Anda di halaman 1dari 40

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum
Perencanaan geometrik jalan adalah perencanaan rute dari suatu ruas jalan
secara lengkap, meliputi beberapa elemen yang disesuaikan dengan kelengkapan
data dan data dasar yang ada atau tersedia dari hasil survey lapangan dan telah di
analisis, serta mengacu pada ketentuan yang berlaku (Hendarsin, 2000).
Perkerasan jalan adalah konstruksi yang dibangun diatas lapisan tanah dasar
(subgrade) yang berfungsi untuk menopang beban lalu lintas (Hendarsin, 2000).
Konstruksi prekerasan jalan adalah tanah dasar yang berasal dari lokasi itu
sendiri atau didekatnya, yang telah dipadatkan sampai tingkat kepadatan tertentu
sehingga mempunyai daya dukung yang baik serta berkemampuan
mempertahankan perubahan volume selama masa pelayanan (Sukirman, 1999).
Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari lapisan-lapisan yang diletakkan
di atas tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan teresebut berfungsi
untuk menerima beban lalu lintas dan menyebarkan ke lapisan di bawahnya
(Sukirman, 1999).
Beban kendaraan dilimpahkan ke perkerasan jalan melalui bidang kontak
roda beban berupa beban terbagi rata. Beban tersebut berfungsi untuk diterima
oleh lapisan permukaan dan disebarkan ke tanah dasar menjadi lebih kecil dari
daya dukung tanah dasar (Sukirman, 1999).

2.2 Klasifikasi Jalan


Klasifikasi jalan di Indonesia menurut Kelas Jalan dapat dilihat pada Tabel
2.1.

10
11

Tabel 2. 1 Ketentuan Klasifikasi : Fungsi, Kelas Beban, Medan

Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat


Arteri I >10
II 10
III A 8
Kolektor III A 8
III B
Lokal III C 8
(Saodang, 2004)

Keadaan topografi dalam penetapan trase jalan memegang peranan yang


sangat penting, karena akan mempengaruhi penetapan alinyemen, kelandaian
jalan, jarak pandangan, penampang melintang, saluran tepid an lain sebagainya.
Untuk lokasi dengan daerah datar, pengaruhnya tidak begitu nyata, penentuan
trase dapat dengan bebas ditarik kemana saja, disesuaikan dengan arah dan
tujuan rute jalan raya yang direncanakan. Untuk daerah perbukitan atau daerah
pegunungan adalah sebaliknya, topografi sangat mempengaruhi pemilihan lokasi
serta penetapan bagian-bagian jalan lainnya, bahkan sangat mungkin akan
mempengaruhi penetapan tipe jalan. Misalnya saja untuk dapat mempertahankan
kapasitas, karena beratnya terrain terpaksa perlu mengadakan jalur tambahan
pada pendakian-pendakian yang berat dari jalur jalan (climbing lane), juga
kadang-kadang karena mahalnya untuk menyediakan jarak pandangan
mendahului yang cukup pada jalan 2 – jalur, akan dapat membuat jalan tersebut
sebagian menjadi jalan 4 – jalur.
Penggunaan lahan seperti daerah pertanian, perindustrian, perkampungan,
tempat-tempat rekreasi dan lain sebagainya juga dapat mempengaruhi
perencanaan, misalnya jalan untuk daerah perindustrian direncanakan untuk lalu
lintas yang sebagian besar terdiri dar kendaraan truk, yang akan memerlukan
persyaratan berbeda daripada perencanaan jalan untuk daerah perkampungan
atau tempat-tempat rekreasi dengan kendaraan pada umumnya adalah mobil
penumpang.
Jalan-jalan di daerah intra-urban, biasanya diperuntukkan untuk kendaraan
dengan bobot muatan tinggi, sedangkan jalan-jalan di daerah perkotaan
diperuntukkan untuk variasi lalu-linta dengan kecepatan rendah atau tinggi. Oleh

11
12

sebab itu persyaratan perencanaan untuk jalan-jalan antar kota adalah lebih berat
dari berat jalan perkotaan, walaupun pemilihan trase di daerah intra-urban adalah
lebih bebas daripada di daerah perkotaan.
Secara umum trase jalan paa daerah perbukitan, selalu mengikuti kontur dari
topografi, sehingga banyak berkelok-kelok karena untuk mempertahankan
kelandaian memanjang (grade) jalan. Namun demikian yang paling utama adalah
grade disesuaikan dengan persyaratan yang ada, agar kendaraan-kendaraan berat
masih bisa melaluinya. Persyaratan ini mengatur kelandaian memanjang
maksimum (grade) jalan, agar semnua jenis kendaraan yang diijinkan pada ruas
tersebut dapat mempertahankan kecepatan rencananya, dan tidak sampaiterhenti
akibat keterbatasan kapasitas mesin yang dipunyai kendaraan.
klasifikasi medan berdasarkan topografi dapat dilihat pada Tabel 2.2
Tabel 2. 2 Ketentuan Klasifikasi : Fungsi, Kelas Beban, Medan

Topografi medan Kemiringan medan


Datar (D) <3
Perbukitan (B) 3 – 25
Pegunungan (G) >25%
(Saodang, 2004)

2.3 Perencanaan Alinemen Horisontal


Alinemen Horisontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal.
Alinemen horizontal disebut juga situasi jalan atau trace jalan. Bagian yang
penting pada alinemen horizontal adalah bagian tikungan. Pada perencanaan
alinemen horizontal, pada umumnya akan ditemui dua bagian jalan, yaitu bagian
lurus dan bagian lngkung atau umum disebut tikungan.
Tikungan itu sendiri terdiri dari tiga jenis tikungan yang umum digunakan,
yaitu :
 Full-Circle (F-C)
 Spiral – Circle – Spiral (S-C-S)
 Spiral – Spiral (S-S)
13

2.3.1 Bagian Lurus


Pada elemen geometrik berupa alinyemen horizontal, bilaman topografi
berupa daerah datar, dapat terjadi bagian lurus (tangen) menjadi sangat penting.
Dengan mempertimbangkan faktor keselamatan pemakai jalan, ditinjau dari segi
kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum bagian jalan yang lurus harus
ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 2,50 menit (sesuai Vr). Pada Tabel 2.3
dicantumkan panjang maksimum bagian lurus pada alinyemen horizontal.
Tabel 2. 3 Panjang bagian lurus maksimum

Fungsi Panjang Bagian Lurus Maksimum (m)


Datar Bukit Gunung
Arteri 3.000 2.000 2.000
Kolektor 2.000 1.750 1.500
(TPGJA No 038/T/BM/1997)
2.3.2 Tikungan
2.3.2.1 Jari-Jari Minimum
Agar kendaraan stabil saat melalui tikungan, perlu dibuat suatu kemiringan
melintang jalan pada tikungan yang disebut superelevasi (e). Pada saat kendaraan
melalui daerah superelevasi, akan terjadi gesekan arah melintang jalan antara ban
kendaraan dengan permukaan aspal yang menimbulkan gaya gesekan melintang.
Perbandingan gaya gesekan melintang dengan gaya normal disebut koefisien
gaya gesekan melintang (f).
Untuk menghindari terjadiya kecelakaan, maka kecepatan tertentu dapar
dihitung jari-jari minimum untuk superelevasi maksimum dan koefisien gesekan
maksimum.
Dalam penelitian lebih lanjut, korelasi koefisien melintang dan kecepatan,
masih berupa garis linier hanya dipecah menjadi dua garis patah 𝑓1 =
−0,00065 𝑥 𝑉𝑅 + 0,912 , berlaku untuk kecepatan V < 80km/jam, sedangkan
𝑓2 = −0,000125 𝑥 𝑉𝑅 + 0,24 , berlaku untuk kecepatan antara 80 – 112 km/jam
(Saodang, 2004)
14

Harga radius minimum ini merupakan ketentuan minimum untuk memilih


radius lengkungan dalam perencanaan, yang dapat dihitung dari rumus dibawah
ini :
𝑉𝑅 2
𝑅𝑚𝑖𝑛 = 127(𝑒
𝑚𝑎𝑘𝑠 +𝑓𝑚𝑎𝑘𝑠 )

181913,53 × (𝑒𝑚𝑎𝑘𝑠 + 𝑓𝑚𝑎𝑘𝑠 )


𝐷𝑚𝑎𝑘𝑠 =
𝑉𝑅 2
(Saodang, 2004)
Keterangan :
Rmin = Jari-jari tikungan minimum (m)
VR = Kecepatan kendaraan rencana (km/jam)
emaks = Superelevasi maksimum (10%)
f = Koefisien gesek, untuk perkerasan aspal f = 0,14 – 0,24
Dmaks = Derajat kelengkungan maksimum
Penggunaan radius minimum yang menghasilkan lengkungan tertajam ini,
sebaiknya dihindarkan dalam suatu pelaksanaan alinyemen horizontal, karena hal
ini menimbulkan rasa tidak nyaman bagi pengemudi yang bergerak dengan
kecepatan lebih tinggi dari kecepatan rencana. Bina marga memberikan nilai
yang terdapat pada Tabel 2.4 untuk mencari Rmin.

Tabel 2. 4 Panjang jari-jari minimum (dibulatkan)

VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20


Rmin (m) 600 370 210 110 80 50 30 15
(Saodang, 2004)

Ketajaman lengkung horizontal, dinyatakan dengan besarnya radius dari


lengkung atau dengan besarnya derajat kelengkungan.
Derajat kelengkungan didefinisikan sebagai besar sudut lengkung yang
memberikan panajng busur 25,0 meter.
1432,39
𝐷=
𝑅𝑟
(Saodang, 2004)
15

Keterangan :

D = Derajat kelengkungan terjadi

Rr = Jari-jari tikungan rencana (m)

2.3.2.2 Lengkung peralihan (Ls)


Perubahan jurusan yang dilakukan oleh pengemudi dari jalan lurus (R = ) ke
tikungan berbentuk busur lingkaran (R = Rc), berdampak perubahan arah secara
mendadak. Hal ini tidak akan terjadi, bilamana :

1. Pada saat pertama kali mendadak kali membelok, yang dibelokkan adalah
roda depan kendaraan, sehingga jejak roda akan melintasi lintasan peralihan
dari jalan yang lurus ke tikungan berbentuk busur lingkaran.
2. Dari keadaan tersebut diatas, makak gaya sentrifugal yang terjadiakan muncul
secara berangsur-angsur dari mulai R tak terhingga di jalan lurus sampai ke R
= Rc pada tikungan berbentuk busur lingkaran.
Pada lengkung horizontal yang tumpul dengan jari-jari besar, lintasan
kendaraan masih dapat tetap berada pada lajur jalnnya, tetapi pada tikungan yang
tajam kendaraan akan menyimpang dari lajur lain disampingnya. Guna
menghindari hal tersebut, sebaiknya dibulatkan suatu lengkung, yang mana
lengkung tersebut merupakan peralihan dari R = tak terhingga menuju ke R = Rc.
Lengkung ini disebut dengan lengkung peralihan.
Seperti yang disebutkan diatas sebelumnya, bentuk lengkung peralihan,
mempunyai bentuk yang sama dengan jejak roda kendaraan ketika beralih dari
jalan yang lurus ke tikungan berbentuk busur lingkaran dan sebaliknya,
dipengaruhi oleh sifat pengemudi, kecepatan kendaraan, radius lengkung, dan
kemiringan melintang jalan. Lengkung spiral atau clotboid merupakan bentuk
lengkung yang banyak dipergunakan pada saat ini.
Pencapaian kemiringan melintang jalan dari kemiringan jalan normal pada
jalan yang lurus ke kemiringan melintang sebesar superelevasi dan sebaliknya
dilakukan pada awal dan akhir lengkung. Bina Marga memperhitungkan panjang
lengkung peralihan mulai sepanjang penampang melintang berbentuk crown
16

(mahkota) sampai penampang melintang dengan kemiringan sebesar superelevasi.


Sedangkan AASTHO’90 memperhitungkan panjang lengkung peralihan dari
penampang melintang berbentuk sampai penampang melintang dengan
kemiringan sebesar superelevasi.
Nilai terbesar dari tiga persamaan di bawah ini :
1) Berdasar waktu tempuh maksimum (3 detik), untuk melintasi lengkung
peralihan, maka panjang lengkung:
𝑉𝑅
𝐿𝑠 = 𝑥𝑇
3,6
2) Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal:
𝑉𝑅 3 𝑉𝑅 𝑥 𝑒
𝐿𝑠 = 0,022 𝑥 − 2,727 𝑥
𝑅𝑥𝐶 𝐶
3) Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian:
(𝑒𝑚 − 𝑒𝑛 )
𝐿𝑠 =
3,6 𝑥 𝑟𝑒
(Saodang, 2004)
Keterangan :

Ls = Lengkung peralihan

T = Waktu tempuh pada lengkung peralihan, ditetapkan 3 detik

VR = Kecepatan rencana (km/jam)

e = Superelevasi

R = Jari-jari busur lingkaran (m)

C = Perubahan percepatan diambil 0,3 – 1,0 disarankan 0,4 m/det2

em = Superelevasi maksimum

en = Superelevasi normal

re = Tingkat pencapaian perubahan kelandaian melintang jalan (m/deik),


17

2.3.3 Jenis Tikungan


2.3.3.1 Bentuk busur lingkaran (F-C)
FC (Full Cicrcle) adalah jenis tikungan yang hanya terdiri dari bagian suatu
lingkaran saja. Tikungan FC hanya digunakan umtuk R (jari-jari) yang besar agar
tidak terjadi patahan, Karena denga R kecil maka diperlukan superelevasi yang
besar, pada Gambar 2.1 dapat dilihat lengkung Full Circle.

Gambar 2. 1 Lengkung Full Circle


(Hendarsin, 2000)
Keterangan :

PI = Sudut tikungan

O = Titik pusat tikungan

TC = Tangen to Circle

CT = Circle to Tangen

Rc = Jari-jari lingkaran

Tc = Panjang tangen (jarak dari TC ke PI ke TC)

Lc = Panjang busur lingkaran

Ec = Jarak luar dari PI ke busur lingkaran


18

2.3.3.2. Tikungan Spiral-Circle-Spiral (S-C-S)


Tikungan Spiral-Circle-Spiral yaitu lengkung yang terdiri atas bagian
lengkungan circle dengan bagian peralihan spiral untuk menghubungkan dengan
bagian lurus Full Circle (FC). Pada Gambar 2.2 dapat dilihat lengkung Spiral-
Circle-Spiral.

Gambar 2. 2 Lengkung Spiral-Circle-Spiral


(Hendarsin, 2000)

Keterangan:

Xs = Absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik TS ke SC (jarak lurus
lengkung peralihan)

Ys = Ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis tangen, jarak tegak lurus ke
titik SC pada lengkung.

Ls = Panjang lengkung peralihan (panjang dari titik TS ke SC atau CS ke ST)

Lc = Panjang busur lingkaran (panjang dari titik SC ke CS)

Ts = Panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST

TS = Titik dari tangen ke spiral


19

SC = Titik dari spiral ke lingkaran

Es = Jarak dari PI ke busur lingkaran

s = Sudut lengkung spiral

Rc = jari-jari lingkaran

p = Pergeseran tangen terhadap spiral

k = Absis dari p pada garis tangen spiral

Rumus-rumus yang dipergunakan :

𝐿𝑠 2
𝑋𝑠 = 𝐿𝑠 (1 − )
40 𝑅𝑐 2
𝐿𝑠 2
𝑌𝑠 = 𝐿𝑠 ( )
6 𝑅𝑐
90 𝐿𝑠
𝜃𝑠 = 𝑥
𝜋 𝑅𝑐
𝐿𝑠 2
𝑝= − 𝑅𝑐 (1 − 𝑐𝑜𝑠 𝜃𝑠)
6 𝑥 𝑅𝑐𝑐
𝐿𝑠 3
𝑘 = 𝐿𝑠 − ( ) − 𝑅𝑐 × 𝑠𝑖𝑛 𝜃𝑠
40 𝑅𝑐 2

𝑇𝑠 = (𝑅𝑐 + 𝑝) × 𝑡𝑎𝑛 1⁄2 ∆ + 𝑘

𝐸𝑠 = (𝑅𝑐 + 𝑝) × 𝑠𝑒𝑐 1⁄2 ∆ + 𝑅𝑐


∆ − 2𝜃𝑠
𝐿𝑐 = ( ) 𝑥 𝜋 𝑥 𝑅𝑐
180
𝐿𝑡𝑜𝑡 = 𝐿𝑐 + 2𝐿𝑠
(Hendarsin, 2000)
20

2.3.3.3 Tikungan Spiral-Spiral (S-S)


Spiral-Spiral adalah lengkung yang hanya terdiri dari Spiral-Spiral saja
tanpa adanya circle. Dengan kata lain tikungan Spiral–Spiral adalah wujud dari
tikungan SCS tetapi tidak menggunakan bagian circle atau lingkarannya.
Lengkung Spiral-Spiral ini biasa digunakan pada tikungan dengan perencanaan
kecepatan rencana yang tinggi. Pada Gambar 2.3 dapat dilihat lengkung spiral-
spiral.

Gambar 2. 3 Lengkung Spiral-Spiral


(Hendarsin, 2000)

Keterangan gambar :

Ts = Panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST

Xs = Absis titik SS pada garis tangen, jarak dari titik TS ke SS

Ys = Jarak tegak lurus garis tangen dari titik PI ke titik TS ke titik SS

Ls = Panjang dari titik TS ke SS atau SS ke ST

TS = Titik dari tangen ke spiral

Es = Jarak dari PI ke busur lingkaran


21

s = Sut lengkung spiral

Rc = Jari-jari lingkaran

p = Pergeseran tangen terhadap spiral

k = Absis dari p pada garis tangen spiral

s = Sudut lengkung spiral

2.3.4 Diagram Superelevasi


Superelevasi adalah kemiringan melintang jalan pada daerah tikungan. Untuk
bagian jalan lurus, jalan mempunyai kemiringan melintang yang biasa disbut
lereng normal atau normal trawn yaitu diambil minimum 2 % baik sebelah kiri
maupun sebelah kanan As jalan. Hal ini dipergunakan untuk sistem drainase aktif.
Harga elevasi ( e ) yang menyebabkan kenaikan elevasi terhadap sumbu jalan di
beri tanda (+) dan yang menyebabkan penurunan elevasi terhadap jalan di beri
tanda (-).

Sedangkan yang dimaksud diagram superelevasi adalah suatu cara untuk


menggambarkan pencapaian superelevasi dan lereng normal ke kemiringan
melintang (superelevasi). Diagram superelevasi pada ketinggian bentuknya
tergantung dari bentuk lengkung yang bersangkutan.

Berikut adalah diagram superelevasi yang dapat dilihat pada Gambar 2.4
mengenai diagram superelevasi Full Circle, dan Gambar 2.5 mengenai diagram
superelevasi Spiral-Circle-Spiral, dan Gambar 2.6 mengenai diagram superelevasi
Spiral –Spiral.
22

a. Diagram superelevasi Full-Circle menurut Bina Marga

Gambar 2. 4 Diagram Superelevasi Full Circle (FC)


23

b. Diagram superelevasi pada Spiral-Circle-Spiral menurut Bina Marga

Gambar 2. 5 Diagram Superelevasi Spiral-Circle-Spiral (S-C-S)


24

c. Diagram superelevasi pada Spiral-Spiral

Gambar 2. 6 Diagram Superelevasi Spiral-Spiral (SS)


25

2.3.5 Daerah Bebas Samping di Tikungan


Jarak pandang pengemudi kendaraan yang bergerak pada lajur tepi sebelah
dalam seringkali terhalang oleh gedung-gedung, hutan-hutan kayu, tebing galian
dan lainnya.

Penentuan batas minimum jarak antara sumbu lajur sebelah dalam ke


penghalang ditentukan berdasarkan kondisi dimana jarak pandangan berada di
dalam lengkung, dimana jarak pandangan (S) lebih kecil dari panjang tikungan
yang bersangkutan (Ls), atau keadaan dimana jarak pandangan (S) lebih besar dari
panjang tikungan (Ls), sehingga jarak pandangan sebagian merupakan lengkung
sepanjang (L), dan sisanya merupakan garis lurus, pada Gambar 2.7 dapat dilihat
jarak pandang pada lengkung horizontal untuk S < L dan Gambar 2.8 mengenai
jarak pandangan pada lengkung horizontal untuk S < L.

Gambar 2. 7 Jarak pandang pada lengkung horizontal untuk S < L


(Hendarsin, 2000)
26

Keterangan :
Jh = Jarak pandang henti (m)
Lt = Panjang tikungan (m)
E = Daerah kebebasan samping (m)
R = Jari-jari lingkaran (m)

Gambar 2. 8 Jarak pandangan pada lengkung horizontal untuk S > L


(Hendarsin, 2000)

Keterangan :

Jh = Jarak pandang henti (m)


Ld = Jarak pandang menyiap (m)
Lt = Panjang lengkung total (m)
R = Jari-jari tikungan (m)
R’ = Jari-jari sumbu lajur (m)
27

2∅ 𝜋∅𝑅′
𝑆= 2𝜋𝑅 ′ =
360 90
90 𝑆 90 𝐷𝑆 𝐷𝑆
∅= = =
𝜋 × 𝑅′ 𝜋 1432,39 50
90 𝑆 28,65 × 𝑆
∅= =
𝜋 × 𝑅′ 𝑅′
𝑚 = 𝑅′(1 − cos 𝐷 𝑆⁄50)

𝑚 = 𝑅′ (1 − cos 28,65 × 𝑆⁄ )
𝑅′
(Hendarsin, 2000)

Untuk kecepatan rencana tertentu dan berdasarkan jarak pandangan henti


minimum seperti pada Tabel 2.5.
Tabel 2. 5 Jarak pandangan henti minimum

Kecepatan Kecepatan fm D d d
Rencana Jalan perhitungan perhitungan Desain
(km/jam) (km/jam) untuk Vr untuk Vj (m)
(m) (m)
30 27 0.400 29,71 25,94 25 – 30
40 36 0,375 44,60 38,63 40 – 45
50 45 0,350 62,87 54,05 55 – 65
60 54 0,330 84,65 72,32 75 – 85
70 63 0,313 110,28 93,71 95 – 110
80 72 0,300 139,59 118,07 120 – 140
100 90 0,285 207,64 174,44 175 – 210
120 108 0,280 285,87 239,06 240 - 285
(Saodang, 2004)

2.3.6 Pelebaran Perkerasan


Pelebaran perkerasan dilakukan pada tikungan-tikungan yang tajam, agar
kendaraan tetap dapat mempertahankan lintasannya pada jalur yang telah
disediakan.

Gambar dari pelebaran perkerasan pada tikungan dapat dilihat pada Gambar
2.9.
28

Gambar 2. 9 Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan.


(Saodang, 2004)

2.3.6.1 Kendaraan Sedang


Rumus yang digunakan dalam perhitungan kendaraan sedang adalah :
𝐵 = 𝑛(𝑏 ′ + 𝑐) + (𝑛 + 1)𝑇𝑑 + 𝑍
𝑏 ′ = 𝑏 + 𝑏"
𝑏" = 𝑅𝑟 − √𝑅𝑟 2 − 𝑝2

𝑇𝑑 = √𝑅𝑟 2 + 𝐴(2𝑝 + 𝐴) − 𝑅
𝑉
𝑍 = 0,105 × ( )
√𝑅
𝜀 =𝐵−𝑊
Keterangan :
B = Lebar perkerasan pada tikungan
N = Jumlah jalur lalu lintas
b = Lebar lintasan truk pada jalur lurus
b’ = Lebar lintasan truk pada tikungan
b” = Penambahan lebar lintasan truk pada waktu belok
P = Jarak As roda depan dengan roda belakang truk
A = Tonjolan depan sampai bumper
W = Lebar perkerasan
29

Td = Lebar melintang akibat tonjolan depan


Z = Lebar tambahan akibat kelelahan pengemudi/ kelalaian mengemudi
C = Kebebasan samping
 = Pelebaran perkerasan

2.3.7 Kontrol Overlapping


Pada setiap tikungan yang sudah direncanakan maka jangan sampai terjadi
over lapping. Karena kalau hal ini terjadi maka tikungan tersebut menjadi tidak
aman untuk digunakan sesuai kecepatan rencana. Syarat supaya tidak terjadi over
lapping : aI > 3V

Dimana : aI = daerah tangen (meter)

V = kecepatan rencana

Contoh perhitungan Kontrol Overlaping

Syarat over lapping d  a, dimana a = 3 detik x Vr (Vr dalam m/dt)

Maka d overlapping 1 = d1 – Tc1  3 detik x Vr

D overlapping 2 = d2 – (Tc1 + Tt2)  3 detik x Vr

D overlapping 3 = d3 –Tt2  3 detik x Vr

2.3.8 Perhitungan Stationing


Stationing adalah dimulai dari awal proyek dengan nomor station angka
sebelah kiri tanda (+) menunjukkan (meter). Angka stationing bergerak ke kanan
dari titik awal proyek menuju titik akhir proyek.
30

Contoh perhitungan stationing :

Sta A = 0+000

Sta PI1 = Sta A+d1

Sta TC1 = Sta TC1+Lc1

Sta CT1 = Sta CT1 + d2 + TC1

Sta PI2 = Sta CT1 + d2 + Tc1

Sta TS1 = Sta PI2 + Tt1

Sta SC1 = Sta TS1 + Lc2

Sta CS1 = Sta SC1 + Lc2

Sta ST1 = Sta CS1 + Ls1

Sta PI3 = Sta ST1 + d3 – Tt1

Sta TS2 = Sta PI3 – Tt2

Sta SC2 = Sta TS2 + Ls2

Sta CS2 = Sta SC2 + Lc3

Sta ST2 = Sta CS2 +Ls2

Sta B = Sta ST3 + d4 – Tt2

Dalam merencanakan tikungan pada studi perencanaan geomatrik dan


perkerasan jalan dapat dilihat Gambar 2.10 mengenai diagram alir perencanaan
tikungan Full Circle (FC) dan pada Gambar 2.11 mengenai diagram alir
perencanaan tikungan Spiral-Spiral (SS).
31

Mulai

Data:

 Sudut luar tikungan ( PI)


 Kecepatan rencana (Vr)
 Superelevasi maksimum (e maks)

Perhitungan :

 Jari-jari minimum (Rmin)


 Derajat lengkung maksimum
(Dmaks)

Rr Tanpa Ls  Tikungan S-C-S


Rmin Tanpa Ls

Dicoba Tikungan FC

Perhitungan Dtjd dan e tjd

Perhitungan Data Tikungan FC :

 Lengkung peralihan fiktif (Ls’)


 Panjang tangen (Tc)
 Jarak luar dari PI ke busur lingkaran
(Ec)
 Panjang busur lingkaran (Lc)
Checking : 2 Tc > Lc  ok

Diagram superelevasi

Pelebaran Perkerasan

Jh dan Jd Daerah Kebebasan samping

Selesai
Gambar 2.10 diagram alir perencanaan tikungan (full-circle) FC.
32

Mulai

Data:

 Sudut luar tikungan ( PI)


 Kecepatan rencana (Vr)
 Superelevasi maksimum (e maks)
Perhitungan :

 Jari-jari minimum (Rmin)


 Derajat lengkung maksimum (Dmaks)
Rmin tanpa Ls > Rr dengan Ls > Rmin dengan Ls

Dicoba Tikungan S-C-S

Perhitungan :

 Superelevasi terjadi (etjd)


 Panjang Lengkung peralihan (Ls)
 Sudut lengkung spiral (s)
 Sudut busur lingkaran
 Panjang Busur Lingkaran (Lc)
Syarat : Lc > 20 m

Perhitungan Data Tikungan S-S :

 Panjang lengkung peralihan (Ls), Lt = 2Ls


 Absis titik SC (Xs) dan Ordinat titik SC (Ys)
 Pergeseran Tangen terhadap spiral (p)
 Absis dari p pada garis tangen spiral (k)
 Panjang tangen (Ts)
 Jarak luar PI ke busur lingkaran (Es)
Checking : Ts > Ls  ok

Diagram Superelevasi

Jh dan Jd Daerah Kebebasan samping

Selesai

Gambar 2.11 Diagram alir perencanaan tikungan S-S


33

2.4 Perencanaan Alinemen Vertikal


Alinemen Vertikal adalah perencanaan elevasi sumbu jalan pada setiap titik
yang ditinjau, berupa profil memanjang. Pada perencanaan alinemen vertiakl
terdapat kelandaian positif (tanjakan) dan kelandaian negative (turunan),
sehingga kombinasinya berupa lengkung cembung dan lengkung cekung.
Disamping kedua lengkung tersebut terdapat pula kelandaian = 0 (datar).
Rumus-rumus yang digunakan dalam alinemen Vertikal :
(𝑒𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝑒𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟)
1. 𝑔 = × 100%
𝑆𝑡𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝑆𝑡𝑎 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟

2. ∆= 𝑔1 − 𝑔2
2
3. 𝑆 = 0,694𝑉𝑟 + 0,004 [𝑉𝑟 ⁄(𝑓)]
∆×𝐿𝑣
4. 𝐸𝑣 = 800
2
∆×(1⁄4𝐿𝑣)
5. 𝑦 = 200×𝐿𝑣

6. Panjang lengkung vertikal (Lv)


a. Syarat Kenyamanan
𝑉2 × ∆
𝐿𝑣 =
380
b. Syarat Pengurangan goncangan
𝑉2 × ∆
𝐿𝑣 =
360
c. Syarat keluwesan bentuk
𝐿𝑣 = 0,6 × 𝑉
d. Syarat perjalanan 3 detik
𝐿𝑣 = 𝑉 × 𝑡
e. Syarat drainase
𝐿𝑣 = 40 × ∆
34

1) Lengkung vertical cembung


Adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangent berada di
atas permukaan jalan
2) Lengkung vertical cekung
Adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangent berada di
atas permukaan jalan
Keterangan :
PLV = titik awal lengkung parabola
PPV = titik perpotongan kelandaian g1 dan g2
PTV = titik akhir lengkung parabola
g = kemiringan tangen; (+) naik; (-) turun
 = perbedaan aljabar landau (g1 – g2) %
EV = pergeseran vertikal titik tengah busur lingkaran (PV1) meter
Lv = Panjang lengkung vertical

V = kecepatan rencana (km/jam)

S = jarak pandang henti

f = koefisien gesek memanjang menurut Bina Marga, f = 0,35

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan Alinemen Vertikal


adalah :

1) Kelandaian maksimum
Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan
penuh mampu bergerak dengan kecepatan tidak kurang dari separuh
kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah untuk kelandaian
maksimum yang diizinkan sebagaimana pada Tabel 2.6.

Tabel 2. 6 Kelandaian Maksimum yang diijinkan

Landai maksimum % 3 3 4 5 8 9 10 10

Vr (km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40

(TPGJAK No 038/T/BM/1997)
35

2) Panjang Kritis
Panjang kritis yaitu panjang landau maksimum yang harus disediakan agar
kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian sehingga
penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh Vr. Lama perjalanan tersebut
ditetapkan tidak lebih dari satu menit. Pada Tabel 2.7 dapat dilihat panjang
kritis yang diizinkan.

Tabel 2. 7 Panjang Kritis yang dizjinkan

Kecepatan pada awal tanjakan Kelandaian (%)


(km/jam)
4 5 6 7 8 9 10

80 630 460 360 270 230 230 200

60 320 210 160 120 110 90 80

(TPGJAK No 038/T/BM/1997)

Dalam perencanaan alinemen vertikal terdapat diagram alir pada Gambar 2.12.
36

Data:

 Stationing PPV
 Elevasi PPV
 Kelandaian Tangent (g)
 Kecepatan Rencana (Vr)
 Perbedaan Aljabar Kelandaian (A)

Perhitungan Panjang Lengkung Vertikal


Berdasarkan

 Syarat jarak pandang henti


 Syarat penyinaran lampu besar
 Syarat lintasan bawah
 Pengurangan goncangan
 Syarat keluwesan bentuk
 Syarat kenyamanan pengemudi
 Syarat drainase

Perhitungan :

 Pergeseran vertical titik tengah busur


lingkaran (Ev)
 Perbedaan elevasi titik PLV dan titik yang
ditinjau pada Sta (y)
 Stationing Lengkung vertical
 Elevasi lengkung vertikal

Selesai

Gambar 2. 12 Diagram Alir Perencanaan Alinemen Vertikal


37

2.5 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur


Perencanaan konstruksi lapisan lentur disini untuk jalan baru dengan Metode
Analisa Komponen, yaitu dengan metoda analisa komponen SKBI-2.3.26.1987.
Adapun untuk perhitungannya perlu pemahaman istilah-istilah sebagai berikut :
2.5.1 Lalu Lintas
1. Lalu lintas harian rata-rata (LHR)
Lalu lintas harian rata-rata (LHR) setiap jenis kendaraan ditentukan pada
awal umur rencana, yang dihitung untuk dua arah pada jalan tanpa median atau
masing-masing arah pada jalan dengan median.
 Lalu lintas harian rata-rata permulaan (LHRp)
𝐿𝐻𝑅𝑝 = 𝐿𝐻𝑅𝑠 × (1 + 𝑖1 )𝑛1
 Lalu lintas harian rata-rata akhir (LHRa)
𝐿𝐻𝑅𝐴 = 𝐿𝐻𝑅𝑝 × (1 + 𝑖2 )𝑛2
2. Rumus-rumus Lintas Ekivalen
Lintas Ekivalen Permulaan (LEP)
𝑛

𝐿𝐸𝑃 = ∑ 𝐿𝐻𝑅𝑃𝑗 × 𝐶 × 𝐸
𝑗=𝑚𝑝

Lintas Ekivalen Akhir (LEA)


𝑛

𝐿𝐸𝐴 = ∑ 𝐿𝐻𝑅𝐴𝑗 × 𝐶 × 𝐸
𝑗=𝑚𝑝

Lintas Ekivalen Tengah (LET)


𝐿𝐸𝑃 + 𝐿𝐸𝐴
𝐿𝐸𝑇 =
2
Lintas Ekivalen Rencana (LER)
𝐿𝐸𝑅 = 𝐿𝐸𝑇 × 𝐹𝑝
𝑛2
𝐹𝑝 =
10
38

Dimana : i1 = Pertumbuhan lalu lintas masa konstruksi


i2 = Perumbuhan lalu lintas masa layanan
J = jenis kendaraan
n1 = masa konstruksi
n2 = umur rencana
C = koefisien distribusi kendaraan
E = angka ekivalen beban sumbu kendaraan
2.5.2 Koefisien Distribusi Kendaraan
Koefisien distribusi kendaraan ( c ) untuk kendaraan ringan dan berat yang
lewat pada jalur rencana ditentukan menurut koefisien distribusi kendaraan pada
Tabel 2.8.
Tabel 2. 8 Koefisien Distribusi Kendaraan

Jumlah Lajur Kendaraan Ringan *) Kendaraan Berat **)


1 arah 2 arah 1 arah 2 arah
1 Lajur 1,00 1,00 1,00 1,00
2 Lajur 0,60 0,50 0,70 0,50
3 Lajur 0,40 0,40 0,50 0,475
4 Lajur - 0,30 - 0,45
5 Lajur - 0,25 - 0,425
6 Lajur - 0,20 - 0,40
(Alamsyah : 2001)
*) Berat total < 5 ton, misalnya: Mobil Penumpang, Pick Up, Mobil
Hantaran
**) Berat total  5 ton, misalnya : Bus, Truk, Traktor, Semi Trailer, Trailer

2.5.3 Angka Ekivalen ( E ) Beban Sumbu Kendaraan


Angka ekivalen ( E ) sumbu kendaraan dapat dilihat pada Tabel 2.9 dan
masing-masing golongan beban umum (setiap kendaraan) ditentukan menurut
rumus daftar sebagai berikut:
𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑡𝑢𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙 𝑑𝑙𝑚 𝑘𝑔 4
𝐸. 𝑆𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑡𝑢𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙 = ( )
8160
𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑔𝑎𝑛𝑑𝑎 𝑑𝑙𝑚 𝑘𝑔 4
𝐸. 𝑆𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑔𝑎𝑛𝑑𝑎 = 0,086 ( )
8160
39

Tabel 2. 9 Angka Ekivalen ( E ) Sumbu Kendaraan

Beban Sumbu Angka Ekivalen


Kg Lb Sumbu Tunggal Sumbu Ganda
1000 2205 0.0002 -
2000 4409 0.0036 0.0003
3000 6614 0.0183 0.0016
4000 8818 0.0577 0.0050
5000 11023 0.1410 0.0121
6000 13228 0.2923 0.0251
7000 15432 0.5415 0.0466
8000 17637 0.9238 0.0794
8160 18000 1.0000 0.0860
9000 19841 1.4798 0.1273
10000 22046 2.2555 0.1940
11000 24251 3.3022 0.2840
12000 26455 4.6770 0.4022
13000 28660 6.4419 0.5540
14000 30864 8.6647 0.7452
15000 33069 11.4184 0.9820
16000 35276 14.7815 1.2712
(Hendarsin, 2000)
2.5.4 Daya Dukung Tanah Dasar (DDT dan CBR)
Daya Dukung Tanah sangat diperhatikan, karena terkait pada ketahanan
terhadap bangunan pada perencanaan yang akan dilaksanakan. Daya dukung
tanah dasar (DDT) ditetapkan berdasarkan grafik korelasi DDT dan CBR yang
ada pada Gambar 2.13.
40

Gambar 2. 13 Korelasi DDT dan CBR

Catatan : Hubungan nilai CBR dengan garis mendatar kesebelah kiri diperoleh
nilai nilai DDT.
(Alamsyah : 2001)

2.5.5 Faktor Regional (FR)


Faktor regional bisa juga disebut faktor koreksi sehubungan dengan
perbedaan kondisi tertentu. Kondisi-kondisi yang dimaksud antara lain keadaan
lapangan dan iklim yang dapat mempengaruhi keadaan pembebanan daya
dukung tanah dan perkerasan. Dengan demikian dalam penentuan tebal
perkerasan ini Faktor Regional hanya dipengaruhi bentuk alinemen (Kelandaian
dan Tikungan)
pada Tabel 2.10 dapat dilihat prosentasi kendaraan berat dan beserta iklim.
41

Tabel 2. 10 Prosentasi kendaraan berat dan yang berhenti serta iklim

Curah Hujan Kelandaian 1 Kelandaian II (6- Kelandaian III


(<6%) 10%) (>10%)
% kendaraan berat % kendaraan berat % kendaraan berat
 30% > 30%  30% > 30%  30% > 30%
Iklim I 0,5 1,0 – 1,0 1,5 – 2,0 1,5 2,0 – 2,5
< 900 1,5
mm/tahun
Iklim II 1,5 2,0 – 2,0 2,5 – 3,0 2,5 3,0 – 3,5
 900 2,5
mm/tahun
(Alamsyah : 2001)
Catatan : pada bagian-bagian jalan tertentu, seperti persimpangan, pemberhentian
atau tikungan (jari-jari 30 m) FR ditambah dengan 0,5. Pada daerah rawa-rawa
FR ditambah dengan 1,0.

2.5.6 Indeks Permukaan (IP)


Indeks Permukaan ini menyatakan nilai dari pada kerataan./ kehalusan serta
kekokohan permukaan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas
yang lewat.
Adapun beberapa nilai IP beserta artinya sebagai berikut :
IP = 1,0 : adalaha menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat
sehingga sangat mengganggu lalu lintas kendaraan
IP = 1,5 : adalah tingkat pelayanan rendah yang masih mungkin (jalan tidak
terputus).
IP = 2,0 : adalah tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang mantap
IP = 2,5 : adalah menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik.
Untuk menentukan Indeks permukaan pada akhir umur rencana (IPt) dapat
dilihat pada Tabel 2.11.
Tabel 2. 11 Indeks permukaan pada akhir umur rencana (IPt)

LER=Lintas Ekivalen Klasifikasi Jalan


Rencana*) Lokal Kolektor Arteri Tol
< 10 1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -
10 – 100 1,5 1,5 – 2,0 2,0 -
100 – 1000 1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 -
> 1000 - 2,0 – 2,5 2,5 2,5
(Alamsyah : 2001)
42

Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IP o) perlu
diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan/ kehalusan serta kekokohan)
pada awal umur rencana menurut Tabel 2.12.
Tabel 2. 12 Indeks Permukaan pada awal umur rencana (IPo)

Jenis Lapis Perkerasan Ipo Roughness *) mm/km


LASTON 4  1000
3,9 – 3,5 > 1000
LASBUTAG 3,9 – 3,5  2000
3,4 – 3,0 > 2000
HRA 3,9 – 3,5  2000
3,4 – 3,0 > 2000
BURDA 3,9 – 3,5 < 2000
BURTU 3,4 – 3,0 < 2000
LAPEN 3,4 – 3,0  3000
2,9 – 2,5 > 3000
LATASBUM 2,9 – 2,5
BURAS 2,9 – 2,5
LATASIR 2,9 – 2,5
JALAN TANAH  2,4
JALAN KERIKIL  2,4
(Alamsyah : 2001)

2.5.7 Koefisien Kekuatan Relative (a)


Koefisien kekuatan relative (a) masing-masing bahan dan kegunaan sebagai
lapis permukaan pondasi bawah, ditentukan secara korelasi sesuai nilai Marshall
Test (untuk bahan dengan aspla), kuat tekan untuk (bahan yang distabilisasikan
dengan semen atau kapur) atau CBR (untuk bahan lapis pondasi atau pondasi
bawah).
Untuk nilai koefisien kekuatan relatif dari masing-masing bahan dan
kegunaannya sebagai lapis permukaan pondasi bawah dapat dilihat pada Tabel
2.13.
43

Tabel 2. 13 Koefisien Kekuatan Relatif

Koefisien Kekuatan
Kekuatan Relatif Bahan Jenis Bahan
a1 a2 a3 Ms Kta CBR
(kg) Kg/cm2 %
0,4 744 LASTON
0,35 590
0,32 454
0,30 340
0,35 744 LASBUTAG
0,31 590
0,28 454
0,26 340
0,30 340 HRA
0,26 340 Aspal Macadam
0,25 LAPEN (mekanis)
0,20 LAPEN (manual)
0,28 590 LASTON ATAS
0,26 454
0,24 340
0,23 LAPEN (mekanis)
0,19 LAPEN (manual)
0,15 22 Stab. Tanah dengan semen
0,13 18
0,15 22 Stab. Tanah dengan kapur
0,13 18
0,14 100 Pondasi Macadam (basah)
0,12 60 Pondasi Macadam
0,14 100 Batu pecah (A)
0,13 80 Batu pecah (B)
0,12 60 Batu pecah (C)
0,13 70 Batu pecah (A)
0,12 50 Batu pecah (B)
0,11 30 Batu pecah (C)
0,10 20 Tanah/ lempung kepasiran
(Alamsyah : 2001)

2.5.8 Batas-Batas Minimum Tebal Perkerasan


3. Lapis permukaan
Menurut sumber dapat dilihat lapis permukaan perkerasan pada Tabel 2.14.
44

Tabel 2. 14 Lapis Permukaan perkerasan

ITP Tebal Minimum Bahan


(cm)
< 3,00 5 Lapis pelindung : (Buras/ Burtu/ Burda)
3,00 – 6,70 5 Lapen/Aspal Macadam, HRA, Lasbutag, Laston
6,71 – 7,49 7,5 Lapen/Aspal Macadam, HRA, Lasbutag, Laston
7,50 – 9,99 7,5 Lasbutag, Laston
 10,00 10 Laston
(Sukirman, 1999)
4. Lapis Pondasi Atas
Menurut sumber dapat dilihat lapis pondasi atas pada Tabel 2.15.
Tabel 2. 15 Lapis Pondasi Atas

ITP Tebal Minimum Bahan


(cm)
< 3,00 15 Batu pecah, stabililisasi tanah dengan semen,
stabilisasi tanah dengan kapur
3,00 – 7,49 20 *) Batu pecah, stabililisasi tanah dengan semen,
stabilisasi tanah dengan kapur
10 Laston atas
7,50 – 9,99 20 Batu pecah, stabililisasi tanah dengan semen,
stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam
15 Laston atas
7,50 – 9,99 7,5 Batu pecah, stabililisasi tanah dengan semen,
stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam
15 Laston atas
10 – 12,14 20 Batu pecah, stabililisasi tanah dengan semen,
stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam,
Lapen, Laston atas
 12,25 25 Batu pecah, stabililisasi tanah dengan semen,
stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam,
Lapen, Laston atas
(Sukirman, 1999)
*) batas 20 cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15 cm bila untuk pondasi
bawah digunakan material berbutir kasar.
5. Lapis Pondasi Bawah :
Untuk setiap nilai ITP bila digunakan pondasi bawah, tebal minimum adalah
10 cm.

2.5.9 Analisa Komponen Perkerasan


Penghitungan ini didistribusikan pada kekuatan relative masing-masing
lapisan perkerasan jangka tertentu (umur rencana) dimana penentuan tebal
perkerasan dinyatakan oleh Indeks Tebal Perkerasan (ITP)
45

Rumus :
𝐼𝑇𝑃 = 𝑎1 𝐷1 + 𝑎2 𝐷2 + 𝑎3 𝐷3
D1, D2, D3 = Tebal masing-masing lapis perkerasan (cm)
Angka 1,2,3 masing-masing lapis permukaan, lapis pondasi atas dan pondasi
bawah
Berikut ini dapat dilihat diagram alir perencanaan tebal perkerasan pada Gambar
2.14.
46

Mulai

Data:

 LHR
 Pertumbuhan Lalu Lintas (i)
 Kelandaian Rata-Rata
 Iklim
 Umur Rencana (UR)
 CBR Rencana

Menghitung Nilai LER Penentuan Nilai DDT Penentuan Faktor Regional (FR)
Berdasarkan LHR Berdasarkan Korelasi CBR 90% Berdasarkan Tabel 2.10

Menentukan IPo Menentukan IPt


Berdasarkan SKBI Berdasarkan LER
2.3.26.1987

Menentukan IPt
Berdasarkan LER

Menentukan ITP berdasarkan nilai LER dan


DDT dengan nomogram yang sesuai

Menentukan ITP berdasarkan ITP


dan FR dengan nomogram

Penentuan tebal perkerasan

Selesai

Gambar 2. 14 diagram alir Perencanaan Tebal Perkerasan.


47

2.6 Rencana Anggaran Biaya


Jumlah perkiraan biaya proyek, dapat dibuat dengan mengalikan kwalitas
satuan pekerjaan dan harga satuan pekerjaan.

Kontraktor akan membuat estimasi dengan tujuan untuk kegiatan penawaran


terhadap suatu proyek konstruksi pada saat pelelangan atau tender. Rumus dasar
untuk perhitungan rencana anggaran biaya (RAB)ialah sebagai berikut:

RAB = Σ (volume x Harga Satuan Pekerjaan)

2.6.1 Komponen Rencana Anggaran Biaya


Sebelum mulai menghitung atau merencanakan anggaran untuk suatu proyek,
harus terlebih dahulu menghitung setiap komponen yang dimiliki pada rencana
anggaran yang mencakup:

a) Volume Pekerjaan
Kuantitas pekerjaan dapat diperoleh dengan mengukur setiap objek dalam
gambar (dengan mempertimbangkan skala) atapun langsung pada objek aktual di
lapangan, maka metode rata-rata luas penampang digunakan untuk
mengasumsikan sisi-sisi lapangan ruang diukur dalam garis lurus. Satuan ialah
simbol yang mewakili kuantitas yang diukur, cara pengukuran dan karakteristik
objek yang diukur. Jika satuan angka pengukuran tidak disertai dengan satuan
pengukuran, tidak ada artinya, sehingga volume setiap pekerjaan yang dihitung
harus memiliki unit yang jelas karena akan mempengaruhi perhitungan biaya
pelaksanaan.

Volume pekerjaan yang dihitung akan sangat mempengaruhi jumlah biaya


yang akan digunakan untuk menyelesaikan volume dari item tersebut.

b) Analisis Harga Satuan Dasar (HSD)


Komponen untuk menyusun harga satuan pekerjaan (HSP) membutuhkan
tenaga kerja, HSD alat, HSD bahan. Berikut ini diberikan langkah-langkah untuk
menghitung HSD komponen HSP (Kementrian Pekerjaan Umum, Analisis Harga
Satuan Pekerjaan (AHSP) Bidang Bina Marga, 2016).
48

1) Harga Satuan Tenaga Kerja


Untuk menghitung harga satuan pekerjaan, maka perlu ditetapkan dahulu
bahan rujukan harga standar untuk upah yang digunakan sebagai HSD tenaga
kerja.

Langkah perhitungan HSD tenaga kerja ialah sebagai berikut:

a) Tentukan jenis tenaga kerja, misal pekerja (P), tukang (Tk), mandor (M), dan
kepala tukang (KT).
b) Kumpulkan data upah yang sesuai dengan peraturan daerah setempat, data
upah hasil survai di tempat yang berdekatan dan berlaku untuk daerah tempat
lokasi pekerjaan akan dilakukan.
c) Perhitungkan tenaga kerja yang diambil dari luar daerah maka
memperhtiungkan biaya makan, menginap dan transport.
d) Tentukan jumlah hari efektif pekerjaan selama satu bulan dikurangi dengan
tanggal merah (24 - 26 hari), dan jumlah jam efektif dalam satu hari (7 jam).
e) Hitung biaya upah dari masing-masing orang per jam.
f) Rerata dari seluruh biaya upah per jam sebagai upah rerata per jam.
g) Nilai rerata biaya upah minimum harus setara dengan Upah Minimum
Regional (UMR) dari daerah setempat (Kementrian Pekerjaan Umum,
Analisis Harga Satuan Pekerjaan (AHSP) Bidang Bina Marga, 2016).

2) Harga Satuan Alat


Analisis HSD alat membutuhkan data upah operator, spesifikasi dari alat
meliputi kapasitas kerja alat (m3), tenaga mesin, umur ekonomis alat, jam kerja
alat dalam satu tahun dan harga alat. Faktor lainnya ialah komponen investasi alat
yang meliputi asuransi alat, suku bunga bank, faktor alat yang spesifik seperti
bucket untuk excavator, harga perolehan alat, dan loader dan lain-lain (Kementrian
Pekerjaan Umum, Analisis Harga Satuan Pekerjaan (AHSP) Bidang Bina Marga, 2016).
Penggunaan peralatan pada proyek-proyek konstruksi didorong oleh adanya
tuntutan spesifikasi proyek dan teknologi konstruksi, juga dapat menghasilkan
49

nilai tambah pada pelaksanaan proyek yang menyangkut mutu dari pada
pelaksanaan.

Biaya alat bisa dibedakan menjadi beberapa bagian, seperti:

 Biaya operasi (biaya variabel).


 Biaya produksi
 Biaya alat.
 Biaya tetap.
(Kementrian Pekerjaan Umum, Analisis Harga Satuan Pekerjaan (AHSP) Bidang
Bina Marga, 2016)

3) Harga Satuan Bahan


Analisis HSD bahan membutuhkan data harga bahan baku, serta biaya
transportasi dan biaya produksi untuk bahan baku menjadi bahan olahan atau
bahan jadi. Produksi material membutuhkan alat yang mungkin lebih dari satu
alat. Setiap alat dihitung berapa kapasitas produksinya dalam satuan pengukuran
per jam, dengan memasukkan data kapasitas alat, faktor efisiensi alat, faktor lain,
dan waktu setiap siklus. Perhitungan HSD bahan yang diambil dari penggalian
dapat dari dua jenis, yaitu dalam bentuk bahan baku (batu kali /gunung, pasir
sungai/gunung dll.), Dan dalam bentuk bahan olahan (misalnya agregat kasar dan
halus yang dihasilkan oleh mesin penghancur batu dll.). (Kementerian Pekerjaan
Umum, Analisis Harga Satuan Kerja (AHSP) di Bidang Jalan Raya, 2016).

Anda mungkin juga menyukai