Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Perencanaan geometrik adalah bagian dari perencanaan jalan dimana
geometrik atau dimensi nyata jalan beserta bagian-bagiannya disesuaikan dengan
tuntutan serta sifat-sifat lalu lintas. Melalui perencanaan geometrik ini perencana
berusaha menciptakan sesuatu hubungan yang baik antara waktu dan ruang
sehubungan dengan kendaraan yang bersangkutan, sehingga dapat menghasilkan
efisiensi keamanan serta kenyamanan yang palingoptimal dalam pertimbangan
ekonomi yang palinglayak.
Perencanaan geometrik pada umumnya menyangkut aspek perencanaan
jalan seperti lebar, tikungan, landai, jarak pandang dan juga kombinasi dari
bagian-bagian tersebut. klasifikasijalan klasifikasi jalan merupakan hal paling
utama .Jalan dalam arti yang luas adalah sepias ruang baik di daratan maupun di
atas permukaan air atau di udara Arti lintasan disini dapat diartikan sebagai tanah
yang diperkeras atau jalan tanah tanpa perkerasan.

1.2 Tujuan
Tujuan dari Tugas Besar Perancangan Geometrik Jalan adalah :
1. Dapat mendesain geometrik jalan sesuai dengan aturan standar yang berlaku
di Indonesia.
2. Dapat merencanakan jalan yang didasarkan kepada kebutuhan dan analisa
pengaruh jalan terhadap perkembangan wilayah sekitar.
3. Dapat merencanakan jalan yang berorientasi pada efisiensi tingkat
pelayanan jalan dengan mengutamakan faktor kenyamanan dan keselamatan
pengguna jalan.
4. Dapat menghasilkan desain geometrik jalan yang memaksimalkan rasio
tingkat penggunaan biaya pelaksanaan.
1.3 Ruang lingkup
Perencanaan geometrik jalan raya dalam perencanaan geometrik yang kami
laksanakandalam tugas ini, pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
1. perencanaan trase dan penentuan medan
2. bentuk dan panjang kurva
3. penggambaran kurva
4. penentuan kemiringan melintang tiap tikungan dan penggambaran elevasi,
superelevasi badan jalan.
5. menghitung jarak pandang
6. menghitung elinyemen vertikal
7. perhitungan volume galian dan timbunan

1.4 Analisa Data


Sebagai pendukung perancangan geometrik jalan raya, dibutuhkan analisa
untuk mencapai maksud dan tujuan yang di harapkan. Data analisa tersebut
menggunakan ketentuan - ketentuan dasar atau spesifikasi standar untuk
perencanaan geometrik jalan raya sesuai dengan peraturan – peraturan yang di
keluarkan oleh Kementerian pekerjaan umum dan Dirjen Bina Marga.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Jalan Raya


Menurut (Mursidi and Nurdin, 2013), Jalan raya adalah jalur – jalur tanah di
atas permukaan bumi yang dibuat oleh manusia dengan bentuk, ukuran – ukuran
dan jenis konstruksinya, sehingga dapat digunakan untuk menyalurkan lalu lintas
orang, hewan dan kendaraan yang mengangkut barang dari suatu tempat ketempat
lainya dengan mudah dan cepat. Jalan dalam arti yang luas adalah sepias ruang
baik di daratan maupun di atas permukaan air atau diudara yang khusus, patut dan
dipergunakan untuk perhubungan lalulintas antara tempat dipermukaan bumi
( Lubis, 1973 ). Mengingat definisi ini, maka jalan dibedakan atas 3 jenis yaitu :
a. Jalan udara yaitu jalan untuk lalu lintas pesawat terbang
b. Jalan air ( laut, sungai danau dan saluran ) yaitu jalan untuk lalu lintas
dengan kapal atau perahu.
c. Jalan darat yaitu jalan yang dipergunakan untuk orang yang berjalan
kaki, hewan dan kendaraan didaratan.

Jalan dapat dibedakan atas jalan umum dan jalan khusus.Jalan umum adalah
jalan yang dibuat dan dipelihara oleh pemerintah dan dipakai untuk umum.Jalan
khusus adalah jalan yang dibuat dan dipelihara oleh perusahaan – perusahaan
swasta atau perorangan dan tidak untuk umum.Misalnya jalan perkebunan, jalan –
jalan dalam suatu kompleks perusahaan dan sebagainya.

Sedangkan menurut (Goleman et al., 2019) Jalan adalah prasarana


transportasi darat yang meliputi seluruh bagian jalan, termasuk bangunan
pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada
pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, diatas permukaan air serta di
bawah permukaan tanah dan atau air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan
kabel (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006).
2.2 Klasifikasi Jalan
Dalam menetukan sebuah jalan, klasifikasi jalan merupakan hal paling
utama.Dengan adanya klasifikasi jalan, maka dapat diambil suatu pedoman yang
dapat ditetapkan dengan syarat minimum.
Klasifikasi jalan di Indonesia Menurut Bina Marga dalam Tata Cara
Perencanaan Geometrik Jalan Raya Antar Kota ( TPGJAK) No. 038/TBM/1997,
disusun pada tabel berikut :

Muatan Sumbu
Fungsi Kelas
Terberat (ton)
I
>10
Arteri II 10
III A 8

III A
Kolektor 8
III B

Tabel 2.1. Klasifikasi Menurut Kelas Jalan


Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Raya Antar Kota ( TPGJAK)
No. 038/TBM/1997

2.3 Menentukan Titik Koordinat


Titik koordinat adalah titik yang berpedoman pada garis latitude dan
longitude suatu daerah. Kaitannya dengan latitude dan longitude adalah, kedua
garis lintang dan bujur inilah (latitude = garis lintang, longitude = garis bujur).
Titik Koordinat diperlukan untuk menentukan suatu lokasi secara detail.
Dengan mengetahui titik koordinat kita bisa mengetahui alamat dan letak
geografis geometrik jalan raya merupakan perencanaan bentuk fisik jalandalam
tiga dimensi. Untuk mempermudah dalam penggambaran bagian-bagian
perencanaan, maka bentuk fisik jalan digambarkan dalam bentuk elinyemen
horizontal atau trase jalan, elinyemen vertikal atau penampang jalan dan potongan
melintang. (Hamirhan Saodang, 2004: 128)
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan alinyemen
menurut Hamirhan Saodang (2004), adalah sebagai berikut :
1. Alinyemen horizontal dan vertikal terletak pada satu fase, sehingga tikungan
tampak alami dan pengemudi dapat memperkirakan bentuk alinyemen
berikutnya.
2. Bila tikungan horizontal dan vertikal tidak terletak dalam satu fase, maka
pengemudi akan sukar untuk memperkirakan bentuk jalan selanjutnya dan
bentuk jalan terkesan patah disuatu tempat.
3. Tikungan yang tajam sebaiknya tidak diadakan di bagian atas lengkung vertikal
cembung atau di bagian bawah lengkung vertikal cekung. Alinyemen vertikal
akan menghalangi pengemudi pada saat mulai memasuki awal tikungan.
4. Pada jalan yang lurus dan panjang sebaiknya tidak dibuatkan lengkung vertikal
cekung atau kombinasi dari lengkung vertikal cekung.
5. Kelandaian yang landai dan pendek sebaiknya tidak diletakkan di antara dua
kelandaian yang curam, sehingga mengurangi jarak pandang pengemudi.
6. Jangan menempatkan bagian lurus pendek pada puncak lengkung cembung
karena akan memberikan efek loncatan pada pengemudi.
7. Hindarkan menempatkan awal dari tikungan mendekati puncak dari
lengkungan cembung.
8. Hindari menempatkan posisi jembatan dibagian lengkung cekung atau diawal
puncak bagian lengkung cembung. Apalagi kalau jembatan pada Alinyemen
horizontal berada pada suatu tikungan. Hal ini sangat menyulitkan pengendara
menguasai kendaraan akibat loncatan kendaraan keatas.
Setelah merencanakan Alinyemen, maka diperlukan perhitungan koordinat
azimuth dan jarak.Dalam buku Hamirhan Saodang (2004), koordinat azimuth
dapat dihitung dengan rumus berikut ini.
α BA = arctg 𝑋𝐴−𝑋𝐵
𝑌𝐴−𝑌𝐵

αBC = arctg 𝑋𝐵−𝑋𝐶


𝑌𝐵−𝑌𝐶

ΔB =180˚ (α BA - α BC)

α CB = arctg 𝑋𝐶−𝑋𝐵
𝑌𝐶−𝑌𝐵
α CD = arctg 𝑋𝐶−𝑋𝐷
𝑌𝐶−𝑌𝐷

ΔC = ( α CB - α CD) - 180˚

Gambar 2.1 Contoh Koordinat Azimuth


Sumber : Hamirhan Saodang, 2004

Adapun perhitungan jarak jarak titik-titik penting yang di peroleh dari


pemilihan elinyemen horizontal dapat menggunakan rumus berikut ini,
d = (X2-X1)2 + (Y1-Y2)2
Dimana:
d= Jarak titik A ke titikP1
X2 = Koordinat titik P1. 1 pada sumbu X
X1 = Koordinat titik A pada sumbuX
Y2 = Koordinat titik P1.1 pada sumbu X
Y1 = Koordinat titik A pada sumbuY

2.4 Menentukan Sudut Putar


Pada tiap-tiap lengkungan jalan raya adanya suatu sudut perputaran yang
terdapat pada bagian lengkungan. Sudut putar suatu jalan sebaiknya direncanakan
sekali-kalinya agar peralihan jalan tidak telalu besar,sehingga akan memudahkan
dalam pengemudi. Untuk menetukan besar kecil nya sudut putar dapat dihitung
dengan persamaan :

Yc − Ya Yb − Yc
arctg  arctg
ABC = Xc − Xa Xb − Xc
ABC = Sudut Putar
Dimana:
X1, Y1 = korrdinat dari titik 1
X2, Y2 = koordinat dari titik 2
X3, Y3 = koordinat dari titik 3

2.5 Perencanaan Elinyemen Horizontal


Pada perencanaan elinyemen Horizontal, umunya akan ditemui dua
bagianjalan, yaitu : bagian lurus dan bagian lengkung atau umum disebut tikungan
yang terdiri dari 3 jenis tikungan yang digunakan, yaitu :
• Lingkaran ( Full circle = F-C )
• Spiral-Lingkaran-Spiral ( S-C-S )
• Sipiral-Spiral ( S-S)

2.5.1 Tikungan Full Circle (F-C)


Tidak semua tikungan dapat dibuat berbentuk busur lingkaran sederhana,
hanya lengkung hanya lengkung dengan radius besar yang diperbolehkan.Pada ,
tikungan yang tajam, dimana radius lengkung kecil dan superelevasi yang
dibutuhkan besar, lengkung berbentuk busur lingkaran akan ,menyebabkan
perubahan kemiringan melintang yang besar yang mengakibatkan timbulnya
kesan patah pada tepi perkerasan sebelah luar. Maka tikungan jenis FC hanya
digunakan untuk R ( jari-jari ) yang besar agar tidak terjadi patahan, karena
dengan R kecil maka diperlukan superelevasi yang besar.

VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

Rmin 2500 1500 900 500 350 250 130 60

Tabel 2.2 Jari-jari tikungan yang tidak memerlukan lengkung peralihan


Sumber : ( TPGJAK) No. 038/TBM/1997
Gambar 2.2 Tikungan Jenis Full Circle ( F-C )
Sumber ( Silvia Sukirman, Dasar-dasar Perencanaan Geometrik Jalan Raya, hal 121)

Tc = Rc tg ½ ß …………………………………….. (2.1)

Ec = Tc tg¼ ß ……………………………………. (2.2)

Lc = 0,01745 ß Rc …………………………………….. (2.3)

Karena lengkung hanya berbentuk busur lingkaran saja, maka pencapaian


superelevasi dilakukan sebagian pada jalan lurus dan sebagian lagi pada bagian
lengkung. Karena bagian lengkung peralihan itu sendiri tidak ada, maka Panjang
daerah pencapaian kemiringan tersebut sebagai panjang peralihan fiktif ( Ls’ ).
Bina Marga menetapkaan ¾ Ls’ dibagian lurus (kiri TC atau kanan CT)
dan ¼ Ls’ ditempatkan dibagian lengkung (kanan TC atau kiri CT).

2.5.2 Tikungan Spiral – Circle – Spiral (S-C-S)


Lengkung peralihan dibuat untuk menghindari terjadinya perubahan
alinyemen yang tiba-tiba dari bentuk lurus ke bentuk lingkaran, jadi lengkung
peralihan ini diletakkan antara bagian lurus dan bagian lingkaran (circle), yaitu
pada sebelum dan sesudah tikungan berbentuk busur lingkaran.
Gambar 2.3 Contoh Lingakaran S-C-S
Sumber ( Silvia Sukirman, Dasar-dasar Perencanaan Geometrik Jalan Raya, hal 121)

Ls²
Xs = Ls (1 - ) …………………………………………... (2.4)
40 Rc²
Ls²
Ys = ………………………………………………. …….. (2.5)
6 Rc
90 Ls
θs = …………………………………………………… (2.6)
π Rc
Ls²
p = - Rc (1 – Cos θs) …………………………………... (2.7)
6 Rc
Ls³
k = Ls - - Rc Sin θs …………………………………. (2.8)
40 Rc²
Ts = (Rc + p) tan ½ Δ + k ……………………………………. (2.9)
Es = (Rc + p) sec ½ Δ – Rc …………………………………… (2.10)
( Δ−2 θs)
Lc = × π × Rc ……………………………………… (2.11)
180
Ltot = Lc + 2 Ls ………………………………………………… (2.12)

Jika diperoleh Lc <25 m, maka sebaiknya tidak digunakan bentuk S-C-S,


tetapi digunakan lengkung S-S, yaitu lengkung yang terdiri dari dua lengkung
peralihan.Jika p yang dihitung dengan rumus (2.13), maka ketentuan tikungan
yang digunakan bentuk FC.
Ls²
p= < 0,25 …………………………………………………… (2.13)
24 Rc
Untuk : Ls = 1,0 m, maka p = p’ dan k = k’
Untuk : Ls = Ls, maka p = p’ × Ls dan k = k’ × Ls
Nilai p’ dan k’ bias diambil dari Tabel, pada halaman lampiran.

2.5.3 Tikungan Spiral – Spiral (SS)

Gambar 2.4 Contoh Tikungan Jenis S-S

θs = Δ½
θs .π .Rc
Ls =
90
𝐿𝑠2
P = 6.𝑅𝑐
𝐿𝑆
K = Ls - 40.𝑅𝐶2 − Rc. Sin ∅s

Ts = (Rc+P) Tan ∅𝑠 + 𝐾
Es = (Rc+P). sec∅𝑠 − 𝑅𝑐
Lt = 2.Ls

2.6 Menentukan Jarak Pandang


Jarak pandang adalah suatu jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi
pada saat mengemudi sedemikian rupa, sehingga jika pengemudi melihat suatu
halangan yang membahayakan, pengemudi dapat melakukan sesuatu (antisipasi)
untuk menghindari bahaya tersebut dengan aman.

Jarak pandang terdiri dari :


• Jarak pandang henti (Jh)
• Jarak pandang mendahului (Jd)

2.6.1 Jarak Pandang Henti (Jh)
1) Jarak minimum
Jh adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap pengemudi untuk
menghentikan kendaraannya dengan aman begitu melihat adanya halangan
didepan.Setiap titik disepanjang jalan harus memenuhi ketentuan Jh.
2) Asumsi tinggi
Jh diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm
dan tinggi halangan 15 cm, yang diukur dari permukaan jalan.
3) Rumus yang digunakan.
Jh dalam satuan meter, dapat dihitung dengan rumus :
untuk jalan datar :
Vr ²
Jh = 0,278 VR T +
254 fp

Untuk jalan dengan kelandaian tertentu :


VR ²
Jh = 0,278 VR T +
254( fp+L)

Dimana :
VR = Kecepatan rencana (km/jam)
T = waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik
Fp = koefisien gesekan memanjang antara ban kendaraan dengan
semakin tinggi dan sebaliknya, ditetapkan fp = 0,35 – 0,55
(menurut Bina Marga).
L = kelandaianjalan
VR, km/jam 120 100 80 60 50 40 30 20

Jh minimum (m) 250 175 120 75 55 40 27 16


Tabel 2.3 Jarak pandang henti (Jh) minimum
Sumber : ( TPGJAK) No. 038/TBM/1997

2.6.2 Jarak Pandang Menyiap (Jd)


Jarak pandang menyiap adalah jarak yang dibutuhkan pengemudian
sehingga dapat melakukan gerakan menyiap dengan aman dan dapat melihat
kendaraan lain dari depan dengan bebas.

Gambar 2.5 Proses gerakan mendahului

Menurut Silvia Sukirman (1994), jarak pandang menyiap dapat dihitung


dengan menggunakan persamaan berikut :
d = d1 + d2 + d3 + d4

Dimana :
d1 = Jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (m)
d2 = Jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali ke
lajur semula (m)
d3 = Jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang
datang dari arah berlawanan setelah proses mendahului selesai (m)
d4 = Jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah
berlawanan.

Rumus yang digunakan :


a .T1
d1 = 0,278 T1( VR – m + )
2
d2 = 0,278 VR T2`
d3 = antara 30 – 100 m
d4 = ⅔ d2

VR, km/jam 50 – 65 65 - 80 80 – 95 95 – 110

d3 (m) 30 55 75 90

Dimana : T1 = waktu dalam (detik) 2,12 + 0,026 VR


T2 = waktu kendaran berada di jalur lawan (detik), 6,56 + 0,048
VR
a = percepatan rata-rata km/jam/detik, (km/jam/detik), 2,052 +
0,0036 VR
m = perbedaan kecepatan dari kendaraan yang menyiap dan
kendaraan yang disiap, (biasanya diambil 10 – 15 km/jam)

VR, km/jam 120 100 80 60 50 40 30 20

Jd minimum (m) 800 670 550 350 250 200 150 100
Tabel 2.4 Panjang Jarak pandang mendahului berdasarkan VR
Sumber : ( TPGJAK) No. 038/TBM/1997
2.7 Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan
Kendaraan yang bergerak dari jalan lurus menuju ke tikungan, seringkali tak
dapat mempertahankan lintasannya pada lajur yang disediakan. Hal ini disebabkan
karena :
1. Pada waktu membelok yang diberi belokan pertama kali hanya roda
depan, sehingga lintasan roda belakang agak keluar lajur (off tracking).
2. Jejak lintasan kendaraan tidak lagi berimpit, karena bemper depan dan
belakang kendaraan akan mempunyai lintasan yang berbeda dengan
lintasan roda depan dan roda belakang kendaraan.
3. Pengemudi akan mengalami kesukaran dalam mempertahankan
lintasannya tetap pada lajur jalannya terutama pada tikungan-tikungan
yang tajam atau pada kecepatan-kecepatan yang tinggi.

Untuk menghindari hal tersebut diatas maka pada tikungan-tikungan yang


tajam perlu perkerasan jalan dipelebar. Pelebaran perkerasan ini meurpakan faktor
dari jari-jari lengkung, kecepatan kendaraan, jenis dan ukuran kendaraan rencana
yang dipergunakan sebagai dasar perencanaan.
Jenis kendaraan semi trailer merupakan kendaraan yang cocok dipilih untuk
kendaraan rencana. Tentu saja pemilihan jenis kendaraan ini sangat
mempengaruhi kebutuhan akan pelebaran perkerasan dan biaya pelaksanaan jalan
tersebut.
Elemen-elemen dari pelebaran perkerasan tikungan terdiri dari :
1. Off tracking (U)
2. Kesukaran dalam mengemudi di tikungan (Z)

1 1
Rc = 𝑅 + 𝑏− 𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑝𝑒𝑟𝑘𝑒𝑠𝑎𝑛
2 2

1 1
B = √{√𝑅𝑐 2 − 64 + 2 b}2 + 64 - √𝑅𝑐 2 − 64 + 2 b
0,105 𝑉𝑟
Z =
√𝑅𝑐

Bt = n ( B + C ) + Z
∆𝑏 = Bt – Bn
∆𝑏
Pelebaran pada tikungan = 2

Dimana :
b = lebar kendaraan rencana
B = lebar perkerasan yang ditempati satu kendaraan di tikungan pada
lajur sebelah dalam
U = B–b
C = lebar kebebasan samping di kiri dan kanan kendaraan
Z = lebar tambahan akibat kesukaran mengemudi di tikungan
Bn = Lebar total perkerasan pada bagian lurus
Bt = lebar total perkerasan di tikungan
N = jumlah lajur
Bt = n(B + C) + Z
Δb = tambahan lebar perkerasan di tikungan
Δb = Bt - Bn

Gambar 2.10 Pelebaran perkerasan pada tikungan


Kebebasan samping di kiri dan kanan jalan tetap harus dipertahankan demi
keamanaan dan tingkat pelayanan jalan. Kebebasan samping (C) sebesar 0,5 m,
dan 1,25 m cukup memadai untuk jalan dengan lebar lajur 6 m, 7 m, dan 7,50 m.

2.8 Kebebasan Samping Pada Tikungan


Kebebasan samping pada tikungan merupakan salah satu syarat yang paling
penting sehubungan dengan keamanan bagi pengguna jalan. Sesuai dengan jarak
pandang yang dibutuhkan, maka pada tikungan perlu adanya kebebasan samping.
Jarak kebebasan samping ini merupakan jarak yang diukur dari suatu as jalan ke
suatu penghalang pandangan, misalnya bangunan, kaki bukit, dan pohon.

2.8.1 Perhitungan Kebebasan Samping


Untuk mendapatkan tingkat pelayanan suatu jalan yang baik dan selalu tetap
sama, baik pada bagian lurus maupun pada bagian tikungan maka diperlukan
adanya perhitungan kebebasan samping dan menghindari kemungkinan kendaraan
akan keluar dari jalurnya karena kecepatan yang terlalu tinggi.
Perhitunga kebebasan samping dapat di hitung dengan rumus :
a. Jika Jh < L total
28,65 𝐽ℎ
E = R’ (1 − cos )
𝑅′

b. Jika Jh > L total


28,65 𝐽ℎ 𝐽ℎ−𝐿𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 28,65 𝐽ℎ
E =R’ ( 1 − cos )+( 𝑠𝑖𝑛 )
𝑅′ 2 𝑅′

c. Jika Jd < L total


28,65 𝐽𝑑
E = R’ (1 − cos )
𝑅′

d. Jika Jd > L total


28,65 𝐽𝑑 𝐽ℎ−𝐿𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 28,65 𝐽𝑑
E =R’ ( 1 − cos )+( 𝑠𝑖𝑛 )
𝑅′ 2 𝑅′

Keterangan :
R’ = jari-jari sumbu jarur dalam ( Rd – ½ W)
Rd = jari-jari rencana
W = lebar jalan ( 2 x 3,5)
L total = panjang lengkung total (Lc + ( 2 x Ls ))
Lc = panjang busur lingkaran
Jh = jarak pandang henti
Jd = jarak pandang menyiap

2.9 Stasioning
Penomoran (stationing) panjang jalan pada tahap perencanaan adalah
memberikan nomor pada interval-interval tertentu dari awal pekerjaan.Nomor
jalan (STA Jalan) dibutuhkan sebagai saran komunikasi untuk dengan cepat
mengenali lokasi yang sedang dibicarakan, selanjutnya menjadi panduan untuk
lokasi suatu tempat.

Nomor jalan ini sangat bermanfaat pada saat pelaksanaan dan


perencanaan.Disamping itu dari penomoran jalan tersebut diperoleh informasi
tentang panjang jalan secara keseluruhan.Setiap STA jalan dilengkapi dengan
gambar potongan melintangnya. Adapun interval untuk masing-masing
penomoran jika tidak adanya perubahan arah tangen pada elinyemen horizontal
maupun elinyemen vertikal adalah sebagai berikut :

a. Setiap 100 m, untuk daerah datar


b. Setiap 50 m, untuk daerah bukit
c. Setiap 25 m,untuk daerah gunung

Nomor jalan (STA Jalan) ini sama fungsinya dengan patok-patok km disepanjang
jalan, namun juga terdapat perbedaannya antara lain :

1. Patok km merupakan petunjuk jarak yang diukur dari patok km 0, yang


umumnya terletak di ibu kota provinsi atau kota madya, sedangkan patok
STA merupakan petunjuk jarak yang diukur dari awal sampai akhir
pekerjaan.
2. Patok km berupa patok permanen yang dipasang dengn ukuran standar
yang berlaku, sedangkan patok STA merupakan patok sementara selama
masa pelaksanaan proyek jalan tersebut

2.9.1 Perhitungan Stationing


Pada tikungan penomoran dilakukan di setiap titik penting, jadi terdapat
STA titik TC, dan STA titik CT pada tikungan jenis full circle. STA titik SC,
STA titik CS, dan STA titik ST pada tikungan spiral circle spiral , dan spiral-
spiral.
➢ Tikungan F-C
❖ STA A = Sta 0 + 000 m
❖ STA PI1 = Sta 0 + d1
❖ STA Tc1 = Sta PI1 – Tc1
❖ STA Sc1 = Sta Tc1 – Ls1
❖ STA Cs1 = Sta Sc1 + Lc1
❖ STA St1 = Sta Cs1 + Ls1
➢ Tikungan S-C-S
❖ STA PI2 = Sta St1 + d2 – Tc1
❖ STA Sc2 = Sta Ts2 + Ls2
❖ STA Cs2 = Sta PI2 + Lc2 / 2
❖ STA St2 = Sta Cs2 + Ls2
➢ Tikungan S-S
❖ STA PI3 = Sta St2 + d3 – Ts2
❖ STA Ts3 = Sta PI3 – Ts3
❖ STA Ct3 = Sta PI3 + Ts3
❖ STA B = Sta Ct3 + d4 – Ts3

2.10 Alinyemen Vertikal dan Alinyemen Horizontal


Alinyemen vertikal adalah perpotongan bidang vertikal dengan bidang
permukaan perkerasan jalan melalui sumbu jalan untuk jalan 2 jajur 2 arah atau
melalui tepi dalam masing-masing perkerasan untuk jalur dengan median.
Seringkali disebut juga sebagai penampang menjang jalan.
Rumus – rumus yang digunakan untuk alinyemen vertikal:

𝑒𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟−𝑒𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙


❖ g= × 100%
𝑆𝑇𝐴 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟−𝑆𝑇𝐴 𝑎𝑤𝑎𝑙
❖ A = g2 – g1
𝐴 ×𝐿𝑣
❖ Ev = 800
𝐴 ×𝑋²
❖ y = 200 ×𝐿𝑣

Sedangkan alinyemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan untuk jalan


tanpa median, atau proyeksi tepi perkerasan sebelah dalam untuk jalan dengan
median. Alinyemen horizontal sering disebut dengan “situasi jalan”.

2.10.1 Perhitungan Alinyemen Vertikal


Alinyemen vertikal adalah garis potong yang membentuk bidang vertical
pada sumbu jalan. Dengan demikian alinyemen vertikal menyatakan bentuk
geometrik jalan dalam bentuk vertikal. Berbeda dengan alinyemen horizontal,
pada alinyemen horizontal perhatian tidak hanya ditunjukkan pada bagian yang
lengkung, tetapi justru pada bagian jalan yang lurus.

2.11 Kelandaian Pada Alinyemen Vertikal


Kelandaian pada alinyemen vertikal terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:
1. Kelandaian Maksimum
Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan
penuh mampu bergerak dengan kecepatan tidak kurang dari separuh kecepatan
semula tanpa harus menggunakan gigi rendah.
Tabel 2.5 Kelandaian Maksimum yang diijinkan

Landai maksimum
3 3 4 5 8 9 10 10
%

VR (km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 < 40

Tabel 2.5 Kelandaian Maksimum yang diijinkan


Sumber : ( TPGJAK) No. 038/TBM/199

2. Kelandaian Minimum
Pada jalan yang menggunakan kerb pada tepi perkerasannya, perlu dibuat
kelandaian minimum 0,5% untuk keperluan kemiringan saluran samping, karena
kemiringan jalan dengan kerb hanya cukup untuk mengalirkan air
kesamping.Panjang kritis ini diperlukan sebagai batasan panjang kelandaian
maksimum agar pengurangan kecepatan kendaraan tidak lebih dari separuh Vr.

Kecepatan pada Kelandaian (%)


awal tanjakan
(km/jam) 4 5 6 7 8 9 10
80 630 460 360 270 230 230 200
60 320 210 160 120 110 90 80
Tabel 2.6 Panjang Kritis (m)

Panjang kritis yaitu panjang landai maksimum yang harus disediakan


agarkendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian sehingga
penurunankecepatan tidak lebih dari separuh Vr. Lama perjalanan tersebut
ditetapkan tidaklebih dari satu menit.Panjang kritis dapat ditetapkan dari Tabel
2.24.
Kecepatan pada awal Kelandaian Maksimum (%)

tanjakan (Km/Jam) 4 5 6 7 8 9 10

80 630 460 360 270 230 230 200

60 320 210 160 120 110 90 80

Tabel 2.7 Tabel Panjang Kritis


(sumber : Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

2.12 Kubikasi
Kubikasi Cut dan Fill yaitu pemotongan dan penimbunan pada keadaan
tanah/muka tanah yang telah ditentukan. Pada keadaan cut, tanah digunakan untuk
mengisi ke daerah fill, dan apabila tidak cukup/kurang maka dapat diambil dari
borrow pit, seandainya kelebihan dapat dibuang ke disposal place, seperti hal nya
tanah stripping.

2.12.1 Perhitungan kubikasi Galian (cut) dan Timbunan (fill)


A. Menghitung Luas
Merupakan pemindahan sejumlah volume tanah akibat adanya perbedaaan
ketinggian (ketinggian muka tanah asli dengan ketinggian rencana trase) di suatu
tempat.Pekerjaan galian dan timbunan dilakukan apabila Elinyemen vertikal dan
horizontal dan penomoran stationing telah pasti

Gambar 2.13 Bentuk potongan timbunan


Gambar 2.14 Bentuk potongan galian

Untuk menghitung luas dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

B. Menghitung Volume

Perhitungan volume tanah antara dua stationing dilakukan dengan metoda


luas ujung rangkap, yaiut dengan mengambil rata-rata luas dua ujung penampang
dan mengalikan dengan jarak kedua stationing. Maka dengan demikian :
A1+A2
Volume = x jarak A1-A2
2

Menurut Cart F. Mayer David W. Gibson (1981) untuk menghitung


besarnya galian dan timbunan dapat digunakan persamaan sebagai berikut :

a. Segitiga : ½ alas x tinggi

( 𝑎𝑙𝑎𝑠 𝑎 + 𝑎𝑙𝑎𝑠 𝑏 )𝑥 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖


b. Trapesium : 2

c. Segiempat : panjang x lebar


BAB III

PERHITUNGAN

3.1 Penentuan Titik - Titik Koordinat

Titik A : XA = 53.3

: YA = 1095

Titik P1 : X1 = 371.6

: Y1 = 436.9

Titik P2 : X2 = 1048.7

: Y2 = 727.9

Titik P3 : X3 = 1490.7

: Y3 = 276.6

Titik B : XB = 1796.7

: YB = 365.1

3.2 Penentuan Jarak

d A-P1 : √(𝑋1 − 𝑋𝐴)2 + (𝑌1 − 𝑌𝐴)2

: √( 371.6 − 53.3)2 + (436.9 − 1095)2

: 731.03 m

d P1– P2 : √(𝑋2 − 𝑋1)2 + (𝑌2 − 𝑌1)2

: √( 1048.7 − 371.6)2 + (727.9 − 436.9)2

: 736.98 m
d P2– P3 : √(𝑋3 − 𝑋2)2 + (𝑌3 − 𝑌2)2

: √( 1490.4 − 1048.7)2 + (276.6 − 727.9)2

: 631.48 m

d P3-B : √(𝑋𝐵 − 𝑋3)2 + (𝑌𝐵 − 𝑌3)2

: √( 1786.7 − 1490.4)2 + (365.1 − 276.6)2

: 309.23 m

Jarak Total : d A-P1 + d P1-P2 + d P2-P3 + d P3-P4

: 731.03 m + 736.98 m + 631.48 m + 309.23 m

= 2,408 Km

3.3 Penentuan Sudut Putar

Mencari sudut putar P1 (Spiral Circle Spiral)


𝑌1−𝑌𝐴 𝑌2−𝑌1
Δ p1 : Arc tan ± Arc tan
𝑋1−𝑋𝐴 𝑋2−𝑋1
(436.9)−(1095) (727.9)−(436.9)
: Arc tan ± Arc tan
(371.6)−(53.3) (1048.7)−(371.6)

: Arc tan ( -2.574 ) ± ( 0.43 )


: ( 87.456) dan ( 40.920)

Δ p1 : 180 – 87.456
: 92.544
Mencari sudut putar P2 (Spiral - Spiral)

𝑌2−𝑌1 𝑌3−𝑌2
Δ p2 : Arc tan ± Arc tan
𝑋2−𝑋1 𝑋3−𝑋2
(727.9)−(436.9) (276.6)−(727.9)
: Arc tan ± Arc tan
(1048.7)−(371.6) (1490.7)−(1048.7)

Arc Tan ( 0.43 ) ± Arc Tan ( -1.021 )


: ( 23.257 ) ± ( -45.596 )
Δ p2 : 180 – 68.853

: 111.147°
Mencari sudut putar P3 (Spiral-Spiral)
𝑌3−𝑌2 𝑌𝐵−𝑌3
Δ p3 : Arc tan ± Arc tan
𝑋3−𝑋2 𝑋𝐵−𝑋3
(276.6)−(727.9) (365.1)−(276.6)
: Arc tan ± Arc tan
(1490.7)−(1048.7) (1796.7)−(1390.7)

: Arc Tan ( -1.021 ) ± Arc Tan ( 0.250 )


: ( 59.63) ± ( 31.56)

Δ p3 : 180 – 59.63

: 120,368 °
3.4 Perhitungan Alinyemen Horizontal
3.4.1 Tikungan P1 Spiral Circle Spiral (S-C-S)
Klasifikasi jalan : kelas II
Lebar jalan : 2 x 3,5 m
Kecepatan rencana (Vr) : 60 km/jam
Sudut putar (β) : 92,544
Kelandaian jalan (e) : 6 % = 0,06
Faktor gesek (f) : 0,192 – (0,00065 x vr)
: 0,192 – (0,00065 x 60)
: 0,153
Ls : 25 (Tabel 11.17, Buku Tata Cara
Perencanaan Geometrik Jalan Antar
Kota,1997)
Lc :40 (Tabel 11.17, Buku Tata Cara
Perencanaan Geometrik Jalan Antar
Kota,1997)
𝑉𝑟 2
R min :
127 (𝑒𝑚𝑎𝑘𝑠 +𝑓 )

602
:
127 (0,06 +0,153 )

: 133,08
R design (Rc) : 140 m
Maka menurut data- data diatas, dapat dihitung:
𝑙𝑆.90
𝜃s :
𝜋.𝑅𝑐
(25) 𝑥 (90)
: = 5,118o
(3,14) 𝑥 (140)

𝜃c : β – 2 𝜃s
: 92,544– (2) (5,118o)
: 82,308o
𝐿𝑠 2
P : – Rc(1-cos 𝜃s)
6 𝑥 𝑅𝑐
252
: - 140 (1- cos 5,118o)
(6) 𝑥 (140)

: 0,186 m
Es : (𝑅𝑐 + 𝑃) 𝑥 𝑠𝑒𝑐 12 𝑥 𝛽 − 𝑅𝑐
: (140 + 0,186) 𝑥 𝑠𝑒𝑐21 𝑥 92,544 − 140
: 62,805 m
𝐿𝑠3
K : 𝐿𝑠 − − 𝑅𝑐 𝑥 sin θs
40 𝑋 𝑅𝑐 2

253
: 25 - - 140 𝑥 sin 5,118
40 𝑋 1402
: 12,491 m
𝛽
Ts : (𝑅𝑐 + 𝑃)𝑥 𝑡𝑔 +𝐾
2
92,544
: (140 + 0,186)𝑥 𝑡𝑎𝑛 + 12,491
2

: 159,044m
Lt : 2 Ls + Lc
: 2(25) + 40s
: 90 m
Control : Lt < 2Ts
: 90 < (2) (219,218)
: 90 <438,436 (ok)
𝐿𝑠2
Xs : 𝐿𝑠 (1 − 40 𝑋 𝑅𝑐 2)
252
: 25 (1 − 40 𝑋 1402 )

: 24,98
𝐿𝑠 2
Ys :
6 𝑥 𝑅𝑐
252
:
6 𝑥 140
: 0,744
3.4.1 Tikungan P2 Spiral Circle Spiral (S-C-S)
Klasifikasi jalan : kelas II
Lebar jalan : 2 x 3,5 m
Kecepatan rencana (Vr) : 60 km/jam
Sudut putar (β) : 111,716
Kelandaian jalan (e) : 6 % = 0,06
Faktor gesek (f) : 0,192 – (0,00065 x vr)
: 0,192 – (0,00065 x 60)
: 0,153
Ls : 25 (Tabel 11.17, Buku Tata Cara
Perencanaan Geometrik Jalan Antar
Kota,1997)
Lc :40 (Tabel 11.17, Buku Tata Cara
Perencanaan Geometrik Jalan Antar
Kota,1997)
𝑉𝑟 2
R min :
127 (𝑒𝑚𝑎𝑘𝑠 +𝑓 )

602
:
127 (0,06 +0,153 )

: 133,08
R design (Rc) : 140 m
Maka menurut data- data diatas, dapat dihitung:
𝑙𝑆.90
𝜃s :
𝜋.𝑅𝑐
(25) 𝑥 (90)
: = 5,118o
(3,14) 𝑥 (140)

𝜃c : β – 2 𝜃s
: 111,147– (2) (5,118o)
: 100,911o
𝐿𝑠 2
P : – Rc(1-cos 𝜃s)
6 𝑥 𝑅𝑐
252
: - 140 (1- cos 5,118o)
(6) 𝑥 (140)

: 0,186 m
Es : (𝑅𝑐 + 𝑃) 𝑥 𝑠𝑒𝑐 12 𝑥 𝛽 − 𝑅𝑐
: (140 + 0,186) 𝑥 𝑠𝑒𝑐21 𝑥 111,147 − 140
: 107,964 m
𝐿𝑠3
K : 𝐿𝑠 − − 𝑅𝑐 𝑥 sin θs
40 𝑋 𝑅𝑐 2

253
: 25 - - 140 𝑥 sin 5,118
40 𝑋 1402
: 12,491 m
𝛽
Ts : (𝑅𝑐 + 𝑃)𝑥 𝑡𝑔 +𝐾
2
111,147
: (140 + 0,186)𝑥 𝑡𝑎𝑛 + 12,491
2

: 217,024 m
Lt : 2 Ls + Lc
: 2(25) + 40
: 90 m
Control : Lt < 2Ts
: 90 < (2) (219,218)
: 90 <438,436 (ok)
𝐿𝑠2
Xs : 𝐿𝑠 (1 − 40 𝑋 𝑅𝑐 2)
252
: 25 (1 − 40 𝑋 1402 )

: 24,98
𝐿𝑠 2
Ys :
6 𝑥 𝑅𝑐
252
:
6 𝑥 140
: 0,744
3.4.2 Tikungan P3 Full Circle (F - C)
Klasifikasi Jalan : Kelas II
Lebar jalan : 2 x 3,5 m
Kecepatan Rencana (Vr) : 70 km/jam
Faktor gesek(f) : 0,192 - (0,00065× Vr)
: 0,192 - (0,00065× 70)
: 0,14
Sudut putar (Δ) : 120,368
Kemiringan :2%
e maks : 10% = 0,10
𝑉𝑟 2
Rmin :
127 (𝑒𝑚𝑎𝑘𝑠 +𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑔𝑒𝑠𝑒𝑘 )

702
:
127 (0,02+0,14 )

: 241,141
Rdesign (Rc) : 220
Ls : 20 (Tabel 11.17, Buku Tata Cara
Perencanaan Geometrik Jalan Antar
Kota,1997)
Lc : 35 (Tabel 11.17, Buku Tata Cara
Perencanaan Geometrik Jalan Antar
Kota,1997)
Tc : Rc x tg 1⁄2 x Δ
: 220 x tg1⁄2x 120,368
: 211,847
1
Ec : Tc x Tg4 x Δ
1
: 211,847x tg4x 120,368

: 109,649
3.5 Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan (Departemen PU 1997)
3.5.1 Pelebaran pekerasan pada tikungan P2 Spiral – Circle - spiral (S-C-S)
Klasifikasi jalan =Kelas II (kendaraan rencana adalah Kendaraan
berat).
Lebar lajur = 3,5 m
Vr = 60 km/jam (lihat di halaman27)
Rc = 140 m (lihat di halaman 27)
n = 2 (jumlah jalur lalu lintas)
C = 1 m (kebebasan samping kiri dan kanan jalan)
b = 2,6 m (lebar lintasan kendaraan berat pada jalan
lurus)
P = 7,6 m (jarak as roda kendaraan depan dan belakang)
a = 1,2 m (tonjolan depan sampai bumper kendaraan
besar)
Bn = lebar lajur x jumlah jalur (n)
= 3,5 x 2 = 7
Penyelesaian:
1 1
RC = R + 2 𝑥 𝑏 − 2x lebar perkerasan
1 1
= 140 + x 2,6 - 2 x 3.5
2

= 139,55 m

1 1
B = √{√𝑅𝑐 2 − 64 + 2 b}2 + 64 - √𝑅𝑐 2 − 64 + 2 b

1 1
= √{√139,552 − 64 + 2 2,6}2 + 64 - √139,552 − 64 + 2 2,6

= √{√139,552 − 64 + 1,3}2 + 64 - √139,552 − 64 +1.3


= 2,82 m

U = B –b
= 2,82 – 2,6
= 0,22

0,105.𝑉𝑟
Z =
√𝑅
0,105 x 60
=
√140
= 0,53 m

Bt = n (B + c) + Z
= 2 (2,82+1)+ 0,53
= 8,17 m

Δb = Bt – Bn
= 8,17 – 7
=1,17 m

Δb 1,17
=
2 2
= 0,585 m

Bt = n (B + c) + Z

= 2 (2,82 +1)+ 0,53

= 8,17 m

Δb = Bt – Bn
= 8,17 – 7

= 1,17 m

Δb 1,17
=
2 2

= 0,585 m

3.5.2 Pelebaran pekerasan pada tikungan P1 Full Circle (F-C)


Klasifikasi jalan = Kelas II (kendaraan rencana adalah Kendaraan berat).
lebar lajur = 3,5 m
Vr = 70 km/jam ( lihat pada halaman 27 )
Rc = 220 m ( lihat pada halaman 27 )
n = 2 (jumlah jalur lalu lintas)
C = 1 m (kebebasan samping kiri dan kanan jalan)
b = 2,6 m (lebar lintasan kendaraan besar pada jalan lurus)
P = 7,6 m (jarak as roda kendaraan depan dan belakang)
a = 1,2 m (tonjolan depan sampai bumper kendaraan besar)
Bn = lebar lajur x jumlah jalur (n)
= 3,5 x 2 = 7 m

Penyelesaian :
1 1
RC = R + 2 𝑥 𝑏 − 2 x lebar perkerasan
1 1
= 220 + x 2,6 - x 3.5
2 2

= 219,55 m
1 1
B = √{ √𝑅𝑐 2 − 64 + 2 𝑏 }2 + 64-√𝑅𝑐 2 − 64 + 2 𝑏

1 1
= √{√219,552 − 64 + 2 2,6}2 + 64 - √219,552 − 64 + 2,6
2

= √{√219,552 − 64 + 1,3}2 + 64 - √219,552 − 64 + 1,3

= 2.74 m

U =B-b

= 2,74 – 2,6

= 0,14

0,105.𝑉𝑟
Z =
√𝑅

0,105 x 70
=
√220

= 0,495 m

Bt = n (B + c) + Z

= 2 (2,74 +1)+ 0,495

= 7,995 m

Δb = Bt - Bn

= 7,995 – 7

= 0,995 m
Δb 0,995
=
2 2

= 0,497 m

3.6 Jarak Pandang


3.6.1 Jarak Pandang Henti (Jh)
A. Jh pada tikungan P1 Spiral - Circle - Spiral (S–C-S)
Sumber : ( TPGJAK) No. 038/TBM/1997
Kecepatan rencana (Vr) = 60 km/jam (halaman 27)
Koefisien gesekan (Fp) = 0,35 – 0,55 (menurutBinaMarga)
Waktu tanggap (T) = 2,5 detik
Landai jalam (L) = 6% atau 0,06 (halaman 27)

Makamenurut data-data diatas dapat dihitung:


➢ Untukjalandengankelandaiantertentu dan tanjakan (+).
Vr2
Jh = (0,278) Vr × T +
254(Fp+L)

602
= (0,278) 60×2,5 +
254(0,35 + 0,06)

= 76,27 m

B. Jh pada tikungan P3 Full Circle (F-C)


Sumber : ( TPGJAK) No. 038/TBM/1997
Kecepatan rencana (Vr) = 70 km/jam (halaman 27)
Koefisien gesekan (Fp) = 0,35 – 0,55 (menurut Bina Marga)
Waktu tanggap (T) = 2,5 detik
Landai jalam (L) = 2% atau 0,02 (halaman 27)

Maka menurut data-data diatas dapat dihitung:


Untuk jalan dengan kelandaian tertentu dan tanjakan (+).
Vr2
Jh = (0,278) Vr × T +
254(Fp + L)

802
= (0,278) 70 ×2,5 +
254(0,35 + 0,02)

= 100,78m

3.6.2 Jarak pandang mendahului (Jd)


A. Jd pada tikungan P1 Spiral - Circle – Spiral (S-C-S)
Sumber : ( TPGJAK) No. 038/TBM/1997
Kecepatan rencana (Vr) = 60 km/jam (halaman 28)
Perbedaan kecepatan (m) = 10 – 15 km/jam (halaman 13)
Besar jarak rata - rata (d3) = 30 – 100 m (tabel 2.5 hal 13)

Maka menurut data-data diatas dapat dihitung:


T1 = 2,12 + 0,026 × (Vr)
= 2,12 + 0,026×(60)
= 3,68 detik

T2 = 6,56 + 0,048 × (Vr)


= 6,56 + 0,048 × (60)
= 9,44 detik

a = 2,052 + 0,0036 × (Vr)


= 2,052 + 0,0036 × (60)
= 2,27 detik
d3 = 30 m → (tabel 2.5)
m = 10 km/jam

➢ Jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (d1).


a × T1
d1 = 0,278 × T1 (Vr - m + )
2
2,27 × 3,68
= 0,278 × 3,68 (60 - 10 + )
2
= 55,43 m

➢ Jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali kelajur


semula (d2).
d2 = 0,278 × Vr × T2
= (0,278) × (60) × (9,44)
= 157,46 m

➢ Jarak antara kendaraan mendahului dengan kendaraan yang datang dari


arah berlawanan (d3).
d3 = 30 m

➢ Jarak yang di tempuh oleh kendaraan yang datang dari arah yang
berlawanan (d4).
2
d4 = 3×d2
2
=3× 157,46 m

= 105 m

➢ Jadi total jarak mendahului (Jd)


Jd = d1 + d2 + d3 + d4
= 55,43 + 157,46 + 30 + 105
= 348 m→ jarak minimum pada tabel 2.6 Jd adalah 350 m
B. Jd pada tikungan P1 Full Circle (F-C)
Sumber : ( TPGJAK) No. 038/TBM/1997
• Kecepatan rencana (Vr) = 70 km/jam (halaman 27)
• Perbedaan kecepatan (m) = 10 – 15 km/jam (halaman 13)
• Besar jarak rata - rata (d3) = 30 – 100 m (tabel 2.5 hal 13)

Maka menurut data-data diatas dapat dihitung :


T1 = 2,12 + 0,026 × (Vr)
= 2,12 + 0,026×(70)
= 3,94 detik

T2 = 6,56 + 0,048 × (Vr)


= 6,56 + 0,048 × (70)
= 9,92 detik
a = 2,052 + 0,0036 × (Vr)
= 2,052 + 0,0036 × (70)
= 2,272 detik
d3 = 55 m → (tabel 2.5)
m = 10 km/jam

➢ Jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (d1).


a × T1
d1 = 0,278 × T1 (Vr - m + )
2
2,272 × 3,94
= 0,278 × 3,94 (70 - 10 + )
2
= 70,62 m

➢ Jarak yang di tempuh selama mendahului sampai dengan kembali kelajur


semula (d2).
d2 = 0,278 × Vr × T2
= (0,278) × (70) × (9,92)
= 193,04 m
➢ Jarak antara kendaraan mendahului dengan kendaraan yang dating dari
arah berlawanan (d3).
d3 = 55 m

➢ Jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang dating dari arah yang
berlawanan (d4).
2
d4 = × d2
3
2
= × 193,04 m
3
= 128,69 m

➢ Jadi total jarak mendahului (Jd)


Jd = d1 + d2 + d3 + d4
= 70,62 + 193,04 + 55 + 128,69
= 447,42 m→ jarak minimum pada tabel 2.6 Jd adalah 450 m

3.7 Kebebasan Samping


3.7.1 Tikungan Spiral Circle Spiral (S-C-S)
Rd = 140 (halaman 27)wre
W = 2 x 3,5
=7m
R’ = Rd – ½ W
= 140 – ½ x 7
= 136,5 m
Lc = 40 (halaman 27)
Ls = 25 (halaman 27)
L total = Lc + (2 x Ls)
= 40 + (2 x 25)
= 90 m
Jh =76,26 m (halaman 37)
Jd = 348 m (halaman 41)
Penyelesaian:
➢ Pada persamaan jarak pandang henti di dapat Jh < Ltotal, maka:
28,65 𝐽ℎ
E = R’ (1 − cos )
𝑅′
28,65 𝑥 76,26
= 136,5(1 − cos )
136,5

= 5,29 m
Maka kebebasan samping untuk Jh = 76,26 didapat 5,29 m.

➢ Pada persamaan jarak pandang menyiap di dapat Jd >Ltotal, maka:


28,65 𝐽𝑑 𝐽𝑑−𝐿𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 28,65 𝐽𝑑
E =R’ ( 1 − cos )+( 𝑠𝑖𝑛 )
𝑅′ 2 𝑅′
28,65 𝑥 348 348−80 28,65 𝑥 348
= 136,5( 1 − cos )+( 𝑠𝑖𝑛 )
136,5 2 136,5

= 224,85 m
Maka kebebasan samping untuk Jd = 348 didapat 224,85 m.

3.7.2 Tikungan Full Circle ( F - C )


• Rd = 220 ( halaman 26)
• W = 2 x 3,5
= 7m
• R’ = Rd – ½ W
= 220 – ½ x 7
= 216,5
• Lc = 35 (halaman 26)
• Ls = 20 (halaman 26)
• L total = Lc + ( 2 x Ls )
= 35 + (2 x 20)
= 70 m
• Jh = 100,78 m (halaman 37)
• Jd = 447,42 m ( halaman 40)

Penyelesaian :
➢ Pada persamaan jarak pandang henti di dapat Jh > L total , maka :

28,65 𝐽ℎ 𝐽ℎ−𝐿𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 28,65 𝐽ℎ


E = R’ ( 1 − cos )+( 𝑠𝑖𝑛 )
𝑅′ 2 𝑅′

28,65 𝑥 100,78 100,78 −70 28,65 𝑥 100,78


E = 216,5 ( 1 − cos )+( 𝑠𝑖𝑛 )
216,5 2 216,5

E = 9,38 m

Maka kebebasan samping untuk Jh = 100,78 didapat 9.38.

➢ Pada persamaan jarak pandang menyiap di dapat Jd > L total , maka :

28,65 𝐽𝑑 𝐽𝑑−𝐿𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 28,65 𝐽𝑑


E =R’ ( 1 − cos )+( 𝑠𝑖𝑛 )
𝑅′ 2 𝑅′

28,65 𝑥 447,42 447,42−70 28,65 𝑥 447,42


E = 216,5 ( 1 − cos )+( 𝑠𝑖𝑛 )
216,5 2 216,5

E = 267,77 m
Maka kebebasan samping untuk Jd = 447,42 didapat 262,77 m.

3.7.3 Tikungan Full Circle ( F - C )

Rd = 220 ( halaman 26)


W = 2 x 3,5
= 7m
R’ = Rd – ½ W
= 220 – ½ x 7
= 216,5
Lc = 35 (halaman 26)
Ls = 20 (halaman 26)
L total = Lc + ( 2 x Ls )
= 35 + (2 x 20)
= 70 m
Jh = 100,78 m (halaman 37)
Jd = 447,42 m ( halaman 40)

Penyelesaian :
➢ Pada persamaan jarak pandang henti di dapat Jh > L total , maka :
28,65 𝐽ℎ 𝐽ℎ−𝐿𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 28,65 𝐽ℎ
E = R’ ( 1 − cos )+( 𝑠𝑖𝑛 )
𝑅′ 2 𝑅′
28,65 𝑥 100,78 100,78 −70 28,65 𝑥 100,78
E = 216,5 ( 1 − cos )+( 𝑠𝑖𝑛 )
216,5 2 216,5

E = 9,38 m

Maka kebebasan samping untuk Jh = 100,78 didapat 9.38.

➢ Pada persamaan jarak pandang menyiap di dapat Jd > L total , maka :

28,65 𝐽𝑑 𝐽𝑑−𝐿𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 28,65 𝐽𝑑


E =R’ ( 1 − cos )+( 𝑠𝑖𝑛 )
𝑅′ 2 𝑅′
28,65 𝑥 447,42 447,42−70 28,65 𝑥 447,42
E = 216,5 ( 1 − cos )+( 𝑠𝑖𝑛 )
216,5 2 216,5

E = 267,77 m
Maka kebebasan samping untuk Jd = 447,42 didapat 262,77 m.
3.8 Stationing
3.8.1 Perhitungan Stationing
➢ Tikungan F-C

Sta A = 0+000
Sta PI 1 = Sta A +d A - I1
= 0+ 000 + 731.03
= 731.03 = 0 +138.46
Sta Tc1 = Sta PI 1 - Tc1
= 731.03 - 57.3
= 673.73
Sta ST1 = d A - PI1 + Tc1
= 731.03 + 673.73
= 1404.77
➢ Tikungan S-C-S
Sta PI 2 = Sta PI 1 + d PI1 - PI2
= 731.03+736.984
= 1468.018
Sta Ts2 = d PI1- PI2- 39.45
= 1468.018- 39.45
= 1428.568
Sta St2 = d PI1 - PI2 + 39.45
= 1468.018 + 39.45
= 1507.468

➢ Tikungan F-C
Sta PI3 = Sta PI 2+d PI2-PI3
= 1468.018+ 631.693
= 2099.711
Sta Ts3 = Sta PI3- Tc3
= 2099.711- 385.3696
= 1714.341
Sta St3 = Sta Ts3 + Lc3
= 1714.341 + 55
= 1769.341

Sta B = Sta PI3 + d PI3- PI4


= 2099.711 + 318.541
= 2418.251
Sta Tc4 = Sta B -Tc4
= 2418.251 - 82.37
= 2335.881
Sta Ct4 = Sta St3 + Lc
= 1769.341 + 164.227
= 1933.568
Sta B =Sta B+ d PI4 - B
= 2418.251 + 301.47
= 2719.721

3.9 Kubikasi
Menurut Cart F. Mayer David W. Gibson (1981) untuk menghitung
besarnya galian dan timbunan dapat digunakan persamaan sebagai berikut :

d. Segitiga : ½ alas x tinggi


( 𝑎𝑙𝑎𝑠 𝑎 + 𝑎𝑙𝑎𝑠 𝑏 )𝑥 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖
e. Trapesium : 2

f. Segiempat : panjang x lebar

➢ Sta 0 + 000
Galian : 0 m2
Timbunan : 0 m2
➢ Sta 0 + 200
Galian : ½ alas x tinggi
: ½ 200 x ( 82 – 80 )
: 200 m2
Timbunan : 0 m2

➢ Sta 0 + 400
Galian : panjang x lebar

: ( 82 – 80 ) x 200

: 400 m2

Timbunan : 0 m2

➢ Sta 0 + 600
( 𝑎𝑙𝑎𝑠 𝑎 + 𝑎𝑙𝑎𝑠 𝑏 )𝑥 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖
Galian : 2
( 102+ 200 )𝑥 (82−82 )
: 2
2
: 302 m
Timbunan : 0 m2

➢ Sta 0 + 800
Galian : 0 m2
Timbunan : ½ alas x tinggi
: ½ 200 x ( 80 – 78 )
: 200 m2

➢ Sta 1 + 000
Galian : 0 m2
Timbunan : panjang x lebar
: ( 80 – 78 ) x 200
: 400 m2

➢ Sta 1 + 200
Galian : 0 m2
Timbunan : ½ alas x tinggi
: ½ 200 x ( 80 – 78 )
: 200 m2

➢ Sta 1 + 400
Galian : 0 m2
Timbunan : 0 m2

➢ Sta 1 + 600
Galian : 0 m2
Timbunan : 0 m2

➢ Sta 1 + 800
Galian : 0 m2
Timbunan : 0 m2

➢ Sta 2 + 000
Galian : 0 m2
Timbunan : 0 m2

➢ Sta 2 + 200
Galian : ½ alas x tinggi
: ½ 200 x ( 83 – 80 )
: 300 m2
Timbunan : 0 m2
➢ Sta 2 + 400
Galian : panjang x lebar
: ( 83 – 80 ) x 200
: 600 m2
Timbunan : 0 m2

➢ Sta 2 + 600
Galian : panjang x lebar
: (83 – 80 ) x 200
: 600 m2
Timbunan : 0 m2

➢ Sta 2 + 800
Galian : 0 m2
Timbunan : 0 m2

➢ Sta 3 + 000
Galian : 0 m2
Timbunan : ½ alas x tinggi
: ½ 200 x (80 -78 )
: 200 m2

➢ Sta 3 + 200
Galian : 0 m2
Timbunan : panjang x lebar
: ( 80 – 78 ) x 200
: 400 m2

➢ Sta 3 + 400
Galian : 0 m2
Timbunan : panjang x lebar
: ( 80 – 78 ) x 200
: 400 m2

➢ Sta 3 + 600
Galian : 0 m2
Timbunan : ½ alas x tinggi
: ½ 200 x (80 -78 )
: 200 m2
➢ Sta 3 + 800
Galian : 0 m2
Timbunan : 0 m2

➢ Sta 4 + 000
Galian : 0 m2

Timbunan : 0 m2
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Jalan yang direncanakan merupakan jalan Arteri kelas IIA merupakan
kendaraan berat dengan lebar perkerasan 2 x 3,5m dan dengan kecepatan rencana
(VR) = 80 - 15 km/jam.
a. Pada PI1 direncanakan jenis tikungan Full Circle dengan jari-jari lengkung
rencana 260 m, sudut putar sebesar Δ = 108,43º.
b. Pada PI2 direncanakan jenis tikungan Spiral-Circle-Spiral dengan jari-jari
lengkung rencana 160 m, sudut putar sebesar Δ = 71,57º..
c. Pada PI3 direncanakan jenis tikungan Spiral-Spiral dengan jari-jari
lengkung rencana 15 m, sudut putar sebesar Δ =53,13º.

1.2 Saran
Perencanaan geometrik jalan raya sebaiknya berdasarkan data hasil survey
langsung dari lapangan agar diperoleh perencanaan yang optimal.
Lebih kurang dari laporan ini dapat dikonsultasikan juga kepada dosen
pembimbing untuk memperbaiki laporan perencanaan geometrik jalan dan
ketelitian dalam perhitungan diharapkan lebih baik agar hasil gambar sesuai
dengan syarat-syarat ketentuan perencanaan jalan yang telah ditentukan dari
referensi.
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jendral Bina Marga, Bipran, 1970, Peraturan Perencanaan Geometri


Jalan Raja, No. 13/1970.

Direktorat Jenderal Bina Marga, 1988, Standard Perencanaan Geometri Untuk


Jalan Perkotaan.

Direktorat Bina Marga, ESPRAN, Ruslan Diwiryo, Perencanaan Geometri Jalan,


Bagian III.

Sukirman Silvia, Dasar – dasar Perencanaan Geometri Jalan, Bandung, 1981.


Oglesby Calrkson H, Hicks Gary R, Teknik Jalan Raya, Edisi IV.
PEDC 1984, Konstruksi Jalan Raya I, PEDC, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai