Anda di halaman 1dari 33

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Definisi Jalan Raya


Menurut Sukirman (1994), jalan raya atau jalur lalu lintas (travelled =
carriage way) adalah keseluruhan bagian perkerasan jalan yang diperuntukkan
untuk lalu lintas kendaraan. Jalur lalu lintas terdiri dari beberapa lajur (lane)
kendaraan. Lajur kendaraan yaitu bagian dari jalur lalu lintas yang khusus
diperuntukkan untuk dilewati oleh satu rangkaian kendaraan beroda empat atau
lebih dalam satu arah. Jadi jumlah lajur minimal untuk jalan 2 arah adalah 2 dan
pada umumnya disebut sebagai jalan 2 lajur 2 arah. Jalur lalu lintas untuk satu
arah minimal terdiri 1 lajur lalu lintas.

2.2 Klasifikasi Jalan Raya


Jalan dibagi dalam kelas-kelas yang penetapannya kecuali didasarkan pada
fungsinya juga dipertimbangkan pada besarnya volume serta sifat lalu lintas yang
diharapkan akan menggunakan jalan yang bersangkutan.

Volume lalu lintas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp) yang
besarnya menunjukkan jumlah lalu lintas harian rata-rata (LHR) untuk kedua
jurusan.

Tabel 2.1 Klasifikasi Jalan Berdasarkan LHR

3
4

Khusus untuk perencanaan jala-jalan kelas I, sebagai dasar harus


digunakan volume lalu lintas pada saat-saat sibuk. Sebagai volume waktu sibuk
yang digunakan untuk dasar perencanaan ditetapakan sebesar 15% dari volume
harian rata-rata. Volume waktu sibuk ini selanjutnya disebut volume tiap jam
untuk perencanaan atau disingkat VDP, jadi VDP = 15% LHR

Jalan kelas I :

Kelas jalan ini mencakup semua jalan utama dan dimaksudkan untuk dapat
melayani lalu lintas cepat dan berat. Dalam komposisi lalu lintasnya tidak
terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor. Jalan raya dalam kelas ini
merupakan jalan-jalan raya yang berjalur banyak dengan kontruksi perkerasan
dari jenis yang terbaik dalam arti tingginya tingkatan pelayanan terhadap lalu
lintas.

Jalan kelas II :

Kelas jalan ini mencakup semua jalan-jalan sekunder. Dalam komposisi


lalu lintasnya terdapat lalu lintas lambat. Kelas jalan ini, selanjutnya berdasarkan
komposisi dan sifat lalu lintasnya, dibagi dalam tiga kelas, yaitu : IIA, IIB dan
IIC.

Jalan kelas IIA :

Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur atau lebih dengan kontruksi
permukaan jalan dari jenis aspal beton (hot mix) atau yang setaraf, dimana dalam
komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat tapi tanpa kendaraan tak
bermotor.

Untuk lalu lintas lambat, harus disediakan jalur tersendiri.

Jalan kelas IIB :

Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur atau lebih dengan kontruksi
permukaan jalan dari penetrasi berganda atau yang setaraf, dimana dalam
komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat, tapi tanpa kendaraan tak
bermotor.
5

Jalan kelas IIC :

Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur atau lebih dengan kontruksi
permukaan jalan dari penetrasi tunggal atau yang setaraf, dimana dalam
komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor.

Jalan kelas III :

Kelas jalan ini mencakup semua jalan-jalan penghubung dan merupakan


kontruksi jalan berjalur tunggal atau dua. Kontruksi permukaan jalan yang paling
tinggi adalah peleburan dengan aspal.

Tabel 2.2 Penggolongan kelas jalan

Sumber : Spesifikasi Standar Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota , 1990

Tabel 2.3 Klasifikasi menurut kelas jalan

Untuk memperkecil biaya pembangunan, sesuatu standard perlu


disesuaikan dengan keadaan topografi. Dalam hal ini jenis medan dibagi tiga
golongan umum yang dibedakan menurut besarnya lereng melintang dalam arah
kurang lebih tegak lurus sumbu jalan raya. Klasifikasi medan dan besarnya lereng
melintang yang bersangkutan adalah sebagai berikut:
6

Tabel 2.4 Klasifikasi medan dan besarnya lereng melintang


Golongan Medan Lereng Melintang
Datar (D) 0 - 9,9 %
Perbukitan (B) 10% - 24,9 %
Pergunungan (G) > 25 %
Sumber : Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya No. 13/197

Tabel 2.5 Penentuan Klasifikasi Jalan

Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga. Standar Perencanaan Geometrik Jalan


Perkotaan 1988

2.3 Menentukan Titik Koordinat


Berdasarkan titik koordinat dan elevasi yang ditentukan maka dapat
dihitung jarak. Menurut Saodang (2004), perhitungan jarak dari titik PI ke titik PI
lainnya dapat menggunakan persamaan berikut ini:

D A - PI = ………………………….....………...(2.1)
7

Dimana :
d A - PI = Jarak antara titik A ke PI (m)
XPI,YPI = Koordinat dari titik PI (m)
XA, YA = Koordinat dari titik A (m)

2.4 Penentuan Sudut Putar


Menurut Wongsotjitro (1980), bahwa sudut putar pada tikungan dapat
diselesaikan dengan persamaan di bawah ini:

........................................ (2.2)

Dimana :
DPI = Sudut Putar ( o )
XA, YA = Koordinat dari titik A (m)
XPI,YPI = Koordinat dari titik PI (m)
XB, YB = Koordinat dari titik B (m)
Dari persamaan di atas dapat diketahui dA-PI antara titik A dan titik PI, dari
sudut jurusan 1 garis menghubungkan titik A dan titik PI juga titik B.

2.5 Perencanaan Alinyemen Horizontal


Menentukan alinyemen horizontal pada suatu jalan, direncanakan agar
didapatkan kenyamanan dan keamanan bagi pengemudi.
Menurut Saodang (2004), bentuk lengkung horizontal yang digunakan
dalam perencanaan geometrik jalan raya, ada 3 bentuk antara lain :
1. Lengkung Full Circle ( F-C )
2. Lengkung Spiral-Circle-Spiral ( S-C-S )
3. Lengkung Spiral-Spiral ( S-S )

2.5.1 Bentuk lengkung full circle (FC)


Bentuk tikungan full circle digunakan pada tikungan yang mempunyai
jari-jari besar dan sudut tangen relatif kecil. Bina Marga menetapakan 3/4 Ls’
dibagian lurus (kiri TC atau kanan CT) dan 1/3 Ls’ ditempatkan dibagian
8

lengkung (kanan TC atau kiri CT). Pada lengkung full circle dihitung Ls’ berarti
Ls fiktif karena tidak terdapat khusus lengkung peralihan, hanya merupakan
panjang yang dibutuhkan untuk pencapaian kemiringan sebesar superelevasi, dan
dilaksanakan sepanjang daerah lurus lengkung lingkarannya sendiri. Untuk
menghitung lengkung full circle dipergunakan persamaan sebagai berikut:

Tc = R . Tg. / 2 ......................................................................................(2.3)

Ec =Tc.Tg /4............................................................................................ (2.4)

Lc= ( 2p.R ) / 360 ..................................................................................(2.5)

Dimana:

Tc = jarak antara Tc ke PI dan PI ke Ct (m)


Rc = Jari- jari rencana (m)
Ec = Jarak PI lengkung peralihan (m)
D = Sudut tangen ( )
Lc = Panjang bagian tikungan (m)

Tabel 2.6 : Batas kecepatan rencana pada lengkung Full Circle (FC)
Kecepatan Rencana Jari-jari lengkung minimum (Rc) m
120 2.500
100 1.500
80 900
60 500
50 350
40 250
30 130
20 60
Sumber : Shirley.L Hendarsin (2000)
9

Adapun lengkung Full Circle seperti pada gambar 2.1 berikut :

Gambar 2.1 Lengkung Full Circle (FC)


Sumber : Alamsyah, Alik, Rekayasa Jalan Raya

2.5.2 Bentuk lengkung spiral circle spiral (S-C-S)


Lengkung Spiral Circle Spiral merupakan bentuk tikungan yang memiliki

peralihan dari bagian lurus ke bagian Circle, yang mengalami gaya sentrifugal

terjadi secara berangsur-angsur. Lengkung SCS dibuat untuk menghindari

terjadinya perubahan alinyemen yang tiba-tiba dari bentuk lurus ke bentuk

lingkaran, sehingga lengkung ini diletakkan antara bagian lurus dan bagian

lingkaran (circle) yaitu pada sebelum dan sesudah tikungan berbentuk busur

lingkaran.
10

Tabel 2.7 : Batas kecepatan rencana pada lengkung Spiral Circle Spiral (SCS)

Batasan rencana V Jari-jari lengkung minimum (Rc)


( km/j ) ( meter )
120 600
100 370
90 280
80 210
60 115
50 80
40 50
30 30
20 15

Sumber : Shirley.L Hendarsin ( 2000 )

Adapun lengkung Spiral Circle Spiral seperti diperlihatkan pada gambar 2.2
berikut :

Gambar 2.2 Lengkung Spiral-Circle-Spiral

Sumber : Alamsyah, Alik, Rekayasa Jalan Raya


Sumber : Saodang, (2004)
11

Untuk menghitung lengkung Spiral-Circle-Spiral pada tikungan digunakan


persamaan berikut :

XS = LS (1- )…………………………………………….…………. (2.6)

YS = …………………………………………………….…….……...(2.7)

qs = . …………………………………...………............……... (2.8)

Dc = D - 2.qs. …………………………………………............………. (2.9)

Lc = . ………………………………………............….......

(2.10)
Kontrol lengkung S-C-S
 Lc > 20
 Lt < 2Ts
Lt = Lc + 2.Ls. …………………………………...........……….…… (2.11)

P = . ……………………………….................

(2.12)

k = Ls – - R . sin q s. …………………………......……(2.13)

Es = ( R + P ) sec D/2 - R. …………………….......……………...…(2.14)

Ts = (R + P) tg D/2 + k. ………………………………........…..……(2.15)

Dimana:
Xs = Abis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik TS Ke SC (jarak -
lurus lengkung peralihan)
Ys = Ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis tangen, jarak tegak
lurus ketitik SC pada lengkung.
Ts = Jarak antara titik TS ke PI (m)
R = Jari jari titik TS dan PI (m)
p = Jarak antara tangen dan busur lingkaran (m)
12

k = Jarak antara TS dan CS pada garis lurus (m)


Es = Jarak PI ke lengkung peralihan (m)
Lc = Panjang lengkung circle (m)
D = Sudut perpotongan kedua bagian tangen (°)
Lt = Panjang lengkung circle (m)
Ls = Panjang lengkung spiral (m)
qs = Sudut Spiral (o)
Dc = Sudut busur lingkaran (o)

2.5.3 Bentuk lengkung spiral-spiral (S-S)


Lengkung spiral-spiral merupakan lengkung yang tajam, untuk tikungan
ini dianjurkan dalam perencanaan agar tidak digunakan, terkecuali pada daerah
yang keadaan medan memaksa pada medan yang sulit. Lengkung ini hanya terdiri
dari bagian spiral saja hal ini terjadi bila R minimum < R Rencana < R lengkung
peralihan.

Gambar 2.3 Lengkung Spiral Spiral


Sumber : Alamsyah, Alik, Rekayasa Jalan Raya
13

Menurut Saodang (2004), lengkung spiral-spiral adalah lengkung tanpa


busur lingkaran, sehingga titik SC berimpit dengan titik CS. Untuk menghitung
lengkung spiral-spiral ini, digunakan persamaan berikut ini :
qs = ½ D ……………………………………………………………. .(2.16)
Ls = qs . . R / 90 ….………………………………….…………….. (2.17)
p = (Ls2 / 6 . Rc) . (1- Cos s) ……………………………………... (2.18)
k = Ls – (Ls/40.Rc2)-Rc.Sin s……………………………………. . .(2.19)
Ts = (Rc +P) tan s + k…………………………………………….....(2.20)
Es = (Rc +P) Sec s – Rc.………………………………………….....(2.21)
Lt = 2 . Ls…………………………………………………………......(2.22)

Dimana :
Ts = Jarak antara titik Ts ke PI (m)
R = Jari jari lengkung (m)
Es = Jarak PI ke lengkung peralihan (m)
D = Sudut perpotongan kedua bagian tangen (o)
L = Panjang lengkung spiral (m)
q = Sudut Spiral (o)

2.6 Pelebaran Perkerasan pada Tikungan


Pada saat kendaraan pada tikungan, roda depan dan roda belakang tidak
pada lintasan yang sama (off tracking). Agar roda belakang tidak keluar dari tepi
permukaan jalan karena dapat menyebabkan kerusakan pada tepi dalam
perkerasan di tikungan, maka lapis permukaan dilakukan pelebaran kearah
sebelah dalam. Besarnya pelebaran perkerasan ini tergantung pada dimensi
standar rencana yang akan melaluinya, jari-jari tikungan dan kecepatan rencana.

Menurut Sukirman (1994), besarnya pelebaran perkerasan pada tikungan


dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

Rc = R- ¼ lebar perkerasan + ½ b…………..…………………....................(2.23)

B = .....………..........…….(2.24)
14

Z = ………………………………..………………..............….....

(2.25)
Bt = n (B + C ) + Z…………………..………………............………..……(2.26)

b = Bt – Bn…………………......…………..………...........………………
(2.27)

Dimana :
B = pelebaran perkerasan yang ditempati satu kendaraan di
tikungan lajur sebelah dalam
n = jumlah jalur lalu-lintas
C = kebebasan samping(m). 0,5 untuk lebar lajur 6 m, 1,0 untuk lebar
lajur 7 m, dan 1,5 untuk lebar lajur 7,5 m
Rc = radius sebelah dalam(m)
Rw = radius lengkungan terluar dari lintasan dalam(m)
b = lebar perkerasan jalan(m)
Bn = pelebaran perkerasan pada tikungan (m)
15

Gambar 2.4 Pelebaran perkerasan pada tikungan


Sumber : Sukirman (1994)

2.7 Penentuan Jarak Pandang


Menurut Sukirman (1994), jarak pandang adalah panjang jalan di depan
kenderaan yang masih dapat dilihat dengan jelas diukur dari titik kedudukan
pengemudi. Jarak pandangan pada jalan raya dibedakan atas dua yaitu :

2.7.1 Jarak pandangan henti


Jarak pandang henti adalah jarak yang ditempuh pengemudi untuk dapat
menghentikan kenderaannya. Jarak pandang henti menurut Sukirman (1994)
terdiri dari dua elemen yaitu:
Jarak tanggap adalah jarak yang ditempuh kendaraan sejak pengemudi
melihat halangan yang menyebabkan ia harus berhenti sampai saat pengemudi
menginjak rem, dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
d1 = 0,278 . V . t ……………...........……………….......…………........(2.28)
Jarak pengereman adalah jarak yang dibutuhkan untuk menghentikan
kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti, dapat
dihitung dengan menggunakan rumus :

d2 = ...............................................................................…….(2.29)

Maka jarak pandangan henti dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

d = 0,278 . V . t + ………….....…...……...........…...…....(2.30)

Dimana :
d (JPH) = jarak pandangan henti (m)
d1 = jarak dari saat melihat rintangan sampai menginjak pedal rem
(m)
d2 = jarak yang diperlukan untuk berhenti setelah menginjak pedal
rem (m)
V = kecepatan (km/jam)
t = waktu reaksi, diambil 2,5 detik
16

fm = koefisien gesekan antara ban dan muka jalan dalam arah


memanjang
+ = untuk tanjakan
- = untuk turunan
L = kelandaian jalan (landai pada lengkung horizontal)

2.7.2 Jarak pandangan menyiap


Jarak pandangan menyiap adalah jarak yang dibutuhkan pengemudi untuk
melakukan gerakan menyiap dengan aman.

Gambar 2.5 Jarak pandang menyiap

Sumber : Sukirman (1994)

Menurut Sukirman (1994), jarak pandangan menyiap dapat dihitung


dengan persamaan berikut :
d = d1 + d2 + d3 + d4 …………….....…..................………….….….......(2.31)
dimana :

d1 = 0,278 . t1( V – m + a ) …………....……………...........

(2.32)
d2 = 0,278 . V. t2………………………………….....………......(2.33)
d3 = diambil antara 30 m sampai dengan 100 m
d4 = 2/3 . d2 ......................................................................…….(2.34)
dimana :
17

d = Jarak pandangan menyiap (m)


d1 = Jarak yang ditempuh selama waktu reaksi oleh kenderaan yang
hendak menyiap dan membawa kenderaannya yang hendak
membelok ke lajur kanan (m)
d2 = Jarak yang ditempuh kenderaan yang menyiap selama berada
pada lajur sebelah kanan (m)
d3 = Jarak bebas yang harus ada antara kenderaan yang mnyiap
dengan kenderaan yang berlawanan arah setelah gerakan
menyiap dilakukan (m)
d4 = Jarak yang ditempuh oleh kenderaan yang berlawanan arah
selama 2/3 dari waktu yang diperlukan oleh kenderaan yang
menyiap berada pada lajur sebelah kanan (m)
t1 = Waktu reaksi, tergantung pada kecepatan dapat ditentukan
dengan korelasi t1 = 2,12 + 0,026 V
t2 = Waktu dimana kendaraan menyiap berada pada lajur kanan, t 2 =
6,56 + 0,048 V
m = perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan yang
disiap = 1,5 Km/jam
V = Kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap, dianggap sama
dengan kecepatan rencana (km/jam)

2.8 Kebebasan Samping pada Tikungan


Kebebasan samping pada tikungan merupakan salah satu syarat yang
paling penting sehubungan dengan keamanan bagi pengguna jalan. Menurut
Saodang (1994), kebebasan samping pada tikungan terdapat dua kasus yaitu:

a. Untuk kasus (S < L), dapat menggunakan persamaan berikut :

m = R’ ( 1-cos )………....….......................….......….....…….....…….

(2.35)
18

Gambar 2.6 Jarak pandang pada lengkung horizontal (S < L)


Sumber : TPGJAK No.038/TBM/1997

b. Untuk kasus ( S > L ), dapat menggunakan persamaan berikut :

m = R’( 1- cos ) + ½ ( S – L ) sin ………............................…..

(2.36)

Gambar 2.7 Jarak pandang pada lengkung horizontal (S > L)


Sumber : TPGJAK No.038/TBM/1997

R’= R-1/4 lebar jalan (m)……………........................….....….....…………..(2.37)


Dimana :
m = kebebasan samping pada tikungan (m)
R’= jari-jari sumbu jalur dalam (m)
L = panjang lengkungan (m)
19

S = jarak pandangan (m)


2.9 Diagram Superelevasi
Kemiringan tikungan dibuat dengan maksud untuk memberikan
perlawanan terhadap gaya sentrifugal yang terjadi pada saat kendaraan berada di
tikungan, semakin besar kemiringannya maka semakin kecil jari-jari tikungan.
Tetapi untuk kenyamanan dan keamanan kendaraan saat berada di tikungan, maka
ditetapkan besarnya kemiringan maksimum (superelevasi maksimum).

Diagram superelevasi menggambarkan pencapaian superelevasi dari


lereng normal ke superelevasi penuh, dengan diagram superelevasi dapat
ditentukan bentuk penampang pada setiap titik di suatu lengkung horizontal.
Gambar pencapaian superelevasi dari lereng normal ke superelevasi penuh pada
tikungan FC, S-C-S dan S-S yaitu:

a. Superelevasi dari lengkung horizontal gambar 2.1

Gambar 2.8 Diagram superelevasi pada lengkung (FC)

Sumber : Saodang (2004)


20

b. Superelevasi dari lengkung horizontal gambar 2.2

Gambar 2.9 Diagram superelevasi pada lengkung (S-C-S)

Sumber : Saodang (2004)

c. Superelevasi dari lengkung horizontal gambar 2.3

Gambar 2.10 Diagram superelevasi pada lengkung (S-S)

Sumber : Saodang (2004)


21

Gambar 2.11 Perubahan kemiringan melintang

Sumber : Sukirman (1994)

Terdapat tiga cara untuk mengubah superelevasi yaitu:

a. Sumbu jalan sebagai sumbu putar.

Gambar 2.12 Diagram superelevasi dengan sumbu jalan sebagai sumbu putar

Sumber : Sukirman (1994)


22

b. Tepi dalam perkerasan sebagai sumbu putar.

Gambar 2.13 Diagram superelevasi tepi dalam sebagai sumbu putar

Sumber : Sukirman (1994)

c. Tepi luar perkerasan sebagai sumbu putar.

Gambar 2.14 Diagram superelevasi tepi luar perkerasan sebagai sumbu putar

Sumber : Sukirman (1994)

Dari tiga cara yang lebih efesien dan sering digunakan yaitu sumbu jalan
sebagai sumbu putar, jadi untuk perencanaan perubahan kemiringan digunakan
(a). sumbu jalan sebagai sumbu putar.

2.10 Penomoran (stationing)


Berdasarkan jarak trase jalan dan hasil elemen lengkung, maka dapat
ditentukan stationing. Menurut Sukirman (1994), stationing dalam tahap
perencanaan adalah penomoran pada interval-interval tertentu dari awal pekerjaan
hingga akhir. Penomoran jalan juga memberikan informasi tentang panjang jalan.

Tujuan dari stationing itu sendiri adalah untuk memudahkan pada saat
penentuan trase jalan yang telah direncanakan tersebut di lapangan. Pada
23

tikungan. Menurut Sukirman (1994), metode penomorannya dilakukan dengan


cara sebagai berikut :
a. Setiap jarak 100 m untuk daerah datar
b. Setiap jarak 50 m untuk daerah bukit
c. Setiap jarak 25 m untuk daerah gunung
Pada tikungan penomoran dilakukan pada setiap titik penting, jadi terdapat
Sta titik TC, dan Sta titik CT pada tikungan jenis lingkaran sederhana. Sta titik
TS, Sta titik SC, dan STA titik Sta titik ST pada tikungan jenis spiral-spiral

 Penomoran pada tikungan

Gambar 2.15 Sistim penomoran jalan

Sumber : Sukirman (1994)

2.11 Perencanaan Alinyemen Vertikal


Alinyemen vertikal adalah perpotongan bidang vertikal dengan bidang
permukaan perkerasan jalam melalui sumbu jalan untuk jalan 2 lajur 2 arah atau
melalui tepi dalam masing-masing perkerasan untuk jalan dengan median.
Seringkali disebut juga sebagai penampang memanjang jalan.
Dengan demikian alinyemem vertikal sangat dipengaruhi oleh berbagai
pertimbangan seperti:
 Kondisi tanah dasar
 Keadaan medan
 Fungsi jalan
 Muka air banjir
 Muka air tanah
 Kelandaian yang masih memungkinkan
24

Alinyemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung
vertikal. Ditinjau dari awal perencanaan, bagian landai vertikal berupa landai
positif (tanjakan), landai negatif (turunan), atau landai nol (datar). Untuk
lengkung vertical dapat berupa lengkung cekung atau lengkung cembung.

2.11.1 Kelandaian
Kelandaian pada alinyemen vertikal jalan dapat dibedakan atas :

1. Landai minimum
Menurut Sukirman (1994), landai minimum, yaitu landai datar atau landai
ideal (0%) dan dalam perencanaan disarankan menggunakan :
1. Landai datar untuk jalan-jalan diatas tanah timbunan yang tidak
mempunyai kereb.
2. Landai 0,15 % yang dianjurkan untuk jalan-jalan diatas tanah timbunan
dengan medan datar dan mempergunakan kereb.
3. Landai minimum sebesar 0,3 - 0,5 % yang dinjurkan untuk jalan-jalan
didaerah galian atau jalan yang memakai kereb.

2. Landai maksimum
Landai maksimum adalah kelandaian diatas landai datar atau landai ideal
dan mulai memberikan pengaruh kepada gerak kenderaan mobil penumpang
walaupun tidak seberapa dibandingkan dengan gerakan truck yang terbebani
penuh. Kelandaian maksimum pada lengkung vertikal 12 %. Panjang maksimum
landai yang masih dapat diterima tanpa mengakibatkan gangguan jalannya arus
lalu lintas yang berarti atau biasa disebut dengan panjang kritis landai. Kelandaian
maksimum dan panjang kritis landai dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.5 Kelandaian maksimum


Kecepatan Rencana (Km/Jam) 80 60 50 40 30 20
Kelandaian maks standart (%) 4 5 6 7 8 9
Kelandaian maks Mutlak (%) 8 9 10 11 12 13
Sumber : Standar Spesifikasi Untuk Perencanaan Geometrik Jalan Raya Luar
Kota (1990)
25

Tabel 2.6 :Panjang Kritis Untuk Kelandaian-Kelandaian Yang melebihi


Maksimum Standart
Kecepatan Rencana (Km/Jam)
80 60 50 40 30 20
5 % 500 m 6 % 500 m 7 % 500 m 8 % 420 m 9 % 340 m 10%250m
6 % 600 m 7 % 500 m 8 % 420 m 9 % 340 m 10% 250 m 11%250m
7 % 500 m 8 % 340 m 9 % 340 m 10% 250 m 11% 250 m 12%250m
8 % 420 m 9 % 340 m 10% 250 m 11% 250 m 12% 250 m 13%250m

Sumber : Standart Spesifikasi Untuk Perencanaan Geometrik Jalan Raya luar


kota (Rancangan Akhir), 1990

2.11.2 Bentuk Lengkung Vertikal


Menurut Sukirman (1994), bahwa alinyemen vertikal adalah perpotongan
bidang vertikal dan permukaan perkerasan jalan melalui sumbu jalan melalui tepi
dalam masing-masing perkerasan untuk jalan dengan median.
Dengan demikian, alinyemen vertikal menyatakan bentuk geometrik jalan
dalam arah vertikal. Bentuk dari penampang memanjang sangat berpengaruh
terhadap kecepatan, percepatan, perlambatan, perhentian, jarak pandangan dan
kenyamanan pengemudi kenderaan tersebut. Bentuk-bentuk lengkung vertikal
adalah lengkung vertikal cekung dan lengkung vertikal cembung.

Gambar 2.16 Jenis-jenis lengkung vertikal

Sumber : Sukirman (1994)


26

a. Lengkung vertikal tipe a, b dan c dinamakan lengkung vertikal cekung


b. Lengkung vertikal tipe d, e dan f dinamakan lengkung vertikal cekung
c. Lengkung parabola

Bentuk lengkung vertikal yang umum dipergunakan adalah lengkung


parabola sederhana

Gambar 2.17 Lengkung vertikal parabola

Sumber : Sukirman (1994)

Titik A merupakan titik peralihan dari bagian tangen ke bagian lengkung vertikal
yang diberikan simbol PLV. Titik B merupakan titik peralihan dari bagian
lengkung vertikal ke bagian tangen dan diberi simbol PTV. Titik PPV dalah titik
perpotongan kedua bagian tangen. Letak titik-titik pada lengkung vertikal
dinyatakan dengan X dan Y terhadap sumbu koordinat yang melalui titik A.
Menurut Saodang (2004), menentukan perbedaan aljabar landai adalah:
A = g1 – g2 ..............................................................................................……(2.38)
Dimana :
A = perbedaan aljabar landai (%)
g1 = kelandaian tangen belakang
g2 = kelandaian tangen depan
Untuk menentukan kelandaian dapat menggunakan persamaan berikut:

g =
27

Berdasarkan harga A dan kecepatan yang direncanakan diperoleh panjang


lengkung (Lv). Selanjutnya pergeseran vertikal dari titik PPV ke bagian lengkung
dapat ditentukan dengan persamaan:

Ev = ...............................................................................................

(2.39)
Dimana :
Ev = Pergeseran vertikal dari titik PPV ke bagian lengkung (m)
A = Perbedaan aljabar landai (g1-g2) (%)
Lv = Panjang lengkung vertikal (m)
Untuk menentukan panjang station, digunakan persamaan di bawah ini :

Y = …………………………….........….................………….

(2.40)
Dimana :
Y = Pergeseran vertikal dari setiap station (m)
Lv = Panjang lengkuk vertikal (m)
X = Jarak horizontal (m)

2.12 Drainase
Drainase merupakan sistim pengaliran yang berkaitan dengan
pengendalian air permukaan. Data untuk perencanaan dimensi drainase yaitu data
curah hujan dan luas daerah yang mempengaruhi pengaliran terhadap saluran.
Perencanaan dimensi drainase mampu menampung dan mengalirkan air secara
baik serta ekonomis.

Xt =

Sx =

Besar curah hujan untuk periode ulang tiap tahun dapat menggunakan persamaan
berikut ini :
28

XT = Xt + ..............................................................…….(2.41)

Dimana :
XT = Besar curah hujan untuk periode tiap tahun (mm/24 jam)
Xt = nilai rata-rata aritmatik hujan kumulatif
Sx = Standar deviasi
Sn = standar deviasi merupakan fungsi dari n
Yt = variasi yang merupakan fungsi periode ulang
Yn = nilai yang tergantung pada n

a. Intensitas hujan ( I )
Intensitas hujan adalah besarnya curah hujan maksimum yang akan
diperhitungkan dalam desain drainase. Perhitungan besarnya intensitas hujan
sangat dipengaruhi oleh waktu konsentrasi (Tc), yaitu lamanya air yang mengalir
dari tempat yang terjauh kesaluran pembuang dan juga tergantung pada lokasi
daerah pengaliran.

I = 90 % ´ ………………….........………………..…........…....(2.42)

Dimana :
XT = besar curah hujan untuk periode tiap tahun (mm/24 jam)
I = intensitas curah hujan (mm/jam), I diplot ke

b. Waktu konsentrasi (Tc)


Waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan oleh butiran airuntuk
bergerak dari titik terjauh pada daerah pengaliran sampai ke titik pembuangan.
Lamanya air yang mengalir dari tempat yang terjauh kesaluran pembuang juga
harus diperhitungkan, untuk menghitung waktu konsentrasi (Tc) digunakan
persamaan berikut :
Tc = t1 + t2 …………………………………………….......…......….…..(2.43)
29

t1 = ( ………………………………........…........

(2.44)

t2 = ………………………………………………...............……..

(2.45)
Dimana :
t1 = waktu inlet (menit)
t2 = waktu aliran (menit)
nd = koefesien hambatan
s = kemiringan daerah pengaliran
L = panjang saluran (m)
Lo = jarak dari titik terjauh ke fasilitas drainase (m)
V = kecepatan air rata-rata di selokan (m/detik)
Setelah perhitungan waktu konsentrasi juga akan dihitung jarak titik
terjauh ke fasilitas drainase (Lo) yaitu Lo(aspal), Lo(hahu), Lo(tanah), kemiringan daerah
pengaliran (s) yaitu s(aspal), s(hahu), s(tanah).

c. Besar koefesien (C)


Koefesien pengaliaran adalah suatu koefesien yang menunjukkan
perbandingan antara besarnya jumlah air yang dialirkan oleh suatu jenis
permukaan terhadap jumlah air yang ada. Untuk harga hubungan kondisi
permukaan dengan koefesien pengaliran (C)
1. Permukaan jalan beraspal L1 = koefesien C
2. Bahu jalan tanah berbutir halus L2 = koefesien C
3. Bagian luar jalan daerah L3 = koefesien C
Luas daerah pengaliran diambil permeter panjang
1. Jalan aspal (A1)
2. Bahu jalan (A2)
3. Bagian luar jalan (A3)
30

C = ………............……....….………..…….

(2.46)
Dimana :
C1, C2, C3 = koefesien pengaliran sesuai tipe kondisi permukaan
A1, A2, A3 = luas daerah pengaliaran sesuai dengan kondisi permukaan
b. Debit air (Q)
Debit adalah volume air yang mengalir melewati suatu penempang
melintang saluran atau jalur air persatuan waktu, untuk merencanakan debit aliran
dapat digunakan persamaan berikut ini :
Q = 1/3,6 . C . I . A ………………........…….........………..………….. ...(2.47)
Dimana :
Q = debit maksimum (m3/detik)
C = koofesien pengaliran
I = intensitas curah hujan (mm/jam)
A = luas daerah yang dipengaruhi pengaliran (km2)

Fd = ………………........……............………….................................... (2.48)

Dimana :
Fd = luas penampang berdasarkan debit air yang ada (m2)
V = kecepatan aliarn (m/detik)
c. Dimensi saluran
Penampang yang direncanakan berbentuk trapesium:

Gambar 2.18 Penampang saluran


Sumber : Tata cara Perencanaan Drainase Permukaan Jalan (1990)
31

Berdasarkan data di atas maka waktu konsentrasi (Tc) dapat dihitung:

t = (
untuk t1 = t (aspal) + t (bahu) + t (tanah)
untuk t2 =
Tc = t1 + t2
Syarat :

…………............…………………….………………..

(2.49)
Fe = d (b + md)
Fd = Fd
W=

Dimana :
b = lebar saluran (m)
d = dalamnya saluaran yang tergenang air (m)
m = perbandingan kemiringan talud
Fe = luas penampang ekonomis (m2)

d. Kemiringan saluran yang diizikan ( i )


Berdasarkan rumus manning:
V = 1 / n ( R2/3 ) ( i )1/2…………............…….........………......…....…......(2.50)
P = ………….......................………………....…….............
(2.51)

R= ………………....................……………................…....…..…......(2.52)

i = ……………….....................……....……….....…….……......(2.53)

Dimana :
V = kecepatan aliarn (m/detik)
R = jari-jari hidrolik
32

P = keliling basah (m)


i = kemiringan saluran yang diizinkan
n = koefesien kekasaran manning

2.13 Penampang Melintang


Penampang melintang jalan merupakan potongan melintang tegak lurus
sumbu jalan. Pada potongan melintang jalan dapat terlihat bagian-bagian jalan.
Bagian-bagian jalan yang utama di kelompokkan sebagai berikut:
A. Bagian yang langsung beguna untuk lalu lintas
1. Jalur lalu lintas
2. Lajur lalu lintas
3. Bahu jalan
4. Trotoar
5. Media
B. Bagian yang berguna untuk drainase jalan
1. Saluran samping
2. Kemiringan melintang jalur lalu lintas
3. Kemiringan melintang bahu
4. Kemiringan lereng
C. Bagian pelengkap jalan
1. Kereb
2. Pengaman tepi
D. Bagain konstruksi jalan
1. Lapisan perkerasan jalan
2. Lapisan pondasi atas
3. Lapisan pondasi bawah
4. Lapisan tanah dasar
E. Daerah manfaat Jalan (Damaja)
F. Daerah milik jalan ( Damija)
33

G. Daerah pengawasan jalan (Dawasja)

2.14 Kubikasi
Dalam perencanaan jalan raya terdapat penimbunan dan penggalian yang
harus diperhitungkan sehingga efesien dan ekonomis. Untuk menghitung luas
sebuah potongan melintang dengan metoda geometrik, maka masing-masing
bagian dibagi-bagi luasnya sehingga menjadi bentuk-bentuk sederhana. Dari
perhitungan tersebut dapat diketahui luas timbunan dan luas galian.
Persamaan luas yang dipergunakan di bawah ini :

b b
t t t
a t

a. Luas Trapesium : A = .................................................

(2.54)
b. Luas Segitiga : A = ½ . a . t ..............................................(2.55)
c. Luas segi empat : A = b . t.....................................................(2.56)
Dimana :
A = luas (m2)
a = panjang alas atas (m)
b = panjang alas bawah (m)
t = tinggi (m)

2.15 Mass Curve Diagram


34

Menurut Carl F. Meyer dan David W. Gibson (1984), mass curve diagram
merupakan suatu cara untuk mengetahui besarnya perbandingan volume galian
serta timbunan, sehingga didapatkan volume kumulatif dari kedua volume di atas.
Mass curve diagram dari pekerjaan tanah adalah grafik kontinue dari
jumlah netto dan diplotkan dengan station-station sebagai sumbu absis dari jumlah
aljabar galian serta timbunan sebagai koordinat. Biasanya, volume galian diberi
tanda positif sedangkan timbunan diberi tanda negatif.
Untuk lebih jelasnya seperti diperlihatkan pada gambar 2.19 di bawah ini :

Gambar 2.19 Mass Curve Diagram


Sumber : Carl F. Meyer dan W. Gibson (1984)

Pada absis ditempatkan posisi stasion, dan pada ordinat adalah volume
tanah. Skala absis diagram massa, dibuat sama dengan skala horizontal profil
memanjang jalan.
Menurut Saodang (2004), Sebelum menggambaran diagram massa, lebih
mudah jika dibuat dulu kuantitas galian (+), dan timbunan (-), skala dari koordinat
disesuaikan dengan volume tanah dalam m3 ,untuk diketahui :
1. Ordinat tiap titik pada diagram massa, adalah menyatakan jumlah volume
galian/timbunan dititik tersebut
2. Lengkungan o-a-b adalah galian, diindikasikan sebagai lengkungan naik O-A-
B (lihat gambar 2.19), sebaiknya lengkung b-c-d-e (profil) adalah timbunan,
35

dikorelasikan ke B-C-D-E (massa) sebagai lengkung turun. Demikian pula


galian e-f-g-h lengkung naik E-F-G-H
3. Titik b (profil), adalah peralihan dari galian ke timbunan pada diagram massa,
akan merupakan puncak lengkungan, sebaliknya titik e (profil) yang
merupakan peralihan timbunan ke galian pada diagram massa berkorelasi
dengan titik terendah E.yg
4. Perbedaan tinggi antara dua posisi vertikal pada diagram massa (FF-GG’)
adalah jumlah volume tanah yang dipindahkan
5. Antara dua stasion sembarang, seperti ”X-C” pada diagram massa akan
merupakan garis keseimbangan (balance-line), yaitu galian dan timbunan
pada gambar profil akan memberikan harga sama
6. Pada lengkungan cembung pada diagram, menunjukan ”haul” maju pada
profil dan lengkungan cekung merupakan ”haul” mundur.

Anda mungkin juga menyukai