PENDAHULUAN
A. Pengertian dan Peran Perancangan Geometrik Jalan
Perancangan geometrik jalan adalah merencanakan dan merancang suatu jalan
yang menghubungkan dua atau lebih tempat (titik) pada suatu peta foto udara
dengan menentukan jejak jalan (trase jalan) pada peta tersebut, yang dilanjutkan
dengan menentukan bagian-bagian jalan tesebut yang berupa : alinyemen
horisonatal dan alinyemen vertikalnya.
Trase jalan yang direncanakan harus memenuhi persyaratan teknis, ekonomis,
dan lingkungan.
Persyaratan teknis : mempertimbangkan faktor topografi, geologi, tata guna
lahan/ tata ruang wilayah, kemudahan pengerjaan, rekayasa teknologi
Persyaratan ekonomi : mempertimbangkan kelayakan aspek ekonomi dan
finansial termasuk pembiayaannya dan tidak memberikan dampak pada
pengoperasian kendaraan yang tinggi, juga biaya pemeliharaannya.
Persyaratan lingkungan : mempertimbangkan lingkungan fisik, sosial, budaya
polusi udara maupun suara serta kesehatan
Pada dasarnya seorang perencana bila dihadapkan pada suatu profil lahan (peta
topografi, peta udara dll) sudah harus berfikir bahwa perancangan geometriknya
berdasarkan situasi dan mengadaptasi karakteristik pengendara, lalulintas dan
kendaraan untuk mendapatkan dIsain yang optimal, agar jalan memenuhi
persyaratan aman, nyaman, dan ekonomis.
Penetapan dan Pemetaan Trase Jalan memerlukan tahapan survei sebagai
berikut:
1. Survei Awal (Reconnaisance Survey)
Mendapatkan peta dasar dalam batas koridor rencana jalan sehingga dapat
digambarkan rencana trase jalan.
2. Survei Pendahuluan (Preliminary Survey)
Jalur trase jalan terpilih, selanjutnya dipetakan dan diukur kembali secara teliti
untuk mendapatkan rencana penentuan trase jalan yang pasti
3. Survei Lokasi (Location Survey)
B. Bentuk Jalan Raya
Bentuk jalan raya berhubungan dengan dimensi dari ciri-ciri jalan raya seperti
alinyemen, tanjakan (grade), lebar jalan, jarak pandang, tikungan, lereng, dll.
Rancangan (lay-out) geometrik seharusnya dirancang untuk menghasilkan efisiensi
yang maksimum thd operasi lalulintas, yaitu : aman, nyaman dan ekonomis. Detil
rancangan tergantung topografi, lokasi, tipe dan intensitas lalulintas yang
diharapkan. Akibat keterbatasan dana, tidak mungkin untuk mengkonstruksi jalan
yang ideal pada tahap awalnya. Karena itu efek terhadap aspek ekonomi, sepert :
lebar permukaan dimungkinkan untuk ditingkatkan di masa depan tanpa kesulitan.
Tanjakan, tikungan dan jarak pandang sangat sulit untuk ditingkatkan dan
memerlukan biaya yang mahal.
C. Klasifikasi Jalan
Klasifikasi Jalan di Indonesia telah disusun oleh Bina Marga, yang telah dibedakan menurut wewenang pembinaan jalan (administratif), menurut fungsi serta
menurut klas jalan, seperti terlihat pada Tabel 1.1. sbb :
FRZ Perancangan Geometrik Jalan
Kend.standar: P
SU
Rminimum (ft) : 24
42
Tinggi (ft) : 4,25 13,5
Lebar (ft)
: 7
8,5
Jr.gandar (ft) : 11 20
B
42
13,5
8,5
25
AB
38
10,5
8,5
42
WB40
40
13,5
8,5
40
WB50
45
13,5
8,5
50
WB60.
45
13,5
8,5
60
2. Inggris.
Ada 3 Jenis kendaraan standar, dengan lebar max.8 ft, 2,5 inc (2,5 m) yaitu :
Car
rigid vehicle
articulated vehicle
Karakteristik kendaraan standar :
Kelompok car
: panjang 10 18 dgn lebar 47,5 62
: dan jari-jari tikungan 25 45
Kelompok rigid vehicle
dan articulated vehicle : panjang max 361 (11 m) dan 427,75 (13 m)
: dgn jari-jari 65 utk kend.dgn panjang < 27,
: dan < 71 utk kend.dgn panjang > 71, pada
: umumnya berkisar antara 70
3.
Kanada
Ada 5 jenis kendaraan standar, yaitu : P, SU, B, WB12, WB15. dengan
karakterisrik sebagai berikut :
Tabel 1.3. Karakteristik kendaraan standar Kanada
Jenis
Lebar (m)
P
SU
B
WB12
WB15
2,10
2,60
2,60
2,60
2,60
Jr.gandar (m)
R (m)
5,80
9,10
9,10
12,20
15,20
7,30
12,80
12,80
12,20
13,70
3,40
6,10
6,10
7,00
7,90
Australia.
4.
Lebar (m)
1,93
2,50
2,50
Jr.gandar(m)
3,05
5,64
12,60
5.
Jenis
P
Tr/B
Tr.gd
1,70
2,50
2,50
2,70
6,50
13,0
4dp 9blk
4,70
12,0
16,50
0,8/1,2
1,5/4
1,3/2,2
6
12
12
BAB II
KLASIFIKASI JALAN DAN KENDARAAN
A. Klasifikasi Jalan
1. Klasifikasi (Pengelompokan) JALAN
Klasifikasi jalan di Indonesia menurut Bina Marga dalam Tatacara Perenca-naan
Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK) No. 038/T/BM/1997, ditunjukkan dalam
tabel berikut ini :
Tabel 2.1. Klasifikasi Jalan Menurut Bina Marga
FUNGSI
Jalan Kolektor
Jalan Lokal
Jalan Lingkungan
d. Jalan kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang
menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat
pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, serta menghubungkan
antarpusat permukiman yang berada di dalam kota.
e. Jalan desa merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau
antar permukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan
6. Pengelompokan JALAN UMUM menurut Kelas
a. Jalan kelas I, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter,
ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat
yang diizinkan lebih besar dari 10 ton;
b. Jalan kelas II, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter,
ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat
yang diizinkan 10 ton;
c. Jalan kelas IIIA, yaitu jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui
kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi
2.500 milimeter, ukuran panjang tidakmelebihi 18.000 milimeter, dan
muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton;
d. Jalan kelas III B, yaitu jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan
bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 milimeter, dan muatan
sumbu terberat yang diizinkan 8 ton;
e. Jalan kelas III C, yaitu jalan lokal yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 milimeter,
ukuran panjang tidak melebihi 9.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat
yang diizinkan 8 ton.
B. Penampang Jalan
Penampang Jalan adalah bagian-bagian jalan yang harus disediakan pada suatu
jalan, yang meliputi Ruang Manfaat Jalan (RUMAJA), Ruang Pengawasan Jalan
(RUWASJA), Ruang Milik Milik Jalan dan Bangunan-bangunan Jalan.
Komponen
30
Jalan raya
25
Jalan sedang
15
Jalan kecil
11
Tipe Jalan
15
10
15
Jembatan
100
C. Kendaraan Rancang
Kendaraan rancang menurut Bina Marga adalah :
1. Mobil Kecil, diwakili oleh mobil penumpang.
2. Kendaraan Sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau bis besar 2 as,
3. Kendaraan Besar, diwakili oleh truk-semi-trailer
Untuk kepentingan perancangan geometrik, setiap jenis kendaraan mempunyai
dimensi fisik karakteristik yang berbeda. Bina Marga telah menentukan 3 kelas
kendaraan rancang, yaitu : kendaraan kecil, kendaraan sedang dan kendaraan besar
(lihat tabel Dimensi Kendaraan Rancang) seperti terlihat pada tabel berikut.
Tabel 2.2. Dimensi Kendaraan Rancang Menurut Bina Marga
10
2. Dua jenis klas kendaraan telah diseleksi, yaitu jenis mobil penumpang
(passenger car) dan truk. Klas mobil penumpang (MP/PC) termasuk semua
kendaraan ringan dan pick-up serta van.
3. Setiap jenis kendaraan, mempunyai garis belokan minimum sendiri. Untuk
menentukan jari-jari putar belokan minimum (kendaraan berbalik arah),
diasumsikan kecepatan kendaraan kurang dari 10 km/jam.
4. Berikut ini diberikan gambar garis belokan minimum untuk berbagai
kendaraan rancang.
11
12
Ruang Jalan adalah ruang ruang bebas kendaraan yang harus disediakan untuk
keperluan arus lalulintas yang dilayani jalan. Pada ruang tersebut harus bebas
dari bangunan yang dapat merintangi / menghalangi lalulintas.
13
14
BAB III
JARAK PANDANG
Jarak pandang adalah panjang jalan ke depan yang dapat dilihat oleh seorang
pengemudi, bersama-sama baik secara horisontal maupun vertikal, yang merupakan
elemen sangat utama dan penting yang mempengaruhi dalam keselamatan dan
efisien operasi di suatu jalan raya. Dari aspek konstruksi, standar minimum yang
pasti dari dari jarak pandang menunjang biaya suatu jalan. Jarak pandang ini harus
disediakan pada bagian jalan yang lurus, bagian yang lengkung dan pada
simpang/pertemuan jalan, baik pada lengkung horisontal (tikungan) maupun
lengkung vertikal. Jarak pandang tergantung jumlah lajur di jalan, dan dapat
: diklasifikasi sbb
Stopping Sight Distance (SSD). 3. Meeting Sight Distance (MSD) .1
2. Passing Sight Distance (PSD). 4. Headlight Sight Distance (HSD)
Stopping Sight Distances, SSD dan Passing Sight Distances, PSD menjadi
perhatian khusus bagi para perancang jalan. Apabila keselamatan disediakan dalam
seluruh bagian jalan, maka jarak pandang yang cukup (SSD dan PSD) harus
tersedia bagi pengemudi dalam setiap jalur dari satu atau dua jalur jalan untuk
dapat berhenti sebelum menabrak suatu halangan di jalur tersebut, namun untuk
.efisiensi pada jalan dua lajur, PSD tidak harus disediakan sepanjang jalan
Untuk menghitung minimum JPH (SSD) dengan menjumlahkan jarak reaksi dan
.jarak pengereman
Jarak Reaksi (dR), adalah jarak tempuh kendaraan selama waktu reaksi yang
dapat dihitung : dr = 1000/(60 x 60) x t = 0,278 V x t (meter) .. (3.1)
dengan V = kecepatan.rancang (kph), t = waktu reaksi (dtk), Standar
.AASHO : 2,5 dtk, dan Inggris : 2 dtk
Waktu reaksi total = waktu ketika pengemudi melihat rintangan s/d. menginjak rem,
: berdasarkan teori PIEV sebagai berikut
a.
b.
c.
d.
Perception time.
Intelection time
Emotion times
Volition time
15
Panjang jarak pandang henti (JPH) dapat dilihat pada gambar berikut dengan
ketentuan : ketinggian mata pengemudi ditetapkan 125 cm, dan tinggi penghalang
10 cm, yang berlaku untuk lengkung cembung maupun cekung
Gambar 3.1. Jarak Pandang Henti pada lengkung vertikal cembung dan cekung
16
.2
c.
Pada saat permulaan berada di daerah penyiapan, pengendara memerlukan waktu untuk melihat/memikir/mengamati daerah penyiapan yang
ada di depannya.
d. Apabila pengendara sudah yakin benar dan menguasai segala sesuatunya, maka dimulailah melakukan gerakan menyiap.
e.
17
f.
g. Dalam gerakan menyiap ini, kendaraan yang menyiap tersebut mempercepat jalannya hingga kecepatan rata-rata selama berada di jalur
lawan sekitar 15 km/jam lebih tinggi dari kendaraan yang disiap.
i.
j.
18
19
Tabel 3.2. Elemen Jarak Pandang Menyiap yang aman, jalan 2-jalur
Kelompok kecepatan (km/jam)
Wkt kelambatan awal (detik)
Kec.rata2 kend.yg disiap, v1 (km/j)
Percep.rata2 kd.yg menyiap (m/dt2)
Kec.rata2 kend. menyiap, v2 (km/j)
Wkt kend.di jalur lawan arah (dtk)
Jarak aman (d3) (meter)
Jarak yg dijalani kend.lawan arah
d4 = 2/3 x d2 (meter)
48-64
3,6
40,0
0,63
56,1
9,3
30,0
96,0
64-80 80-96
4,0
4,3
54,3
68,4
0,64
0,66
70,3
84,5
10,0
10,7
55,0
76,0
130,0
168,0
20
BAB IV
PERENCANAAN TRASE JALAN
A. Kasus-kasus Dalam Perancangan Geometrik
Dalam merancang geometrik jalan, perlu diperhatikan beberapa pertimbangan
sebagai berikut
1. Jangan menetapkan kecepatan rancang rendah, apabila memungkinkan untuk
ditetapkan dengan kecepatan rancang yang lebih tinggi. Seperti kasus pada
medan di daerah datar.
2. Pada bagian jalan yang lurus yang panjang (biasanya di daerah datar) jangan
membuat tikungan tajam (dengan radius kecil) secara mendadak, karena akan
menimbulkan kecelakaan, disebabkan adanya perubahan kecepatan tinggi ke
kecepatan rendah. Tikungan tajam harus didahului dengan tikungan yang
radiusnya besar (tikungan peralihan)
3. Kecepatan rancang pada daerah/medan perbukitan, apalagi daerah/medan
pegunungan jangan ditetapkan terlalu besar, karena akan mengakibatkan biaya
konstruksi jalan menjadi sangat mahal, karena harus memotong bukit/gunumg
yang volumenya sangat gesar
4. Pada jalan bagian lurus dan panjamg, jangan membuat lengkung vertikan
cekung yang tajam karena akan memberi kesan jalan terputus (broken hide) bagi
pengemudi kendaraan.
5. Jangan menggabungkan lengkung horisontal tajam (tikungan tajam) dan
lengkung vertikal cembung tajam pada satu tempat.
6. Penggabungan lengkung vertikal dan lengkung horisontal perlu dicermati secara
seksama, agar tidak berdampak negatif, yang dapat menimbulkan kecelakaan
ketika dijalani oleh kendaraan.
B. Perancangan Trase Jalan
Pada dasarnya seorang perencana bila dihadapkan pada suatu profil lahan (peta
topografi, peta udara dll) sudah harus berfikir bahwa perancangan geometriknya
berdasarkan situasi dan mengadaptasi karakteristik pengendara, lalulintas dan
kendaraan untuk mendapatkan dIsain yang optimal, agar jalan memenuhi
persyaratan aman, nyaman, dan ekonomis.
Trase jalan yang direncanakan harus memenuhi persyaratan teknis, ekonomis,
dan lingkungan.
1. Persyaratan teknis : mempertimbangkan faktor topografi, geologi, tata guna
lahan/ tata ruang wilayah, kemudahan pengerjaan, rekayasa teknologi
2. Persyaratan ekonomi : mempertimbangkan kelayakan aspek ekonomi dan
finansial termasuk pembiayaannya.
3. Persyaratan lingkungan : mempertimbangkan lingkungan fisik, sosial, dan
budaya
Penetapan dan Pemetaan Trase Jalan memerlukan tahapan survei sebagai
berikut:
1. Survei Awal (Reconnaisance Survey)
Mendapatkan peta dasar dalam batas koridor rencana jalan sehingga dapat
digambarkan rencana trase jalan.
2. Survei Pendahuluan (Preliminary Survey)
FRZ Perancangan Geometrik Jalan
21
Jalur trase jalan terpilih, selanjutnya dipetakan dan diukur kembali secara teliti
untuk mendapatkan rencana penentuan trase jalan yang pasti
3. Survei Lokasi (Location Survey)
Melakukan survai di lokasi yang sudah ditetpkan
C. Metode Pemilihan Trase Terbaik:
1. Analisis Multikriteria
Suatu analisis sederhana menggunakan kriteria-kriteria sebagai atribut penilaian,
dapat berupa penilaian kualitatif ataupun kuantitatif. Dapat disertai dengan
pembobotan untuk mendapatkan hasil terbaik.
Untuk kasus jalan, kriteria yang dapat dikembangkan antara lain:
Kriteria Teknik,
Kriteria Ekonomi,
Kriteria Politik,
Kriteria Lingkungan,
Kriteria Tata Ruang,
Kriteria Transportasi,
Kriteria Kelembagaan,
Kriteria SDM
Tiap kriteria yang dievaluasi akan dibagi-bagi dalam sub-kriteria yang lebih
kecil, selanjutnya tiap sub-kriteria memiliki indikasi kualitatif dan indikasi
kuantitatif, yang masing-masing indikasi ini dilengkapi atibut nilai.
Untuk menentukan prioritas penilaian sub-kriteria tersebut maka dilakukan dua
cara:
1. Untuk sub-kriteria dengan indikasi kuantitatif, interval atribut nilai dibuat
berdasarkan pembagian selisih nilai tertinggi dengan terendah ke dalam 5 (lima)
interval.
2. Untuk sub-kriteria dengan indikasi kualitatif, interval dibuat berdasarkan
perbandingan keunggulan relatif ke dalam 5 (lima) interval.
Nilai kriteria adalah jumlah nilai sub-kriteria, selanjutnya indeks prioritas
kriteria ditentukan berdasarkan jumlah sub kriteria dalam formula berikut:
Dengan :
m
IP = indeks prioritas kriteria
IP bn N n
bn = bobot sub-kriteria - n
n 1
Nn = nilai sub-kriteria
m = jumlah sub-kriteria
22
I .tlA
SINKET .A
gopoT nad igoloeG isidnoK .1
esarT niaseD .2
naanaskaleP nahadumeK .3
MDS .4
SIMONOKE .B
anaD nahutubeK .1
imonokE taafnaM .2
laisnaniF .3
NAGNUKGNIL .C
kisiF .1
ayaduB - malA ragaC .2
laisoS kilfnoK .3
GNAUR ATAT .D
WRTR naiauseseK .1
W nagnabmegneP isnetoP .2
IALIN
TOBOB X IALIN
TOBOB
II .tlA III .tlA
I .tlA
II .tlA
III .tlA
4
3
4
2
2
2
1
4
4
4
3
4
%03
%03
%03
%03
2.1
9.0
2.1
6.0
4
5
4
2
5
4
3
4
5
%02
%02
%02
8.0
8.0
8.0
3
5
5
4
4
4
5
5
4
%03
%03
%03
9.0
5.1
5.1
2.1
2.1
2.1
5.1
5.1
2.1
4
5
4
4
5
4
%02
%02
8.0
8.0
8.0
8.0
LATOT
6.0
6.0
3.0
2.1
4.0
1
1
2.21
2.1
2.1
9.0
2.1
1.01
6.0
8.0
1
1
9.21
23
24
25
BAB V
DASAR-DASAR PERANCANGAN GEOMETRIK
A. Kategori Jalan
Bina Marga membagi jalan menjadi 3 katagori berdasar fungsi ;
1. Jalan Arteri : melayani angkutan primer yang memerlukan rute jarak jauh
Kecepatan rerata tinggi dan jalan masuk (akses) dibatasi secara efisien
2. Jalan Kolektor : menampung dan mendistribusi transportasi rute jarak sedang,
dengan kecepatan rerata sedang, dan mempunyai jalan masuk dengan jumlah
terbatas.
3. Jalan Lokal : melayani transportasi lokal dengan rute jarak pendek, kecepatan
rerata rendah dan mempunyai jalan masuk tak dibatasi.
B. Kriteria Klasifikasi Jalan
Klasifikasi jalan dapat dibedakan berdasarkan Klasifikasi jalan menurut Bina
Marga dalam Tatacara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK) No.
038/T/BM/1977, seperti pada tabel berikut :
Tabel 5.1. Klasifikasi Jalan Menurut Bina Marga
C. Volume Lalulintas
Dasar-dasar perancangan jalan raya secara umum adalah.
1. Volume lalulintas rancang, Tahun rancang, Koefisien SMP
a. Volume Lalulintas Rancang (VLR) dipakai untuk merancang peningkatan
jalan atau merancang jalan baru, dan didasarkan atas Lintas Harian Rata-rata
Tahunan (LHRT), dengan menentukan faktor kesibukan, yang dinyatakan
dlm satuan SMP
b. Klasifikasi Kondisi Medan. Untuk pertimbangan biaya pembangunan maka
standar harus disesuaikan dengann topografi. Medan dibagi atas 3 jenis
(lihat Kondisi Medan)
2. Klasifikasi Jalan Raya dan Penggunaan Klas Standar. Faktor pokok untuk
perancangan geometrik adalah VLR. Lebar RUMAJA, alinemen dan standar
lainnya mengikuti VLR. Kondisi medan sangat mempengaruhi biaya konstruksi
jalan.
26
Tabel 5.2. Kelompok & klas standar untuk kec min 60 km/jam
Fungsi
Medan
Jl.Arteri
Bukit
Gunung
Datar
Klas 1
Klas 1*
VLR (smp/hari)
> 50.000
< 50.000
Klas 1
Klas 2
Klas 2
Klas 2
Tabel 5.3. Kelompok & klas standar untuk kec min 40 km/jam
Fungsi
Jl.Arteri
Kolektor
Gng
Medan
Datar
Bukit
> 30000
Klas 3
Klas 3
Klas 3*
VLR (smp/hari)
30000 - 10000
Klas 3
Klas 3
Klas 3*
< 10.000
Klas 4
Klas 4
Klas 4
Tabel 5.4. Kelompok & klas standar untuk kec min 20 km/j
Fungsi
Medan
Jl.Lokal
Datar
Bukit
Gng
VLR (smp/hari)
> 10000 10000 - 1000 < 1000
Klas 3
Klas 4
Klas 5
Klas 3
Klas 4
Klas 5
Klas 3*
Klas 4*
Klas 5*
...................... (5.2)
27
28
BAB VI.
ALINEMEN JALAN
A. Alinemen
Trase jalan terdiri dari garis lurus dan garis lengkung. Karena perbedaan arah
dari kedua garis lurus, maka kedua garis akan berpotongan dan akan membentuk
sudut, yang disebut tangen, yang dapat dibedakan menurut arahnya. Antara dua
tangen yang berpotongan dihubungkan oleh garis lengkung yang berupa busur
lingkaran yang berfungsi sebagai busur pealihan antar arah yang satu dengan arah
yang lain. Letak titik perpotongan, lengkung, dan bagian-bagian penting yang lain
dapat ditunjukkan pada alinemen horisontal. Bagian-bagian dari alinemen
horisontal adalah :
29
30
v2
fm = ------- (6.3.)
g.R
dengan : fm = koef.gesek ban dan perkerasan.
v = kecepatan (m/dt).
R = jari-jari lengkung (m).
Apabila digunakan satuan yang umum, maka diperoleh :
V2
fm = --------- (6.4.)
127.R
dengan : fm = koef.gesek ban dan perkerasan.
V = kecepatan (km/jam).
g = 9,78 m/dt2.
2) Stadium kedua.
Keadaan di tikungan, dengan permukaan jalan miring ke arah melintang
sebesar e, sedemikian, hingga gaya sentrifugal yang timbul dapat
diimbangi sepenuhnya oleh kemiringan permukaan jalan tersebut, dan
gesekan antara ban dan permukaan perkerasan tidak timbul. Dalam
keadaan seperti ini, superelevasi (e) yang diperlukan adalah :
v2
f = -----g.R
V2 .
atau e = -------- (6.5.)
127.R
3) Stadium ketiga
Dalam stadium ini, keadaan tikungan menyebabkan gaya sentrifugal
yang timbul cukup besar, dan tidak dapat diimbangi sepenuhnya oleh e
(superelevasi). Disamping e ini masih diperlukan adanya gaya gesek
antara ban dan perkerasan, sehingga gaya sentrifugal akan dilawan
oleh e dan f. Jadi persamaan menjadi :
(e + f) =
V2
------g.R
atau (e + f) =
V2 .
-------- .. (6.6.)
127.R
a. kecepatan kendaraan.
b. Jenis dan keadaan permukaan jalan (kering atau basah)
FRZ Perancangan Geometrik Jalan
31
c.
Jenis ban dan keadaan ban kendaraan (ban gundul atau berpola)
Nilai f dapat diukur dengan Pendulum Tester . Untuk perancangan jalan raya,
nilai f ditetapkan berdasarkan kecepatan kendaraan. Setiap negara menetapkan nilai
fm maksimum,berdasar pertimbangan tertentu. Nilai f maksimum memberikan R
min.
Di bawah ini diberikan nilai fm (Side Friction Factor) sbb :
Tabel 6.2. Nilai faktor gecekan samping berdasar AASHTO 1984
V (mph)
(kph)
fm
80
75
70
65
60
50
40
30.
128 120 112 104 96
80 64
48
0,11 0,11 0,12 0,13 0,13 0,14 0,15 0,16
120
0,10
100
0,11
80
0,12
60
0,13
50
0,14
40 / 30 / 20.
0,15
120
0,10
100
80
60 50
40.
0,11 0,12 0,13 0,14 0,15
32
Indonesia*
0,10
1 : 10
* Tambahan.
Ada 4 metoda untuk mengatasi gaya sentrifugal pada suatu tikungan dengan
memanfaatkan nilai e atau f atau kedua-duanya. Metoda ini dijelaskan pada
Gambar 6.2. berikut ini.
Metoda (1) : Superelevasi dan gesekan samping berbanding langsung dengan
derajat lengkung (garis 1).
Metoda (2) : Nilai superelevasi sedemikian sehingga kendaraan yang bergerak
dengan kecepatan rancang, gaya sentrifugal diimbangi dengan perbandingan
langsung oleh superelevasi pada tikungan, dengan e tetap pada e max dan f
digunakan pada perbandingan langsung terhadap peningkatan lengkungan yang
berkesinambungan sampai f mencapai fmax. (garis 2).
Metoda (3) : Sama seperti metoda 2, hanya metoda ini didasarkan pada
kecepatan rata-rata sebagai pengganti kecepatan rancang (garis 3)
Metoda (4) : Superelevasi dan gesekan samping berada dalam hubungan kurva
linier dengan derajat lengkung dengan nilai yang besarnya diantara nilai-nilai
dalam metoda 1 dan 2 (garis 4 putus-putus)
Lengkung
33
Gambar 6.2. (b) menggambarkan situasi dengan S lebih besar dari panjang
kurva L (S > L) dan overlaping dengan tangen (bagian lurus) untuk panjang l pada
kedua sisi. Dengan menggunakan rumus geometri (S/2) 2 = x2 + M2 , dan x2 = d2 (R
M)2 , dan d2 [(S L) :/2]2 + R2, maka
L (2.S L)
M = -------------- (6.8.)
8R
Gambar 6.2. Jarak pandang dengan pertimbangan offset pada curva horisontal
5. Jari-jari Tikungan Minimum
Bermacam-macan jari-jari (R) dapat dibuat pada tikungan suatu jalan. Untuk
menyatakan ketajaman suatu tikungan dapat dilihat dari besarnya jari-jari (R) dan
derajat lengkungnya (D) Nilai D berbanding terbalik dengan D, sehingga pada jarijari minimum (Rmin) akan didapat derajat lengkung maksimum (Dmax). Rmin dan Dmax
adalah harga batas dari suatu ketajaman tikungan untuk suatu kecepatan tertentu.
Dalam perancangan jalan, harga batas itu sebaiknya dihindari, dan diusahakan Rranc
> Rmin. kecuali apabila kondisi topografi yang tidak memungkinkan atau biaya
pembangunan yang tidak mengizinkan. Dari persamaan dasar tikungan (6.6.) :
V2 .
Rmin untuk kecepatan kendaraan tertentu, dapat dihitung
(e + f) = -------dengan memberikan nilai maksimum pada e dan f.
127.R
Beberapa negara menetapkan nilai R min sendiri, tergantung kondisi di negara
tersebut, seperti pada tabel-tabel berikut ini.
Tabel 6.4. Nilai Rmin di Inggris
V (mph)
Rmin (m)
:
:
60
130
80
230
100
350
120
510
30
: 30
40
50
60
115
80
210
100
350
120
560
34
5629,57
D = ----------- (6.9)
R
Standar Baru.
1432,39
D = ----------- (6.10)
R
LS2 .
1) p = -------- ... (6.11)
24 R
2) Panjang lengkung ditempuh minimum 3 detik
V.
LS = ------- x 3 = 0,8333 V (6.12)
3,6
3) Jari-jari lengkung peralihan.
Rmin. = 0,15 V2
.. (6.13)
6. Superelevasi
Dari persamaan dasar tikungan, R ditentukan oleh nilai kombinasi antara e dan
fm. Nilai ekstrem dari (e + fm) adalah :
a. nol, yaitu terjadi pada saat nilai R tak terhingga ( = R1 ).
b. maksimum, yaitu pada saap nilai R minimum ( = R2 )
Untuk nilai R antara R1 dan R2 pada suatu V tertentu. maka nilai ( e = fm ) harus
ditetapkan sedemikian sehingga kurang lebih sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya.
Cara menentukan nilai e pada berbagai nilai R (AASHO) adalah :
a. Nilai e berbanding langsung dengan D tikungan tersebut. Jadi nilai e
berkisar antara dari D = 0 sampai D maksimum, Dengan demikian maka
nilai fm juga berbanding langsung dengan D.
b. 1). Berdasar nilai kecepatan rancang ( Vr ).
Kemiringan (e) terbagi sedemikian sehingga sampai suatu nilai D
tertentu (D1), nilai e berbanding lurus dengan D sampai e mencapai
maksimum, yaitu memberi keseimbangan (hand off condition) antara
gaya sentrifugal yang timbul dengan nilai e yang disediakan (untuk ini
nilai fm = 0). Dari D1 sampai D maksimum, nilai e tetap, sedangkan gaya
sentrifugal yang timbul selanjutnya diimbangi oleh gabungan antar (e
maks.+fm) sampai fm mencapai nilai maksimum, yaitu pada saat D
mencapai D maksimum.
2). Berdasar nilai kecepatan tempuh rata-rata (Va).
Kemiringan (e) terbagi sedemikian sehingga sampai suatu nilai D
tertentu (D2), nilai e berbanding lurus dengan D sampai e mencapai
maksimum, yaitu memberi keseimbangan (hands off condition) antara
gaya sentrifugal yang timbul dengan nilai e yang disediakan (untuk ini
nilai fm= 0). Dari D2 sampai D maksimum, nilai e tetap, sedangkan gaya
sentrifugal yang timbul selanjutnya diimbangi oleh gabungan antar (e
35
80
230 (210)
420
1200 (1100)
1680 (1600)
100
350 (350)
660
1350 (1500)
2640 (2300)
120
510 (560)
960
1500 (2000)
3840 (3000)
Berikut ini diberikan gambar lengkung Clothotid (lengkung spiral) berikut notasi
elemen-elemennya.
36
..... (6.15)
dengan : e = superelevasi.
C = perubahan percepatan diambil 1-3 m/dt2 ;
R = jari-jari busur lingkaran
c) Berdasar tingkat pencapaian perubahan kelandaian.
FRZ Perancangan Geometrik Jalan
37
38
V = kecepatan (km/jam).
R = jari-jari (m)
LS = panjang lengkung spiral (m)
c = perubahan percepatan : 0,4 m/dt2
30
: 100
40
120
50
149
60
160
80
200
100
240
120
280
39
n = 3 -----> f = 1,2
n = 4 -----> f = 1,5
n = 6 -----> f = 2
Berikut ini diberikan tabel lengkung spiral clothoida berikut parameternya
Dikutip dari : Suprapto Tm., 2006, Perancangan Geometri Jalan, JTS FT UGM
E.
40
Jika lengkung peralihan digunakan, posisi lintasan tikungan bergeser dari bagian
jalan yang lurus ke arah sebelah dalam (lihat Gambar 6.4.) sebesar p. Nilai p (m)
dihitung dengan rumus :
p = LS2 / 24xRC (m); (6.21)
dengan : LS = panjang lengkung peralihan (m),
RC = jari-jari circle (m).
Bila p < 0,25 m, maka tak perlu lengkung peralihan, dan dipakai Full Circle.
Superelevasi tidak diperlukan bila R yang tertera dalam tabel berkut :
Tabel 6.10. Jari-jari (R) tikungan yang diizinkan tanpa superelevasi.
Kecepatan rancang
(km/jam)
60
80
100
120
R.
(m)
700
1250
2000
5000
41
Tanpa median
Dengan median
Sumbu putar CL (atas)
Sumbu putar CL (atas)
Sumbu putar sisi dalam (bawah)
Sumbu putar sisi dalam (bawah)
Gambar 6.5.Sumbu Putar Pada Pencapaian Super Elevasi
2 Bentuk Tikungan.
Bentuk tikungan dapat dibedakan menjadi :
a. Tikungan berbentuk lingkaran penuh (full circle).
b.
c.
d.
e.
Pada tikungan SCS, pencapaian superelevasi dilakukan secara linier, diawali dari
bentuk normal sampai awal lengkung peralihan (TS), lalu dilanjutkan sampai
superelevasi penuh pada akhir bagian lengkung peralihan (SC). (lihat Gbr.6.5.
Metoda pencapaian superelevasi pada tikungan SCS, pada gambar bagian kiri
bawah).
Pada tikungan FC, pencapaian superelevasi dilakukan secara linier, diawali dari
bagian lurus sepanjang 2/3 LS sampai dgn bagian circle penuh sepanjang 1/3 LS.
3. Tipe Alinemen.
Merupakan gambaran kemiringan daerah yang dilalui jalan dan ditentukan oleh
jumlah naik turun (hillines, m/km) serta jumlah lengkung horisontalnya (bendiness,
rad./km), dengan ketentuan sbb. :
Tabel 6.11. Persyaratan Hilliness dan Bendiness
Hilliness (m/km)
Bendiness (rad.,km)
D:
< 10
< 1,0
B :
10 30
1,0 2,5
G :
> 30
> 2,5
FRZ Perancangan Geometrik Jalan
42
Gambar 6.7. Metoda Pencapaian Superelevasi dengan sumbu putar sisi luar (C)
dan gambar potongan lurus slope (D) (J.G.Schoon)
43
Gbr.6..8. Perputaran perkerasan jalan dengan sumbu putar center line (S.P.Bindra 1976)
44
45
Gambar 6.10. Perlebaran di tikungan (a) satu sisi dan (b) dua sisi
46
V
W2 =
(km/jam)
0,95 R
c. Pelebaran Total = W1 + W2 =
(6.25)
2R
0,1 V
+
47
Setiap tikungan gabungan berbalik arah , harus dilengkapi dengan bagian lurus
antara kedua tikung.tersebut sedikitnya sepanjang 30 meter agar pengemudi tidak
mengalami kejutan ketika lewat tikungan gabungan berbalik arah. Untuk jelasnya,
dapat dilihat gambar tikungan gabungan berikut ini.
Gambar 6.13. Tikungan Gabungan Berbalik Arah Tanpa dan Dengan Sisipan
48
49
BAB VII
ALINEMEN VERTIKAL
A. Bentuk alinemen vertikal.
Alinemen vertikal merupakan tampang memanjang jalan , yang tersusun dari
potongan-potongan garis lurus dan garis lengkung. Garis-garis lurus tersebut
disebut tangen, dan dibedakan menurut landai jalan, dan antara landai jalan yang
berbeda dihubungkan dengan lengkung vertikal atau landai peralihan. Ketinggian
dari setiap titik serta bagian-bagian penting dari jalan dapat dilihat pada alinemen
vertikal ini.
Penampang memanjang suatu jalan idealnya adalah datar dengan landai 0%.
Pertimbangannya adalah, bahwa daya yang diperlukan oleh kendaraan untuk
bergerak relatip kecil, dan kendaraan dapat dijalankan dengan keceparan
maksimum, sesuai dengan kehendak pengemudi.
Alinemen vertikal suatu jalan raya seperti yang ditetapkan pada profil, harus
sesuai dengan kepentingan kecepatan rancang dan jarak pandang, kondisi medan
(terrain) dan karakteristik kendaraan yang diharapkan menggunakannya, seperti :
a. Kecepatan rancang dan medan (terrain). Pada umumnya kecepatan rancang
meningkat apabila tanjakannya menurun.
b. Panjang tanjakan kritis (Gritical Grade Lengths). Panjang tanjakan kritis
diperlihatkan pada Gambar 5.1. Data tersebut didasarkan pada kinerja truk.
Apabila panjang kritis meningkat lebih banyak sekali, pertimbangan harus
diberikan untuk menyediakan lajur pendakian, terutama apabila volume truk
tinggi. Meskipun ini akan jarang terlihat pada jalan kolektor karena volume
dan kecepatan truk rendah.
50
51
B. Lengkung Vertikal
Perubahan dari suatu landai ke landai yang lain dipengaruhi oleh pemakaian
lengkung vertikal. Perancangannya didasarkan pada jenis lengkung, jarak pandang,
kenyamanan pengendara, drainasi serta pertimbangan estetika. Beberapa tipe yang
digunakan adalah : parabola pangkat tiga, parabola sederhana dan lengkung
lingkaran seperti pada Gambar 5.2. Lengkung lingkaran memberikan pandangan
yang konstan. Untuk aplikasi praktis, lengkung parabola sederhana dapat
digunakan. Untuk merancang lengkung vertikal dianjurkan menggunakan rumusrumus matematika yang memberikan perhitungan termudah.
Gambar 7.2.a. Bentuk lengkung parabola sederhana yang simetris (CA OFlaherty)
1. Bentuk Lengkung Vertikal
Lengkung vertikal adalah lengkung yang digunakan untuk melakukan perubahan
secara berangsur-angsur dari suatu landai ke landai lain berikutnya. Perubahan
landai tersebut dapat mengakibatkan terbentuknya lengkung vertikal cekung
maupun lengkung vertikal cembung.
Bentuk garis lengkung yang digunakan dapat berupa busur lingkaran, parabola (y =
mx2) dan parabola pangkat 3 (y = mx3). Yang terakhir ini digunakan untuk lengkung
vertikal jalan rel. Lengkung vertikal untuk jalan raya biasanya memakai lengkung
parabola sederhana, yang ukurannya ditentukan oleh panjangya. Tepatnya, panjang
lengkung harus sama dengan panjang ACB pada Gambar 5.3.
52
Apabila panjang lengkung = panjang ACB , maka lengkung tersebut sangat datar,
sehingga selisih antara panjang ACB dengan jarak horisontal dari A ke B kecil dan
dapat diabaikan. Pada mumnya jarak mendatar dari A ke B menunjukkan panjang
lengkung vertikal.
2. Lengkung parabola.
Sifat lengkung parabola : pergeseran vertikal setiap titik pada lengkung terhadap
bagian tangen adalah sebanding dengan kuadrat jarak horisontal yang diukur dari
ujung lengkung. Notasi-notasi yang umum dan sering digunakan pada lengkung
parabola adalah :
PPV = pusat perpotongan vertikal antara dua tangen yang bertemu.
PLV = permulaan lengkung vertikal
PTV = permulaan tangen vertikal
Ev
= penggeseran vertikal PPV, ke permukaan jalan rancang (m)
Lv
= panjang lengkung arah horisontal (m)
A
= perbedaan aljabar landai (%)
Rumus yang dipakai :
A.LV
EV = ------- ;
. (7.1)
800
Untuk lengkung lingkaran, jari-jari lengkung vertikal (R) adalah :
100.LV
R = ----------- ;
. (7.2)
A
Karena kedua lengkung tersebut memberikan perubahan kelengkungan antara
dua titik berurutan yang hampir tetap, maka LV/A adalah tetap (kondtan) = K
Gambar berikut ini adalah tipikal lengkung vertikal.
53
80
60
50
40
30
20
70
50
40
35
25
20
Dengan menggunakan ke dua rumus di depan dan Tabel 7.1, panjang minimum
lengkung vertikal cembung dan cekung menurut Bina Marga dapat ditentukan
dengan grafik pada Gambar 7.4. dan 7.4a.
Untuk membandingkan dengan standar dari AASHTO, 1984, A Policy on
Geometric Design of Highwys and Streets, berikut ini diberikan gambar untuk
menentukan panjang lengkung vertikal cembung (crest vertical curves) dan
lengkung vertikal cekung (sag vertical curves), seperti pada Gambar 7.5, dan
Gambar 7.5a. berikut ini.
54
55
Gambar 7.5. Design controls for crest vertical curves for stopping sight
distance upper range.
Gambar 7.5.a. Design controls for sag vertical curves upper range.
b. Panjang minimum lengkung vertikal cembung dapat pula dikaitkan dengan jarak
pandangan sebagai berikut (Bina Marga 1990)
1). Berdasar panjang jarak pandang henti, dengan tinggi mata (h 1) = 125 cm dan
tinggi rintangan (h2) = 10 cm, maka untuk :
a) S < LV
b) S > LV
----------->
A.S2
LV = -------- . (7.5)
412
----------->
412.
LV = 2.S - ------- ... (7.6)
A
56
Gbr.7.6. Panjang lengkung vertikal cembung utk JPH<LV dan JPH > LV
2). Berdasarkan jarak pandang menyiap , h1 = 125 cm dan h2 = 125 cm, maka
untuk :
A.S2
a) S < LV ----------->
LV = -------. (7.7)
1000
1000.
b) S > LV ----------->
LV = 2.S - --------- .....,. (7.8)
A
c. Panjang minimum lengkung vertikal cekung ditentukan berdasarkan :
1). Jarak pandangan pada malam hari, yaitu dihitung berdasarkan jarak
penyinaran lampu besar kendaraan dengan tinggi lampu (h1) = 0,75 meter dan
berkas sinar menyebar ke atas sebesar 1 derajat (1o)
2). Jarak pandang yang diperlukan apabila melewati underpass, dengan mempertimbangkan tinggi ruang bebas minimum serta tinggi lampu belakang
kendaraan
Untuk perancangan, panjang lengkung minimum :
a) S < LV ---------->
S2.A
LV = ----------------- .. (7.9)
(150 + 3,5.S)
b) S > LV ---------->
(150 + 3,5.S)
LV = 2.S - ------------------ (7.10)
A
57
4. Landai jalan
Landai jalan menunjukkan kenaikan (menanjak) atau penurunan secara vertikal
dalam suatu jarak horisonatal tertentu, yang pada umumnya dinyatakan dalam %.
Dengan aturan gambar jalan dibaca dari kri ke kanan, maka landai jalan ditandai
naik (+) dan turun (-). Landai jalan ditentukan berdasarkan keadaan setempat
dengan berpedoman pada peraturan perancangan yang ditetapkan.
Menurut Bina Marga 1997, landai jalan maksimum (%) adalah sbb.
Tabel 7.2. Landai maksimum yang diizinkan
Meskipun pemakaian bagian lurus dari tanjakan yang curam di medan perbukitan
(hilly) pada umumnya berakibat biaya konstruksi dan lingkungan sekitar
(environmental) yang rendah, namun juga menambah biaya pemakai jalan akibat
terjadinya tundaan (kecepatan menjadi rendah) dan tambahan bahan bakar serta
kecelakaan. Tambahan biaya pemakai jalan sangat perlu diperhatikan apabila
lalulintas sangat tinggi dan proporsi kendaraan komersial pada arus lalulintas
tersebut besar. Pada tanjakan di medan perbukitan, ekstra kecelakaan sering
diakibatkan oleh pengemudi yang frustrasi oleh kecepatan kendaraan ketika
mendahului, yang pada umumnya itu tidak dilakukan pada keadaan normal.
Kecepatan biasanya bertambah pada turunan (downhill) dan jika pengemudi harus
mengerem, ketika melintasi lengkung di bagian bawah, dan permukaan jalan basah,
maka kecelakaan serius dapat diakibatkan oleh slip diluar kontrol.
Tanjakan sampai dengan 7% mempunyai efek pada kecepatan yang relatif kecil bagi
mobil penumpang. Namun kecepatan pada kendaraan komersial sangat berkurang
pada tanjakan yang panjang dengan gradient yang lebih dari 2%. Apabila tanjakan
pendek, gradient 5% atau 6% masih kecil efek gangguannya pada kecepatan
kendaraan komersial.
Tanjakan maksimum yang diinginkan sekarang ini yang digunakan pada
perancangan jalan di Inggris adalah 3, 4 dan 6 % berturut-turut untuk jalan motor,
dua lajur dan satu lajur. Pada tanjakan di medan perbukitan, sampai 8% masih
digunakan pada semua single dan dual jalur, kecuali bila volume lalulintas berada di
jangkauan bagian bawah rancangan. Tanjakan melebihi 4% tidak pernah digunakan
pada jalur motor (motorways)
Untuk menjamin sistem drainasi yang efektif, diperlukan suatu tanjakan minimum
sebesar 0,5%.
58
BAB VIII.
APLIKASI DALAM PERANCANGAN
A. Alinemen Horisontal
Untuk mengaplikasikan teori-teori tersebut dalam perancangan alinemen horisontal, dapat disarikan sebagai berikut.
Standar Bina Marga 1997.
Digunakan rumus-rumus, tabel-tabel serta gambar-gambar berdasarkan stan-dar
Bina Marga 1997. (Ada standar Bina Marga 1990)
Rumus-rumus yang dipakai :
TIKUNGAN SCS (Spiral Circle Spiral)
59
60
120
600
100
370
90
280
80
210
60
115
50
80
40
50
30
30
20
15
80
60
50
40
30
20
1/150 1/125 1/115 1/100 1/75 1/50
61
*) Keterangan :
Ls (1) : berdasar waktu tempuh maks. 3 dtk dgn rumus Ls = (VR / 3,6) x T
Ls (2) : berdasar antisipasi gaya sentrifugal dgn rumus :
Ls = 0,022 VR3 / Rc.C 2,727 x (VR.e)/C
Ls (3) : berdasar tingkat pencapaian kemiringan dgn rumus :
Ls = [(em en) / 3,6.re ] x VR.; re = tkt pencapaian kemiringan melintang
Utk VR 70 km/j: re max = 0,035 ; VR > 80 km/j : re max = 0,025 m/m/dt
62
63
64
Landai jalan
Menurut Bina Marga 1997, landai jalan maksimum (%) adalah sbb.
Tabel 12. Landai maksimum yang diizinkan
65
66
67
68
Contoh Perhitungan ( 1 )
Diketahui : Gambar dengan ketentuan di bawah ini.
x = 10.216
y = 10.085
PI
A
B
BM 0
x = 10.472
Sta 0 + 000
y = 10.009
x = 10.000
y = 10.000
z = 100
Titik A berimpit dengam BM 0 sebagai awal proyek dengan Sta 0 + 000, dengan
koordinat dan elevasi seperti pada gambar diatas
Titik PI dengan koordinat seperti pada gambar, merupakan tikungan pertama
yang akan direncanakan.
Titik B merupakan titik akhir yang ditinjau, terletak pada sumbu jalan rencana
Jalan yang direncanakan merupakan jalan arteri pada daerah perbukitan
DIMINTA :
Rencanakan jalan arteri tsb dengan ketentuan seperti diatas dan syarat Bina Marga
1.Menggunakan tikungan jenis SCS (Spiral Circle Spiral)
2. Menggunakan jenis tikungan FC (Full Circle)
SOLUSI :
Dari Tabel 1 : VR = 60 -80 km/jam diambil 60 km/jam.
Dari Rumus (3d) Rmin = VR2 / [ 127(emax + fmax)]
Dari Gbr.1 untuk emax = 10%, diperoleh fmax = 0,150
Maka diperoleh : Rmin = 602 / 127 (0,10 + 0,150) = 115 meter
(Rmin dapat dilihat pula pada Tabel 2 )
PERENCANAAN
(1) Mencari jarak lurus (A - PI) dan (PI B)
d(A-PI) = (XPI XA)2 + (YPI YA)2
69
:
-:
38,015 :
--(3) Perhitungan Tikungan
Alternatif -1.
Menggunakan tikungan jenis SCS dengan R = 150 m > Rmin = 115 m.
Menghitung komponen tikungan. (lihat Gambar SCS)
R = 150 m ; = 38,0150
Dari Tabel 7 : Ls = 60 meter.
Dari Rumus (1a) Xs Ls 1 Ls 2 / 40 Rc 2 = 60 (1- 602/ 40 (150)2)
= 59,76 meter.
Dari rumus (1b) : Ys = Ls2/6Rc = 602/6(150) = 4,0 meter.
Dari rumus (1c) : s = 90/ x Ls/Rc = 90/ x 60/150 = 11,4590
Dari rumus (1d) : p = Ls2/6Rc Rc (1-coss)
p = 602/6.(150) 150 (1-cos 11,459)
= 1,010068 meter.
Dari rumus (1e) : k = Ls Ls2/40Rc2 Rc sin s
k = 60 602/40(150)2 150 sin 11,459
= 29,9600 meter
Dari rumus (1f) : Ts = (Rc + p) tan + k
= (150 + 1,010068) tan (38,015) + 29,9600
= 81,979 meter.
Dari rumus (1g) : Es = (Rc + p) sec - Rc
= (150 + 1,010068) sec (38,015) 150
= 9,7185 meter
Dari rumus (1h) : Lc = ( - 2s)/180 x x Rc
70
Sta ST = Sta CS + Ls
= (0 + 249,675) + 60 = 0 + 309,675
Sta B = Sta ST Ts + dPI-B
= (0 + 309,675) 81,979 + 267,04 = 0 + 494,736
Jadi panjang jalan dari A keB = 494,736 meter
Alternativ 2.
Menggunakan tikungan jenis FC dgn R = 600 m > Rmin utk FC (Tabel 3)
Menghitung komponen tikungan
Rc = 600 m, = 38,0170. (lihat hasil hitungan )
Dari rumus : Tc = Rc tan
= 600 tan (38,017) = 206,696 m
Dari rumus : Ec = Tc tan
= 206,696 tan (38,017) = 34,605 m
Dari rumus : Lc = .2.Rc / 3600
= 38,017 x 2.600 / 3600 = 398,113 m
Menghitung posisi titik tikungan
Sta A = 0 + 000
Sta TC = Sta A + dA-PI TC
= (0 + 000) + 232,13 206,696 = 0 + 025,434
Sta CT = Sta TC + Lc
= (0 + 025,434) + 398,113 = 0 + 423,547
Sta B = Sta CT TC + dPI-B
= (0 + 423,547) 206,696 + 267,04 = 0 + 483,891
Jadi panjang jalan rencana dar A sampai B adalah 483,891 meter.
Untuk selanjutnya hasil-hasil hitungan dapat diplotkan pada gambar di bawah ini
71
Contoh Perhitungan ( 2 )
Diketahui : Profil memanjang suatu jalur jalan seperti tergambar, akan
direncanakan lengkung vertikalnya.
Jalan yang direncanakan adalah jalan arteri pada daerah perbukitan dengan VR = 60
km/jam.
Rencanakan : alinemen vertkalnya dengan :
1. Menghitung kelandaian rencana
2. Menentukan panjang lengkungnya (L)
a. Berdasar jarak pandang henti
b. Berdasar jarak pandang menyiap
Jawaban :
Data dan ketentuan
Dari Tabel 12 : Untuk VR = 60 km/jam, kelandaian maksimum = 8%
Dari Tabel 1a : Untuk VR = 60 km/jam, Jarak pandang henti min = 75 m
Dari Tabel 1b : Untuk VR = 60 km/jam, JPM minimum = 350 m
PERENCANAAN LENGKUNG VERTIKAL
1. Menghitung kelandaian rencana.
g1 = (84 73) / 300 = 3,67% ; g2 = (84 81)/300 = 1,0%
2. Mencari panjang lengkung (L)
a) berdasar JPH (Jh)
Untuk Jh < L, maka rumus L = A.Jh2 /399
= (3,67 + 1,0).752 / 399 = 65,836 meter
Jh < L ; 75 < 65,836 ? jadi tidak memenuhi.
Untuk Jh > L, maka rumus L = 2Jh (399)/A
= 2(75) 399/4,67 = 64,56 meter
Jh > L, 75 > 64,56 memenuhi.
72
b) berdasar JPM
Untuk Jm < L, maka rumus L = A.Jm2 /840
= 4,67.(350)2/840 = 681,04 meter.
Jm < L : 350 < 681,04 memenuhi.
Untuk Jm > L, maka rumus L = 2Jm (840)/A
= 2(350) 840/4,67 = 520,128
Jm > L ; 350 > 520,128 ? tidak memenuhi.
Jadi panjang L adalah :
Berdasar jarak pandang henti : 64,56 meter
Berdasar jarak pandang menyiap : 681,04 meter
Karena JPH minimum dari Tabel 1a adalah 75 meter, maka untuk pertimbangan ekonomis, diambil L = 100 meter.
Untuk mencari EV dipakai rumus : EV = A.L/800
= 4,67(100)/800 = 0,584 meter
Untuk selanjutnya, hasil tersebut dapat diplotkan pada gambar berikut
:
73