DASAR TEORI
Volume lalu lintas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp) yang
besarnya menunjukkan jumlah lalu lintas harian rata-rata (LHR) untuk kedua
jurusan.
3
4
Jalan kelas I :
Kelas jalan ini mencakup semua jalan utama dan dimaksudkan untuk dapat
melayani lalu lintas cepat dan berat. Dalam komposisi lalu lintasnya tidak
terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor. Jalan raya dalam kelas ini
merupakan jalan-jalan raya yang berjalur banyak dengan kontruksi perkerasan
dari jenis yang terbaik dalam arti tingginya tingkatan pelayanan terhadap lalu
lintas.
Jalan kelas II :
Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur atau lebih dengan kontruksi
permukaan jalan dari jenis aspal beton (hot mix) atau yang setaraf, dimana dalam
komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat tapi tanpa kendaraan tak
bermotor.
Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur atau lebih dengan kontruksi
permukaan jalan dari penetrasi berganda atau yang setaraf, dimana dalam
komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat, tapi tanpa kendaraan tak
bermotor.
5
Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur atau lebih dengan kontruksi
permukaan jalan dari penetrasi tunggal atau yang setaraf, dimana dalam
komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor.
D A - PI = ………………………….....………...(2.1)
7
Dimana :
d A - PI = Jarak antara titik A ke PI (m)
XPI,YPI = Koordinat dari titik PI (m)
XA, YA = Koordinat dari titik A (m)
........................................ (2.2)
Dimana :
DPI = Sudut Putar ( o )
XA, YA = Koordinat dari titik A (m)
XPI,YPI = Koordinat dari titik PI (m)
XB, YB = Koordinat dari titik B (m)
Dari persamaan di atas dapat diketahui dA-PI antara titik A dan titik PI, dari
sudut jurusan 1 garis menghubungkan titik A dan titik PI juga titik B.
lengkung (kanan TC atau kiri CT). Pada lengkung full circle dihitung Ls’ berarti
Ls fiktif karena tidak terdapat khusus lengkung peralihan, hanya merupakan
panjang yang dibutuhkan untuk pencapaian kemiringan sebesar superelevasi, dan
dilaksanakan sepanjang daerah lurus lengkung lingkarannya sendiri. Untuk
menghitung lengkung full circle dipergunakan persamaan sebagai berikut:
Tc = R . Tg. / 2 ......................................................................................(2.3)
Dimana:
Tabel 2.6 : Batas kecepatan rencana pada lengkung Full Circle (FC)
Kecepatan Rencana Jari-jari lengkung minimum (Rc) m
120 2.500
100 1.500
80 900
60 500
50 350
40 250
30 130
20 60
Sumber : Shirley.L Hendarsin (2000)
9
peralihan dari bagian lurus ke bagian Circle, yang mengalami gaya sentrifugal
lingkaran, sehingga lengkung ini diletakkan antara bagian lurus dan bagian
lingkaran (circle) yaitu pada sebelum dan sesudah tikungan berbentuk busur
lingkaran.
10
Tabel 2.7 : Batas kecepatan rencana pada lengkung Spiral Circle Spiral (SCS)
Adapun lengkung Spiral Circle Spiral seperti diperlihatkan pada gambar 2.2
berikut :
YS = …………………………………………………….…….……...(2.7)
qs = . …………………………………...………............……... (2.8)
Lc = . ………………………………………............….......
(2.10)
Kontrol lengkung S-C-S
Lc > 20
Lt < 2Ts
Lt = Lc + 2.Ls. …………………………………...........……….…… (2.11)
P = . ……………………………….................
(2.12)
k = Ls – - R . sin q s. …………………………......……(2.13)
Ts = (R + P) tg D/2 + k. ………………………………........…..……(2.15)
Dimana:
Xs = Abis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik TS Ke SC (jarak -
lurus lengkung peralihan)
Ys = Ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis tangen, jarak tegak
lurus ketitik SC pada lengkung.
Ts = Jarak antara titik TS ke PI (m)
R = Jari jari titik TS dan PI (m)
p = Jarak antara tangen dan busur lingkaran (m)
12
Dimana :
Ts = Jarak antara titik Ts ke PI (m)
R = Jari jari lengkung (m)
Es = Jarak PI ke lengkung peralihan (m)
D = Sudut perpotongan kedua bagian tangen (o)
L = Panjang lengkung spiral (m)
q = Sudut Spiral (o)
B = .....………..........…….(2.24)
14
Z = ………………………………..………………..............….....
(2.25)
Bt = n (B + C ) + Z…………………..………………............………..……(2.26)
b = Bt – Bn…………………......…………..………...........………………
(2.27)
Dimana :
B = pelebaran perkerasan yang ditempati satu kendaraan di
tikungan lajur sebelah dalam
n = jumlah jalur lalu-lintas
C = kebebasan samping(m). 0,5 untuk lebar lajur 6 m, 1,0 untuk lebar
lajur 7 m, dan 1,5 untuk lebar lajur 7,5 m
Rc = radius sebelah dalam(m)
Rw = radius lengkungan terluar dari lintasan dalam(m)
b = lebar perkerasan jalan(m)
Bn = pelebaran perkerasan pada tikungan (m)
15
d2 = ...............................................................................…….(2.29)
d = 0,278 . V . t + ………….....…...……...........…...…....(2.30)
Dimana :
d (JPH) = jarak pandangan henti (m)
d1 = jarak dari saat melihat rintangan sampai menginjak pedal rem
(m)
d2 = jarak yang diperlukan untuk berhenti setelah menginjak pedal
rem (m)
V = kecepatan (km/jam)
t = waktu reaksi, diambil 2,5 detik
16
(2.32)
d2 = 0,278 . V. t2………………………………….....………......(2.33)
d3 = diambil antara 30 m sampai dengan 100 m
d4 = 2/3 . d2 ......................................................................…….(2.34)
dimana :
17
m = R’ ( 1-cos )………....….......................….......….....…….....…….
(2.35)
18
(2.36)
Gambar 2.12 Diagram superelevasi dengan sumbu jalan sebagai sumbu putar
Gambar 2.14 Diagram superelevasi tepi luar perkerasan sebagai sumbu putar
Dari tiga cara yang lebih efesien dan sering digunakan yaitu sumbu jalan
sebagai sumbu putar, jadi untuk perencanaan perubahan kemiringan digunakan
(a). sumbu jalan sebagai sumbu putar.
Tujuan dari stationing itu sendiri adalah untuk memudahkan pada saat
penentuan trase jalan yang telah direncanakan tersebut di lapangan. Pada
23
Alinyemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung
vertikal. Ditinjau dari awal perencanaan, bagian landai vertikal berupa landai
positif (tanjakan), landai negatif (turunan), atau landai nol (datar). Untuk
lengkung vertical dapat berupa lengkung cekung atau lengkung cembung.
2.11.1 Kelandaian
Kelandaian pada alinyemen vertikal jalan dapat dibedakan atas :
1. Landai minimum
Menurut Sukirman (1994), landai minimum, yaitu landai datar atau landai
ideal (0%) dan dalam perencanaan disarankan menggunakan :
1. Landai datar untuk jalan-jalan diatas tanah timbunan yang tidak
mempunyai kereb.
2. Landai 0,15 % yang dianjurkan untuk jalan-jalan diatas tanah timbunan
dengan medan datar dan mempergunakan kereb.
3. Landai minimum sebesar 0,3 - 0,5 % yang dinjurkan untuk jalan-jalan
didaerah galian atau jalan yang memakai kereb.
2. Landai maksimum
Landai maksimum adalah kelandaian diatas landai datar atau landai ideal
dan mulai memberikan pengaruh kepada gerak kenderaan mobil penumpang
walaupun tidak seberapa dibandingkan dengan gerakan truck yang terbebani
penuh. Kelandaian maksimum pada lengkung vertikal 12 %. Panjang maksimum
landai yang masih dapat diterima tanpa mengakibatkan gangguan jalannya arus
lalu lintas yang berarti atau biasa disebut dengan panjang kritis landai. Kelandaian
maksimum dan panjang kritis landai dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Titik A merupakan titik peralihan dari bagian tangen ke bagian lengkung vertikal
yang diberikan simbol PLV. Titik B merupakan titik peralihan dari bagian
lengkung vertikal ke bagian tangen dan diberi simbol PTV. Titik PPV dalah titik
perpotongan kedua bagian tangen. Letak titik-titik pada lengkung vertikal
dinyatakan dengan X dan Y terhadap sumbu koordinat yang melalui titik A.
Menurut Saodang (2004), menentukan perbedaan aljabar landai adalah:
A = g1 – g2 ..............................................................................................……(2.38)
Dimana :
A = perbedaan aljabar landai (%)
g1 = kelandaian tangen belakang
g2 = kelandaian tangen depan
Untuk menentukan kelandaian dapat menggunakan persamaan berikut:
g =
27
Ev = ...............................................................................................
(2.39)
Dimana :
Ev = Pergeseran vertikal dari titik PPV ke bagian lengkung (m)
A = Perbedaan aljabar landai (g1-g2) (%)
Lv = Panjang lengkung vertikal (m)
Untuk menentukan panjang station, digunakan persamaan di bawah ini :
Y = …………………………….........….................………….
(2.40)
Dimana :
Y = Pergeseran vertikal dari setiap station (m)
Lv = Panjang lengkuk vertikal (m)
X = Jarak horizontal (m)
2.12 Drainase
Drainase merupakan sistim pengaliran yang berkaitan dengan
pengendalian air permukaan. Data untuk perencanaan dimensi drainase yaitu data
curah hujan dan luas daerah yang mempengaruhi pengaliran terhadap saluran.
Perencanaan dimensi drainase mampu menampung dan mengalirkan air secara
baik serta ekonomis.
Xt =
Sx =
Besar curah hujan untuk periode ulang tiap tahun dapat menggunakan persamaan
berikut ini :
28
XT = Xt + ..............................................................…….(2.41)
Dimana :
XT = Besar curah hujan untuk periode tiap tahun (mm/24 jam)
Xt = nilai rata-rata aritmatik hujan kumulatif
Sx = Standar deviasi
Sn = standar deviasi merupakan fungsi dari n
Yt = variasi yang merupakan fungsi periode ulang
Yn = nilai yang tergantung pada n
a. Intensitas hujan ( I )
Intensitas hujan adalah besarnya curah hujan maksimum yang akan
diperhitungkan dalam desain drainase. Perhitungan besarnya intensitas hujan
sangat dipengaruhi oleh waktu konsentrasi (Tc), yaitu lamanya air yang mengalir
dari tempat yang terjauh kesaluran pembuang dan juga tergantung pada lokasi
daerah pengaliran.
I = 90 % ´ ………………….........………………..…........…....(2.42)
Dimana :
XT = besar curah hujan untuk periode tiap tahun (mm/24 jam)
I = intensitas curah hujan (mm/jam), I diplot ke
t1 = ( ………………………………........…........
(2.44)
t2 = ………………………………………………...............……..
(2.45)
Dimana :
t1 = waktu inlet (menit)
t2 = waktu aliran (menit)
nd = koefesien hambatan
s = kemiringan daerah pengaliran
L = panjang saluran (m)
Lo = jarak dari titik terjauh ke fasilitas drainase (m)
V = kecepatan air rata-rata di selokan (m/detik)
Setelah perhitungan waktu konsentrasi juga akan dihitung jarak titik
terjauh ke fasilitas drainase (Lo) yaitu Lo(aspal), Lo(hahu), Lo(tanah), kemiringan daerah
pengaliran (s) yaitu s(aspal), s(hahu), s(tanah).
C = ………............……....….………..…….
(2.46)
Dimana :
C1, C2, C3 = koefesien pengaliran sesuai tipe kondisi permukaan
A1, A2, A3 = luas daerah pengaliaran sesuai dengan kondisi permukaan
b. Debit air (Q)
Debit adalah volume air yang mengalir melewati suatu penempang
melintang saluran atau jalur air persatuan waktu, untuk merencanakan debit aliran
dapat digunakan persamaan berikut ini :
Q = 1/3,6 . C . I . A ………………........…….........………..………….. ...(2.47)
Dimana :
Q = debit maksimum (m3/detik)
C = koofesien pengaliran
I = intensitas curah hujan (mm/jam)
A = luas daerah yang dipengaruhi pengaliran (km2)
Fd = ………………........……............………….................................... (2.48)
Dimana :
Fd = luas penampang berdasarkan debit air yang ada (m2)
V = kecepatan aliarn (m/detik)
c. Dimensi saluran
Penampang yang direncanakan berbentuk trapesium:
t = (
untuk t1 = t (aspal) + t (bahu) + t (tanah)
untuk t2 =
Tc = t1 + t2
Syarat :
…………............…………………….………………..
(2.49)
Fe = d (b + md)
Fd = Fd
W=
Dimana :
b = lebar saluran (m)
d = dalamnya saluaran yang tergenang air (m)
m = perbandingan kemiringan talud
Fe = luas penampang ekonomis (m2)
R= ………………....................……………................…....…..…......(2.52)
i = ……………….....................……....……….....…….……......(2.53)
Dimana :
V = kecepatan aliarn (m/detik)
R = jari-jari hidrolik
32
2.14 Kubikasi
Dalam perencanaan jalan raya terdapat penimbunan dan penggalian yang
harus diperhitungkan sehingga efesien dan ekonomis. Untuk menghitung luas
sebuah potongan melintang dengan metoda geometrik, maka masing-masing
bagian dibagi-bagi luasnya sehingga menjadi bentuk-bentuk sederhana. Dari
perhitungan tersebut dapat diketahui luas timbunan dan luas galian.
Persamaan luas yang dipergunakan di bawah ini :
b b
t t t
a t
(2.54)
b. Luas Segitiga : A = ½ . a . t ..............................................(2.55)
c. Luas segi empat : A = b . t.....................................................(2.56)
Dimana :
A = luas (m2)
a = panjang alas atas (m)
b = panjang alas bawah (m)
t = tinggi (m)
Menurut Carl F. Meyer dan David W. Gibson (1984), mass curve diagram
merupakan suatu cara untuk mengetahui besarnya perbandingan volume galian
serta timbunan, sehingga didapatkan volume kumulatif dari kedua volume di atas.
Mass curve diagram dari pekerjaan tanah adalah grafik kontinue dari
jumlah netto dan diplotkan dengan station-station sebagai sumbu absis dari jumlah
aljabar galian serta timbunan sebagai koordinat. Biasanya, volume galian diberi
tanda positif sedangkan timbunan diberi tanda negatif.
Untuk lebih jelasnya seperti diperlihatkan pada gambar 2.19 di bawah ini :
Pada absis ditempatkan posisi stasion, dan pada ordinat adalah volume
tanah. Skala absis diagram massa, dibuat sama dengan skala horizontal profil
memanjang jalan.
Menurut Saodang (2004), Sebelum menggambaran diagram massa, lebih
mudah jika dibuat dulu kuantitas galian (+), dan timbunan (-), skala dari koordinat
disesuaikan dengan volume tanah dalam m3 ,untuk diketahui :
1. Ordinat tiap titik pada diagram massa, adalah menyatakan jumlah volume
galian/timbunan dititik tersebut
2. Lengkungan o-a-b adalah galian, diindikasikan sebagai lengkungan naik O-A-
B (lihat gambar 2.19), sebaiknya lengkung b-c-d-e (profil) adalah timbunan,
35