Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Dalam merencanakan suatu jalan raya umumnya para insinyur jalan menghindari
pekerjaan galian (cut) dan timbunan (fill) yang besar demi memudahkan pekerjaan sekaligus
menghemat waktu dan biaya pekerjaan. Adapun pihak pengguna kendaraan yang beroperasi
di jalan raya menginginkan jalan yang relatif lurus, tidak ada tanjakan ataupun turunan.
Faktanya keinginan itu sulit kita capai mengingat keadaan permukaan bumi yang relatif tidak
datar. Namun, jalan masih bisa direncanakan selandai mungkin dengan memperhatikan
beberapa faktor agar tidak menimbulkan bahaya bagi penggunanya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan geometrik jalan raya adalah :
• Kelas Jalan
• Kecepatan Rencana
• Alinyemen Horizontal
• Alinyemen Vertikal
• Jarak Pandangan
• Penampang Melintang
• Perhitungan Kubikasi

2.1 Kelas Jalan


Jalan terbagi menjadi beberapa kelas yang penempatannya didasarkan pada fungsinya dan
juga dipertimbangkan pada besarnya volume serta sifat lalu lintas yang diharapkan akan
menggunakan jalan yang bersangkutan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1993 Tentang


Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, Pasal 11 diuraikan kelas-kelas jalan sebagai berikut :
a. Jalan kelas I, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan
dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5 meter, ukuran panjang tidak melebihi 18 meter,
dan muatan sumbu terberat yang diizinkan lebih besar dari 10 ton. Jalan arteri merupakan
jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh,
kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk (akses) dibatasi secara berdaya guna.
b. Jalan kelas II, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan
dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5 meter, ukuran panjang tidak melebihi 18 meter,
dan muatan sumbu terberat yang diizinkan kurang dari atau sama dengan 10 ton.
c. Jalan kelas III A, yaitu jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5 meter, ukuran panjang tidak
melebihi 18 meter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan kurang dari atau sama
dengan 8 ton. Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata
sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
d. Jalan kelas III B, yaitu jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk
muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5 meter, ukurar panjang tidak melebihi 12
meter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan kurang dari atau sama dengan 8 ton
e. Jalan kelas III C, yaitu jalan lokal dan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,1 meter, ukuran panjang tidak
melebihi 9 meter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan kurang dari atau sama
dengan 8 ton.  Jalan lokal adalah jalan umum yang ditujukan untuk kendaraan angkutan
lokal sedangakan jalan lingkungan merupakan jalan umum yang ditujukan untuk
kendaraan angkutan lingkungan.

Sementara itu, peraturan terbaru berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009


Pasal 19 Ayat 2 dan Pasal 125, diuraikan kelas-kelas jalan sebagai berikut :

a. Jalan Kelas I, yaitu jalan arteri atau jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan
bermotor. Ukuran standar yang diperbolehkan melewati jalan Kelas I ini adalah
kendaraan bermotor dengan lebar kurang dari 2,5 meter, ukuran panjang tidak melebihi
18 meter, ukuran paling tinggi 4,2 meter, dan muatan sumbu terberat 10 ton;
b. Jalan Kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui oleh
Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5 m, ukuran panjang tidak
melebihi 12 m, ukuran paling tinggi 4,2 m, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;
c. Jalan Kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui oleh
kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,1 m, ukuran panjang tidak
melebihi 9 m, ukuran paling tinggi kendaraan 3,5 m, dan muatan sumbu terberat 8 ton;
d. Jalan Kelas Khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui oleh kendaraan bermotor yang
memiliki ukuran lebar melebihi 2,5 m, ukuran panjangnya melebihi 18 m, ukuran paling
tinggi kendaraan 4,2 m, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 ton.

2.2 Kecepatan Rencana


Kecepatan rencana merupakan kecepatan maksimum yang diizinkan pada jalan yang akan
direncanakan sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi pemakai jalan tersebut.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya kecepatan rencana yaitu :
a. Keadaan terrain : Untuk menghemat biaya perencanaan jalan
harus disesuaikan dengan kondisi medan dan sekitarnya, apakah medan jalan termasuk
datang, berbukit, atau pegunungan. Hal ini dapat dilihat dari kecepatan antara truk dan
mobil penumpang.
b. Sifat dan tingkat penggunaan daerah : Kecepatan rencana yang diambil untuk jalan
luar kota lebih besar dari jalan dalam kota. Tingginya kecepatan rencana dapat dilihat
dari volume lalu lintas dan batasan fisik dari jalan tersebut.

Dalam hal ini harus disesuaikan dengan tipe jalan yang direncanakan. Adapun pengaruh
keadaan medan terhadap perencanaan suatu jalan raya meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Tikungan : Jari-jari tikungan pada pelebaran perkerasan diambil sedemikian rupa
sehingga terjamin keamanan dan kenyamanan jalannya kendaraan dan pandangan bebas
harus cukup luas.
b. Tanjakan : Dalam perencanaan diusahakan agar tanjakan dibuat dengan kelandaian
sekecil mungkin.
c. Turunan : Dalam perencanaan diusahakan agar turunan dibuat dengan kelandaian
sekecil mungkin.

2.3 Panjang Jalan Lurus


Mempertimbangkan faktor keselamatan Pemakai Jalan, Bina marga menetapkan
maksimum bagian jalan yang lurus berdasarkan waktu tempuh kurang dari 2,5 menit yang
sesuai dengan Kecepatan Rencana (V r ).
Tabel 2.2 Panjang Bagian Lurus Maksimum

Fungsi Panjang Bagian Lurus Maksimum


(m)
Datar Bukit Gunung
Arteri 3.000 2.500 2.000
Kolektor 2.000 1.750 1.500
Sumber : TPGJAK No 038/T/BM/1997

2.4 Alinyemen Horizontal


Alinyemen horizontal adalah garis proyeksi sumbu jalan yang tegak lurus pada bidang
peta alinyemen (garis tujuan). Horizontal merupakan trase jalan yang terdiri dari garis lurus
(tangen) yang merupakan bagian lurus dan lengkung horizontal yang disebut tikungan.
Bagian yang sangat kritis pada alinyemen horizontal adalah bagian tikungan, dimana terdapat
gaya yang dapat melemparkan kendaraan ke luar daerah tikungan yang disebut gaya
sentrifugal.
Atas dasar itu maka perencanaan tikungan diusahakan agar dapat memberikan keamanan
dan kenyamanan, sehingga perlu dipertimbangkan hal-hal berikut :
a. Jari-jari lengkung minimum
Untuk setiap kecepatan rencana ditentukan berdasarkan miring maksimum dengan
koefisien gesekan melintang maksimum. Maka agar kendaraan stabil saat melalui
tikungan, diperlukan suatu kemiringan melintang jalan pada tikungan yang disebut
superelevasi (e ).
Pada saat kendaraan melalui daerah yang bersuperelevasi, terjadi gesekan arah
melintang jalan antara ban kendaraan dengan permukaan aspal yang menimbulkan gaya
gesekan melintang. Perbandingan gaya gesekan melintang dengan gaya normal disebut
juga koefisien gesekan melintang (f).

V r2
Rmin = ......………………….….(2.1)
127 × ( e + f m )
1432.4
D= ......………………….….(2.2)
Rd

Keterangan :
Rmin = Jari-jari lengkung minimum (m)
D = Derajat lengkung (o)
Vr = Kecepatan Rencana (km/jam)
e = Superlevasi tikungan (%)
f = Koefisien gesekan melintang

Untuk menghindari terjadinya kecelakaan, maka untuk kecepatan tertentu dapat


dihitung jari-jari minimum untuk superelevasi maksimum dan koefisien gesekan
maksimum.

F mak s=0,192−0,00065V r .........……………….….(2.3)


2
Vr
Rmin = ......………………….….(2.4)
127 × ( e maks + f maks )
181913.53 × ( e maks + f maks )
Dmaks= 2 ......………………….….(2.5)
Vr

Keterangan :
e maks = Superelevasi maksimum (%)
f maks = Koefisien gesekan melintang maksimum
Dmaks = Derajat lengkung maksimum(o)

b. Lengkung peralihan
Lengkung peralihan diperlukan agar supaya pengemudi dapat menyesuaikan
manuver kendaraan pada bagian-bagian geometrik jalan yang bertransisi dari alinyemen
lurus ke lingkaran, atau dari lurus ke lurus atau juga dari alinyemen llingkaran ke
lingkaran. Bentuk lengkung peralihan yang paling sesuai dengan gerakan manuver
kendaraan yang aman dan nyaman berbentuk spiral atau clothoid, yaitu lengkung dengan
radius di setiap titik berbanding terbalik dengan panjang lengkungnya. Fungsi Lengkung
peralihan pada alinyemen horizontal adalah:
a. Membuat gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan dapat berubah secara
berangsur-angsur.
b. Tempat berubahnya kemiringan perkerasan untuk mengimbangi gaya sentrifugal.
c. Tempat dimana dimulainya perubahan lebar perkerasan untuk mengakomodasi
radius putar kendaraan.
d. Memudahkan pengemudi agar tetap pada lajurnya saat menikung.

Bentuk-bentuk lengkung peralihan yang digunakan pada desain alinyemen jalan,


antara lain sebagai berikut :
a. Spiral-Circle-Spiral (S-C-S), digunakan sebagai peralihan dari alinyemen lurus
(tangent) kea linemen lingkaran (circle) pada tikungan.
b. Spiral-Spiral (S-S), digunakan sebagai peralihan dari alinyemen lurus kea linemen
lurus pada tikungan. Namun bentuk lengkung peralihan ini diupayakan untuk
dihindari.
c. Compound Spiral, digunakan sebgai peralihan dari alinyemen lingkaran kea
linemen lingkaran dengan besar jari0-jari yang berbeda.
d. Compound Circle, digunakan sebagai peralihan dari alinyemen lingkaran kea
linyemen lingkaran dengan besar jari-jari yang berbeda. Cenderung digunakan ke
compound spiral dalam pengembangan karena menggunakan program komputer.
e. Full circle, digunakan dengan mempertimbangkan kondisi medan.

Berdasarkan Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997, diambil
nilai yang terbesar dari persamaan di bawah ini :
1. Berdasarkan waktu tempuh maksimum (3 detik), untuk melintasi lengkung
peralihan, maka panjang lengkung :
Vr
Ls = ×T ......………………….….(2.6)
3,6

2. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal, digunakan rumus Modifikasi Shortt:


V r3 V r x ed
Ls =0,022× −2,727 × ......………………….….(2.7)
Rd× C C

3. Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian


(e m−e n )
Ls = ×V r ......………………….….(2.8)
3,6 x r e

4. Sedangkan rumus bina marga


W
Ls = × ( e n +e tjd ) × m ......………………….….(2.9)
2

Keterangan :
T = Waktu tempuh = 3 detik
Rd = Jari-jari busur lingkaran (m)
C = Perubahan percepatan 0,3-1,0 disarankan 0,4 m/det2
re =Tingkat pencapaian perubahan kelandaian melintang jalan, sebagai berikut:
Untuk V r ≤ 70 km/ jam Untuk V r ≥ 80 km/ jam
r e maks = 0,035 m/m/det r e ma ks = 0,025 m/m/det
e = Superelevasi
em = Superelevasi Maksimum
en = Superelevasi Normal

c. Pelebaran perkerasan
Pada tikungan sangat bergantung pada:
R = Jari-jari tikungan
β = Sudut tikungan
Vr = Kecepatan rencana

Rumus yang digunakan adalah rumus yang dikutip dari “Dasar-Dasar Perencanaan
Geometrik Jalan (Silvia Sukirman) yaitu :

√{ √ R √
−64+1,25 } + 64− ( Rc −64 ) +1,25
2
B= c
2 2
…....(2.10)

Keterangan:
B= lebar perkerasan yang ditempati satu kendaraan di tikungan pada lajur sebelah
dalam
Rc = radius lajur sebelah dalam - ½ lebar perkerasan + ½ b
b = lebar kendaraan rencana

0,105× V
Z= ......……………..……..(2.11)
√Rc
Bt =n ( B+C ) + Z ………...………....…...(2.12)

Keterangan:
V = kecepatan, km/jam
Bt = lebar total perkerasan di tikungan
Z = lebar tambahan akibat kesukaran mengemudi di tikungan
C=¿ lebar kebebasan samping di kiri dan di kanan kendaraan sebesar 0,5m, 1m,
dan 1,25m cukup memadai untuk jalan dengan lebar lajur 6m, 7m, dan
7,5m.
Sehingga,
∆ b=Bt −B n ......…………………..(2.13)

Keterangan:
∆ b = tambahan lebar perkerasan di tikungan
Bn= lebar total perkerasan pada bagian lurus

d. Jarak Pandang pada Lengkung Horizontal


Jarak pandangan pengemudi kendaraan yang bergerak pada lajur tepi sebelah dalam
seringkali dihalangi oleh gedung-gedung, hutan-hutan kayu, tebing galian dan lain
sebagainya. Demi menjaga keamanan pemakai jalan, panjang sepanjang jarak pandangan
henti minimum harus terpenuhi di sepanjang lengkung horizontal.
Dengan demikian terdapat batas minimum jarak antara sumbu lajur sebelah dalam
dengan penghalang (m). Penentuan batas minimum jarak antara sumbu lajur sebelah
dalam ke penghalang ditentukan berdasarkan kondisi dimana jarak pandangan berada di
dalam lengkung atau jarak pandangan < panjang lengkung horizontal.
Untuk lebih jelasnya kita dapat melihat gambar 2.1 di bawah ini.

Gambar 2.1 Jarak Pandangan pada Lengkung Horizontal S ≤ L

Keterangan:
Garis AB : Garis pandangan
Lengkung AB : Jarak pandangan
nTS - ST : Panjang busur lingkaran , m(L)
m : Ordinat tengah sumbu jalur ke penghalang
ф : Setengah sudut pusat busur lingkaran S (°)
S : Jarak pandangan (m)
L : Panjang busur lingkaran (m)
R’ : Radius sumbu lajur sebelah dalam (m)
π . ф. R '
S= ………………………..............(2.14)
90 °
90 ° . s
ф= …..………..…………..............(2.15)
π.R
m=R−(1−cos ф) …..………………..….........….(2.16)

2.4.1 Bentuk Lengkung Horizontal


Bentuk lengkung horizontal pada suatu jalan raya ditentukan oleh tiga faktor:
1. Sudut tangent (∆) yang besarnya dapat diukur langsung pada peta
2. Kecepatan rencana, tergantung dari kelas jalan yang akan direncanakan.
3. Jari-jari kelengkungan, hubungan antara kecepatan rencana dengan jari-jari
kelengkungan minimum dapat dilihat pada Tabel 2.2 di bawah ini,

Tabel 2.2 Hubungan antara Kecepatan Rencana dan Jari-Jari Minimum

Kecepatan Rencana Jari-Jari Lengkung Minimum


(km/jam) (meter)
120 2000
100 1500
80 1100
60 700
40 350
20 150
Sumber: Buku Buku Dasar Perencanaan Geometrik Jalan oleh Silvia
Sukiman

Bentuk-bentuk lengkung horizontal ada tiga macam yaitu:


a. Bentuk tikungan Full Circle (F-C)
Bentuk ini digunakan pada tikungan yang mempunyai jari-jari besar dan sudut
tangent yang relatif kecil sagar tidak terjadi patahan, karena jika nilai R kecil maka
diperlukan superelevasi yang besar. Batas yang diambil untuk bentuk circle adalah
sebagai berikut:
Berikut rumusan yang digunakan untuk bentuk full circle dalam menentukan
harga-harga T, L dan Es:
T
 tan ½ ∆= …..…………………...........….(2.17)
R
 T =R tan ½ ∆ …..…………………................(2.18)
 Es=tan ¼ ∆ …..………………….........…...(2.19)

 L= .2 π . R
3600
L=0,01745.∆ . R …..………………….........…...(2.20)

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.2 di bawah ini:

Gambar 2.2 Bentuk Tikungan Full Circle (F-C)

Keterangan:
R = Jari-jari lengkung minimum (m)
∆ = Sudut tangent yang diukur dari gambar trase (°)
E s = Jarak PI ke lengkung peralihan (m)
L = Panjang bagian tikungan (m)
T = Jarak antara TC dan PI (m)
b. Bentuk tikungan Spiral Circle Spiral (S-C-S)
Rumus yang digunakan :
Ls .90
θ s= …..………………….........…...(2.21)
π .R
Besar Pusat Busur Lingkaran:
θc =∆−θs ………………..…….....…..….(2.22)
Panjang Lengkung Circle
∆c
Lc = .2 π . R …………………..….........…...(2.23)
360
2
Ls
Y c= ……..……………….........…...(2.24)
6R
3
Ls
X c =Ls− 2
………..…………….........…...(2.25)
40. R
L=2 Ls + Lc ……………...………........…...(2.26)

( )
3
Ls
k =Ls− −R . sin θs ……………………...........…...(2.27)
40. R2
2
Ls
p= −Rc ( 1−cos θ s ) …………..………….........…...(2.28)
6 Rc
T s=( R+ p ) tan ½ ∆+k ……………………...........…...(2.29)
E s=( R+ p ) Sec ½ ∆−R ……………………...........…...(2.30)

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.3 :

Gambar 2.3 Bentuk Tikungan Spiral Circle


c. Bentuk tikungan Spiral – Spiral (S-S)
Rumus yang digunakan:
Besar Sudut Spiral:
θ s=½ ∆ …………………….........….....(2.31)
Besar pusat busur lingkaran:
θc =0
Panjang Spiral:
Lc =0
2
Ls
Y c= …………………….........….....(2.32)
6R
L s3
X c =Ls− …………………….........….....(2.33)
40. R2
L=2 Ls …………………….........…….(2.34)

( )
3
Ls
k =Ls− −R . sin θs …………………….........….....(2.35)
40. R2
2
Ls
p= −Rc ( 1−cos θ s ) …………………….........…….(2.36)
6 Rc
T s=( R+ p ) tan ½ ∆+k ……………………...........…...(2.37)
E s=( R+ p ) Sec ½ ∆−R ……………………...........…...(2.38)

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.4 di bawah ini:

Gambar 2.4 Bentuk Tikungan Spiral Spiral (S-S)

2.4.2 Diagram Superelevasi


Superelevasi merupakan kemiringan melintang jalan yang diberikan pada daerah
tikungan. Pada jalan lurus, jalan mempunyai kemiringan melintang minimum 2 % yang biasa
disebut lereng normal disebelah kiri dan sebelah kanan AS jalan yang berfungsi sebagai
sistem drainase aktif.
Diagram superelevasi adalah suatu satu metode untuk menggambarkan perubahan
superelevasi dari lereng normal ke superelevasi kemiringan melintang (tikungan). Tanda plus
(+¿ ) menandakan kenaikan elevasi terhadap sumbu jalan dan tanda minus (−¿) menandakan
penurunan elevasi terhadap sumbu jalan.

Berikut diagram superelevasi berdasarkan bentuk lengkung:

a. Diagam super elevasi Full Circle menurut Bina Marga

Gambar 2.5 Diagram Superelevasi Full Circle


Ls pada tikungan Full Cirle ini sebagai Ls bayangan yaitu untuk perubahan kemiringan
secara berangsur-angsur dari kemiringan normal ke maksimum atau minimum.

W
Ls = x m ×( en +e d ) ......…………………..(2.39)
2

Keterangan :
Ls = Lengkung peralihan.
W = Lebar perkerasan
m= Jarak pandang.
e n = Kemiringan normal.
e d = Kemiringan maksimum.

b. Diagram superelevasi pada Spiral-Circle-Spiral

Gambar 2.6 Diagram Superlevasi S-C-S

c. Diagram superelevasi Tikungan berbentuk Spiral-Spiral

Gambar 2.7 Diagram Superelevasi SS

2.5 Alinyemen Vertikal


Alinyemen vertikal merupakan proyeksi tegak lurus bidang gambar yang
menggambarkan tinggi rendahnya jalan terhadap muka tanah pada elevasi netral sekaligus
kemampuan kendaraan dalam keadaan menanjak dan bermuatan penuh (standar truk). Landai
maksimum yang dipakai pada perencanaan ini adalah sebesar 10 % dengan panjang kritis
sebesar 120 meter.

Jenis lengkung vertikal dilihat dari letak titik perpotongan kedua bagian lurus (tangen)
adalah:
1. Lengkung vertikal cembung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua
tangen berada di atas permukaan jalan yang bersangkutan.
2. Lengkung vertikal cekung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua
tangen berada di bawah permukaan jalan.

Persamaan-persamaan lengkung vertikal yang digunakan adalah:


A=g 1−g2 …………………….….(2.40)

Keterangan:

A = perbedaan aljabar kelandaian (selisih % kelandaian antara dua lintasan pada


pertemuan lengkung
g1 , g 2 = besarnya kelandaian bagian tangen, kelandaian ( g1 dan g2) diberi tanda positif
jika pendakian, dan diberi tanda negatif jika terjadi penurunan, yang ditinjau
dari kiri.

A × Lv
E v= ………………………..(2.41)
800

Keterangan:

E v = pergeseran vertikal dari titik PPV ke bagian lengkung


Lv = panjang lengkung vertikal sama dengan panjang proyeksi lengkung pada bidang
horizontal.

2.5.1 Bentuk Lengkung Vertikal


a. Lengkung vertikal cembung
Lengkung vertikal cembung merupakan lengkung yang titik perpotongan antara
kedua tangen berada di atas sumbu jalan netral.

Gambar 2.9 Lengkung Vertikal Cembung

Keterangan :
PLV = Titik awal lengkung parabola
PV 1 = Titik perpotongan kelandaian g1 dan g2
g = Kemiringan tangen : (+) naik, (-) turun
A = Perbedaan aljabar landai ( g1 – g2) %
EV = Pegeseran vertikal titik tengah besar lingkaran (PV1 – m) meter
Jh = Jarak pandang
h1 = Tinggi mata pengaruh
h2 = Tinggi halangan

b. Lengkung vertikal cekung


Lengkung vertikal cekung merupakan lengkung yang titik perpotongan antara
kedua tangen berada di bawah sumbu jalan netral.

Gambar 2.10 Lengkung Vertikal Cekung


Keterangan :
PLV = Titik awal lengkung parabola
PV1 = Titik perpotongan kelandaian g1 dan g2
g = Kemiringan tangen (+) naik, (-) turun
A = Perbedaan aljabar landai ( g1 – g2) %
Ev = Pergeseran vertikal titik tengah besar lingkaran (PV1 – m) meter
Lv = Panjang kengkung vertikal
V = Kecepatan rencana (km/j)

2.5.2 Landai Minimum


Berdasarkan kepentingan arus lalu-lintas, landai ideal adalah landai datar (0%).
Sebaliknya ditinjau dari kepentingan drainase jalan, jalan berlandailah yang ideal.
Dalam perencanaan disarankan menggunakan:
a. Landai datar untuk jalan-jalan di atas tanah timbunan yang tidak mempunyai kereb;
b. Landai 0,15 % dianjurkan untuk jalan-jalan di atas tanah timbunan dengan medan
datar dan mempergunakan kereb;
c. Landai minimum sebesar 0,13 % - 0,5 % dianjurkan dipergunakan untuk jalan-jalan di
daerah galian atau jalan yang memakai kereb.

2.5.3 Landai Maksimum


Kelandaian 3 % mulai memberikan pengaruh kepada gerak kendaraan mobil
penumpang, walaupun tidak seberapa dibandingkan dengan gerakan kendaraan truk
yang terbebani penuh. Pengaruh dari adanya kelandaian ini dapat terlihat dari
berkurangnya kecepatan jalan kendaraan atau mulai dipergunakan gigi rendah.
Kelandaian tertentu masih dapat diterima jika kelandaian tersebut mengakibatkan
kecepatan jalan tetap lebih besar dari setengah kecepatan rencana.
Untuk membatasi pengaruh perlambatan kendaraan truk terhadap arus lalu-
lintas, maka ditetapkan landai maksimum untuk kecepatan rencana tertentu. Bina
Marga menetapkan kelandaian maksimum seperti pada Tabel 2.1, yang dibedakan
atas kelandaian maksimum standard dan kelandaian mkasimum mutlak. Jika tidak
terbatasi oleh kondisi keuangan, maka sebaiknya dipergunakan kelandaian standar
AASHTO yang membatasi kelandaian maksimum berdasrkan keadaan medan apakah
datar, perbukitan atau pegunungan.
Tabel 2.1 Kelandaian Maksimum Jalan

Kecepata Jalan Arteri luar kota Jalan antar kota


n (AASHTO’90) (Bina Marga)
Kelandaian Kelandaian
Rencana Datar Perbukitan Pegunungan Maksimum Maksimum
(km/jam) (%) (%) (%) Standar Mutlak
(%) (%)
40 7 11
50 6 10
64 5 6 8
60 5 9
80 4 5 7 4 8
96 3 4 6
113 3 4 5
Sumber: Traffic Engineering Handbook, 1992 dan PGJLK, Bina Marga '1990 (Rancangan Akhir)

2.5.4 Jarak Pandangan Lengkung Vertikal


Pada lengkung vertikal, pembatasan berdasarkan jarak pandangan dapat dibedakan
atas 2 keadaan yaitu :
a. Jarak pandangan berada seluruhnya dalam daerah lengkung (S < L)
b. Jarak pandangan berada di luar dan di dalam daerah lengkung (S > L)

Jika dalam perencanaan dipergunakan jarak pandangan henti menurut Bina Marga,
h1 = 10 cm = 0,1 m h2 = 120 cm = 1,2 m,

Dan jika dalam perencanaan dipergunakan jarak pandangan menyiap menurut Bina
Marga,

h1 = 120 cm = 1,2 m h2 = 120 cm = 1,2 m.

Jadi, jarak pandangan pada vertikal adalah :

S=d 1+ d 2=
√ 200 h1 L
A
+

200 h2 L
A
………………………..(2.42)
2.6 Jarak Pandangan
Kemungkinan untuk melihat kedepan adalah faktor dalam suatu operasi di jalan agar
tercapai keadaan yang aman dan efisien, untuk itu harus diadakan jarak pandang yang cukup
jauh sehingga pengemudi dapat memilih kecepatan dari kendaraan dan tidak menghambat
barang tak terduga diatas jalan. Demikian pula untuk jalan dua jalur yang memungkinkan
pengendara berjalan diatas jalur berlawanan untuk menyiap kendaraan dengan aman. Jarak
pandangan ini untuk keperluan perencanaan dibedakan atas:

2.6.1 Jarak Pandangan Henti Minimum


Jarak minimum ini harus dipenuhi oleh setiap pengemudi untuk menghentikan
kendaraan yang sedang berjalan setelah melihat adanya rintangan di depannya.

Jarak ini merupakan jumlah dua jarak dari:


1. Jarak yang ditempuh dari saat melihat benda sampai mengijak rem adalahd 1,
d 1=kecepatan× waktu
d 1=V ×t …………………….….(2.43)

Keterangan:

d 1 = Jarak dari saat melihat rintangan sampai menginjak pedal rem (m)
V = Kecepatan (km/jam)
t = Waktu reaksi (waktu PIEV + waktu yang dibutuhkan untuk menginjak rem) =
1,5 detik + 1 detik = 2,5 detik

maka,
d 1=0,278× V × t …………………….….(2.44)

2. Jarak untuk berhenti setelah mengijak rem adalah d 2,


V2
d 2= …………………….….(2.45)
2 g × fm

Keterangan:

f m= koefisien gesekan antara ban dan muka jalan dalam arah memanjang jalan,
*¿0.28–0.45, menurut AASHTO), ( f m = 0.35–0.55, menurut Bina Marga)*
d 2= Jarak mengerem (m)
V = kecepatan kendaraan (km/jam)
g = gaya gravitasi (9,81 m/det2)
G = berat kendaraan (ton)

maka:

v2
d 2= ………………………..(2.46)
254 × fm

Jadi, rumus umum dari jarak pandang henti minimum adalah:

v2
d=0,278× V ×t+ ………………….....….(2.47)
254 × fm

Pada jalan-jalan berlandai terdapat harga berat kendaraan sejajar permukaan jalan,
yang memberikan pengaruh cukup berarti pada penentuan jarak mengerem. Pada jalan-jalan
menurun jarak mengerem akan bertambah panjang, sedangkan untuk jalan-jalan mendaki
jarak mengerem akan bertambah pendek. Dengan demikian persamaan di atas akan menjadi :

1 G
G × fm× d 2 ± G× L× d 2= × …………….….(2.48)
2 g ×v 2
2
v
d=0,278× V ×t+ …………….….(2.49)
254 ×( fm ± L)
Keterangan:
L= besarnya landai jalan dalam desimal
+¿ = untuk pendakian
−¿= untuk penurunan
2.6.2 Jarak Pandangan Menyiap
Jarak pandangan menyiap adalah jarak yang dibutuhkan untuk menyusul kendaraan
lain yang dipergunakan hanya pada jalan 2 jalur. Besarnya jarak pandang menyiap minimum
dapat dilihat dalam daftar II PPGRJ No. 13/1970.
Jarak pandang diukur dari ketinggian mata pengemudi kepuncak penghalang. Untuk
jarak pandang henti ketinggian mata pengemudi adalah 125 cm dan ketinggian penghalang
adalah 10 cm, sedang untuk jarak pandang menyiap ketinggian mata pengemudi adalah 125
cm dan ketinggian penghalang 125 cm. Jarak pandang menyiap standar untuk jalan dua lajur
dua arah dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

d=d 1+ d 2+ d 3+ d 4 …...……………….….(2.50)

dimana:

(
d 1=0,278× t 1 × v−m+
a × t1
t ) …………………….….(2.51)

d 2=0,278× t 2 ×V ………….…………….(2.52)
d 3=diambil 30−100 meter
2
d 4 = × d2 …………………….….(2.53)
3

Keterangan:

d 1 = jarak yang ditempuh kendaraan yang hendak menyiap selama waktu reaksi dan waktu
membawa kendaraanya yang hendak membelok ke lajur kanan.

t1 = waktu reaksi yang besarnya tergantung dari kecepatan yang dapat ditentukan dengan
korelasi

t 1=2,12+0,026 ×V

m = perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan yang disiap = 15 km/jam.

V = kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap, dalam perhitungan dapat dianggap sama
dengan kecepatan rencana, km/jam.

a = percepatan rata-rata besarnya tergantung dari kecepatan rata-rata kendaraan yang


menyiap yang dapat ditentukan dengan mempergunakan korelasi.

a=2,052+0,0036 ×V

d 2 = jarak yang ditempuh selama kendaraan yang menyiap berada pada lajur kanan.

t2 = waktu dimana kendaa yang menyiap berada pada lajur kanan yang dapat ditentukan
dengan mempergunakan korelasi.
2.7 Penampang Melintang
Penampang melintang jalan adalah pemotongan suatu jalan tegak lurus sumbu jalan, yang
menunjukkan bentuk serta susunan bagian-bagian jalan dalam arah melintang.
Penampang melintang jalan yang digunakan harus sesuai dengan kelas jalan dan
kebutuhan lalu lintas yang dilayaninya. Penampang melintang utama dapat dilihat pada daftar
I PPGJR.

2.7.1 Lebar Perkerasan


Pada umumnya lebar perkerasan ditentukan berdasarkan lebar jalur lalu lintas normal
yang besarnya adalah 3,5 meter sebagaimana tercantum dalam daftar I PPGJR, kecuali:
• Jalan penghubung dan jalan kelas II c = 3,00 meter
• Jalan utama = 3,75 meter

2.7.2 Lebar Bahu


Untuk jalan kelas III lebar bahu jalan minimum adalah 1,50 – 2,50 m untuk semua
jenis medan.

2.7.3 Drainase
Drainase merupakan bagian yang sangat penting pada perencanaan suatu jalan untuk
mencegah terjadinya genangan air akibat hujan dan sebagainya yang berpotensi merusak
struktural dari jalan apabila tergenang dalam waktu yang lama. Misal seperti saluran tepi,
saluran melintang, dan sebagainya, yang harus direncanakan berdasarkan data hidrologis
setempat seperti intensitas hujan, lamanya frekuensi hujan, dan sifat daerah aliran.\

2.7.4 Kebebasan pada Jalan Raya


Kebebasan yang dimaksud adalah keleluasaan pengemudi di jalan raya dengan tidak
menghadapi rintangan. Lebar kebebasan ini merupakan bagian kiri-kanan jalan yang
merupakan bagian dari jalan (PPGJR No. 13/1970).

2.8 Perhitungan Kubikasi


Perhitungan kubikasi ditentukan dengan menggunakan rumus, yaitu:

V =Luas Tampang Galian /Timbunan× Panjang Galian /Timbunan


Hasil perkalian harus disesuaikan apakah dia bentuk kubus, kerucut dan sebagainya,
sehingga perlu dicari panjang galian/timbunan.

Anda mungkin juga menyukai