Anda di halaman 1dari 198

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

BAB II TRASE RENCANA JALAN

BAB III MEDAN KLASIFIKASI

BAB IV KOORDINAT TITIK POLIGON

BAB V RENCANA TIKUNGAN

BAB VI STATIONING

BAB VII SUPERELEVASI, PELEBARAN DAN KEBEBEBASAN SAMPING

BAB VIII ALIGNMENT VERTIKAL

BAB IX JARAK PANDANG HENTI DAN MENYIAP

BAB X RENCANA PERKERASAN

BAB XI CROSS SECTION

BAB XII VOLUME GALIAN DAN TIMBUNAN

BAB XIII RENCANA ANGGARAN BIAYA


BAB 1

PENDAHULUAN

Jalan raya adalah suatu lintasan yang bertujuan melewatkan lalulintas dari
suatu tempat ke tempat lain. Arti lintasan menyangkut jalur tanah yang diperkuat
(diperkeras) dan tanah tanpa diperkeras. Arti lalulintas menyangkut semua benda
dan makhluk yang melewati jalan tersebut.

Jalan raya sebagai sarana pembangunan dan juga membantu


pengembangan suatu wilayah. Dengan demikian jalan raya sangat penting Karena
itu lalulintas jalan raya dapat diselenggarakan Dengan cepat, aman, tepat, efisien,
dan ekonomis. Untuk itu jalan raya harus memenuhi syarat-syarat teknis dan
ekonomis, menurut fungsinya dan volume serta sugar lalu lintas.

A. Syarat Teknis

Syarat teknis bertujuan untuk mendapatkan jalan yang dapat menjamin


jiwa dan rasa aman dalam mengendarai serta nyaman bagi pemakai jalan tersebut.

Faktor – Faktor yang perlu diperhatikan :

1. Keadaan Geografis

Keadaan geografis yaitu keadaan permukaan tanah dari suatu daerah yang
akan dilalui oleh jalan yang dibangun. Dalam peta topografi dapat dilihat letak
bukit – bukit, tanah yang berlerang terjal atau tanah yang bebatuan dan lain – lain.
Sehingga dalam perencanaan jalan dapat dihindari kemungkinan yang tidak
memberi rasa aman dan nyaman bagi pemakainnya.

2. Keadaan Geologi

Keadaan Geologi adalah keadaan struktur, komposisi, serta sifat fisik suatu
tanah yang akan dilalui oleh jalan yang akan dibangun. Dengan mengetahui data
yang menjelaskan keadaan geologi medan dari daerah yang akan dilalui jalan,
maka dapat direncanakan jalan yang baik dan terhindar dari hal yang tidak
diinginkan.

B. Syarat ekonomis

Pada daerah yang akan dibuat jalan perlu diketahui apa ada jalan lama, rel
atau belum ada jalan sama sekali. Bila ada jalan maka sebagai pemakai jalan yang
sama, akan beralih memakai jalan baru dan memperhatikan kondisi dari jalan
lama tersebut.

C. Penentuan Trase Jalan

Faktor – Faktor yang perlu dalam penentuan trase jalan adalah:

1. Lalu Lintas
a. Volume lalu lintas

Dalam menentukan trase jalan perlu diketahui jumlah lalu lintas harian
rata – rata (LHR) dalam satu tahun, serta arah dan tujuan lalu lintas dimana dalam
penyelidikkan, did pat LHR yang digunakan dalam kelas jalan yang rendah.

b. Sifat dan komposisi lalu lintas

Sifat lalu lintas meliputi cepat dan lambatnya kendaraan yang besangkutan
dan komposisi lalu lintas menggambarkan jenis kendaraan yang melaluinya

Sifat – Sifat kendaraan meliputi :

- Berat kendaraan
- Dimensi kendaraan
- Sifat operasional
c. Keamanan dan analisis untung rugi

Jalan raya selalu berhadapan dengan manusia dan kendaraan, maka


perencanaan geometrik jalan raya ditunjukkan untuk keamanan, kenyamanan, dan
efisien. Factor kecepatan kendaraan merupakan keamanan sehingga dalam
perencanaan harus diberikan suatu batasan kecepatan untuk mendapatkan
keamanan yang sebaik mungkin. Perencanaan geometri didasarkan atas :
- Biaya pembangunan
- Biaya pemeliharaan
- Biaya operasi yang menyangkut bahan bakar.
d. Kecepatan

Kecepatan merupakan suatu bagian jalan raya. Kecepatan jalan rencana


adalah kecepatan maksimum yang dianjurkan sehingga tidak menimbulkan
bahaya. Kecepatan maksimum atau kecepatan rencana harus sesuai dengan tipe
atau jenis jalan. Kecepatan jalan adalah kecepatan pada suatu bagian tertentu dari
suatu jalan raya. Kecepatan jalan raya tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :

𝑆 𝑠𝑝𝑎𝑐𝑒
𝑉=𝑇 = 𝑡𝑖𝑚𝑒

Dimana :

V : kecepatan (m/s)

S : jarak tempuh (m)

T : waktu tempuh (s)

e. Kapasitas

Kapasitas yaitu kemampuan suatu jalan menerima lalu lintas jadi kapasitas
menyatakan jumlah kendaraan maksimum yang melalui suatu tempat dalam suatu
waktu kapasitas dibagi dalam 3 golongan :

 Kapasitas dasar (kapasitas ideal), yaitu kapasitas jalan dalam kondisi ideal,
yaitu meliputi:
- Lalu lintas mempunyai ukuran standar
- Lebar perkerasaan ideal 3,5 meter
- Lebar bahu 1,8 meter dan tidak ada halangan
- Jumlah bagian dalam galian dan timbunan
 Kapasitas rencana, yaitu kapasitas jalan untuk perencanaan yang melalui
suatu tempat dalam satuan waktu
 Kapasitas mungkin, yaitu jumlah kendaraan yang melalui suatu titik tiap
aturan waktu dengan memperhatikan waktu percepatan dan perlambatan.

Rumus :

𝑐 = 2.000 . 𝑤𝑐 . 𝑡𝑐 . 𝑏𝑐

Dimana:

C = kapasitas

Wc = pengaruh simpangan jalan

Tc = pengaruh truk

Bc = pengaruh bus

N = kapasitas dasar

100
𝑇𝐶 =
(100 − 𝑝𝑡) + 𝑝𝑡 . 𝐸𝑡

Dimana:

Pt = persentase truk

Et = ekivalen truk

100
𝐵𝐶 =
(100 − 𝑝𝑏) + 𝑝𝑏 . 𝐸𝑏

Dimana :

Pb = persentase bus

Eb = ekivalen bus
- Hubungan Antara Kapasitas Dan Volume

Gambar I.1. Hubungan Antara Kapasitas dan Volume

Keterangan : Semakin tinggi kepadatan lalu lintas, dibutuhkan ruang bebas yang
lebih besar antar kendaraan umtuk bergerak. Semakin rendah kepadatan lalu
lintas. Volume kendaraan yang bergerak besar.

- Hubungan Antara Kapasitas Dan Kecepatan

Gambar I.2. Hubungan Antara Kapasitas Dan Kecepatan


Keterangan : dimana terjadi hubungan lalu lintas jika kapasitas makin besar maka
kecepatan akan lebih Tinggi

- Hubungan Antara Kecepatan Dan Volume

Gambar I.3. Hubungan Antara Kecepatan Dan Volume

Keterangan : pada seat volume tinggi kecepatan rendah, dan sebalinya, pada seat
volume rendah, kecepatan Tinggi.

2. Topografi

Topografi merupakan factor penting dalam menentukan lokasi jalan dan


pada mempengaruhi geometri seperti landai jalan, jarak pandang dan lain – lain.
Untuk memperkecil biaya pembangunan, suatu standar yang perlu disesuaikan
dengan keadaan topografi. Dalam hal ini jenis medan dibagi dalam 3 golongan
umum yang dibedakan menurut besarnya lereng melintang dalam arah kurang
lebih tegak lurus sumbu jalan raya.

Klasifikasi medan dan besarnya lereng melintang yang bersangkutan


adalah sebagai berikut :
Tabel I.1. Klasifikasi Medan Berdasarkan Kemiringan
Golongan Medan Notasi Kemiringan Medan / Lereng
Melintang
Datar D < 3%
Bukit B 3 – 25%
Gunung G >25%
Sumber : PPGJR No. 38 tahun 19997

Klasifikasi Jalan Dan Lalu Lintas Jalan Raya

a. Umum

Jalan raya pada umumnya digolongkan dalam klasifikasi menurut


fungsinya hal ini digolongkan menjadi 3 yaitu :

1. Jalan Utama

Jalan utama adalah jalan raya yang mengalami lalu lintas tinngi fungsi
antara kota – kota penting, kota – kota produksi dan eksport. Jalan raya dalam
golongan ini harus direncanakan dengan baik agar dapat melayani lalu lintas yang
cepat dan berat

2. Jalan sekunder

Adalah Jalan raya yang mengalami lalu lintas cukup tinggi Antara kota-kota yang
lebih kecil, serta melayani daerah-daerah sekitarnya.

3. Jalan Penghubung

Adalah jalan untuk keperluan aktivitas daerah yang juga dipakai sebagai jalan
penghubung antara utama dengan jalan yang lain.

Dengan hubungan perencanaan geometrinya ketiga golongan ini dibagi


dalam kelas-kelas yang diharapkan pada jalan tersebut.
b. Lalu Lintas

Pada umumnya lalu lintas pada jalan raya terdiri dari campuran kendaraan
cepat, kendaraan lambat, kendaraan ringan, kendaraan berat, dan tidak bermotor.
Dalam hubungan dalam kapasitas jalan berpengaruh dalam serial jenis kendaraan
tersebut terdapat keseluruhan arus lalu lintas diperhitungkan dengan
memperbandingkan terhadap mobil penumpang.

Pengaruh Mobil penumpang dalam hal ini dipakai sebagai satuan dan
disebut “Satuan Mobil Penumpang” (SMP). Untuk menilai kendaraan dalam
satuan mobil penumpang bagi jalan didaerah kota perlu memakai angka ekivalen
kendaraan.

Tabel I.2. Faktor Ekivalen Dari Berbagai Kendaraan


Jenis Kendaraan SMP
Kendaraan ringan 1
Bus 1,2 – 2,4
Truk ringan 1,2 – 2,4
Truk sedang 1,2 – 5,0
Truk berat 1
Kendaraan tak bermotor 1
Sumber : PPGJR Tahun 1997

Keterangan : Daerah perbukitan dan pegunungan, koefisien untuk kendaraan


bermotor dapat dinaikkan dari setengah jumlah kendaraan selanjutnya, sedangkan
untuk kendaraan tidak bermotor tridak perlu dihitung.

c. Klasifikasi Jalan

Jalan dibagi dalam kelas-kelas yang penempatannya kecuali didasarkan


pada fungsinya juga diperhitungkan pula besar volume serta sifat lalu lintas yang
direncanakan akan menggunakan jalan yang bersangkutan.

Volume lalu lintas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (SMP)


yang besarnya menunjukkan jumlah lalu lintas harian rata-rata (LHR) untuk kedua
jurusan.
Klasifikasi jalan tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel I.3. Klasifikasi Kelas Jalan


Klasifikasi Fungsi Kelas LHR (SMP)
Utama I >20.000
Sekunder II A 6.000 – 20.0000
II B 7.500 – 8.000
II C <2.000
Penghubung III A -
Sumber : PPJR tahun 1997

Kendaraan yang tidak bermotor tidak diperhitungkan dan untuk jalan kelas
I dan II A kendaraan-kendaraan lambat diperhitungkan khusus untuk perencanaan
jalan kelas I sebagai dasar harus digunakan volume lalu lintas pada saat sibuk.
Sebagai volume dari volume rata-rata. Volume saat sibuk ini selanjutnya disebut
volume tiap jam, untuk persamaan perancangan disebit Vop. Jadi Vop= 25%
LHR.

1. Kelas jalan I

Kelas jalan ini mencakup kelas jalan Utama dan dimaksudkan untuk
melayani lalu lintas cepat dan lambat dalam komposisi lalu lintasnya tidak
terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tidak bermotor. Jalan raya untuk kelas
ini merupakan jalan raya yang berlajur banyak dan konstruksi perkerasaan dari
jenis yang terbaik, dalam arti tinggi lalu lintas.

2. Kelas II

Kelas jalan ini merupakan semua jalan raya sekunder, dimana terdapat lalu
lintas lambat berdasarkan komposisi dan sifat lalu lintasnya. Kelas jalan ini dibagi
3 yaitu : II A, II B, II C.

3. Kelas II A
Jalan ini merupakan jalan-jalan sekunder dua jalur/ lebih dengan
konstruksi permukaan jalan dan jenis aspek batuan (hotmix) dimana komposisi
lalu lintasnya terdapat lambat atau tidak bermotor.

4. Kelas II B

Jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi permukaan jalan dari
penetrasi ganda dimana dalam komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat
tapi tanpa kendaraan tak bermotor.

5. Kelas II C

Jalan raya sekunder dua jalur dengan kontruksi permukaan jalan dari jenis
penetrasi tunggal.

6. Kelas III

Kelas jalan ini mencakup semua jalan-jalan penghubung dan merupakan


konstruksi jalan berlajur tunggal atau ganda. Kontruksi permukaan jalan yang
paling tinggi adalah pelebaran dengan aspal.

Untuk menilai setiap kendaraan kedalam satuan mobil penumpang (SMP)


bagi jalan didaerah datar digunakan koefisien dibawah ini :

Faktor atau nilai koefiosien untuk mendapatkan LHR :

Tabel I.4. Koefisien SMP


Jenis kendaraan SMP
Sepeda motor 0.5
Mobil penumpang 1.0
Bus 3.0
Truk ringan 2.0
Truk sedang 2.5
Truk berat 3.0
Kendaraan tak bermotor 7.0
Sumber : PPGJR Tahun 1970
Jadi jumlah lalu lintas diperhatikan dan dibandingkan dengan jumlah hari
dan jumlah menunjukkan lalu lintas harian rata-rata (LHR)

jumlah lalu lintas dalam satuan tahun


LHR =
jumlah hari dalam satu tahun

Klasifikasi jalan menurut fungsinya :

1. Jalan Arteri

Jalan arteri adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri pelayanan
jarak jauh rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatsi secara efisien.

2. Jalan kolektor

Jalan kolektor adalah jalan yang melayani angkutan pengumpul atau pembagi
dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah
jalan masuk dibatas.

3. Jalan lokal

Jalan lokal adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak
dibatasi.

Menentukan kelas jalan

Pertumbuhan lalu lintas (i) = 8,12%

Umur rencana = 20 tahun

Rumus mencari LHRo :

LHRo = jumlah kendaraan × FE


Tabel I.5. Perhitungan LHRo
No. Jenis kendaraan Tonase Jumlah kendaraan Fe LHRo
1. Kendaraan ringan 2 1312 1,0 1312
2. Bus 6 982 3,0 2946
3. Truk ringan 4,9 839 2,0 1678
4. Truk sedang 9,8 772 2,5 1930
5. Truk berat 24 662 3,0 1986
6. Sepeda motor - - - -
∑ = 9852

Mencari LHRu :

LHRU = LHRo (1+i)n

= 9852 (1+0,0812)20

= 9852 (1,0812)20

= 9852 (4,76563)

= 49950,98676

Dimana:

LHRU : LHR Rencana (SMP)

LHRo : LHR awal

Berdasarkan perhitungan diatas, maka jalan tersebut termasuk kelas jalan I


(Karena LHR nya >20.000) dan fungsi jalannya adalah primer.
BAB II

TRASE RENCANA JALAN

Trase jalan juga disebut alignement horizontal yaitu merupakan proyeksi


horizontal dari sumbu jalan tegak lurus bidang peta situasi jalan dengan terdiri
garis lengkung (tikungan).

Perencanaan tikungan direncanakan agar dapat memberi keamanan dan


kenyamanan sehingga dapat diperhitungkan hal-hal sebagai berikut :

- Lengkung peralihan
- Lengkung melintang
- Pembebanan perkerasaan jalan raya

Syarat – syarat untuk merencanakan suatu tikungan (trase jalan) :

Trase jalan yang memotong garis kontur atau garis ketinggian tanah secara
tegak lurus yang diusahakan semaksimal mungkin, kecuali untuk :

Volume galian dan timbunan tidak terlalu besar

Persentase tanjakan / turunan pada tempat tersebut tidak melewati syarat yang
diizinkan yakni 7,7 %

Sudut perpotongan antara trase jalan dengan sungai diusahakan melewati atau
sama dengan 90o sehingga diperoleh bentang jembatan yang kecil.

Tikungan peralihan (lengkung spiral) direncanakan bila jalan terpaksa harus


melalui bukit dan gunung dengan jari- jari hitungan yang kecil.

Paling sedikit ±30m jalan lurus diantaranya

Dua buah tikungan yang berdekatan


Grafik II.2. Rounding Pada Tikungan

Jari- jari yang didapat diusahakan lebih besar dari kelandaian minimum

Usahakan agar tidak menggunakan Rmin agar mudah mengikuti perkembangan


masa depan.

Apabila digunakan tikungan berbentuk S, usahakan agar bagian lurus antara kedua
tikungan cukup memberikan rounding 30m.

Beberapa Jenis Tikungan

Full Circle (FC)


Bentuk tikungan ini digunakan pada tikungan yang mempunyai jari- jari besar dan
sudut tangen yang relatif kecil. Adapun batas yang digunakan Indonesia dimana
diperbolehkan penggunaan fc adalah sebagai berikut :

Tabel II.1. Jari-Jari Lengkung Minimum Berdasarkan Kecepatan Rencana


Kecepatan Rencana / Vr (km/jam) Jari-Jari Lengkung Minimum (m)
120 ≥ 2000
100 1500
80 1000
60 700
50 440
40 300
30 180
Sumber : standar perencanaan alignement PPJR 1997

Keterangan :
PI : point of intersection

Δ : sudut tangen

TC : titik pertemuan tangen – circle

TS : jarak PI ke TC dari PI ke CT

LS : panjang tikungan

EC : Eksternal : panjang jarak PI ketangen circle

R : Jari- jari tikungan (m)

Potongan I-I
Rumus :

𝑇𝐶
𝑡𝑔 1⁄2 ∆ = 𝑅

Tc = R tan 1⁄2 ∆

(0+PI)2 = (0 – Tc )2 + (Tc – PI)

(R – T) = R2 + Tc2

R–T = √𝑅2 + 𝑇𝑐 2

E = √𝑅2 + 𝑇𝑐 2 – R

Atau

𝑅
cos1⁄2 Δ = → e = elevasi
𝑅+𝐸

𝑅 𝑅
R+E = cos1 → E= cos1 -R
⁄2∆ ⁄2∆

Dimana :

Rc : jari- jari spiral

Δ : sudut pusat busur lingkaran

X : Absis setiap titik pada spiral terhadap tangen

Y : Ordinat setiap titik pada spiral terhadap tangen

K : Jarak TS ke PI pada tempat busur lingkaran bergeser

R : Pergeseran busur lingkaran terhadap tangen


Rumus:

𝑉3 2727 𝑉𝑟
Ls min : 0,022 𝑅.𝐶 − 𝐶

𝐿𝑆 𝐿𝑆 2
Yc : 𝐺.𝑅𝐶.𝐿𝑆 = 𝐺𝑅

𝐿𝑆 −𝐿𝑆 3
Xc : 40𝑅𝐶 2

K : 𝑥𝑐 − 𝑅𝑠𝑖𝑛 𝜃𝑠

𝐿𝑆 180
𝜃𝑠 : 2𝑃 . 𝜋

Δc : ∆ − 2𝜃𝑠

∆𝐶
Lc : 360° . 2𝜋𝑟

P : 𝑦𝑐 − 𝑅 (1 − 𝑐𝑜𝑠𝜃𝑠)

Ts : (𝑅 + 𝑃)𝑡𝑎𝑛 1⁄2 ∆ + 𝐾

(𝑅+𝑃)
Es : ∆ −𝑅
𝑐𝑜𝑠
2
Maka :

1
E :𝑅(𝑠𝑒𝑐 2 ∆ − 1)

Δ : 𝐿𝐶 = 360° = 2𝜋𝑟


𝐿𝐶 = 360° . 2𝜋𝑟

𝐿𝐶 = 0,01745𝑅

Spiral – Circle – Spiral (SCS)

Jenis tikungan ini merupakan peralihan dari bagian lurus kearah circle yang
panjangnya diperhitungkan dengan mempertimbangkan bahwa perubahan gaya
sentrifugal dari nol
sampai mencapai harga tersebut.

Keterangan :

LS : Panjang lengkung spiral dari TS sampai ke SC atau SC sampai ke TS

PI : Point of intersection (sudut elefection)

TS : Titik peralihan dari tangen lurus ke spiral

SC : Titik peralihan dari spiral ke circle

CS : Titik peralihan dari circle ke spiral

ST : Titik peralihan dari spiral ke tangen

LC : Panjang total circle dari lc ke ls

ϴS : Sudut pusat spiral


Dari integral : 𝑆𝜃 = 𝑆𝐿⁄𝑅

: 𝑆𝐿⁄𝑅 . 𝐿𝑆

R= 𝐶⁄𝐸 ⋯ (1)

Pada titik SC : 𝑒 = 𝑙𝑠 → 𝑐 = 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑡𝑎𝑛𝑡𝑎


𝑟 = 𝑅 → 𝜃 = 𝜃𝑆

Maka : 𝑅 = 𝑐⁄𝑙𝑠 ⋯ (2)

Dari persamaan (2)

: 𝐶 = 𝑅 > 𝐿𝑆 ⋯ (3)

Persamaan (1) dan (3) disubsidikan

𝑅.𝐿𝑆
𝑅= ⋯ (4)
𝑒

Persamaan (4) untuk menghitung jari- jari dari TS ke E

𝐿𝐶 2
∫ 𝜃𝑆 ∶ ∫ 𝑠𝑙⁄𝑅 𝐶 − 𝑆𝐿 → 𝜃: 2𝑅𝐶 .𝐿𝑆 + 𝐶 (𝑟𝑎𝑑) ⋯ (5)

𝐿𝑆
𝜃𝑆: 2𝑅𝐶 (𝑟𝑎𝑑 ) ⋯ (6)

𝐿𝐶
:28,648 (𝑅𝑆 ) (𝑑𝑒𝑟𝑎𝑗𝑎𝑡)

Spiral – Spiral

Tipe tikungan ini digunakan pada tipe tikungan yang tajam dimana ls< 20m.
Kontrol : 2𝐿𝑠 < 2𝑇𝑠

Rumus :

𝜃𝑆 = 1⁄2 ∆

𝑇𝑆 − 𝐾
𝑡𝑔 1⁄2 ∆ =
𝑅+𝑃

𝑇 − 𝐾 = 𝑅 + 𝑃(𝑡𝑔 1⁄2 ∆
𝑇𝑆 = (𝑅 + 𝑃)𝑡𝑔 1⁄2 ∆ + 𝐾

P = 𝑦𝑐 − 𝑅(1 − 𝑐𝑜𝑠𝜃𝑠)

L = 𝐿𝑐 + 2𝐿𝑠

K = 𝑥𝑐 − 𝑅𝑠𝑖𝑛𝜃𝑆

𝑙𝑠 2
Xc = 6𝑅

𝑙𝑠 3
Yc = 𝑙𝑠 − 40𝑅2

(𝑅+𝑃)
Es = 𝑐𝑜𝑠∆⁄
2
BAB III

MEDAN KLASIFIKASI

1. Pengertian
Klasifikasi medan jalan merupakan besarnya lereng melintang yang
ditinjau. Cara menentukan lereng melintang atau titik ketinggian, dengan
membuat garis tegak lurus antara dua garis kontur yang dilewati titik yang akan
kita cari dengan interpolasi.
Cara mencari ketinggian titik sebagai berikut :
1.) Titik garis dari titik yang ditinjau dari garis terendah (Ha)
2.) Ukur jarak kedua jarak (Hb)
3.) Interpolasi kedua jarak yang didapat dengan tinggi titik yang di tinjau

Gambar III.1. Contoh Interpolasi

Rumus untuk mencari kelandaian :


1 ∆H1 ∆H2
i=2{ + } x 100%
30 30
2. Perhitungan Klasifikasi Medan

Tabel III.1. Perhitungan Klasifikasi Medan


No Kiri CL Kanan Kelandaian (%)

1 242 242 242 i1 = 0%

2 242 242 242 i2 = 0%

3 242 242 242 i3 = 0%

4 242 242 242 i4 = 0%

5 242 242 242 i5 = 0%

6 242 242 242 i6 = 0%

1 241,81−242 242−242
7 241,82 242 242 i7 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 0,3%

1 240,45−240,22 240,22−240,51
8 240,45 240,22 240,51 i8 = 2 { + } x 100% = 0,1%
30 30

1 238,25−238,33 238,33−238
9 238,25 238,33 238 i9 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 0,42%

1 239,47−239,54 239,54−239,51
10 239,47 239,54 239,51 i10 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 0,06%

1 239,40−239,67 239,67−238,38
11 239,40 239,67 238,38 i11 = 2 { + } x 100% = 1,7%
30 30

1 239,81−238,33 238,33−239,15
12 239,81 238,33 239,15 i12 = { + } x 100% = 1,1%
2 30 30

1 238,4−238 238−239,77
13 238,4 238 239,77 i13 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 2,28%

1 239,35−238,35 238,35−240,01
14 239,35 238,35 240,01 i14 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 1,1%

1 238,91−238,22 238,22−240,27
15 238,91 238,22 240,27 i15 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 0,6%

1 238,36−239,87 239,87−241,93
16 238,36 239,87 241,93 i16 = { + } x 100% = 5,95%
2 30 30

1 242−243,11 243,11−243,37
17 242 243,11 243,37 i17 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 2,28%
1 244,58−245,50 245,50−245,75
i18 = { + } x 100% =
18 244,58 245,50 245,75 2 30 30
1,95%

1 245,25−246,15 246,15−246,45
19 245,25 246,15 246,45 i19 = { + } x 100% = 2%
2 30 30

1 244,89−246,29 246,29−247,14
20 244,89 246,29 247,14 i20 = { + } x 100% = 3,75%
2 30 30

1 244,42−246,28 246,28−247,69
21 244,42 246,28 247,69 i21 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 5,45%

1 246−247,39 247,39−248,01
22 246 247,39 248,01 i22 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 3,35%

1 246,34−247,71 247,71−248,31
i23 = { + } x 100% =
23 246,34 247,71 248,31 2 30 30
3,28%

1 244,36−247,61 247,61−248,02
i24 = 2 { + } x 100% =
24 244,36 247,61 248,02 30 30
2,76%

1 246,18−247,19 247,19−248,02
25 246,18 247,19 248,02 i25 = 2 { + } x 100% = 3,06%
30 30

1 246−246,78 246,78−247,33
26 246 246,78 247,33 i26 = 2 { + } x 100% = 2,22%
30 30

1 245,41−246,45 246,45−247,42
i27 = 2 { + } x 100% =
27 245,41 246,45 247,42 30 30
3,35%

1 245,38−245,89 245,89−246,82
28 245,38 245,89 246,82 i28 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 2,4%

1 246,03−246,13 246,13−246,52
i29 = 2 { + } x 100% =
29 246,03 246,13 246,52 30 30
0,82%

1 246,62−246,64 246,64−246,80
30 246,62 246,64 246,80 i30 = { + } x 100% = 0,3%
2 30 30

1 247,08−247,17 247,17−247,25
i31 = 2 { + } x 100% =
31 247,08 247,17 247,25 30 30
0,28%

1 247,60−247,72 247,72−247,82
i32 = 2 { + } x 100% =
32 247,60 247,72 247,82 30 30
0,36%

1 248,22−248,35 248,35−248,75
i33 = { + } x 100% =
33 248,22 248,35 248,75 2 30 30
0,88%
1 249,77−249,54 249,54−248,31
34 249,77 249,54 248,31 i34 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 2,43%

1 250,29−249,74 249,74−248,41
35 250,29 249,74 248,41 i35 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 3,13%

1 251,34−249,85 249,85−248,69
36 251,34 249,85 248,69 i36 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 4,42%

1 251,23−250 250−248,60
37 251,23 250 248,60 i37 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 4,38%

1 250,76−249,51 249,51−248,21
38 250,76 249,51 248,21 i38 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 4,25%

1 250−249,18 249,18−247,42
39 250 249,18 247,42 i39 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 4,3%

1 248,35−247,25 247,25−246
40 248,35 247,25 246 i40 = 2 { + } x 100% = 3,92%
30 30

1 247,25−246,19 246,19−245,31
41 247,25 246,19 245,31 i41 = 2 { + } x 100% = 3,23%
30 30

1 245,71−245,30 245,30−244,78
i42 = 2 { + } x 100% =
42 245,71 245,30 244,78 30 30
1,55%

1 244,67−244,35 244,35−243,72
i43 = 2 { + } x 100% =
43 244,67 244,35 243,72 30 30
1,58%

1 243,37−242,76 242,76−242,15
i44 = 2 { + } x 100% =
44 243,37 242,76 242,15 30 30
2,03%

1 241,25−240,30 240,30−240
45 241,25 240,30 240 i45 = { + } x 100% = 2,08%
2 30 30

46 240 240 240 i46 = 0%

1 240,52−240,93 240,93−240,91
47 240,52 240,93 240,91 i47 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 0,65

1 242,5−242,84 242,84−242,02
48 242,5 242,84 242,02 i48 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 0,8%

1 244−244 244−243,71
49 244 244 243,71 i49 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 0,48%
1 242−242,42 242,42−241,72
50 242 242,42 241,72 i50 = { + } x 100% = 0,46%
2 30 30

1 240,82−240,90 240,90−240,78
51 240,82 240,90 240,78 i51 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 0,06%

1 239,62−239,64 239,64−239,67
52 239,62 239,64 239,67 i52 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 0,08%

53 238 238 238 i53 = 0%

54 238 238 238 i54 = 0%

1 241,23−242 242−242
55 241,23 242 242 i55 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 1,28%

56 242 242 242 i56 = 0%

57 242 242 242 i57 = 0%

58 242 242 242 i58 = 0%

59 242 242 242 i59 = 0%

60 242 242 242 i60 = 0%

61 242 242 242 i61 = 0%

1 242−242 242−242,20
62 242 242 242,20 i62 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 0,3%

1 243,82−244,24 244,24−245,34
i63 = { + } x 100% =
63 243,82 244,24 245,34 2 30 30
2,53%

1 246,80−246,84 246,84−247,40
64 246,80 246,84 247,40 i64 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 1%

1 248,10−248 248−246,55
65 248,10 248 246,55 i65 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 2,58%
1 248−246,73 246,73−245,17
66 248 246,73 245,17 i66 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 4,72%

1 244,69−245,20 245,20−246,66
67 244,69 245,20 246,66 i67 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 3,28%

68 244 244 244 i68 = 0%

69 244 244 244 i69 = 0%

70 244 244 244 i70 = 0%

71 244 244 244 i71 = 0%

72 244 244 244 i72 = 0%

73 244 244 244 i73 = 0%

74 244 244 244 i74 = 0%

75 244 244 244 i75 = 0%

76 244 244 244 i76 = 0%

77 244 244 244 i77 = 0%

78 244 244 244 i78 = 0%

1 244,71−244,31 244,31−244
79 244,71 244,31 244 i79 = 2 { 30
+ 30
} x 100% = 1,18%
Dari perhitungan di dapat :
∑i
i = , dimana n = 79
n
i1 + i2 + i3 + i4 + i5 ……….. + i79
= n
108,78
= 79

= 1,38%
Berdasarkan syarat PPGJR : i = 1,38% tergolong klasifikasi medan datar.
BAB IV

KOORDINAT TITIK POLIGON

Kerangka Kontrol Horisontal (KKH) merupakan kerangka dasar pemetaan yang


memperlihatkan posisi horisontal (X,Y) antara satu titik relatif terhadap titik yang
lain di permukaan bumi pada bidang datar. Untuk mendapatkan posisi horisontal
dari KKH dapat digunakan banyak metode, salah satu metode penentuan posisi
horisontal yang sering digunakan adalah metode poligon. Metode poligon
digunakan untuk penentuan posisi horisontal banyak titik dimana titik yang satu
dan lainnya dihubungkan dengan jarak dan sudut sehingga membentuk suatu
rangkaian sudut titik-titik (polygon). Pada penentuan posisi horisontal dengan
metode ini, posisi titik yang belum diketahui koordinatnya ditentukan dari titik
yang sudah diketahui koordinatnya dengan mengukur semua jarak dan sudut
dalam poligon.

Macam-macam Poligon

Poligon dapat dibedakan berdasarkan dari [1] bentuk dan [2] titik ikatnya.

1. Poligon Menurut Bentuknya

Berdasarkan bentuknya poligon dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu :

1. poligon terbuka,
2. tertututup,
3. bercabang dan
4. kombinasi.

 Poligon Terbuka

Poligon terbuka adalah poligon yang titik awal dan titik akhirnya merupakan titik
yang berlainan (tidak bertemu pada satu titik).

 Poligon Tertutup
Poligon tertutup atau kring adalah poligon yang titik awal dan titik akhirnya
bertemu pada satu titik yang sama. Pada poligon tertutup, koreksi sudut dan
koreksi koordinat tetap dapat dilakukan walaupun tanpa titik ikat.

 Poligon Bercabang

Poligon cabang adalah suatu poligon yang dapat mempunyai satu atau lebih titik
simpul, yaitu titik dimana cabang itu terjadi.

 Poligon Kombinasi

Bentuk poligon kombinasi merupakan gabungan dua atau tiga dari bentukbentuk
poligon yang ada.
2. Poligon Menurut Titik Ikatnya

1. Poligon Terikat Sempurna

Suatu poligon yang terikat sempurna dapat terjadi pada poligon tertutup ataupun
poligon terbuka, suatu titik dikatakan sempurna sebagai titik ikat apabila diketahui
koordinat dan jurusannya minimum 2 buah titik ikat dan tingkatnya berada diatas
titik yang akan dihasilkan.

 Poligon tertutup terikat sempurna :

Poligon tertutup yang terikat oleh azimuth dan koordinat.

 Poligon terbuka terikat sempurna :

Poligon terbuka yang masing-masing ujungnya terikat azimuth dan koordinat.

2. Poligon Terikat Tidak Sempurna

Suatu poligon yang terikat tidak sempurna dapat terjadi pada poligon tertutup
ataupun poligon terbuka, dikatakan titik ikat tidak sempurna apabila titik ikat
tersebut diketahui koordinatnya atau hanya jurusannya.

 Poligon tertutup tidak terikat sempurna :

Poligon tertutup yang terikat pada koordinat atau azimuth saja.

 Poligon terbuka tidak terikat sempurna :

1. Poligon terbuka yang salah satu ujungnya terikat oleh azimuth saja,
sedangkan ujung yang lain tidak terikat sama sekali. Poligon semacam ini
dapat dihitung dari azimuth awal dan yang diketahui dan sudut-sudut
poligon yang diukur, sedangkan koordinat dari masingmasing titiknya
masih lokal.
2. Poligon terbuka yang salah satu ujungnya terikat oleh koordinat saja,
sedangkan ujung yang lain tidak terikat sama sekali.Poligon semacam ini
dapat dihitung dengan cara memisalkan azimuth awal sehingga masing-
masing azimuth sisi poligon dapat dihitung, sedangkan koordinat masing-
masing titik dihitung berdasarkan koordinat yang diketahui. Oleh karena
itu pada poligon bentuk ini koordinat yang dianggap betul hanyalah pada
koordinat titik yang diketahui (awal) sehingga poligon ini tidak ada
orientasinya.
3. Poligon terbuka yang salah satu ujungnya terikat oleh azimuth dan
koordinat, sedangkan ujung yang lain tidak terikat. Poligon jenis ini dapat
dikatakan satu titik terikat secara sempurna namun belum terkoreksi secara
sempurna baik koreksi sudut maupun koreksi koordinat, tetapi sistim
koordinatnya sudah benar.
4. Poligon terbuka yang kedua ujungnya terikat oleh azimuth. Pada poligon
jenis ini ada koreksi azimuth, sedangkan koordinat titik-titik poligon
adalah koordinat lokal.
5. Poligon terbuka yang kedua ujungnya terikat oleh koordinat. Jenis poligon
ini tidak ada koreksi sudut tetapi ada koreksi koordinat.
6. Poligon terbuka yang salah satu ujungnya terikat oleh koordinat,
sedangkan ujung yang lain terikat azimuth. Pada poligon ini tidak ada
koreksi sudut dan koreksi koordinat.
7. Poligon terbuka yang salah satu ujungnya terikat oleh azimuth dan
koordinat saja, sedangkan ujung yang lain terikat koordinat. Jenis poligon
ini tidak ada koreksi sudut tetapi ada koreksi koordinat.
8. Poligon terbuka yang kedua ujungnya terikat oleh azimuth dan koordinat,
sedangkan ujung yang lain tidak terikat azimuth. Poligon ini ada koreksi
sudut tetapi tidak ada koreksi koordinat.
9. Poligon terbuka yang kedua ujungnya terikat oleh azimuth dan koordinat,
sedangkan ujung yang lain tidak terikat azimuth. Jenis poligon ini ada
koreksi sudut tetapi tidak ada koreksi koordinat.

3. Poligon Tidak Terikat/Bebas

 Poligon tertutup tanpa ikatan sama sekali (poligon lepas)


 Poligon terbuka tanpa ikatan sama sekali (poligon lepas), pengukuran
seperti ini akan terjadi pada daerah-daerah yang tidak ada titik tetapnya
dan sulit melakukan pengukuran baik dengan cara astronomis maupun
dengan satelit. Poligon semacam ini dihitung dengan orientasi lokal
artinya koordinat dan azimuth awalnya dimisalkan sembarang.

Rumus Umum Perhitungan Poligon


Pada Gambar 9.5, untuk mendapatkan koordinat titik 1, 2, 3 dan 4 maka dilakukan
pengukuran sudut (β1, β2,β3, β4) dan jarak (dB1, d12, d23, d34, d4C)

Rumus koordinat secara umum :

Syarat Geometris Hitungan Koordinat

1. Syarat Sudut
Apabila dipakai pada poligon tertutup dimana titik awal dan titik akhir sama maka
rumus diatas akan berubah :

Untuk poligon tertutup yang diukur sudut dalamnya maka :

 syarat sudut :

 syarat absis :

 syarat ordinat :

Untuk poligon tertutup yang diukur sudut luarnya maka :

 syarat sudut :

 syarat absis
 syarat ordinat

Toleransi Pengukuran

Cara Pengukuran

1. Memasang alat theodolit pada titik awal dan aturlah alat tersebut.
2. Posisi teropong biasa arahkan alat pada titik sebelumnya (titik tetap, bila
ada) dan kemudian pada titik selanjutnya, putarlah teropong pada posisi
luar biasa arahkan ke titik seperti pada posisi teropong biasa.
3. Ukurlah jarak antar titik secara langsung dengan pita ukur.
4. Kemudian pindahkan alat theodolit ke titik selanjutnya, lakukan langkah 1
s.d 3, demikian seterusnya sampai titik terakhir apabila poligon terbuka
dan kembali ke titik awal apabila poligon tertutup.

Cara Perhitungan :

1. Hitunglah azimuth awal dan akhir apabila diketahui.


2. Hitunglah salah penutup sudut.
3. Koreksikan masing-masing sudut pengukuran.
4. Hitunglah azimuth masing-masing titik/arah.
5. Hitunglah selisih absis (ΔX ) dan selisih ordinat (ΔY )
6. Hitung salah penutup absis dan salah penutup ordinat.
7. Koreksikan masing-masing selisih absis dan selisih ordinat.
8. Hitung koordinat masing-masing titik

A. Perhitungan Titik Poligon


Tabel IV.1. Perhitungan Titik Poligon
No. Ukuran Skala Ukuran Metriks
X (cm) Y (cm) X (m) Y (m)
A 0 0 0 0
PI1 8,65 19,4 346 776
PI2 29,7 39 1188 1560
PI3 60,8 37,1 2432 1484
C 69,6 24,9 2784 996

B. Perhitungan Sudut Azimuth


346−0 (+)
 tan−1 ∝ A − PI1 = ⌈ ⌉ = 0,4459
(+)
(kuadran I)
776−0
∝ A − PI1 = 24°01′ 55,53"
γA − PI1 = 24°01′ 55,53"

1188−346 (+)
 tan−1 PI1 − PI2 = ⌈1560−776⌉ = 1,0740 (+)
(kuadran I)

∝ PI1 − PI2 = 47°02 36,38"
γPI1 − PI2 = 47°02′ 36,38"
2432−1188 (+)
 tan−1 PI2 − PI3 = ⌈1484−1560 ⌉ = 16,3684 (−)
(kuadran II)
∝ PI2 − PI3 = 86°30′ 14,24"
γPI2 − PI3 = 180° − 86°30′ 14,24"
γPI2 − PI3 = 93°29′ 45,76"

2784−2432 (+)
 tan−1 PI3 − C = ⌈ 996−1484 ⌉ = 0,7213 (−)
(kuadran II)
∝ PI3 − C = 35°48′ 10,48"
γPI3 − C = 180° − 35°48′ 10,48"
γPI3 − C = 144°11′ 49,5"

C. Perhitungan Sudut
∆1 = |(γPI1 − PI2 )– (γA − PI1 )|
= | 24°01′ 55,53" − 47°02′ 36,38"|
= 23°00′ 40,85"
∆2 = (γPI2 − PI3 )– (γPI1 − PI2 )
= 93°29′ 45,76" − 24°01′ 55,53"
= 46°27′ 9,38"
∆3 = (γPI2 − C) − (γPI3 − PI3 )
= 144°11′ 49,5" − 93°29′ 45,76"
= 50°42′ 3,74"

D. Perhitungan Jarak Mendatar


 Sistem Sinus
XPI1 −XA 346−0
 dA − PI1 = = =
sin γA−PI1 sin 24°01′ 55,53"
849,6046 m
 dPI1 − PI2 =
XPI2 −PI1 1188 −346
= = 1150,4767 m
sin γPI1 −PI2 sin 47°02′ 36,38"
XPI3 −PI2 2432−1188
 dPI2 − PI3 = = = 1246,3194 m
sin γPI2 −PI3 sin 93°29′ 45,76"
XC−PI3 2784−2432
 dPI3 − C = = = 601,7105 m
sin γPI3 −C sin 144°11′ 49,5"

 Sistem Cosinus
YPI1 −YA 776−0
 dA − PI1 = = = 849,6046 m
sin γA−PI1 cos 24°01′ 55,53"
YPI2 −PI1 1560−776
 dPI1 − PI2 = = = 1150,4767 m
sin γPI1 −PI2 cos 47°02′ 36,38
YPI3 −PI2 1484−1560
 dPI2 − PI3 = = = 1246,3194 m
sin γPI2 −PI3 cos 93°29′ 45,76"
YC−PI3 996−1484
 dPI3 − C = = = 601,7105 m
sin γPI3 −C cos 144°11′ 49,5"
E. Panjang Poligon = dA − PI1 + dPI1 − PI2 + dPI2 −
dPI3 + dPI3 − C
= 849,6046 + 1150,4767 + 1246,3194 + 601,7105

= 3848,1112 m

= 3,8481112 km

BAB V

RENCANA TIKUNGAN

Perencanaan geometrik adalah bagian dari perencanaan jalan dimana geometrik


atau dimensi nyata jalan beserta bagian-bagiannya disesuaikan dengan tuntutan
serta sifat-sifat lalu lintas. Melalui perencanaan geometrik ini perencana berusaha
menciptakan sesuatu hubungan yang baik antara waktu dan ruang sehubungan
dengan kendaraan yang bersangkutan, sehingga dapat menghasilkan efisiensi
keamanan serta kenyamanan yang paling optimal dalam pertimbangan ekonomi
yang paling layak.Perencanaan geometrik pada umumnya menyangkut aspek
perencanaan jalan seperti lebar, tikungan, landai, jarak pandang dan juga
kombinasi dari bagian-bagian tersebut.Perencanaan geometrik ini berhubungan
erat dengan arus lalu lintas, sedangkan perencanaan konstruksi jalan lebih
bersangkut paut dengan beban lalu lintas tersebut.

Pengertian Jalan Raya


Menurut Silvia Sukirman Jalan raya atau jalur lalu lintas (tranvelled way =
carriage way) adalah keseluruhan bagian perkerasan jalan yang diperuntukan
untuk lalu lintas kenderaan. Jalur lalu lintas terdiri dari beberapa lajur (lane)
kenderaan. Lajur kenderaan yaitu bagian dari jalur lalu lintas yang khusus diperun
tukan untuk dilewati oleh suatu rangkaian kenderaan beroda empat atau lebih
dalam satu arah . jadi jumlah jalur minimal untuk jalan 2 arah dan pada umumnya
disebut sebagai jalan 2 lajur 2 arah. Jalur lalu lintas untuk satu arah minimal
terdiri dari 1 lajur lalu lintas.

Klasifikasi Jalan
Factor-faktor pokok pada klasifikasi jalan jalan raya untuk penerapan
pengendalian dan kreteria perencanaan geometrik adalah Volume Lalu lintas
Rencana (VLR), fungsi jalan raya dan kondisi medan.
Menurut peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya, jalan dibagi atas beberapa
kelas yang telah ditetapkan berdasarkan fungsi dan volumenya, serta sifat-sifat
lalu lintas berdasarkan ketentuan Dirjen Bina Marga. Adapun penggolongan
tersebut sebagai syarat batas dalam perencanaan suatu jalan yang
Sesuai dengan fungsinya. Penggolongan kelas jalan tersebut diperlihatkan pada
tabel 2.1 berikut :

Tabel 2.1 : Penggolongan kelas jalan


Fungsi Medan VLR ( smp / hari )
30.000
> 30. 000 10.000 
>10.000
JALAN D
Kelas III Kelas III Kelas IV
KOLEKTOR B
Kelas III
G Kelas III Kelas IV

Sumber : Spesxifikasi standar untuk pertencanaan geometrik jalan luar kota


(Rancangan akhir), 1990

BAGIAN-BAGIAN JALAN

Bagian yang bermanfaat untuk lalu lintas, terdiri dari: jalur lalu lintas, lajur lalu
lintas, bahu jalan, trotoar, median
Bagian yang bermanfaat untuk drainase jalan, terdiri dari: ditch, kemiringan
melintang jalan maupun bahu, kemiringan lereng

1. Bagian pelengkap, terdiri dari: kerb, guard rail atau parapet


2. Bagian konstruksi jalan, terdiri dari: lapisan surface, lapisan pondasi atas
maupun bawah, lapisan tanah dasar
3. Ruang manfaat jalan (Rumaja)
4. Ruang milik jalan (Rumija)
5. Ruang pengawasan jalan (Ruwasja)

jalur lalu lintas (travelled/carriage way) adalah keseluruhan bagian perkerasan


jalan yang diperuntukkan untuk lalu lintas kendaraan.
Lajur lalu lintas adalah bagian dari jalur lalu lintas yang khusus diperuntukkan
untuk dilewati oleh satu rangkaian kendaraan beroda empat atau lebih dalam satu
arah.
Bahu jalan adalahjalur yang terletak pada berdampingan jalur lalu lintas dengan
ataupun tanpa diperkeras
Trotoar (side walk) adalah jalur yang terletak bersisian dengan jalur lalu lintas
yang khusus diperuntukkan bagi pejalan kaki (pedestrian)
jalur lalu lintas (travelled/carriage way) adalah keseluruhan bagian perkerasan
jalan yang diperuntukkan untuk lalu lintas kendaraan. Sedangkan Lajur lalu lintas
adalah bagian dari jalur lalu lintas yang khusus diperuntukkan untuk dilewati oleh
satu rangkaian kendaraan beroda empat atau lebih dalam satu arah.

PARAMETER DESIGNE

1. Kendaraan rencana
2. Kecepatan
3. Volume lalu lintas
4. Tingkat pelayanan
5. Jarak pandang

ALINEMEN HORIZONTAL

Alinemen horizontal (trase jalan) adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang
horisontal. Alinemen horisontal tersusun atas garis lurus dan garis lengkung
(busur) atau lebih dikenal dengan istilah tikungan. Busur terdiri atas busur
lingkaran saja (full-circle), busur peralihan saja (spiral-spiral), atau gabungan
busur lingkaran dan busur peralihan (spiral-circlespiral).

Gaya Apa Saja yang Terjadi di Tikungan ?

F=ma
F = (G.V^2)/(g.R)

Dimana :
F = gaya sentrifugal
m = massa kendaraan
a = percepatan sentrifugal
G = berat kendaraan
g = gaya gravitasi
V = kecepatan kendaraan
R = jari-jari tikungan
Gaya yang mengimbangi gaya sentrifugal adalah berasal dari :
• Gaya gesekan melintang roda (ban) kendaraan yang sangat
dipengaruhi oleh koefisien gesek (= f)
• Superelevasi atau kemiringan melintang permukaan jalan (= e)

Ketajaman lengkung horisontal (tikungan) dinyatakan dengan besarnya radius


lengkung (R) atau dengan besarnya derajat lengkung (D). Derajat lengkung (D)
adalah besarnya sudut lengkung yang menghasilkan panjang busur 25 meter.

D = (25/π.R) . 360
D = 1432.39 / R

Radius lengkung (R) sangat dipengaruhi oleh besarnya superelevasi (e) dan
koefisien gesek (f) serta kecepatan
rencana (V) yang ditentukan. Untuk nilai superelevasi dan koefisien gesek
melintang maksimum pada suatu kecepatan yang telah ditentukan akan
meghasilkan lengkung tertajam dengan radius minimum (Rmin).

Pada jalan lurus dimana radius lengkung tidak berhingga perlu direncanakan super
elevasi (en) sebesar 2 – 4 persen
untuk keperluan drainase permukaan jalan.

Secara teori pada tikungan akan terjadi perubahan dari radius lengkung tidak
berhingga (R~) pada bagian lurus menjadi radius lengkung tertentu (Rc)pada
bagian lengkung dan sebaliknya. Untuk mengimbangi perubahan gaya sentrifugal
secara bertahap diperlukan lengkung yang merupakan peralihan dari R~ menuju
Rc dan kembali R~
Lengkung peralihan ini sangat dipengaruhi oleh sifat pengemudi, kecepatan
kendaraan, radius lengkung dan superelevasi jalan. Pencapaian superelevasi dari
en menjadi emaks dan kembali menjadi en dilakukan pada awal sampai akhir
lengkung secara bertahap. Panjang lengkung peralihan (Ls) diperhitungkan dari
superelevasi sebesar en sampai superelevasi mencapai emaks.

Panjang lengkung peralihan (Ls) yang digunakan dalam perencanaan adalah yang
terpanjang dari pemenuhan persyaratan untuk:
• Kelandaian relatif maksimum

Modifikasi rumus SHORT

Berdasarkan panjang perjalanan selama waktu tempuh 3 detik (Bina Marga) atau
2 detik (AASHTO)Ls = (V/3.6) . T

Kelandaian relatif maksimum (1/m) berdasarkan kecepatan rencana berikut :

No Kecepatan Rencana (Vr)


20 30 40 50 60 80 100
Bina
1/50 1/75 1/100 1/115 1/125 1/150 1/100
Marga

No Kecepatan Rencana (Vr)


32 48 64 80 88 96 104
AASHTO 1/33 1/150 1/175 1/200 1/213 1/222 1/244

Diagram Superelevasi

Merupakan penggambaran pencapaian superelevasi dari lereng normal (en)


sampai lereng maksimal (e maks), sehingga dapat ditentukan diagram penampang
melintang setiap titik (stationing) pada suatu tikungan yang direncanakan.

Jenis-Jenis Tikungan

 Full Circle,
 Spiral – Circle – Spiral,
 Spiral – Spiral,

Full Circle
Karena hanya terdiri dari lengkung sederhana saja, maka perlu adanya lengkung
peralihan fiktif (Ls`) untuk mengakomodir perubahan superelevasi secara
bertahap. Bina marga menempatkan ¾ Ls` pada bagian lurus dan ¼ Ls` pada
bagian lengkung • AASHTO menmpatkan 2/3 Ls` pada bagian lurus dan 1/3 Ls`
pada bagian lengkung.

Spiral – Circle – Spiral


Lc untuk lengkung type S – C – S sebaiknya ≥ 20 meter

Spiral – Spiral
Rc yang dipilih harus sedemikian rupa sehingga Ls yang diperlukan dari Ls
berdasarkan landai relatif lebih besar dari
pada Ls berdasarkan modifikasi SHORT serta Ls berdasarkan panjang perjalanan
selama 3 detik (Bina Marga) atau selama 2 detik (AASHTO).

Pelebaran Pada Lengkung

b = lebar kendaraan rencana


B = lebar perkerasan yang ditempati satu kendaraan di tikungan pada lajur sebelah
dalam
U = B-b
C = lebar kebebasan samping di kiri dan kanan kendaraan
Z = lebar tambahan akibat kesukaran mengemudi di tikungan
Bn = lebar total perkerasan pada bagian lurus
Bt = lebar total perkerasan di tikungan
n = jumlah lajur
Bt = n(Bt + C) + Z
Db= tambahan lebar perkerasan di tikungan = Bt - Bn

Rw = radius lengkung terluar dari lintasan kendaraan pada lengkung horisontal


untul lajur sebelah dalam, besarnya dipengaruhi oleh tonjolan
depan (A) kendaraan dan sudut belokan roda depan (a). Ri = radius lengkung
terdalam dari lintasan kendaraan pada lengkung horisontal untuk lajur sebelah
dalam, besarnya dipengaruhi oleh jarak gandar kendaraan (p).
ALINEMEN VERTIKAL

Alinemen vertikal (kelandaian) adalah perpotongan bidang vertikal dengan bidang


permukaan perkerasan jalan sehingga sering dikenal dengan penampang
memanjang jalan. Faktor yang menjadi pertimbangan penentuan alinemen vertikal
adalah: kondisi tanah dasar, keadaan medan (terrain), fungsi jalan, hwl/lwl,
kelandaian yang masih memungkinkan. Kelandaian dibaca dari kiri ke kanan;
diberi nilai positif untuk pendakian dari kiri ke kanan dan nilai negatif untuk
penurunan dari kiri ke kanan.

Kelandaian

Landai minimum; landai idealnya sebesar 0% (datar), landai 0.15% disarankan


untuk jalan menggunakan kerb, landai 0.3 – 0.5% disarankan untuk jalan di
daerah galian menggunakan kerb. Landai maksimum; adalah kelandaian tertentu
dimana kelandaian akan mengakibatkan berkurangnya kecepatan yang masih
lebih besar dari setengah kecepatan rencana.

Vr (Km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40


Kelandaian Max (%) 3 3 4 5 8 9 10 10

Panjang kritis (meter) sangat diperlukan sebagai batasan kelandaian maksimum


agar pengurangan kecepatan tidak lebih dari kecepatan rencana (tabel di bawah)

Kelandaian
Vr (Km/jam) (%)
4 5 6 7 8 9 10
80 630 460 360 270 230 230 200
60 320 210 160 120 110 90 80
Pada jalan berlandai dengan LHR yang tinggiperlu dibuat lajur pendakian untuk
menampung kendaraan (khususnya kend berat) yang sering mengalami penurunan
kecepatan agar tidak mengganggu lalu lintas dengan kecepatan yang lebih tinggi.

TYPE ALINEMEN VERTIKAL

Lengkung vertikal cembung

Lengkung vertikal cekung

Inilah sedikit-banyak teori serta contoh perhitungan geometrik yang bisa


dipelajari, semoga bermanfaat...
Tabel V.1. Klasifikasi Perencanaan Geometrik Jalan Raya
Klasifikasi jumlah
Kelas I
Klasifikasi medan Datar
Lhr dalam SMP >20.000
V (km/jam) 120
Lebar perkerassan (m) Max 2(2×3,75)
Lebar penguasaan (m) 60
Lebar median (m) 10
Lebar bahu (m) 3,5
Lereng perkerasan 2%
Lereng bahu 4%
Miring tikungan 10%
Jari lengkung minimum 650
Landai max 3%

 Tikungan I
Kelas Jalan :1
Maka diperoleh ;
VR : 120 km/Jam
Rmin : 650 m
Medan Klasifikasi : Datar
Sudut Tangen Δ1 : 2300’40,85”
Rencana Tikungan : Spiral circle Spiral

Berdasarkan Tabel Konstruksi Jalan Raya :


VR : 120 km/jam
RRencana : 1700 m
Maka diperoleh ;
Lsmin : 70 m
e : 3,2%
VR3 2,727 ×VR×e
 Lsmin = 0,022 × R×C − c

(120)3 2,727×120×0,32
= 0,022× 1700(0,4) − 0,4

= 29,7267 m < 70 m

Ls
 Ɵs = 28,648 × R

70
= 28,648 × 1700

= 1,1796

 Δc = Δ1 ₋ 2Ɵs

= 2300’40,85” ₋ 2(1,1796)

= 20039’7,73”

Δ
 C
Lc = 360 × 2πR

200 39’7,73”
= × 2(3,14)1700
3600

= 612,4509 m > 20 m …..(OK)

Ls3
 Xc = Ls − 40R2

703
= 70 − 40(1700)2

= 69,9970

Ls2
 Yc = 6R

702
= 6×1700
= 0,4804

 K = Xc ₋ RsinƟs

= 69,9970 ₋1700×sin(1,1796)

= 34,9995

 P = Yc ₋ R(1₋cosƟs)
= 0,4804 ₋ 1700(1₋cos 1,1796)
= 0,1201

 TS1 = (R+P) tan 1⁄2Δ1 + K

= (1700+0,1201) tan 1⁄2 2300’40,85” + 34,9995

= 381,0682 m

 L = 2Ls + Lc

= (2×70)+612,4509

= 752,4509 m

R+P
 Es = cos1⁄ ₋R
2 ∆1

1700+0,1201
= cos1⁄ 0 ′ − 1700
223 0 85"

= 34,9847 m

Tabel V.2. Kontrol Tikungan I


Parameter Perhitungan Tabel
Ɵs 1,796 1,796
P 0,1201 0,1201
K 34,9995 34,9995
X 69,9970 69,9970
Y 0,4804 0,4804

Gambar V.1. Rencana Tikungan I

Δ1 = 2300’40,85” XC = 69,9970

Ls = 70 m YC = 0,4804

ΔC = 20039’7,73” K = 34,9995

LC = 612,4509 m P = 0,1201

Es = 34,9847 m L = 752,4509 m

TS1 = 381,0682 m Ɵs = 1,1796


 Tikungan II
Kelas Jalan :1
Maka di peroleh ;
VR : 120 km/Jam
Rmin : 650 m
Medan Klasifikasi : Datar
Sudut Tangen Δ2 : 46027’9,38”
Rencana Tikungan : Spiral circle Spiral

Berdasarkan Tabel Konstruksi Jalan Raya :


VR : 120 km/jam
RRencana : 1000 m
Maka di peroleh ;
Lsmin : 80 m
e : 5,4%

VR3 2,727 ×VR×e


 Lsmin = 0,022 × R×C − c

(120)3 2,727×120×0,54
= 0,022× 1000(0,4) − 0,4

= 50,8626 m < 80 m

Ls
 Ɵs = 28,648 × R
80
= 28,648 × 1000

= 2,2918

 Δc = Δ1 ₋ 2Ɵs
= 46027’9,38”₋ 2(2,2918)
= 41052’8,42”

Δ
 Lc C
= 360 × 2πR
410 52’8,42”
= × 2(3,14)1000
3600

= 730,3815 m > 20 m …..(OK)

Ls3
 Xc = Ls − 40R2
803
= 80 − 40(1000)2

= 79,9872

Ls2
 Yc = 6R
802
= 6×1000

= 1,0665

 K = Xc ₋ RsinƟs
= 79,9872 ₋1000×sin(2,2918)
= 39,9979

 P = Yc ₋ R(1₋cosƟs)
= 1,0665 ₋ 1000(1₋cos 2,2918)
= 0,2666

 TS2 = (R+P) tan 1⁄2Δ2 + K

= (1000+0,2666)tan 1⁄2 46027’9,38” + 39,9979


= 469,2564 m

 L = 2Ls + Lc
= (2×80)+ 730,3815
= 890,3815 m

R+P
 Es = cos1⁄ ₋R
2 ∆1
1000+0,2666
= cos1⁄ 0 ′ − 1000
246 27 9,38"

= 88,4834 m

Tabel V.3. Kontrol Tikungan II


Parameter Perhitungan Tabel
Ɵs 2,2918 2,2918
P 0,2666 0,2666
K 39,9979 39,9979
X 79,9872 79,9872
Y 1,0665 1,0665

Gambar V.2. Rencana Tikungan II

Δ2 = 46027’9,38” XC = 79,9872

Ls = 80 m YC = 1,0665

ΔC = 41052’8,42” K = 39,9979

LC = 730,3815 m P = 0,2666

Es = 88,4834 m L = 890,3815 m

TS2 = 469,2564 m Ɵs = 2,2918


 Tikungan III
Kelas Jalan :1
Maka di peroleh ;
VR : 120 km/Jam
Rmin : 650 m
Medan Klasifikasi : Datar
Sudut Tangen Δ3 : 50042’3,74”
Rencana Tikungan : Spiral circle Spiral

Berdasarkan Tabel Konstruksi Jalan Raya :


VR : 120 km/jam
RRencana : 900 m
Maka di peroleh ;
Lsmin : 80 m
e : 6,0 %

VR3 2,727 ×VR×e


 Lsmin = 0,022 × R×C − c
(120)3 2,727×120×0,60
= 0,022× 900(0,4) − 0,4

= 56,5140 m < 80 m

Ls
 Ɵs = 28,648 × R
80
= 28,648 × 900

= 2,5465

 Δc = Δ1 ₋ 2Ɵs
= 50042’3,74”₋ 2(2,5465)
= 45036’28,94”

Δ
 Lc C
= 360 × 2πR
450 36’28,94”
= × 2(3,14)900
3600

= 716,0462 m > 20 m …..(OK)


Ls3
 Xc = Ls − 40R2
803
= 80 − 40(900)2

= 79,9842
Ls2
 Yc = 6R
802
= 6×900

= 1,1850

 K = Xc ₋ RsinƟs
= 79,9842 ₋1000×sin(2,5465)
= 39,9974

 P = Yc ₋ R(1₋cosƟs)
= 1,1850 ₋ 900(1₋cos 2,5465)
= 0,2963

 TS3 = (R+P) tan 1⁄2Δ3 + K

= (900+0,2963)tan 1⁄2 50042’3,74” + 39,9974


= 466,5371 m

 L = 2Ls + Lc
= (2×80)+ 716,0462
= 876,0462 m

R+P
 Es = cos1⁄ ₋R
2 ∆1
900+0,2963
= cos1⁄ 0 − 900
250 42’3,74”

= 96,2277 m

Tabel V.4. Kontrol Tikungan III


Parameter Perhitungan Tabel
Ɵs 2,5465 2,5465
P 0,2963 0,2963
K 39,9974 39,9974
X 79,9842 79,9842
Y 1,1850 1,1850

Gambar V.3. Rencana Tikungan III

Δ3 = 50042’3,74” Xc = 79,9842

Ls = 80 m Yc = 1,1850

Δc = 45036’28,94” K = 39,9974

Lc = 716,0462 m P = 0,2963

Es = 96,2277 m L = 876,0462 m

TS3 = 466,5371 m Ɵs = 2,5465

Panjang Jalan Sebenarnya = 3733,2664 m


Panjang trase jalan = dA-PI1 + dPI1-PI2 + dPI2-PI3 + dPI3-C
= 849,6046 + 1150,4767 + 1246,3194 + 601,7105
= 3848,1112 m
Maka Selisih Panjang = Panjang trase jalan – Panjang jalan sebenarnya
= 3848,1112 – 3733,2664
= 114,8448 m

BAB VI

STATIONING

Penetapan Stationing Penampang Memanjang Jalan Penampang Melintang


Jalan

Dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan jaringan jalan baik jalan


lama ataupun jalan baru, maka trase jalan merupakan hal pokok terutama dalam
meningkatkan kinerja jalan. Kriteria pemilihan trase jalan dipengaruhi oleh antara
lain panjang jalan, klasifikasi medan, besarnya volume galian dan timbunan,
banyaknya bangunan pelengkap, alinyemen vertikal maupun horizontal, kondisi
tata guna lahan faktor geologi, topografi, dan lingkungan.
Penetapan Stasiun Stationing

Tujuan dari penetapan stationing, adalah untuk menetapkan titik-titik lintasan


suatu trase jalan, sekaligus untuk menentukan panjang suatu trase jalan, atau jarak
dari suatu tempat ke tempat yang lainnya pada suatu lokasi jalan. Titik-titik
penting atau titik-titik sepanjang jalan tertentu dinamakan dengan titik stasiun.
Jadi stasiun atau STA adalah jarak langsung yang diukur dari mulai titik awal,
berupa STA 0+000 sampai dengan titik yang akan dicari stasiunnya.Dalam hal
menghitung stasiun di dua titik penting, dilakukan dengan cara-cara berdasarkan
kriteria sebagai berikut : 1. Untuk daerah datar dibuat jarak patok dibuat ± 100 m
2. Untuk daerah perbukitan jarak patok dibuat ± 50 m 3. Untuk daerah
pegunungan jarak patok dibuat ± 25 m 4. Daerah lengkung, jarak patoknya dibuat
lebih pendek menurut keperluan yang berkaitan dengan faktor ketelitian.

Penampang Memanjang Jalan

Pembuatan penampang memanjang jalan dibuat dengan skala horizontal 1 : 1000


atau 1 : 2000 dan skala vertikalnya adalah 1 : 100. Penampang memanjang jalan
digambarkan secara langsung dari pengukuran lapangan untuk mengetahui dan
bagian yang harus ditimbun dalam arah memanjang 13 trase jalan. Gambar
perencanaan penampang memanjang jalan didasarkan pada hasil perhitungan
alinyemen vertikal serta standar-standar yang digunakan

Gambar VI.1. Alignment Horizontal

dA-PI1 = 849,6046 m

TS1 = 381,0682 m
LS1 = 70 m

LC1 = 612,4509 m

dPI1-PI2 = 1150,4767 m

TS2 = 469,2564 m

LS2 = 80 m

LC2 = 730,3815 m

dPI2-PI3 = 1246,3194 m

TS3 = 466,5371 m

LS3 = 80 m

LC3 = 716,0462 m

dPI3-C = 601,7105 m

Perhitungan Stationing :

STA A = (0 + 000)

STA TS1 = (STA A) + (dA-PI1) – TS1

= (0 + 000) + (849,6046) – (381,0682)

= (0 + 468,5364)

STA SC1 = (STA TS1) + (LS1)

= (0 + 468,5364) + 70

= (0 + 538,5364)
STA CS1 = (STA SC1) + (LC1)

= (0 + 538,5364) + (612,4509)

= (1 + 150,9873)

STA ST1 = (STA CS1) + (LS1)

= (1 + 150,9873) + 70

= (1 + 220,9873)

STA TS2 = (STA ST1) + (dPI1-PI2) – (TS1 + TS2)

= (1 + 220,9873) + (1150,4767) – (381,0682 + 469,2564)

= (1 + 521,1394)

STA SC2 = (STA TS2) + (LS2)

= (1 + 521,1394) + (80)

= (1 + 601,1394)

STA CS2 = (STA SC2) + (LC2)

= (1 + 601,1394) + (730,3815)

= (2 + 331,5209)

STA ST2 = (STA CS2) + LS2

= (2 + 331,5209) + (80)

= (2 + 411,5209)

STA TS3 = (STA ST2) + (dPI2-PI3) – (TS2 + TS3)

= (2 + 411,5209) + (1246,3194) – (469,2564 + 466,5371)

= (2 + 722,0468)

STA SC3 = (STA SC3) + (LC3)


= (2 + 722,0468) + (80)

= (2 + 802,0468)

STA CS3 = (STA SC3) + (LC3)

= (2 + 802,0468) + (716,0462)

= (3 + 518,0930)

STA ST3 = (STA CS3) + (LS3)

= (3 + 518,0930) + (80)

= (3 + 598,0930)

STA C = (STA ST3) + (dPI3-C) – (TS3)

= (3 + 598,0930) + (601,7105) – (466,5371)

= (3 + 733,2664)

Tabel VI.1. Rekapitulasi Stationing


Titik Stationing Jarak Antar Titik (m) Stationing (m)
A (0 + 000)
468,5364
TS1 (0 + 468,5364)
70
SC1 (0 + 538,5364)
612,4509
CS1 (1 + 150,9873)
70
ST1 (1 + 220,9873)
300,1521
TS2 (1 + 521,1394)
80
SC2 (1 + 601,1394)
730,3815
CS2 (2 + 331,5209)
80
ST2 (2 + 411,5209)
310,5259
TS3 (2 + 722,0468)
80
SC3 (2 + 802,0468)
716,0462
CS3 (3 + 518,0930)
80
ST3 (3 + 598,0930)
135,1734
C (3 + 733,2664)

Kontrol Rounding :

Jarak tikungan I dengan sungai > 30 m

(dPI1-Sungai) – (TS1) = (420) – (381,0682)

= 38,9318 m > 30 m

Jarak tikungan I dengan tikungan II > 30 m

(dPI2-PI2) – (TS1 + TS2) = (1150,4767) – (381,0682 + 469,2564)

= 300,1521 m > 30 m

Jarak tikungan II dengan sungai > 30 m

(dPI2-Sungai) – (TS2) = (620) – (469,2564)

= 150,7436 m > 30 m

Jarak tikungan III dengan sungai > 30 m


(dPI3-Sungai) – (TS3) = (640) – (466,5371)

= 173,4629 m > 30 m

BAB VII

SUPERELEVASI, PELEBARAN DAN KEBEBEBASAN SAMPING

A. Lebar Perkerasan
Pada umumnya lebar perkerasan ditentukan berdasarkan lebar jalan lalu
lintas normal yang besarnya adalah 3,5 m
Jalan-jalan satu jalur seperti jalan penghubung lebar perkerasan tidak
ditetapkan berdasarkan lebar lajur karena kecilnya intensitas lalu lintas (jumlah
satuan lalu lintas yang melalui tempat tersebut).
B. Lebar bahu
- Untuk jalan 1 (utama) daerah datar 3,5 m
- Pengurangan lebar bahu untuk jalan kelas 1 (utama) sama sekali tidak
dianjurkan
C. Drainase
Perlengkapan drainase merupakan bagian terpenting dari suatu jalan,
saluran melintang jalan yang harus disesuaikan dengan data data hidrologi seperti
intensitas hujan maupun frekuensi serta sifat daerah. Drainase harus dapat
membebaskan pengaruh genangan air di jalan (Konstruksi jalan)
D. Kebebasan pada jalan raya
Kebebasan minimum yang diperlukan pada setiap bagian jalan baik kiri
maupun kanan telah diatur dalam peraturan perencanaan geometrik jalan raya
Perencanaan Geometri Jalan Raya (PPGJR)
Kemiringan melintang maksimum pada tikungan :
Bila kendaraan melintasi suatu tikungan dengan bentuk lingkaran, maka
kendaraan tersebut akan terdorong keluar secara radial oleh gaya sentrifugal
diimbangi oleh :
a. Komponen berat kendaraan yang diakibatkan oleh kemiringan melintang
(superelevasi) dari jalan (slide friction) antara ban
b. Gesekan samping (slide friction ) antara ban kendaraan dengan perkerasan
jalan sebagai tinjauan terhadap hal di atas dibuat suatu pembagian keadaan
sbb :

Stadium I

Pada stadium ini yang mengimbangi (menahan gaya sentrifugal) adalah


gaya gesekan samping perkerasan pada tikungan tidak perlu dimiringkan.

GV 2
gR

Gambar VII.1. Stadium I


Fmax =m.a

G V2
Fm . G = g : R

V2
Fm = g. R

V2
Rumus Menjadi, FM = 127R

Keterangan :

V = Kecepatan rencana (km/jam)

R = Jari-jari (m)

Fm = Koefisien gesekan max

g = Gaya gravitasi (9,81 m/det 2)

dan koefisien gesekan tergantung pada :

1. Kecepatan rencana (km/jam)


2. Kondisi ban
3. Kondisi perkerasan (kasar/halus)
4. Kondisi permukaan (basah/kering)

Stadium II

Hanya kemiringan melintang jalan yang mengimbangi gaya sentrifugal


yang terjadi sehingga tidak akan timbul gesekan. Keadaan ini merupakan keadaan
ideal pada tikungan.
Gambar VII.2. Stadium II

Dalam keadaan seimbang, Ex = 0

F cos 𝛼 – N sin 𝛼 = 0

F cos 𝛼 = N sin 𝛼

m . a . cos 𝛼 = m . g . sin 𝛼

a sin 𝛼
= cos 𝛼
g

a
tan 𝛼 = g tan 𝛼 = em

a V2
em =g a= R

V2 V2
em = g. , atau a = 127R
R
Keterangan :

em = Kemiringan melintang max

V = Kecepatan Rencana (km/jam)

R = Jari-jari tikungan (m)

g = Gravitasi (9,81 m/det 2)

Stadium III

Gaya gesekan dan kemiringan melintang bekerja bersama-sama dalam


mengimbangi gaya sentrifugal sebagai berikut :

Gambar VII.3. Stadium III

G sin 𝛼 + (FL + FR) = Koefisien 𝛼

G .V2
G sin 𝛼 + (NL + NR) . fm = . cos 𝛼
g .R
V2
Sin 𝛼 + fm = g .R

V2
Karena 𝛼 kecil, maka nilai cos 𝛼 = 1 dan sin 𝛼 = tan 𝛼. Sehingga : em + fm = 127R

Rumus-rumus ketiga stadium diatas dapat dipergunakan untuk menentukan jari-


jari min pada ketiga tikungan.

V2
I. R min = 127 fm
V2
II. R min = 127 em
V2
III. R min =
127 (em+ fm)

Karena em biasanya ditempatkan pada busur lingkaran sehingga peralihan


dari kemiringan normal ke kemiringan maksimum perlu diubah secara berangsur-
angsur.

Dalam perancangan bentuk lengkung dapat dinyatakan dalam jari-jari atau


dalam bentuk derajat kelengungan (D). Derajat kelengkungan (D) adalah sudut
yang dibentuk oleh lingkaran sepanjang 25 m (atau 100 ft) terhadap pusat
lingkarannya. Hubungan jari-jari (R) dan derajat kelengkungan (D) untuk satuan
meter adalah :

Gambar VII.4. Derajat Kelengkungan Dalam Meter


D 25
= 2πR
360

360 x 25 1432,4 1432


D= = ≈
2πR R R

1432
R= D

Dalam hubungan tersebut, sehingga persamaan jari-jari minimum dapat


diturunkan derajat lengkung maksimum yaitu :

127 (e max +f max) .1432 181864 (e max + f max)


D max = =
V2 V2

Dalam satuan feet dan mil per jam, rumus-rumus tersebut adalah sebagai
berikut :

V2
e + f = 15R

Untuk R min dan D max :

V2
R min =
15 (e max+ f max)

85950 (e max+ f max)


D max = V2

Gambar VII.5. Derajat Kelengkungan Dalam ft


D 100
= 2πR
300

360 x 100 5729,6 5730


D= = ≈
2πR R R

5730
R= D

Adapun fungsi dari kemiringan normal adalah untuk mengalirkan air


(drainase) dan biasanya terdapat di jalan yang lurus.

a. Metode Mengubah Kemiringan Melintang (superelevasi)


Cara yang digunakan :
1.) Profil jalan (as jalan) sebagai sumber putaran-putaran umum
2.) Tepi jalan dalam sebagai putaran
3.) Tepi luar sebagai putaran

Gambar VII.6. Cara Mengubah Superelevasi

b. Diagram Kemiringan Melintang

Pencapaian kemiringan normal (en) kemiringan max/penuh (e max


relative) dapat dilakukan sebagai berikut :

- Tikungan Circle
Walaupun tikungan circle tidak mempunyai lengkung peralihan efektif
(Ls) besar harga fiktif adalah :

Gambar VII.7. Superelevasi Tikungan Circle

Ls = b.em.m h1 = e max.1/2B h = h1 + h2

n
< hm h2 = en. 1/2B
Ls

L’ > hm
h = 1/2B (h1 + h2)

Keterangan gambar :

Ls = Lengkung Peralihan fiktif

B = Lebar Perkerasan

em = Kemiringan melintang max relative (superelevasi max ) pada tikungan

Cara membuat diagram superelevasi :

1) Buat garis en dan em max relative (e max relative untuk sp-ss dalam bentuk
titik) sehingga diperoleh titik A dan B
2) Hubungan garis A dan B didapat C
3) Hubungan titik (dari D seperti pada gambar bagian putus-putus)
Gambar VII.8. Metode Pencapaian Superelevasi Pada Tikungan Tipe Fc (Contoh
Untuk Tikungan Ke Kiri)
Gambar VII.9. Model Pencapaian Superelevasi Pada Tikungan Tipe S-C-S (Untuk
Tikungan Ke Kanan)
Gambar VII.10. Model Pencapaian Superelevasi Pada Tikungan Tipe S-S (Untuk
Tikungan Ke Dalam)
Gambar VII.11. Superelevasi Pada Tikungan I

Gambar VII.12. Perhitungan STA Berdasarkan Superelevasi Pada Tikungan I

Pot II-II Pot III-III Pot IV-IV


x Ls−x y 43,0768
= 0.032 = dIV-IV = 2x
0,02 0,016 0.032

0,032 x = 0,02 (70 — x) 0,032 y = 0,6892 = 2(26,9232)


0,032 x = 1,4—0,02 x y = 21,5384 m = 53,8464 m
1,4
x = 0,052

= 26,9232 m

Gambar VII.13. Superelevasi Pada Tikungan II

Gambar VII.14. Perhitungan STA Berdasarkan Superelevasi Pada Tikungan II


Pot II-II Pot III-III Pot IV-IV
x Ls−x y 58,3784
= dIII-III = 2x =
0,02 0.054 0,027 0,054

0,054 x = 0,02 (80 — x) = 2 (21,6216) 0,054y


= 1,5762
1,5762
0,054 x = 1,6 — 0,02 x = 43,2432m y = 0,054
1,6
x = 0,074 y = 29,1892 m

= 21,6216 m

Gambar VII.15. Superelevasi Pada Tikungan III


Gambar VII.16. Perhitungan STA Berdasarkan Superelevasi Pada Tikungan III

Pot II-II Pot III-III Pot IV-IV


x Ls−x y 60
= 0.060 dIII-III = 2x =
0,02 0,030 0,060

0,060 x = 0,02 (80 — x) = 2 (20) 0,060y = 1,8


1,8
0,054 x = 1,6 — 0,02 x = 40m y = 0,06
1,6
x = 0,080 y = 30m

= 20 m

Perhitungan Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan :

B = n(b’+c) + (n-1)Td + Z

B = Lebar perkerasan pada tikungan (meter)

n = Jumlah jalur lalu lintas

b’ = Lebar lintasan kendaraan truk pada tikungan (meter)

Td = Lebar melintang akibat tonjolan depan (meter)

Z = Lebar tambahan akibat kelainan dalam mengemudi (meter)

C = Kebebasan samping (meter) 0,8 (meter)


Pelebaran perkerasan pada tikungan sangat tergantung pada :

1. R : Jari-jari tikungan (m)


2. ∆ : Sudut tangen tikungan
3. VR : Kecepatan rencana (km/jam)

Untuk mengimbangi pengaruh off tracking pada kendaraan truk sehingga


penambahan lebar perkerasan sebesar :

b’ = b” + R - √𝑅2 − 𝑃2

Dimana :

b’ = Penambahan lebar perkerasan

b” = Jari-jari rencana

P = Jarak antara AS roda depan dengan roda belakang

R = Lebar truk

Untuk mengimbangi pengaruh pergeseran dari hasil penyelidikan


penambahan lebar panjang sedikit 0,3 m untuk setiap 0,1 koefisien gesekan yang
timbul.

Z = 0,105

Dimana :

Z : Lebar pertambahan untuk menunjang kelandaian dalam mengemudi di


tikungan (m)

R : Jari-jari rencana (m)

V : Kecepatan rencana (km/jam)

Akibat adanya tonjolan depan badan kendaraan diukur dari gradient depan (Td)

Td = √𝑅2 + 𝐴(2𝑃 + 𝐴) − 𝑅
Tabel VII. 1. Perhitungan Pelebaran Pada Tikungan I Untuk Dua Sisi
Tikungan Titik Stationing Pelebaran (m) Lebar Jalan
(m)
TS1 = Pot I-I 0 + 468,5364 0,00 15,00
0 + 495,4596 0,30 15,30
0 + 516,9980 0,60 15,60
0 + 522,3828 0,90 15,90
SC1 = Pot V-V 0 + 538,5364 1,50 16,50
I 1,5 – 0,02143 L -
CS1 = Pot V-V 1+150,9873 1,50 16,50
1+167,1409 0,90 15,90
1+172,5257 0,60 15,60
1+194,0641 0,30 15,30
ST1 = Pot I-I 1+220,9873 0,00 15,00

Pelebaran = 0,02143 L
Untuk dua sisi
Lebar jalan = (W + 1,5)

Tabel VII. 2. Perhitungan Pelebaran Pada Tikungan I Untuk Satu Sisi


Tikungan Titik Stationing Pelebaran (m) Lebar Jalan
(m)
TS1 = Pot I-I 0 + 468,5364 0,00 7,50
0 + 495,4596 0,15 7,65
0 + 516,9980 0,30 7,80
0 + 522,3828 0,45 7,95
SC1 = Pot V-V 0 + 538,5364 0,75 8,25
I 0,75 – 0,010714 -
143 L
CS1 = Pot V-V 1+150,9873 0,75 8,25
1+167,1409 0,45 7,95
1+172,5257 0,30 7,80
1+194,0641 0,15 7,65
ST1 = Pot I-I 1+220,9873 0,00 7,50

Pelebaran = 0,010714 L
Untuk satu sisi
Lebar jalan = (W + 0,75)

 Perhitungan lebar perkerasan pada tikungan II (S-C-S)

VR : 120 km/jam

R : 1000 m

Secara rumus :

Z = 0,105 .

Z = 0,105 .

Z = 0,3984

1000 1000
Td = √𝑅2 + 𝐴(2𝑃 + 𝐴) − 𝑅 = 1000 = 1
𝑅

= 10002 + 1,2 (2.18,9 + 1,2) – 100

= 0,0234

Dengan grafik :

B = 2,4229

Td = 0,0234

Z = 0,3984

Maka :

b” = ½ . lebar truk = ½ . 2,6 = 1,3 m


b’ = b + b” = 2,4229 + 1,3 = 3,7229 m

B = n(b’+c) + (n-1).Td + Z

= 4(3,7229 + 0,8) + (4-1). 0,0234 + 0,3984

= 18,5602 m

Pertambahan pelebaran perkerasan pada tikungan II :

𝐵−(2.2,6) 18,5602− (2.2,6)


= = 6,6801 m
2 2

Pelebaran perkerasan ini tidak memenuhi syarat karena widening max


untuk 2 (dua) sisi = 1,5 m dan 1 (satu) sisi = 0,75 m, maka dalam hal ini diambil
widening maximum.

Untuk :

VR = 120 km/jam

R rencana = 1000 m

LS = 80 m

Maka :

Wmax = 0,75 (untuk satu sisi) ; 1,5 (untuk dua sisi)

𝐿
W = 𝐿𝑆 . Wmax

𝐿
= 80 . 0,75 = 0,00937 L (untuk satu sisi)

W = 2(0,00937) L = 0,01874 (untuk dua sisi)

Nilai Td dan Z menggunakan grafik :

 B = 4(3,7229 + 0,8) + (4-1). 0,0234 + 0,3984

= 18,5602 m

 Pertambahan pelebaran perkerasan pada tikungan I


𝐵−(2.2,6) 18,5602− (2.2,6)
= = 6,6801 m
2 2

Tabel VII. 3. Perhitungan Pelebaran Pada Tikungan II Untuk Dua Sisi


Tikungan Titik Stationing Pelebaran (m) Lebar Jalan
(m)
TS2 = Pot I-I 1+521,1394 0,00 15,00
1+542,7610 0,30 15,30
1+564,3826 0,60 15,60
1+571,9502 0,90 15,90
SC2 = Pot V-V 1+601,1394 1,50 16,50
II 1,5 – 0,01874 L -
CS2 = Pot V-V 2+331,5209 1,50 16,50
2+360,7101 0,90 15,90
2+368,2777 0,60 15,60
2+389,8993 0,30 15,30
ST2 = Pot I-I 2+411,5209 0,00 15,00

Pelebaran = 0,01874 L
Untuk dua sisi
Lebar jalan = (W + 1,5)

Tabel VII. 4. Perhitungan Pelebaran Pada Tikungan II Untuk Satu Sisi


Tikungan Titik Stationing Pelebaran (m) Lebar Jalan
(m)
TS2 = Pot I-I 1+521,1394 0,00 7,50
1+542,7610 0,15 7,65
1+564,3826 0,30 7,80
1+571,9502 0,45 7,95
SC2 = Pot V-V 1+601,1394 0,75 8,25
II 1,5 – 0,00937 L -
CS2 = Pot V-V 2+331,5209 0,75 8,25
2+360,7101 0,45 7,95
2+368,2777 0,30 7,80
2+389,8993 0,15 7,65
ST2 = Pot I-I 2+411,5209 0,00 7,50

Pelebaran = 0,00937 L
Untuk satu sisi
Lebar jalan = (W + 0,75)

 Perhitungan lebar perkerasan pada tikungan III (S-C-S)

VR : 120 km/jam

R : 900 m

Secara rumus :

Z = 0,105 .

Z = 0,105 .

Z = 0,42

1000 1000
Td = √𝑅2 + 𝐴(2𝑃 + 𝐴) − 𝑅 = = 1,1
𝑅 900

= 9002 + 1,2 (2.18,9 + 1,2) – R

= 0,0256

Dengan grafik :

B = 2,425

Td = 0,0256

Z = 0,42
Maka :

b” = ½ . lebar truk = ½ . 2,6 = 1,3 m

b’ = b + b” = 2,425+ 1,3 = 3,725 m

B = n(b’+c) + (n-1).Td + Z

= 4(3,725 + 0,8) + (4-1). 0,0256 + 0,42

= 18,5968 m

Pertambahan pelebaran perkerasan pada tikungan III :

𝐵−(2.2,6) 18,5968− (2.2,6)


= = 6,6984 m
2 2

Pelebaran perkerasan ini tidak memenuhi syarat karena widening max


untuk 2 (dua) sisi = 1,5 m dan 1 (satu) sisi = 0,75 m, maka dalam hal ini diambil
widening maximum.

Untuk :

VR = 120 km/jam

Rrencana = 900 m

LS = 80 m

Maka :

Wmax = 0,75 (untuk satu sisi) ; 1,5 (untuk dua sisi)

𝐿
W = 𝐿𝑆 . Wmax

𝐿
= 80 . 0,75 = 0,00937 L (untuk satu sisi)

W = 2(0,00937) L = 0,01874 (untuk dua sisi)

Nilai Td dan Z menggunakan grafik :

 B = 4(3,725 + 0,8) + (4-1). 0,0256 + 0,42


= 18,5968 m

 Pertambahan pelebaran perkerasan pada tikungan III

𝐵−(2.2,6) 18,5968 − (2.2,6)


= = 6,6984 m
2 2

Tabel VII. 5. Perhitungan Pelebaran Pada Tikungan III Untuk Dua Sisi
Tikungan Titik Stationing Pelebaran (m) Lebar Jalan
(m)
TS3 = Pot I-I 2+722,0468 0,00 15,00
2+742,0468 0,30 15,30
2+762,0468 0,60 15,60
2+772,0468 0,90 15,90
SC3 = Pot V-V 2+802,0468 1,50 16,50
III 1,5 – 0,01874 L -
CS3 = Pot V- 3+518,0930 1,50 16,50
V
3+548,0930 0,90 15,90
3+558,0930 0,60 15,60
3+578,0930 0,30 15,30
ST3 = Pot I-I 3+598,0930 0,00 15,00

Pelebaran = 0,01874 L
Untuk dua sisi
Lebar jalan = (W + 1,5)

Tabel VII. 6. Perhitungan Pelebaran Pada Tikungan III Untuk Satu Sisi
Tikungan Titik Stationing Pelebaran (m) Lebar Jalan
(m)
TS3 = Pot I-I 2+722,0468 0,00 7,50
2+742,0468 0,15 7,65
2+762,0468 0,30 7,80
2+772,0468 0,45 7,95
SC3 = Pot V-V 2+802,0468 0,75 8,25
III 0,75 – 0,00937 -
L
CS3 = Pot V- 3+518,0930 0,75 8,25
V
3+548,0930 0,45 7,95
3+558,0930 0,30 7,80
3+578,0930 0,15 7,65
ST3 = Pot I-I 3+598,0930 0,00 7,50

Pelebaran = 0,00937 L
Untuk satu sisi
Lebar jalan = (W + 0,75)
BAB VIII

ALIGNMENT VERTIKAL

Alignment vertikal yaitu bidang tegak lurus yang melalui sumbu jalan atau
proyeksi tegak lurus gambar. Profil ini ini menggambarkan tinggi rendahnya jalan
terhadap muka tanah asli, sehingga memberi gambaran terhadap kemampuan
kendaraan dalam keadaan baik atau penuh.

Alinyemen vertikal sangat erat berhubungan dengan biaya pembangunan


serta jumlah, pada alignment vertikal bagian lurus adalah panjang kritis landai dan
besarnya kelandaian kemampuan pendakian dan kendaraan dipengaruhi oleh
panjang pendakian.

Gambar VIII.1. Alignment Vertikal

Menunjukkan besar kenaikan/penurunan vertikal dalam satu-satuan sejauh


horizontal. (%) kendaraan tidak boleh melebihi batas yang sudah ditentukan.
London minimum hanya digunakan jika pertimbangan biaya sangat memaksa dan
hanya untuk jalan pendek. Panjang kritis landai adalah panjang yang masih dapat
diterima tanpa mengakibatkan gangguan jalannya lalu lintas. Panjang ini
mengakibatkan pengurangan kecepatan maksimum sebesar 25 km/jam. Semakin
curam suatu daerah maka panjang semakin kecil.

Tabel VIII.1. Panjang Kritis Jalan Landai


Landai (%) Panjang kritis
3 480
4 330
5 250
6 200
7 170
8 150
10 130
12 120
Sumber : PPGJR (Perencanaan Perkeran Jalan Raya)

Lengkung Vertikal

Lengkung vertikal yaitu lengkung yang dipakai untuk mengendalikan


peralihan secara berangsur-angsur dari suatu landai kelandaian Lain. Lengkung
vertikal disebut "cembung" apabila perpotongan kedua landai (ppv) berada diatas
permukaan jalan dibeli tanda (-) sedangkan disebut "cekung" apabila kedua landai
(PPV) benda dibawah permukaan jalan diberi tanda (+).

Gambar VIII.2. Tipikal Cekung Vertical Bentuk Parabola

Rumus yang digunakan :

𝐿−.𝑔1 𝐿.𝑔1 𝐿−.𝑔12 𝐿−.𝑔12


X = 𝑔1−𝑔2 = y = 2(𝑔1−𝑔2) =
𝐴1 24

Keterangan :

X = Jarak dari P ketitik yang di tinjau STA

Y = Perbedaan elevasi antara titik P yang ditinjau pada STA (m)


L = Panjang lengkung vertical Parabola yang merupakan jarak proyeksi dari
titik P- Q

g1 = kelandaian tangen dari titik P (%)

g2 = kelandaian tangen dari titik Q (%)

Rumus diatas untuk lengkung simetris (g1+g2) = A. perbandingan aljabar


untuk kelandaian (%) ketentuan pendakian atau pernurunan ditinjau dari kiri.

∆𝐿
EV = 800, untuk X = ½. L

Y = EV

Kemungkinan lengkung vertikal yang terjadi :

a. Lengkung Vertikal Cembung

Gambar VIII.3. Lengkung Vertikal Cembung

g1-g2 = –g2 – (+g1)

= –A

Jika ( g1 – g2 ) = A bernilai negative, maka lengkung tersebut adalah


“lengkung vertikal cembung”.

b. Lengkung Vertikal Cekung


Gambar VIII.4. Lengkung Vertikal Cekung

Jika ( g1-g2 ) = A bernilai positif, maka lengkung tersebut adalah “lengkung


vertikal cekung”.

Kedua lengkung diatas adalah lengkung parabola sederhana dengan


rumus-rumus:

𝑔1−.𝑔2
Y=± .x2
2𝐿

Dengan persamaan yang diturunkan

𝐿−.𝑔12
= a = r……. Konstanta
24

𝑑𝑦
= rx + c
𝑑𝑥

Syarat batas :

𝑑𝑦
Untuk x = 0..... 𝑑𝑥 = g1 ; g2 = c……(1)

𝑑𝑦
Untuk x = l..... 𝑑𝑥 = g2 ; g2 = c……..(2)

Sehingga didapat persamaan dengan mensubtitusikan ke pers 2 diperoleh :

g2 = rL + g1

𝑔2−.𝑔1
r = … rL = g2-g1
2

Sehingga didapat :
𝑑𝑦 𝑔2−.𝑔1
= x + g1
𝑑𝑥 2

Untuk y = c : x = c, maka c=c

Sehingga :

𝑔2−.𝑔1
y = ± 1/2x2 . + g1x
𝐿

Dari gambar :

𝑦1−.𝑦
tan = = -g1
𝑥

y1 = -g1 x ± y

𝑔2−.𝑔1
y1 = -g1 x ± y ( ½ x2. + g1x)
𝐿

𝑔2−.𝑔1
y1 = ± ½ x2. 𝐿

Maka :

𝑔2−.𝑔1
X = 1/2L… y1 = ±. .L
8

Tanda ± menyatakan apakah lengkung vertikal ini cembung atau cekung, dimana :

y1 = Penyimpangan titik potong kedua tangen kelengkungan vertikal untuk x = ½


L ; y1 = EV

A = perbedaan 2 aljabar kedua tangen (g1-g2)


L = Panjang lengkung vertikal, panjang minimum ditentukan pada :

Syarat pandang henti dan drainase (grafik PPGJR)

Syarat pandang menyiap (grafik PPGJR)

Sehingga rumus untuk lengkung vertikal

𝐴
y1 = ±. 200.𝐿 .x2

Penampang melintang potongan jalan dalam arah melintang da penampang


jalan adalah untuk membantu dalam menghitug banyaknya tanh (m3) yang harus
digali atau ditimbun sesuai rencana jalan.

Perhitungan Alignement Vertikal :


A. Perhitungan kelandaian
1) Titik A – PPV1
Elevasi A = 242
Elevasi PPV1 = 242
Jarak A – PPV1 = 150 m
242  242
g1  x100%
Maka, 150 = 0% (datar)

2) Titik PPV1 – PPV2


Elevasi PPV1 = 242
Elevasi PPV2 = 238,3
Jarak PPV1 – PPV2 = 200 m
238,3  242
Maka, g  x100% = - 1,85 % (turun)
2 200

3) Titik PPV2 – PPV3


Elevasi PPV2 = 238,3
Elevasi PPV3 = 238,3
Jarak PPV2 – PPV3 = 382
238,3 - 238,3
g  x100%
Maka, 3 382 = 0% (datar)

4) Titik PPV3 – PPV4


Elevasi PPV3 = 238,3
Elevasi PPV4 = 246,2
Jarak PPV3 – PPV4 = 275,2 m
246,2  238,3
Maka, g  x100% = +2,87% (naik)
4 275,2

5) Titik PPV4 – PPV5


Elevasi PPV4 = 246,2
Elevasi PPV5 = 242
Jarak PPV4 – PPV5 = 957,2 m
242 - 246,2
g  x100%
5 957,2
Maka, = 0% (datar)

6) Titik PPV5 – PPV6


Elevasi PPV5 = 246,2
Elevasi PPV6 = 242
Jarak PPV5 – PPV5 = 200 m
242 - 246,2
Maka, g  x100% = - 2,100 % (turun)
6 200

7) Titik PPV6 – PPV7


Elevasi PPV6 = 242
Elevasi PPV7 = 242
Jarak PPV6 – PPV7 = 868 m
242 - 242
g  x100%
Maka, 7 868 = 0 % (datar)
8) Titik PPV7 – PPV8
Elevasi PPV7 = 242
Elevasi PPV8 = 244
Jarak PPV7 – PPV8 = 200 m
244 - 242
Maka, g  x100% = +1,00 % (naik)
8 200

9) Titik PPV8 – C
Elevasi PPV8 = 244
Elevasi C = 244
Jarak PPV8 – PPV9 = 600 m
244 - 244
Maka, g  x100% = + 0,00% (naik)
9 600

Perhitungan Panjang Lengkung Vertikal (LV) :


1. Lengkung Vertikal 1 (cembung )

Skema :

Diketahui :
 V renc. = 120 km/jam
 g1 = 0%
 g2 = - 1,85 %
 A = g2 – g1 = - 1,85 % – 0% = - 1,85 % (cembung)
 Stationing PPV1 = ( 0 + 150) m
 Elevasi PPV1 = 242 m

 Menentukan panjang Lengkung Vertikal (LV)


Berdasarkan grafik V PPGJR diperoleh LV = 270 m, maka:
A * LV 1,85 * 270
 EV =  = 0,624375 m
800 800
A * X 2 1,85 * X 2 1,85 * X 2
 Y’ =   = 3,4259 x 10-5 X2
200.LV 800.LV 800 * 270

 Panjang stationing Lengkung Vertikal


 Sta PLV1 = Sta PPV1 – (½ * LV) = 150– (1/2 *270)
= (0 +15) m
 Sta PTV1 = Sta PPV1 + (½ * LV) = 150 + (1/2 *270)
= (0+285) m
 Elevasi Lengkung Vertikal
 Elevasi untuk daerah PLV1 s/d PPV1
= Elv.PPV1 + g1% (1/2 LV ) + Y’
= 242 + 0% (1/2*270) + Y’
= 242 + 0+Y’
= 242 + Y’
 Elevasi untuk daerah PPV1 s/d PTV1
= Elv.PPV1 + g2% (1/2 LV ) + Y’
= 242 – 1,85% (1/2*270) + Y’
= 239,5025 + Y’

Tabel Perhitungan :
Titik X Stationing Y' Elevasi Trase Elv. jln sebenarnya
(m)
PLV1 0 5 0 242 242
1 33,75 38,75 0,0390 242 241,9610
2 67,5 72,5 0,1561 242 241,8439
3 101,25 106,25 0,3512 242 241,6488
PPV1 135 140 0,6244 242 241,3756
4 101,25 173,75 0,3512 242 241,0244
5 67,5 207,5 0,1561 241,3756 240,5951
6 33,75 241,25 0,0390 240,1269 240,0879
PTV1 0 275 0 239,5025 239,5025
2. Lengkung Vertikal 2 (cekung )
Skema :

Diketahui :
 V renc. = 120 km/jam
 g2 = - 1,85%
 g3 = 0%
 A= g3 – g2 = 0% – (- 1,85%) = +1,85% (cekung)
 Stationing PPV2= ( 0 + 350 ) m
 Elevasi PPV2 = 238,3 m

 Menentukan panjang Lengkung Vertikal (LV)


Berdasarkan grafik V PPGJR diperoleh LV = 75 m ,maka:
A * LV 1,85 * 75
 EV =  = 0,1734375 m
800 800
A * X 2 1,85 * X 2 1,85 * X 2
 Y’ =   = 0,000103 X2
200.LV 200.LV 200 * 75
 Panjang stationing Lengkung Vertikal
 Sta PLV2 = Sta PPV2 – (½ * LV) = 350 – (1/2 *75)
= 312,5 m
 Sta PTV2 = Sta PPV2 + (½ * LV) = 350 + (1/2 *75)
= 387,5 m

 Elevasi Lengkung Vertikal


 Elevasi untuk daerah PLV2 s/d PPV2
= Elv.PPV2 - g2% (1/2 LV )+ Y’
= 238,3 - 1,85% (1/2*75) + Y’
= 238,9937 Y’
 Elevasi untuk daerah PPV2 s/d PTV2
= Elv.PPV2 - g3% (1/2 LV ) + Y’
= 238,3 - 0% (1/2*75) + Y’
= 238,3 +Y’

Tabel Perhitungan
Stationing
Titik X (m) Y' Elevasi Trase Elv. jln sebenarnya
PLV2 0 312,5 0 238,9937 238,9937
1 9,375 321,875 0,0108 238,8203 238,8311
2 18,75 331,250 0,0432 238,6469 238,6901
3 28,125 340,625 0,0973 238,4734 238,5707
PPV2 37,5 350 0,1729 238,3 238,4729
4 28,125 359,375 0,0973 238,3 238,3973
5 18,75 368,750 0,0432 238,3 238,3432
6 9,375 378,125 0,0108 238,3 238,3108
PTV2 0 387,5 0 238,3 238,3
3. Lengkung Vertikal 3 (cekung)
Skema :

Diketahui :
 V renc. = 120 km/jam
 g3 =0%
 g4 = + 2,87%
 A= g4 – g3 = -+ 2,87% – 0% = + 2,87% (cekung)
 Stationing PPV3 = ( 1 + 732 ) m
 Elevasi PPV3 = 238,3 m

 Menentukan panjang Lengkung Vertikal (LV)


Berdasarkan grafik III PPGJR diperoleh LV = 150 m, maka:
A * LV 2,87 * 150
 EV =  = 0,538125 m
800 800
A * X2 2,87 * X 2 2,87 * X 2
 Y’ =   = 9,566 x 10-5
200.LV 200.LV 200 * 150
 Panjang stationing Lengkung Vertikal
 Sta PLV3 = Sta PPV3 – (½ * LV) =732 – (1/2 *1500)
= 657 m
 Sta PTV3 = Sta PPV3 + (½ * LV) = 732 – (1/2 *150) = 807 m
= (1+837,2) m

 Elevasi Lengkung Vertikal


 Elevasi untuk daerah PLV3 s/d PPV3
= Elv. PPV3 – g3% (1/2 LV )- Y’
= 238,3 – 0% (1/2*150) - Y’
= 238,3 + Y’
 Elevasi untuk daerah PPV3 s/d PTV3
= Elv. PPV3 – g4% (1/2 LV )- Y’
= 238,3 – 2,87% (1/2*150) - Y’
= 240,4525 + Y’

Tabel Perhitungan
Titik X Stationing (m) Y' Elevasi Trase Elv. jln sebenarnya
PLV3 0 657 0 238,3 238,3
1 18,75 675,75 0,0336 238,3 238,3336
2 37,5 694,50 0,1345 238,3 238,4345
3 56,25 713,25 0,3027 238,3 238,6027
PPV3 75 732 0,5381 238,3 238,8381
4 56,25 750,75 0,3027 238,3 239,1408
5 37,5 769,50 0,1345 239,3762 239,5107
6 18,75 788,25 0,0336 239,9144 239,9480
PTV3 0 807 0 240,4525 240,4525
4. Lengkung Vertikal 4 (cembung)
Skema :

Diketahui :
 V renc. = 120 km/jam
 g4 = + 2,87 %
 g5 = 0%
 A= g5 – g4 = + 2,87 %– 0% = -+ 2,87 % (cembung)
 Stationing PPV4= (1 +006,8) m
 Elevasi PPV4 = 246,2 m

 Menentukan panjang Lengkung Vertikal (LV)


Berdasarkan grafik III PPGJR diperoleh LV = 388 m ,maka:
A * LV + 2,87 * 388
 EV =  = 1,39195 m
800 800
A * X 2 2,87 * X 2 2,87 * X 2
 Y’ =   = 3,698 x 10-5 X2
200.LV 200.LV 200 * 388
 Panjang stationing Lengkung Vertikal
 Sta PLV4 = Sta PPV4 – (½ * LV) = 1006,8 – (1/2 *388)
= (812,8) m
 Sta PTV4 = Sta PPV4 + (½ * LV) = 1006,8 (1/2 *388)
= (1200,8) m

 Elevasi Lengkung Vertikal


 Elevasi untuk daerah PLV4 s/d PPV4
= Elv.PPV4 – g4% (1/2 LV ) - Y’
= 246,2– 2,87% (1/2*388) - Y’
= 244,9372- Y’
 Elevasi untuk daerah PPV4 s/d PTV4
= Elv.PPV4 – g5% (1/2 LV ) - Y’
= 246,2 – 0 % (1/2 * 388) - Y’
= 246,2- Y’

Tabel Perhitungan
Titik X Stationing (m) Y' Elevasi Trase Elv. jln sebenarnya
PLV4 0 812,8 0 240,1730 240,1730
1 48,5 861,3 0,0869 241,6797 241,5855
2 97 909,8 0,3479 243,1865 242,8098
3 145,5 959,3 0,7829 244,6932 243,8457
PPV4 194 1006,8 1,3918 246,2 244,6933
4 145,5 1055,3 0,7829 246,2 245,3532
5 97 1103,8 0,3479 246,2 245,8233
6 48,5 1152,3 0,0869 246,2 246,1058
PTV4 0 1200,8 0 246,2 246,2
5. Lengkung Vertikal 5 (cembung)
Skema :

Diketahui :
 V renc. = 120 km/jam
 g5 =0%
 g6 = -2,10 %
 A= g6 – g5 = -2,10 % – 0 % = -2,10 % (cembung)
 Stationing PPV5 = ( 1+ 964,4) m
 Elevasi PPV5 = 246,2 m

 Menentukan panjang Lengkung Vertikal (LV)


Berdasarkan grafik V PPGJR diperoleh LV = 310 m ,maka:
A * LV 2,10 * 310
 EV =  = 0,81375 m
800 800
A * X 2 2,10 * X 2 2,10 * X 2
 Y’ =   = 3,38709 x 10-5 X2
200.LV 200.LV 200 * 310
 Panjang stationing Lengkung Vertikal
 Sta PLV5 = Sta PPV5– (½ * LV) =1964,4 – (1/2 *310)
= (1809,4) m
 Sta PTV5 = Sta PPV5 + (½ * LV) = 1964,4 + (1/2 *310)
=2119,4 m
 Elevasi Lengkung Vertikal
 Elevasi untuk daerah PLV5 s/d PPV5
= Elv.PPV5 + g5% (1/2 LV )-Y’
= 246,2 + 0% (1/2*310) - Y’
= 246,2 -Y’
 Elevasi untuk daerah PPV5 s/d PTV5
= Elv.PPV5 + g6% (1/2 LV ) + Y’
= 246,2 + 2,10 % (1/2*75) + Y’
= 242,9450 - Y’

Tabel Perhitungan

Titik X Stationing (m) Y' Elevasi Trase Elv. jln sebenarnya


PLV5 0 1809,4 0 246,2 246,2
1 38,75 1848,15 0,0508 246,2 246,1492
2 77,50 1886,9 0,2034 246,2 245,9966
3 116,25 1925,65 0,4577 246,2 245,7423
PPV5 155 1964,4 0,8137 246,2 245,3863
4 116,25 2003,15 0,4577 245,3862 244,9285
5 77,50 2041,9 0,2034 244,5725 244,3691
6 38,75 2080,65 0,0508 243,7587 243,7079
PTV5 0 2119,4 0 242,9450 242,9450
6. Lengkung Vertikal 6 (cekung)
Skema :

Diketahui :
 V renc = 120 km/jam
 g6 = -2,10%
 g7 = 0%
 A= g7 – g6 = 0% – (-2,10%) = +2,10% (cekung)
 Stationing PPV6 = ( 2 + 164,4 ) m
 Elevasi PPV6 = 242 m
 Menentukan panjang Lengkung Vertikal (LV)
Berdasarkan grafik V PPGJR diperoleh LV = 75 m ,maka:
A * LV 2,10% * 75
 EV =  = 0,196875 m
800 800
A * X 2 2,10 * X 2 2,10 * X 2
 Y’ =   = 1,4 x-4 X2
200.LV 200.LV 200 * 75
 Panjang stationing Lengkung Vertikal
 Sta PLV6 = Sta PPV6 – (½ * LV) = 2164,4 – (1/2 *75
= (2126,9) m
 Sta PTV6 = Sta PPV6 + (½ * LV) = 2164,4 + (1/2 *75)
= (2201,96) m

 Elevasi Lengkung Vertikal


 Elevasi untuk daerah PLV6 s/d PPV6
= Elv. PPV6 + g6% (1/2 LV ) + Y’
= 242 + 2,10 % (1/2*75) + Y’
= 242,7875 + Y’
 Elevasi untuk daerah PPV6 s/d PTV6
= Elv. PPV6 + g7% (1/2 LV ) + Y’
= 242 + 0% (1/2*75) + Y’
= 242 + Y’

Tabel Perhitungan
Titik X Stationing (m) Y' Elevasi Trase Elv. jln sebenarnya
PLV6 0 2126,9 0 242,7875 242,7875
1 9,375 2136,275 0,0123 242,5906 242,6029
2 18,75 2145,650 0,0492 242,3937 242,4429
3 28,125 2155,025 0,1107 242,1969 242,3076
PPV6 37,5 2164,4 0,1969 242 242,1969
4 28,125 2173,775 0,1107 242 242,1107
5 18,75 2183,150 0,0492 242 242,0492
6 9,375 2192,525 0,0123 242 242,0123
PTV6 0 2201,9 0 242 242
7. Lengkung Vertikal 7 (cekung)
Skema :

Diketahui :
 Vrenc. = 120 km/jam
 g7 = 0%
 g8 = +1 %
 A= g8 – g7 = +1 %– 0% = +1 % (cekung)
 Stationing PPV7 = (3+032,4) m
 Elevasi PPV7 = 242 m
 Menentukan panjang Lengkung Vertikal (LV)
Berdasarkan grafik III PPGJR diperoleh LV = 75 m ,maka:
A * LV  1 * 75
 EV =  = 0,09375 m
800 800
A * X2 1* X 2 1* X 2
 Y’ =   = 6,6 * 10-5* X2
200.LV 200.LV 200 * 75
 Panjang stationing Lengkung Vertikal
 Sta PLV7 = Sta PPV7 – (½ * LV) = 3032,4 – (1/2 *75)
= (2994,9) m
 Sta PTV7 = Sta PPV7 + (½ * LV) = 3032,4 + (1/2 *75)
= (3069,9) m
 Elevasi Lengkung Vertikal
 Elevasi untuk daerah PLV7 s/d PPV7
= Elv.PPV7 – g7% (1/2 LV ) - Y’
= 242+0% (1/2*75) - Y’
= 242 +Y’
 Elevasi untuk daerah PPV7 s/d PTV7
= Elv.PPV7 – g8% (1/2 LV ) - Y’
= 242+1% (1/2*75) - Y’
= 242,3750 +Y’

Tabel Perhitungan
Titik X Stationing (m) Y' Elevasi Trase Elv. jln sebenarnya
PLV7 0 2994,9 0 242 242
1 9,375 3004,275 0,0058 242 242,0058
2 18,75 3013,65 0,0232 242 242,0232
3 28,125 3023,025 0,0522 242 242,0522
PPV7 37,5 3032,4 0,0928 242 242,0922
4 28,125 3041,775 0,0522 242,0937 242,1459
5 18,75 3051,15 0,0232 242,1875 242,2107
6 9,375 3060,525 0,0058 242,2812 242,2870
PTV7 0,00 3069,9 0 242,3750 242,3750
8. Lengkung Vertikal 8 (cembung)
Skema :

Diketahui :
 Vrenc. = 120 km/jam
 g8 = +1 %
 g9 = 0%
 A= g9 – g8 = 0% – +1 %= -0,95% (cembung)
 Stationing PPV8 = ( 3 +232,4 ) m
 Elevasi PPV8 = 244 m
 Menentukan panjang Lengkung Vertikal (LV)
Berdasarkan grafik V PPGJR diperoleh LV = 70 m ,maka:
A * LV 1 * 70
 EV =  = 0,0875 m
800 800
A * X2 1* X 2 1* X 2
 Y’ =   = 7,14286 * 10-5* X2
200.LV 200.LV 200 * 70
 Panjang stationing LengkungVertikal
 Sta PLV8 = Sta PPV8 – (½ * LV) = 3232,4 – (1/2 *70)
= (3137,4) m
 Sta PTV8 = Sta PPV8 + (½ * LV) = 3232,4 + (1/2 *70)
= (3267,4) m
 Elevasi Lengkung Vertikal
 Elevasi untuk daerah PLV8 s/d PPV8
= Elv.PPV8 + g8% (1/2 LV ) + Y’
= 244+ 1% (1/2*70) + Y’
= 243,65 + Y’
 Elevasi untuk daerah PPV8 s/d PTV8
= Elv.PPV8 + g9% (1/2 LV ) + Y’
= 244 + 0% (1/2*70) + Y’
= 244+Y’

Tabel Perhitungan
Titik X Stationing (m) Y' Elevasi Trase Elv. jln sebenarnya
PLV8 0 3197,4 0 243,65 243,65
1 8,75 3206,15 0,0055 243,7375 243,732
2 17,5 3214,9 0,0219 243,825 243,8031
3 26,25 3223,65 0,0492 243,9125 243,8633
PPV8 35 3232,4 0,0875 244 243,9125
4 26,25 3241,15 0,0492 244 243,9508
5 17,5 3249,9 0,0219 244 243,9781
6 8,75 3258,65 0,0055 244 243,9945
PTV8 0 3267,4 0 244 244
BAB IX

JARAK PANDANG HENTI DAN MENYIAP

Jarak pandang adalah bagian yang berada di depan pengemudi yang masih
dapat dilihat dengan jelas dari titik kedudukan mata pengemudi.

Besarnya jarak pandang tergantung kepada reaksi :

1. Reaksi pengemudi
2. Waktu yang diperlukan untuk menghindari bahaya
3. Kecepatan kendaraan

Untuk mendapatkan jarak pandang aman harus disesuaikan dengan :

1. Jarak pandang henti

Jarak pandang henti adalah jarak yang diperlukan oleh pengemudi untuk
menghentikan kendaraannnya setelah ia mengetahui bahaya rintangan di depan
lintasan.
Gambar IX.1. Jarak Pandang Henti

Jarak PI EV adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan saat pengemudi


melihat suatu rintangan sampai pengemudi menginjak rem.

Jarak PI EV :

PP = 0,278 . V . t

Jarak rem :

V2
Df = 254 .f

Keterangan :

t = t1 + t2 > 2,5 detik

V = Kecepatan rencana

t1 = Waktu sadar = 1,5 detik

t2 = Waktu reaksi mengerem

f = Koefisien gesekan ban di jalan

Maka :

JPH = DP + DR

Untuk daerah landai :

M2
DR = 254 .(f ±L)

Dimana :

+L = Pendakian

- L = Penuruan
2. Jarak Pandang Menyiap

Jarak pandang menyiap adalah jarak yang diperlukan untuk melaksanakan


gerakan menyiap kendaraan yang lain yang ada di depannya dengan aman sampai
kendaraan tersebut kembali pada jalur semula.

Gambar IX.2. Tahapan Dalam Menyiap

Dasar dalam menyiap :

a. Kendaraan B bergerak / berjalan dengan kecepatan tinggi


b. Untuk melakukan / memasuki daerah penyiapan, kendaraan A telah
mempunyai kecepatan yang sama dengan kendaraan B (VA = VB)
c. Pada saat permulaan berada di daerah penyiapan, pengemudi A mengamati
daerah penyiapan yang didepan
d. Bila pengemudi sudah yakin betul maka ia akan melakukan gerakan menyiap
dengan kecepatan yang lebih tinggi dari sebelumnnya
e. Dalam keadaan menyiap kendaraan A mempercepat kendaraanya dari
kendaraan B
f. Akhir kendaraan A pada posisi semula atau berada di depan kendaraan B
g. Kendaraan A dianggap sama kecepatannya dengan kendaraan B

2Ø 5 1472,4
= 2𝜋R Ø=
360 R

5. 𝐷
Ø= 50

Tabel IX.1. Kecepatan Mendahului Berdasarkan Kecepatan Rencana


Kecepatan Kecepatan asumsi
rencana Kecepatan Kecepatan Terhitung Dibulatkan
(mph) yang mendahului
didahuliu
20 20 30 806 810
30 36 36 1090 1100
40 34 44 1480 1500
50 41 55 1486 1800
60 47 57 2140 2100
65 50 60 2810 2900
70 54 64 2496 2500
85 59 69 2740 2800

Dari uraian diatas, jarak pandang menyiap ditentukan dengan 4 macam


jarak yaitu : d1, d2, d3 dan d4.
3. Jarak pandang lebih besar dari panjang tikungan (S > L)

a a

R R

Ø Ø

S = L + 2d

A = ½ (S – L)

90 −𝐿
Ø = 𝜋R

m = R (1 – cos Ø) + ½ (S – L) sin Ø

Tabel IX.2. Jarak Pandang Henti Dan Menyiap Berdasarkan Kecepatan Rencana
Jarak Pandang Henti Dan Kelompok kecepatan (mph)
Menyiap 30 – 40 40 – 50 50 – 60 60 – 70
Kecepatan rata-rata
menyiap maneuver awal
a. Percepatan rata-rata 1,4 1,45 1,47 1,50
(mph/detik)
b. Waktu (detik) 3,6 4 4,30 4,50
c. Jarak tempuh (ft) 1,45 2,5 2,96 3,70
Pada jalur kanan
t2 = Waktu (detik) 9,3 10 10 11,3
d1 = Jarak tempuh (ft) 473 640 82,5 103

Panjang clearence 100 180 250 300


d3 = Jarak tempuh (ft)
Kendaraan perlawanan 315 425 550 680
dengan jarak tempuh (ft)
Jarak total (d) = d1 + d2 + 1635 1460 1915 2380
d3 + d4
Perbedaan kecepatan antar 10 10 10 10
kendaraan

4. Jarak pandang menyiap

Jarak pandang menyiap adalah jarak pandang yang diperlukan untuk


menyusul kendaraan lain yang dipergunakan pada jalan dua jalur. Pada umumnya,
pada waktu menyusul kendaraan lain yang telah lebih cepat harus dilakukan
dengan menggunakan jalur lintas lawan.

Sebelum berhadapan dengan kendaraan yang mungkin datang melakukan


penyusulan. Dasar penetapan jarak pandang menyiap :

a. Kendaraan yang ingin dilalui berjalan dengan kecepatam tetap


b. Waktu memasuki daerah penyiapan kendaraan yang akan menyiap telah
mengurangi kecepatan
c. Pada saat permulaan pengemudi mengamati daerah penyiapan
d. Dalam gerakan menyiap kendaraan mempercepat kendaraannya diatas 15
km/jam
e. Kenyataan bahwa menyiap kendaraan kembali ke jalan semula

5. Ketentuan mengukur jarak pandang

Jarak pandang diukur dari ketinggian mata pengemudi sampai ke puncak


penghalang.

 Untuk pandangan henti : Tinggi mata


pengemudi : 7,25 cm
Tinggi penghalang : 70 cm
 Untuk pandangan menyiap : Tinggi mata
pengemudi : 125 cm
Tinggi penghalang : 70 cm

Jarak pandang henti minimum adalah jarak pandang yang diperlukan oleh
suatu jalan raya dengan kecepatan tertentu dapat diturunkan dan hasilnya
sebagaimana tercantum dalam daftar berikut :

Tabel IX.3. Jarak Pandang Henti Berdasarkan Kecepatan Rencana


Kecepatan Kecepatan dalam Jarak pandang henti
rencana keadaan bosan Dianjurkan Nilai
(km/jam)
60 56 75 76
800 71 115 120
100 87 165 166
120 100 250 230

Jarak pandang tersebut meskipun diturunkan berdasarkan kecepatan


rencana, tetapi pada umumnya dapat dianggap umum. Berdasarkan pertimbangan
bahwa kebutuhan aman, jarak mengerem lebih besar untuk kendaraan massanya
relative.

a. Tinggi mata pengemudi truk lebih besar dari pada tinggi mata pengemudi
mobil penumpang
b. Pada umumnya kendaraan truk bergerak lebih lambat dari mobil penumpang

Besarnya jatak pandang menyiap minimum yang diperlukan oleh suatu


jalan raya dengan kecepatan tertentu tercantum dalam daftar :

Tabel IX.4. Jarak Pandang Menyiap Berdasarkan Kecepatan Rencana


Kecepatan rencana Jarak pandang menyiap
(km/jam) 2 Jalur 3 Jalur
60 300 250
80 520 310
100 670 470
120 796 570

Penyediaan jarak pandang pada alignment vertikal :

Cembung :

1. Jarak pandang pada daerah lengkung


𝐴 . 𝑆2
L = 100√2ℎ1+ √2ℎ2

2. Jarak pandang melampaui jarak pandang lengkung


200 (√ℎ1+ √ℎ2)2
Ls = 25 – 𝐴

Dimana :
A = g2 – g1
S = Jarak pandang
L = Panjang lengkung vertical

Berdasarkan jarak pandang henti


L = A . 𝑆 2 ……………S < L

ℎ2
L = 25 – …………S > L

Berdasarkan jarak pandang menyiap

𝐴 . 𝑆2
L = 1000 ……………..S < L

1000
L = 25 – ………..S > L
𝐴

Cekung :

Untuk lengkung cekung yang paling berbahaya adalah pada malam hari,
ditentukan berdasarkan penyiaran lampu, jarak ini di ukur dari lampu yang
mempunyai ketinggian, pada umumnya adalah sebesar 0,75 m dari perencanaan
sinar keatas sebesar 1°.

150+3,5𝑆
L = 25 – …...S > L
𝐴

𝐴 . 𝑆2
L= ………...S < L
250+3,5𝑆

Tabel IX.5. Jarak Pandang Menyiap


Kecepatan Kecepatan asumsi DPM (ft)
rencana Kecepatan Kecepatan Dihitung Dibulatkan
(mph) yang mendahului
didahului
20 20 30 810 800
30 26 36 1090 1100
40 34 44 1480 1500
60 47 51 2140 2100
65 50 60 2310 2300
70 54 64 2490 2500
75 55 66 2600 2600
85 59 69 2740 2800
Tabel IX.6. Jarak Pandang Henti
Kecepatan rencana Waktu Koefisien Jarak pandang henti
mph m/s (s) gesekan terhitung dibulatkan
20 39,19 2,5 0,40 106 120
30 40,28 2,5 0,35 178 – 196 200
40 64,38 2,5 0,32 267 – 314 275 – 325
50 80,47 2,5 0,30 316 – 461 375 – 475
60 96,57 2,5 0,29 502 – 634 225 – 650
65 104,62 2,5 0,29 550 – 724 550 – 725
70 112,66 2,5 0,20 613 – 840 605 – 880
75 120,71 2,5 0,28 667 – 645 675 – 450
80 128,76 2,5 0,27 741 – 1083 700 –
1100
1 mph = 1,6095 km/jam

1 ft = 0,358 m

Tabel IX.7. Koefisien Gesekan


Kecepatan rencana
Kecepatan (km/jam) f (koefisien gesekan)
(mph)
70 112,685 0,28
65 164,618 0,29
60 96,510 0,29
50 80,475 0,30
40 64,188 0,32
30 48,285 0,35
d1 = Jarak yang diperlukan/ditempuh kendaraan selama PI EV

d1 = 147 + 1{(V – m) + (1/2 . a . t1)}

dimana :

t1 = Waktu PI EV

V = Kecepatan rata-rata kendaraan


m = Perbedaan kecepatan kedua kendaraan

a = Perbedaan rata-rata (2,23 – 2,36)

d1 = Jarak yang ditempuh kendaraan selama waktu tanggap (m)

d2 = Jarak antara kendaraan mendahului dengan kendaraan arah berlawanan,


setelah proses mendahului sampai kembali ke lajur semula.

d3 = Jarak antara kendaraan mendahului dengan kendaraan arah berlawanan,


setelah proses mendahului

d4 = Jarak tempuh kendaraan yang datang dari arah berlawanan

Maka besarnya jarak pandang menyiap (dpm) :

dpm = d1 + d2 + d3 + d4

Dalam meninjau jarak kebebasan samping suatu tikungan ada dua


kemungkinan sebagai pendekatan, yaitu :

1. Jarak pandang lebih kecil dari panjang tikungan (S < L)

TS ST

R R

Ø Ø
O

Keterangan :

AB = Garis pandang

TS – C – ST = Jarak L panjang tikungan

m = Ordinat tengah sumbu jalur dalam kepengkolan

Ø = ½ sudut putar busur lingkaran sepanjang S

m = R (1 – cos Ø)

Perhitungan Jarak Pandang Pada Tikungan :

1. Jarak pandang henti

Tabel IX.8. Perhitungan Jarak Pandang Henti


PPV PPV PPV PPV PPV PPV PPV PPV
A–
1– 2– 3– 4– 5– 6– 7– 8–
Stationing PPV
PPV PPV PPV PPV PPV PPV PPV C
1
2 3 4 5 6 7 8
V = Kec rencana 120 120 120 120 120 120 120 120 120
f = Koef gesek 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28
g = Kelandaian -
0 0 2,87 0 -2,1 0 1 0
(%) 1,85
D1 = 0,278vt (m) 83,4 83,4 83,4 83,4 83,4 83,4 83,4 83,4 83,4
𝑉2
D2 = 254 (𝑓 ± 𝑔) 202, 36,1 202, 17,9 202, 31,1 202, 44,2 202,

(m) 47 1 47 8 47 5 47 9 47

285, 119, 285, 101, 285, 114, 285, 127, 285,


DPH = D1 + D2
87 51 87 38 87 55 87 69 87
t2 = diambil 2,5 detik

2. Jarak pandang menyiap (mendahului)

Kecepatan rencana = 120 km/jam = 74,557 mph


Dari table : VR = 70 mph ; Kecepatan mendahului 64 mph

VR = 75 mph ; Kecepatan mendahului 66 mph

Untuk VR = 74,557

74,557 − 70
Kecepatan mendahului = 64 + ( ) x (66 – 44)
75 − 70

= 65,823 mph

Moment mendahului VR = 120 km/jam = 74,557 mph

a = Percepatan rata-rata (mph/detik) = 1,53

1,53 x 1,6095 = 2,46 km/jam

T2 = Waktu kendaraan menyiap di jalur lawan (detik) = 12

m = Selisih kecepatan kendaraan yang menyiap dan disiap (mph) = 10

10 x 1,6095 = 16,095 km/jam

a. D1 = Jarak yang ditempuh selama waktu tanggap

𝑎 . 𝑡1
D1 = 0,278 t1 (V mendahului – m + )
2

1,53 . 4,8
D1 = 0,278 . 4,8 (65,823 – 10 + )
2

D1 = 79,39 m

b. D2 = Jarak yang ditempuh selama mendahului sampai kembali ke jalur


semula (m)

D2 = 0,278 V mendahului . t2

D2 = 0,278 . 65,823 . 12

D2 = 219,58 m

c. D3 = Jarak pergerakan menyalip di akhir gerakan dengan kendaraan daerah


lawan
D3 = 300 ft ; 1 ft = 0,3048 m

D3 = 300 . 0,3048

D3 = 91,44 m

d. D4 = 2/3 . D2

D4 = 2/3 . 219,58

D4 = 146,38 m

DPM = D1 + D2 + D3 + D4

= 79,39 + 219,58 + 91,44 + 146,38

= 536,79 m

Perhitungan Jarak Pandang Dalam Alignment Horizontal :

1. Berdasarkan Jarak Pandang Henti


a. Tikungan I (S-C-S)

Dengan : VR = 120 km/jam

R = 1700 m

Ls = 70 m

Lc = 612,4509 m

L = 2LS + LC

= 2 (70) + 612,4509

= 752,4509 m

Berdasarkan jarak pandang henti S < L

S = DPH = 285,87 < 752,4509 m ….. (Ok)

90° 𝐿 90° . 285,87


Ø = = = 4°49’11,42”
𝜋𝑅 3,14 . 1700
m = R (1 - cos Ø)

= 1700 (1 – cos 4°49’11,42”)

= 6,0115 m

b. Tikungan II (S-C-S)

Dengan : VR = 120 km/jam

R = 1000 m

Ls = 80 m

Lc = 730,3815 m

L = 2LS + LC

= 2 (80) + 730,3815

= 890,3815 m

Berdasarkan jarak pandang henti S < L

S = DPH = 285,87 < 890,3815 m ….. (Ok)

90° 𝐿 90° . 285,87


Ø = = = 8°11’37,414”
𝜋𝑅 3,14 . 1000

m = R (1 - cos Ø)

= 1000 (1 – cos 8°11’37,414”)

= 10,2081 m

c. Tikungan III (S-C-S)

Dengan : VR = 120 km/jam

R = 900 m

Ls = 80 m

Lc = 716,0462 m
L = 2LS + LC

= 2 (80) + 716,0462

= 876,0462 m

Berdasarkan jarak pandang henti S < L

S = DPH = 285,87 < 876,0462 m ….. (Ok)

90° 𝐿 90° . 285,87


Ø = = = 9°6’14,9045”
𝜋𝑅 3,14 . 900

m = R (1 - cos Ø)

= 900 (1 – cos 9°6’14,9045”)

= 11,3379 m

2. Berdasarkan Jarak Pandang Menyiap


a. Tikungan I (S-C-S)

Berdasarkan jarak pandang menyiap S < L

S = DPM = 536,79 m < 752,4509 m …..(Ok)

90° 𝐿 90° . 752,4509


Ø = =2. = 6°20’35,7148”
2𝜋𝑅 3,14 . 1700

m = R (1 – cos Ø) + ½ (S – L) sin Ø

= 1700 (1 – cos 6°20’35,7148”) + ½ (536,79 – 752,4509) sin 6°20’35,7148”

= 10,39 m

b. Tikungan II (S-C-S)

Berdasarkan jarak pandang menyiap S < L

S = DPM = 536,79 m < 890,3815 m …..(Ok)


90° 𝐿 90° . 890,3815
Ø = =2. = 12°45’36,8799”
2𝜋𝑅 3,14 . 1000

m = R (1 – cos Ø) + ½ (S – L) sin Ø

= 1000 (1 – cos 12°45’36,8799”) + ½ (536,79 – 890,3815) sin 12°45’36,8799”

= 24,69 m

c. Tikungan III (S-C-S)

Berdasarkan jarak pandang menyiap S < L

S = DPM = 536,79 m < 876,0462 m …..(Ok)

90° 𝐿 90° . 876,0462


Ø = = = 13°56’59,2089”
2𝜋𝑅 2 . 3,14 . 900

m = R (1 – cos Ø) + ½ (S – L) sin Ø

= 900 (1 – cos 13°56’59,2089”) + ½ (536,79 – 876,0462) sin 13°56’59,2089”

= 26,54 m

BAB X
RENCANA PERKERASAN

1. Data CBR Subgrade :

Lapisan 1 Lapisan 2 Lapisan 3


No (35) (33) (32)
(Bawah) (Tengah) (Atas)
1 3,24 6,24 9,29
2 3,47 7,77 8,95
3 4,39 7,49 8,42
4 4,42 7,31 9,78
5 4,61 6,91 9,41
6 3,93 7,78 9,39
7 4,65 7,93 9,77
8 4,12 7,88 9,93
9 3,98 7,56 9,12
10 3,85 6,81 8,95
11 3,79 6,97 9,08
12 3,84 6,84 9,04

2. Data Lalu Lintas :

No Jenis Kendaraan Tonase Jumlah Kendaraan


1 Kend. Ringan 2 1312
2 Bus 6 982
3 Truk Ringan 4,9 839
4 Truk Sedang 9,8 772
5 Truk Berat 24 662

3. Tingkat Pertumbuhan Lalu Lintas (i) = 8,12%


4. Indeks Permukaan Jalan : IP0 = 4,0 ; IPt = 2,5
5. Persentase Kelandaian Jalan (Landai Jalan) i = 1,38%
6. Umur Rencana (n) = 20 Tahun
7. Curah Hujan ≤ 900 mm/ Tahun
PERHITUNGAN
1. Menghitung CBRDesign dengan cara CBRTitik
a. Subgrade :
Nama Lapisan Tebal (cm)
Atas (H1) 32
Tengah (H2) 33
Bawah (H3) 35

b. Data CBR Subgrade :

Lapisan 1 Lapisan 2 Lapisan 3


No (32) (33) (35) CBRTitik
(Bawah) (Tengah) (Atas)
1 3,24 6,24 9,29 5,81
2 3,47 7,77 8,95 6,31
3 4,39 7,49 8,42 6,54
4 4,42 7,31 9,78 6,85
5 4,61 6,91 9,41 6,71
6 3,93 7,78 9,39 6,66
7 4,65 7,93 9,77 7,15
8 4,12 7,88 9,93 6,92
9 3,98 7,56 9,12 6,55
10 3,85 6,81 8,95 6,21
11 3,79 6,97 9,08 6,27
12 3,84 6,84 9,04 6,24
∑ 78,22

Contoh Hitungan :
1 1 1 3
H3 ×CBRBawah 3+H2 ×CBRtengah 3 +H1 ×CBRatas 3
CBRmin = [ ]
H3 +H2 +H1

1 1 1 3
35×(3,24)3+33×(6,24)3+ 32 ×(9,29)3
=[ ]
35 + 33 + 32

= 5,81

∑ CBRtitik 78,22
CBR = = = 6,52
n 12

2. Menghitung Simpangan Baku (σ)


∑(CBRtitik −CBR)2
σ= √ n−1

(5,81−6,52) 2+(6,31−6.52)2 +(6,54−6.52)2 +(6,85−6.52)2+(6,71−6.52)2+(6,66−6.52)2 +


√(7,15−6.52)2+(6,92−6.52)2 +(6,55−6.52)2 +(6,21−6.52)2+(6,27−6.52)2+(6,24−6.52)2
= 12−1

= 0,3702

Dengan Pendekatan Statistika (Statistical Approach) :


̂ = CBR (k × σ )
CBR
Dengan Probalitas (P) = 90%, maka nilai k = 1,281

̂ = 6,52 (1,281 × 0,3702)


CBR
= 6,05%≥ CBRmin......................ok
Probalitas
K CBRdesign
%
94 1,555 5,94
93 1,476 5,97
92 1,405 6,00
91 1,340 6,02
90 1,281 6,05
60 0,253 6,43
3. Menghitung Angka Ekivalen (E) Beban Kendaraan
Beban Sumbu Tunggal 4
Rumus : FE = [ ]
8160

Nilai K untuk koefisien pengali beban sumbu


 Untuk Sumbu Tunggal = 1
 Untuk Sumbu Ganda = 0,086
 Untuk Sumbu Tripple = 0,021

Jenis Tonas Distribusi


Ekivalen
Kendaraan e (ton) Pembebanan
Kend. 1000 4 1000 4
2 1+1 [ ] +[ ] = 0,000451
Ringan 8160 8160

2000 4 4000 4
Bus 6 2+4 [ ] +[ ] = 0,06135
8160 8160
Truk 2000 4 2900 4
4,9 2 + 2,9 [ ] +[ ] = 0,01956
Ringan 8160 8160
Truk 4000 4 5900 4
9,8 4 + 5,8 [ ] +[ ] = 0,33105
Sedang 8160 8160
8000 4 8000 4
[ ] + 0,086. [ ]
8160 8160
Truk Berat 24 8 + 8.8 = 1,08275
8000 4
+ 0,086. [ ]
8160

4. Menghitung Nilai Lintas Ekivalen Rencana (LER)


Rumus :
n

LEP = ∑ LHRo × cj × dj
i=1

LEA = LEP × (1 + i)n


Σ LEP + Σ LEA
LET =
2
Σ LEP + Σ LEA UR
LER = LET × FP = ×
2 10
Keterangan :
LHR = Lintas Harian rata – rata (Kend/Hari)
n = Umur Rencana / Masa Layan (tahun)
i = Pertumbuhan Lalu Lintas Rata – Rata (%)
dj = Koefisien DistribusiKendaraan
cj = Faktor Distribusi Lajur Kendaraan untukLebar Perkerasan (m) 11,25
> L < 15
E = Angka Ekivalen masing – masing kendaraan
LER = Lintas Ekivalen Rencana
LEA = Lintas Ekivalen Akhir
LET = Lintas Ekivalen Tengah
Tabel II-1 : Faktor Distribusi Kendaraan
Lebar Jumlah Kendaraan Ringan *) Kendaraan Berat **)
Perkeasan (m) Lajur 1 Arah 2 Arah 1 Arah 2 Arah
L < 5,50 1 1,00 1,00 1,00 1,00
5,50 ≤ L < 8,25 2 0,60 0,50 0,70 0,50
8,25 ≤ L ,
3 0,40 0,40 0,50 0,475
11,25
11,25 ≤ L < 15 4 0,30 0,45
15 > L < 18,75 5 0,25 0,425
18,75 ≤ L <22 6 0,20 0,40
Catatan : *) berat total < 5 ton, misalnya mobil penumpang, pick up,
mobil bantaran
**) berat total ≥ 5 ton, misalnya bis, truck, traktor, semi strailler, trailler

Jenis
No Tonase Jlh. Kend. i (%) cj n dj E
Kendaraan
1 2 3 5 6 7 8 9
1 Kend. Ringan 2 1312 8,12 0,25 20 1 0,000451
2 Bus 6 982 8,12 0,425 20 1 0,06135
3 Truk Ringan 4,9 839 8,12 0,25 20 1 0,01956
4 Truk Sedang 9,8 772 8,12 0,425 20 1 0,31298
5 Truk Berat 24 662 8,12 0,425 20 1 1,08275

Jenis
No LEP LEA
Kendaraan
10 12 13
1 Kend. Ringan 0,147959 0,705121
2 Bus 25,604051 122,019552
3 Truk Ringan 4,102996 19,553383
4 Truk Sedang 102,689351 489,379925
5 Truk Berat 304,630823 1451,759193
∑ 437,175182 2083,417175

Langkah hitungan tabel di atas:


LHR0 = Jumlah Kendaraan
= 1312 = 1312
LEP = LHR × dj × cj × E
= 1312 × 1 × 0,25 × 0,000451= 0,147959
LEA = LEP (1+ i) n
= 0,147959× ( 1 + 8,12%)20 = 0,705121

Σ LEP + Σ LEA
LET = `
2
437,175182+2083,417175
= = 1260,296179
2

UR
LER = LET × 10
20
= 1260,296179 × 10

= 2520,5924 ESA/day

5. Menghitung Faktor Regional


FR = f (% Kelandaian, % Kendaraan berat, Curah Hujan)
Persentase kelandaian : 1,38%
Jumlah Kendaraan Berat
Persentase Kendaraan Berat = × 100%
Jumlah total kendaraan
982+772+662
= 1312+982+839+772+662 × 100% = 52,90%

Dengan : %  Kelandaian = 1,38%


%  Kendaraan Berat = 52,90%
%  Curah Hujan = > 900 mm/thn
Maka, dari Tabel II.3. Teori Perkerasan 2 halaman 4 diperoleh FR = 2,5

Tabel II.3. Teori Perkerasan 2 Halaman 4 “Faktor Regional”


Landai jalan II (6-
Landai jalan I (<6%) Landai jalan I (>10%)
10%)
%Curah Hujan
% Kendaraan Berat % Kendaraan Berat % Kendaraan Berat
≤ 30% >30% ≤ 30% >30% ≤ 30% >30%
Curah Hujan I 1,0 –
0,5 1,0 1,5 – 2,0 1,5 2,0 – 2,5
(≤900 mm/thn) 1,5
Curah Hujan II 2,0 –
1,5 2,0 2,5 – 3,0 2,5 3,0 – 3,5
(>900 mm/thn) 2,5

MENGHITUNG TEBAL PERKERASAN


A. KONSTRUKSI LANGSUNG
LER = 2520,5924 ESA/DAY
FR = 2,5
CBRdesign = 6,05 %
IPO = 4,0 (Lap. Perkerasan dari LASTON)
IPt = 2,5
Surface Coarse = Laston SM – 744 Kg
Base Coarse = Batu Pecah Kelas A, CBR 100%
Sub base Coarse = Sirtu/Pirtun Kelas A, CBR 70%

Tabel II-2 : Koefisien Kekuatan Relatif


Koef. Kekuatan Relatif Kekuatan Bahan Jenis Perkerasan
a1 a2 a3 SM (kg) Kt (Kg/Cm2) CBD (%) Jenis Lap. Perkerasan
0,4 - - 744 - - LASTON
0,35 - - 590 - -
0,32 - - 454 - -
0,3 - - 340 - -

0,35 - - 744 - - LASBUTAG


0,31 - - 590 - -
0,28 - - 454 - -
0,26 - - 340 - -

0,3 - - 340 - - HRA


0,26 - - 340 - - Aspal Macadam

0,25 - - - - - LAPEN (Mekanis)


0,2 - - - - - LAPEN (Manual)

- 0,28 - 590 - - Laston Atas


- 0,26 - 454 - -
- 0,24 - 340 - -

- 0,23 - - - - LAPEN (Mekanis)


- 0,19 - - - - LAPEN (Manual)

- 0,15 - - 22 - Stab Tanah dgn Semen


- 0,13 - - 18 -

- 0,15 - - 22 - Stap Tanah dgn Kapur


- 0,13 - - 18 -

- 0,14 - - - 100 Batu Pecah Kelas A


- 0,13 - - - 80 Batu Pecah Kelas B
- 0,12 - - - 60 Batu Pecah Kelas C

- - 0,13 - - 70 Sirtu/Pitrun Kelas A


- - 0,12 - - 50 Sirtu/Pitrun Kelas B
- - 0,11 - - 30 Sirtu/Pitrun Kelas C

- - 0,1 - - 20 Lempung Kepasiran

1. Menghitung DDT (Daya Dukung Tanah)


CBRdesign = 6,05%
DDT4 = 4,3 × log (6,05) + 1,7
DDT4 = 5,06
CBRSub base = 50%
DDT3 = 4,3 × log (70) + 1,7
DDT3 = 9,63
CBRbase = 80%
DDT2 = 4,3 × log (100) + 1,7
DDT2 =10,30

2. Menghitung ITP (Indeks Tebal Perkerasan)

4,0−2,5
ITP log( ) 1
4,2−1,5
Log (N) = 9,36 × Log (2,54 + 1) − 0,20 + 1094 + log (FR) + 0,372 ×
0,4+ 5,19
ITP
( +1)
2,54

(DDT − 3)
N = LER × 3650 = 2520,5924 × 3650 = 9200162,26 ESA/day

Log (N) = 6,96379548

a. Menghitung ITP4
4,0−2,5
ITP4 log( ) 1
4,2−1,5
Log N = 9,36 × Log ( 2,54 + 1) − 0,20 + 1094 + log (FR) + 0,372 ×
0,4+ 5,19
ITP4
( +1)
2,54

(DDT4 − 3)

4,0−2,5
ITP4 log( ) 1
4,2−1,5
6,96379548 = 9,36 × Log ( 2,54 + 1) − 0,20 + 1094 + log (2,5) +
0,4+ 5,19
ITP4
( +1)
2,54

0,372 × (5,06 − 3)

ITP -0,2552725051
9,36 × Log ( 2,544 + 1) + 1094 = 6,794839591
0,4+ 5,19
ITP4
( +1)
2,54

ITP
Misalkan ( 2,544 + 1)= x
-0,2552725051
9,36 × Log (x) + 1094 = 6,794839591
0,4+
(x)5,19

Dengan Cara Triall and Error di dapat x = 6,037062245

ITP
( 2,544 + 1) = 6,037062245

ITP4 = (6,037062245  1) × 2,54

ITP4 = 12,79 cm

b. Menghitung ITP3
4,0−2,5
ITP3 log( ) 1
4,2−1,5
Log N = 9,36 × Log ( 2,54 + 1) − 0,20 + 1094 + log (FR) + 0,372 ×
0,4+ 5,19
ITP3
( +1)
2,54

(DDT3 − 3)
4,0−2,5
ITP3 log( ) 1
4,2−1,5
6,96379548 = 9,36 × Log ( 2,54 + 1) − 0,20 + 1094 + log (2,5) +
0,4+ 5,19
ITP3
( +1)
2,54

0,372 × (9,63 − 3)

ITP -0,2552725051
9,36 × Log ( 2,543 + 1) + 1094 = 5,093916663
0,4+ 5,19
ITP3
( +1)
2,54

ITP
Misalkan ( 2,543 + 1)= x

-0,2552725051
9,36 × Log(x) + 1094 = 5,093916663
0,4+
(x)5,19

Dengan Cara Triall and Error di dapat x = 3,630962697

ITP3
( + 1) = 3,630962697
2,54

ITP3 = (3,630962697  1) × 2,54

ITP3 = 6,68 cm

c. Menghitung ITP2
4,0−2,5
ITP2 log( ) 1
4,2−1,5
Log N = 9,36 × Log ( 2,54 + 1) − 0,20 + 1094 + log (FR) + 0,372 ×
0,4+ 5,19
ITP2
( +1)
2,54

(DDT2 − 3)

4,0−2,5
ITP log( ) 1
4,2−1,5
6,96379548 = 9,36 × Log ( 2,542 + 1) − 0,20 + 1094 + log (2,5) +
0,4+ 5,19
ITP2
( +1)
2,54

0,372 × (10,30 − 3)
ITP -0,2552725051
9,36 × Log ( 2,542 + 1) + 1094 = 4,846135488
0,4+ 5,19
ITP2
( +1)
2,54

ITP
Misalkan ( 2,542 + 1) = x
-0,2552725051
9,36 × Log(x) + 1094 = 4,846135488
0,4+
(x) 5,19

Dengan Cara Triall and Error di dapat x = 3,383134906

ITP2
( + 1) = 3,383134906
2,54

ITP2 = (3,383134906  1) × 2,54

ITP2 = 6,05 cm

3. Menghitung Tebal Lapisan Perkerasan


Diperoleh :
ITP4 = 12,79 cm
ITP3 = 6,68 cm
ITP2 = 6,05 cm
Kontrol : ITP4> ITP3> ITP2 ...............Ok

a. Alternative I : Memaksimumkan Tebal Lapisan Permukaan


D1 min = 10 cm → Laston a1 = 0,4
D2min = 25 cm → Batu Pecah Kelas A. a2 = 0,14
D3 min = 10 cm → Sirtu Kelas A. a3 = 0,13

Maka :
ITP4 = a1 × D1 + a2 × D2 + a3 × D3
ITP4 -(a2 ×D2 +a3 ×D3 )
D1 = a1

12,79 -(0,14×25+0,13×10)
D1 = 0,4

D1 = 19,98 cm = 10 cm > D1 min

b. Alternative II : Memaksimumkan Tebal Lapisan Pondasi


D3 min = 10 cm
ITP2 = a1 × D1
ITP2
D1 =
a1
6,05
= 0,4

= 15,13 cm = 15,5 cm > D1 min

ITP4 = a1 × D1 + a2 × D2 + a3 × D3
ITP4 -(a1 ×D1 +a3 ×D3 )
D2 = a2
12,79-(0,4×15,5+0,13×10)
= 0,14

= 37,81 cm = 38 cm > D2 min

c. Alternative III: Memaksimumkan Tebal Lapisan Pondasi Bawah


ITP2 = a1 × D1
ITP2
D1 = a1
6,05
= 0,4

= 15,13 cm = 15,5 cm > D1 min


ITP3 = a1 × D1 + a2 × D2
ITP3 -(a1 ×D1 )
D2 = a2
6,68-(0,4×15,5)
= 0,14

= 3,45 cm = 4 cm < D2 min Pakai D2 min = 25 cm

ITP4 = a1 × D1 + a2 × D2 + a3 × D3
ITP4 -(a1 ×D1 +a2 ×𝐷2 )
D3 = 𝑎3
12,79 -(0,4×15,5+0,14×25)
= 0,13

= 23,80 cm = 24 cm > D3 min

Rekapitulasi :
Alternative
Lapisan Unit Price Alternative I Alternative III
II
Lapisan permukaan
8a 20 15,5 15,5
(surface layer)
Lapisan pondasi
2,5a 25 38 25
(base layer)
Lapisan
pondasibawah (sub a 10 10 24
base layer)
Pavement Cost 11,5a 11,0a 11,1a

Alternative yang Paling Ekonomis adalah Alternative II :


D1 = 15,5 cm
D2 = 38 cm
D3 = 10 cm

d. Menghitung ITPactual :
 ITP4act = a1 × D1 + a2 × D2 + a3 × D3
= 0,4× 15,5+ 0,14× 38 + 0,13 × 10
= 6,20 cm > 6,05 cm
 ITP3act = a1 × D1 + a2 × D2
= 0,4× 15,5 + 0,14× 38
= 11,52 cm > 6,68 cm
 ITP2act = a1 × D1
= 0,4 × 15,5
= 12,82 cm > 12,79 cm

4. Menghitung Umur Rencana


4,0−2,5
ITP4act log( ) 1
4,2−1,5
Log N4 act = 9,36 × Log ( + 1) − 0,20 + 1094 + log (FR) +
2,54 0,4+
ITP4𝑎𝑐𝑡 5,19
( +1)
2,54

0,372 × (DDT4 − 3)
4,0−2,5
12,82 log( ) 1
4,2−1,5
Log N4 act = 9,36 × Log ( 2,54 + 1) − 0,20 + 1094 + log (2,5) +
0,4+ 5,19
12,82
( +1)
2,54

0,372 × (5,06 − 3)
Log N4 act = 6,969777926

N4 act = 9327772,0854 ESA/day

9327772,0854
LERact = = 2555,5540
3650

2555,5540
% Umur ITP4 = × 100% = 101,39 %
2520,5924

4,0−2,5
ITP3act log( ) 1
4,2−1,5
Log N3 act= 9,36 × Log ( + 1) − 0,20 + 1094 + log (FR) +
2,54 0,4+
ITP3 5,19
( +1)
2,54

0,372 × (DDT3 − 3)
4,0−2,5
11,52 log( ) 1
4,2−1,5
Log N3 act = 9,36 × Log ( 2,54 + 1) − 0,20 + 1094 + log (2,5) +
0,4+ 5,19
11,52
( +1)
2,54

0,372 × (9,63 − 3)
Log N act = 8,363391248

N3 act = 230882623,1654 ESA/day

230882623,1654
LERact = = 63255,5131
3650

63255,5131
% Umur ITP3 = x 100% = 2509,55 %
2520,5924

4,0−2,5
ITP2act log( ) 1
4,2−1,5
Log N2 act = 9,36 × Log ( + 1) − 0,20 + 1094 + log (FR) +
2,54 0,4+
ITP2 5,19
( +1)
2,54

0,372 × (DDT2 − 3)
4,0−2,5
6,20 log( ) 1
4,2−1,5
Log N2 act = 9,36 × Log (2,54 + 1) − 0,20 + 1094 + log (2,5) +
0,4+ 5,19
6,20
( +1)
2,54

0,372 × (10,30 − 3)
Log N4 act = 7,024577544

N4 act = 10582238,4675 ESA/day

10582238,4675
LERact = = 2899,2434
3650

2899,2434
% Umur ITP4 = × 100% = 115,02 %
2520,5924

PAVEMENT EVALUATION

Dik : ITP4 = 12,82 cm


DDT4 = 5,06
FR = 2,5

Ip0 Ipt FR ITP4 DDT4 log N N


4,0 4,0 2,5 12,82 5,06 - 10000
4,0 3,9 2,5 12,82 5,06 4,5985 39677,05
4,0 3,8 2,5 12,82 5,06 5,2053 160446,23
4,0 3,7 2,5 12,82 5,06 5,5603 363311,36
4,0 3,6 2,5 12,82 5,06 5,8121 648813,14
4,0 3,5 2,5 12,82 5,06 6,0075 1017331,34
4,0 3,4 2,5 12,82 5,06 6,1671 1469160,04
4,0 3,3 2,5 12,82 5,06 6,3020 2004539,57
4,0 3,2 2,5 12,82 5,06 6,4189 2623673,36
4,0 3,1 2,5 12,82 5,06 6,5220 3326737,85
4,0 3,0 2,5 12,82 5,06 6,6143 4113888,88
4,0 2,9 2,5 12,82 5,06 6,6977 4985266,02
4,0 2,8 2,5 12,82 5,06 6,7739 5940995,70
4,0 2,7 2,5 12,82 5,06 6,8439 6981193,47
4,0 2,6 2,5 12,82 5,06 6,9088 8105965,75
4,0 2,5 2,5 12,82 5,06 6,9692 9315411,17
4,0 2,4 2,5 12,82 5,06 7,0257 10609621,64
4,0 2,3 2,5 12,82 5,06 7,0788 11988683,23
4,0 2,2 2,5 12,82 5,06 7,1288 13452676,86
4,0 2,1 2,5 12,82 5,06 7,1761 15001678,88
4,0 2,0 2,5 12,82 5,06 7,2210 16635761,57
4,0 1,9 2,5 12,82 5,06 7,2638 18354993,57
4,0 1,8 2,5 12,82 5,06 7,3045 20159440,21
4,0 1,7 2,5 12,82 5,06 7,3434 22049163,83
4,0 1,6 2,5 12,82 5,06 7,3806 24024224,02
4,0 1,5 2,5 12,82 5,06 7,4164 26084677,89
4,0 1,4 2,5 12,82 5,06 7,4507 28230580,25
4,0 1,3 2,5 12,82 5,06 7,4838 30461983,79
4,0 1,2 2,5 12,82 5,06 7,5156 32778939,24
4,0 1,1 2,5 12,82 5,06 7,5463 35181495,52
4,0 1,0 2,5 12,82 5,06 7,5760 37669699,84
Kurva Hubungan Log N vs IPt
4.5

3.5

3
IPt

2.5

1.5

1
10000 100000 1000000 10000000 100000000
N (SS)
B. KONSTRUKSI BERTAHAP
 Tahap Pertama
LER = 2520,5924 ESA/day
FR = 2,5
IPO = 4,0 (Lap. Perkerasan dari LASTON)
Ipt = 2,5
LER1 = 29,12% × LER
= 0,2912 × 2520,5924
= 733,9965 ESA/day

Pada akhir tahap pertama. Struktur perkerasan dianggap masih memiliki sisa
umur sebesar 40% atau:
X  LER1 = LER1 + 40%  X  LER1
X  LER1  40%  X  LER1 = LER1
X = 1,67
LER(I) = LER1 × 1,67
= 733,9965 × 1,67
= 1225,7742 ESA/day

1. Menghitung Indeks Tebal Perkerasan (ITP)


4,0−2,5
𝐼𝑇𝑃 𝑙𝑜𝑔( ) 1
4,2−1,5
Log N = 9,36 × 𝐿𝑜𝑔 (2,54 + 1) − 0,20 + 1094 + 𝑙𝑜𝑔 (𝐹𝑅 ) +
0,4+ 5,19
𝐼𝑇𝑃
( +1)
2,54

0,372 × (𝐷𝐷𝑇 − 3)
Log N = log ( LER(I) × 3650 )
= log (1225,7742 × 3650 )
= 6,650703321

a. Menghitung ITP4 (I)


4,0−2,5
𝐼𝑇𝑃4 (𝐼) 𝑙𝑜𝑔( ) 1
4,2−1,5
Log N = 9,36 × 𝐿𝑜𝑔 ( + 1) − 0,20 + 1094 + 𝑙𝑜𝑔 (𝐹𝑅 ) +
2,54 0,4+ 5,19
𝐼𝑇𝑃4(𝐼)
( +1)
2,54

0,372 × (𝐷𝐷𝑇4 − 3)
4,0−2,5
ITP4 (𝐼) log( ) 1
4,2−1,5
6,650703321= 9,36 × Log ( + 1) − 0,20 + 1094 + log (2,5) +
2,54 0,4+
ITP4 (𝐼) 5,19
( +1)
2,54

0,372 × (5,06 − 3)
𝐼𝑇𝑃4( 𝐼) −0,2552725051
9,36 × 𝐿𝑜𝑔 ( + 1) + 1094 = 6,481747433
2,54 0,4+ 5,19
𝐼𝑇𝑃4( 𝐼)
( +1)
2,54

ITP4 (𝐼)
Misalkan ( + 1)= x
2,54
-0,2552725051
9,36 × Log(𝑥 ) + 1094 = 6,481747433
0,4+
(𝑥) 5,19

Dengan Cara Triall and Error di dapat x = 5,516310918

ITP4(𝐼)
( + 1) = 5,516310918
2,54

ITP4 (I) = (5,516310918  1) × 2,54

ITP4 (I) = 11,47 cm

b. Menghitung ITP3 (I)


4,0−2,5
ITP3(𝐼) log( ) 1
4,2−1,5
Log N = 9,36 × Log ( + 1) − 0,20 + 1094 + log (FR) + 0,372 ×
2,54 0,4+
ITP3 (𝐼) 5,19
( +1)
2,54

(DDT3 − 3)
4,0−2,5
ITP3 (𝐼) log( ) 1
4,2−1,5
6,650703321= 9,36 × Log ( + 1) − 0,20 + 1094 + log (2,5) +
2,54 0,4+
ITP3 (𝐼) 5,19
( +1)
2,54

0,372 × (9,63-3)
𝐼𝑇𝑃3( 𝐼) −0,2552725051
9,36 × 𝐿𝑜𝑔 ( + 1) + 1094 = 4,780824505
2,54 0,4+ 5,19
𝐼𝑇𝑃3( 𝐼)
( +1)
2,54

ITP3 (𝐼)
Misalkan ( 2,54
+ 1)= x
-0,2552725051
9,36 × Log(𝑥 ) + 1094 = 4,780824505
0,4+
(𝑥) 5,19

Dengan Cara Triall and Error di dapat x = 3,322483107

ITP3(𝐼)
( + 1) = 3,322483107
2,54

ITP3 (I) = (3,322483107 1) × 2,54

ITP3 (I) = 5,90 cm

c. Menghitung ITP2 (I)


4,0−2,5
ITP2(𝐼) log( ) 1
4,2−1,5
Log N = 9,36 × Log ( + 1) − 0,20 + 1094 + log (FR) + 0,372 ×
2,54 0,4+
ITP2 (𝐼) 5,19
( +1)
2,54

(DDT2 − 3)
4,0−2,5
ITP2(𝐼) log( ) 1
4,2−1,5
6,650703321= 9,36 × Log ( + 1) − 0,20 + 1094 + log (2,5) +
2,54 0,4+
ITP2(𝐼) 5,19
( +1)
2,54

0,372 × (10,3 − 3)
𝐼𝑇𝑃2( 𝐼) −0,2552725051
9,36 × 𝐿𝑜𝑔 ( + 1) + 1094 = 4,53304333
2,54 0,4+ 5,19
𝐼𝑇𝑃2( 𝐼)
( +1)
2,54

ITP2 (𝐼)
Misalkan ( + 1)= x
2,54
-0,2552725051
9,36 × Log(𝑥 ) + 1094 = 4,53304333
0,4+
(𝑥) 5,19

Dengan Cara Triall and Error di dapat x = 3,106000724

ITP2(𝐼)
( + 1) = 3,106000724
2,54

ITP2 (I)= (3,106000724  1) × 2,54

ITP2 (I) = 5,35 cm

2. Menghitung Tebal Lapisan Permukaan


Diperoleh :
ITP4(I)= 11,47 cm
ITP3(I)= 5,90 cm
ITP2(I)= 5,35 cm
Kontrol : ITP4(I)> ITP3(I)> ITP2(I) ...............ok

a. Alternative I : Memaksimumkan Tebal Lapisan Permukaan


D1 min = 10 cm → Laston a1 = 0,4
D2 min = 20 cm → Batu Pecah Kelas A. a2 = 0,14
D3 min = 10 cm → Sirtu Kelas A. a3 = 0,13
Maka :
ITP4 (I) = a1 × D1 + a2 × D2 + a3 × D3
ITP4 (𝐼)−(𝑎2 ×𝐷2 +𝑎3 ×𝐷3 )
D1 = 𝑎1
11,47 -(0,14×20+0,13×10)
= 0,4

= 18,43 cm = 18,5 cm > D1 min

b. Alternative II : Memaksimumkan Tebal Lapisan Pondasi


D3 min = 10 cm
ITP2 (I) = a1 × D1
ITP2(𝐼)
D1 = 𝑎1
5,35
= 0,4

= 13,37 cm = 13,5 cm > D1 min

ITP4 (I) = a1 × D1 + a2 × D2 + a3 × D3
ITP4 (𝐼) -(𝑎1×𝐷1 +𝑎3 ×𝐷3 )
D2 = 𝑎2

11,47 -(0,4×13,5+0,13×10)
= 0,14

= 34,08 cm = 35 cm > D2 min

c. Alternative III: Memaksimumkan Tebal Lapisan Pondasi Bawah


ITP2 (I) = a1 × D1
ITP2(𝐼)
D1 = 𝑎1
5,35
= 0,4

= 13,37 cm = 13,5 cm > D1 min


ITP3 (I) = a1 × D1 + a2 × D2
ITP3 (𝐼) -(𝑎1×𝐷1 )
D2 = 𝑎2

5,90 -(0,4×13,5)
= 0,14

= 3,56 cm = 4 cm < D2 min Pakai D2 = 20 cm


ITP4 (I) = a1 × D1 + a2 × D2 + a3 × D3
ITP4(I) -(𝑎1 ×𝐷1 +𝑎2 ×𝐷2 )
D3 = 𝑎3
11,47-(0,4×13,5+0,14×20)
= 0,13
= 25,16 cm = 26 cm > D3 min

Rekapitulasi :

Alternative
Lapisan Unit Price Alternative I Alternative III
II
Lapisan permukaan
8a 18,5 13,5 13,5
(surface layer)
Lapisan pondasi
2a 20 35 20
(base layer)
Lapisan pondasi
bawah (sub base a 10 10 26
layer)
Pavement Cost 11,5a 11,21a 10,94a

Alternative paling ekonomis adalah alternative III


D1 = 13,5 cm
D2 = 20 cm
D3 = 26 cm

3. Menghitung ITPactual :
ITP4 act (I) = a1 × D1 + a2 × D2 + a3 × D3
= 0,4 × 13,5 + 0,14 × 20 + 0,13 × 26
= 11,58 cm > 11,47 cm
ITP3 act (I) = a1 × D1 + a2 × D2
= 0,4 × 13,5 + 0,14 × 20
= 8,20 cm > 5,90 cm
ITP2act (I) = a1 × D1
= 0,4 × 13,5
= 5,40 cm > 5,35 cm

4. Menghitung Umur Rencana


4,0−2,5
ITP4𝑎𝑐𝑡 (𝐼) log( )
4,2−1,5
Log N4 act (I)= 9,36 × Log ( + 1) − 0,20 + 1094 +
2,54 0,4+ 5,19
ITP4𝑎𝑐𝑡 (𝐼)
( +1)
2,54

1
log (FR) + 0,372 × (DDT4 − 3)
4,0−2,5
11,58 log( ) 1
4,2−1,5
Log N4 act (I)= 9,36 × Log ( 2,54 + 1) − 0,20 + 1094 + log (2,5) +
0,4+ 5,19
11,58
( +1)
2,54

0,372 × (5,06 − 3)
Log N4 act (I) = 6,67645647

N4 act (I) = 4747407,0457 ESA/day

4747407,0457
LERact (I) = = 1300,6595
3650

1300,6595
% Umur ITP4 (I) = 1225,7742 x 100% = 106,11 %
4,0−2,5
ITP3act (𝐼) log( ) 1
4,2−1,5
Log N3 act (I) = 9,36 × Log ( + 1) − 0,20 + 1094 + log (FR) +
2,54 0,4+
ITP3𝑎𝑐𝑡(𝐼) 5,19
( +1)
2,54

0,372 × (DDT3 − 3)

4,0−2,5
8,20 log( ) 1
4,2−1,5
Log N3 act (I) = 9,36 × Log ( + 1) − 0,20 + 1094 + log ( ) +
2,54 0,4+ 2,5
8,20 5,19
( +1)
2,54

0,372 × (9,63 − 3)
Log N act (I) = 7,47944651

N3 act (I) = 30161053,7083 ESA/day


30161053,7083
LERact (I) = = 8263,3024
3650

8263,3024
% Umur ITP3 (I) = 1225,7742 x 100% = 674,13 %

4,0−2,5
ITP2 𝑎𝑐𝑡(𝐼) log( ) 1
4,2−1,5
Log N2 act (I)= 9,36 × Log ( + 1) − 0,20 + 1094 + log (FR) +
2,54 0,4+
ITP2𝑎𝑐𝑡 (𝐼) 5,19
( +1)
2,54

0,372 × (DDT2 − 3)

4,0−2,5
5,40 log( ) 1
4,2−1,5
Log N2 act (I) = 9,36 × Log ( 2,54 + 1) − 0,20 + 1094 + log (2,5) +
0,4+ 5,19
5,40
( +1)
2,54

0,372 × (10,3 − 3)
Log N act (I) = 6,669883366

N3 act (I) = 4676095,4334 ESA/day


4676095,4334
LERact (I) = = 1281,1220
3650

1281,1220
% Umur ITP2(I) = 1225,7742 x 100% = 104,51 %

 Tahap Kedua
LER2 = (100 – 29,12)% × LER
= 70,88% × 2520,5924 ESA/day
= 1786,5959 ESA/day

Pada akhir tahap pertama. Struktur perkerasan dianggap masih memiliki “


sisa umur “ sebesar 60% atau :
Y  LER2 = LER1 + LER2
Y  LER2 = 60%  Y  LER2 + LER2
60% ∗ Y∗ LER2 +LER2
Y = LER2
= 0,6 Y + 1
Y – 0,6 + 1 =1
1
Y =(1 - 0,6 )= 2,5

LER(I+II) = 2,5 × LER2


= 2,5 × 1786,5959
= 4466,4897 ESA/day

Log N = Log (LER(I+II) × 3650)


= Log (4466,4897 × 3650)
= 7,212259197

4,0−2,5
ITP4 (𝐼+II) log( ) 1
4,2−1,5
Log N = 9,36 × Log ( + 1) − 0,20 + 1094 + log (FR) +
2,54 0,4+
ITP4 (𝐼+II) 5,19
( +1)
2,54

0,372 × (DDT4 − 3)

4,0−2,5
ITP4(𝐼+II) log( )
4,2−1,5
7,212259197 = 9,36 × Log ( + 1) − 0,20 + 1094 +
2,54 0,4+
ITP4(𝐼+II) 5,19
( +1)
2,54

1
log (2,5) + 0,372 × (5,06 − 3)

𝐼𝑇𝑃4(𝐼+𝐼𝐼) −0,2552725051
9,36 × 𝐿𝑜𝑔 ( + 1) + 1094 = 7,043303308
2,54 0,4+ 5,19
𝐼𝐼𝑇𝑃4(𝐼+𝐼𝐼)
( +1)
2,54

𝐼𝑇𝑃4(𝐼+𝐼𝐼)
Misalkan ( + 1)= x
2,54

-0,2552725051
9,36 × Log(𝑥 ) + 1094 = 7,043303308
0,4+
(𝑥) 5,19

Dengan Cara Triall and Error di dapat x = 6,46835047

ITP4(𝐼+II)
( + 1) = 6,46835047
2,54
ITP4(I+II) = (6,46835047  1) × 2,54

ITP4(I+II) = 13,89 cm

1. Perhitungan D0 (Tambahan Lapisan Permukaan)


ITP4(𝐼+II)−{(𝑎1 ×𝐷1 )+(𝑎2×𝐷2 )+(𝑎3 ×𝐷3 )}
D0 =  ITPII = ITP(I+II) – ITP(I)
𝑎1

13,89−{(0,4×13,5)+(0,14×20)+(0,13×26)}
= 0,4

= 5,77 cm = 5,77 cm

2. Menghitung ITP(I) sisa


ITP(I) sisa = ITP (LER2) – { ITP(I+II) -  (Di × ai)}
Menghitung ITP (LER2)
Log N = Log (LER2 × 3650)
= Log (1786,595893 × 3650)
= 6,81431919
4,0−2,5
ITP4 (LER2 ) log( ) 1
4,2−1,5
Log N = 9,36 × Log ( + 1) − 0,20 + 1094 + log (FR) +
2,54 0,4+
ITP4 (LER2 ) 5,19
( +1)
2,54

0,372 × (DDT4 − 3)
4,0−2,5
ITP4 (LER2 ) log( )
4,2−1,5
6,81431919= 9,36 × Log ( + 1) − 0,20 + 1094 +
2,54 0,4+ 5,19
ITP4 (LER2 )
( +1)
2,54

1
log (2,5) + 0,372 × (5,06 − 3)

ITP4 (LER2 ) −0,25527250


9,36 × Log ( + 1) + 1094 = 6,6453633
2,54 0,4+ 5,19
ITP4 (LER2 )
( +1)
2,54

ITP4 (LER2 )
Misalkan ( + 1)= x
2,54
-0,2552725051
9,36 × Log(x) + 1094 = 6,6453633
0,4+
(x)5,19

Dengan Cara Triall and Error di dapat x = 5,785336891

ITP4 (LER2 )
( + 1) = 5,785336891
2,54
ITP4 (LER2) = (5,785336891  1) × 2,54

ITP4(LER2) = 12,15 cm

ITP(I) sisa = ITP (LER2) – { ITP(I+II) -  (Di × ai)}


ITP(I) sisa = ITP4 (LER2) – { ITP4(I+II) -  (Di × ai)}
= 12,15 – {13,89 – {(0,4 × 13,5) + (0,14 × 20) + (0,13 × 26)}
= 9,85 cm

3. Menghitung CV (Condition Value)


ITP sisa
CV = ITP (I) ×100%
4act(I)

9,85
CV = x100%
11,58

CV = 85,02 %
Maka, berdasarkan nilai CV menunjukkan bahwa kondisi perkerasan “
Terlihat retak halus, sedikit deformasi pada jalur roda, namun masih tetap
stabil, dapat dilihat pada Tabel. VII.9. Teori perkerasan (2) halaman 9.

4. Menghitung Ipt
LERI = 1225,7742
Log N = Log (LERI × 3650)
= Log (1225,7742 × 3650)
= 6,65070334
IP −IP
ITPLER(2) log( 0 t ) 1
4,2−1,5
Log N = 9,36 × Log ( + 1) − 0,20 + 1094 + log (FR) +
2,54 0,4+
ITP4LER(2) 5,19
( +1)
2,54

0,372 × (DDT4 − 3)
IP −IPt
12,15 log( 0 ) 1
4,2−1,5
6,65070334 = 9,36 × Log ( 2,54 + 1) − 0,20 + 1094 + log (2,5) +
0,4+ 5,19
12,15
( +1)
2,54

0,372 × (5,06 − 3)
IP −IPt
log( 0 )
4,2−1,5
6,65070334 = 7,13539620−0,20 + 1094 - 0,39794 + 0,7669
0,4+ 5,19
11,94
( +1)
2,54
IP −IPt
log( 0 )
4,2−1,5
1094 = -0,6536488
0,4+ 5,19
12,15
( +1)
2,54

IP −IP
log( 0 t )
4,2−1,5
= -0,6536488
0,52093

4,0−IPt
log (4,2−1,5) = -0,6536488 × 0,52093

= -0,34050481

4,0−IPt
( ) = 0,45655720 x 2,7
2,7

= 1,23

Ipt = 4,0 – 1,23

= 2,77

TABEL PERHITUNGAN NILAI (N)

Konstruksi
Konstruksi Bertahap
Langsung
Ip F DD
Ipt
o R T4 ITP4 ITP4(I
ITP4 N N tahap I N (II)
(I) I)

4, 2, 12,8 11,4 3122202,5


4 5,06 10000 10000 12,15
0 5 2 7 5
4, 2, 12,8 11,4 3158182,8
3,9 5,06 39677,05 33912,78 12,15
0 5 2 7 0
4, 3,8 2, 5,06 12,8 160446,23 11,4 118261,6 12,15 3258326,7
0 5 2 7 5 2
4, 2, 12,8 11,4 245569,6 3418663,9
3,7 5,06 363311,36 12,15
0 5 2 7 6 6
4, 2, 12,8 11,4 412405,5 3637201,5
3,6 5,06 648813,14 12,15
0 5 2 7 2 0
4, 2, 12,8 1017331,3 11,4 616544,1 3912588,6
3,5 5,06 12,15
0 5 2 4 7 8 2
4, 2, 12,8 1469160,0 11,4 856357,7 4243805,8
3,4 5,06 12,15
0 5 2 4 7 9 0
4, 2, 12,8 2004539,5 11,4 1130573, 4630036,1
3,3 5,06 12,15
0 5 2 7 7 53 3
4, 2, 12,8 2623673,3 11,4 1438152, 5070599,4
3,2 5,06 12,15
0 5 2 6 7 76 6
4, 2, 12,8 3326737,8 11,4 1778222, 5564914,0
3,1 5,06 12,15
0 5 2 5 7 20 5
4, 2, 12,8 4113888,8 11,4 2150031, 6112472,3
3 5,06 12,15
0 5 2 8 7 13 3
4, 2, 12,8 4985266,0 11,4 2552923, 6712824,5
2,9 5,06 12,15
0 5 2 2 7 11 1
4, 2, 12,8 5940995,7 11,4 2986316, 7401547,4
2,8 5,06 12,15
0 5 2 0 7 24 2
4, 2,7 2, 12,8 6244180,8 11,4 3122202, 7571550,5
5,06 12,15
0 7 5 2 8 7 55 9
4, 2, 12,8 6981193,4 8070334,7
2,7 5,06 12,15
0 5 2 7 8
4, 2, 12,8 8105965,7 8826793,4
2,6 5,06 12,15
0 5 2 5 2
4, 2, 12,8 9315411,1 9634635,9
2,5 5,06 12,15
0 5 2 7 0
4, 2, 12,8 10609621, 10493577,
2,4 5,06 12,15
0 5 2 64 88
4, 2,3 2, 5,06 12,8 11988683, 12,15 11403354,
0 5 2 23 86
4, 2, 12,8 13452676, 12363719,
2,2 5,06 12,15
0 5 2 86 64
4, 2, 12,8 15001678, 13374440,
2,1 5,06 12,15
0 5 2 88 28
4, 2, 12,8 16635761, 14435298,
2 5,06 12,15
0 5 2 57 36
4, 2, 12,8 18354993, 15546087,
1,9 5,06 12,15
0 5 2 57 55
4, 2, 12,8 20159440, 16706612,
1,8 5,06 12,15
0 5 2 21 42
4, 2, 12,8 22049163, 17916687,
1,7 5,06 12,15
0 5 2 83 31
4, 2, 12,8 24024224, 19176135,
1,6 5,06 12,15
0 5 2 02 50
4, 2, 12,8 26084677, 20484788,
1,5 5,06 12,15
0 5 2 89 37
4, 2, 12,8 28230580, 21842484,
1,4 5,06 12,15
0 5 2 25 73
4, 2, 12,8 30461983, 23249070,
1,3 5,06 12,15
0 5 2 79 22
4, 2, 12,8 32778939, 24704396,
1,2 5,06 12,15
0 5 2 24 77
4, 2, 12,8 35181495, 26208322,
1,1 5,06 12,15
0 5 2 52 13
4, 2, 12,8 37669699, 27760709,
1 5,06 12,15
0 5 2 84 40
IP0
ITPawal = ITPdesain

PSIt = 2,77

ITPsisa
IPt (Konsisi Kritis)

IPt (Konsisi Runtuh)


Catatan :
Berdasarkan ketetapan nilai IPt, yang diberikan dalam Metoda Analisa Komponen
adalah sebagai berikut :
IPt = 2,5  menyatakan permukaan jalan yang masih cukup stabil dan baik
IPt = 2,0  menyatakan tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap
IPt = 1,5  menyatakan tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan
tidak putus)
IPt = 1,0  menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga
sangat mengganggu lalu lintas kendaran
BAB XI
CROSS SECTION

Penampang melintang jalan merupakan potongan melintang tegak lurus


sumbu jalan, Pada potongan melintang jalan dapat terlihat bagian-bagian jalan.
Bagian-bagian jalan yang utama dapat dikelompokkan sebagai berikut:

A. Bagian yang langsung berguna untuk lalu lintas .


1. jalur lalu lintas
2. lajur lalu lintas
3. bahu jalan
4. trotoar
5. median

B. Bagian yang berguna untuk drainase jalan


1. saluran samping
2. kemiringan melintang jalur lalu lintas
3. kemiringan melintang bahu
4. kemiringan lereng
C. Bagian pelengkap jalan
1. kereb

2. pengaman tepi

D. Bagian konstruksi jalan

1. lapisan perkerasan jalan

2. lapisan pondasi atas

3. lapisan pondasi bawah

4. lapisan tanah dasar

E. Daerah manfaat jalan (damaja)


F Daerah milik jalan (damija)
G. Daerah pengawasan jalan (dawasja)

JALUR LALU LINTAS


Jalur lalu lintas {travelled way = carriage way) adalah keseluruhan bagian
perkerasan jalan yang diperuntukkan untuk lalu lintas kendaraan. Jalur lalu lintas
terdiri dari beberapa lajur (lane) kendaraan.
Lajur kendaraan yaitu bagian dari jalur lalu lintas yang khusus
diperuntukkan untuk dilewati oleh satu rangkaian kendaraan beroda empat atau
lebih dalam satu arah. Jadi jumlah lajur minimal untuk jalan 2 arah adalah 2 dan
pada umumnya disebut sebagai jalan 2 lajur 2 arah. Jalur lalu lintas untuk 1 arah
minimal terdiri dari 1 lajur lalu lintas.

Lebar lajur lalu lintas


Lebar lajur lalu lintas merupakan bagian yang paling menentukan lebar melintang
jalan secara keseluruhan. Besarnya lebar lajur lalu lintas hanya dapat ditentukan
dengan pengamatan langsung di lapangan karena :
a. Lintasan kendaraan yang satu tidak mungkin akan dapat diikuti oleh
lintasan kendaraan lain dengan tepat.

b. Lajur lalu lintas tak mungkin tepat sama dengan lebar kendaraan
maksimum. Untuk keamanan dan kenyamanan setiap pengemudi membutuhkan
ruang gerak antara kendaraan.

c. Lintasan kendaraan tak mungkin dibuat tetap sejajar sumbu lajur lalu
lintas, karena kendaraan selama bergerak akan mengalami gaya-gaya samping
seperti tidak ratanya permukaan, gaya sentrifugal di tikungan, dan gaya angin
akibat kendaraan lain yang menyiap.
Lebar lajur lalu lintas dipengaruhi oleh faktor-faktor Kapasitas Dasar dan
Kapasitas Mungkin. Kapasitas Dasar dan Kapasitas Mungkin dari suatu jalan
dapat berkurang dikarenakan oleh lebar lajur yang sempit dan penyempitan lebar
bahu, hambatan di sepanjang daerah manfaat jalan, kelandaian, serta kendaraan
yang berukuran besar. Lajur lalu lintas yang lebar mempengaruhi lebar daerah
manfaat jalan dan urbanisasi disepanjang tepi jalan. Hubungan kapasitas jalan
dengan lajur lalu lintas yang menguraikan operasi lalu lintas pada suatu bagian
jalan dengan medan yang datar adalah sebagai berikut :
TAP = Kj * fw * fu
Dimana :
TAP = (Tingkat Arus Pelayanan)
Kj = Kapasitas jalan
Fw = faktor penyesuaian untuk jalur
Fu = faktor penyesuaian untuk urbanisasi disepanjang jalan.
Nilai-nilai fw dapat dilihat pada tabel 2.1.. dibawah ini yang diturunkan dari
Indonesia Highway Capacity Manual (IHCM).

Tabel XI.1. Faktor penyesuaian akibat gabungan jalur sempit dan lebar bahu yang
menyempit (fw)
Tipe Jalan Lebar Bahu Nilai fw
Raya (m) 3,50 3,25 3,00
Jalan raya 2 1,75 0,97 0,92 0,85
jalur 1,25 0,95 0,90 0,83
1,00 0,94 0,89 0,82
0,75 0,92 0,87 0,80
Jalan raya 1,75 0,98 0,95 -
berlajur 1,25 0,97 0,94 -
1,00 0,96 0,93 -
0,75 0,95 0,92 -

Jumlah lajur lalu lintas :


Banyaknya lajur yang dibutuhkan sangat tergantung dari volume lalu lintas yang
akan memakai jalan tersebut dan tingkat pelayanan jalan yang diharapkan.
Untuk menentukan jumlah lajur diperlukan data-data sebagai berikut :
1. Kapasitas jalan (smp/jam)
2. Koefisien penyesuaian
3. Untuk lebar daerah manfaat jalan
4. Untuk tingkat urbanisasi
5. Tingkat arus pelayanan
6. Faktor penyesuaian perbandingan volume perjam untuk satu tahun
(1 tahun = 8.760 jam)
7. Volume Lalu lintas Standard (VLS)

Kemiringan melintang jalur lalu lintas di jalan lurus diperuntukkan


terutama untuk kebutuhan drainase jalan. Air yang jatuh di atas permukaan jalan
supaya cepat dialirkan ke saluran-saluran pembuangan.
Kemiringan melintang bervariasi antara 2 % - 4 %, untuk jenis lapisan
permukaan dengan mempergunakan bahan pengikat seperti aspal atau semen.
Semakin kedap air lapisan tersebut, semakin kecil kemiringan melintang yang
dapat dipergunakan. Sedangkan untuk jalan dengan lapisan permukaan belum
mempergunakan bahan pengikat seperti Jalan berkerikil, kemiringan melintang
dibuat sebesar 5%.

BAHU JALAN :
Bahu jalan adalah jalur yang terletak berdampingan dengan Jalur lalu lintas
yang berfungsi sebagai:

1. Ruangan untuk tempat berhenti sementara kendaraan yang mogok atau yang
sekedar berhenti karena pengemudi ingin berorientasi mengenai jurusan yang
akan ditempuh, atau untuk beristirahat.

2. Ruangan untuk menghindarkan diri pada saat-saat darurat, sehingga dapat


mencegah terjadinya kecelakaan.

3. Memberikan kelegaan pada pengemudi, dengan demikian dapat


meningkatkan kapasitas jalan yang bersangkutan.

4. Memberikan sokongan pada konstruksi perkerasan jalan dari arah samping.

5. Ruangan pembantu pada waktu mengadakan pekerjaan perbaikan atau


pemeliharaan jalan (untuk tempat penempatan alat-alat, dan penimbunan
bahan material).

6. Ruangan untuk lintasan kendaraan-kendaraan patroli, ambulans, yang sangat


dibutuhkan pada keadaan darurat seperti terjadinya kecelakaan.
Jenis bahu
Berdasarkan tipe perkerasannya, bahu jalan dapat dibedakan atas:
· ` Bahu yang tidak diperkeras, yaitu bahu yang hanya dibuat dari material
perkerasan jalan tanpa bahan pengikat. Biasanya digunakan material agregat
bercampur sedikit lempung. Bahu yang tidak
diperkeras ini dipergunakan untuk daerah-daerah yang tidak begitu penting,
dimana kendaraan yang berhenti dan mempergunakan bahu tidak begitu banyak
jumlahnya.
· Bahu yang diperkeras, yaitu bahu yang dibuat dengan mempergunakan
bahan pengikat sehingga lapisan tersebut lebih kedap air dibandingkan dengan
bahu yang tidak diperkeras Bahu jenis ini dipergunakan : untuk jalan-
jalan dimana kendaraan yang akan berhenti dan memakai bagian tersebut besar
jumlahnya, seperti di sepanjang jalan tol, di sepanjang jalan arteri yang
melintasi kota, dan di tikungan-tikungan yang tajam.
Dilihat dari letaknya bahu terhadap arah arus lalu lintas, maka bahu jalan
dapat dibedakan atas :
· - Bahu kiri/bahu luar (left shoulder/outer shoulder), adalah bahu yang terletak di
tepi sebelah kiri dari jalur lalu lintas.
- Bahu kanan/bahu dalam (rightlinner shoulder), adalah bahu yang terletak di tepi
sebelah kanan dari jalur lalu lintas.
• Lebar bahu jalan
Besarnya lebar bahu jalan sangat dipengaruhi oleh :

• Fungsi jalan
Jalan arteri direncanakan untuk kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
jalan lokal. Dengan demikian jalan arteri membutuhkan kebebasan samping,
keamanan, dan kenyamanan yang lebih besar, atau menuntut lebar bahu yang
lebih lebar dari Jalan lokal.

• Volume lalu lintas


Volume lalu lintas yang tinggi membutuhkan lebar bahu yang lebih lebar
dibandingkan dengan volume lalu lintas yang lebih rendah.

• Kegiatan disekitar jalan


Jalan yang melintasi daerah perkotaan, pasar, sekolah, membutuhkan lebar bahu
jalan yang lebih lebar daripada jalan yang melintasi daerah rural, karena bahu
jalan tersebut akan dipergunakan pula sebagai tempat parkir dan pejalan kaki.

• Ada atau tidaknya trotoar.


• Biaya yang tersedia sehubungan dengan biaya pembebasan tanah, dan biaya
untuk konstruksi.
Lebar bahu jalan dengan demikian dapat bervariasi antara 0,5 - 2,5m,

Lereng melintang bahu jalan :


Berfungsi atau tidaknya lereng melintang perkerasan jalan untuk
mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya sangat ditentukan oleh kemiringan
melintang bagian samping jalur perkerasan itu sendiri, yaitu kemiringan melintang
bahu jalan. Kemiringan melintang bahu yang tidak baik ditambah dengan bahu
dari jenis tidak diperkeras akan menyebabkan air hujan merembes masuk
kelapisan perkerasan jalan. Hal ini dapat mengakibatkan turunnya daya dukung
lapisan perkerasan, lepasnya ikatan antara agregat dan aspal yang akhirnya dapat
memperpendek umur pelayanan jalan. Guna keperluan tersebut, haruslah dibuat
kemiringan melintang bahu jalan yang sebesar-besarnya tetapi masih aman dan
nyaman bagi pengemudi kendaraan. Kemiringan melintang bahu lebih besar dari
kemiringan melintang jalur perkerasan jalan. Kemiringan melintang bahu dapat
bervariasi sampai dengan 6%, tergantung dari jenis permukaan bahu, intensitas
hujan, dan kemungkinan penggunaan bahu jalan.
Pada daerah tikungan yang tajam. kemiringan melintang jalur perkerasan juga
ditentukan dari kebutuhan akan keseimbangan gaya akibat gaya sentrifugal yang
bekerja. Besar dan arah kemiringan melintang bahu harus juga disesuaikan demi
keamanan pemakai jalan dan fungsi drainase itu sendiri. Perubahan kelandaian
antara kemiringan melintang perkerasan jalan dan bahu (roll over) maksimum 8%.

2.3 TROTOAR (Jalur Pejalan Kaki/Side Walk)


Trotoar adalah jalur yang terletak berdampingan dengan jalur lalu lintas
yang khusus dipergunakan untuk pejalan kaki (pedestrian). Untuk keamanan
pejalan kaki maka trotoar ini harus dibuat terpisah dari jalur lalu lintas
oleh struktur fisik berupa kereb. Perlu atau tidaknya trotoar disediakan sangat
tergantung dari volume pedestrian dan volume lalu lintas pemakai jalan tersebut.
Lebar trotoar
Lebar trotoar yang dibutuhkan ditentukan oleh volume pejalan kaki,
tingkat pelayanan pejalan kaki yang diinginkan, dan fungsi jalan. Untuk itu lebar
1,5 - 3,0 m merupakan nilai yang umum dipergunakan.
2.4 MEDIAN
Pada arus lalu lintas yang tinggi seringkali dibutuhkan median guna
memisahkan arus lalu lintas yang berlawanan arah, Jadi median adalah jalur yang
terletak ditengah Jalan untuk membagi Jalan dalam masing-masing arah.
Secara garis besar median berfungsi sebagai:

 menyediakan daerah netral yang cukup lebar dimana pengemudi masih


dapat mengontrol kendaraannya pada saat-saat darurat.

 menyediakan jarak yang cukup untuk membatasi/ mengurangi kesilauan


terhadap lampu besar dari kendaraan yang berlawanan arah.
 menambah rasa kelegaan, kenyamanan dan keindahan bagi setiap
pengemudi.

 mengamankan kebebasan samping dari masing-masing arah arus lalu


lintas.
Untuk memenuhi keperluan-keperluan tersebut di atas, maka median serta
batas-batasnya harus dapat dilihat nyata oleh setiap mata pengemudi baik pada
siang hari maupun pada malam hari serta segala cuaca dan keadaan. Lebar median
bervariasi antara 1,0 -12 meter. Median dengan lebar sampai 5 meter sebaiknya
ditinggikan dengan kereb atau dilengkapi dengan pembatas agar tidak dilanggar
kendaraan. Semakin lebar median semakin baik bagi lalu lintas tetapi semakin
mahal biaya yang dibutuhkan.
Jalur tepian median
Di samping median terdapat apa yang dinamakan jalur tepian median,
yaitu jalur yang terletak berdampingan dengan median (pada ketinggian yang
sama dengan jalur perkerasan). Jalur tepian median ini berfungsi untuk
mengamankan kebebasan samping dari arus lalu lintas.
Lebar jalur tepian median dapat bervairiasi antara 0,25 - 0,75 meter dan dibatasi
dengan marka berupa garis putih menerus.

2.5 SALURAN SAMPING


Saluran samping terutama berguna untuk :

1. mengalirkan air dari permukaan perkerasan jalan ataupun dari bagian luar
jalan,
2. menjaga supaya konstruksi jalan selalu berada dalam keadaan kering tidak
terendam air.

Umumnya bentuk saluran samping trapesium, atau empat persegi panjang.


Untuk daerah perkotaan, dimana daerah pembebasan jalan sudah sangat terbatas,
maka saluran samping dapat dibuat empat persegi panjang dari konstruksi beton
dan ditempatkan di bawah trotoar, sedangkan di daerah pedalaman dimana
pembebasan jalan bukan menjadi masalah, saluran samping umumnya dibuat
berbentuk trapezium. Dinding saluran dapat mempergunakan pasangan batu kali,
atau tanah asli. Lebar dasar saluran disesuaikan dengan besarnya debit yang
diperkirakan akan mengalir pada saluran tersebut, minimum sebesar 30 cm.
Landai dasar saluran biasanya dibuatkan mengikuti kelandaian dari jalan. Tetapi
pada kelandaian jalan yang cukup besar, dan saluran hanya terbuat dari tanah asli,
kelandaian dasar saluran tidak lagi mengikuti kelandaian Jalan. Hal ini untuk
mencegah pengkikisan oleh aliran air. Kelandaian dasar saluran dibatasi
sesuai dengan material dasar saluran, Jika terjadi perbedaan yang cukup besar
antara kelandaian dasar saluran dan kelandaian jalan, maka perlu dibuatkan
terasering. Talud untuk saluran samping yang berbentuk trapesium dan tidak
diperkeras adalah 2H:1V, atau sesuai dengan kemiringan yang memberikan
kestabilan lereng yang aman. Untuk saluran samping yang mempergunakan
pasangan batu, talud dapat dibuat 1:1.
2.6 TALUD KEMIRINGAN LERENG
Talud jalan umumnya dibuat 2H:1V. tetapi untuk tanah-tanah yang mudah
longsor talud jalan harus dibuat sesuai dengan besarnya landai yang aman, yang
diperoleh dari perhitungan kestabilan lereng. Berdasarkan keadaan tanah pada
lokasi jalan tersebut, mungkin saja dibuat bronjong, tembok penahan tanah, lereng
bertingkat (berm) ataupun hanya ditutupi rumput saja
2.7 KEREB
Yang dimaksud dengan kereb adalah penonjolan atau peninggian tepi
perkerasan atau bahu jalan, yang terutama dimaksudkan untuk keperluan-
keperluan drainase, mencegah keluarnya kendaraan dari tepi perkerasan, dan
memberikan ketegasan tepi perkerasan. Pada umumnya kereb digunakan pada
jalan-Jalan di daerah perkotaan, sedangkan untuk jalan-jalan antar kota kereb
hanya dipergunakan jika jalan tersebut
direncanakan untuk lalu lintas dengan kecepatan tinggi atau apabila
melintasi perkampungan
Berdasarkan fungsi dari kereb, maka kereb dapat dibedakan atas :
· Kereb peninggi (mountable curb), adalah kereb yang direncanakan agar
dapat didaki kendaraan, biasanya terdapat di tempat parkir di pinggir jalan/jalur
lalu lintas Untuk kemudahan didaki oleh kendaraan maka kereb harus mempunyai
bentuk permukaan lengkung yang baik. Tingginya berkisar antara 10-15 cm.
· Kereb penghalang (barrier curb), adalah kereb yang direncanakan untuk
menghalangi atau mencegah kendaraan meninggalkan jalur lalu lintas, terutama di
median, trotoar, pada jalan-jalan tanpa pagar pengaman. Tingginya berkisar antara
25 - 30 cm.
· Kereb berparit (gutter curb), adalah kereb yang direncanakan untuk membentuk
sistem drainase perkerasan Jalan. Kereb ini dianjurkan pada jalan yang
memerlukan sistem drainase perkerasan lebih baik. Pada jalan lurus diletakkan di
tepi luar dari perkerasan, sedangkan pada tikungan diletakkan pada tepi dalam.
Tingginya berkisar antara 10-20 cm.
· Kereb penghalang berparit (barrier gutter curb), adalah kereb penghalang yang
direncanakan untuk membentuk sistem drainase perkerasan jalan. Tingginya
berkisar antara 20 - 30 cm.
2.8 PENGAMAN TEPI
Pengaman tepi bertujuan untuk memberikan ketegasan tepi badan jalan.
Jika terjadi kecelakaan, dapat mencegah kendaraan keluar dari badan jalan.
Umumnya dipergunakan di sepanjang jalan yang menyusur jurang, pada tanah
timbunan dengan tikungan yang tajam, pada tepi-tepi jalan dengan tinggi
timbunan lebih besar dari 2,5 meter, dan pada jalan-jalan dengan kecepatan tinggi.

Jenis pengaman tepi


Pengaman tepi dapat dibedakan atas :

 Pengaman tepi dari besi yang digalvanised (guard rail)


Pagar pengaman dari besi dipergunakan jika bertujuan untuk melawan
tumbukan (impact) dari kendaraan dan mengembalikan kendaraan ke arah dalam
sehingga kendaraan tetap bergerak dengan kecepatan yang makin kecil sepanjang
pagar pengaman. Dengan adanya pagar pengaman diharapkan kendaraan
tidak dengan tiba-tiba berhenti atau berguling ke luar badan jalan.

· Pengaman tepi dari beton (parapet)


Pengaman tepi dari beton dianjurkan untuk dipergunakan pada jalan dengan
kecepatan rencana 80 - 100 km/Jam.

· Pengaman tepi dari tanah timbunan


Dianjurkan digunakan untuk kecepatan rencana ≤ 80 km/jam.

· Pengaman tepi dari batu kali


Tipe ini dikaitkan terutama untuk keindahan (estetika) dan pada jalan dengan
kecepatan rencana ≤ 60 km/jam.

 Pengaman tepi dan balok kayu


Tipe ini dipergunakan umuk kecepatan rencana ≤. 40 km/jam dan pada daerah
parkir

2.9 LAPISAN PERKERASAN JALAN


Lapisan Perkerasan Jalan dapat dibedakan atas lapisan permukaan, lapisan
pondasi atas, lapisan pondasi bawah dan lapisan tanah dasar. Bagian ini lebih
lanjut dapat dibaca pada buku "Perkerasan Lentur Jalan Raya"
2.10 RUANG MANFAAT JALAN (rumaja)
Daerah Manfaat Jalan meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang
pengamannya. Badan jalan meliputi jalur lalu lintas, dengan atau tanpa jalur
pemisah dan bahu jalan.
2.11 RUANG MILIK JALAN (rumija)
Daerah Milik Jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh
lebar dan tinggi tertentu yang dikuasai oleh Pembina Jalan dengan
suatu hak tertentu.
Biasanya pada jarak tiap 1 km dipasang patok DMJ berwama kuning.
Sejalur tanah tertentu diluar Daerah Manfaat Jalan tetapi di dalam Daerah Milik
Jalan dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan keluasan keamanan penggunaan
jalan antara lain untuk keperluan pelebaran Daerah Manfaat Jalan dikemudian
hari.
2.12 RUANG PENGAWASAN JALAN (ruwasja)
Daerah Pengawasan Jalan adalah sejalur tanah tertentu yang terletak
di luar Daerah Milik Jalan, yang penggunaannya diawasi oleh Pembina Jalan,
dengan maksud agar tidak mengganggu pandangan pengemudi dan konstruksi
bangunan jalan, dalam hal tidak cukup luasnya Daerah milik Jalan.
BAB XII

VOLUME GALIAN DAN TIMBUNAN

Kiri ( m2 ) Kanan ( m2 ) Volume ( m3 )


No Titik Stationing L. L. L. L. Jarak
Galian Timbunan
Galian Timbunan Galian Timbunan
1 A 0 2,9823 2,9823
15 89,469 0
2 PLV1 15 2,9823 2,9823
35 230,622 0
3 1 50 3,6069 3,6069
50 498,245 0
4 2 100 6,358 6,358
50 888,33 0
5 PPV1 150 11,4086 11,4086
50 1510,76 0
6 3 200 18,8066 18,8066
50 2366,145 0
7 4 250 28,5163 28,5163
35 2282,151 0
8 PTV1 285 36,688 36,688
15 1142,931 0
9 5 300 38,878 40,1368
12,5 882,9513 0
10 PLV2 312,5 29,407 32,8504
37,5 2224,376 0
11 PPV2 350 28,0147 28,3613
37,5 1319,529 0
12 PTV2 387,5 7,1284 6,8705
12,5 113,8 0
13 6 400 2,8667 1,3424
50 1079,7 0
14 7 450 19,258 19,7209
18,5364 613,0154 0
TS 1 =
468,5364
15 POT I-I 13,1893 13,9736
26,9232 668,7225 0
16 POT II-II 495,4596 10,3917 12,1217
21,5384 550,0875 0
17 POT III- 516,998 13,3457 15,2206
III

5,3848 152,8602 0
POT IV-
522,3828
18 IV 12,8692 15,3392
16,1536 444,5802 0
SC 1
=POT 538,5364
19 V-V 11,192 15,6437
43,4636 1001,26 1,9232643
20 8 582 9,6567 0,0398 9,5811 0,0487
50 1024,445 2,4625
21 9 632 10,7243 0,0038 11,0157 0,0062
25 582,1575 0,125
22 PLV3 657 11,2662 13,5664
25 535,6188 3,34125
23 10 682 5,6514 0,1748 12,3655 0,0925
50 796,55 53,4575
24 PPV3 732 2,4937 1,482 11,3514 0,389
50 1209,36 46,775
25 11 782 6,7785 27,7508
25 952,0463 0
26 PTV3 807 21,6538 19,9806
5,2 292,4059 0
27 PLV4 812,2 29,0199 41,8095
19,8 1550,634 0
28 12 832 40,1816 45,6187
12,8 1071,031 0
29 PI1 844,8 37,4832 44,0651
37,2 3416,801 0
30 13 882 46,4411 55,7096
50 4413,858 0
31 14 932 28,6864 45,7172
50 2346,05 137,3425
32 15 982 5,1661 19,4384 0,3276
24,8 736,2984 84,5184
33 PPV4 1006,8 6,3963 1,3223 33,5442
25,2 893,3677 44,2701
34 16 1032 4,8314 2,1912 26,1303
50 1821,938 54,78
35 17 1082 9,66 32,2558
50 2034,285 0
36 18 1132 11,6959 27,7597
18,9873 652,4843 62,5574573
CS 1 =
1150,9873
37 POT V-V 3,1448 6,5894 26,1281
16,1536 450,6281 104,333679
POT IV-
1167,1409
38 IV 2,8254 6,3283 23,6946
5,3848 140,9485 33,6961937
POT III-
1172,5257
39 III 2,7366 6,187 23,0939
21,5384 544,3066 124,664259
40 POT II-II 1194,0641 2,6263 5,389 22,0861
12,7359 312,8204 65,8955466
41 PTV4 1206,8 2,6112 4,959 21,8006
7,2 176,148 33,0138
42 19 1214 2,6994 4,2115 21,8188
6,9873 170,9632 28,5204118
ST 1 =
1220,9873
43 POT I-I 2,5803 3,952 21,8369
43,0127 981,6789 84,9930952
44 20 1264 5,7409 15,4879
50 863,07 4,88
45 21 1314 0,8973 0,1952 12,3967
50 574,9275 19,1075
46 22 1364 4,2115 5,4916 0,5691
50 458,2825 20,725
47 23 1414 1,7398 0,2216 6,8884 0,0383
50 673,24 6,4975
48 24 1464 8,4625 9,8389
50 1246,59 0
49 25 1514 15,551 16,0112
7,1394 229,9515 0
TS 2 =
1521,1394
50 POT I-I 15,7778 17,0776
21,6216 787,1776 0
51 POT II-II 1542,761 18,5694 21,3892
21,239 910,603 0
52 26 1564 20,9736 24,816
0,3826 17,53506 0
POT III-
1564,3826
53 III 21,0168 24,8562
7,5676 357,1911 0
POT IV-
1571,9502
54 IV 21,9347 26,5924
29,1892 1561,167 0
55 SC 2 = 1601,1394 25,5795 32,8622
POT V-V

12,8606 804,1013 0
56 27 1614 29,1692 37,4379
50 4019,318 0
57 28 1664 47,1708 46,9948
50 4705,84 0
58 29 1714 50,34 43,728
50 4962,173 0
59 30 1764 56,8739 47,545
45,2 4390,199 0
60 PLV5 1809,2 49,4754 40,3623
4,8 431,6935 0
61 31 1814 49,7654 40,2692
50 3957,688 0
62 32 1864 37,1783 31,0946
50 2985,768 0
63 33 1914 25,8813 25,2765
50,2 2265,172 0
64 PPV5/PI2 1964,2 17,1775 21,9106
49,8 1013,913 26,26203
65 34 2014 0,606 0,8994 1,0253 0,1553
50 189,56 35,8175
66 35 2064 4,2678 1,6833 0,378
50 245,7025 47,155
67 36 2114 2,3277 0,0346 1,5493 1,4736
5,2 17,50918 12,5827
68 PTV5 2119,2 0,7209 2,1243 2,1364 1,207
7,2 10,28628 71,40744
69 PLV6 2126,4 7,8329 8,6712
37,6 0 942,63388
70 PPV6 2164 16,4913 17,1447
37,4 0 1280,46754
71 PTV6 2201,4 15,7769 19,0613
12,6 0 469,74249
72 37 2214 19,1067 20,6174
6 0 265,6695
73 B 2220 28,7749 20,0575
44 0 1979,7272
74 38 2264 26,3034 14,8518
50 94,935 1179,11175
75 39 2314 6,0081 3,7974 0,00117
17,5209 201,4395 52,6439094
CS 2 =
2331,5209
76 POT V-V 7,3383 11,8585
29,1892 816,9459 0
POT IV-
2360,7101
77 IV 19,8648 16,9143
7,5676 276,4785 0
POT III-
2368,2777
78 III 19,6575 16,6324
13,7223 655,386 0
79 40 2382 28,6345 30,5969
7,8993 369,8472 0
80 POT II-II 2389,8993 19,0381 15,371
21,6216 606,3832 0
ST 2 =
2411,5209
81 POT I-I 11,2004 10,481
20,4791 341,9825 0
82 41 2432 5,9209 5,7959
50 292,92 618,4025
83 42 2482 12,147 12,5891
50 0 2038,9275
84 43 2532 28,6038 28,2172
50 0 3886,385
85 44 2582 49,3172 49,3172
50 0 4931,225
86 45 2632 49,3073 49,3073
50 74,62 2513,55
87 46 2682 1,9274 2,9848
40,0468 179,8181 38,5931012
TS 3 =
2722,0468
88 POT I-I 2,9978 2,9978
9,9532 56,147 0
89 47 2732 2,2888 2,9978
10,0468 49,62818 0
90 POT II-II 2742,0468 1,595 2,9978
20 84,779 0
POT III-
2762,0468
91 III 0,8806 3,0045
10 38,0585 7,8545
POT IV-
2772,0468
92 IV 1,5709 3,7266
9,9532 40,63344 18,7592937
93 48 2782 2,1986 4,4383
20,0468 104,1912 57,7618472
94 SC 3 = 2802,0468 3,5641 5,9565
POT V-V

29,9532 178,4162 106,7562


95 49 2832 3,5641 5,9565
50 297,825 178,205
96 50 2882 3,5641 5,9565
50 297,825 178,205
97 51 2932 3,5641 5,9565
50 297,825 178,205
98 52 2982 3,5641 5,9565
12,4 118,4126 44,19484
99 PLV7 2994,4 3,5641 13,1423
37,6 502,5842 144,18284
100 PPV7 3032 4,1052 13,5909
37,4 1055,796 143,67771
101 PTV7 3069,4 8,9013 3,5781 33,9675
12,6 875,0643 22,54203
102 53 3082 41,7872 54,2431
50 4766,083 0
103 54 3132 41,1327 53,4803
29,2 2175,289 0
104 PI3 3161,2 31,0328 23,3466
20,8 885,8585 0
105 55 3182 16,2559 14,5434
15,2 426,132 0
106 PLV8 3197,2 13,2882 11,9825
34,8 566,6049 43,46868

107 PPV8 3232 0,1149 2,4982 7,1779


35,2 232,6755 106,88304
108 PTV8 3267,2 3,5747 5,9274
14,8 87,72552 52,90556
109 56 3282 3,5747 5,9274
50 296,37 178,735
110 57 3332 3,5747 5,9274
50 296,37 178,735
111 58 3382 3,5747 5,9274
50 296,37 178,735
112 59 3432 3,5747 5,9274
50 296,37 178,735
113 60 3482 3,5747 5,9274
36,093 213,9376 129,021647
114 CS 3 = 3518,093 3,5747 5,9274
POT V-V

13,907 74,34335 42,2397311


115 61 3532 2,4999 4,7641
16,093 68,75734 32,5319995
POT IV-
3548,093
116 IV 1,5431 3,7809
10 34,273 12,122
POT III-
3558,093
117 III 0,8813 3,0737
20 76,646 8,813
118 POT II-II 3578,093 1,5951 2,9958
3,907 20,12672 0
119 62 3582 2,7184 2,9936
16,093 93,92599 0
120 POT I-I 3598,093 2,9767 2,9842
33,907 202,1162 0
121 63 3632 2,9767 2,9842
50 298,045 0
122 64 3682 2,9767 2,9842
51,2664 549,9936 0
123 C 3733,2664 5,1415 10,3539
-
3733,266 -28924,2 0

Total 73786,74 23631,4539


Selisih Galian Dan Timbunan 100310,5783
BAB XIII
RENCANA ANGGARAN BIAYA
A. PERHITUNGAN BAHAN
Dari perhitungan diketahui :
− Panjang jalan = 3733,2664 m
− Lebar jalan : 2×(2×3,75) m = 15 m
Luas pelebaran jalan Pada tiap – tiap tikungan
a. Tikungan I (S – C – S)
LC = 612,4509 m
LS = 70 m
L = (LC + 2LS) * 1,5 = (612,4509 + 2 * 70) * 1,5
= 1128,6763 m2
b. Tikungan II (S – C – S)
LC = 730,3815 m
LS = 80 m
L = (LC +2LS) * 1,5 = (730,3815+ 2 * 80) * 1,5
= 1335,5725 m2
c. Tikungan III (S -S)
LC = 716,0462 m
LS = 80 m
L = (LC +2LS) * 1,5 = (716,0462 m + 2 * 80) * 1,5
= 1314,0693 m2

1. KONSTRUKSI LANGSUNG
Tebal lapisan permukaan (d1) = 15,5 cm = 0,155 m

a = 15 m
b = 15 + 0,155 + 0,155 = 15,31 m

Panjang jalan tanpa pelebaran = Total panjang jalan – (Panjang tikungan I +


Panjang tikungan II + Panjang tikungan III)
= 3733,2664 m – (752,4509 m + 890,3815 m +
876,0462 m)
= 3733,2663 m – 2518,8786 m
= 1214,3878 m
 15  15,31 
Volume jalan tanpa pelebaran =  ×( 0,155 m) × (1214,3878 m)
 2 
= 2852,6273 m3

Volume jalan dengan pelebaran =  (15  15,31)  1,5  ×0,155 m)×(752,4509 m +


 2 

890,3815 m + 876,0462 m)
= 6209,7284 m3

Volume total untuk lapisan permukaan (d1) = Volume jalan tanpa pelebaran +
Volume jalan dengan pelebaran
= 2852,6273 m3 + 6209,7284 m3
= 9062,3557 m3
Volume total memperhitungkan penyusutan = Vtotal + 1,5% (Vtotal)
= 9062,3557 + 135,9353
= 9198,2911 m3
 5,7 
Volume asphalt =  × 9198,2911 = 496,0289 m3
 105,7 

 100 
Volume agregat =  × (9198,2911 – 496,0289) = 8232,9822 m3
 105,7 
 50 
Volume agregat Kasar =   × 8232,9822 = 4116,4911 m3
 100 
 43 
Volume agregat Halus =   × 8232,9822 = 3540,1823 m3
 100 
 7 
Volume agregat filler =   × 8232,9822 = 576,3088 m3
 100 
Maka volume asphalt concrete = 4116,4911 m3 + 3540,1823 m3 + 576,3088 m3
= 8232,9822 m3
Tebal masing – masing lapisan
 D1 = 15,5 cm = 0,155 m
 D2 = 38 cm = 0,38 m
 D3 = 10 cm = 0,10 m
Untuk : D1  V = 8232,9822 m3

Tebal lapisan pondasi atas (d2) = 38 cm = 0,38 m


b = 15,31 m
c = 15,31 + 0,38 + 0,38 = 16,07 m

Panjang jalan tanpa pelebaran = Total panjang jalan – (Panjang tikungan I +


Panjang tikungan II + Panjang tikungan III)
= 3733,2664 m – (752,4509 m + 890,3815 m +
876,0462 m)
= 3733,2663 m – 2518,8786 m
= 1214,3878 m
 15,31  16,07 
Volume jalan tanpa pelebaran =   × (0,38 m) × (1214,3878 m)
 2 
= 7240,4229 m3

Volume jalan dengan pelebaran =  (15,31  16,07)  1,5  ×0,38 m) × (752,4509 m +


 2 
890,3815 m + 876,0462 m)
= 15735,9384 m3

Volume total untuk lapisan pondasi atas (d2) = Volume jalan tanpa pelebaran +
Volume jalan dengan pelebaran
= 7240,4229 m3 + 15735,9384 m3
= 22976,3613 m3
Volume total memperhitungkan penyusutan = Vtotal + 1,5% (Vtotal)
= 22976,3613 + 344,6454
= 23321,0068 m3

Tebal lapisan pondasi bawah (d3) = 10 cm = 0,10 m

c c = 16,07 m
d
c’ = 16,07 + 0,10 + 0,10 = 16,27 m
c’

Panjang jalan tanpa pelebaran = Total panjang jalan – (Panjang tikungan I +


Panjang tikungan II + Panjang tikungan III)
= 3733,2664 m – (752,4509 m + 890,3815 m +
876,0462 m)
= 3733,2663 m – 2518,8786 m
= 1214,3878 m
 16,07  16,27 
Volume jalan tanpa pelebaran =   × (0,10 m) × (1214,3878 m)
 2 
= 1963,6651 m3

Volume jalan dengan pelebaran =  (16,07  16,27)  1,5  ×0,10 m)×(752,4509 m +


 2 

890,3815 m + 876,0462 m)
= 4073,0267 m3

Volume total untuk lapisan pondasi bawah (d3) = Volume jalan tanpa pelebaran +
Volume jalan dengan pelebaran
= 1963,6651 m3 + 4073,0267 m3
= 6036,6918 m3
Volume total memperhitungkan penyusutan = Vtotal + 1,5% (Vtotal)
= 6036,6918 + 90,5504
= 6127,2421 m3

2. KONSTRUKSI BERTAHAP
a. TAHAP I
Tebal lapisan permukaan (d1) = 13,5 cm = 0,135 m
a = 15 m
b = 15 + 0,135 + 0,135 = 15,27 m

Panjang jalan tanpa pelebaran = Total panjang jalan – (Panjang tikungan I +


Panjang tikungan II + Panjang tikungan III)
= 3733,2664 m – (752,4509 m + 890,3815 m
+ 876,0462 m)
= 3733,2663 m – 2518,8786 m
= 1214,3878 m
 15  15,27 
Volume jalan tanpa pelebaran =   × (0,135 m) × (1214,3878 m)
 2 
= 2481,2675 m3

Volume jalan dengan pelebaran =  (15  15,27)  1,5  ×0,135 m)×(752,4509 m +


 2 

890,3815 m + 876,0462 m)
= 5401,6722 m3

Volume total untuk lapisan permukaan (d1) = Volume jalan tanpa pelebaran +
Volume jalan dengan pelebaran
= 2481,2675 m3 + 5401,6722 m3
= 7882,9397 m3
Volume total memperhitungkan penyusutan = Vtotal + 1,5% (Vtotal)
= 7882,9397 + 118,2441
= 8001,1838 m3
 5,7 
Volume asphalt =  × 8001,1838 = 431,4735 m3
 105,7 

 100 
Volume agregat =  × (8001,1838 – 431,4735) = 7161,5045 m3
 105,7 
 50 
Volume agregat Kasar =   × 7161,5045 = 3580,7523 m3
 100 
 43 
Volume agregat Halus =   × 7161,5045 = 3079,4470 m3
 100 
 7 
Volume agregat filler =   × 7161,5045 = 501,3053 m3
 100 
Maka volume asphalt concrete = 3580,7523 m3 + 3079,4470 m3 + 501,3053 m3
= 7161,5045 m3
Tebal masing – masing lapisan
 D1 = 13,5 cm = 0,135 m
 D2 = 20 cm = 0,20 m
 D3 = 26 cm = 0,26 m
Untuk : D1  V = 7161,5045 m3

Tebal lapisan pondasi atas (d2) = 20 cm = 0,20 m


b = 15,27 m
c = 15,27 + 0,20 + 0,20 = 15,67 m

Panjang jalan tanpa pelebaran = Total panjang jalan – (Panjang tikungan I +


Panjang tikungan II + Panjang tikungan III)
= 3733,2664 m – ( 752,4509 m + 890,3815 m
+ 876,0462 m)
= 3733,2663 m – 2518,8786 m
= 1214,3878 m
 15,27  15,67 
Volume jalan tanpa pelebaran =   × (0,20 m) × (1214,3878 m)
 2 
= 3757,3159 m3

Volume jalan dengan pelebaran =  (15 ,27  15,67)  1,5  ×0,20 m)×(752,4509 m +
 2 

890,3815 m + 876,0462 m)
= 8171,2422 m3

Volume total untuk lapisan pondasi atas (d2) = Volume jalan tanpa pelebaran +
Volume jalan dengan pelebaran
= 3757,3159 m3 + 8171,2422 m3
= 11928,5580 m3
Volume total memperhitungkan penyusutan = Vtotal + 1,5% (Vtotal)
= 11928,5580 + 178,9284
= 12107,4864 m3

Tebal lapisan pondasi bawah (d3) = 26 cm = 0,26 m

c
d b = 15,67 m
c’ c’ = 15,67 + 0,26 + 0,26 = 16,19 m
Panjang jalan tanpa pelebaran = Total panjang jalan – (Panjang tikungan I +
Panjang tikungan II + Panjang tikungan III)
= 3733,2664 m – (752,4509 m + 890,3815 m +
876,0462 m)
= 3733,2663 m – 2518,8786 m
= 1214,3878 m
 15,67  16,19 
Volume jalan tanpa pelebaran =   × (0,26 m) × (1214,3878 m)
 2 
= 5029,7514 m3

Volume jalan dengan pelebaran =  (15 ,67  16,19)  1,5  ×0,26 m)×( 752,4509 m +
 2 

890,3815 m + 876,0462 m)
= 10923,8727 m3
Volume total untuk lapisan pondasi bawah (d3)= Volume jalan tanpa pelebaran +
Volume jalan dengan pelebaran
= 5029,7514 m3 + 10923,8727 m3
= 15953,6241 m3
Volume total memperhitungkan penyusutan = Vtotal + 1,5% (Vtotal)
= 15953,6241 + 239,3044
= 16192,9285 m3

b. TAHAP II
Overlay (D0) = 5,77 cm = 0,0577 m
Volume = LTotal × D0
= 3733,2664 × 0,0577 = 215,4095 m3

Volume total memperhitungkan penyusutan = Vtotal + 1,5% (Vtotal)


= 215,4095 + 3,231
= 218,6406 m3

B. PERHITUNGAN BIAYA
1. Konstruksi Langsung
Harga – harga satuan
 Untuk asphalt concretesurface tebal 4 cm = 0,04 m = Rp. 120.000

 1 
Maka, 1 m3 =   ×120.000 = Rp. 3.000.000
 0,04 
 Untuk batu pecah penetrasi Macadam, tebal 7,45 cm = 0,0745 m = Rp.
35.000

 1 
Maka, 1 m3 =   × 35.000 = Rp. 469.798,6
 0,0745 
 Untuk sand gravel, tebal 7,5 cm = 0,075 m = Rp. 27,500

 1 
Maka, 1 m3 =   × 27,500 = Rp. 366,666,67
 0,075 

No Uraian Satuan Volume Biaya V × Biaya


Asphalt
1 m3 8232,9822 3.000.000 24.698.946.600
Concrete
Penetrasi
2 m3 23321,0068 469.798,6 10.956.176.345
Macadam
Sand
3 m3 6127,2421 366.666,7 2.246.655.641
Gravel
Total Rp. 37.901.778.586

Terbilang :“Tiga puluh tujuh miliar Sembilan ratus satu juta tujuh ratus tujuh
puluh delapan ribu lima ratus delapan puluh enam rupiah”.
2. Konstruksi Bertahap
a. TAHAP I

No Uraian Satuan Volume Biaya V × Biaya


Asphalt
1 m3 7161,5045 3.000.000 21.484.513.500
Concrete
Penetrasi
2 m3 12107,4864 469.798,6 5.688.080.160
Macadam
Sand
3 m3 16192,9285 366.666,7 5.937.407.656
Gravel
Total Rp. 33.110.001.316

Terbilang :“Tiga puluh tiga miliar seratus sepuluh juta seribu tiga ratus enam
belas rupiah.”.
b. TAHAP II
= 218,6406 m3 × 3.000.000
= Rp 655.921.800
Terbilang :“Enam ratus lima puluh lima juta sembilan ratus dua puluh satu ribu
delapan ratus rupiah”.
Biaya total tahap I dan tahap II adalah Rp. 33.765.923.116
Terbilang :“Tiga puluh tiga miliar tujuh ratus enam puluh lima juta sembilan
ratus dua puluh tiga ribu seratus enam belas rupiah”.

DAFTAR PUSTAKA

Sihotang, Oloan. 2020/2021. Universitas Katolik Santo Thomas Medan.

Jurusan Teknik Sipil ITB. 1997. Analisa Struktur Perkerasan Jalan. Bandung

American Association of State Highway and Transportation Officials (AASHTO). 1993.


Guide for The Design of Pavement Structures. Washington D.C: AASHTO.

1997. PPGJR. Direktorat Jendral Binamarga. Jakarta.

1997. Manual Kapasitas Jalan Indonesia. Direktorat Jendral Binamarga. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai