabilisasi/150)
5. Formasi Tanah Dasar diatas Muka Air Tanah dan Muka Air Banjir
Tinggi minimum tanah dasar diatas muka air tanah dan muka air banjir
ditentukan dalam

Tabel 2. 18 Tinggi Minimum Tanah Dasar Diatas Muka Air Tanah dan Muka Air Banjir

2.7.4. Desain Perkerasan


a. Struktur Perkerasan
Solusi pekerasan yang banyak dipilih yang didasarkan pada pembebanan dan
pertimbangan biaya terkecil diberikan dalam Perkerasan Lentur, Pelaburan,
Perkerasan Tanah Semen, dan Perkerasan Berbutir dan Perkerasan Kerikil. Solusi
lain dapat diadopsi untuk menyesuaikan dengan kondisi setempat tetapi disarankan
untuk tetap menggunakan bagan sebagai langkah awal untuk semua desain.

Pekerjaan : Perencanaan Pelebaran Jalan Kabupaten Bandung


2-33
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

Proses desain untuk perkerasan kaku menurut Pd T-14-2003 atau metode 10


Austroad 2004 membutuhkan jumlah kelompok sumbu dan spektrum beban dan
tidak membutuhkan nilai CESA. Jumlah kelompok sumbu selama umur rencana
digunakan sepagai input.

Pekerjaan : Perencanaan Pelebaran Jalan Kabupaten Bandung


2-34
LAPORAN PENDAHULUAN
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

Tabel 2. 19 Desain Perkerasan Lentur opsi biaya minimum termasuk CTB 1

Pekerjaan : Perencanaan Pelebaran Jalan Kabupaten Bandung


2-35
LAPORAN PENDAHULUAN
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN

Tabel 2.20 Desain Perkerasan Lentur- Aspal dengan Pondasi Berputir

Pekerjaan : Perencanaan Pelebaran Jalan Kabupaten Bandung


2-36
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

Tabel 2. 21 Perkerasan Berbutir dengan Lapis Aspal Tipis

Tabel 2.22 Perkerasan Tanah Semen (Soil Cement)

Catatan:
1. desain 6 digunakan untuk semua tanah dasar dengan CBR > 3%. Ketentuan desain 2
tetap berlaku untuk tanah dasar yang lebih lemah.
2. Stabilisasi satu lapis lebih 200 mm sampai 300 mm diperbolehkan jika disediakan
peralatan stabilisasi yang memadai dan untuk pemadatan digunakan pad-foot roller
berat statis minimum 18 ton.
3. Bila catatan 2 diterapkan, lapisan distabilisasi pada desain 5 atau desain 6 boleh
dipasang dalam satu lintasan dengan persyaratan lapisan distabilisasi dalam desain 2
sampai maksimum 300 mm.
4. Gradasi Lapis Pondasi Agregat Kelas A harus dengan ukuran nominal maksimum 30
mm jika dihamparkan dengan lapisan kurang dari 150 mm.

2-37
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

5. Hanya kontraktor berkualitas dan mempunyai peralatan diperbolehkan melaksanakan


pekerjaan Burda atau pekerjaan Stabilisasi.
6. Solusi yang tidak menyelesaikan kendala menurut desain 6 dapat ditentukan
menggunakan grafik yang diberikan LAMPIRAN C.
Tabel 2.23 Perkerasan Kaku Untuk Jalan dengan Beban Lalu Lintas Rendah
(Perkerasan beton untuk lalu lintas rendah, jalan untuk kendaraan niaga)

2.8. Perencanaan Teknik Pekerjaan Drainase


2.8.1. Umum
Setiap daerah pengaliran sungai mempunyai sifat-sifat khusus yang berbeda, hal ini
menyebabkan ketidaktentuannya suatu teori yang akan cocok diterapkan pada daerah
pengaliran. Karena itulah sebelum memulai perencanaan drainase akan disajikan kajian
pustaka yang akan digunakan dalam perencanaan. Dengan kajian pustaka ini dapat
ditentukan spesifikasi-spesifikasi yang akan menjadi acuan dalam pelaksanaan
pekerjaan konstruksi tersebut.
2.8.2. Analisa Hidrologi
Hidrologi adalah bidang pengetahuan yang mempelajari kejadian-kejadian serta
penyebab air alamiah di bumi. Faktor hidrologi yang sangat berpengaruh adalah curah
hujan (presipitasi). Curah hujan pada suatu daerah merupakan salah satu faktor yang
menentukan besarnya debit banjir yang terjadi pada daerah yang menerimanya.
2.8.3. Perhitungan Curah Hujan Wilayah
Data curah hujan dan debit merupakan data yang paling fundamental dalam
perencanaan/penelitian. Analisa data hujan dimaksudkan untuk mendapatkan besaran
curah hujan dan analisa statistik yang diperhitungkan dalam perhitungan debit banjir
rencana. Data curah hujan yang dipakai untuk perhitungan dalam debit banjir adalah
hujan yang terjadi pada daerah aliran sungai pada waktu yang sama.

2-38
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

Adapun metode yang digunakan dalam perhitungan curah hujan ada tiga macam cara :
a. Cara Tinggi Rata-Rata
Tinggi rata-rata curah hujan yang didapatkan dengan mengambil nilai rata-rata
hitung (arithmetic mean) pengukuran hujan di pos penakar-penakar hujan didalam
areal tersebut. Jadi cara ini akan memberikan hasil yang dapat dipercaya jika pos-
pos penakarnya ditempatkan secara merata di areal tersebut, dan hasil penakaran
masing-masing pos penakar tidak menyimpang jauh dari nilai rata-rata seluruh pos
di seluruh areal.

dengan :
d = tinggi curah hujan rata-rata
d1, d2 … …dn = tinggi curah hujan pada pos penakar 1, 2, …n
n = banyaknya pos penakar
(Sumber : C.D. Soemartono, Hidrologi Teknik)
b. Cara Poligon Thiessen
Menurut Kiyotaka Mori dkk (977), metode ini sering digunakan pada analisa
hidrologi karena metode ini lebih teliti dan obyektif dibanding metode lainnya dan
metode ini digunakan pada daerah yang memiliki titik pengamatan yang tidak
merata. Cara ini adalah dengan memasukkan faktor pengaruh daerah yang diwakili
oleh stasiun hujan yang disebut faktor pembobotan atau koefisien Thiessen. Untuk
pemilihan stasiun hujan yang dipilih harus meliputi daerah aliran sungai yang akan
dibangun. Besarnya koefisien Thiessen tergantung dari luas daerah pengaruh stasiun
hujan yang dibatasi oleh poligon-poligon yang memotong tegak lurus pada tengah-
tengah garis penghubung stasiun. (Gambar 2.17)
Setelah luas pengaruh tiap-tiap stasiun didapat, maka koefisien Thiessen dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut :

2-39
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

Dimana :
C = Koefisien Thiessen
Ai= Luas pada daerah pengamatan
A = Luas total dari DAS
R = Curah hujan rata-rata
RI, R2 = Curah hujan ditiap titik pengukuran (stasiun)

Gambar 2. 17 Metode Thiessen


c. Cara Isohyet
Dengan cara ini, kita menggambar dulu kontur tinggi hujan yang sama (isohyet),
seperti terlihat pada Gambar 2.18. kemudian luas bagian diantara isohyet-isohyet
yang berdekatan diukur, dan nilai rata-ratanya dihitung sebagai nilai rata-rata
timbang nilai kontur, sebagai berikut :

2-40
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

Gambar 2. 18 Metode Isohnyet

Dimana :
A (A1+A2+….An ) = luas area total
d = tinggi curah hujan rata-rata areal
do, d1, …dn = curah hujan pada isohyet 0, 1, 2, ….n

2.8.4. Perhitungan Curah Hujan Rencana


a. Metode Gumbel
Adapun rumus-rumus yang digunakan dalam perhitungan curah hujan rencana
dengan metode gumbel adalah metode Gumbel adalah sebagai berikut :

∑ ( )

Dimana :

2-41
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

Tabel 2.24 Reduced Mean (Yn)


No 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
0.49 0.49 0.50 0.51 0.51 0.51 0.51 0.52 0.52
52 96 70 00 28 57 81 02 20
0.52 0.52 0.52 0.52 0.52 0.53 0.58 0.58 0.53 0.53
2
36 52 68 83 96 00 20 82 43 53
0.53 0.53 0.53 0.53 0.53 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54
30
63 71 80 88 96 00 10 18 24 30
0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54
40
63 42 48 53 58 68 68 73 77 81
0.54 0.54 0.54 0.54 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55
50
85 89 93 97 01 04 08 11 15 18
0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55
60
21 24 27 30 33 35 38 40 43 45
0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55
70
48 50 52 55 57 59 61 63 65 67
0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55
80
69 70 72 74 76 78 80 81 83 85
0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55
90
86 87 89 91 92 93 95 96 98 99
100

Tabel 2.25 Reduced Standard Deviation (Sn)


No 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0.94 0.96 0.98 0.99 1.00 1.02 1.03 1.04 1.04 1.05

2-42
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

No 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
96 .76 33 71 95 06 16 11 93 65
1.06 1.06 1.07 1.08 1.08 1.09 1.09 1.10 1.10 1.10
20
28 96 54 11 64 15 61 04 47 80
1.11 1.11 1.11 1.12 1.12 1.12 1.13 1.13 1.13 1.13
30
24 59 93 26 55 85 13 39 63 88
1.14 1.14 1.14 1.14 1.14 1.15 1.15 1.15 1.15 1.15
40
13 36 58 80 99 19 38 57 74 90
1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.17 1.17 1.17
50
07 23 38 58 67 81 96 08 21 34
1.17 1.17 1.17 1.17 1.17 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18
60
47 59 70 82 93 03 14 24 34 44
1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.19 1.19 1.19 1.19
70
54 63 73 81 90 98 06 15 23 30
1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.20
80
38 45 53 59 67 73 80 87 94 01
1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20
90
07 13 26 32 38 44 46 49 55 60
1.20
100
65

Tabel 2.26 Return Period A Function of Reduced Variete (Yt)


Periode Ulang Reduced Variate
2 0.3665
5 1.4999
10 2.2502
20 2.9606
25 3.1985
50 3.9019
100 4.6001

2-43
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

200 5.2960
500 6.2140
1000 6.9190
5000 8.5390
10000 9.9210

b. Metode Log Normal


Rumus yang digunakan dalam perhitungan metode ini adalah sebagaii berikut :
Rt = X + Kt * S
Dimana :
Rt = besarnya curah hujan yang mungkin terjadi pada periode ulang T tahun
S = standar deviasi
X = curah hujan rata-rata
Kt = standar variable untuk periode ulang T tahun
(Sumber : Sri Harto, Dipl, H, Hidrologi Terapan)

Tabel 2. 27 Standard Variable (KT)


T Kt T Kt T Kt
1 -186 20 1.89 96 3.34
2 0.22 25 2.10 100 3.45
3 0.17 30 2.27 110 3.53
4 0.44 35 2.41 120 3.62
5 0.64 40 2.54 130 3.70
6 0.81 45 2.65 140 3.77
7 0.95 50 2.75 150 3.84
8 1.06 55 2.86 160 3.91
9 1.17 60 2.93 170 3.97
10 1.26 65 3.02 180 4.03
11 1.35 70 3.08 190 2.09
12 1.43 75 3.60 200 4.14

2-44
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

13 1.50 80 3.21 221 4.24


14 1.57 85 3.28 240 4.33
15 1.63 90 3.33 260 4.42

c. Metode Distribusi Log Person III


Rumus yang digunakan dalam perhitungan metode ini adalah sebagai berikut :

∑( )
[( ) ( )]

Dimana :

2.8.5. Uji Keselarasan


Untuk menentukan pola distribusi data curah hujan rata-rata yang paling sesuai dari
beberapa perhitungan metode distribusi statistik yang telah dilakukan , digunakan uji
keselarasan. Ada dua jenis uji keselarasan (Godnes of fit test), yaitu uji keselarasan Chi
square dan Smirniv Kolmogorof. Pada test ini biasanya yang diminati adalah nilai hasil
perhitungan yang diharapkan.
a. Uji keselarasan Chi Square
Rumus : f2 =  (Ei – Oi)2 / Ei
Dimana :
f2 = harga Chi Square
Oi = jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok ke-1
Ei = jumlah nilai teoritis pada sub kelompok ke-1

2-45
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

Dari hasil pengamatan yang didapat, dicari yang penyimpangannya dengan Chi kuadrat
kritis (didapat dari Tabel 3.29) paling kecil. Untuk suatu nilai nyata tertentu (level of
significant) yang sering diambil adalah 5%.
Derajat kebebasan ini secara umum dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Dk = n-3
Dimana :
Dk = derajat kebebasan
n = banyaknya data
Tabel 2. 28 Nilai Chi Kuadrat Kritis dengan significant 5%
Ok Oist.f 2 Ok OistJ 2 Ok Oist.f 2
1 3.841 11 19.575 21 32.671
2 5.991 12 21.026 22 33.924
3 7.815 13 22.362 23 35.172
4 9.451 14 23.605 24 36.415
5 11.070 15 24.996 25 37.652
6 12.592 16 26.296 26 40.005
7 14.067 17 27.587 27 40.113
8 15.507 18 28.869 28 41.007.
9 16.919 19 30.144 29 . 42.557
10 18.307 20 31.410 30 43.773
b. Uji keselarasan Smirnov Kolmogorof
Dengan membandingkan probabilitas untuk tiap variabel dari distribusi empiris
dan teoritis didapat perbedaan (A) tertentu. Rumus :  = P max / P(x) - P(xi) / Cr
Tabel 2. 29 Nilai Delta Kritis untuk Uji Keselarasan Kolmogorov Smirnov

n
0.20 0.10 0.05 0.01
5 0.45 0.51 0.56 0.67
10 0.32 0.37 0.41 0.49
15 0.27 0.30 0.34 0.40
20 0.23 0.26 0.29 0.36

2-46
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

25 0.21 0.24 0.27 0.32


30 0.19 0.22 0.24 0.29
35 0.18 0.20 0.23 0.27
40 0.17 0.19 0.21 0.25
45 0.16 0.18 0.20 0.24
50 0.15 0.17 0.19 0.23
n > 50 1.07/n 1.22/n 1.36/n 1.63/n

c. Lengkung Massa Ganda


Jika data curah hujan tidak konsisten karena perubahan atau gangguan lingkungan
di sekitar tempat penakar hujan dipasang, misalnya,. penakar hujan terlindung oleh
pohon, terletak berdekatan dengan gedung tinggi, perubahan cara penakaran dan
pencatatan, pemindahan letak penakar dan sebagainya, memungkinkan terjadi
penyimpangan terhadap trend semula. Hal tersebut dapat diselidiki dengan
menggunakan lengkung massa ganda deperti terlihat pada Gambar 3.29.
Kalau tidak ada perubahan terhadap lingkungan maka akan diperoleh garis ABC.
Tetapi karena pada tahun tertentu terjadi perubahan lingkungan, didapat garis
patah ABC’. Penyimpangan tiba-tiba dari garis semula menunjukkan adanya
perubahan tersebut, yang bukan disebabkan oleh perubahan iklim atau keadaan
hidrologis yang dapat menyebabkan adanya perubahan trend

Gambar 2. 19 Lengkung Massa Ganda

2-47
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

2.8.6. Perhitungan Intensitas Curah Hujan


Perhitungan intensitas curah hujan ini menggunakan Metode Dr. Monobe dengan rumus
sebagai berikut :

R24 = curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)


t = lamanya curah hujan

2.8.7. Perhitungan debit banjir rencana


Untuk mencari debit banjir dari sungai yang akan dianalisa menggunakan metode
sebagai berikut :
a. Hubungan empiris antara curah hujan limpasan
Metode ini paling banyak dikembangkan, sehingga terdapat rumus-rumus antara lain
rumus Rasional, Weduwen, Haspers.
- Rumus Rasional
Rumus : Qr = C.L.A / 3,6 = 0,278C.L.A
Dimana :
Qr = debit maksimum rencana (m3/det)
I = intensitas curah hujan selama konsentrasi (mm/jam)
A = luas daerah aliran (km2)
C = koefisien run off
Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun
waktu dimana air berkonsentrasi. Intensitas curah hujan dilambangkan dengan
botasi I (mm/jam).
 Menurut Dr. Mononobe
Rumus : I = (R24/24)(24/t)0,667
Dimana :
I = intensitas curah hujan
t = lamanya curah hujan
R24 = curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
 Menurut Tolbat (1881)

2-48
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

Rumus : I = a / (t+b)
Dimana :
I = intensitas curah hujan
T = lamanya hujan
A,b = konstanta yang tergantung pada lama curah hujan
di daerah aliran
[ ][ ] [ ][ ]
[ ] [ ][ ]
[ ]* ] [ ]
[ ] [ ][ ]
 Menurut Ishiguro
Rumus : I = a / (t+b)
Dimana :
`I = intensitas hujan
t = lama hujan
a,b = konstanta yang tergantung pada lama curah hujan di daerah aliran
- Koefisien run off
Koefisien run off dipengaruhi oleh jenis lapis permukaan tanah. Setelah melalui
berbagai penelitian, didapatkan koefisien run off seperti yang tertulis dalam Tabel
2.30.
Tabel 2. 30 Harga koefisien Run Off dari Dr. Mononobe
Kondisi daerah pengaliran dan sungai Harga C
Daerah pegunungan yang curam 0.75-0.90
Daerah pegunungan tersier 0.70-0.80
Tanah bergelombang dan hutan 0.50-0.75
Tanah dataran yang ditanami 0.45-0.60
Persawahan yang dialiri 0.70-0.80
Sungai di daerah pegunungan 0.75-0.85
Sungai keeil di dataran 0.45-0.75
Sungai besar yang lebih dari setengah daerah
0.45-0.75
pengalirannya terdiri dari dataran

2-49
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

 Rumus Melchior, Weduwen, Haspers


Rumus Q = ..q.f
Dimana :
 = koefisien run off
 = koefisien reduksi
q = hujan maksimum (m3/km2/dt)
f = luas daerah aliran (km2)
- Koefisien run off ()
Koefisien ini merupakan perbandingan antara run off dengan hujan
Melchior : 0,42 ≤  ≤ 0,62 (diambil 0,52)
Weduwen :  = 1 – (4,1/(q+7)
Harpers :  = (1+0,0127 f2)/(1+0,075 f0,7)
- Koefisien reduksi ()
Koefisien ini diperlukan untuk mendapatkan hujan rata-rata dari hujan
maksimum.

Melchior : t = 1000L / 3600V


Dimana :
L = panjang saluran
V = kecepatan rata-rata = 1.3 (Q/i2)
i = kemiringan saluran = H / 0.9L
H = beda elevasi

2-50
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

2.9. DESAIN DRAINASE


a. Penampang Tunggal

Keterangan :
Q = debit saluran drainase
w = lebar jagaan
L = lebar tanggul
m = kemiringan talud
H = tinggi muka saluran drainase
B = lebar saluran
A = luas penampang basah
P = keliling penampang basah
n = koefisien manning
I = kemiringan saluran
Rumus Desain :
Q = A.V

A = (B + m.H)H

P = B + 2H

R =

V =

b. Penampang Ganda

2-51
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

Keterangan :
Q = debit saluran drainase
w = lebar jagaan
L = lebar tanggul
m = kemiringan talud
H = tinggi muka saluran drainase
B = lebar saluran
A = luas penampang basah
P = keliling penampang basah
n = koefisien manning
I = kemiringan saluran
Rumus Desain :

( )

( ) ( )
( ) ⁄

√ ( )

√( )

√ ( )

2-52
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

[∑ ]

2.10. Perambuan
2.10.1. Standar Perencanaan
Standar perencanaan perangkat pengendali lalu lintas atau perambuan yang digunakan
sebagai acuan dalam perencanaan adalah sebagai berikut :
a. Keputusan Menteri Perhubungan No.60 tahun 1993 tentang Marka Jalan
b. Keputusan Menteri Perhubungan No.61 tahun 1993 tentang Rambu–rambu Lalu
Lintas di Jalan.
2.10.2. Jenis Rambu
Secara umum jenis rambu di jalan tol dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Rambu Peringatan
1. Rambu peringatan standar (sesuai Tabel I pada Keputusan Menteri Perhbungan
No. KM 61 thun 1993)
2. Rambu peringatan berupa kata-kata.
b. Rambu Larangan
1. Rambu larangan standar (sesuai Tabel II A pada Keputusan Menteri
Perhbungan No. KM 61 thun 1993)
2. Rambu larangan berupa kata-kata.
c. Rambu Petunjuk
1. Rambu Petunjuk Jurusan (RPJ) untuk menyatakan arah agar dapat mencapai
suatu tujun antara lain kota, daerah/wilayah.
2. Rambu Petunjuk bukan Jurusan untuk menyatakan fasilitas umum, batas
wilayah suatu daerah, situasi jalan dan sebagainya.
2.10.3. Ukuran Rambu
Rambu lalu lintas terbagi atas dua ukuran, yaitu:
a. Rambu Ukuran Standar

2-53
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

b. Rambu ukuran standar adalah rambu-rambu yang sesuai tabel I, IIA, IIB dan III dari
Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 61 tahun 1993 dengan ukuran sebagai
berikut :
1. Tipe A : diameter 90 cm dan 90 x 90 cm, untuk kecepatan lebih dari 60
km/jam.
2. Tipe B : diameter 75 cm dan 75 x 75 cm, untuk kecepatan < 60 km/jam
c. Rambu Ukuran Besar (berupa kata – kata)
Ukuran rambu berupa kata – kata ditentukan berdasarkan ukuran huruf, jarak antara
huruf serta jarak ke tepi panel (bukan dengan ukuran standar tertentu).
Ukuran huruf yang digunakan mengacu pada Standard Alphabets for Highway Sign
and Pavement Marking dari Federal Highway Administration (FHWA 1977).
1. Rambu Petunjuk selain Jurusan (warna dasar biru)
Menggunakan jenis huruf kapital seri D atau E.
2. Rambu Petunjuk Jurusan (warna dasar hijau)
Menggunakan jenis huruf kapital seri E (m) untuk huruf awal dan selanjutnya
huruf kecil seri Lc (lower case).
3. Rambu larangan (warna dasar putih)
Menggunakan jenis huruf kapital seri D atau E.
4. Rambu peringatan (warna dasar kuning)
Menggunakan jenis huruf kapital seri D atau E.
2.10.4. Warna Rambu
Warna yang digunakan dalam panel rambu sesuai dengan ketentuan yang ada dalam
Kepmenhub No. 61 tahun 1993 tentang Rambu Lalu Lintas di Jalan.
Warna-warna tersebut adalah :
a. Rambu Peringatan
Warna dasar yang digunakan adalah kuning (reflektif) dengan tulisan, gambar
lambang dan garis tepi berwarna hitam.
b. Rambu Larangan
Warna dasar yang digunakan adalah putih (reflektif) dengan tepi berwarna merah
(reflektif) dan gambar lambang dan tulisan huruf berwarna hitam (reflektif).

2-54
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

Untuk rambu larangan berupa kata-kata warna dasar yang digunakan putih
(reflektif) dan garis tepi berwarna merah (reflektif) tebal 8 cm yang dimulai dari tepi
panel.
c. Rambu Perintah
Warna dasar yang digunakan adalah biru (reflektif) dan lambang atau tulisan putih
(reflektif) dan garis tepi berwarna putih (relflektif) dengan ketebalan 3 cm untuk
panel ukuran 2,0 x 3,0 m dan 5 cm untuk panel ukuran lebih besar. Garis tepi
dimulai dari tepi panel.
d. Rambu Petunjuk
Rambu petunjuk terdapat beberapa macam warna yang digunakan yaitu :
1. Rambu petunjuk bukan jurusan
Warna dasar yang digunakan adalah biru (reflektif), simbol berwarna hitam
dan tulisan berwarna putih (reflektif)
Pada rambu petunjuk bukan jurusan berupa kata-kata warna dasar yang
digunakan adalah biru (reflektif) serta tulisan dan garis tepi berwarna putih
(reflektif) dari tepi panel.
2. Rambu petunjuk jurusan
Warna dasar yang digunakan hijau (reflektif), simbol, tulisan dan garis tepi
berwarna putih (reflektif) dimulai dari tepi panel.
2.10.5. Jenis Lapisan Reflektif (Reflektive Sheeting)
Lapisan Reflektif yang digunakan sebagai salah satu jenis material rambu di jalan tol
terdiri dari:
a. Engineering Grade (EG), digunakan pada :
1. Rambu-rambu di jalan non tol
2. Rambu-rambu darurat
3. Dasar panel rambu-rambu di jalan tol.
b. High Intensity (HI), digunakan pada tulisan, panah, garis tepi dan logo pengelola
jalan tol yaitu pada :
1. Rambu-rambu di road side, rambu bentuk standar dan rambu berupa kata-kata
2. Semua rambu–rambu di overhead (portal, kupu-kupu dan cantilever)
3. Semua rambu pada jalan dengan lajur lalu lintas lebih dari 2 lajur tiap arah.

2-55
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

2.10.6. Jenis Konstruksi Tiang


Jenis konstruksi tiang yang digunakan sebagai berikut :
a. Kantilever
Digunakan untuk Rambu Petunjuk Jurusan (RPJ) jalan tol luar kota 2 lajur.

b. Kupu – kupu
Digunakan untuk rambu petunjuk jurusan (RPJ) di gore atau pada titik diverging.

c. Dua Tiang Pipa Galvanis


Digunakan untuk rambu-rambu road side seperti rambu larangan atau rambu
petunjuk berupa kata – kata.

d. Satu Tiang Pipa Galvanis


Digunakan untuk rambu ukuran standar

2.10.7. Penempatan Rambu


Agar tidak saling menutupi maka penempatan dan jarak antar rambu dengan rambu
lainnya diatur sebagai berikut :
a. Pada jalur dengan kecepatan rencana rendah ( ≤ 60 km/jam)
1. Untuk rambu ukuran standar : 25 m

2-56
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

2. Untuk rambu ukuran besar : 25 m


b. Pada jalur utama dengan kecepatan rencana tinggi ( > 60 km/jam)
1. Untuk rambu ukuran standar :100 m
2. Untuk rambu ukuran besar : 200 m
Untuk keamanan ruang bebas maka pemasangan rambu di atur sebagai berikut :
a. Rambu dengan kecepatan rendah (Ukuran rambu tipe B :  75 cm dan 75 cm x 75
cm) jarak ke tepi perkerasan adalah : 60 cm.
b. Rambu tipe 2 tiang pipa galvanis, jarak dari tepi bawah panel ke permukaan
perkerasan diukur dari garis marka menerus paling kiri : 210 cm.
c. Kemiringan horizontal sebesar 3o keluar dari garis tegak lurus sumbu jalan.
d. Rambu dengan konstruksi tiang portal, kupu-kupu dan cantalever jarak dari tepi
bawah panel ke permukaan perkerasan minimum 510 cm.
2.10.8. Ukuran dan Tipe Huruf
Untuk rambu berupa kata-kata digunakan jenis dan ukuran huruf sebagai berikut :
Tabel 2. 31 Penggunaan Ukuran dan Type Huruf
Jalur Utama 2
Jenis Rambu Jalan Masuk/Ramp
Lajur
1. Peringatan D 200 D 200
2. Larangan D 200 D 200
D 150 D 150
3. Perintah D 200 D 200
D 150 D 150
4. Petunjuk Jurusan E (M) 265/200 E (M) 330
Lc 200/150 Lc 250
5. Angka Mengikuti seri huruf yang digunakan
Sumber : Penempatan Marka Jalan Pd T-12-2004- B
2.11. Penerangan Jalan Umum (Pju)
Maksud dan tujuan lampu Penerangan Jalan Umum (PJU) adalah untuk mengurangi
terjadinya kecelakaan lalu lintas pada saat cuaca gelap dan untuk membuat lebih
nyaman dan menarik para pemakai jalan.

2-57
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

Perencanaan desain Penerangan Jalan Umum (PJU) dibuat berdasarkan “ Standard


Penerangan Jalan Kota “ dari Dit Jend. Bina Marga 1985 dengan rekomendasi dari
“Japan Road Standard “ dan dari “ Commission International Del Enclairge ( CIE ).
2.11.1. Konsep dan Kriteria Dasar
Dalam perencanaan Penerangan Jalan Umum (PJU), kami mendasarkan pada beberapa
konsep dan kriteria dasar sebagai berikut :
a. Penghematan Biaya Beban Listrik
Untuk mendapatkan penghematan biaya beban listrik maka disini ada 2 (dua)
alternatif yaitu sebagai berikut :
1. Sistim 50% hidup dan 50% padam/mati
Pada saat Volume Traffic relatif rendah, yaitu antara jam 23.00 malam sampai
dengan 6.00 pagi maka secara otomatic timer system akan mematikan 50% dari
lampu penerangan yang ada dan yang hidup hanya 50% saja secara selang-
seling, sehingga kebutuhan daya listrik juga hanya 50%.
2. Sistim Dimming
Pada saat Volume Traffic relatif rendah, yaitu antara jam 23.00 malam sampai
dengan 6.00 pagi maka secara otomatic timer system pada masing-masing
ballast lampu akan mengurangi daya pemakaian lampu hingga 50%, sehingga
seluruh lampu akan menyala lebih redup (tidak secara selang-seling), sehingga
ada penghematan daya listrik 50%.
b. Daerah gelap / black spot
Untuk menghindari terjadinya daerah gelap / black spot pada sepanjang jalan maka
perlu dicapai besaran-besaran sebagai berikut :
Emin 0.50 Emin 0.30
Eav Emax
Dimana : E min = Flux minimum
E av = Flux rata-rata
E max = Flux maximum
Flux = Intensitas illuminasi
c. Illuminasi maximum
Untuk mendapatkan illuminasi/kuat penerangan yang maximum, maka perencanaan
penerangan didasarkan pada factor perkerasan flexible/asphalt, mengingat warna

2-58
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

perkerasan flexible lebih gelap dari pada warna perkerasan rigid, sehingga lebih
banyak cahaya yang diserap.
d. Sistem Timer
Penerangan lampu jalan secara otomatis akan hidup dan padam dengan memakai
systim timer (jam 18.00 – 6.00 hidup dan am 6.00 – 18.00 padam).
2.11.2. Perlengkapan Penerangan
a. Luminaire/Lampu
Lampu untuk penerangan jalan diperlukan persyaratan : umur panjang / awet,
efficiensi tinggi, warna yang bagus / tidak silau, fluktuasi temperture yang aman
dan mempunyai kapasitas lumen per lampu yang tinggi.
Untuk keperluan diatas dapat dipakai lampu “high pressure Sodium” dengan alasan
sebagai berikut :
1. Effisiensi luminasi yang tinggi
2. Tidak silau / minimum glare
3. Biaya pemakaian dan pemeliharaan yang rendah.
Besar lumen adalah sebagai berikut :
1. High pressure SONT 150 W 15000 lumen
2. High pressure SONT 250 W 32000 lumen
3. High pressure SONT 400 W 55000 lumen.
b. Lampu Penerangan Area Luasan
Untuk penerangan area/luasan seperti parkir dan lain-lain, dipakai lampu Sodium
plus 1000 W high mast dengan tiang lampu tinggi 20 – 25 m.
c. Tiang Lampu
Tiang lampu adalah hot dip galvanis tiang baja berdasarkan Standard pada
”Perencanaan Jalan Kota”. Warna cat adalah warna netral alami sesuai dengan
“Peraturan cat Indonesia”.
Secara umum hubungan antara tinggi tiang dan jarak tiang Sesuai dengan panduan
dari Dirjen Bina Marga dapat digambarkan sebagai berikut :

2-59
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

Tabel 2. 32 Peraturan Standar Perencanaan Jalan Kota


Over long
Susunan Tiang Tinggi Jarak
Panjang
Tiang Tiang
(B)
Patern H (M) S (M)
> 1,0 W < 3,0 W
A Satu Sisi B = 0,8
> 1,5 W < 3,5 W
Dua Sisi > 0,7 W
B < 3,0 W 1,8
Zig-zag
> 0,5 W
Dua Sisi < 3,0 W
C > 0,7 W 2,1
Berhadapan < 3,5 W

Keterangan : W = lebar jalan


S = Jarak Tiang
H = Tinggi Tiang
d. Kabel listrik
Kabel tanah adalah kabel yang memakai perlindungan metal (dipakai jenis
NYFGBY) yang ditanam di dalam tanah sedalam 80 cm dan dilindungi dengan
batu bata diatasnya.
Pada lokasi memotong jalan maka kabel diberi pelindung ducting pipa besi
galvanis.
1. Tipe Kabel
a) NYY (3x2,5) mm2 : Didalam tiang
b) NYY + BCC 6 mm2 : Didalam parapet
c) NYFGBY : - Tiang ke tiang dan ke panel Distribusi
- Main Distribution panel ke Distribution panel
- PLN ke Main Distribution panel.
2. Maximum drop voltage / penurunan voltage yang terjadi pada kabel
maximum = 5%.
3. Grounding

2-60
PT.PURNA WAHANA LESTARI KONSULTAN
LAPORAN PENDAHULUAN

Kabel grounding terdiri dari kawat tembaga telanjang dengan cross area yang
sama dengan kabel jaringan pada sistem, dengan minimum cross area = 6
mm2, (BCC).
Batang tembaga dipakai ukuran : 10 mm x 1,5 M dibenam sedalam minimum
1,20 M dibawah finished grade. Tahanan grounding maximum 5 ohm.

2-61

Anda mungkin juga menyukai