A. Pendahuluan
Perencanaan jalan rel sangat penting pada saat ini karena angkutan massal ini sudah
sangat berkembang dengan adanya Mass Rapid Transit (MRT) atau Light Rapid Transit (LRT)
di Indonesia. Modul 7 yang berisi perancangan geometrik jalan rel ini berisi materi dasar
perancangan jalan rel dalam bentuk geometriknya yang kalau dibandingkan dengan
perancangan jalan raya tidak jauh berbeda. Kedua perancangan jalan ini membutuhkan
perancangan dalam hal alinyemen horisontal maupun alinyemen vertikal dengan
mempertimbangkan faktor topografi dan performa kendaraan yang melewatinya. Oleh sebab
itu dalam perancangan jalan rel materi akan dibagi 2 kegiatan pembelajaran agar mahasiswa
dapat memahami lebih dalam untuk dapat melakukan tugas perancangan.
Adapun capaian pembelajaran dari materi pembelajaran pada modul 7 ini adalah agar
mahasiswa mampu merancang geometrik jalan rel tunggal kereta konvensional baik alinyemen
horisontal maupun alinyemen vertikal berdasarkan spesifikasi pada Peraturan Dinas no.10 PT
Kereta Api.
Uraian/Isi Materi
Jalan rel kereta api direncanakan untuk melewatkan berbagai jumlah angkutan barang
dan/atau penumpang dalam suatu jangka waktu tertentu. Konstruksi jalan rel harus didesain
sedemikian rupa sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara teknis. Secara teknis diartikan
konstruksi jalan rel harus dapat dilalui oleh kereta dengan keamanan dan tingkat kenayamanan
tertentu selama umur konstruksinya. Perancangan konstruksi jalan rel dipengaruhi oleh jumlah
beban, kecepatan maksimum, beban gandar dan pola operasi. Atas dasar ini diadakan
klasifikasi jalan rel, sehingga perencanaan dapat dibuat secara tepat guna.
Alinemen jalan rel merupakan arah dan posisi sumbu rel yang terdiri dari bagian lurus,
alinemen horisontal dan alinemen vertikal. Kriteria perencanaan alinemen yang baik
mempertimbangkan beberapa faktor berikut ini :
a) Fungsi jalan rel
Alinemen jalan rel harus memenuhi tujuan dari penggunaannya. Secara umum jalan
tersebut berfungsi sebagai pelayanan transportasi/pergerakan orang atau barang yang
menghubungkan tempat-tempat pusat kegiatan.
b) Keselamatan
Jalan rel dirancang untuk menghindari adanya kecelakaan, baik keselamtan yang terjadi
pada lalu lintas kereta api dan interaksi terhadap jalan raya.
c) Ekonomi dan lingkungan
Jalan rel dibangun dengan mempertimbangkan biaya pembangunan, pemeliharaan dan
operasi, manfaat dari pembangunan jalan rel baik secara makro maupun mikro, maupun
lingkungan sekitarnya.
Dalam ketentuan PD 10 tahun 1986, terdapat beberapa tipe kecepatan yang digunakan dalam
perancangan, yaitu :
1. Kecepatan rencana
Kecepatan rencana adalah kecepatan yang digunakan untuk merencanakan konstruksi
jalan rel. Adapun beberapa bentuk kecepatan rencana digunakan untuk :
a) Untuk perencanaan struktur jalan rel
V rencana = 1,25 V maksimum ................................(1)
b) Untuk perencanaan jari-jari lengkung lingkaran dan peralihan
V rencana = V maksimum ........................................(2)
c) Untuk perencanaan peninggian rel
ƩNi x Vi
Vrencana = c 𝑥 .......................................(3)
ƩNi
dimana :
c = 1,25
Ni = jumlah kereta yang lewat
Vi = kecepatan operasi
2. Kecepatan maksimum
Kecepatan maksimum adalah kecepatan tertinggi yang diijinkan untuk operasi suatu
rangkaian kereta pada lintas tertentu. Ketentuan pembagian kecepatan maksimum dlam
perencanaan geometrik dapat dilihat pada Tabel Klasifikasi Jalan Rel.
3. Kecepatan operasi
Kecepatan operasi adalah kecepatan rata-rata kereta api pada petak jalan tertentu.
4. Kecepatan komersial
Kecepatan komersial adalah kecepatan rata-rata kereta api sebagai hasil pembagian jarak
tempuh dengan waktu tempuh.
Beban gandar maksimum yang dapat diterima oleh struktur jalan rel di Indonesia untuk
semua kelas jalan adalah 18 ton (PD. No. 10 tahun 1986).
Daya angkut lintas adalah jumlah angkutan anggapan yang melewati suatu lintas dalam
jangka waktu satu tahun. Daya angkut lintas mencerminkan jenis serta jumlah beban total dan
kecepatan kereta api yang lewat di lintas yang bersangkutan. Daya angkut yang berdasarkan
kelas jalan kereta api dan kecepatan maksimum tercantum pada tabel 7.1. Daya angkut disebut
daya angkut T dengan satuan ton/ tahun.
T = 360 x S x TE .....................................................(4)
TE = Tp + ( Kb × Tb ) + ( K1 × T1 ) ........................(5)
dimana:
TE = tonase ekivalen (ton/hari)
Tp = tonase penumpang dan kereta harian
Tb = tonase barang dan gerbong harian
Tl = tonase lokomotif harian
S = koefisien yang besarnya tergantung kualitas lintas
= 1,1 untuk lintas dengan kereta penumpang dengan Vmaks 120 km/jam
= 1,0 untuk lintas tanpa kereta penumpang
Kl = koefisien yang besarnya 1,4
Kb = koefisien yang besarnya tergantung pada beban gandar (1,5 untuk gandar < 18
ton dan 1,3 untuk gandar > 18 ton)
Tabel 7.1 Daya angkut lintas dan kecepatan KA maksimum berdasarkan kelas
jalan rel
Klasifikasi jalan rel Daya Angkut Lintas Kecepatan maksimum
6
(x 10 ton) (km/jam)
I > 20 120
II 10 - 20 110
III 5 - 10 100
IV 2,5 - 5 90
V < 2,5 80
a. Ruang Bebas
Ruang di atas sepur yang senantiasa harus bebas dari segala rintangan dan benda
penghalang, ruang ini disediakan untuk lalu lintas rangkaian kereta api.
Menurut R-10, batas ruang bebas untuk jalur lurus dan lengkung dibedakan seperti
gambar 7.1 dan 7.2
Keterangan :
Batas I = Untuk jembatan dengan kecepatan sampai 60 km/jam
Batas II = Untuk „Viaduk‟ dan terowongan dengan kecepatan sampai 60km/jam dan untuk jembatan
tanpa pembatasan kecepatan.
Batas III = Untuk „viaduk‟ baru dan bangunan lama kecuali terowongan dan jembatan
Batas IV = Untuk lintas kereta listrik.
c. Lebar sepur
Adapun lebar sepur (track) yang digunakan di Indonesia adalah 1067 mm (3 ft 6 inch)
yang tergolong pada sepur sempit. Yang dimaksud dengan lebar sepur ialah jarak
terpendek antara kedua kepala rel diukur dari sisi dalam kepala rel yang satu sampai
sisi dalam kepala rel lainnya diukur pada daerah 0 – 14 mm di bawah permukaan
teratas kepala rel. Hubungan antara lebar sepur, ukuran dan posisi rod di atas kepala
rel ialah seperti gambar 7.3 dengan perhitungan lebar sepur sebagai berikut:
S = r + 2.f + 2.c
dimana:
S = lebar sepur
r = jarak antara bagian terdalam roda (mm)
f = tebal flens (mm)
c = celah antara tepi dalam flens dengan kepala rel (mm).
Lebar sepur 1067 mm dengan hubungan di atas ialah untuk jalur lurus dan besarnya
tetap, tidak tergantung jenis dan dimensi rel yang digunakan. Sedangkan pada
lengkung horisontal, lebar sepur memerlukan pelebaran yang tergantung pada jari-
jari lengkung horisontalnya.
mV2 𝐺 𝑉2
G sinα = cosα = 𝑐𝑜𝑠𝛼 ...................................(1)
R 𝑔𝑅
V2
tanα = ........................................................................(2)
gR
𝑊 𝑉2
Jika tanα = h/W , maka ℎ = ....................................(3)
𝑔𝑅
b. Gaya sentrifugal diimbangi oleh gaya berat dan daya dukung komponen jalan rel
Persamaan dasar:
Gaya berat + komponen rel = gaya sentrifugal (lihat gambar 7.5)
Gambar 7.5. Gaya sentrifugal diimbangi oleh gaya berat + komponen rel
m V2
G sinα + H cosα = cosα .................................(6).
R
G V2
G sinα = [ g R − H] cosα ..........................................(7)
G V2
G tanα = [ g R − H] ...................................................(8)
Jika : y = 1700 mm (jarak titik berat gerbong/kereta terhadap titik 0) dan W= 1120 mm (=
1067 mm + e), maka nilai SF = 3,325: dengan demikian:
h maksimum = 110 mm ......................................................................(23)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peninggian rel rencana/disain harus
memenuhi syarat : m minimum < h normal < h maksimum (nilai h rencana
dibulatkan menjadi bilangan kelipatan 5 mm diatasnya).
C. Kegiatan Pembelajaran 2: Alinyemen horisontal (lanjutan) dan alinyemen vertikal.
Uraian/isi materi
Pada saat gerbong dengan dua gandar kokoh melalui suatu tikungan, maka roda di muka
bagian sisi terluar (pada rel luar) dapat akan menekan rel. Oleh karena gandar muka dan
belakang gerbong merupakan satu kesatuan yang kaku (rigid wheel base), maka gandar
belakang berada pada posisi yang sejajar dengan gandar muka akan memungkinkan
tertekannya rel dalam oleh roda belakang. Flens roda luar akan membentuk sudut dalam posisi
di tikungan, namun sumbu memanjang gerbong letaknya selalu tegak lurus terhadap gandar
depan. Untuk mengurangi gaya tekan akibat terjepitnya roda kereta, maka perlu diadakan
pelebaran rel agar rel dan roda tidak cepat aus. Terdapat tiga faktor yang sangat berpengaruh
terhadap besarnya pelebaran sepur, yaitu :
a. Jari-jari lengkung (R).
b. Ukuran atau jarak gandar muka – belakang yang kokoh/rigid wheel base (d), sebagaimana
dijelaskan dalam gambar 7.6.
c. Kondisi keausan roda dan rel.
Jika R makin kecil dan d semakin besar, kemungkinan terjadi adalah terjepitnya kereta
dalam rel. Supaya kedudukan roda dan rel tidak terjepit diperlukan pelebaran sepur (w) dengan
pendekatan matematis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Indonesia dan
pendekatan Jepang (PD.No.10 tahun 1986). Pendekatan Indonesia diturunkan dari pendekatan
sebagaimana dijelaskan dalam gambar 7.7.
4500
w= − 8 dalam mm ...........................................(24)
R
1.2.5. Lengkung S
Lengkung S terjadi bila lengkung dari suatu lintas berbeda arah lengkungnya dan
terletak bersambungan. Kedua lengkung harus dipisahkan oleh bagian lurus minimal 20 meter
di luar lengkung peralihan.
Langkah perhitungan lengkung horisontal
c. Menghitung Tt dan Et
Tt = (R + p) tg ½ Δ + k …………………........................(34)
Et = (R + p) sec ½ Δ – R ………………......................... (35)
Beberapa batas landai yang diijinkan disesuaikan dengan jenis kereta api, jika
digunakan lokomotif adhesi maka landai maksimum yang diperkenankan 40 ‰, dan jika
digunakan lokomotif bergigi, maka kelandaian maksimum dapat mencapai 60 – 80 ‰.
Sementara itu, pada beberapa negara pengelompokan lintas, didasarkan pada besarnya
kelandaian pada kondisi medan sebagaimana disebutkan sebagai berikut :
Medan dengan lintas dasar jika kelandaiannya 0 – 10 ‰.
Medan dengan lintas pegunungan jika kelandaiannya lebih dari 10 ‰
Untuk emplasemen, kelandaian maksimum ditentukan berdasarkan koefisien tahanan mula
pada kereta atau gerbong dengan memakai tumpuan rol (roller bearing), sehingga pada landai
tersebut kereta atau gerbong dalam keadaan seimbang atau diam. Tahanan mula ini berkisar
antara 1,5 – 2,5 kg/ton. Berdasarkan ketentuan di atas, PD. No.10 tahun 1986 mengelompokkan
lintas berdasarkan kelandaian sebagaimana dijelaskan sebagai berikut :
Lintas datar : 0 – 10 ‰.
Lintas pegunungan : 10 – 40 ‰.
Lintas dengan rel gigi : 40 – 80 ‰.
Landai pada emplasemen : 0 – 1,5 ‰
Alinemen vertikal merupakan proyeksi sumbu jalan rel pada bidang vertikal melalui
sumbu jalan rel itu tersebut. Alimenen vertikal terdiri dari garis lurus dengan atau tanpa
kelandaian dan lengkung vertikal yang berupa busur lingkaran, sebagaimana dijelaskan dalam
Gambar 10.7. Besar jari-jari minimum lengkung bergantung pada besar kecepatan rencana
seperti dalam tabel jari-jari lengkung vertikal PD 10 tahun 1986, sebagaimana tertera berikut
ini :
Untuk V rencana > 100 km/jam, digunakan Rmin = 8000 m
Untuk V rencana hingga 100 km/jam, digunakan R min = 6000 m
Lengkung vertikal diusahakan dalam perencanaannya tidak berimpit atau bertumpangan
dengan lengkung horizontal.
1.3.3. Letak Titik Lengkung dan Jarak Maksimum Proyeksi Titik Sumbu ke Lengkung
Vertikal.
Keterangan gambar:
R : jari-jari lengkung vertikal
l : panjang lengkung vertikal
A : titik pertemuan antara perpanjangankedua landai/garis lurus
β : perbedaan landai ; CA = AC = ½ l
dy l
= dan l = β R
dx R
xm = CA = ½ l
xm = ½ β R .........................................................(38)
x2
y= dan l = β R
2R
Jika y = ym dan x = xm = CA = ½ l , maka:
1 2
𝑙 𝛽2 𝑅2
𝑦𝑚 = 4 =
2𝑅 8𝑅
ym = 1/8 β2 R ......................................................(39)
1.3.4. Kelandaian
Dalam geometrik jalan rel dikenal 2 jenis landai yaitu: landai penentu dan landai
curam.
1. Landai penentu (Sm)
Landai penentu (Sm) didefinisikan sebagai kelandaian (tanjakan) terbesar yang ada pada
suatu lintas lurus. Besar landai penentu berpengaruh pada daya lokomotif yang digunakan
dan berat rangkaian kereta api yang dioperasikan. Besarnya landai penentu tergantung
pada kelas jalan relnya yaitu seperti berikut ini:
Kelas jalan rel I, II, besarnya landai penentu 10 ‰
Kelas jalan rel III, besarnya landai penentu 20 ‰
Kelas jalan rel IV dan V, besarnya landai penentu 25 ‰
Subarkah (1981) menyatakan bahwa apabila suatu tanjakan diikuti oleh suatu turunan
atau sebaliknya, di antara lengkung vertikal yang merupakan lengkung transisi harus dibuat
bagian mendatar yang panjangnya tidak boleh kurang dari kereta api terpanjang yang melalui
jalan rel tersebut seperti yang tergambar pada gambar 7.11.
Gambar 7.11. Bagian mendatar di antara lengkung vertikal
Selain itu perlu diperhatikan juga pada perencanaan dan perancangan jalan rel, letak lengkung
vertikal harus diusahakan tidak berimpit dengan lengkung horisontal.
Contoh soal 1.
Rencanakan kelas jalan rencana apabila terdapat data lalu lintas kereta api di bawah ini (Tabel
7.4), selanjutnya tentukan kecepatan operasi dan kecepatan maksimumnya untuk data
perencanaan geometrik jalan rel.
Jawaban :
A. Perhitungan Kelas Jalan Menggunakan Persamaan 10.4 dan 10.5 :
TE = Tp + (Kb × Tb ) + ( K1 × T1)
Oleh karena itu, berdasarkan data lalu lintas kereta api, jalan rel rencana (Tabel 7.1) memiliki:
1). Kelas Jalan III (5 × 106 – 10 × 106 ton/tahun).
2). Kecepatan Operasi : 102,6 km/jam
3). Kecepatan Maksimum (Kelas Jalan III) : 100 km/jam
Contoh soal 2
Jalan rel direncanakan untuk kondisi topografi pada daerah datar. Kecepatan operasional rata-
rata untuk seluruh rangkaian kereta api yang lewat dan daya angkut lintas tahunan
menggunakan contoh soal 1. Lebar sepur digunakan 1067 mm. Mengingat tidak ada landai
curam dalam perencanaan maka setiap rangkaian kereta penumpang dan barang hanya cukup
dilayani oleh 1 lokomotif saja. Trase jalan dibuat pada titik perpotongan yang membentuk
sudut 20°20'5". Rencanakan alinyemen horisontalnya !
Jawaban:
1) Data kecepatan rencana :
Kelas Jalan III (5 × 106 – 10 × 106 ton/tahun).
Kecepatan Operasi : 102,6 km/jam
Kecepatan Maksimum (Kelas Jalan III) : 100 km/jam
2) Kecepatan Rencana untuk Perencanaan Jari-Jari Lengkung dan Lengkung Peralihan :
V rencana 1 = V maksimum = 100 km/jam
3) Perencanaan Jari-Jari Horisontal :
R min = 0,076 V2 = 0,076 (100)2 = 760 m
Rmin = 0,054 V2 = 0,054 (100)2 = 540 m
Rmin dari Tabel 2.1 PD.10 tahun 1986 = 550 m
R rencana = 600 m (dicoba)
90 x Ls 90 𝑥 105
θs = = = 3,166º = 3º9’58,85”
πxR 𝜋𝑥 950
θc = Δs - 2 θs = 20°20'5" – (2 x 3º9’58,85”) = 14,002º = 14°0'07,31"
Lc = (θc/180).π.R = (14°0'07,31"/180) x π x 950 = 232.162 ≈ 233 m
L = 2 Ls + Lc = (2 x 105) + 233 = 443 m
c. Menghitung Tt dan Et
Tt = (R + p) tg ½ Δ + k = [(950 + 0,5) tg (½. 20°20'5")] + 53 = 223,46 ≈ 224 m
Et = (R + p) sec ½ Δ – R = [(950 + 0,5) tg (½. 20°20'5")] - 950 = 15,66 ≈ 16 m
d. Menggambarkan skema proyeksi lengkung horisontal seperti pada gambar 7.8 dengan
mencantumkan angka hasil perhitungan pada setiap notasi.
Contoh soal 3
Dari contoh soal 2, buatlah gambar diagram superelevasi lengkung horisontalnya dan juga
tentukan perubahan peninggian rel pada lengkung peralihan !
Jawaban:
Data untuk diagram superelevasi : Peninggian rencana rel : 105 mm Ls = 105 m Lc = 233 m
Gambar diagram :
1 2 3 4
Ls Lc Ls
Perubahan peninggian rel pada lengkung peralihan : Panjang lengkung peralihan yang ditinjau
adalah titik pada ¼ LS (titik 1) , ½ LS (titik 2), ¾ LS (titik 3) dan LS (titik 4).
Titik 1 = ¼ Ls/Ls x 105 m = 26,25 m Titik 3 = ¾ Ls/Ls x 105 m = 78,75 m
Titik 2 = ½ Ls/Ls x 105 m = 52,50 m Titik 4 = Ls/Ls x 105 m = 105 m
Contoh soal 4
Dari contoh soal 2, jika gerbong dan kereta memiliki panjang antar gandar kokoh 4,00 m,
tentukan nilai pelebaran sepur pada alinemen rencana menggunakan pendekatan cara
Indonesia.
Jawaban:
Data untuk perhitungan pelebaran sepur : R = 950 m d = 4,00 m
w = (8000/R) – 8 = (8000/950) – 8 = 0,42 m ≈ 0 m
Karena nilai w sangat kecil maka pada alinemen rencana tidak memerlukan pelebaran sepur.
Contoh Soal 5
Rencanakan lengkung vertikal dengan rencana landai sebagaimana ditunjukkan dalam gambar,
apabila digunakan kecepatan rencana untuk jari-jari lengkung sebagaimana pada contoh soal
1.
3‰
0‰
Jawaban:
V rencana = 100 km/jam
β = (3 ‰) – ( 0 ‰) = 3 ‰
Dari PD.No.10 tahun 1986 dapat ditentukan R rencana = 7000 m (R min = 6000 untuk V
rencana ≤ 100 km/jam). Lv = β x R = (3 ‰) × 7000 = 21 m
Ev = ym = 1/8 β2 R = 1/8 x (3 ‰)2 x 7000 = 7,875x10-3 m
Diskusikan jawaban pertanyaan di bawah ini untuk setiap kelompok kecil yang
dibentuk kemudian lakukan presentasi atas jawaban tiap grup.
Soal:
1. Jelaskan klasifikasi kecepatan yang perlu diketahui dalam perencanaan geometrik jalan rel?
2. Jelaskan konsep ruang bebas dan ruang bangun pada jalur tunggal dalam perencanaan jalan
rel ?
3. Kenapa diperlukan pelebaran sepur ? jelaskan ? dan metode apa saja yang dapat digunakan
untuk menghitungnya ?
4. Jelaskan konsep persamaan turunan untu menentukan jari-jari minimum alinemen
horisontal berdasarkan anggapan bahwa gaya sentrifugal kereta didukung oleh gaya berat
dan komponen rel ?
5. Jalan rel direncanakan untuk kondisi topografi pada daerah datar sebagaimana dijelaskan
pada gambar di bawah. Mengingat tidak ada landai curam dalam perencanaan maka setiap
rangkaian kereta penumpang dan barang hanya cukup dilayani oleh 1 lokomotif saja. Trase
jalan dibuat titik perpotongan dengan membentuk sudut 21°12'18". Jika digunakan kelas
jalan II dengan kecepatan operasi rata-rata 109.3 km/jam.
Kecepatan Jenis Jumlah Jumlah Tonase Lokomotif &
Operasi Kereta Api Lintas Kereta Kereta
6. Dari Rata-Rata Operasi Penumpang/ Penumpang/Barang soal
(km/jam) per Hari Barang pada (ton) no.5,
Rangkaian
KA Lokomotif = 72
2 kali 15 kereta
Gatotkaca K. penumpang = 106
KA Lokomotif = 90
102 3 kali 12 kereta
Pundawa K. penumpang = 108
Lokomotif = 75
KA Muda 1 kali 12 kereta
K. penumpang = 108
Lokomotif = 80
KA Tratas 4 kali 10 kereta
K. penumpang = 107
106
KA Lokomotif = 82
2 kali 14 kereta
Kencana K. penumpang = 109
KA Lokomotif = 80
92 4 kali 12 kereta
Ekonomi 1 K. penumpang = 108
KA Lokomotif = 85
86 3 kali 15 kereta
Ekonomi 2 K. penumpang = 109
tentukan perubahan peninggian rel luar pada daerah lengkung peralihan dan diagram
superelevasinya.
7. Rencanakan lengkung vertikal apabila ditentukan selisih kelandaian 4,5 ‰ dengan kelas
jalan rencana tipe I.
8. Tentukan panjang trase jalan berlandai curam dengan kecepatan kereta api sebelum
memasuki landai 98 km/jam, dan kecepatan setelah mencapai landai 65 km/jam. Landai
penentu ditetapkan sebagai 8,9 ‰ dan landai curam rencana 20 ‰.
9. Rencanakan kelas jalan dan kecepatan operasional, untuk perencanaan geometrik apabila
data lalu lintas kereta sebagaimana diberikan dalam tabel berikut ini :
E. Rangkuman
Perancangan jalan rel pada umumnya sama dengan perancangan jalan raya dalam hal
peninjauan materi yaitu berupa perancangan alinyemen horisontal, dan alinyemen vertikal.
Perancangan alinyemen horisontal berupa lengkung lingkaran dan lengkung peralihan
mempertimbangkan gaya sentrifugal, kecepatan rencana dan beban gandar, daya angkut lintas,
ruang bebas dan ruang bangun serta jati-jari lingkaran. Selain itu perlu dilakukan perhitungan
peninggian rel dan pelebaran sepur pada tikungan.
Perancangan alinyemen vertikal berupa kelandaian mempertimbangkan faktor
ekonomis dalam hal galian dan timbunan serta memperhatikan sudut kelandaian dan panjang
landai penentu dan landai curam. Di antara 2 kelandaian menurun atau menanjak yang berbeda
perlu adanya jalan mendatar sepanjang panjang kereta terpanjang yang akan melewati jalan rel.
Perancangan geometrik jalan rel juga mempertimbangkan kordinasi antar alinyemen
horisontal dan alinyamen vertikal dimana letak lengkung vertikal harus diusahakan tidak
berimpit dengan lengkung horisontal.
F. Referensi
Perusahaan Jawatan Kereta Api (1986), Perencanaan Konstruksi Jalan Rel, (Peraturan Dinas
No. 10, PT. Kereta Api Persero), Jakarta.
Subarkah, I. (1981), Jalan Kereta Api, Idea Dharma, Bandung.
Tri Utomo, S.H. (2004), Jalan Rel, Beta Offset, Yogyakarta.