PENDAHULUAN
Tugas Perencanaan Jalan Raya dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik
sehingga dapat memenuhi fungsi dasar dari jalan raya itu sendiri yaitu memberikan pelayanan
yang optimum pada arus lalu lintas dan sebagai akses termasuk perencanaan tebal perkerasan
merupakan bagian dari perkerasan jalan seutuhnya, demikian juga dengan drainase jalan.
Jadi tujuan perencanaan jalan raya adalah menghasilkan insfrasruktur yang aman,
efesiensi pelayanan lalu lintas dan memaksimalkan rasio tingkat pelayanan /biaya
pelaksanan. Ruang bentuk dan ukuran dikatakan baik, jika dapat memberi rasa aman dan
nyaman bagi pemakai jalan. Yang menjadi dasar perencanan jalan adalah sifat gerak, ukuran
kendaraan dan karakteristik arus lalu lintas. Hal-hal tersebut haruslah menjadi bahan
pertimbangan perencanaan sehingga dihasilkan bentuk dan ukuran jalan serta ruang gerak
kendaraan yang memenuhi tingkat kenyamanan dan keamanan diharapkan.
Karena pada umumnya lalu lintas pada jalan raya terdiri dari campuran kendaraan
cepat, lambat, berat, ringan dan kendaraan tak bermotor atau kendaraan fisik, maka dalam
hubungannya dengan kapasitas jalan (jumlah kendaraan maksimum yang melewati satu
titik/tempat dalam satu satuan waktu) mengakibatkan adanya pengaruh dari setiap jenis
kendaraan tersebut. Pengaruh ini diperhitungkan dengan mengekivalenkan terhadap
kendaraan penumpang sebagai kendaraan yang dinyatakan dengan faktor ekivalen (FE) = 1.
Maka dengan demikian satuan LHR adalah dengan satuan mobil penumpang (smp) atau
Passenger Car Unit (PCU). Faktor ekivalen tersebut diterapkan sesuai dengan kondisi medan,
sehingga didapatkan smp ekivalen.
Dalam menghitung VLLR, kendaraan tak bermotor seperti sepeda, becak dan lain
sebagainya, tidak diperhitungkan sebab pengoperasiannya jauh berbeda bila dibandingkan
dengan kendaraan bermotor dan pengaruhnya atas lalu lintas kendaraan bermotor berubah
tergantung volume lalu lintas kendaraan bermotor itu sendiri.
Faktor-faktor pokok pada klasifikasi jalan raya adalah volume lalu lintas rencana,
fungsi jalan raya dan kondisi medannya. Penentuan lebar daerah manfaat jalan, alinyemen
dan standar lainnya, mengikuti volume lalu lintas rencana, sedangkan penentuan kelas-kelas
standar jalan akan mengikuti fungsinya.
Berikut ini adalah Peraturan Pemerintah No. 26/1985, tentang kecepatan rencana
minimum dan lebar badan jalan minimum menurut fungsi jalan :
Untuk jalan arteri, kecepatan rencananya 60 km/jam, dan lebar badan jalan 8m.
Untuk jalan kolektor, kecepatan rencananya 40 km/jam, dan lebar badan jalan 7m.
Untuk jalan lokal, kecepatan rencananya 20 km/jam, dan lebar badan jalan 6m.
Tabel berikut menunjukkan pengelompokan jalan raya serta pengetrapan kelas standar:
Keterangan :
VLR = Volume Lalu Lintas Rencana (smp/hr)
D = Datar
B = Bukit
G = Gunung
BAB II
DATA PERENCANAAN
Jalan direncanakan adalah jalan kelas IIA sedangkan medan jalan adalah standart geometrik.
BAB III
ALINEMEN HORIZONTAL
d total = d1 + d2 + d3 + d4 + d5
= 350 + 200 + 180 + 570 + 700
= 2000 m
Maka:
ΔI = α PIA – α PI 1 PI 2 = 88° 21’ 46.8” - 87º 8’ 16.8”
= 1o 13’ 33.6”
ΔII = α PI2 – PI – α PI2 – PI3 = 88° 24’ 32.4”– 87º 8’ 16.8”
= 1o 16’ 15.6”
ΔIII = α PI2 – PI – α PIB = 91o 0’ 18”– 88° 24’ 32.4”
= 2o 34’ 10.56”
ΔIV = α PI2 – PI – α PIB = 91o 0’ 18”– 90o 24’ 32.4”
= 2o 0’ 0”
BAB IV
PERENCANAAN ALINEMEM HORIZONTAL
4.1 Bentuk – Bentuk Tikungan
Tikungan dapat dibagi atas tiga jenis :
Tikungan Circle (Full Circle)
Dari table Joseph Bernett untuk Ls = 50 m dan R rec = 350 maka di dapat :
P = 0.2975
K = 24.9955
TS = (R+P) .tg. ½ Δ + K
= (350 + 0.2975) tg. ½ 1o 13’ 33.6”+ 24.9955
= 28.743 m
ES = (R+P) .sec. ½ Δ - R
= (350 + 0.2975) sec. ½ 1o 13’ 33.6”- 350
= 0.378 m
Kontrol : 2 TS > LC
2 x 28.743 > 42.51
57.484 > 42.51 → OK
P = 0.4340
K = 24.9910
TS = (R+P) .tg. ½ Δ + K
= (240 + 0.4340) tg. ½ 1o 16’ 15.6”+ 24.9910
= 27.658 m
ES = (R+P) .sec. ½ Δ - R
= (240 + 0.4340) sec. ½ 1o 16’ 15.6”- 240
= 0.449 m
Kontrol : 2 TS > LC
2 x 27.658 > 46.676
55.316 > 46.676 → OK
Maka :
Dari table joseph bernett untuk Ls = 50 m dan θs = 1.285
maka di dapat :
P* = 0.0014544
K*= 0.4999987
P = P*.Ls
P = 0.0014544*.8.970
= 0.013
K = K*.Ls
K = 0.4999987*.8.970
= 4.485
TS = (R+P) .tg. ½ Δ + K
= (200 + 0.013) tg. ½ 2o 34’ 10.56”+ 4.485
= 8.971 m
ES = (R+P) .sec. ½ Δ - R
= (200 + 0.013) sec. ½ 2o 34’ 10.56”- 200
= 0.064 m
T = R.tg. ½ Δ
= 950 tg. ½ 2o 0’ 0” = 16.582 m
E = T tg. ¼ Δ
= 16.582 tg. ¼ 2o 0’ 0” = 0.1447 m
Ls = 0.01745.Δ.R
= 0.01745 x 2o 0’ 0” x 950
= 33.155 m
Kontrol : 2 T > Ls
2 x 16.582 > 33.155
33.164 > 33.155→ OK
BAB V
ALINEMEN VERTIKAL
Kemampuan pendakian dari kenderaan truck dipengaruhi oleh panjang pendakian ( panjang
kritis landai ) dan besarnya landai. Berikut ini adalah ketentuan untuk landai maksimum dari
panjang landai maksimum.
Landai maks ( % ) 3 4 5 6 7 8 10 12
Panjang Kritis ( m ) 480 330 250 20 170 150 135 120
Landai maksimum hanya digunakan bila pertimbangan bi8aya sangat memaksa dan hanya
untuk jarak pendek. Panjang kritis landai adalah :
“ panjang yang dapat diterima tanpa mengakibatkan gangguan jalannya arus lalu lintas
”
( sepanjang ini mengakibatkan pengurangan sebesar 25 km/jam ). Bila pertimbangan biaya
memaksa, maka panjang kritis dapat dilampaui dengan syarat ada jalur khusus untuk
kenderaan berat.
Bentuk lengkung ini adalah analogi dengan penjelasan dari lengkung vertikal cembung di
atas, hanya panjang lengkung vertikal cekung ditentukan berdasarkan jarak pandangan waktu
malam drinase sebagai mana tercantum dalam grafik F “PPGJR”.
Note : - pada alinemen vertikal tidak semua lengkungan mengikuti syarat diatas tapi tergantung pada :
- Keadaan medan
- Klasifikasi jalan dan
- Pembiayaan
- Menentukan harga A = q2 – q1, ada dua cara :
1. Bila % ikut serta dihitung, maka rumus seperti diatas.
2. Bila % sudah dimasukkan dalam rumus, rumus menjadi :
q2 =
q1 =
STA PVI1 = (0 + 450)
A = g2- g1 = 1.31 % - 0.04 % = 1.27 % → (Lengkung Vertikal Cengkung)
V = 70 km/jam
- Syarat keamanan = (grafik VPPGJR : hal 22) ………………….
LV = 50 m → S > LV
V = 70 km/ jam
- Syarat keleluasaan bentuk:
LV = 0.6 V = 0.6.(70) = 42 m
- Syarat kenyamanan : a = 0.1 m/det
LV =
Elevasi b = elevasi b’ - Yb
= 10.316 - 0.082 = 10.234 m
STA. b = STA PVI1 + (1/4 LV)
= ( 0 + 450 ) + ( 1/4 50 ) = ( 0 + 437.5)
q2 =
q1 =
STA PVI2 = (1 + 050)
LV =
Elevasi a = elevasi a’ – Ya
= 12.224 – 0.001 = 8.926 m
STA. a = STA PVI2 – (1/4 LV)
= ( 1 + 050 ) – ( 1/4 . 40 ) = ( 1+ 060 )
* Elevasi b’ = elevasi PVI2 – ( 1/4 LV )
= 12.239– 0.146 % ( 1/4 . 40 ) = 12.254 m
Elevasi b = elevasi b’ + Yb
= 12.254 + 0.001 = 12.255 m
STA. b = STA PVI2 + (1/4 LV)
= ( 1 + 050 ) + ( 1/4 . 40 ) = ( 1 + 060 )
q1 =
q2 =
STA PVI1 = (1 + 800)
LV =
Elevasi a = elevasi a’ + Ya
= 10.265 + 0.174 = 10.439 m
STA. a = STA PVI3 – (1/4 LV)
= ( 1+ 800 ) – ( 1/4 40 ) = ( 1+ 600 )
* Elevasi b’ = elevasi PVI3 - ( 1/4 LV )
= 10.491– 2.26 % ( 1/4 .40 ) = 10.265 m
Elevasi b = elevasi b’ - Yb
= = 10.265 – 0.174 = 10.091 m
STA. b = STA PVI3 + (1/4 LV)
= ( 1 + 800 ) + ( 1/4 40 ) = ( 1 + 900 )
BAB VI
STATIONING
1. patok Km merupakan petunjuk yang diukur dari patok Km.0.00 yang umumnya
terletak di Ibu Kota Propinsi atau Kota Madya, Patok STA merupakan petunjuk jalan
yang diukur dari awal pekerjaan (proyek) sampai dengan akhir pekerjaan.
2. Patok km berupa patok permanen dipasang dengan ukuran standar yang berlaku.
Patok STA merupakan patok sementara selama masa pelaksanaan ruas jalan.
2. STA. 1
STA TS2 = STA. 0 + 336.372 + ( d2 – TS1 – TS2 )
= STA. 0 + 336.372 + ( 200.25 – 28.742 – 27.658 )
= STA. 0 + 480.222 m
STA ST2 = STA. CS2 + LC
= STA. 0 + 480.222 + (-46.676)
= STA. 0 + 345.546 m
3. STA. 2
STA TS2 = STA. 0 + 345.546 + ( d3 – TS2 – TS3 )
= STA. 0 + 345.546 + ( 180.07 – 27.658 – 29.934 )
= STA. 0 + 468.024 m
STA ST2 = STA. CS2 + LC
= STA. 0 + 468.024 + 40.137
= STA. 0 + 508.161 m
4. STA. B
B = STA.ST2 + (d5 – TS3 – TS4)
= STA. 0 + 508.161 + ( 806.86 – 46.8115 - 16.582)
= STA. 1 + 251.627 m
Rw = → R1 = ( R – 3.5 )
R1 = ( R – 3.5 )
= ( 350 – 3.5 )
= 346.5 m
Rw =
=
= 349.09 m
B = Rw – R1
= 349.09 – 496.50
= 2.59 m
Bt = n.(B + C) + Z Z=
Rw = → R1 = ( R – 3.5 )
R1 = ( R – 3.5 )
= ( 240 – 3.5 )
= 236.5 m
Rw =
=
= 239.134 m
B = Rw – R1
= 239.134 – 236.5
= 2.634 m
Bt = n.(B + C) + Z Z=
Rw = → R1 = ( R – 3.5 )
R1 = ( R – 3.5 )
= ( 200 – 3.5 )
= 196.5 m
Rw =
=
= 199.161 m
B = Rw – R1
= 199.161 – 196.5
= 2.661 m
Bt = n.(B + C) + Z Z=
Rw =
=
= 949.034 m
B = Rw – R1
= 949.034 – 946.5
= 2.534 m
Bt = n.(B + C) + Z Z=
a. Menghitung Panjang LS
LS = ( en + e max ) . ½ . B . m
= ( 0.02 + 0.07 ) x ½ x 7 x 125 = 39.375 m
a. Menghitung Panjang LS
LS = ( en + e max ) . ½ . B . m
= ( 0.02 + 0.09 ) x ½ x 7 x 125 = 48.125 m
BAB VII
GALIAN DAN TIMBUNAN
Untuk menghitung panjang horizontal jalan dibuatkan patok (station) dengan ketentuan –
ketentuan sebagai berikut :
- Untuk daerah datar, jarak antara patok (station) = 100
- Untuk daerah bukit, jarak antara patok (station) = 50
- Untuk daerah gunung, jarak antara patok (station) = 25
BAB VIII
PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN
Lapisan Perkerasan
Surace Coure : Aspal Beton
Base Coure : Batu Pecah
Sub Base Coure : Base Class A, B , Material Pilihan
Medan : Standart Geometrik
Kecepatan Rencana : 70 km/jam
Indeks Permukaan (IP) : 2.0 Aspal Beton
Faktor Regional : 2.0 Curah Hujan 900 mm/tahun
b. Mencari ITP
CBR Tanah Dasar = 6%
DDT =5
IP = 2.0
FR = 0.7
ITP = 7.25 → (IP0 = 3.9 – 3.5) Nomogram
LER = 173.640