DASAR TEORI
Volume lalu lintas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp) yang
besarnya menunjukkan jumlah lalu lintas harian rata-rata (LHR) untuk kedua jurusan,
perhatikan tabel 2.1.
4
5
untuk dasar perencanaan ditetapakan sebesar 15% dari volume harian rata-rata.
Volume waktu sibuk ini selanjutnya disebut volume tiap jam untuk perencanaan atau
disingkat VDP, jadi VDP = 15% LHR
Jalan kelas I :
Kelas jalan ini mencakup semua jalan utama dan dimaksudkan untuk dapat
melayani lalu lintas cepat dan berat. Dalam komposisi lalu lintasnya tidak terdapat
kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor. Jalan raya dalam kelas ini merupakan
jalan-jalan raya yang berjalur banyak dengan kontruksi perkerasan dari jenis yang
terbaik dalam arti tingginya tingkatan pelayanan terhadap lalu lintas.
Jalan kelas II :
Kelas jalan ini mencakup semua jalan-jalan sekunder. Dalam komposisi lalu
lintasnya terdapat lalu lintas lambat. Kelas jalan ini, selanjutnya berdasarkan
komposisi dan sifat lalu lintasnya, dibagi dalam tiga kelas, yaitu : IIA, IIB dan IIC.
Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur atau lebih dengan kontruksi
permukaan jalan dari jenis aspal beton (hot mix) atau yang setaraf, dimana dalam
komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat tapi tanpa kendaraan tak
bermotor.
Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur atau lebih dengan kontruksi
permukaan jalan dari penetrasi berganda atau yang setaraf, dimana dalam komposisi
lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat, tapi tanpa kendaraan tak bermotor.
Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur atau lebih dengan kontruksi
permukaan jalan dari penetrasi tunggal atau yang setaraf, dimana dalam komposisi
lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor.
6
Tabel 2.6 Panjang lengkung peralihan minimum (Ls) dan superelevasi (e) yang
dibutuhkan
D A - PI = ………………………….....………...(2.1)
Dimana :
d A - PI = Jarak antara titik A ke PI (m)
XPI,YPI = Koordinat dari titik PI (m)
XA, YA = Koordinat dari titik A (m)
9
........................................ (2.2)
Dimana :
DPI = Sudut Putar ( o )
XA, YA = Koordinat dari titik A (m)
XPI,YPI = Koordinat dari titik PI (m)
XB, YB = Koordinat dari titik B (m)
Dari persamaan di atas dapat diketahui d A-PI antara titik A dan titik PI, dari
sudut jurusan 1 garis menghubungkan titik A dan titik PI juga titik B.
rencana pada lengkung Full Circle (FC) perhtiakan tabel 2.7. Untuk menghitung
lengkung full circle dipergunakan persamaan sebagai berikut:
Tc = R . Tg. / 2 .......................................................................................(2.3)
Dimana:
Tabel 2.7 Batas kecepatan rencana pada lengkung Full Circle (FC)
Tabel 2.8 Batas kecepatan rencana pada lengkung Spiral Circle Spiral (SCS)
Adapun lengkung Spiral Circle Spiral seperti diperlihatkan pada gambar 2.2 berikut :
ES
θc
TS
Gambar 2.2SC Lengkung Spiral-Circle-Spiral
CS ST
Ls Lc Ls
Sumber : Alamsyah, Alik, Rekayasa Jalan Raya
emax = + % Kiri
en
CL
emax = - % Kanan
e%
13
YS = …………………………………………………….…….……...(2.7)
qs = . …………………………………...………............……... (2.8)
Lc = . ………………………………………............….......(2.10)
P = . ………………………………................. (2.12)
k = Ls – - R . sin q s. …………………………......……(2.13)
Ts = (R + P) tg D/2 + k. ………………………………........…..……(2.15)
Dimana:
Xs = Abis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik TS Ke SC (jarak -
lurus lengkung peralihan)
Ys = Ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis tangen, jarak tegak
lurus ketitik SC pada lengkung.
Ts = Jarak antara titik TS ke PI (m)
R = Jari jari titik TS dan PI (m)
p = Jarak antara tangen dan busur lingkaran (m)
14
ES
SC=CS
Sumber : Alamsyah,
Ls
Alik, RekayasaLsJalan Raya
emax = + %
en
CL
emax = - %
15
……... (2.23)
……... (2.24)
……... (2.25)
……... (2.26)
16
B = .....………..........…….(2.28)
Z = ………………………………..………………..............….....(2.29)
Bt = n (B + C ) + Z…………………..………………............………..……(2.30)
b = Bt – Bn…………………......…………..………...........………………(2.31)
Dimana :
B = pelebaran perkerasan yang ditempati satu kendaraan di
tikungan lajur sebelah dalam
n = jumlah jalur lalu-lintas
C = kebebasan samping(m). 0,5 untuk lebar lajur 6 m, 1,0 untuk lebar
lajur 7 m, dan 1,5 untuk lebar lajur 7,5 m
Rc = radius sebelah dalam(m)
Rw = radius lengkungan terluar dari lintasan dalam(m)
b = lebar perkerasan jalan(m)
Bn = pelebaran perkerasan pada tikungan (m)
17
d2 = ...............................................................................…….(2.33)
d = 0,278 . V . t + ………….....…...……...........…....…....(2.34)
Dimana :
d (JPH) = jarak pandangan henti (m)
d1 = jarak dari saat melihat rintangan sampai menginjak pedal rem (m)
d2 = jarak yang diperlukan untuk berhenti setelah menginjak pedal rem
(m)
V = kecepatan (km/jam)
t = waktu reaksi, diambil 2,5 detik
fm = koefisien gesekan antara ban dan muka jalan dalam arah
memanjang
+ = untuk tanjakan
- = untuk turunan
L = kelandaian jalan (landai pada lengkung horizontal)
d2 = 0,278 . V. t2………………………………….....……….......(2.37)
d3 = diambil antara 30 m sampai dengan 100 m
d4 = 2/3 . d2 ......................................................................…….(2.38)
dimana :
d = Jarak pandangan menyiap (m)
d1 = Jarak yang ditempuh selama waktu reaksi oleh kenderaan yang
hendak menyiap dan membawa kenderaannya yang hendak
membelok ke lajur kanan (m)
d2 = Jarak yang ditempuh kenderaan yang menyiap selama berada pada
lajur sebelah kanan (m)
d3 = Jarak bebas yang harus ada antara kenderaan yang mnyiap dengan
kenderaan yang berlawanan arah setelah gerakan menyiap
dilakukan (m)
d4 = Jarak yang ditempuh oleh kenderaan yang berlawanan arah selama
2/3 dari waktu yang diperlukan oleh kenderaan yang menyiap
berada pada lajur sebelah kanan (m)
t1 = Waktu reaksi, tergantung pada kecepatan dapat ditentukan dengan
korelasi t1 = 2,12 + 0,026 V
t2 = Waktu dimana kendaraan menyiap berada pada lajur kanan, t2 =
6,56 + 0,048 V
m = perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan yang
disiap = 1,5 Km/jam
V = Kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap, dianggap sama
dengan kecepatan rencana (km/jam)
20
m = R’ ( 1-cos )………....….......................….......….....…….....…….(2.39)
Dimana :
m = kebebasan samping pada tikungan (m)
R’= jari-jari sumbu jalur dalam (m)
L = panjang lengkungan (m)
S = jarak pandangan (m)
….....…………..(2.42)
….....…………..(2.43)
EC
LC
Ls Lc Ls
TC CT
¾ Ls 1/3 Ls 1/3 Ls ¾ Ls
emax = + % Kiri
en
CL
emax = - % Kanan
e%
ES
θc
TS SC CS ST
Ls Lc Ls
emax = + % Kiri
en
CL
emax = - % Kanan
e%
ES
SC=CS
TS SC=CS ST
Ls Ls
emax = + %
en
CL
emax = - %
e%
Gambar 2.12 Diagram superelevasi dengan sumbu jalan sebagai sumbu putar
Sumber : Sukirman (1994)
26
Gambar 2.14 Diagram superelevasi tepi luar perkerasan sebagai sumbu putar
Dari tiga cara yang lebih efesien dan sering digunakan yaitu sumbu jalan
sebagai sumbu putar, jadi untuk perencanaan perubahan kemiringan digunakan (a).
sumbu jalan sebagai sumbu putar.
Tujuan dari stationing itu sendiri adalah untuk memudahkan pada saat
penentuan trase jalan yang telah direncanakan tersebut di lapangan. Pada tikungan.
Menurut Sukirman (1994), metode penomorannya dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
a. Setiap jarak 100 m untuk daerah datar
b. Setiap jarak 50 m untuk daerah bukit
c. Setiap jarak 25 m untuk daerah gunung
Pada tikungan penomoran dilakukan pada setiap titik penting, jadi terdapat
Sta titik TC, dan Sta titik CT pada tikungan jenis lingkaran sederhana. Sta titik TS,
Sta titik SC, dan STA titik Sta titik ST pada tikungan jenis spiral-spiral
2.12.1 Kelandaian
Kelandaian pada alinyemen vertikal jalan dapat dibedakan atas :
1. Landai minimum
Menurut Sukirman (1994), landai minimum, yaitu landai datar atau landai
ideal (0%) dan dalam perencanaan disarankan menggunakan :
1. Landai datar untuk jalan-jalan diatas tanah timbunan yang tidak mempunyai
kereb.
2. Landai 0,15 % yang dianjurkan untuk jalan-jalan diatas tanah timbunan
dengan medan datar dan mempergunakan kereb.
3. Landai minimum sebesar 0,3 - 0,5 % yang dinjurkan untuk jalan-jalan
didaerah galian atau jalan yang memakai kereb.
2. Landai maksimum
Landai maksimum adalah kelandaian diatas landai datar atau landai ideal dan
mulai memberikan pengaruh kepada gerak kenderaan mobil penumpang walaupun
tidak seberapa dibandingkan dengan gerakan truck yang terbebani penuh. Kelandaian
maksimum pada lengkung vertikal 12 %. Panjang maksimum landai yang masih
dapat diterima tanpa mengakibatkan gangguan jalannya arus lalu lintas yang berarti
atau biasa disebut dengan panjang kritis landai. Kelandaian maksimum dan panjang
kritis landai dapat dilihat pada tabel 2.9 dan 2.10 di bawah ini:
29
Sumber : Standart Spesifikasi Untuk Perencanaan Geometrik Jalan Raya luar kota
(Rancangan Akhir), 1990
b. Lengkung Vertikal Cembung, yaitu titik perpotongan antara kedua tangen yang
berada di atas permukaan jalan yang biasa dilambangkan dengan negatif (-),
seperti diperlihatkan pada gambar 2.17 di bawah ini :
Ev = .......................................................................... (2.45)
Dimana :
Ev = Pergeseran vertikal (m)
32
Y = ………………………………………….....................
(2.46)
Dimana :
A = Perbedaan aljabar landai (m)
Y = Pergeseran vertikal dari setiap station (m)
Lv = Panjang lengkuk vertikal (m)
X = Jarak Horizontal (m)
2.13 Drainase
Drainase merupakan sistim pengaliran yang berkaitan dengan pengendalian
air permukaan. Data untuk perencanaan dimensi drainase yaitu data curah hujan dan
luas daerah yang mempengaruhi pengaliran terhadap saluran. Perencanaan dimensi
drainase mampu menampung dan mengalirkan air secara baik serta ekonomis.
Xt =
Sx =
Besar curah hujan untuk periode ulang tiap tahun dapat menggunakan persamaan
berikut ini :
XT = Xt + ..............................................................…….(2.47)
Dimana :
XT = Besar curah hujan untuk periode tiap tahun (mm/24 jam)
Xt = nilai rata-rata aritmatik hujan kumulatif
Sx = Standar deviasi
Sn = standar deviasi merupakan fungsi dari n
Yt = variasi yang merupakan fungsi periode ulang
Yn = nilai yang tergantung pada n
33
a. Intensitas hujan ( I )
Intensitas hujan adalah besarnya curah hujan maksimum yang akan
diperhitungkan dalam desain drainase. Perhitungan besarnya intensitas hujan sangat
dipengaruhi oleh waktu konsentrasi (Tc), yaitu lamanya air yang mengalir dari
tempat yang terjauh kesaluran pembuang dan juga tergantung pada lokasi daerah
pengaliran.
I = 90 % ´ ………………….........………………..…........…....(2.48)
Dimana :
XT = besar curah hujan untuk periode tiap tahun (mm/24 jam)
I = intensitas curah hujan (mm/jam), I diplot ke
t1 = ( ………………………………........….........(2.50)
t2 = ………………………………………………...............……..(2.51)
Dimana :
t1 = waktu inlet (menit)
t2 = waktu aliran (menit)
nd = koefesien hambatan
s = kemiringan daerah pengaliran
L = panjang saluran (m)
Lo = jarak dari titik terjauh ke fasilitas drainase (m)
34
C = ………............……....….………..…….(2.52)
Dimana :
C1, C2, C3 = koefesien pengaliran sesuai tipe kondisi permukaan
A1, A2, A3 = luas daerah pengaliaran sesuai dengan kondisi permukaan
b. Debit air (Q)
Debit adalah volume air yang mengalir melewati suatu penempang melintang
saluran atau jalur air persatuan waktu, untuk merencanakan debit aliran dapat
digunakan persamaan berikut ini :
Q = 1/3,6 . C . I . A ………………........…….........………..………….. ...(2.53)
Dimana :
Q = debit maksimum (m3/detik)
C = koofesien pengaliran
I = intensitas curah hujan (mm/jam)
35
Fd = ………………........……............………….................................... (2.54)
Dimana :
Fd = luas penampang berdasarkan debit air yang ada (m2)
V = kecepatan aliarn (m/detik)
c. Dimensi saluran
Penampang yang direncanakan berbentuk persegi , perhatikan gambar 2.19.
t = (
untuk : t2 =
Tc = t1 + t2
Dimana :
b = lebar saluran (m)
d = dalamnya saluaran yang tergenang air (m)
m = perbandingan kemiringan talud
Fe = luas penampang ekonomis (m2)
36
R= ………………....................……………...................…....…..…......(2.57)
...………….....................……....……….....…….……......(2.58)
Dimana :
V = kecepatan aliran (m/detik)
R = jari-jari hidrolik
P = keliling basah (m)
i = kemiringan saluran yang diizinkan
Q = Debit Air (m3/detik)
n = koefesien kekasaran manning
Gambar
2.20 : Potongan Melintang
2.15 Kubikasi
Dalam perencanaan jalan raya terdapat penimbunan dan penggalian yang
kesemuanya ini harus diperhitungkan sedemikian rupa sehingga efisien dan
ekonomis. Untuk itu, besarnya galian harus lebih banyak dari timbunan, karena hasil
penggalian dapat digunakan sebagai timbunan.
Untuk menghitung luas sebuah potongan melintang dengan metode
geometrik (sering juga disebut dengan metoda luas), maka masing-masing bagian
dibagi-bagi luasnya sehingga menjadi bentuk-bentuk geometrik sederhana. Untuk
38
perhitungan luas timbunan dan luas galian seperti diperlihatkan pada gambar 2.21,
dan gambar 2.22 sebagai contoh potongan melintang trase jalan, serta persamaan
yang dipergunakan di bawah ini :
a b
Pada absis ditempatkan posisi stasion, dan pada ordinat adalah volume tanah.
Skala absis diagram massa, dibuat sama dengan skala horizontal profil memanjang
jalan
Menurut Saodang (2004), Sebelum menggambaran diagram massa, lebih
mudah jika dibuat dulu kuantitas galian (+), dan timbunan (-), skala dari koordinat
disesuaikan dengan volume tanah dalam m3 ,untuk diketahui :
1. Ordinat tiap titik pada diagram massa, adalah menyatakan jumlah volume
galian/timbunan dititik tersebut
2. Lengkungan o-a-b adalah galian, diindikasikan sebagai lengkungan naik O-A-B
(lihat gambar 2.17), sebaiknya lengkung b-c-d-e (profil) adalah timbunan,
dikorelasikan ke B-C-D-E (massa) sebagai lengkung turun. Demikian pula galian
e-f-g-h lengkung naik E-F-G-H
3. Titik b (profil), adalah peralihan dari galian ke timbunan pada diagram massa,
akan merupakan puncak lengkungan, sebaliknya titik e (profil) yang merupakan
peralihan timbunan ke galian pada diagram massa berkorelasi dengan titik
terendah E.
41
4. Perbedaan tinggi antara dua posisi vertikal pada diagram massa (FF-GG’) adalah
jumlah volume tanah yang dipindahkan
5. Antara dua stasion sembarang, seperti ”X-C” pada diagram massa akan
merupakan garis keseimbangan (balance-line), yaitu galian dan timbunan pada
gambar profil akan memberikan harga sama
6. Pada lengkungan cembung pada diagram, menunjukan ”haul” maju pada profil
dan lengkungan cekung merupakan ”haul” mundur.