DASAR TEORI
AKMAL HENDRI II - 2
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
3. Karakteristik geometrik, meliputi :
a. Tipe jalan.
b. Bagian-bagian jalan.
c. Tipe alinyemen.
d. Daerah penguasaan jalan.
4. Keadaan geologi tanah dasar.
5. Kondisi lingkungan.
6. Pertimbangan ekonomi.
7. Pertimbangan keselamatan lalu lintas.
AKMAL HENDRI II - 3
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
yang umum dipergunakan sehubungan dengan penentuan jumlah dan lebar lajur
adalah :
a. Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR), adalah volume lalu lintas rata-rata
dalam satu hari. Dari cara memperoleh data LHR ini ada dua jenis yaitu
Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR) dan Lalu Lintas Harian Rata-Rata
Tahunan (LHRT).
b. Volume Jam Perencanaan (VJP), adalah suatu satuan yang menunjukan
jumlah arus lalu lintas yang direncanakan akan melintasi suatu penampang
jalan selama satu jam.
c. Kapasitas, adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat dilewati suatu
penampang jalan pada jalur jalan selama 1 jam dengan kondisi serta arus
lalu lintas tertentu.
Untuk perencanaan geometrik jalan volume lalu lintas sangat berpengaruh
terhadap perencanaan jumlah lajur dan lebar jalan yang dibutuhkan. Makin besar
jumlah kendaraan berat dan jumlah kendaraan tak bermotor lewat, makin banyak
jumlah lajur dan lebar jalan yang dibutuhkan. Di Indonesia lebar jalan satu lajur
adalah 3,00 - 3,75 m.
2. Kendaraan rencana
Kendaraan rencana adalah kendaraan yang merupakan wakil dari
kelompoknya, dipergunakan untuk merencanakan bagian-bagian dari jalan. Untuk
perencanaan geometrik jalan, ukuran lebar kendaraan rencana akan
mempengaruhi lebar lajur yang dibutuhkan. Sifat membelok kendaraan akan
mempengaruhi perencanaan tikungan dan lebar median dimana mobil
diperkenankan untuk memutar (U turn). Daya kendaraan akan mempengaruhi
tingkat kelandaian yang dipilih, dan tinggi tempat duduk pengemudi akan
mempengaruhi jarak pandangan pengemudi. Kendaraan rencana mana yang akan
dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan ditentukan oleh fungsi jalan dan
jenis kendaraan dominan yang memakai jalan tersebut. Menurut Direktorat
Jendral Bina Marga standar perencanaan geometrik untuk jalan perkotaan, Januari
1988 membagi tipe kendaraan sebagai berikut :
AKMAL HENDRI II - 4
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
a. Kendaraan ringan/ kecil, yaitu kendaraan bermotor ber as dua (mempunyai
berat total kecil dari 5 ton) dengan 4 roda dan dengan jarak 2,0-3,0 m,
seperti mobil penumpang, pick up dan mobil hantaran.
b. Kendaraan sedang, yaitu kendaraan bermotor dengan dua gandar atau ber
as dua dengan jarak 3,5 - 5,0 m, seperti bus kecil dan truk 2 as dengan 6
roda.
c. Kendaraan berat/besar, seperti bus besar dan truk besar.
3. Kecepatan Rencana
Kecepatan adalah besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh kendaraan
dibagi waktu tempuh. Biasanya dinyatakan dalam km/jam. Kecepatan rencana
adalah kecepatan aman maksimum yang dipilih untuk keperluan perencanaan
setiap bagian jalan raya seperti tikungan, kemiringan jalan, jarak pandang dan
lain-lain. Kecepatan yang dipilih tersebut adalah kecepatan tertinggi menerus
dimana kendaraan dapat berjalan dengan aman dan keamanan itu sepenuhnya
tergantung dari bentuk jalan.
a. Keadaan medan (terrain), apakah datar, berbukit atau gunung.
b. Sifat dan tingkat penggunaan daerah, apakah jalan di dalam kota atau di
luar kota.
AKMAL HENDRI II - 5
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
c. Kondisi pengemudi,cuaca, jenis kendaraan, kondisi fisik jalan, dan
gangguan kendaraan lainnya.
Untuk menentukan kecepatan rencana berdasarkan jenis medan ditunjukkan
Tabel 2.2 berikut.
AKMAL HENDRI II - 7
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
Volume Lalu Lintas Harian Rata-Rata (VLHR) adalah perkiraan volume lalu
lintas harian pada akhir tahun rencana lalu lintas yang dinyatakan dalam smp/hari.
Berikut ini adalah beberapa komposisi lalu lintas, antara lain:
a. Satuan Mobil Penumpang (SMP)
Satuan Mobil Penumpang (SMP) adalah satuan arus lalu lintas dimana arus
dari berbagai kendaraan telah diubah menjadi kendaraan ringan (termasuk
mobil penumpang) dengan menggunakan Ekivalen Mobil Penumpang (EMP).
b. Ekivalen Mobil Penumpang (EMP)
Ekivalen Mobil Penumpang (EMP) adalah faktor konversi berbagai jenis
kendaraan dibandingkan dengan mobil penumpang atau kendaraan ringan
lainnya sehubungan dengan dampaknya pada prilaku lalu lintas (untuk mobil
penumpang dan kendaraan ringan lainnya, nilai EMP = 1,0).
Untuk menentukan nilai ekivalen mobil penumpang dapat dilihat dari Table
2.3 dibawah ini
Tabel 2. 3 Ekivalen Mobil Penumpang
VR ( VR / 3,6 )2
T+
Jh = 3,6 2g . fp ………………………………...…...(2.4)
Keterangan :
VR = Kecepatan rencana (km/jam)
AKMAL HENDRI II - 9
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
T = Waktu tanggap (2,5 detik)
G = Percepatan gravitasi (9,8 m/dt2)
Fp = Koefisien gesek memanjang antara ban dengan aspal
Jht = Jarak tanggap (m)
Jhr = Jarak pengereman (m)
Tabel 2.4 menampilkan panjang Jh minimum yang dihitung
berdasarkan persamaan diatas dengan pembulatan untuk berbagai VR.
Tabel 2. 4 Jarak Pandang Henti (Jh) Minimum
AKMAL HENDRI II - 10
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
a. Kecepatan kendaraan yang bersangkutan
b. Kebebasan
c. Reaksi
d. Kecepatan pengemudi
e. Besar kecepatan maksimum
Besar jarak pandang menyiap dan panjangnya dapat dihitung berdasarkan
rumus berikut:
D = d1 + d2 + d3 + d4 …………………...………………………….. (2.5)
Keterangan :
D : Jarak pandang menyiap (m)
d1 : Jarak pandang PIEV (percepatan, intelectio, emotion dan vilition) =
0,27 tl (V – m + (atl/2)
d2 : Jarak yang ditempuh dalam menyiap (0,276 vt2)
d3 : Jarak bebas (30-100) m
d4 : Jarak yang ditempuh dari arah lawan (2/3 d2)
Catatan :
V : Kecepatan rata-rata kendaraan menyiap
M : Perbedaan kecepatan kendaraan yang disiap dan menyiap (15 km/jam)
t : Waktu kendaraan menyiap berjalan di jalan kanan
AKMAL HENDRI II - 11
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
Tabel 2. 5 Jarak pandang mendahului (Jd) minimum
Jd min (m) 800 670 550 350 250 200 150 100
Sumber :Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Tahun 1997
1) Menurut sistem
Jalan Primer
Merupakan jalan umum yang berfungsi menghubungkan secara berdaya
guna antar pusat kegiatan nasional atau antara pusat kegiatan nasional
dengan pusat kegiatan wilayah. Sistem jaringan jalan primer disusun
berdasarkan tata ruang dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk
pengembangan semua wilayah ditingkat nasional.
Jalan sekunder
Merupakan jaringan jalan umum yang berfungsi untuk melayani angkutan
utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh berkecepatan rata-rata tinggi
dan jumlah jalan masuk dibatasi seefisien mungkin, dengan peranan
distribusi untuk masyarakat dalam kota.
2) Menurut fungsi
Arteri
AKMAL HENDRI II - 12
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan
ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk
dibatasi secara berdaya guna.
Kolektor
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau
pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang,
dan jumlah jalan masuk dibatasi.
Lokal
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan
ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan
masuk tidak dibatasi.
Lingkungan
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan
dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.
3) Menurut status
Nasional
Merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan
primer
yang menghubungkan antar ibukota provinsi, dan jalan strategis nasional,
serta jalan tol.
Provinsi
Merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang
menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau antar
ibukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi.
Kabupaten
Merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak
termasuk jalan nasional dan jalan provinsi, yang menghubungkan ibukota
kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota
kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan lokal, serta
AKMAL HENDRI II - 13
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten,
dan jalan strategis kabupaten.
Kota
Jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan
antar pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan
persil, menghubungkan antar persil, serta menghubungkan antar pusat
permukiman yang berada di dalam kota.
Jalan desa
merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antar
permukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan.
AKMAL HENDRI II - 14
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
Kelas II B adalah jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi
permukaan jalan dari penetrasi berganda atau yang setara dalam
komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat tapi tanpa kendaraan
bermotor.
- Kelas II C
Kelas II C adalah jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi
permukaan jalan dari jenis penetrasi tunggal dimana dalam komponen
lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tidak bermotor.
Kelas III
Kelas jalan ini mencakup semua jalan penghubung dan merupakan
konstruksi jalan berjalur tunggal. Konstruksi permukaan jalan yang paling
tinggi adalah peleburan dengan aspal.
Klasifikasi jalan berdasarkan fungsi dan LHR dapat dilihat pada Tabel 2.6
sebagai berikut :
Klasifikasi Jalan
LHR dalam SMP
Fungsi Kelas
Primer I > 20000
Sekunder II A 6000-20000
II B 1500-8000
II C < 2000
Penghubung III
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Raya (PPGJR) No. 13/1970
AKMAL HENDRI II - 15
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
Tabel 2. 7 Faktor Ekivalen Berdasarkan Penelitian AASHTO
Jenis Kendaraan SMP
Sepeda 0,5
Mobil penumpang / sepeda motor 1,0
Truk ringan 2,0
Truk Sedang 2,5
Bus 3,0
Truk berat 3,0
Kendaraan tak bermotor 7,0
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Raya(PPGJR) No. 13/1970
AKMAL HENDRI II - 16
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
3. Bentuk penampang melintang jalan
Bentuk penampang melintang yang digunakan harus sesuai dengan klasifiakasi
jalan dan kebutuhan lalu lintas yang bersangkutan. Demikian pula lebar badan
jalan, drainase dan kebebasan pada jalan raya harus disesuaikan dengan
peraturan yang berlaku.
AKMAL HENDRI II - 17
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
e. Untuk tikungan yang berbentuk S panjang bagian tangen antara kedua
tikungan harus cukup untuk memberikan rounding (25-30 m) pada ujung
ujung tepi perkerasan.
f. Harus memperhitungkan drainase yang cukup.
g. Hindari daerah rawa, sungai, dan perbukitan sedapat mungkin menghindari
pekerjaan tanah yang besar.
h. Memanfaatkan material atau bahan yang ada di sekitar tempat pekerjaan.
Berikut adalah ketentuan-ketentuan lengkung/ alinyemen horizontal :
1. Garis lurus (tangen) yaitu jalan bagian lurus.
Untuk menentukan panjang bagian lurus jalan ditunjukkan dalam Tabel 2.9
berikut :
Tabel 2. 9 Panjang Bagian Lurus Maksimum
Panjang Bagian Lurus Maksimum (m)
Fungsi
Datar Bukit Gunung
Arteri 3000 2500 2000
Kolektor 2000 1750 1500
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Tahun 1997
2. Tikungan
Kendaraan pada saat melalui tikungan dengan kecepatan (V) akan menerima
gaya sentrifugal yang menyebabkan kendaraan tidak stabil, maka untuk
mengimbanginya, perlu dibuat suatu kemiringan melintang jalan pada
tikungan yang disebut Superelevasi (e).
Rumus umum untuk lengkung horizontal :
V2
R=
127 ( e max +f max )
………………….…...………………….……….... (2.6)
25
D= x 360 0
2 πR ……………..…………….……………………………....(2.7)
Keterangan :
R : Jari-jari lengkung
D : Derajat kelengkungan
AKMAL HENDRI II - 18
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
emax : Superelevasi maksimum
fmax : Koefisien gesekan melintang maksimum
Panjang jari jari minimum rencana ditunjukkan dalam Tabel 2.10 berikut ini.
Tabel 2. 10 Panjang Jari-Jari Minimum (dibulatkan, untuk emax = 10 %)
AKMAL HENDRI II - 19
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
Gambar 2. 3 Bentuk Busur Lingkaran Full Circle
Keterangan :
Δ = Sudut tikungan (°)
O = Titik pusat lingkaran
Tc = Panjang tangen jarak dari TC ke PI atau PI ke CT (m)
Rc = Jari-jari lingkaran (m)
Lc = Panjang busur lingkaran (m)
Ec = Jarak luar dari PI ke busur lingkaran (m)
Rumus yang digunakan :
Tc = Rc tan ½ ……………….………………….………..……………. (2.8)
Ec = Tc tan ¼ ………………………………………..……….………. (2.9)
Δ2 π Rc
Δ
3600
Lc = …………………………………….…….…………...... (2.10)
AKMAL HENDRI II - 20
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
b. Untuk mengadakan perubahan lereng melintang dari normal ke maksimal
secara berangsur-angsur sesuai dengan gaya sentrifugal yang terjadi.
c. Panjang lengkung peralihan dihitung dengan mempertimbangkan bahwa
gaya sentrifugal dari nol sampai luar jangan sampai menimbulkan
perasaan tidak nyaman.
Lengkung peralihan dengan bentuk spiral ini banyak digunakan oleh Bina
Marga, dengan adanya lengkung peralihan ini maka tikungan menggunakan SCS.
Tabel 2. 12 Batas Jari-Jari Minimum Untuk Tikungan S-C-S
V Rencana (km/jam) R minimum (meter)
120 560
100 350
80 210
60 115
40 50
30 30
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Tahun 1997
AKMAL HENDRI II - 21
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
SC = Titik dari spiral ke lingkaran (m)
Es = Jarak dari PI ke busur lingkaran (m)
Θs = Sudut lengkung spiral (m)
Rc = Jari-jari lingkaran (m)
P = Pergeseran tangen terhadap spiral (m)
K = Absis dari p pada garis tangen spiral (m)
Rumus yang digunakan :
1
a. TS = ( R + P ) tg 2
Δ+ K
.…………………………………..…….. (2.11)
( R + P)
ES = − R
cos 1 2 Δ
b. .………………………………………….…..... (2.12)
Δc
LC = 2 π R > 20 m
c. 360 ………...……………………………...(2.13)
d. Δc= Δ − 2 θ s ……………………………….……………………...(2.14)
e. L = Lc + 2 Ls < 2 Ts …………………………………….……......(2.15)
φs
Ls = . R
f. 28 ,648 ………………………………………….……....(2.16)
AKMAL HENDRI II - 22
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
Keterangan :
T = Waktu tempuh (3 detik)
Rc = Jari-jari busur lingkaran (m)
C = Perubahan kecepatan (0,3-1,0 disarankan 0,4 m/det3)
Rc = Jari-jari tingkat pencapaian perubahan kelandaian
melintang jalan (m)
e = Superelevasi (%)
em = Superelevasi maksimum (%)
en = Superelevasi normal (%)
VR = Kecepatan rencana (km/jam)
1
θs = Δ
Δ =2 θs 2
, ………………….....….........................................(2.21)
Lc = 0, Lt = 2 Ls ………………..……….....………………….…….......(2.22)
θ sR
28 , 648
Ls = …………………………………........…...….…………... (2.23)
P = P* . Ls ………………...……………………....…..….…………….(2.24)
X = X* . Ls …………………................................................................ (2.25)
Y = y* . Ls ……………………..……………………………........….. .(2.26)
K = k* . Ls …………………………………........................................(2.27)
Ts = (R + P) tg ½ + K ………………………….......…..………....... (2.28)
AKMAL HENDRI II - 23
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
R+P
−R
Cos ½ Δ
Es = …………………………........…………………... (2.29)
Keterangan :
P* = Pergeseran tangen terhadap spiral yang belum terkoreksi oleh Ls (m)
K* = Absis dari p pada garis tangen spiral yang belum terkoreksi oleh Ls (m)
X* = Pergeseran absis titik sc pada garis tangent belum terkoreksi oleh Ls (m)
Y* = Pergeseranordinat titik sc pada garis tangen belum terkoreksi oleh Ls(m)
AKMAL HENDRI II - 24
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
Gambar 2. 6 Stationing
AKMAL HENDRI II - 25
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
3. Elevasi tepi perkerasan dalam sebagai sumbu putar
AKMAL HENDRI II - 26
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
(-)
l/m emax
h
LS
en en
AKMAL HENDRI II - 27
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
Penentuan lebar pelebaran jalur lalu lintas di tikungan ditinjau dari elemen-
elemen keluar lajur (off tracking) dan kesukaran dalam mengemudi di tikungan.
Kendaraan yang bergerak dari jalan lurus menuju ke tikungan, seringkali tak
dapat mempertahankan lintasannya pada lajur yang disediakan. Hal ini disebabkan
karena :
a. Pada waktu membelok yang diberi belokan pertama kali hanya roda
depan, sehingga lintasan roda belakang agak keluar lajur (off tracking).
b. Jejak lintasan kendaraan tidak lagi berimpit, karena bemper ban depan
dan belakang kendaraan akan mempunyai lintasan yang berbeda dengan
lintasan roda depan dan roda belakang kendaraan.
c. Pengemudi akan mengalami kesukaran dalam mempertahankan
lintasannya tetap pada lajur jalannya terutama pada tikungan-tikungan
yang tajam atau pada kecepatan yang tinggi.
Elemen-elemen dari pelebaran perkerasan tikungan terdiri dari :
Off tracking
Bina Marga memperhitungkan lebar B dengan mengambil posisi kritis
kendaraan yaitu pada saat roda depan kendaraan pertama kali dibelokkan
dan tinjauan dilakukan untuk lajur sebelah dalam.
Kesukaran dalam mengemudi di tikungan
Diberikan oleh AASHTO sebagai fungsi dari kecepatan dan radius lajur
sebelah dalam. Semakin tinggi kecepatan kendaraan dan semakin tajam
tikungan tersebut, semakin besar tambahan pelebaran akibat kesukaran
dalam mengemudi. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan terlemparnya
kendaraan ke arah luar dalam gerakan menikung tersebut.
AKMAL HENDRI II - 29
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
dan merencanakan lengkung vertikal, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,
yaitu :
1. Kelandaian Maksimum
Kelandaian maksimum yang ditentukan untuk berbagai kecepatan rencana,
dimaksudkan agar kendaraan dapat bergerak terus tanpa kecepatan yang berarti.
Kecepatan maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh
mampu bergerak dengan kecepatan tidak kurang dari separuh kecepatan semula
tanpa harus menggunakan gigi rendah.
Tabel 2. 14 Kelandaian Maksimum Yang Diizinkan (%)
Kelandaian 3 3 4 5 8 10 10
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Tahun 1997
2. Kelandaian Minimum
Pada jalan yang menggunakan kerb pada tepi perkerasan, perlu dibuat
kelandaian minimum 0,5% untuk keperluan kemiringan saluran samping, karena
kemiringan melintang jalan dengan kerb hanya cukup untuk mengalirkan air ke
samping.
3. Panjang Kritis
Panjang kritis diperlukan sebagai batasan panjang kelandaian maksimum agar
pengurangan kecepatan kendaraan tidak lebih dari separuh Vr. Lama perjalanan
kritis tidak lebih dari 1 menit.
Tabel 2. 15 Panjang Kritis
AKMAL HENDRI II - 30
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
Lengkung vertikal adalah suatu perencanaan dalam alinyemen vertikal untuk
membuat perubahan yang berangsur-angsur pada dua kemiringan yang berbeda
sehingga nyaman dilalui. Lengkung vertikal ini direncanakan untuk merubah
secara bertahap perubahan dari dua macam kelandaian arah memanjang jalan pada
setiap lokasi yang diperlukan. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi goncangan
akibat perubahan kelandaian dan menyediakan jarak pandang henti yang cukup
untuk keamanan dan kenyamanan.
Bentuk-bentuk lengkung vertikal ada 2 macam :
1) Lengkung Vertikal Cembung
PLV PTV
EV
PTV
PLV
AKMAL HENDRI II - 31
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
[ ]
Xi 2
Yi = ½ L
. EV ⇒
AXi 2
200 L ………………..………………….......…. (2.32)
Tinggi Titik PTV−Tinggi Titik PLV
x 100%
g1 = ½ L ……..….…......... (2.33)
Tinggi Titik PTV−Tinggi Titik PVI
x 100%
g2 = ½ L ……...…..……… (2.34)
A = g2 – g1 ……………………..………………..………….…….…. (2.35)
Panjang L, berdasarkan Jh
A. J
h2
PLV
PTV
AKMAL HENDRI II - 32
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
PLV
Gambar
Rumus-rumus yang2.digunakan
13 Lengkung
dalamvertikal cekung
lengkung untuk
ini sama Jh > rumus
dengan L yang
ada pada lengkung vertikal cembung.
Hubungan dari gambar di atas :
A . Jh 2
Jh < L, maka L = 120+3 , 5 Jh ……………………………………….... (2.40)
120+3 , 5 Jh
2 Jh−
Jh > L, maka L = A …………………………..……… (2.41)
Untuk mendapatkan perencanaan vertikal yang baik diperlukan rumus untuk
mencari elevasi vertikal (Ev) :
A. L
Ev = 800 ….………………….…………………………………….… (2.42)
Keterangan :
Ev = Jarak offset vertikal (m)
A = Jumlah kelandaian (perbedaan aljabar landai)
Lv = Panjang lengkung vertikal (m)
AKMAL HENDRI II - 33
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
1. Konstruksi perkerasan lentur (Flexible Pavement) yaitu perkerasan yang
menggunakan aspal sebagai bahan pengikat.
2. Konstruksi perkerasan kaku (Rigid Pavement) yaitu perkerasan yang meng-
gunakan semen sebagai bahan pengikat.
3. Konstruksi perkerasan komposit (Composite Pavement) yaitu perkerasan
kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur.
Tabel 2.16 di bawah ini menjelaskan tentang perbedaan perkerasan lentur dan
kaku sebagai berikut :
AKMAL HENDRI II - 34
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
perkerasan kaku perkerasan lentur
Bentuk Perkerasan Lentur :
Lapis Permukaan
Lapis Pondasi Atas
Tanah Dasar
Lapis Pondasi
Tanah Dasar
Gambar 2. 14 Susunan Lapisan Perkerasan
2.3.1 Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)
Untuk dapat memberikan rasa aman dan nyaman, maka konstruksi
perkerasan lentur harus memenuhi syarat-syarat yaitu :
1. Syarat-syarat berlalu lintas
a. Permukaan yang rata, tidak bergelombang, tidak melendut dan tidak
berlubang.
b. Permukaan cukup kaku, sehingga tidak mudah berubah bentuk akibat
beban.
c. Permukaan cukup kesat, memberikan gesekan yang baik antara ban dan
permukaan jalan, sehingga tidak mudah slip.
d. Permukaan tidak mengkilap, tidak silau jika terkena sinar matahari.
2. Syarat-syarat kekuatan/struktural
a. Ketebalan yang cukup, hingga mampu menyebarkan beban/muatan lalu
lintas ke tanah dasar.
b. Kedap terhadap air, sehingga tidak mudah meresap ke lapisan bawahnya.
c. Permukaan mudah mengalirkan air, sehingga air hujan yang jatuh di
atasnya dapat cepat dialirkan.
d. Kekakuan untuk memikul beban yang bekerja tanpa menimbulkan
deformasi yang berarti.
AKMAL HENDRI II - 35
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
Untuk memenuhi syarat-syarat di atas maka perencanaan dan pelaksanaan
konstruksi perkerasan lentur harus mencakup :
1. Perencanaan tebal masing-masing lapisan perkerasan lentur dengan
memperhatikan :
a. Daya dukung tanah dasar
b. Beban lalu lintas yang akan dipikulnya
c. Keadaan lingkungan
d. Jenis lapisan yang akan dipakai
2. Analisa campuran bahan dengan memperhatikan mutu bahan dan jumlah
bahan setempat yang tersedia sehingga terpenuhi spesifikasi dari jenis
lapisan.
3. Pengawasan pelaksanaan pekerjaan
Perencanaan perkerasan lentur baik, susunan campuran bahan yang memen-
uhi syarat, harus diikuti dengan pengawasan pelaksanaan yang cermat, mulai
dari tahap penyiapan lokasi dan material sampai tahap pencampuran atau
penghamparan, akhirnya pada tahap penghamparan dan pemeliharaan.
AKMAL HENDRI II - 36
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
b. Sifat mengembang dan menyusut dari tanah.
c. Daya dukung tanah dasar yang tidak merata dan sulit
ditentukan pada
daerah dengan macam tanah yang sangat berbeda.
d. Lendutan dan lendutan balik selama dan sesudah
pembebanan lalu lintas
e. Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu lintas dan
penurunan yang
diakibatkannya, yaitu pada tanah berbutir kasar yang tidak dipadatkan
secara baik pada saat pelaksanaanya.
b) Lapis pondasi bawah (subbase course)
Lapis pondasi bawah terletak antara lapis pondasi atas dan tanah dasar.
Fungsi dari lapisan ini adalah :
a. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan lentur untuk menyebarkan
beban roda ke tanah dasar, lapisan ini harus cukup kuat, mempunyai CBR
≥ 20% dan PI ≤ 10 %, yang lebih baik dari tanah dasar.
b. Efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisan-lapisan
selebihnya dapat dikurangi.
c. Sebagai lapis peresapan agar air tanah tidak mengumpul di tanah dasar
atau pondasi atas.
d. Sebagai lapisan pertama, agar pekerjaan lapisan di atasnya dapat berjalan
lancar.
e. Untuk mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapisan pondasi
atas.Jenisnya antara lain Sirtu, stabilisasi agregat dengan semen atau
kapur, dan stabilisasi tanah dengan semen atau kapur.
c) Lapis pondasi atas (base course)
Lapis pondasi atas terletak antara lapisan permukaan dan lapisan pondasi
bawah. Fungsi dari lapisan ini adalah :
a. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan yang menahan gaya lintang dan
beban roda dan menyebarkan beban ke lapisan bawahnya dengan syarat
CBR ≥ 50% dan PI ≤ 4 %.
AKMAL HENDRI II - 37
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
b. Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan.
c. Sebagai lapisan peresapan untuk lapisan podasi bawah. Jenisnya antara
lain batu pecah, kerikil pecah, ATB, Macadam, Lapen dan stabilisasi tanah
dengan semen atau kapur.
d) Lapis permukaan (surface course)
Lapis permukaan adalah lapisan teratas dari sebuah perkerasan. Fungsi dari
lapisan ini adalah :
a. Sebagai bahan perkerasan untuk menahan beban roda, lapisan mempunyai
stabilitas yang tinggi untuk menahan beban roda selama masa pelayanan.
b. Sebagai lapisan kedap air, untuk melindungi badan jalan dari kerusakan
akibat air hujan.
c. Sebagai lapisan aus (wearing course) yaitu lapisan yang langsung
menerima gesekan akibat rem kendaraan.
d. Sebagai lapisan yang menyebarkan beban ke lapisan bawah.
e. Menyediakan daya cengkram dengan roda kendaraan sehingga tidak
mudah slip.Jenisnya antara lain Burtu, Burda, Latasir, Lataston, HRA,
Lapen, Lasbutag, Laston dan Aspal Macadam.
AKMAL HENDRI II - 39
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
4. Sifat tanah dasar/daya dukung tanah (DDT) dasar
5. Kondisi lingkungan/faktor regional
1. Fungsi Jalan
Menurut UU tentang jalan No.38 tahun 2004, sistem jaringan jalan di
Indonesia dibedakan atas :
a. Sistem jaringan jalan primer
b. Sistem jaringan jalan sekunder
Fungsi jalan dibagi atas :
a. Jalan arteri
b. Jalan kolektor
c. Jalan lokal
d. Jalan lingkungan
Untuk penjelasannya terdapat pada BAB II, halaman 14
2. Umur Rencana
a. Umur rencana perkerasan lentur adalah jumlah tahun dari saat jalan tersebut
dibuka untuk lalu lintas kendaraan sampai diperlukan suatu perbaikan yang
bersifat struktural (sampai diperlukan overlay lapisan perkerasan lentur).
AKMAL HENDRI II - 40
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
Jenis kendaraan beserta jumlah tiap jenisnya
Konfigurasi sumbu dari setiap jenis kendaraan
Beban dari masing-masing sumbu kendaraan
b. Perkiraan faktor pertumbuhan lalu lintas
Berdasarkan pada analisa ekonomi dan sosial lokasi jalan/daerah tersebut.
4. Sifat Tanah Dasar / Daya Dukung Tanah (DDT) dasar
a. Kolerasi antara nilai CBR dan DDT yang ditetapkan dalam Metoda Analisa
Komponen diberikan dalam nomogram dengan persamaan sebagai berikut :
DDT = 4,3 . log (CBR) + 1,7 ............................................................... (2.43)
b. Nilai CBR didapat dengan cara laboratorium dan cara lapangan.
c. CBR laboratorium biasa dipakai untuk perencanaan jalan baru, sedangkan
CBR lapangan biasanya digunakan untuk perencanaan lapis tambah
(overlay).
5. Kondisi Lingkungan / Faktor Regional
Faktor ini berdasarkan kondisi iklim yang dinyatakan dalam dengan jumlah
curah hujan per tahun, kelandaian dan persentase kendaraan berat.
AKMAL HENDRI II - 41
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
15,00 m L < 18,75 m 6 lajur
18,75 m L < 22,00 m
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan
Metoda Analisa Komponen, Tahun 1987
Nilai koefisien distribusi kendaraan ringan dan kendaraan berat ditunjukkan
pada Tabel 2.18 berikut :
Tabel 2. 18 Koefisien Distribusi Kendaraan (C) Untuk Kendaraan Ringan
DanBerat yang Lewat Pada Lajur Rencana
Kendaraan Ringan* Kendaran Berat**
Jumlah Lajur
1 arah 2 arah 1 arah 2 arah
1 lajur 1,00 1,00 1,00 1,00
2 lajur 0,60 0,50 0,75 0,50
3 lajur 0,40 0,40 0,50 0,475
4 lajur - 0,30 - 0,45
5 lajur - 0,25 - 0,425
6 lajur - 0,20 - 0,40
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan
Metoda Analisa Komponen, Tahun 1987
* Berat total < 5 ton, misalnya: mobil penumpang, pick up, mobil hantaran
** Berat total 5 ton, misalnya: bus, truk, traktor, semi trailer, trailer
E= (
beban satu satu sumbu tunggal dalam kg 4
8160 )
……………….... (2.44)
b. Angka ekivalen sumbu ganda
AKMAL HENDRI II - 42
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
E = 0 , 086 ( 8160 )
beban satu sumbu ganda dalam kg 4
…………...…. (2.45)
Tabel 2. 19 Angka Ekivalen (E) Beban sumbu Kendaraan
Beban Satu Sumbu Angka Ekivalen
Kg Lbs Sumbu Tunggal Sumbu Ganda
1000 2205 0,0002 -
2000 4409 0,0035 0,0003
3000 6614 0,0183 0,0016
4000 8818 0,0577 0,0050
5000 11023 0,1410 0,0121
6000 13228 0,2923 0,0251
7000 15432 0,5415 0,0466
8000 17637 0,9238 0,0794
8160 18000 1,0000 0,0860
9000 19841 1,4797 0,1273
10000 22046 2,2555 0,1740
11000 24251 3,3022 0,2840
12000 26455 4,6770 0,4022
13000 28660 6,4417 0,5540
14000 30864 8,6647 0,7452
15000 33069 11,4148 0,9820
16000 35276 14,7815 1,2712
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan
Metoda Analisa Komponen, Tahun 1987
AKMAL HENDRI II - 43
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
n
LEA = ∑ LHRj (1 + i )
UR
x Cj x Ej
j=l …..……..……………...….... (2.47)
c. Lintas Ekivalen Tengah (LET)
LEP + LEA
LET = …………………………………...……....…...…
2
(2.49)
d. Lintas Ekivalen Rencana (LER)
LER = LET x FP …………………………………...……....…...… (2.50)
UR
FP =
10 …………………………………….........……..……….. (2.51)
Keterangan :
i : Perkembangan Lalu Lintas (%)
J : Jenis Kendaraan
LHR : Lalu Lintas Harian Rata-Rata
UR : Usia Rencana (tahun)
FP : Faktor Penyesuaian
5. Faktor Regional
AKMAL HENDRI II - 44
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
Faktor regional (FR) adalah faktor koreksi sehubungan dengan adanya
perbedaan kondisi dengan kondisi percobaan AASHTO Road Test dan
disesuaikan dengan keadaan di Indonesia. FR ini dipengaruhi oleh bentuk
alinyemen, persentase kendaraan berat, kelandaian dan iklim.
Tabel 2. 20 Faktor Regional (FR)
Kelandaian I Kelandaian II Kelandaian III
(< 6 %) (< 6 – 10 %) (>10 %)
% Kendaraan berat
30 % > 30 % 30 % > 30 % 30 % > 30 %
Iklim I
0,5 1,0-1,5 1,0 1,5-2,0 1,5 2,0-2,5
< 900 mm/th
Iklim II
1,5 2,0-2,5 2,0 2,5-3,0 2,5 3,0-3,5
> 900 mm/th
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan
Metoda Analisa Komponen, Tahun 1987
Catatan :
Pada bagian-bagian jalan tertentu, seperti persimpangan, pemberhentian atau
tikungan tajam (jari-jari 30 m) FR ditambah dengan 0,5. Pada daerah rawa-rawa
FR ditambah dengan 1,0.
6. Indeks Permukaan
Indeks permukaan adalah nilai kerataan/kehalusan serta kekokohan
permukaan yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang
lewat.
Tabel 2. 21 Indeks Permukaan Pada Akhir Usia Rencana (IPt)
Klasifikasi Jalan
LER *)
Lokal Kolektor Arteri Tol
< 10 1,0-1,5 1,5 1,5-2,0 -
10-100 1,5 1,5-2,0 2,0 -
100-1000 1,5-2,0 2,0 2,0-2,5 -
> 1000 - 2,0-2,5 2,5 2,5
AKMAL HENDRI II - 45
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan
Metoda Analisa Komponen, Tahun 1987
*) LER dalam satuan angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal
Catatan :
Pada proyek-proyek penunjang jalan, jalan darurat maka IPt dapat diambil 1,0.
Keterangan :
IPt = 1,0 Menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga
sangat mengganggu lalu lintas kendaraan.
IPt = 1,5 Kondisi jalan dengan tingkat pelayanan terendah yang masih
mungkin (jalan tidak terputus).
IPt = 2,0 Kondisi jalan dengan tingkat pelayanan terendah bagi jalan yang
masih mantap.
IPt = 2,5 Menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik
Untuk menentukan indeks permukaan pada awal usia rencana dapat dilihat
pada Tabel 2.22 dibawah ini :
Tabel 2. 22 Indeks Permukaan Pada Awal Usia Rencana (IPo)
Jenis Lapis Perkerasan IPo Roughness *) (mm/km)
Laston 4 1000
AKMAL HENDRI II - 46
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
3,9-3,5 > 1000
3,9-3,5 2000
Lasbutag
3,4-3,0 > 2000
3,9-3,5 2000
HRA
3,4-3,0 > 2000
Burda 3,9-3,5 < 2000
Burtu 3,4-3,0 2000
3,4-3,0 3000
Lapen
2,9-2,0 > 3000
Latasbum 2,9-2,5 -
Buras 2,9-2,5 -
Latasir 2,9-2,5 -
Jalan Tanah 2,4 -
Jalan Kerikil 2,4 -
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan
Metod Analisa Komponen, Tahun 1987
AKMAL HENDRI II - 47
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
Tabel 2. 23 Koefisien Kekuatan Relatif (a)
Koefesien Kekuatan Kekuatan
Relatif Bahan
MS KT CBR Jenis Bahan
a1 a2 a3
(kg) (Kg/cm) (%)
0,40 - - 744 - -
0,35 - - 590 - -
Laston
0,35 - - 454 - -
0,30 - - 340 - -
0,35 - - 744 - -
0,31 - - 590 - -
Lasbutag
0,28 - - 454 - -
0,26 - - 340 - -
0,30 - - 340 - - HRA
0,26 - - 340 - - Aspal Macadam
0,25 - - - - - Lapen (mekanis)
0,20 - - - - - Lapen (manual)
- 0,28 - 590 - -
- 0,26 - 454 - - Laston Atas
- 0,24 - 340 - -
- 0,23 - - - - Lapen (mekanis)
- 0,19 - - - - Lapen (manual)
- 0,15 - - 22 - Stabilitas tanah
- 0,13 - - 18 - Dengan semen
- 0,14 - - - 100 Batu pecah (kelas A)
- 0,13 - - - 80 Batu pecah (kelas B)
- 0,12 - - - 60 Batu pecah (kelas C)
- - 0,13 - - 70 Sirtu/Pitrun (Kelas A)
- - 0,12 - - 50 Sirtu/Pitrun (Kelas B)
- - 0,11 - - 30 Sirtu/Pitrun (kelas C)
- - 0,10 - - 20 Lempung Kepasiran
AKMAL HENDRI II - 48
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan
Metoda Analisa Komponen, Tahun 1987
Catatan :
a. Kuat tekan stabilitas tanah dengan semen diperkirakan pada hari ke 7
b. Kuat tekan stabilisasi tanah dengan kapur diperiksa pada hari ke 21
Keterangan: MS (Marshall Test), KT (Kuat Tekan).
Batas minimum tebal lapisan perkerasan ditunjukkan pada Tabel 2.24
dibawah ini:
Tabel 2. 24 Batas-Batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan
Tebal
ITP Bahan
Minimum (cm)
1. Lapis Permukaan
< 3,00 15 Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur
3,00-7,49 20*) Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur
Laston Atas
10
7,50-9,99 Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur,
20
pondasi macadam
Laston Atas
10,00- 15
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur,
12,14 20
pondasi macadam, Lapen, Laston Atas
AKMAL HENDRI II - 49
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur,
12,25 25
pondasi macadam, Lapen, Laston Atas
AKMAL HENDRI II - 50
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
2.4.2 Pekerjaan Timbunan
Timbunan adalah volume tanah yang ditimbun untuk membentuk badan
jalan yang baik dan rata.
Beberapa faktor yang menyebabkan dasar timbunan menjadi lemah antara lain :
1. Air, baik air tanah atau air rembesan.
2. Bahan dasar timbunan jelek.
3. Lereng sangat curam.
a. Untuk air maka diperlukan drainase yang baik, baik berupa drainase bawah
tanah maupun drainase permukaan.
b. Bahan yang tidak baik dipakai untuk timbunan adalah tanah lempung dan
lanau.
c. Lereng sangat curam akan menimbulkan kesulitan maka menghindari hal
itu, dibuat tangga-tangga.
Dalam perencanaan jalan raya, diusahakan untuk volume galian dan
timbunan sama atau balance. Dengan mengkombinasikan alinyemen vertikal dan
alinyemen horizontal memungkinkan kita untuk menghitung banyaknya volume
galian dan timbunan.
AKMAL HENDRI II - 51
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007
Didapat dari mengalikan luas penampang rata-rata antar patok dengan jarak
patok tersebut. Jarak profil melintang adalah 100 m (daerah datar), Semakin
kecil jarak antara station dengan yang lainnya, maka akan didapat harga
volume galian dan timbunan yang mendekati harga sesungguhnya.
Rumus luas dan volume galian/timbunan sebagai berikut :
∑ (x. y) − ∑ ( y. x)
Luas galian/timbunan = 2
Keterangan :
x & y = Koordinat sumbu x dan y
Σxy = Jumlah perkalian sumbu x dan sumbu y
Σyx = Jumlah perkalian sumbu y dan sumbu x
AKMAL HENDRI II - 52
2101173008
GILANG SUPRAPTO
2101172007