Anda di halaman 1dari 67

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN RAYA

Pengertian Jalan Raya : adalah suatu lintasan


yang bertujuan melewatkan lalu lintas dari suatu
tempat ke tempat lainnya.
Arti Lintasan : menyangkut jalur tanah yang
diperkuat ( diperkeras ) dan jalur tanah tanpa
perkerasan.
Arti Lalu Lintas : menyangkut semua benda dan
makhluk yang melewati jalan tsb.
PENGGOLONGAN JALAN
Dari sejarah jalan dapat digolongkan sbb :
1. Sesuai Pelayanan, yang didasarkan atas :
• Prasarana Sosial dan Ekonomi ( jalan ekonomi )
• Prasarana Politik dan Militer ( jalan strategi )
2. Sesuai Pengawasannya seperti :
• Jalan Desa, meliputi jalan – jalan dilingkungan desa.
• Jalan Kabupaten/ Kotamadya, meliputi lingkungan
kabupaten dan kotamadya yang bersangkutan.
• Jalan Propinsi, selain melayani dalam propinsi, juga
bertugas menghubungi dengan ibukota propinsi.
• Jalan Negara yang menghubungi ibukota propinsi.
3. Klasifikasi Jalan yang Diatur Dalam Undang – Undang
a. Undang – undang lalu lintas lama
b. Undang – undang lalu lintas baru.
Undang – Undang Lalu Lintas Lama : klas jalan
didasarkan atas tekanan gandar belakang. Tekanan
gandar belakang menyatakan berat total kendaraan.

0,2 w = tekanan roda


0,2 w 0,8 w 0,8 w = tekanan roda
W 1,0 w = tekanan gandar belakang
Klasifikasi Berat
Klas Jalan Tekanan Gandar

I 7 ton
II 5 ton
III 3,5 ton
IV 2,75 ton
V 2 ton
VI 2 ton
Undang – Undang Lalu Lintas Baru
Sesuai dengan peraturan Perencanaan Geometrik Jalan
Raya No 13 / 1970 dan Pedoman Perencanaan
Geometrik Jalan untuk Perkotaan tahun 1992, maka
jalan dibagi dalam kelas – kelas berdasarkan :
A. Fungsi Jalan
B. Volume dan Sifat Jalan

A. Fungsi JaLan Mencakup 3 golongan penting :


1. Jalan Utama : yaitu jalan raya yang melayani LL yang
tinggi antara kota – kota penting, sehingga harus
direncanakan untuk dapat melayani LL yang cepat
dan berat.
2. Jalan Sekunder : yaitu jalan raya yang melayani LL yang cukup
tinggi antara kota – kota penting dan kota – kota yang lebih
kecil serta sekitarnya.
3. Jalan Penghubung : yaitu jalan untuk keperluan aktifitas
daerah yang juga dipakai sebagai penghubung antara jalan –
jalan dari golongan yang sama atau berlainan.
B. Volume dan Sifat Lalu Lintas
Volume LL menyatakan jumlah LL perhari dalam 1 tahun
untuk kedua jurusan.
Jumlah LL perhari dalam satu tahun dinyatakan sebagai LL
harian rata – rata ( disingkat LHR )

Jumlah LL dalam 1th


LHR 
Jumlah hari dalam 1 th (365 hr)
Berhubung pada umumnya LL pada jalan raya terdiri dari
campuran kendaraan lambat, ringan dan kendaraan tak
bermotor, maka dalam hubungannya dengan kapasitas jalan
mengakibatkan adanya pengaruh dari setiap jenis kendaraan
tersebut terhadap keseluruhan arus LL. Pengaruh ini
diperhitungkan dengan miring. Ekivalen kendaraan standart.
Faktor ekivalen berdasarkan penelitian AASHTO :
• Sepeda Motor FE = 0,5
• Mobil Penumpang FE = 1
• Truk Ringan FE = 2
• Truk Sedang FE = 2,5
• Truk Berat FE = 3
• Bus FE = 3
• Kendaraan tak bermotor FE = 7
Klasifikasi Jalan adalah sebagai berikut :

KLASIFIKASI LL HARIAN RATA-RATA (LHR) DALAM


FUNGSI KELAS smp
UTAMA IA 20.000
SEKUNDER IIA 6000 - 20.000
IIB 1500 - 6000
IIIC 2000
PENGHUBUNG III 0
Faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan geometrik
jalan raya :
1.LALU LINTAS, masalah yang menyangkut LL meliputi :
a. Volume / jumlah LL
b. Sifat dan komposisi LL
c. Kecepatan rencana LL
2.TOPOGRAFI, merupakan faktor penting dalam menentukan
lokasi jalan dan pada umumnya mempengaruhi alinemen
sebagai standart perencanaan geometrik seperti landai jalan,
jarak pandangan, penampang melintang dan lain-lain.
3.KAPASITAS, yaitu kemampuan suatu jalan menerima LL. Jadi
kapasitas menyatakan jumlah kendaraan maksimum yang
melewati suatu titik dalam satu satuan waktu.
Kapasitas terbagi dalam tiga golongan :
a. Kapasitas Dasar (kapasitas ideal), yaitu kapasitas jalan dalam
ideal yang meliputi :
• LL mempunyai ukuran standard
• Lebar perkerasan ideal = 3,6 m
• Lebar bahu = 1,8 m
• Jumlah tikungan dan tanjakan
b. Kapasitas Rencana, yaitu kapasitas jalan untuk perencanaan
yang dinyatakan sebagai jumlah kendaraan yang melalui suatu
tempat dalam satuan waktu (jam)
c. Kapasitas Mungkin, yaitu jumlah kendaraan yang melalui
suatu titik (satu tempat) dalam satu satuan waktu dengan
memperhatikan percepatan ataupun perlambatan yang
terjadi pada jalan tersebut.
Rumus Umum : C  2000 Wc . Tc . Bc
100
Tc 
100 - Pt   Pb . Et
100
Bc 
100 - Pb   Pb . Eb
Dimana : C = kapasitas ; 2000 = kapasitas dasar
Wc = pengaruh samping jalan
Tc = pengaruh truk; Pt = Prosentase truk
Et = Ekivalen truk
Bc = pengaruh bus; Pb = Prosentase bus
Eb = Ekivalen bus
PERENCANAAN GEOMETRIK
1. Jarak Pandangan
A. Pengertian Umum : adalah bagian jalan didepan
pengemudi yang masih dapat dilihat dengan jelas,
diukur dari tempat kedudukan mata pengemudi.
Jarak pandangan yang cukup dapat direncanakan
dengan menyesuaikan rencananya pada dua hal, yaitu :
a. Jarak yang diperlukan oleh kendaraan untuk berhenti
( stopping ), jarak ini harus berlaku pada semua jalan.
b.Jarak yang diperlukan oleh kendaraan untuk
melakukan penyiapan ( passing ) kendaraan lain, sangat
diperlukan pada jalan dengan dua jalur atau tiga jalur.
B. Jarak Pandangan Henti
Jarak pandangan henti adalah panjang bagian jalan
yang diperlukan oleh pengemudi untuk menghentikan
kendaraannya. Oleh karena itu suatu jalan harus
direncanakan sehiingga dapat memberikan jarak
pandangan yang lebih besar atau paling sedikit sama
dengan jarak pandangan henti minimum tersebut. Jarak
pandangan henti merupakan penjumlahan dua buah
jarak, yaitu :
1. Jarak PIEV, yaitu jarak yang ditempuh oleh
kendaraan pada saat pengemudi melihat suatu
halangan ( object ), hingga saat pengemudi menginjak
rem.
2. Jarak Mengerem ( braking distance ), yaitu jarak yang
diperlukan untuk menghentikan kendaraan dengan
menginjak rem.
a. Waktu Persepsi dan Reaksi
Waktu Persepsi adalah waktu yang dibutuhkan oleh
pengemudi untuk menyadari adanya halangan pada
lintasannya, dan pemikiran untuk mengantisipasi
keadaan tsb dengan keharusan menginjak rem.
Waktu Reaksi adalah waktu yang diperlukan oleh
pengemudi untuk menghentikan kendaraanya
setelah mengambil keputusan untuk menginjak rem.
Kedua waktu tsb dipengaruhi oleh waktu PIEV.
Dan waktu PIEV ini juga tergantung pada beberapa
faktor, yaitu :
-Karakteristik fisik dan mental pengemudi
-Tipe dan kondisi jalan
-Warna ukuran dan bentuk halangan
-Kemampuan pengemudi mengontrol kendaraan
-Tujuan perjalanan
-Kecepatan kendaraan
Menurut pengukuran AASHTO bahwa total waktu
persepsi dan reaksi adalah 2,5 detik.
b. Jarak Waktu Persepsi dan Reaksi
Adalah jarak perjalanan kendaraan selama waktu
persepsi dan reaksi. Jarak ini merupakan hasil
perkalian antara kecepatan kendaraan dengan
waktunya. Besar jarak PIEV dapat dirumuskan :
dp = 0,278 V. t
Dimana : dp = jarak PIEV ( m )
V = kecepatan rencana ( km/ jam
t = waktu PIEV ( detik )
c. Jarak Mengerem
Rumus dari besarnya jarak mengerem sbb :
V2
Db 
2 g ( f  tg  )
Karena tg γ adalah kemiringan/ kelandaian G
( dalam % ) maka pers itu dapat ditulis :

V2
Db 
2g ( f  G )
Jika g ditetapkan 9,8 m/det2 dan V dalam km/ jam, maka pers.
tsb disederhanakan menjadi :
V2
Db 
254 ( f  G )
Jarak yang ditempuh kendaraan saat pengemudi
melihat halangan pada lintasannya dan saat kendaraan
akan berhenti lebih besar daripada jarak yang
ditempuh dengan mengerem. Penjumlahan kedua
bagian jarak tersebut merupakan jarak pandangan
henti.
Jadi perumusan untuk jarak pandangan henti :
V2
Ds  0,278.V .t 
254 ( f  G )
Dimana : Ds = jarak pandangan henti
t = total waktu persepsi friksi dan reaksi (dt)
f = koef gesekan
G = kelandaian jalan ( % )
C. Jarak Pandangan Menyiap , adalah panjang
bagian jalan yang diperlukan oleh pengemudi
suatu kendaraan untuk melaksanakan gerakan
menyiap kendaraan yang lain yang lebih lambat
dengan aman. Jarak pandangan menyiap
diperlukan untuk menjamin pengemudi dalam
gerakan menyiap terhadap kendaraan dimuka
dengan menggunakan jalur lain yang berlawanan
arah pada jalan dua jalur dengan memberikan
pandangan kemuka yang cukup jauh agar
memperkecil kemungkinan benturan dengan
kendaraan yang datang dari arah berlawanan.
Jarak pandangan menyiap rencana didasarkan
pada hasil studi lapangan dan menggunakan
asumsi sbb :
1. Kendaraan yang disiap berjalan dengan
kecepatan tetap.
2. Kendaraan menyiap mengurangi kecepatannya
hingga sama, dan selanjutnya mengikuti
kendaraan yang disiap.
3. Ketika berada didaerah menyiap, pengemudi
memerlukan waktu persepsi untuk mengamati
daerah menyiap didepannyadan bersiapuntuk
menambahkecepatannya.
4. Saat menyiap dapat dilakukandan kendaraan segera
menempati jalur LL berlawanan, kendaraan meyiap
menambah kecepatannya selama menempati jalur
berlawanan sebesar 15 km/ jam.
5. Ketika kendaraan yang menyiap segera kembali ke
jalur lintasannya, terdapat suatu jarak bebas yang
cukup antara kendaraan menyiap dengan kendaraan
yang datang dari arah berlawanan.
Berdasarkan asumsi tersebut, standar AASHTO
mendifinisikan jarak pandangan menyiap minimum
sebagai penjumlahan dari empat bagian jarak, seperti
pada gambar berikut :
C C
A A A B

d1 1/3 d2 2/3 d2
TAHAP PERTAMA

C A
A B
d1 d2 d3 d4
TAHAP KEDUA
Dimana :
A = Kendaraan yang mendahului
B = Kendaraan yang berlawanan arah
C = Kendaraan yang didahului kendaraan A
G .V 2
F  m.a  F 
g.R

V2 V2
fm  
g . R 127 . R

Dimana : V = Kec. Rencana (km/jam)


R = Jari-jari tikungan (m)
fm = Koefisien gesekan maksimum
g = Grafitasi bumi (m/dt2)
2. Stadium II : dalam stadium ini perkerasan jalan diberi
kemiringan sebesar “k” (e), sehingga gaya centrifugal yang
timbul dapat diimbangi sepenuhnya oleh kemiringan jalan
tadi. Keadaan ini adalah merupakan keadaan yang paling
ideal dari suatu tikungan.
V2
k ( e) 
127 . R

3. Stadium III : dalam stadium ini kemiringan sebesar “k” yang


diadakan tidak cukup mengimbangi gaya centrifugal yang
timbul sehingga timbul gaya gesekan antara ban dan
perkerasan jalan, maka berlaku hubungan :
G .V 2
G . sin   ( F1  F 2)  cos 
g.R

G .V 2
G . sin   ( N1  N 2) fm  cos 
g.R

Karena sudut α (sudut miring jalan) adalah sangat kecil, maka


dapat dianggap cos α = 1 dan sin α = tg α, jadi :
V2 V2
tg   fm   e  fm 
127 . R 127 . R

Dimana : e = Kemiringan jalan


fm = Koefisien gesekan melintang
V = Kec. Kendaraan (km/jam)
R = Jari-jari lengkung tikungan (m)
Gambar :

Stadium I Stadium II

G .V 2
g .R
G sin α
G

F1 F1
N1 N1

Stadium III

G .V 2
F1
g .R

N1
N2 F2
α
Rumus-rumus ketiga stadium dapat digunakan untuk
menentukan Rmin tikungan.
V2
1. R min 
127 . f m

V2
2. R min 
127 . em

V2
3. R min 
127 ( em  f m )
II.Lengkung Peralihan
Di dalam suatu perencanaan garis lengkung perlu diketahui
hubungannya dengan kecepatan rencana dan kemiringan
melintang jalan (superelevasi)

Bentuk-Bentuk Tikungan :
Bentuk lengkungan yang biasa digunakan :
a.Lingkaran (Circle)
b.Spiral - Circle - Spiral
c.Spiral - Spiral

Tidak semua lengkungan boleh berbentuk lingkaran, ini


tergantung pada besarnya kecepatan rencana serta jari-jari
lingakran itu sendiri
a. Circle - Circle ( full circle )

T PI
∆C
Lc Ec

TC Tbs CT

½ ∆C

RC RC

½∆
Bentuk tikungan pada tikungan yang mempunyai jari-jari besar
dan sudut tangen relatif kecil.
Batasan yang biasa digunakan di Indonesia dimana
diperbolehkan menggunakan bentuk circle adalah sebagai
berikut :
Kecepatan Rencana Jari-jari Lengkung Minimum
( km/jam ) ( meter )
120 2000
100 1500
80 1100
60 700
40 300
30 180
Keterangan dan Rumus umntuk bentuk Circle :
PI sta = nomor station
V = kecepatan rencana ( km/jam )
R = jari-jari ( meter )
Δ = sudut tangent ( diukur dari gambar trase )
(…o(derajat))
TC = tangent circle
T = jarak antara TC dan PI ( dihitung ) ( meter)
L = panjang bagian tikungan ( dihitung ) ( meter )
E = jarak PI ke lengkung peralihan ( dihitung ) ( meter )
Tbs= tali busur dari TC ke CT ( dihitung ) ( meter )
Menentukan Harga T, L, dan E
1 T 1
tg    T  RC tg 
2 R 2
1
E  T tg 
4
1
E  RC ( )
cos 1  C
2
C
LC  . 2  RC  LC  0,01745 .  C . RC
360
Tbs  2 RC . sin 1  C
2
b. Bentuk Spiral - Circle - Spiral

T
PI

Xc BUSUR LINGKARAN
E
Yc

k H H’
SC CS
Tbs

TS ST

P
∆c
θs RC
l
Y
∆/2 6 . RC . Ls
l5
Xl
40 . R 2 . Ls 2
l  panjang busur spiral dari Ts
ke sembarang titik pada spiral
TS = titik peralihan dari tengah ke spiral
SC = titik peralihan dari spiral ke circle
CS = titik peralihan dari circle ke spiral
ST = titik peralihan dari spiral ke tangen
LS = panjang total busur spiral dari TS ke SC
θ S = sudut pusat dari busur spiral sepanjang LS, disebut
“sudut spiral”
ΔC= sudut pusat dari lingkaran sepanjang dari SC ke CS
Δ = sudut pusat total pada tikungan
p = offset = pergeseran busur lingkaran
k = jarak dari TS ke titik H
E = jarak PI ke busur lingkaran
T = jarak dari PI ke TS
Lengkung spiral merupakan peralihan dari bagian lurus ke bagian
circle, yang panjangnya diperhitungkan dengan
mempertimbangkan bahwa perubahan gaya sentrifugal dari nol
( bagian lurus ) sampai mencapai dimana harga berikut :

m .V 2
F sent 
R . Ls
V2 k
harga Ls min  0,022 .  2,722 V .
R .C C
Dimana :
Ls = panjang lengkung spiral ( meter )
V = kecepatan rencana ( km/jam )
R = jari-jari circle ( meter )
C = perubahan kecepatan ( m/dt3 )
harga C dianjurkan = 0,4 m/dt3
k = superelevasi / kemiringan
Adapun jari-jari yang diambil untuk tikungan Spiral-Circle-Spiral
harus sesuai dengan kecepatan rencana dan tidak
mengakibatkan adanya kemiringan tikungan yang melebihi harga
maksimum yang ditentukan yaitu :
• Kemiringan maksimum jalan antar kota = 0,10
• Kemiringan maksimum jalan dalam kota = 0,08

Pemakaian Praktis Melalui Tabel emaks


R atau D Yang telah ditetapkan, lihat tabel emaks
V Didapat : e = ………( m/m)
Ls = ………( m )
Selanjutnya lihat tabel untuk lengkung spiral :
Ls = ….. Didapat harga θ s = ………..(derajat)
R = ….. p = ………..(meter)
k = ………..(meter)
Dari harga-harga diatas disubtitusikan ke :
ΔC = Δ – 2 θs (derajat)
C Bila Lc < 20 meter,
Lc  . 2  Rc ( meter )
360 maka bentuk
tikungan S-S
L = Lc + 2 Ls ( meter )
Ts = ( Rc + p ) tg ½ Δ + k ( meter )
Es = ( Rc + p ) sec ½ Δ - Rc ( meter )
CONTOH :
Diketahui : V = 60 km/jam
fm = 0,15
emaks = 0,10
Δ = 66o
Dicoba dengan tikungan S-C-S
V2 60 2
Rmin   112 115 meter
127 (e  fm ) 127 (0,10  0,15 )
Dicoba dengan R = 300 meter Didapat dari tabel Barnet :
V = 60 km/jam e = 0,06
Ls = 50 meter
1432,4 1432,4
D   4,7747
R 300

Kontrol “ e ”
Dengan cara interpolasi dari tabel barnet didapat :
 4,7747  4,50 
e min  0,057     0,062  0,057  0,059
 5,00  4,50 
Syarat : emin < e < emaks
0,059 < 0,06 < 0,10
KONTROL Ls :

V2 V.k
Ls min  0,022  2,722
R .C C
60 2 60 . 0,06
 0,022  2,722
300 . 0,4 0,4
15,102 meter

Syarat : Ls > Lsmin ; 50 meter > 15,102 meter (OK)

28,648 28,648
θs  . Ls   . 50  4,77
R 300
Δc  Δ  2 θs
Δc  66  2 4,77   56,45
Δc 56,45
Lc  .2 π R   . 2 π 300
360 360
 295,57  300 meter  20 OK
Dari θs = 4,77o didapatkan dari tabel dangan cara interpolasi
 5,00  4,77 
k   0,4998972    0,4998972  0,4998731
 5,00  4,50 
 0,4998861 meter
 5,00  4,77 
p  0,0065435  

 0,007202  0,0065435
 5,00  4,50 
 0,0068777 meter
k = k* . Ls = 0,4998861 . 50 = 24,99486
p = p* . Ls = 0,0068777 . 50 = 0,348850
Ttot = ( R + p ) tg ½ Δ + k
= ( 300 + 0,343885 ) tg 33 + 24,99486
= 220,04 225 meter

R p 300  0,343885
Es  R   300
cos 1  0,8386705
2
 58 meter  60 meter
L = Lc + 2 Ls < 2 Ttot
= 300 + 2 . 50 = 400 meter < 2 . 225 = 450 meter (ok)
C. BENTUK TIKUNGAN SPIRAL – SPIRAL

Ts

ES
Yc
Xc
θs

scs

θs
k


ST

O
Bentuk tikungan jenis ini dipergunakan pada tikungan yang
tajam. Rumus-rumus yang digunakan seperti pada perhitungan
tikungan Spiral - Circle - Spiral, tetapi dengan cara
menghilangkan panjang Circlenya, seperti berikut ini :

Ls 2 Ls 2
*) Yc  dan Xc 
6 . Rc 40 . Rc 2
1. SC berimpit dengan CS
Δc = 0 → Δ = 2 θs
2. Lc = 0 → L = 2 Ls
2 . . R
3. Ls  . 2s
360
Harga = p = p* . Ls dan k = k* . Ls
atau : p = Yc - Rc (1 - cos ½Δ )
k = Xc - Rc sin ½Δ
Selanjutnya harga Ts dan Es dihitung :
Ts = ( R + p ) tg ½Δ + k
Kontrol : L < 2 . TS
Es = ( R + p ) cos ½Δ - R
PELEBARAN PERKERASAN PADA TIKUNGAN
Pada saat kendaraan berada di tikungan, roda depan dan
belakang tidak pada lintasan yang sama. Oleh karena roda depan
berbelok sehingga lintasan roda belakang akan lebih ke dalam
pada lintsannya (off tracking).
Agar roda belakang tidak keluar dari tepi permukaan jalan karena
dapat menyebabkan kerusakan pada tepi dalam perkerasan di
tikungan, maka lapis permukaan dilakukan pelebaran ke arah
sebelah dalam.
Dengan menggunakan grafik dapat ditentukan lebar perkerasan
yang harus ditambahkan ke arah dalam.
Rumus untuk menghitung lebar perkerasan adalah sebagai
berikut :

B = n ( b’ + c ) + ( n - 1 ) Td + z
Dimana :
B = lebar perkerasan pada tikungan (m)
n = jumlah jalur lalu lintas
b’ = lebar lintasan truk pada tikungan (m)
Td = lebar melintang akibat tonjolan depan (m)
z = lebar tambahan akibat kelainan dalam mengemudi (m)
c = kebebasan samping = 0,8

Sehingga besarnya pelebaran pada tikungan adalah :


B” = B - B’
Dimana :
B” = pelebaran di tikungan (m)
B = lebar perkerasan di tikungan (m)
B’ = lebar perkerasan di bagian tangen (m)
Bila lebar B’ > B, maka tikungan yang bersangkutan tidak
memerlukan pelebaran tikungan. Hal ini dapat terjadi pada tikungan
dengan jari-jari besar ( R > 1200 meter ) serta untuk sudut tangen
kecil ( Δ  10o ).
Rumus lebar perkerasan seperti tertulis di atas hanya berlaku bila :

1000 ,untuk harga R kurang dari 167 meter maka pelebaran


6
R
di tikungan ditetapkan sebesar 0,6 meter.
ALINEMEN VERTIKAL
Alinemen vertikal adalah perpotongan bidang permukaan
perkerasan jalan melalui sumbu jalan.
Bentuk alinemen vertikal ini menentukan jalannya kendaraan,
karena berpengaruh pada kecepatan, percepatan, perlambatan,
jarak pandang, keamanan, dan kenyamanan.

1. Kelandaian
Landai maksimum adalah besarnya kelandaian yang masih
diijinkan untuk memungkinkan kendaraan pada kecepatan
rencana dapat melaju tidak mengalami hambatan.
Tabel Kelandaian Maksimum

Kecepatan Rencana Kelandaian Maksimum


( km/jam) Dalam Kota Luar Kota
Standar Mutlak
100 3 - -
80 4 4 8
60 5 5 9
50 6 6 10
40 7 7 11
30 8 8 12
20 9 9 13
Panjang yang mengakibatkan pengurangan kecepatan
maksimum sebesar 25 km/jam, disebut panjang kritis
landai. Ketentuan untuk panjang kritis pada jalan
perkotaan untuk kecepatan rencana dan kelandaiannya
seperti tertulis di bawah ini.
kecepatan rencana kelandaian panjang kritis
(km/jam) (%) dalam kota luar kota
4 700 -
5 500 -
100
6 400 -
7 - -
5 600 500
6 500 500
80
7 400 500
8 - 420
6 500 500
7 400 500
60
8 300 420
9 - 340
7 500 500
8 400 420
50
9 300 340
10 - 250
8 400 420
9 300 340
40
10 200 250
11 - 250
9 - 340
10 - 250
30
11 - 250
12 - 250
13 - 250
14 - 250
20
15 - 250
16 - 250
2. LENGKUNG VERTIKAL
Pada setiap pergantian landai harus dibuat suatu lengkung
vertikal yang memenuhi keamanan, kenyamanan, dan drainase
yang baik. Lengkung vertikal yang digunakan adalah lengkung
parabola sederhana.
Secara teoritis perhitungan lengkung vertikal yang berupa
lengkung parabola sederhana dapat dijabarkan seperti berikut :

y = ax2 + bx + c 1.a)
Dimana : y = elevasi sta. X dimulai dari awal kurva vertikal
c = elvasi dari titik PVC / PLV
“b” dapat ditentukan dengan penurunan pertama dari y :
dy
 2 ax  b ; pada titik PVC maka x  0 sehingga :
dx
dy
b ; b  G1 adalah kelandaian (tangen) awal 1.b)
dx

Sedangakan “ a “ dapat ditentukan dari tingkat perubahan


rata-rata kemiringan yang dinyatakan dengan penurunan kedua
dari y :
d2y
2a
dx
rata - rata perubahan kemiringan dinyatakan dengan :
d 2 y G2  G1 G2  G1
 , sehingga : a  1.c)
dx L 2L
Dari persamaan 1.b dan 1.c disubtitusikan ke persamaan 1.a
didapat persamaaan :
 G2  G1  2
y  x  G1 x  c
 2L 
untuk y  0 dan x  0, maka c  0 sehingga :
 G2  G1  2
y  x  G1 x
 2L 
Lihat gambar berikut :

y1
PVI
Ym (Ev)
( PLV ) }Y
G2
( PVT )
PVC
PTV
G1
x

L/2

L
y Y
tangen (G1 ) adalah  sehingga Y  G1x - y
x
 G  G1  2
dengan demikian : Y   2 x
 2L 

Rumus di atas menyatakan perumusan untuk lengkung


vertikal cembung mempunyai tanda negatif ( - )
Persamaan untuk lengkung vertikal secara umum adalah :

 G2  G1  2
Y  x
 2L 
LENGKUNG VERTIKAL CEMBUNG
Panjang minimum dari lengkung vertikal ditentukan
berdasarkan syarat-syarat pandangan henti dan drainase
sebagaimana terlihat pada grafik di bawah ini yang berlaku
untuk semua jalan raya dan berdasarkan pandangan menyiap.
Bentuk persamaan umum lengkung vertikal cembung adalah :

 G2  G1  2
Y  x
 2L 
Bila : Ym = penyimpanan dari titik potong kedua tangen ke
lengkung vertikal ( x = 0,5 L )
A = perbedaan aljabar kedua tangen = G2 – G1
L = panjang lengkung vertikal cembung
x = jarak dari titik P ke titik yang ditinjau pada station
A.L
Ym  
8
Yang perlu dihitung :
1. Syarat keamanan
 Jarak pandangan henti → gambar 3.14
 Jarak pandangan menyiap → gambar 3.15a.
2. Keluwesan bentuk = Lv = 0,6 . V
3. Syarat drainase = Lv = 40 . A
LENGKUNG VETIKAL CEKUNG
Panjang lengkung vertikal cekung minimum ditentukan
berdasarkan jarak pandangan waktu malam dan syarat drainase.
Untuk vertikal cekung dirumuskan :

A.L
Ym 
8
Rumus di atas digunakan bilamana % disertakan dalam
perhitungan, bila % tidak disertakan maka rumus seperti di
atas berubah menjadi :

A.L
Y
800
½ Lv ½ Lv

x1
i
PLV yi PTV
g1 Ev g2

PVI

Yang perlu dihitung :


1. Syarat Keamanan ( gambar 3.16 ) ; S < L atau S > L
A . V2
2. Syarat Kenyamanan  Lv  ; a  percepatan sentripent al
1300 . a
a  0,3 m 2 , umumnya diambil 0,1
det
3. Keluwesan Bentuk = Lv = 0,6 . V
4. Syarat Drainase = Lv = 40 . A
Contoh :

B ( + 39,00 )
A ( + 34,50 )
1 2

Sta. 5 + 300 S Q Sta. 5 + 800


PLV y PTV

PVI=+29,50

Lv

200 300
Diket : V : 60 km/jam
S<L
Hitung : Elevasi dan Station PLV, PTV, S dan Q jika diketahui
perbandingan SQ : Q - PTV = 1 : 2

 100%  2,5 % turun 


34,50 - 29,50
*) Grade A - PVI  g1 
200
 100%  3,2 % naik 
39,00 - 29,50
Grade PVI - B  g 2 
300
g 2 - g1  3,2  2,5  5,7 %
1. Syarat Keamanan : grafik V ( hal 22 I PGJR )
didapat Lv = 85 meter ( S < L )

A . V2 5,7 . 602
2. Syarat Kenyamanan : Lv    158 meter
1300 . a 1300 . 0,1
3. Keluwesan Bentuk : 0,6 . V = 0,6 . 60 = 36 meter
4. Drainase : Lv : 40 . A = 40 . 5,7 = 228 meter

diambil Lv : 228 meter 230 meter, sehingga


A . Lv 5,7 . (230)
Ev    1,6 meter
800 800
ELEVASI DAN STATIONING
• Elevasi PLV = elev. PVI + g1 ( ½ . LV )
= 29,50 + 2,5 % ( 230/2 ) = 32.4 meter
• Elevasi S = elev. PVI + Ev
= 29,50 + 1,6 = 31,10 meter
Station S = 5 + 500
• Elevasi PTV = elev. PVI + g2 ( ½ Lv )
= 29,50 + 3,2 % ( 115 ) = 33,18 meter
Station PTV = ( 5 + 500 ) + ½ Lv
= 5 + 615
38,3 76,7

PLV Ev PTV
y

PVI

115 115

• SQ : Q - PTV = 1 : 2
SQ = 1/3 x 115 = 38,3 meter atau : 76,7 meter dari PTV

A 5,7
y .x 
2
. 76,7 2  0,73 meter
200 . Lv 200 . 230
• Elevasi Q = ( elev. PTV – g2 . 76,7 ) + y
= ( 33,18 - 3,2 % . 76 ) + 0,73 = 31,45 meter
• Station Q= sta. PTV - 76,7 meter
= ( 5 + 615 ) - 76,7
= ( 5 + 538 )

Anda mungkin juga menyukai