DASAR TEORI
1
dapat menentukan geometrik dan tebal perkerasan yang diperlukan dalam
merencanakan suatu konstruksi jalan raya.
Yang menjadi dasar dalam perencanaan jalan raya antara lain :
a. Kelengkapan dan data dasar yang harus disiapkan sebelum mulai melakukan
perhitungan/perencanaan, yaitu :
1. Peta planimetri dan peta-peta lainnya (geologi dan tataguna lahan)
2. Kriteria perencanaan,seperti : klasifikasi jalan, karakteristik lalu lintas,
karakteristik geometrik, kondisi lingkungan, pertimbangan ekonomi, dan
pertimbangan keselamatan lalu lintas.
b. Ketentuan jarak pandang dan beberapa pertimbangan yang diperlukan sebelum
memulai perencanaan, selain didasarkan pada teoritis, juga untuk praktisnya.
c. Elemen dalam perencanaan geometrik jalan, yaitu :
1. Alinemen horizontal ( situasi/plan )
2. Alinemen vertikal ( potongan memanjang/profile )
3. Potongan melintang (cross section )
4. Penggambaran.
2
Berikut soal yang mengenai perencanaan geometric jalan :
3
Dari soal diatas kita dapat merencanakan tahap-tahap perencanaan Geometrik
Jalan diantaranya : perencanaan Jalan, elinyemen vertical, elinyemen horizontal,
jarak pandang, dan perencanaan galian dan timbunan.
Yang menjadi kriteria dalam perencanaan geometrik dan tebal perkerasan
jalan antara lain adalah :
a. Klasifikasi jalan
b. Karakteristik lalu lintas, meliputi :
1. Kendaraan rencana
2. Komposisi lalu lintas, meliputi volume/jumlah lalu lintas dan kapasitas jalan
3. Kecepatan rencana lalu lintas
4. Umur rencana
c. Karakteristik geometrik, meliputi :
1. Tipe jalan
2. Bagian-bagian jalan
3. Tipe alinemen
4. Daerah penguasaan jalan
d. Kondisi lingkungan
e. Pertimbangan keselamatan lalu lintas
f. Pertimbangan ekonomi.
4
1. Volume lalu lintas
Volume lalu lintas didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang
melewati satu titik pengamatan selama satu satuan waktu.Jumlah kendaraan
yang hendak memakai jalan dinyatakan dalam volume lalu lintas. Satuan
volume lalu lintas yang umum dipergunakan sehubungan dengan penentuan
jumlah dan lebar lajur adalah :
a.Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR), adalah volume lalu lintas rata-rata
dalam satu hari. Dari cara memperoleh data LHR ini ada dua jenis yaitu
Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR) dan Lalu Lintas Harian Rata-Rata
Tahunan (LHRT).
b.Volume Jam Perencanaan (VJP), adalah suatu satuan yang menunjukan
jumlah arus lalu lintas yang direncanakan akan melintasi suatu penam-
pang jalan selama satu jam.
c.Kapasitas, adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat dilewati
suatu penampang jalan pada jalur jalan selama 1 jam dengan kondisi
serta arus lalu lintas tertentu.
Untuk perencanaan geometrik jalan volume lalu lintas sangat berpenga-
ruh terhadap perencanaan jumlah lajur dan lebar jalan yang dibutuhkan.
Makin besar jumlah kendaraan berat dan jumlah kendaraan tak bermotor
lewat, makin banyak jumlah lajur dan lebar jalan yang dibutuhkan. Di
Indonesia lebar jalan satu lajur adalah 3,00-3,75 m.
2. Kendaraan Rencana
Kendaraan rencana adalah kendaraan yang merupakan wakil dari ke-
lompoknya, dipergunakan untuk merencanakan bagian-bagian dari jalan.
Untuk perencanaan geometrik jalan, ukuran lebar kendaraan rencana akan
mem- pengaruhi lebar lajur yang dibutuhkan. Sifat membelok kendaraan akan
mem- pengaruhi perencanaan tikungan dan lebar median dimana mobil
diperkenankan untuk memutar (U turn). Daya kendaraan akan mempe-
ngaruhi tingkat kelandaian yang dipilih, dan tinggi tempat duduk pengemudi
akan mem-pengaruhi jarak pandangan pengemudi. Kendaraan rencana mana
5
yang akan dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan ditentukan oleh
fungsi jalan dan jenis kendaraan dominan yang memakai jalan tersebut.
Kategori Radius
Dimensi Kendaraan (cm) Tonjolan (cm) Putaran Radius
Kendara
(cm) Tonjolan
an
Rencana Tinggi Lebar Panjang Depan Belakang Min Max (cm)
Kecil 130 210 580 90 150 420 730 780
Sedang 410 260 1210 210 240 740 1280 1410
Besar 410 260 2100 120 90 290 1400 1370
Sumber : RDE-10 Rencana Geometrik Jalan/2005
3. Kecepatan rencana
Kecepatan adalah besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh kendara-an
dibagi waktu tempuh. Biasanya dinyatakan dalam km/jam. Kecepatan
6
rencana adalah kecepatan aman maksimum yang dipilih untuk keperluan
perencanaan setiap bagian jalan raya seperti tikungan, kemiringan jalan, jarak
pandang dan lain-lain.Kecepatan yang dipilih tersebut adalah kecepatan
tertinggi menerus dimana kendaraan dapat berjalan dengan aman dan
keamanan itu sepenuhnya tergantung dari bentuk jalan.
a. Keadaan medan (terrain), apakah datar, berbukit atau gunung.
b. Sifat dan tingkat penggunaan daerah, apakah jalan di dalam kota atau di
luar kota.
Kecepatan Rencana, VR (Km/jam)
Fungsi
Datar Bukit Pegunungan
Arteri 70 – 120 60 – 80 40 – 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50
Lokal 40 – 70 30 – 50 20 – 30
Tabel 2. 2 Ketentuan Kecepatan Rencana
Untuk perencanaan teknik jalan baru, survey lalu lintas tidak dapat
dilakukan karena belum ada jalan. Akan tetapi untuk menentukan dimensi jalan
tersebut diperlukan data jumlah kendaraan.
B. Keadaan Topografi
Topografi merupakan faktor dalam menentukan lokasi jalan dan pada umumnya
mempengaruhi penentuan trase jalan. Bukit, lembah, sungai dan danau sering
memberikan pembatasan terhadap lokasi dan perencanaan trase jalan.
Hal yang demikian perlu dikaitkan dengan kondisi medan direncanakan. Kondisi
medan mempengaruhi hal-hal sebagai berikut :
1. Tikungan
Jari-jari tikungan dan pelebaran perkerasan yang dibuat sedemikian rupa
sehingga menjamin adanya keamanan jalannya kendaraan-kendaraan dan
pandangan bebas yang cukup luas.
2. Tanjakan
Adanya tanjakan yang cukup curam dapat mengurangi kecepatan kendaraan
dan jika tenaga tariknya tidak cukup, maka berat muatan kendaraan harus
dikurangi, yang berarti mengurangi kapasitas angkut dan sangat merugikan.
7
Karena hal itu diusahakan supaya tanjakan dibuat landai sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
3. Bentuk penampang melintang jalan
Bentuk penampang melintang yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan
perencanaan jalan raya dan kebutuhan lalu lintas yang bersangkutan.
Demikian pula lebar badan jalan, drainase dan kebebasan pada jalan raya
harus disesuaikan dengan peraturan yang berlaku.
4. Trase jalan
Keadaan medan sangat mempengaruhi bentuk dari trase jalan, pada daerah
yang datar trase jalan terbentuk banyak tikungan-tikungan yang tajam dan
juga tanjakan serta turunan yang tajam. Penentuan trase adalah memperhati-
kan situasi medan. Kontur tersebut harus ditelusuri untuk mencari lintasan
yang sesuai.
Dan secara umum manfaat pembuatan peta kontur, antara lain : Menentukan
profil tanah(Profil memanjang, longitudinal sections)
8
C. Kondisi Geologi
Adanya daerah-daerah yang merupakan faktor kegagalan geologi seperti daerah
patahan atau daerah bergerak baik vertikal maupun horizontal, daerah ini
merupakan daerah yang kurang cocok dalam pembuatan suatu jalan.
Kondisi geologi mempengaruhi bentuk structural pada sebuah konstruksi
karena keadaan tanah dasar sendiri dapat mempengaruhi lokasi dan bentuk
geometric jalan tersebut, misalnya daya dukung tanah dasar kurang baik dan
muka air tanah sangat tinggi.
D. Kondisi Sosial Masyarakat
Penggunaan tanah seperti, pertanian, perindustrian, tempat rekreasi dan lain-lain
dapat mempengaruhi suatu perencanaan. Jalan yang melalui daerah industri
dimana persentase kendaraan berat terhadap jumlah total kendaraan besar akan
berbeda dengan jalan yang melalui daerah perkampungan dimana persentase
kendaraan berat lebih kecil.
9
No Jenis Kendaraan Datar/Bukit Gunung
1 Sedan, jeep, wagen 1,0 1,0
2 Pick up, bus kecil, truk kecil 1,2-2,4 1,9-3,5
3 Bus besar dan truk besar 1,2-5,0 2,2-6,0
Tabel 2. 3 Ekivalen Mobil Penumpang
d. Faktor VLHR
Faktor VLHR adalah faktor untuk mengubah volume yang dinyatakan dalam
VLHR menjadi volume lalu lintas pada jam sibuk.
VJR digunakan untuk menghitung jumlah lajur jalan dan fasilitas lalu lintas
lainnya yang diperlukan.
10
f. Kapasitas (C)
Kapasitas (C) adalah volume lalu lintas maksimum yang dapat dipertahankan
pada suatu bagian jalan dalam kondisi tertentu misalnya: rencana gepmetric,
lingkungan, komposisi lalulintas dan sebagainya. Biasanya dinyatakan dalam
satuan kendaraan/jam atau smp/jam, kapasitas harian sebaiknya tidak diguna-kan
sebagai ukuran karena bervariasi sesuai dengan factor K. Untuk menghitu-ng
kapasitas jalan digunakan rumus:
11
A. Jarak Pandangan
Jarak pandangan adalah panjang jalan di depan kendaraan yang masih dapat
dilihat dengan jelas diukur dari titik kedudukan pengemudi. Tujuan dari perhitu-
ngan jarak pandangan ini adalah :
1. Untuk menghindari terjadinya kecelakaan akibat terhalangnya penglihatan dari
benda di tepi jalan maupun kendaraan lain.
2. Merupakan salah satu faktor untuk menentukan kecepatan rencana dalam
perencanaan perhitungan.
Jarak pandang ini dapat dibedakan atas beberapa bagian. Berikut ini adalah
jenis jarak pandangan yang perlu dihitunga dalam perencanaan jalan raya :
12
2
VR ( VR / 3,6 )
Jh = T ........................................................................... (2.4)
3,6 2g.fp
Keterangan:
VR = Kecepatan rencana (km/jam)
T = Waktu tanggap (2,5 detik)
G = Percepatan gravitasi (9,8 m/dt2)
Fp = Koefisien gesek memanjang antara ban dengan aspal
Jht = Jarak tanggap (m)
Jhr = Jarak pengereman (m)
Jh
Jh = Jarak pandang henti
A = Kendaraan yang sedang melaju
Ao = Kendaraan setelah melihat adanya kendaraan
A’ = Kendaraan menginjak rem setelah melihat halangan
A” = Kendaraan yang berhenti setelah menginjak rem
B = Halangan
Gambar 2. 3Jarak Pandang Henti (Jh)
13
2. Jarak pandang mendahului
Jarak pandang menyiap adalah panjang bagian suatu jalan yang diperlukan
oleh pengemudi suatu kendaraan untuk melakukan suatu gerakan menyiap
kendaraan lain yang lebih lambat dan aman pada jalur yang dilewati.
Jd min (m) 800 670 550 350 250 200 150 100
Tabel 2. 6 Jarak Pandang Mendahului (Jd) Minimum
Catatan:
V = Kecepatan rata-rata kendaraan menyiap
M = Perbedaan kecepatan kendaraan yang disiap dan menyiap
(15 km/jam)
t = Waktu kendaraan menyiap berjalan di jalan kanan
14
Tahap Pertama
A A C C
A B
d1 1/3 d2
2/3 d2
Tahap Kedua
C C A
A B B
d1 d2 d3 d4
15
Keterangan :
2. Jalan sekunder
Merupakan jaringan jalan umum yang berfungsi untuk melayani angkutan
utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh berkecepatan rata-rata tinggi
dan jumlah jalan masuk dibatasi seefisien mungkin, dengan peranan
distribusi untuk masyarakat dalam kota.
b. Menurut fungsi
1. Arteri
16
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan
ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan
masuk dibatasi secara berdaya guna.
2. Kolektor
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul
atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata
sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
3. Lokal
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat
dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah
jalan masuk tidak dibatasi.
4. Lingkungan
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan
dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah
c. Menurut status
1. Nasional
Merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan
primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, dan jalan strategis
nasional, serta jalan tol.
2. Provinsi
Merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang
menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau
antar ibukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi.
3. Kabupaten
Merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak
termasuk jalan nasional dan jalan provinsi, yang menghubungkan ibukota
kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota
kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan lokal, serta
jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah
kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.
4. Kota
17
Jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan
antar pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan
dengan persil, menghubungkan antar persil, serta menghubungkan antar
pusat permukiman yang berada di dalam kota.
5. Jalan desa
merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antar
permukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan.
d. Menurut kelas
1. Kelas I
Kelas ini mencakup semua jalan utama dan dimaksudkan untuk dapat
melayani lalu lintas cepat dan berat. Dalam komposisi lalu lintasnya dapat
kendaraan lambat dan kendaraan tidak bermotor. Jalan raya dalam kelas
ini merupakan jalan raya yang berjalur banyak dengan konstruksi
perkerasan dari jalan yang terbaik dalam arti tingginya tingkat pelayanan
terhadap lalu lintas.
2. Kelas II
Kelas ini mencakup semua jalan-jalan sekunder, dalam komposisi lalu
lintas lambat. Kelas jalan ini selanjutnya berdasarkan komposisinya dan
sifat lalu lintasnya dibagi dalam 3 kelas yaitu kelas IIA, IIB dan IIC.
3. Kelas II A
Kelas II A adalah jalan raya sekunder dua jalur atau lebih dengan konsep
permukaan jalan dari jenis aspal beton (asphalt concrete) atau yang setara,
dimana dalam komposisi lalu lintasnya tersebut kendaraan lambat tapi
tanpa kendaraan bermotor. Untuk lalu lintas lambat harus disediakan jalan
sendiri.
4. Kelas II B
Kelas II B adalah jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi
permukaan jalan dari penetrasi berganda atau yang setara dalam komposisi
lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat tapi tanpa kendaraan bermotor.
18
5. Kelas II C
Kelas II C adalah jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi
permukaan jalan dari jenis penetrasi tunggal dimana dalam komponen lalu
lintasnya terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tidak bermotor.
6. Kelas III
Kelas jalan ini mencakup semua jalan penghubung dan merupakan
konstruksi jalan berjalur tunggal. Konstruksi permukaan jalan yang paling
tinggi adalah peleburan dengan aspal.
Sekunder II A 10.000-20000
II B 10.000-3000
II C < 3000
Penghubung III -
Tabel 2. 7 Standar Klasifikasi Jalan
Catatan:
Untuk perencanaan dipakai tabel 2.7 kedua referensi diatas hanya untuk pemban-
ding, karena sumber pada tabel 2.7 standar terbaru jadi mengecu kepada standar
yang terbaru.
19
e. Berdasarkan sifat lalu lintas, maka ditentukan :
Jalan berdasarkan sifat lalu lintas, ditentukan oleh volume lalu lintas yaitu
jumlah lalu lintas per hari dalam satu tahun untuk kedua jurusan. LHR (Lalu
Lintas Harian Rata-Rata) Perbandingan antara jumlah lalu lintas dalam satu
tahun dengan jumlah hari dalam satu tahun. Untuk menentukan LHR dipakai
satuan standar/kendaraan standar yaitu SMP (Satuan Mobil Penumpang). Nilai
SMP yang dikonversikan dijadikan sebagai faktor ekivalensi.
B. Kondisi Medan
Untuk memperkecil biaya pembangunan jalan maka standar perencanaan
geometrik, perlu disesuaikan dengan kondisi topografi. Dalam standar ini kondisi
topografi dibagi menjadi 3 golongan medan yang didasarkan pada besarnya
kelerengan melintang dalam arah kurang lebih tegak lurus sumbu jalan.
20
Adanya tanjakan yang cukup curam dapat mempengaruhi kecepatan
kendaraan dan tenaga tariknya tidak cukup maka berat muatan kendaraan
harus dikurangi/mengurangi kapasitas angkut dan sangat merugikan, karena
itu diusahakan supaya tanjakan dibuat landai.
3. Bentuk penampang melintang jalan
Bentuk penampang melintang yang digunakan harus sesuai dengan
klasifiakasi jalan dan kebutuhan lalu lintas yang bersangkutan. Demikian pula
lebar badan jalan, drainase dan kebebasan pada jalan raya harus disesuaikan
dengan peraturan yang berlaku.
21
1. Diagram superelevasi tikungan tipe Full Circle
2. Diagram superelevasi tikungan tipe Spiral – Circle – Spiral
3. Diagram superelevasi tikungan tipe Spiral – Spiral
2
V
R
Rmin
127emak f mak ......................................................................(2.6)
Dimana :
22
Rmin = Jari-jari tikungan minimum (m)
VR = Kecepatan kendaraan rencana (km/jam)
emak = Superelevasi maksimum (%)
fmak = Koefisien gesekan melintang maksimum
2. Full Circle ( FC )
Lengkung ini digunakan pada tikungan yang mempunyai jari-jari yang
besar dan sudut tangen yang relatif kecil. Full Circle adalah jenis tikungan
yang hanya terdiri dari bagian suatu lingkaran saja dan ini hanya
digunakan untuk jari-jari tikungan yang besar agar tidak terjadi patahan.
Bentuk ini bisa digunakan apabila memenuhi ketentuan pada tabel 2.12 di
bawah ini.
23
Keterangan :
Δ = Sudut tikungan (°)
O = Titik pusat lingkaran
Tc= Panjang tangen jarak dari TC ke PI atau PI ke CT (m)
Rc= Jari-jari lingkaran (m)
Lc= Panjang busur lingkaran (m)
Ec = Jarak luar dari PI ke busur lingkaran (m)
VR
120 100 80 60 50 40 30 20
(km/jam)
Rmin (m) 2500 1500 900 500 350 250 130 30
Tabel 2. 13 Jari-Jari Tikungan yang Tidak Memerlukan Lengkung Peralihan
24
perasaan tidak nyaman. Lengkung peralihan dengan bentuk spiral ini
banyak digunakan oleh Bina Marga, dengan adanya lengkung peralihan ini
maka tikungan menggunakan SCS.
V Rencana (km/jam) R minimum (meter)
120 560
100 350
80 210
60 115
40 50
30 30
Tabel 2. 14 Batas Jari-Jari Minimum Untuk Tikungan S-C-S
Sumber : RDE-10 Rencana Geometrik Jalan/2005
Keterangan :
Xs = Absis titik SC pada garis tangent (m)
Ys = Ordinat titik SC pada tegak lurus garis tangent (m)
Ls = Panjang lengkung peralihan (m)
Lc = Panjang busur lingkaran (m)
Ts = Panjang tangen dari titik PI ke titik TS (m)
TS = Titik dari tangen ke spiral (m)
SC = Titik dari spiral ke lingkaran (m)
Es = Jarak dari PI ke busur lingkaran (m)
Θs = Sudut lengkung spiral (m)
Rc = Jari-jari lingkaran (m)
P = Pergeseran tangen terhadap spiral (m)
K = Absis dari p pada garis tangen spiral (m)
25
Rumus yang digunakan:
TS Rc P tg 1 K ...................................................................(2.10)
2
Rc P
ES R ................................................................................(2.11)
cos 12
c
LC 2 R 20 m
360 .................................................................(2.12)
c 2 s .........................................................................................(2.13)
s
Ls . R
28,648 ..................................................................................(2.15)
26
em = Superelevasi maksimum (%)
en = Superelevasi normal (%)
VR = Kecepatan rencana (km/jam)
4. Spiral – Spiral/S-S
Tikungan ini digunakan pada tikungan tajam. Rumus-rumus yang
digunakan sama dengan rumus-rumus yang ada pada tikungan S-C-S
adalah
C = 0 ............................................................................................ (2.19)
2s s 1
, 2 ....................................................................... (2.20)
Lc = 0, Lt = 2 Ls ............................................................................. (2.21)
sR
Ls
28,648
.................................................................................... (2.22)
P = P* . Ls ................................................................................... (2.23)
X = X* . Ls................................................................................... (2.24)
Y = Y* . Ls................................................................................... (2.25)
K = K* . Ls.................................................................................... (2.26)
Ts = (R + P) tg ½ + K ................................................................ (2.27)
RP
Es R
Cos ½
.......................................................................... (2.28)
Keterangan:
P* = Pergeseran tangen terhadap spiral yang belum terkoreksi
oleh Ls (m)
K* = Absis dari p pada garis tangen spiral yang belum
terkoreksi oleh Ls (m)
X* = Pergeseran absis titik sc pada garis tangent belum
terkoreksi oleh Ls (m)
Y* = Pergeseranordinat titik sc pada garis tangen belum
27
terkoreksi oleh Ls(m)
2.2.4.3 Stationing
Stationing adalah suatu cara menentukan panjangnya suatu jalan dan juga
menentukan letaknya titik-titik pada trase jalan yang direncanakan. STA dimulai
dari titik awal proyek dengan nomor Stationing 0+000. Angka di sebelah kiri
tanda (+) menunjukkan kilometer, dan angka di sebelah kanan tanda (+)
menunjukkan meter. Angka stationing bergerak ke atas dan tiap-tiap 100m ditulis
pada gambar rencana serta dicantumkan juga nomor-nomor station titik-titik
penting tikungan yaitu titik TS, SC dan ST serta PI, dan berakhir pada titik akhir
proyek. Dengan diketahui stationing titik awal proyek pada sta 0+000 maka,
stationing titik-titik lain dapat ditentukan.
Jika tikungan yang didapat adalah spiral circle spiral maka unutk
menghitung stationing dapat menggunakan rumus:
PI1 Sta = A Sta + d1
TS1 Sta = PI1 Sta – Ts1
SC1 Sta = TS1 Sta + Ls1
CS1 Sta = SC1 Sta + Lc1
ST1 Sta = CS1 Sta + Ls1
TS2 Sta = ST2 Sta + (d2 - Tsl - Ts2)
SC2 Sta = TS2 Sta + Ls2
CS2 Sta = SC2 Sta + Lc2
ST2 Sta = CS2 Sta + Ls2
B Sta = ST2 Sta + (d3 – Ts2)
28
2.2.4.4 Superelevasi (Kemiringan Tikungan)
Superelevasi adalah kemiringan melintang jalan pada lengkung horizontal
(tikungan atau belokan) yang bertujuan untuk memperoleh gaya berat kendaraan
guna mengimbangi gaya sentrifugal yang terjadi. Diagram supereelevasi me-
nggambarkan pencapaian superelevasi dari lereng normal ke superelevasi penuh,
sehingga dengan diagram superelevasi dapat ditentukan bentuk penampang
melintang pada titik tikungan.
29
Gambar 2. 8 Metoda Pencapaian Superelevasi Pada Tikungan Tipe FC
30
Kelandaian Relatif
Kemiringan melintang atau kelandaian pada penampang jalan di antara tepi
perkerasan luar dan sumbu jalan sepanjang lengkung peralihan disebut dengan
landai relatif.
Jh
r
Keterangan:
l = Landai relatif ( % )
m
e max= Superelevasi maximum (m/m)
en = Superelevasi normal (m/m)
B = Lebar jalur (m)
31
a. Pada waktu membelok yang diberi belokan pertama kali hanya roda depan,
sehingga lintasan roda belakang agak keluar lajur (off tracking).
b. Jejak lintasan kendaraan tidak lagi berimpit, karena bemper ban depan dan
belakang kendaraan akan mempunyai lintasan yang berbeda dengan lintasan
roda depan dan roda belakang kendaraan.
c. Pengemudi akan mengalami kesukaran dalam mempertahankan lintasannya
tetap pada lajur jalannya terutama pada tikungan-tikungan yang tajam atau
pada kecepatan yang tinggi.
32
z = Lebar tambahan akibat kelainan pengemudi
c = Koefisien kebebasan samping,untuk
- Lebar jalan 6 m; c= 0,8
- Lebar jalan 7 m; c= 1,0
- Lebar jalan 7,5 m ; c = 1,25
B. Kelandaian Jalan
Kelandaian jalan atau disebut juga dengan landai adalah suatu besaran untuk
menunjukkan besarannya kenaikan ataupun penurunan vertikal dalam satuan jarak
horizontal (datar) dan biasanya dinyatakan dalam persen (%). Untuk menghitung
33
dan merencanakan lengkung vertikal, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,
yaitu :
2.2.5.1 Kelandaian Maksimum, Minimum dan Panjang Kritis
1. Kelandaian maksimum
Yang ditentukan untuk berbagai kecepatan rencana, dimaksudkan agar
kendaraan dapat bergerak terus tanpa kecepatan yang berarti. Kecepatan
maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh mampu
bergerak dengan kecepatan tidak kurang dari separuh kecepatan semula tanpa
harus menggunakan gigi rendah.
2. Kelandaian Minimum
Pada jalan yang menggunakan kerb pada tepi perkerasan, perlu dibuat
kelandaian minimum 0,5% untuk keperluan kemiringan saluran samping,
karena kemiringan melintang jalan dengan kerb hanya cukup untuk
mengalirkan air ke samping.
3. Panjang Kritis
Panjang kritis diperlukan sebagai batasan panjang kelandaian maksimum agar
pengurangan kecepatan kendaraan tidak lebih dari separuh Vr. Lama
perjalanan kritis tidak lebih dari 1 menit.
34
2.2.5.2 Bentuk-bentuk Lengkung Vertikal
Lengkung vertikal direncanakan untuk merubah secara bertahap perubahan
dari dua macam kelandaian arah memanjang jalan pada setiap lokasi yang
diperlukan. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi goncangan akibat perubahan
kelandaian dan menyediakan jarak pandang henti yang cukup untuk keamanan
dan kenyamanan bagi pengguna jalan. Bentuk lengkung vertikal ada 2 macam,
yaitu :
35
b. Panjang L, berdasarkan Jd
2
A. Jd
Jd < L : L = 840 ................................................................................. (2.40)
840
Jh > L : L = 2 Jd A .......................................................................... (2.41)
Rumus-rumus yang digunakan dalam lengkung ini sama dengan rumus yang
ada pada lengkung vertikal cembung.
2
A.Jh
Jh< L, maka L = ..................................................................... (2.42)
120 3,5Jh
120 3,5 Jh
Jh> L, maka L = 2Jh ............................................................ (2.43)
A
Δh= h2 – h1.....................................................................................................................................................(2.44)
Δh
g = Δx x 100% .............................................................................................(2.45)
A = g2 – g1 .....................................................................................................................................................(2.46)
A.Lv
Ev = ................................................................................................ (2.47)
800
36
Keterangan :
Δh = Beda tinggi (m)
Δx = Panjang stasioning (m)
g = Gradien(kelandaian) %
A = Perbedaan aljabar landai %
Ev = Jarak offset vertikal (m)
Lv = Panjang lengkung vertikal (m)
Untuk menentukan panjang lengkung vertikal (Lv) juga bisa dilihat dari tabel
dibawah ini:
37
Untuk dapat memberikan rasa aman dan nyaman, maka konstruksi
perkerasan lentur harus memenuhi syarat-syarat yaitu :
1. Syarat-syarat berlalu lintas
a. Permukaan yang rata, tidak bergelombang, tidak melendut dan tidak
berlubang.
b. Permukaan cukup kaku, sehingga tidak mudah berubah bentuk akibat
beban.
c. Permukaan cukup kesat, memberikan gesekan yang baik antara ban dan
permukaan jalan, sehingga tidak mudah slip.
Sambungan syarat berlalu lintas.
d. Permukaan tidak mengkilap, tidak silau jika terkena sinar matahari.
2. Syarat-syarat kekuatan/struktural
a. Ketebalan yang cukup, hingga mampu menyebarkan beban/muatan lalu
lintas ke tanah dasar.
b. Kedap terhadap air, sehingga tidak mudah meresap ke lapisan bawahnya.
c. Permukaan mudah mengalirkan air, sehingga air hujan yang jatuh di atasnya
dapat cepat dialirkan.
d. Kekakuan untuk memikul beban yang bekerja tanpa menimbulkan
deformasi yang berarti.
38
tahap penyiapan lokasi dan material sampai tahap pencampuran atau
penghamparan, akhirnya pada tahap penghamparan dan pemeliharaan.
39
Gambar 2. 15 Susunan Lapisan Perkerasan Kaku
40
2.3.2 Bentuk Umum Konstruksi Perkerasan
A. Lapis Tanah Dasar (Subgrade)
Tanah dasar adalah permukaan tanah semula, permukaan tanah galian, atau
permukaan tanah timbunan yang dipadatkan dan merupakan permukaan dasar
untuk perletakan bagian-bagian perkerasan lainnya. Kekuatan dan keawetan
konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari sifat-sifat dan daya dukung
tanah dasar. Umumnya persoalan yang menyangkut tanah dasar adalah sebagai
berikut :
1. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari macam tanah tertentu akibat
beban lalu lintas.
2. Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar
air.
3. Daya dukung tanah yang tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada
daerah dengan macam tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau
akibat pelaksanaan.
4. Lendutan dan lendutan balik selama dan sesudah pembebanan lalu lintas dari
macam tanah tertentu.
5. Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu lintas dan penurunan yang
diakibatkannya, yaitu pada tanah berbutir kasar (granular soil) yang tidak
dipadatkan secara baik pada saat pelaksanaan.
Pemadatan tanah dasar yang baik akan diperoleh jika dilakukan pada kadar
air optimum dan diusahakan kadar air tersebut konstan selama umur rencana. Hal
ini dapat dicapai dengan perlengkapan drainase yang memenuhi syarat.
41
Hal ini sehubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung tanah dasar
terhadap roda-roda alat-alat besar atau karena kondisi lapangan yang memaksa
harus segera menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca.
Bermacam-macam tipe tanah setempat (CBR ≥ 20%, PI ≤ 10%) yang relatif
lebih baik dari tanah dasar dapat digunakan sebagai bahan pondasi bawah.
Campuran-campuran tanah setempat dengan kapur atau semen portland dalam
beberapa hal sangat dianjurkan, agar dapat bantuan yang efektif terhadap
kestabilan konstruksi perkerasan.
42
Bahan untuk lapis permukaan umumnya adalah sama dengan bahan untuk
lapis pondasi, dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal
diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri
memberikan bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung
lapisan terhadap beban roda lalu lintas.
Pemilihan bahan untuk lapis permukaan perlu dipertimbangkan kegunaan,
umur rencana serta pentahapan konstruksi, agar dicapai manfaat yang sebesar-
besarnya dari biaya yang dikeluarkan.
Bentuk umum dari perkerasan lentur terdiri dari tiga lapis material
konstruksi jalan di atas tanah dasar seperti gambar 2.16 di bawah ini :
Roda Kendaraan
43
Keterangan :
a. Po adalah beban kendaraan dan P1 adalah beban yang diterima oleh tanah dasar
b. Besaran P1 yang diterima oleh tanah dasar tergantung pada kualitas dan tebal
lapisan perkerasan
c. Kualitas material yang baik atau tebal perkerasan yang besar akan memberikan
nilai P1 yang rendah
d. Atau jika material yang diberikan baik dan kondisi tanah dasarnya pun baik,
maka untuk beban yang sama akan menghasilkan tebal perkerasan yang lebih
tipis.
Beban lalu lintas yang bekerja di atas konstruksi perkerasan dapat dibedakan atas :
a. Muatan kendaraan berupa gaya vertikal
b. Gaya rem kendaraan berupa gaya horizontal
c. Pukulan roda kendaraan berupa getaran-getaran.
Karena sifat penyebaran gaya, maka muatan yang diterima oleh masing-masing
lapisan berbeda dan semakin ke bawah semakin kecil :
a. Lapisan permukaan harus mampu menerima seluruh jenis gaya yang bekerja
b. Lapisan pondasi menerima gaya vertikal dan getaran
c. Lapisan tanah dasar dianggap hanya menerima gaya vertikal saja.
44
Sambungan yang mempengaruhi pelayanan konstruksi perkerasan lentur
4. Lalu lintas
5. Sifat tanah dasar/daya dukung tanah (DDT) dasar
6. Kondisi lingkungan/faktor regional
7. Sifat dan banyaknya material di lokasi
8. Bentuk geometrik lapisan perkerasan.
1. Fungsi Jalan
Menurut UU tentang jalan No.38 tahun 2004, sistem jaringan jalan di
Indonesia dibedakan atas :
a. Sistem jaringan jalan primer
Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan dengan
perananpelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua
wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa
distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan.
b. Sistem jaringan jalan sekunder
Sistem jaringan jalan sekunder adalah sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan
perkotaan.
45
3. Umur Rencana
a. Umur rencana perkerasan lentur adalah jumlah tahun dari saat jalan tersebut
dibuka untuk lalu lintas kendaraan sampai diperlukan suatu perbaikan yang
bersifat struktural (sampai diperlukan overlay lapisan perkerasan lentur).
b. Selama umur rencana jalan tersebut, pemeliharaan jalan tetap harus
dilakukan, seperti pelapisan non struktural yang berfungsi sebagai lapisan
aus.
c. Umur rencana untuk jalan lentur baru umumnya 20 tahun.
d. Umur rencana > 20 tahun tidak lagi ekonomis karena perkembangan lalu
lintas yang sangat berfluktuasi, sehingga perencanaan tebal konstruksi
perkerasan lentur tidak lagi teliti.
4. Lalu Lintas
Besarnya arus lalu lintas dapat diperoleh dari :
a. Analisa lalu lintas saat ini, sehingga diperoleh data-data :
1. Jumlah kendaraan yang akan memakai jalan
2. Jenis kendaraan beserta jumlah tiap jenisnya
3. Konfigurasi sumbu dari setiap jenis kendaraan
4. Beban dari masing-masing sumbu kendaraan
b. Perkiraan faktor pertumbuhan lalu lintas
Berdasarkan pada analisa ekonomi dan sosial lokasi jalan/daerah tersebut.
46
2.3.4 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Perencanaan lapisan perkerasan jalan yang akan diuraikan berikut adalah
perkerasan lentur untuk jalan baru berdasarkan Metoda Analisa Komponen.
Berikut langkah-langkah perhitungan dan rumus-rumus yang digunakan :
a. Persentase Kendaraan Pada Lajur Rencana
Jalur Rencana (JR) merupakan jalur lalu lintas dari suatu ruas jalan raya yang
terdiri dari suatu lajur atau lebih.
* Berat total < 5 ton, misalnya: mobil penumpang, pick up, mobil hantaran
** Berat total 5 ton, misalnya: bus, truk, traktor, semi trailer, trailer
47
volume lalu lintas dikelompokkan atas beberapa kelompok, dimana masing-
masing kelompok diwakili oleh satu jenis kendaraan rencana.
48
c. Perhitungan
Lalu Lintas
1. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP)
n
LEP LHRj x Cj x Ej ...........................................................(2.45)
jl
Keterangan:
i = Perkembangan Lalu Lintas (%)
J = Jenis Kendaraan
LHR = Lalu Lintas Harian Rata-Rata
UR = Usia Rencana (tahun)
FP = Faktor Penyesuaian
49
e. Faktor Regional
Faktor regional (FR) adalah faktor koreksi sehubungan dengan adanya perbedaan
kondisi dengan kondisi percobaanAASHTO Road Test dan disesu-ikan dengan
keadaan di Indonesia. FR ini dipengaruhi oleh bentuk alinyemen, persentase
kendaraan berat, kelandaian dan iklim.
Catatan:
Pada bagian-bagian jalan tertentu, seperti persimpangan, pemberhentian atau
tikungan tajam (jari-jari 30 m) FR ditambah dengan 0,5. Pada daerah rawa-rawa
FR ditambah dengan 1,0.
f. Indeks Permukaan
Indeks permukaan adalah nilai kerataan/kehalusan serta kekokohan
permukaan yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang
lewat.
LER *) Klasifikasi Jalan
Lokal Kolektor Arteri Tol
< 10 1,0-1,5 1,5 1,5-2,0 -
10-100 1,5 1,5-2,0 2,0 -
100-1000 1,5-2,0 2,0 2,0-2,5 -
> 1000 - 2,0-2,5 2,5 2,5
*) LER dalam satuan angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal
50
Catatan :
Pada proyek-proyek penunjang jalan, jalan murah atau jalan darurat maka
IPtdapat diambil 1,0.
Keterangan :
IPt = 1,0 → Menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak
berat sehingga sangat mengganggu lalu lintas kendaraan
IPt = 1,5 → Kondisi jalan dengan tingkat pelayanan terendah yang
masih mungkin (jalan tidak terputus)
IPt = 2,0 → Kondisi jalan dengan tingkat pelayanan terendah bagi
jalan yang masih mantap
Sambungan keterengan
IPt = 2,5 → Menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik.
Jenis Lapis Ipo Roughness *) (mm/km)
Perkerasan
Laston 4 1000
3,9-3,5 > 1000
Lasbutag 3,9-3,5 2000
3,4-3,0 > 2000
HRA 3,9-3,5 2000
3,4-3,0 > 2000
Burda 3,9-3,5 < 2000
Burtu 3,4-3,0 2000
Lapen 3,4-3,0 3000
2,9-2,0 > 3000
Latasbum 2,9-2,5 -
Buras 2,9-2,5 -
Latasir 2,9-2,5 -
Jalan Tanah 2,4 -
Jalan Kerikil 2,4 -
Tabel 2. 24 Indeks Permukaan Pada Awal Usia Rencana (IPo)
51
*) Alat pengukur roughness yang dipakai adalah roughmeter
NAASRA, yang dipasang pada kendaraan standar Datsun 1500
station wagon, dengan kecepatan kendaraan 32 km/jam.
Koefesien Kekuatan
Kekuatan Bahan Jenis Bahan
Relatif
a1 a2 a3 MS KT CBR
(kg) (Kg/cm) (%)
0,40 - - 744 - - Laston
0,35 - - 590 - -
0,32 - - 454 - -
0,30 - - 340 - -
0,35 - - 744 - - Lasbutag
0,31 - - 590 - -
0,28 - - 454 - -
0,26 - - 340 - -
0,30 - - 340 - - HRA
0,26 - - 340 - - Aspal Macadam
0,25 - - - - - Lapen (mekanis)
0,20 - - - - - Lapen (manual)
- 0,28 - 590 - - Laston Atas
- 0,26 - 454 - -
- 0,24 - 340 - -
- 0,23 - - - - Lapen (mekanis)
- 0,19 - - - - Lapen (manual)
- 0,15 - - 22 - Stabilitas tanah
- 0,13 - - 18 - Dengan semen
- 0,14 - - - 100 Batu pecah (kelas A)
- 0,13 - - - 80 Batu pecah (kelas B)
- 0,12 - - - 60 Batu pecah (kelas C)
- - 0,13 - - 70 Sirtu/Pitrun (Kelas
- - 0,12 - - 50 A)
- - 0,11 - - 30 Sirtu/Pitrun (Kelas B)
52
Sirtu/Pitrun (kelas C)
- - 0,10 - - 20 Tanah/Lempung
Kepasiran
Tabel 2. 25 Koefisien Kekuatan Relatif (a)
Catatan :
Keterangan :
ITP = Indeks tebal perkerasan
a = Koefisien lapisan
D = Tebal lapisan (cm)
1 = Lapis permukaan (surface course)
2 = Lapis pondasi atas (base course)
3 = Lapis pondasi bawah (subbase course)
Catatan:
c. Kuat tekan stabilitas tanah dengan semen diperkirakan pada hari ke 7
53
d. Kuat tekan stabilisasi tanah dengan kapur diperiksa pada hari ke 21
Keterangan: MS (Marshall Test), KT (Kuat Tekan)
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan Metoda Analisa
Komponen, Tahun 1987
Catatan:
Untuk setiap nilai ITP, bila digunakan pada pondasi bawah, tebal minimum
adalah 10 cm.
54
Pekerjaan tanah dalam suatu proyek jalan merupakan salah satu bagian yang
sangatvital. Pekerjaan tanah di sini meliputi pekerjaan galian, timbunan,
pengangkutan, dan pemadatan tanah.
1. Galian Melintang
Yaitu tanah digali dari sisi yang satu dan digunakan untuk menimbun sisi yang
lain.
2. Galian Tinggi
Untuk galian tinggi dimana tingginya lebih dari 1 meter, maka pengaturannya
akan sulit, yaitu sulitnya penyediaan ruang yang cukup untuk ternpat bekerja.
Untuk itu disarankan pengerjaannya dilakukan secara bertahap, setiap lahan
digali sampai kedalaman ± 1 meter sehingga ada daerah datar.
3. Galian U
Galian U adalah galian dimana jalan melewati daerah bukit (tengah•tengah)
dengan tujuan untuk mengurangi kelandaian yang terjadi.
55
Untuk air maka diperlukan drainase yang baik, baik berupa drainase bawah
tanah maupun drainase permukaan.
2. Bahan dasar timbunan jelek
Bahan yang tidak baik dipakai untuk timbunan adalah tanah lempung dan
lanau.
3. Lereng sangat curam
Lereng sangat curam akan rnenimbulkan kesulitan maka rnenghindari hal itu,
dibuat tangga-tangga.
Dalam perencanaan jalan raya, diusahakan untuk volume galian dan
timbunan sama atau balance. Dengan mengkombinasikan alinemen vertikal dan
alinemen horizontal memungkinkan kita untuk menghitung banyaknya volume
galian dan timbunan
56
T = Luas penampang melintang timbunan rata-rata antara dua stationing (m2)
Semakin kecil jarak antara station dengan yang lainnya, maka akan
didapat harga volume galian dan timbunan yang men-dekati harga
sesungguhnya.
Keterangan :
x = Koordinat sumbu x
y = Koordinat sumbu y
57