TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Dalam merencanakan suatu jalan raya umumnya para insinyur jalan menghindari
pekerjaan galian (cut) dan timbunan (fill) yang besar demi memudahkan pekerjaan sekaligus
menghemat waktu dan biaya pekerjaan. Adapun pihak pengguna kendaraan yang beroperasi
di jalan raya menginginkan jalan yang relatif lurus, tidak ada tanjakan ataupun turunan.
Faktanya keinginan itu sulit kita capai mengingat keadaan permukaan bumi yang relatif tidak
datar. Namun, jalan masih bisa direncanakan selandai mungkin dengan memperhatikan
beberapa faktor agar tidak menimbulkan bahaya bagi penggunanya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan geometrik jalan raya adalah :
• Kelas Jalan
• Kecepatan Rencana
• Alinyemen Horizontal
• Alinyemen Vertikal
• Jarak Pandangan
• Penampang Melintang
• Perhitungan Kubikasi
a. Jalan Kelas I, yaitu jalan arteri atau jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan
bermotor. Ukuran standar yang diperbolehkan melewati jalan Kelas I ini adalah
kendaraan bermotor dengan lebar kurang dari 2,5 meter, ukuran panjang tidak melebihi
18 meter, ukuran paling tinggi 4,2 meter, dan muatan sumbu terberat 10 ton;
b. Jalan Kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui oleh
Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5 m, ukuran panjang tidak
melebihi 12 m, ukuran paling tinggi 4,2 m, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;
c. Jalan Kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui oleh
kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,1 m, ukuran panjang tidak
melebihi 9 m, ukuran paling tinggi kendaraan 3,5 m, dan muatan sumbu terberat 8 ton;
d. Jalan Kelas Khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui oleh kendaraan bermotor yang
memiliki ukuran lebar melebihi 2,5 m, ukuran panjangnya melebihi 18 m, ukuran paling
tinggi kendaraan 4,2 m, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 ton.
Dalam hal ini harus disesuaikan dengan tipe jalan yang direncanakan. Adapun pengaruh
keadaan medan terhadap perencanaan suatu jalan raya meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Tikungan : Jari-jari tikungan pada pelebaran perkerasan diambil sedemikian rupa
sehingga terjamin keamanan dan kenyamanan jalannya kendaraan dan pandangan bebas
harus cukup luas.
b. Tanjakan : Dalam perencanaan diusahakan agar tanjakan dibuat dengan kelandaian
sekecil mungkin.
c. Turunan : Dalam perencanaan diusahakan agar turunan dibuat dengan kelandaian
sekecil mungkin.
V r2
Rmin = ......………………….….(2.1)
127 × ( e + f m )
1432.4
D= ......………………….….(2.2)
Rd
Keterangan :
Rmin = Jari-jari lengkung minimum (m)
D = Derajat lengkung (o)
Vr = Kecepatan Rencana (km/jam)
e = Superlevasi tikungan (%)
f = Koefisien gesekan melintang
Keterangan :
e maks = Superelevasi maksimum (%)
f maks = Koefisien gesekan melintang maksimum
Dmaks = Derajat lengkung maksimum(o)
b. Lengkung peralihan
Lengkung peralihan diperlukan agar supaya pengemudi dapat menyesuaikan
manuver kendaraan pada bagian-bagian geometrik jalan yang bertransisi dari alinyemen
lurus ke lingkaran, atau dari lurus ke lurus atau juga dari alinyemen llingkaran ke
lingkaran. Bentuk lengkung peralihan yang paling sesuai dengan gerakan manuver
kendaraan yang aman dan nyaman berbentuk spiral atau clothoid, yaitu lengkung dengan
radius di setiap titik berbanding terbalik dengan panjang lengkungnya. Fungsi Lengkung
peralihan pada alinyemen horizontal adalah:
a. Membuat gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan dapat berubah secara
berangsur-angsur.
b. Tempat berubahnya kemiringan perkerasan untuk mengimbangi gaya sentrifugal.
c. Tempat dimana dimulainya perubahan lebar perkerasan untuk mengakomodasi
radius putar kendaraan.
d. Memudahkan pengemudi agar tetap pada lajurnya saat menikung.
Berdasarkan Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997, diambil
nilai yang terbesar dari persamaan di bawah ini :
1. Berdasarkan waktu tempuh maksimum (3 detik), untuk melintasi lengkung
peralihan, maka panjang lengkung :
Vr
Ls = ×T ......………………….….(2.6)
3,6
Keterangan :
T = Waktu tempuh = 3 detik
Rd = Jari-jari busur lingkaran (m)
C = Perubahan percepatan 0,3-1,0 disarankan 0,4 m/det2
re =Tingkat pencapaian perubahan kelandaian melintang jalan, sebagai berikut:
Untuk V r ≤ 70 km/ jam Untuk V r ≥ 80 km/ jam
r e maks = 0,035 m/m/det r e ma ks = 0,025 m/m/det
e = Superelevasi
em = Superelevasi Maksimum
en = Superelevasi Normal
c. Pelebaran perkerasan
Pada tikungan sangat bergantung pada:
R = Jari-jari tikungan
β = Sudut tikungan
Vr = Kecepatan rencana
Rumus yang digunakan adalah rumus yang dikutip dari “Dasar-Dasar Perencanaan
Geometrik Jalan (Silvia Sukirman) yaitu :
√{ √ R √
−64+1,25 } + 64− ( Rc −64 ) +1,25
2
B= c
2 2
…....(2.10)
Keterangan:
B= lebar perkerasan yang ditempati satu kendaraan di tikungan pada lajur sebelah
dalam
Rc = radius lajur sebelah dalam - ½ lebar perkerasan + ½ b
b = lebar kendaraan rencana
0,105× V
Z= ......……………..……..(2.11)
√Rc
Bt =n ( B+C ) + Z ………...………....…...(2.12)
Keterangan:
V = kecepatan, km/jam
Bt = lebar total perkerasan di tikungan
Z = lebar tambahan akibat kesukaran mengemudi di tikungan
C=¿ lebar kebebasan samping di kiri dan di kanan kendaraan sebesar 0,5m, 1m,
dan 1,25m cukup memadai untuk jalan dengan lebar lajur 6m, 7m, dan
7,5m.
Sehingga,
∆ b=Bt −B n ......…………………..(2.13)
Keterangan:
∆ b = tambahan lebar perkerasan di tikungan
Bn= lebar total perkerasan pada bagian lurus
Keterangan:
Garis AB : Garis pandangan
Lengkung AB : Jarak pandangan
nTS - ST : Panjang busur lingkaran , m(L)
m : Ordinat tengah sumbu jalur ke penghalang
ф : Setengah sudut pusat busur lingkaran S (°)
S : Jarak pandangan (m)
L : Panjang busur lingkaran (m)
R’ : Radius sumbu lajur sebelah dalam (m)
π . ф. R '
S= ………………………..............(2.14)
90 °
90 ° . s
ф= …..………..…………..............(2.15)
π.R
m=R−(1−cos ф) …..………………..….........….(2.16)
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.2 di bawah ini:
Keterangan:
R = Jari-jari lengkung minimum (m)
∆ = Sudut tangent yang diukur dari gambar trase (°)
E s = Jarak PI ke lengkung peralihan (m)
L = Panjang bagian tikungan (m)
T = Jarak antara TC dan PI (m)
b. Bentuk tikungan Spiral Circle Spiral (S-C-S)
Rumus yang digunakan :
Ls .90
θ s= …..………………….........…...(2.21)
π .R
Besar Pusat Busur Lingkaran:
θc =∆−θs ………………..…….....…..….(2.22)
Panjang Lengkung Circle
∆c
Lc = .2 π . R …………………..….........…...(2.23)
360
2
Ls
Y c= ……..……………….........…...(2.24)
6R
3
Ls
X c =Ls− 2
………..…………….........…...(2.25)
40. R
L=2 Ls + Lc ……………...………........…...(2.26)
( )
3
Ls
k =Ls− −R . sin θs ……………………...........…...(2.27)
40. R2
2
Ls
p= −Rc ( 1−cos θ s ) …………..………….........…...(2.28)
6 Rc
T s=( R+ p ) tan ½ ∆+k ……………………...........…...(2.29)
E s=( R+ p ) Sec ½ ∆−R ……………………...........…...(2.30)
( )
3
Ls
k =Ls− −R . sin θs …………………….........….....(2.35)
40. R2
2
Ls
p= −Rc ( 1−cos θ s ) …………………….........…….(2.36)
6 Rc
T s=( R+ p ) tan ½ ∆+k ……………………...........…...(2.37)
E s=( R+ p ) Sec ½ ∆−R ……………………...........…...(2.38)
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.4 di bawah ini:
W
Ls = x m ×( en +e d ) ......…………………..(2.39)
2
Keterangan :
Ls = Lengkung peralihan.
W = Lebar perkerasan
m= Jarak pandang.
e n = Kemiringan normal.
e d = Kemiringan maksimum.
Jenis lengkung vertikal dilihat dari letak titik perpotongan kedua bagian lurus (tangen)
adalah:
1. Lengkung vertikal cembung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua
tangen berada di atas permukaan jalan yang bersangkutan.
2. Lengkung vertikal cekung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua
tangen berada di bawah permukaan jalan.
Keterangan:
A × Lv
E v= ………………………..(2.41)
800
Keterangan:
Keterangan :
PLV = Titik awal lengkung parabola
PV 1 = Titik perpotongan kelandaian g1 dan g2
g = Kemiringan tangen : (+) naik, (-) turun
A = Perbedaan aljabar landai ( g1 – g2) %
EV = Pegeseran vertikal titik tengah besar lingkaran (PV1 – m) meter
Jh = Jarak pandang
h1 = Tinggi mata pengaruh
h2 = Tinggi halangan
Jika dalam perencanaan dipergunakan jarak pandangan henti menurut Bina Marga,
h1 = 10 cm = 0,1 m h2 = 120 cm = 1,2 m,
Dan jika dalam perencanaan dipergunakan jarak pandangan menyiap menurut Bina
Marga,
S=d 1+ d 2=
√ 200 h1 L
A
+
√
200 h2 L
A
………………………..(2.42)
2.6 Jarak Pandangan
Kemungkinan untuk melihat kedepan adalah faktor dalam suatu operasi di jalan agar
tercapai keadaan yang aman dan efisien, untuk itu harus diadakan jarak pandang yang cukup
jauh sehingga pengemudi dapat memilih kecepatan dari kendaraan dan tidak menghambat
barang tak terduga diatas jalan. Demikian pula untuk jalan dua jalur yang memungkinkan
pengendara berjalan diatas jalur berlawanan untuk menyiap kendaraan dengan aman. Jarak
pandangan ini untuk keperluan perencanaan dibedakan atas:
Keterangan:
d 1 = Jarak dari saat melihat rintangan sampai menginjak pedal rem (m)
V = Kecepatan (km/jam)
t = Waktu reaksi (waktu PIEV + waktu yang dibutuhkan untuk menginjak rem) =
1,5 detik + 1 detik = 2,5 detik
maka,
d 1=0,278× V × t …………………….….(2.44)
Keterangan:
f m= koefisien gesekan antara ban dan muka jalan dalam arah memanjang jalan,
*¿0.28–0.45, menurut AASHTO), ( f m = 0.35–0.55, menurut Bina Marga)*
d 2= Jarak mengerem (m)
V = kecepatan kendaraan (km/jam)
g = gaya gravitasi (9,81 m/det2)
G = berat kendaraan (ton)
maka:
v2
d 2= ………………………..(2.46)
254 × fm
v2
d=0,278× V ×t+ ………………….....….(2.47)
254 × fm
Pada jalan-jalan berlandai terdapat harga berat kendaraan sejajar permukaan jalan,
yang memberikan pengaruh cukup berarti pada penentuan jarak mengerem. Pada jalan-jalan
menurun jarak mengerem akan bertambah panjang, sedangkan untuk jalan-jalan mendaki
jarak mengerem akan bertambah pendek. Dengan demikian persamaan di atas akan menjadi :
1 G
G × fm× d 2 ± G× L× d 2= × …………….….(2.48)
2 g ×v 2
2
v
d=0,278× V ×t+ …………….….(2.49)
254 ×( fm ± L)
Keterangan:
L= besarnya landai jalan dalam desimal
+¿ = untuk pendakian
−¿= untuk penurunan
2.6.2 Jarak Pandangan Menyiap
Jarak pandangan menyiap adalah jarak yang dibutuhkan untuk menyusul kendaraan
lain yang dipergunakan hanya pada jalan 2 jalur. Besarnya jarak pandang menyiap minimum
dapat dilihat dalam daftar II PPGRJ No. 13/1970.
Jarak pandang diukur dari ketinggian mata pengemudi kepuncak penghalang. Untuk
jarak pandang henti ketinggian mata pengemudi adalah 125 cm dan ketinggian penghalang
adalah 10 cm, sedang untuk jarak pandang menyiap ketinggian mata pengemudi adalah 125
cm dan ketinggian penghalang 125 cm. Jarak pandang menyiap standar untuk jalan dua lajur
dua arah dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
d=d 1+ d 2+ d 3+ d 4 …...……………….….(2.50)
dimana:
(
d 1=0,278× t 1 × v−m+
a × t1
t ) …………………….….(2.51)
d 2=0,278× t 2 ×V ………….…………….(2.52)
d 3=diambil 30−100 meter
2
d 4 = × d2 …………………….….(2.53)
3
Keterangan:
d 1 = jarak yang ditempuh kendaraan yang hendak menyiap selama waktu reaksi dan waktu
membawa kendaraanya yang hendak membelok ke lajur kanan.
t1 = waktu reaksi yang besarnya tergantung dari kecepatan yang dapat ditentukan dengan
korelasi
t 1=2,12+0,026 ×V
m = perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan yang disiap = 15 km/jam.
V = kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap, dalam perhitungan dapat dianggap sama
dengan kecepatan rencana, km/jam.
a=2,052+0,0036 ×V
d 2 = jarak yang ditempuh selama kendaraan yang menyiap berada pada lajur kanan.
t2 = waktu dimana kendaa yang menyiap berada pada lajur kanan yang dapat ditentukan
dengan mempergunakan korelasi.
2.7 Penampang Melintang
Penampang melintang jalan adalah pemotongan suatu jalan tegak lurus sumbu jalan, yang
menunjukkan bentuk serta susunan bagian-bagian jalan dalam arah melintang.
Penampang melintang jalan yang digunakan harus sesuai dengan kelas jalan dan
kebutuhan lalu lintas yang dilayaninya. Penampang melintang utama dapat dilihat pada daftar
I PPGJR.
2.7.3 Drainase
Drainase merupakan bagian yang sangat penting pada perencanaan suatu jalan untuk
mencegah terjadinya genangan air akibat hujan dan sebagainya yang berpotensi merusak
struktural dari jalan apabila tergenang dalam waktu yang lama. Misal seperti saluran tepi,
saluran melintang, dan sebagainya, yang harus direncanakan berdasarkan data hidrologis
setempat seperti intensitas hujan, lamanya frekuensi hujan, dan sifat daerah aliran.\