Anda di halaman 1dari 53

BAB II

DASAR TEORI
2.1

Dasar Perencanaan Jalan Raya


Jaringan jalan raya yang merupakan prasarana transportasi darat yang

memegang peranan yang sangat penting dalam sektor perhubungan terutama


untuk kesinambungan distribusi barang dan jasa. Keberadaan jalan raya sangat
diperlukan untuk menunjang laju pertumbuhan ekonomi seiring dengan
meningkatnya kebutuhan sarana transportasi yang dapat menjangkau daerahdaerah terpencil yang merupakan sentral produksi pertanian. Untuk membangun
jalan baru maupun peningkatan, yang diperlukan sehubungan dengan penambahan
kapasitas jalan raya, tentu akan memerlukan metode efektif dalam perancangan
maupun perencanaan agar diperoleh hasil yang terbaik dan ekonomis, tetapi
memenuhi unsur keselamatan pengguna jalan dan tidak mengganggu ekosistem.
Konstruksi jalan raya adalah suatu bagian jalur tertentu yang dilewati
kendaraan dan memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu sangat erat
hubungannya dengan keadaan daerah setempat dan keamanan serta kenyamanan
yang dituntut dalam suatu perjalanan. Suatu kontruksi jalan yang baik adalah jalan
yang dapat memenuhi kebutuhan pelayanan lalu lintas dalam batas masa tertentu
yang dikenal dengan umur rencana jalan. Salah satu bagian perancangan
terpenting dalam suatu konstruksi jalan adalah perencanaan geometrik.
Perencanaan geometrik merupakan suatu perhitungan berdasarkan waktu
dan daerah lokasi jalan sehingga didapat suatu hubungan yang efisien, aman dan
nyaman dalam batas pertimbangan ekonomi yang layak.
Perencanaan geometrik secara umum yaitu perencanaan bagian jalan seperti
lebar, tikungan, landai dan jarak pandang serta hubungan satu sama lainnya yang
berkaitan dengan arah lalu lintas yang ada.
2.2

Perencanaan Geometrik Jalan Raya


Dalam suatu perencanaan geometrik jalan raya, bentuk geometrik haruslah

ditetapkan sedemikian rupa sehingga jalan yang bersangkutan dapat memberikan


pelayanaan yang optimal bagi lalu lintas sesuai dengan fungsinya. Di Indonesia
Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 1

standar perencanaan geometrik telah dilakukan dalam suatu peraturan yang


dinamakan Peraturan Geometrik Jalan Raya No. 13/1970 dan Tata cara
Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK) No. 038/T/BM/2000 yang
dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum.
Peraturan ini disusun sedemikian rupa sehingga standar yang dibutuhkan tidak
hanya memperlihatkan faktor utama lalu lintas tetapi juga keselamatan dengan
keseimbangan dari segi ekonomi.
2.2.1 Faktor Faktor yang Mempengaruhi Perencanaan Geometrik Jalan
Raya
1.

Kondisi lalu lintas


Data lalu lintas merupakan landasan utama dalam perencanaan jalan

raya, karena pengaruhnya dalam perencanaan bentuk-bentuk geometrik


jalan dan perencanaan tebal perkerasan jalan sangat besar sekali.
Kondisi lalu lintas yang berpengaruh terhadap perencanaan jalan tersebut
antara lain:
a. Volume lalu lintas
Volume lalu lintas didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang
melewati satu titik pengamatan selama satu satuan waktu. Jumlah
kendaraan yang hendak memakai jalan dinyatakan dalam volume lalu
lintas.
Satuan volume lalu lintas yang umum dipergunakan sehubungan
dengan penentuan jumlah dan lebar lajur adalah :
a. Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR) adalah volume lalu lintas ratarata dalam satu hari. Dari cara memperoleh data LHR ini ada dua
jenis yaitu Lalu Lintas Harian Rata-rata Tahunan (LHRT) dan Lalu
Lintas Harian Rata-rata (LHR).
b. Volume Jam Perencanaan (VJP) adalah menunjukkan jumlah arus
lalu lintas yang direncanakan akan melintasi suatu penampang jalan
selama satu jam.

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 2

c. Kapasitas adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat


melewati suatu penampang jalan pada jalur jalan selama 1 jam
dengan kondisi serta arus lalu lintas tertentu.
Untuk perencanaan geometrik jalan, volume lalu lintas sangat
berpengaruh terhadap perencanaan jumlah lajur dan lebar jalan yang
dibutuhkan. Makin besar jumlah kendaraan berat dan jumlah kendaraan
tak bermotor lewat, makin banyak jumlah lajur dan lebar jalan yang
dibutuhkan. Di Indonesia lebar jalan satu lajur berkisar 3 3,75 m.
b. Kendaraan Rencana
Kendaraan rencana adalah kendaraan yang merupakan wakil dari
kelompoknya, dipergunakan untuk merencanakan bagian-bagian dari
jalan. Untuk perencanaan geometrik jalan, ukuran lebar kendaraan
rencana akan mempengaruhi lebar lajur yang dibutuhkan. Sifat
membelok kendaraan akan mempengaruhi perencanaan tikungan dan
lebar median dimana mobil diperkenankan untuk memutar. Daya
kendaraan akan mempengaruhi tingkat kelandaian yang dipilih dan tinggi
tempat duduk pengemudi akan mempengaruhi jarak pandangan
pengemudi. Kendaraan rencana mana yang akan dipilih sebagai dasar
perencanaan geometrik jalan ditentukan oleh fungsi jalan dan jenis
kendaraan dominan yang memakai jalan tersebut.
Tipe kendaraan yang dimaksud disini adalah pembagian kendaraan
menurut jenis yang biasanya dibagi dalam 3 (tiga) golongan yaitu:
(Perencanaan

Geometrik

Jalan

Antar

Kota

(TPGJAK)

No.

038/T/BM/2000)
a) Kendaraan ringan / kecil.
Yaitu kendaraan bermotor ber as dua dan mempunyai berat total
kecil dari 5 T dengan 4 roda dan dengan jarak 2 3 m, misalnya mobil
penumpang, pick up, mobil hantaran.
b) Kendaraan sedang
Yaitu kendaraan bermotor dengan dua gandar dengan jarak 3,5
5,0 m misalnya bus kecil, truk 2 as dengan 6 roda dan lain-lain.
Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 3

c) Kendaraan berat / besar


Yaitu kendaraan yang mempunyai berat total besar dari 5 ton.
c. Kecepatan Rencana
Kecepatan adalah besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh
kendaraan dibagi waktu tempuh.Biasanya dinyatakan dalam km/jam.
Kecepatan rencana adalah kecepatan aman maksimum yang dipilih
untuk keperluan perencanaan setiap bagian jalan raya seperti tikungan,
kemiringan jalan, jarak pandang dan lain-lain. Kecepatan yang dipilih
tersebut adalah kecepatan tertinggi menerus dimana kendaraan dapat
berjalan dengan aman dan kemanan itu sepenuhnya tergantung dari
bentuk jalan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kecepatan rencana adalah:
Keadaan medan (terrain), apakah datar, berbukit atau gunung.
Sifat dan tingkat penggunaan daerah, apakah jalan di dalam kota
atau di luar kota.
Tabel 2.1 Ketentuan Kecepatan Rencana
Kelas Jalan
I
II A
II B
II C
III

Keadaan Medan
Datar
Berbukit
Gunung
Datar
Berbukit
Gunung
Datar
Berbukit
Gunung
Datar
Berbukit
Gunung
Datar
Berbukit
Gunung

Kec.Rencana
(km/jam)
120
100
80
100
80
60
80
60
40
60
40
30
60
40
30

Sumber : Perencanaan Teknik Jalan Raya Shirley L.Hendarsin, 2000

2. Keadaan Topografi
Topografi merupakan faktor dalam menentukan lokasi jalan dan pada
umumnya mempengaruhi penentuan trase jalan. Bukit, lembah, sungai dan
Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 4

danau sering memberikan pembatasan terhadap lokasi dan perencanaan trase


jalan. Hal demikian perlu dikaitkan dengan kondisi medan yang
direncanakan.
Kondisi medan mempengaruhi hal-hal sebagai berikut :
Tikungan
Jari-jari tikungan dan pelebaran perkerasan sedemikian rupa sehingga
terjamin keamanan jalannya kendaraankendaraan dan pandangan bebas
yang cukup luas.
Tanjakan
Adanya tanjakan yang cukup curam dapat mengurangi kecepatan
kendaraan dan kalau tenaga tariknya tidak cukup, maka berat muatan
kendaraan harus dikurangi, yang berarti mengurangi kapasitas angkut
dan sangat merugikan, karena itu diusahakan supaya tanjakan dibuat
landai sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Adapun pengaruh medan meliputi antara lain :

Jari-jari tikungan dan pelebaran perkerasan diambil sedemikian rupa


sehingga terjamin keamanan jalannya kendaraan dan pandangan luas
kedepan.

Adanya tanjakan yang cukup tajam dan curam dapat mempengaruhi


kecepatan kendaraan dan tenaga tariknya tidak cukup maka berat muatan
kendaraan harus dikurangi yang berarti mengurangi kapasistas angkut
dan sangat merugikan, karena itu diusahakan tanjakan dibuat landai.

Bentuk penampang melintang jalan.

Trase jalan.

3. Kondisi Geologi
Adanya daerah-daerah yang merupakan faktor kegagalan geologi seperti
daerah patahan atau daerah bergerak baik vertikal maupun horizontal.
Daerah ini merupakan daerah yang kurang cocok dalam pembuatan suatu
jalan karena keadaan tanah dasar sendiri dapat mempengaruhi lokasi dan

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 5

bentuk geometrik jalan tersebut, misalnya daya dukung tanah dasar yang
sangat jelek dan muka air tanah yang sangat tinggi.
4.

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat


Penggunaan tanah seperti pertanian, perindustrian, perkampungan,

tempat rekreasi dan lain-lain dapat mempengaruhi suatu perencanaan. Jalan


yang melalui daerah industri dimana persentase kendaraan berat terhadap
jumlah total kendaraan besar akan berbeda dengan jalan yang melalui
daerah perkampungan dimana persentase kendaraan berat lebih kecil.
2.2.2 Komposisi Lalu Lintas
Volume Lalu Lintas Harian Rata-rata (VLHR) adalah prakiraan volume lalu
lintas harian pada akhir tahun rencana lalu lintas yang dinyatakan

dalam

smp/hari.
1. Satuan Mobil Penumpang (SMP)
Satuan arus lalu lintas dimana arus dari berbagai kendaraan telah diubah
menjadi

kendaraan

ringan

(termasuk

mobil

penumpang)

dengan

menggunakan EMP.
2. Ekivalen Mobil Penumpang (EMP)
Faktor konversi berbagai jenis kendaran dibandingkan dengan mobil
penumpang atau kendaraan ringan lainnya. Sehubungan dengan dampaknya
pada perilaku lalu lintas (untuk mobil penumpang dan kendaraan ringan
lainnya, emp = 1,0).
Tabel 2.2 Ekivalen Mobil Penumpang (EMP)
No.

Jenis Kendaran

Datar/Bukit

Gunung

1.

Sedan, Jeep, Station, Wegen

1,0

1,0

2.

Pick-Up, Bus Kecil, Truck Kecil

1,2 2,4

1,9 3,5

3.

Bus dan Truck Besar

1,2 5,0

2,2, - 6,0

Sumber : Perencanaan Teknik Jalan Raya Shirley L.Hendarsin, 2000

3. Faktor (F)
Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 6

Faktor F adalah variasi tingkat lalu lintas per 15 menit dalam 1 jam.
4. Faktor VLHR (K)
Faktor untuk mengubah volume yang dinyatakan dalam VLHR menjadi
lalu lintas jam sibuk.
5. Volume Jam Rencana (VJR)
VJR adalah prakiraan volume lalu lintas pada jam sibuk tahun rencana
lalu lintas,dinyatakan dalam smp/jam,dihitung dengan rumus :
VJR VLHR x

K
F

VJR digunakan untuk menghitung jumlah lajur jalan dan fasilitas lalu
lintas lainnya yang diperlukan.
Tabel 2.3 Penentuan Faktor K dan F berdasarkan VLHR
VLHR
> 50.000
30.000 50.000
10.000 30.000
5.000 10.000
1.000 5.000
< 1.000

Faktor K (%)
46
68
68
8 10
10 12
12 16

Faktor F (%)
0,9 1
0,8 1
0,8 1
0,6 0,8
0,6 0,8
< 0,6

Sumber : Perencanaan Teknik Jalan Raya Shirley L.Hendarsin, 2000

6. Kapasitas (C)
Volume lalu lintas maksimum (mantap) yang jarak dipertahankan (tetap)
pada suatu bagian jalan dalam kondisi tertentu (misalnya : rencana
geometrik, lingkungan, komposisi lalu lintas dan sebagainya)
7. Derajat Kejenuhan (DS)
Rasio volume lalu lintas terhadap kapasitas yang diperhitungkan per jam.
2.2.3 Standar Perencanaan Geometrik Jalan
Di Indonesia, standar perencanaan geometrik telah dilakukan dalam suatu
peraturan yang dinamakan peraturan Geometrik Jalan Raya No.13/1970 yang
dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum.
Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 7

Peraturan itu disusun sedemikian rupa sehingga standar yang dibutuhkan


tidak hanya memeperhatikan faktor utama lalu lintas tetapi juga keselarasan
dengan keseimbangan ekonomi.
Tujuan adanya suatu standarisasi adalah untuk mencapai suatu perencanaan
jalan yang paling optimal sesuai dengan fungsinya:
1.

Jarak Pandangan
Adalah panjang jalan di depan pengemudi yang masih dapat dilihat

dengan jelas diukur dari titik kedudukan pengemudi itu sendiri.


Dilihat dari kegunaannya jarak pandangan dapat dibedakan atas:
a.

Jarak Pandang Henti (Jh)


Yaitu

jarak

menghentikan

pandangan
kendaraannya.

yang
guna

dibutuhkan

pengemudi

memberikan

kemanan

untuk
pada

pengemudi kendaraan,maka pada setiap panjang jalan haruslah dipenuhi


paling sedikit jarak pandangan sepanjang jarak pandangan henti
minimum.
a) Jarak minimum
Jarak pandangan henti minimum adalah jarak yang diperlukan oleh
setiap pengemudi untuk menghentikan kendaraannya dengan aman
begitu melihat adanya rintangan pada lajur jalannya.

Asumsi Tinggi
Asumsi tinggi diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata
pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan 105 cm,yang
diukur dari permukaan jalan.

Elemen-Jh
Jh terdiri atas dua elemen jarak yaitu :
1) Jarak Tanggap (Jht)
Adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak pengemudi
melihat suatu halangan dan sampai saat pengemudi menginjak
rem.

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 8

2) Jarak Pengereman (Jhr)


Adalah

jarak

yang

dibutuhkan

untuk

menghentikan

kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai kendaraan


berhenti.
Rumus yang digunakan:
Jh = Jht + Jhr
Jh

...(2.1a)

VR / 3,6
VR
T
3,6
2 g . fp

. (2.1b)

dimana :
VR

= Kecepatan rencana (km/jam)

= Waktu tanggap (2,5 detik)

= Percepatan gravitasi (9,8m/dt2)

Fp

= Koefisien gesek memanjang antara ban


dengan aspal

Jht

= Jarak tanggap

Jhr = Jarak pengereman


Tabel 2.4 : Jarak Pandang Henti (Jh) Minimum yang dihitung berdasarkan
pembulatan untuk berbagai VR
VR km/jam

120

100

80

60

50

40

30

20

Jh min (m)

250

175

120

75

55

40

27

16

Sumber : Perencanaan Teknik Jalan Raya Shirley L.Hendarsin, 2000

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 9

Jht

Jhr

A0

H
H = Jarak pandang henti
A = Kendaraan yang sedang melaju
Ao = Kendaraan setelah melihat adanya kendaraan
A = Kendaraan menginjak rem setelah melihat halangan
A = Kendaraan yang berhenti setelah menginjak rem
B

= Halangan

Sumber : Perencanaan Teknik Jalan Raya Shirley L.Hendarsin, 2000

Gambar 2.1 Jarak Pandang Henti

b.

Jarak pandang menyiap/ mendahului


Jarak pandang menyiap adalah panjang bagian suatu jalan yang

diperlukan oleh pengemudi suatu kendaraan untuk melakukan suatu gerakan


menyiap kendaraan lain yang lebih lambat dan aman pada jalur yang
dilewati.
Faktor-faktor yang mempengaruhi jarak pandang menyiap:
a) Kecepatan kendaraan yang bersangkutan
b) Kebebasan
c) Reaksi
d) Kecepatan pengemudi
e) Besar kecepatan maksimum
Besar jarak pandang menyiap dan panjangnya dapat dihitung
berdasarkan rumus berikut :
D = d1 + d2 + d3 + d4 ............................................. (2.2)
Dimana :
D = jarak pandang menyiap (m)
d1 = jarak pandang PIEV (percepatan, intelection,
emotion, vilition)
= 0,278 Tl (V m + (aTl/2)
Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 10

d2 = jarak yang ditempuh dalam menyiap


= 0,278 VR.T2
d3 = jarak bebas
= (30 100)m
d4 = jarak yang ditempuh dari arah lawan
= 2/3 d2
Catatan :
V = Kecepatan rata-rata kendaraan menyiap
M = Perbedaan kecepatan kendaraan yang disiapkan dan menyiap
adalah 15 km/jam
T

= Waktu kendaraan menyiapkan berjalan dijalan kanan

TAHAP PERTAMA
A

C
A

d1

1/3 d2
2/3 d2

TAHAP KEDUA

A
B

d1

d2

d3

d4

Sumber : Perencanaan Teknik Jalan Raya Shirley L.Hendarsin, 2000

Gambar 2.2 Proses Gerakan Mendahului

Ket :
A = Kendaraan yang mendahului.
B = Kendaraan yang berlawanan arah.
C = Kendaraan yang didahului kendaraan A.
Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 11

2.

Klasifikasi Jalan

Jalan Umum
Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum.

Jalan umum dikelompokkan menurut sistem, fungsi, status, dan kelas.


a. Menurut Sistem
a)

Sistem jaringan jalan primer


Merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan

distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di


tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi
yang berwujud pusat-pusat kegiatan.
b)

Sistem jaringan jalan sekunder


Merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan

distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan


perkotaan.
b. Menurut Fungsi
a) Jalan Arteri
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama
dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan
jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.
b)

Jalan Kolektor
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan

pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang,


kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
c)

Jalan Lokal
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan

setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata


rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
d)

Jalan Lingkungan
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan

lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata


rendah.

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 12

c. Menurut status
a) Jalan Nasional
Merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan
jalan primer yang menghubungkan antaribukota provinsi, dan jalan
strategis nasional, serta jalan tol.
b)

Jalan Provinsi
Merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang

menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota,


atau anta ribukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi.
c)

Jalan Kabupaten
Merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang

tidak

termasuk

pada

jalan

nasional

dan

provinsi,

yang

menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan,


antaribukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan
lokal, antarpusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem
jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis
kabupaten.
d)

Jalan Kota
Adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang

menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, menghubungkan


pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, serta
menghubungkan antarpusat permukiman yang berada di dalam kota.
e)

Jalan Desa
Merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau

antarpermukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan.


d. Menurut Spesifikasi
Pengaturan kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana
jalan dikelompokkan atas jalan bebas hambatan, jalan raya, jalan sedang,
dan jalan kecil.
a) Jalan bebas hambatan (Freeway)
Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 13

Adalah jalan umum untuk lalu lintas menerus dengan pengendalian


jalan masuk secara penuh dan tanpa adanya persimpangan sebidang
serta dilengkapi dengan pagar ruang milik jalan.
b)
Jalan raya (Highway)
Adalah jalan umum untuk lalu lintas menerus dengan pengendalian
jalan masuk secara terbatas dan dilengkapi dengan median, paling
sedikit 2 (dua) lajur setiap arah.
c)
Jalan sedang (Road)
Adalah jalan umum dengan lalu lintas jarak sedang dengan
pengendalian jalan masuk tidak dibatasi.
d)
Jalan kecil (Street)
Adalah jalan umum untuk melayani lalu lintas setempat.
e. Berdasarkan Kelas
a) Jalan Kelas I
Kelas ini mencakup semua jalan utama dan dimaksudkan untuk
dapat melayani lalu lintas cepat dan berat. Jalan raya dalam kelas ini
merupakan jalan raya yang berjalur banyak dengan konstruksi
perkerasan dari jalan yang terbaik dalam arti tingginya tingkat
pelayanan terhadap lalu lintas.
b) Jalan Kelas II
Kelas ini mencakup jalan-jalan sekunder, dalam komposisi lalu
lintas lambat, kelas jalan ini berdasarkan komposisi dan sifatnya
dibagi dalam tiga kelas yaitu II A, II B dan IIC.
c) Jalan Kelas II A
Jalan raya sekunder dua jalur dengan konsep permukaan jalan dan
jenis aspal beton (hot mix) atau yang setara, dimana dalam komposisi
lalu lintasnya tersebut kendaraan lambat tapi tanpa kendaraan tak
bermotor untuk lalu lintas lambat harus disediakan jalan sendiri.
d) Jalan Kelas II B
Jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi permukaan jalan
dari penetrasi berganda atau yang setaraf dalam komposisi lalu
lintasnya terdapat kendaraan lambat tapi tanpa kendaraan

tak

bermotor.
e) Jalan Kelas II C
Jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi permukaan jalan
dari jenispenetrasi tunggal dimana dalam komposisi lalu lintasnya
terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tidak bermotor.
f) Jalan Kelas III
Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 14

Kelas jalan ini mencakup semua jalan penghubung dan merupakan


konstruksi jalan berjalur tunggal. Konstruksi permukaan jalan yang
paling tinggi adalah peleburan dengan aspal.
Jalan Khusus
Jalan Khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi, badan usaha,
perseorangan, atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri.
Jalan tol
Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan
jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan
membayar tol.
Jalan tol diselenggarakan untuk:
a. memperlancar lalu lintas di daerah yang telah berkembang
b. meningkatkan hasil guna dan daya guna pelayanan distribusi barang
dan jasa guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi
c. meringankan beban dana Pemerintah melalui partisipasi pengguna
jalan
d. meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dan keadilan.
Tabel 2.5 Standar Klasifikasi Jalan
Klasifikasi Jalan
Fungsi
Arteri
Kolektor
Lokal

Kelas
I
IIa
IIb
IIc
III

LHR dalam SMP


>25.000
10.00-25.000
3.000-10.000
<3000

Sumber : Peraturan Perencanaan Jalan Raya Direktorat Jenderal Bina Marga


Pekerjaan Umum. No.13/1970

Departemen

Tabel 2.6 Faktor Ekivalen Berdasarkan Penelitian AASHTO


Jenis Kendaraan
Sepeda
Mobil penumpang / sepeda motor
Truk ringan
Truk Sedang
Bus
Truk berat
Kendaraan tak bermotor

SMP
0,5
1
2
2,5
3
3
7

Sumber : Perencanaan Teknik Jalan Raya Shirley L.Hendarsin, 2000

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 15

3.

Kondisi Medan
Untuk memperkecil biaya pembangunan jalan maka standar perencanaan

geomerik,perlu disesuaikan dengan kondisi topografi. Dalam standar ini


kondisi topografi dibagi menjadi 3 golongan medan yang didasarkan pada
besarnya lereng melintang dalam arah kurang lebih tegak lurus sumbu jalan.
Tabel 2.7 Klasifikasi Medan dan Besarnya Lereng Melintang
Jenis Medan

Notasi

Datar
Bukit
Gunung

D
B
G

Kemiringan Medan
(%)
<3
3 - 25
>25

Sumber : Tata Cara Peraturan Geometrik Jalan AntarKota

Adapun pengaruh medan meliputi hal-hal sebagai berikut :


a. Tikungan, jari-jari tikungan dan pelebaran perkerasan diambil
sedemikian rupa sehingga terjamin keamanan jalannya kendaraan dan
pandangan bebas yang cukup luas.
b. Tanjakan, adanya tanjakan yang cukup curam dapat mempengaruhi
kecepatan kendaraan dan tenaga tariknya tidak cukup maka berat
muatan kendaraan harus dikurangi/mengurangi kapasitas angkut dan
sangat merugikan, karena itu diusahakan supaya tanjakan dibuat
landai.
c. Bentuk penampang melintang jalan, bentuk penampang melintang
yang digunakan harus sesuai dengan klasifiakasi jalan dan kebutuhan
lalu lintas yang bersangkutan, demikian pula lebar badan jalan,
drainase dan kebebasan pada jalan raya harus disesuaikan dengan
peraturan yang berlaku.
2.2.4 Alinemen Horizontal
1. Definisi
Alinemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang
horizontal. Alinemen horizontal dikenal juga dengan nama situasi jalan
atau trase jalan. Alinemen horizontal terdiri dari dua garis lurus yang
disebut tangen dan dihubungkan dengan garis lengkung.

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 16

Pada perencanaan alinemen horizontal,umumnya akan ditemui dua jenis


bagian jalan yaitu : Bagian lurus dan bagian lengkung atau umum disebut
tikungan yang terdiri dari tiga jenis tikungan yaitu:
a. Tikungan Penuh (Full Circle / FC)
b. Spiral-Lingkaran-Spiral (Spiral Circle Spiral / S-C-S)
c. Spiral-Spiral (Spiral Spiral / S-S)
2. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Perencanaan Alinyemen
Horizontal
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan alinemen
horizontal ini adalah sebagai berikut :
a. Sedapat mungkin menghindari broken back, yaitu tikungan searah
yang hanya dipisahkan oleh bentang yang pendek.
b. Pada bagian yang lurus dan panjang jangan sampai seakan-akan
terdapat tikungan yang panjang dan akan mengejutkan si pengemudi.
c. Kalau tidak terpaksa, jangan sampai menggunakan jari-jari minimum
dalam perencanaan sebab jalan akan sulit mengikuti perkembangan
nantinya.
d. Jika terpaksa menghadapi tikungan yang majemuk, agar diusahakan
R1 minimum 1,5 R2.
e. Untuk tikungan yang berbentuk S panjang bagian tangen antara kedua
tikungan harus cukup untuk memberikan rounding (25-30 m) pada
ujung-ujung tepi perkerasan.
f. Harus memperhitungkan drainase yang cukup.
g. Hindari daerah rawa, sungai dan perbukitan sedapat mungkin
menghindari pekerjaan tanah yang besar.
h. Memanfaatkan material atau bahan yang ada di sekitar tempat
pekerjaan.
3.

Ketentuan-ketentuan Lengkung Horizontal


a. Garis lurus (tangen) yaitu jalan bagian lurus
Tabel 2.8 Panjang Bagian Lurus Maksimum

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 17

Panjang Bagian Lurus Maksimum (m)


Datar
Bukit
Gunung
3000
2500
2000
2000
1750
1500

Fungsi
Arteri
Kolektor

Sumber : Perencanaan Teknik Jalan Raya Shirley L.Hendarsin, 2000

b. Tikungan
Jari-jari minimum
Kendaraan pada saat melalui tikungan dengan kecepatan (V) akan
menerima gaya sentrifugal yang menyebabkan kendaraan tidak stabil,
maka untuk mengimbangi gaya itu, perlu dibuat suatu kemiringan
melintang jalan pada tikungan yang disebut Superelevasi (e).
Rumus umum untuk lengkung horizontal :
R

V2
...........................................2.3a
127 emax f max

25
x360 0 ..................................................2.3b
2R

Dimana : R = Jari-jari lengkung ( m )


D = Derajat kelengkungan ( o )
emax = Superelevasi maksimum
fmax = Koefisien gesekan melintang maksimum
Tabel 2.9 Panjang Jari-jari Minimum (dibulatkan, untuk emax = 10%)

VR km/jam
R min (m)

120
600

100
370

90
280

80
210

60
115

50
80

40
50

30
30

20
15

Sumber : Perencanaan Teknik Jalan Raya Shirley L.Hendarsin, 2000

4. Bentuk-bentuk Lengkung atau Kurva Dalam Alinemen Horizontal


a.

Full Circle (FC)


Full Circle (FC) adalah jenis tikungan yang hanya terdiri dari bagian

suatu lingkaran saja. Tikungan FC hanya digunakan untuk R (jari-jari


tikungan) yang besar agar tidak terjadi patahan,karena dengan R kecil,
maka diperlukan superelevasi yang besar.
Tabel 2.10 Jari-jari Tikungan Yang Tidak Memerlukan Lengkung Peralihan

VR km/jam
Rmin (m)

120
2500

100
1500

80
900

60
500

50
350

40
250

30
130

20
30

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 18

Sumber :Perencanaan Teknik Jalan Raya Shirley L.Hendarsin, 2000

Tabel 2.11 Batas Jari-jari Minimum Full Circle

V Rencana (km/jam)

R minimum (meter)

120
100
80
60
50
40
30

2000
1500
1100
700
440
300
180

Sumber : Perencanaan Teknik Jalan Raya Shirley L.Hendarsin, 2000

PI
c
Tc
Ec
Cc
PC

Lc

Rc

PT

Rc
/2

Rc
/2

O
Gambar 2.3 Bentuk Busur Lingkaran Full Circle
Keterangan :
O = Titik pusat lingkaran
Cc = Titik tengah busur lingkaran
PC = Titik awal lingkaran (Point of Curvature)
PI = Titik perpotongan tangen (Point of Intersection)
PT = Titik akhir lingkaran (Point of Tangency).
Tc = Panjang tangen (Tc ke PI).
c = Sudut tikungan/persilangan.
Lc = Panjang busur lingkaran.
Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 19

Ec = Jarak luar (PI ke Cc).


Rc = Jari-jari lingkaran
Rumus yang digunakan :
Perhatikan segitiga PC-PI-O
PI
Tc

Ec

PC
Rc
Rc

2
O

Tan = Tc
Rc
Tc = Rc tan .......................................(2.4)

Sin = Tc
PI-O
Sin =

Tc
R + Ec

Ec =

Tc

- Rc

Sin
Ec = Rc ( Tc - Rc ) .................................(2.5)
Rc . Sin

Lc =

2Rc ................................................(2.6)
360 0

Perhatikan Segitiga PC-M-O


PI
Tc

Cc

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 20

PC

Rc
Rc

2
O

Cos = Rc CcM ........................................(2.7)


Rc
CcM = Rc - Rc. Cos

b.

Spiral-Circle-Spiral (S-C-S)
Pada bentuk ini spiral merupakan peralihan/transisi dari bagian lurus

kebahagian lingkaran dan sebaliknya,sehingga disebut dengan transition


curve.
Lengkung peralihan dibuat untuk menghindari terjadinya perubahan
alinemen yang tiba-tiba dari bentun lurus ke bentuk lingkaran,jadi
lengkung peralihan ini diletakkan antara bagian lurus dan bagian
lingkaran (circle), yaitu pada sebelum dan sesudah tikungan berbentuk
busur lingkaran.
Fungsi utama dari transition curve ini adalah :
a. Menjaga gaya sentrifugal yang timbul pada waktu kendaraan
memasuki tikungan yang dapat terjadi berangsur-angsur, agar
kendaraan dapat melintasi jalur jalan yang tersedia dengan amat
nyaman.
b. Untuk mengadakan perubahan lereng melintang dari normal ke
maksimal secara berangsur-angsur sesuai dengan gaya sentrifugal
yang terjadi.
Lengkung peralihan dengan bentuk spiral ini banyak digunakan oleh
Bina Marga, dengan adanya lengkung peralihan ini maka tikungan
menggunakan S-C-S.
Tabel 2.12 Batas Jari-jari Minimum Untuk Tikungan S-C-S

V Rencana (km/jam)
120

R minimum (meter)
600

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 21

100
80
60
50
40
30
20

370
210
115
80
50
30
15

Sumber : Perencanaan Teknik Jalan Raya Shirley L.Hendarsin, 2000

Rumus yang digunakan :

Ls 2
1

Xs = Ls
...............................................................(2.8)
40Rc 2

Ys =

Ls 2
.................................................................................(2.9)
6Rc

s =

90 Ls
.............................................................................(2.10)
Rc

Ls 2
=
- Rc (1-Cos s)........................................................(2.11)
6Rc

= Ls -

Ls 3
Rc sin s ....................................................(2.12)
40Rc 2

c 2 s

LC

........................................................................(2.13)

( 2s )
x Rc
180

20 m ........................................(2.14)

Ltotal Lc 2 Ls < 2 Ts .........................................................(2.15)

Ts R c p tg
Es

R c p
cos 1 2

k ..................................................(2.16)

Rc

.........................................................(2.17)

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 22

Ls

28,648

. R

.........................................................(2.18)

PI

Ts

Xs

Ys

Es

SC

CS

k
Rc
TS

Rc

ST
c
s

Gambar 2.4 Bentuk Busur Lingkaran Spiral Circle Spiral

Keterangan :
Xs

= Absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik TS ke


SC (jarak lurus lengkung peralihan).

Ys

= Ordinat titik SC pada tegak lurus garis tangen, jarak


tegak lurus ke titik SC pada lengkung.

Ls

= Panjang lengkung peralihan (panjang dari titik TS ke


SC atau CS ke TS).

Lc

= Panjang busur lingkaran (panjang dari titik SC ke CS).

Ts

= Panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST.

TS

= Titik dari tangen ke spiral

SC

= Titik dari spiral kelingkaran

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 23

Es

= Jarak dari PI ke busur lingkaran

= Sudut lengkung spiral

Rc

= Jari-jari lingkaran

= Pergeseran tangen terhadap spiral..........( Tabel 2.13 )

= Absis dari p pada garis tangen spiral......( Tabel 2.13 )

Panjang lengkung peralihan (LS) menurut tata cara perencanaan


geometrik jalan antar kota diambil nilai yang terbesar dari tiga persamaan
2.19 ; 2.20 dan 2.21.
a) Berdasarkan waktu tempuh max 3 detik.
Ls =

VR
T ..........................................................(2.19)
3,6

b) Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal.


3

VR
V e
.......... (2.20)
Ls 0,022
2,727 R
Rc C
C
c) Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian.

Ls

em

en
VR ................................. (2.21)
3,6 e

Dimana :
T

= Waktu tempuh (3 detik)

Rc

= Jari-jari busur lingkaran (m)

= Perubahan kecepatan, 0,3 -1,0 disarankan 0,4 m/det3

= Tingkat pencapaian perubahan kelandaian melintang jalan,


sebagai berikut:
Untuk VR < 70 km/jam, maka c maks = 0,035 m/m/det.
Untuk VR > 80 km/jam, maka c maks = 0,025 m/m/det.

c.

= Superelevasi (%)

em

= Superelevasi maksimum

en

= Superelevasi normal

VR

= Kecepatan rencana (km/jam)

Spiral-Spiral (S - S)

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 24

Lengkung horizontal berbentuk spiral-spiral adalah lengkung tanpa


busur lingkaran, sehingga titik SC berimpit dengan titik CS. Panjang
busur lingkaran Lc = 0, dan s = . Rc yang dipilih harus sedemikian
rupa sehingga Ls yang dibutuhkan lebih besar dari Ls yangmenghasilkan
landai relatif minimum yang disyaratkan. Tikungan ini digunakan pada
tikungan tajam.
Rumus-rumus yang digunakan sama dengan rumus-rumus yang ada
pada tikungan Sp-Sr-Sp.
C = 0......................................................................................(2.22)
2 s

Ls =

, s 1 ...........................................................(2.23)

s Rc
...........................................................................(2.24)
90

Ls minimum = m ( en + emax )......................................................(2.25)


Ls > Ls minimum
P = P*.Ls.................................................................................(2.26)
x = X*.Ls.................................................................................(2.27)
y = y*.Ls..................................................................................(2.28)
PI

k = k*.Ls..................................................................................(2.29)
Ts

Lc = 0, Ltotal = 2 Ls................................................................(2.30)
s
SC=CS

Ts = (Rc k+ P) tg + K.........................................................(2.31)
ST

TS

RP

Rc
Rc
Es = Cos 1 / 2 Rc ..............................................................(2.32)

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 25
O

Sumber : Perencanaan Teknik Jalan Raya Shirley L.Hendarsin, 2000

Gambar 2.5 Bentuk Lengkung Peralihan ( S - S )

5. Stationing (STA)
Stationing adalah suatu cara menentukan panjangnya suatu jalan dan juga
menentukan letaknya titik-titik pada trase jalan yang direncanakan.
STA dimulai dari titik awal proyek dengan nomor stationing 0+000.
Angka di sebelah kiri tanda (+) menunjukkan kilometer, dan angka di
sebelah kanan tanda (+) menunjukkan meter. Angka stationing bergerak ke
atas dan tiap-tiap 50 m ditulis pada gambar rencana serta dicantumkan juga
nomor-nomor station titik-titik penting tikungan yaitu titik TS, SC dan ST
serta PI, dan berakhir pada titik akhir proyek.
Dengan diketahui stationing titik awal proyek pada sta 0 + 0,00 maka,
stationing titik-titik lain dapat ditentukan.
6. Diagram Superelevasi
Diagram superelevasi menggambarkan pencapaian superelevasi dari
lereng normal ke superelevasi penuh,sehingga dengan diagram superelevasi
dapat ditentukan bentuk penampang melintang pada titik tikungan.
Diagram superelevasi dapat dicapai dengan 3 cara yaitu:
Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 26

a.

Elevasi sumbu jalan sebagai sumbu putar (garis nol)


CL
en

b.

Elevasi tepi perkerasan luar sebagai sumbu putar


CL
en

c.

Elevasi tepi perkerasan dalam sebagai sumbu putar


CL
En

S u p e r e le v a s i u n t u k t ik u n g a n ( F - C
B a g ia n
lu r u s

)
B a g ia n
lu r u s

B a g ia n le n g k u n g p e n u h
L C

T C
1 /4
L S

3 /4 L S

/3
LS

LS (+)

C T

s is i lu a r t ik u n g a n
e m a x

e = 0 %

e n

e n

(-)
e= 0 %

s is i lu a r t ik u n g a n

en

e n

e n

e n

e = 0 %

e n

e n

e n

Sisi dalam tikungan


e m a x

e m a x

Sumber : Perencanaan Teknik Jalan Raya Shirley L.Hendarsin, 2000

Gambar 2.6 Metoda Pencapaian Superelevasi Pada Tikungan Type FC

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 27

S u p e r e le v a s i u n t u k t ik u n g a n ( s p - s c - s p

sC

T s

1 /3
Ls

)
cs

B a g ia n le n g k u n g p e n u h

2 /3 L s

S T

s is i lu a r t ik u n g a n

(+)

e m ax

e = 0 %

en

(-)

en

e max
en

en

Sisi dalam
tikungan
s is i lu a r t ik u n g a n
e= 0%

e = 0 %

en

en

en

en

e m ax

e m ax

Sumber : Perencanaan Teknik Jalan Raya Shirley L.Hendarsin, 2000

Gambar 2.7 Metoda Pencapaian Superelevasi Pada Tikungan type S-C-S

S u p e r e le v a s i u n t u k t ik u n g a n ( S P - S P )

e = 0 %

en

en

en

e= 0%

e =0 %

en

e m ax

en

en

e m ax

Sumber : Perencanaan Teknik Jalan Raya Shirley L.Hendarsin, 2000

Gambar 2.8 Metoda Pencapaian Superelevasi Pada Tikungan Type S S

a.

Landai Relatif

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 28

Kemiringan melintang atau kelandaian pada penampang jalan diantara


tepi perkerasan luar dan sumbu jalan sepanjang lengkung peralihan
disebut dengan landai relatif.
emax

Ls
en

en

Landai relatif ini dapat dihitung dengan rumus :

1 emax en B

(2.33)
m
Ls

Dmana :
1
m

emax

= landai relatif (%)


= Superelevasi maksimum (m/mI)

en

= Superelevasi normal (m/mI)

= lebar jalur (m)

b.

Pelebaran di Tikungan
Kendaraan yang bergerak dari jalan lurus menuju ke tikungan,

seringkali tak dapat mempertahankan lintasannya pada lajur yang


disediakan. Hal ini disebabkan karena:
a) Pada waktu membelok yang diberi belokan pertama kali hanya
roda depan, sehingga lintasan roda belakang agak keluar lajur (off
tracking).
b) Jejak lintasan kendaraan tidak lagi berimpit, karena bemper ban
depan dan belakang kendaraan akan mempunyai lintasan yang
berbeda dengan lintasan roda depan dan roda belakang kendaraan.
c) Pengemudi akan mengalami kesukaran dalam mempertahankan
lintasannya tetap pada lajur jalannya terutama pada tikungantikungan yang tajam atau pada kecepatan yang tinggi.
Untuk

menghindari tikungan tersebut, maka pada tikungan yang

tajam perlu diperlebar perkerasan jalannya. Pelebaran perkerasan ini


Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 29

merupakan faktor dari jari-jari lengkung,kecepatan kendaraan,jenis dan


ukuran kendaraan rencana yang dipergunakan sebagai dasra perencanaan.
Pada umumnya truk tunggal merupakan jenis kendaraan yang
dipergunakan sebagai dasar penentuan tambahan lebar perkerasan yang
dibutuhkan.Tetapi pada jalan-jalan yang banyak dilewati kendaraan berat,
jenis kendaran semi trailer merupakan kendaran yang cocok dipilih untuk
kendaraan rencana.
Elemen-elemen dari pelebaran perkerasan tikungan terdiri dari:
a) Off Tacking
Bina Marga memperhitungkan lebar B dengan mengambil posisi
kritis kendaraan yaitu pada saat roda depan kendaraan pertama kali
dibelokkan dan tinjauan dilakukan untuk lajur sebelah dalam.
b) Kesukaran dalam mengemudi di tikungan
Diberikan oleh AASHTO sebagai fungsi dari kecepatan dan radius
lajur sebelah dalam. Semakin tinggi kecepatan kendaraan dan
semakin tajam tikungan tersebut, semakin besar tambahan
pelebaran akibat kesukaran dalam mengemudi. Hal ini disebabkan
oleh kecenderungan terlemparnya kendaraan ke arah luar dalam
gerakan menikung tersebut.
Dari gambar 2.9 dibawah dapat dilihat :
b

= lebar kendaraan rencana.

= lebar perkerasan yang ditempati satu kendaran di


tikungan pada jalur sebelah dalam.

= kebebasan samping
B = n ( b + C ) + ( n 1 ) Td + Z

= jarak antar gandar = 6,5 m

= tonjolan depan kendaraan = 1,5 m

= jumlah jalur.

= lebar tambahan akibat kesukaran mengemudi


ditikungan.

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 30

0,105 x

VR
R

R 2 A 2 p A R

Td

= b

R2 p2

Sumber : Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan. Silvia Sukirman

Gambar 2.9 Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan


Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 31

2.2.5 Alinemen Vertikal


Alinemen vertikal adalah perpotongan bidang vertikal dengan bidang
permukaan perkerasan jalan melalui sumbu jalan untuk jalan 2 lajur 2 arah atau
melalui tepi dalam masing-masing perkerasan untuk jalan dengan median.
Seringkali disebut juga sebagai penampang memanjang jalan.
Penarikan alinemen vertikal sangat dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan
seperti kondisi tanah dasar, keadaan medan, fungsi jalan, muka air banjir, muka
air tanah dan kelandaian yang masih memungkinkan.
Parameter yang ada pada alinemen vertikal :
1. Kelandaian
Kelandaian jalan atau disebut juga dengan landai adalah suatu besaran
untuk menunjukkan besarannya kenaikan ataupun penurunan vertikal dalam
satuan jarak horizontal (datar) dan biasanya dinyatakan dalam persen (%).
Untuk menghitung dan merencanakan lengkung vertikal, ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan, yaitu :
Kelandaian Maksimum
Kelandaian maksimum yang ditentukan untuk berbagai kecepatan
rencana, dimaksudkan agar kendaran dapat bergerak terus tanpa
kecepatan yang berarti. Kecepatan maksimum didasarkan pada kecepatan
truk yang bermuatan penuh mampu bergerak dengan kecepatan tidak
kurang dari separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi
rendah.
Tabel 2.13 Kelandaian Maksimum Yang Diizinkan (%)
Vr (km/jam)
Kelandaian

120 110 100


3
3
4

80
5

60
8

40
10

< 40
10

Sumber : Perencanaan Teknik Jalan Raya Shirley L.Hendarsin, 2000

Kelandaian Minimum
Pada jalan yang menggunakan kerb pada tepi perkerasan,perlu dibuat
kelandaian minimum 0,5 % untuk keperluan kemiringan saluran

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 32

samping,karena kemiringan melintang jalan dengan kerb hanya cukup


untuk mengalirkan air kesamping.
2. Bentuk-bentuk Lengkung Vertikal
Pada lengkung ini digunakan lengkung parabola sederhana simetris
dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
a. Volume pekerjaan tanah
b. Panjang jarak pandangan yang dapat diperoleh pada setiap titik pada
lengkung vertikal.
c. Untuk kenyamanan pemakai jalan.
d. Perhitungan-perhitungan mudah.

Adapun bentuk-bentuk lengkung vertikal adalah:


a. Lengkung Vertikal Cembung
PVI
A
g1

g2

EV

hi

PLV

PTV

L
L

Xi

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 33

Gambar 2.10 Tipikal lengkung vertikal cembung bentuk parabola

Keterangan :
PLV

= Titik awal lengkung vertikal

PVI

= Titik persilangan lengkung vertikal

PTV

= Titik akhir lengkung vertikal

= Perbedaan aljabar landai ( % )

= Jarak horizontal dari PLV ke PTV

hi

= Pergeseran vertikal titik i pada lengkung secara vertikal.

g1

= Jarak horizontal titik i dihitung dari PLV


= Kemiringan tangent PLV - PVI dalam %, (+) karena
menaik

g2

= Kemiringan tangent PVI-PTV dalam %, ( - ) karena


menurun

EV

= Offset dari PVI ke pertengahan lengkung

b. Lengkung Vertikal Cekung


Kriteria yang digunakan yaitu:
Jarak sinar lampu besar dari kendaraan
Kenyamanan pengemudi
Ketentuan drainase

Gambar 2.11 Tipikal lengkung vertikal cekung bentuk parabola


Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 34

Keterangan :
PLV

= Titik awal lengkung vertikal.

PVI

= Titik persilangan lengkung vertikal.

PTV

= Titik akhir lengkung vertikal.

= Perbedaan aljabar landai ( % ).

= Jarak horizontal dari PLV ke PTV.

hi

= Pergeseran vertikal titik i pada lengkung vertikal.

Xi

= Jarak horizontal titik i dihitung dari PLV.

g1

= Kemiringan tangent PLV- PVI dalam %( - ) karena


menurun.

g2

= Kemiringan tangent PVI-PTV dalam %, (+ ) karena


menaik.

EV

= Offset dari PVI ke pertengahan lengkung vertikal = jarak


dari titik pada pertengahan lengkung ke bagian lurus
penghubung PTV PLV (m).

Rumus-rumus yang digunakan :


A.LV
.........................................................................(2.34)
800

EV =

Jika Xi = LV ; Yi = EV Yi Maksimum
LV didapatkan dari grafik :
2

Xi
AXi 2
.
EV

Yi =
.............................................(2.35)

200 LV
1 / 2 LV

q1 =

Tinggi Titik PTV Tinggi Titik PLV


x 100% .............(2.36)
1/2 LV

q2 =

Tinggi Titik PTV Tinggi Titik PVI


x 100% .............(2.37)
1/2 LV

A = g2 g1..........................................................................(2.38)
Panjang L, berdasarkan Jh
2

A.J h
Jh < LV : LV =
....................................................(2.39)
399
Jh > LV : LV = 2 Jh

399
.................................................(2.40)
A

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 35

Panjang L, berdasarkan Jd
2

Jd < LV : LV =

A.J d
....................................................(2.41)
840

Jh > LV : LV = 2 Jd
2.3

840
.................................................(2.42)
A

Perencanaan Lapis Perkerasan Lentur Jalan Raya


Perkerasan jalan adalah konstruksi yang dibangun di atas lapisan tanah dasar

(subgrade),yang berfungsi untuk menopang beban lalu lintas. Jenis perkerasan jalan
pada umumnya ada dua jenis, yaitu :
1.

Perkerasan lentur ( flexible pavement)

2.

Perkerasan kaku (rigid pavement)

Selain dari dua jenis tersebut,sekarang telah banyak digunakan jenis


gabungan (composite pavement) yaitu perpaduan antara lentur dan kaku.
Perbedaan antara perkerasan lentur dan perkerasan kaku :
1.

Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)


a. Bahan pengikat (aspal)
b. Repetisi beban,timbul rutting (lendutan pada jalur roda)
c. Penurunan tanah dasar,jalan bergelombang mengikuti tanah dasar
d. Perubahan temperatur,modulus kekakuan berubah dan timbul tegangan
kecil
e. Jika dibebani permukaan akan melendut
f. Kekuatan tergantung pada tanah dasar
g. Investasi biaya,biaya awal relatif murah
h. Distribusi beban disalurkan pada tiap lapis perkerasan
i. Umur jalan relatif lebih pendek dari perkerasan kaku

2. Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)


a. Bahan pengikat (semen)
b. Repetisi beban (timbul retak-retak pada permukaan)
c. Perubahan temperatur modulus kekauan tidak berubah dan timbul
tegangan yang besar
d. Jika dibebani permukaan tetap kaku
Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 36

e. Kekuatan tergantung pada lapisan beton dan tidak pada tanah dasar
f. Investasi biaya,biaya awal relatif mahal
g. Distribusi beban disalurkan pada lapis permukaan
h. Umur jalan relatif lebih lama dari perkerasan lentur
Bentuk umum dari konstruksi perkerasan :
1. Lapis Pondasi Bawah (Sub Base Course)
Lapis pondasi bawah adalah bagian perkerasan yang terletak antara lapis
pondasi dan tanah dasar, berupa material berbutir kasar setebal 10-25 cm.
Fungsi dari lapis pondasi bawah adalah :
Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan
menyebarkan beban roda.
Untuk mencapai efisiensi penggunaan bahan yang relatif murah agar
lapis selebihnya dapat dikurangi.
Meredam perubahan volume subgrade
Sebagai filler mencegah masuknya tanah dasar ke lapis pondasi
Sebagai lapisan pertama atau lantai kerja agar pelaksanaan dapat
berjalan lancar.
2. Lapis Pondasi Atas (Base Course)
Fungsi dari lapis pondasi atas adalah :
Sebagai inti dari perkerasan
Menerima beban dari lapis permukaan dan menyebarkannya pada
pondasi bawah.
Sebagai lapisan rapat air untuk melindungi badan jalan akibat
pengaruh cuaca.
3. Lapis Permukaan (Surface)
Fungsi dari lapis permukaan adalah :
Menerima

beban

lalu

lintas

dan

menyebarkannya

ke

lapis

dibawahnya.

Sebagai lapisan aus (wearing course)

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 37

Sebagai lapisan rapat air untuk melindungi badan jalan akibat


pengaruh cuaca.

Karakteristik perkerasan lentur :


Bersifat

elastis

jika menerima

beban, sehingga

dapat

memberi

kenyamanan bagi pengguna jalan


Selalu menggunakan bahan pengikat aspal
Seluruh lapisan ikut menanggung beban
Penyebaran tegangan ke lapisan tanah dasar sedemikian sehingga tidak
merusak lapisan tanah dasar (subgrade)
Usia rencana maksimum 20 tahun (menurut MKJI = 23 tahun)
Selama usia rencana diperlukan pemeliharaan secara berkala (routine
maintenance).
Karakteristik perkerasan kaku :
Bersifat kaku karena yang digunakan sebagai perkerasan dari beton.
Digunakan pada jalan yang mempunyai lalu lintas dan beban muatan
tinggi.
Kekuatan beton sebagai dasar perhitungan tebal perkerasan.
Usia rencana bisa lebih 20 tahun.

Lapis Permukaan
Lapis Pondasi Atas
Lapis Pondasi Bawah
Tanah Dasar

Gambar 2.12 Bentuk Perkerasan Lentur


Lapis Permukaan

Lapis Pondasi

Gambar 2.13 Bentuk Perkerasan Kaku

Tanah Dasar

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 38

Gambar 2.13 Bentuk Perkerasan Kaku

Adapun prosedur perencanaan perkerasan dengan menggunakan Metoda


Analisa Komponen dapat dilihat melalui gambar 2.15 berikut :

Daya Dukung Tanah (DDT)

Factor Regional (FR)


Lintas Ekivalen Rencana
(LER)
Indeks Permukaan
(IP0 IPt)
Kondisi Perkerasan
Jalan Baru

Peningkatan
(Overlay)
Jenis Material
perkerasan

Konstru
ksi
Bertahap

ITP Tahap
I

ITP Eksisting

ITP

ITP Tahap
I&
Praproyek
Perencanaan
Geometrik dan Perkerasan Jalan
II

ITP Rencana

II - 39
Tebal Lapis
Perkerasan

Koefisien
Kekuatan Relatif

Tebal Lapis
Perkerasan

Gambar 2.14 Diagram Alir Perancangan Perkerasan Lentur dengan MAK

2.3.1 Perhitungan Lalu Lintas Rencana


Metoda yang akan digunakan tergantung dari data lalu lintas yang ada dan
prosedur perencanaan yang digunakan. Secara ideal data lalu lintas baru
mencakup jumlah dan berat setiap jenis sumbu dalam arus lalu lintas.
Lalu lintas harian rata-rata (LHR) setiap jenis kendaraan ditentukan pada
awal umur rencana yang dihitung untuk dua arah pada jalan tanpa median atau
masing-masing arah pada jalan dengan median.
Kerusakan perkerasan jalan raya pada umumnya disebabkan oleh
terkumpulnya air dibagian perkerasan jalan dank arena repetisi dari lintasan
kendaraan. Oleh karena itu, perlu ditentukan beberapa jumlah repetisi beban yang
akan memakai jalan tersebut. Repitisi beban dinyatakan dalam lintas sumbu
standar, dikenal dengan nama Lintas Ekivalen.
1. Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan
Angka ekivalen (E) adalah angka yang menunjukkan jumlah lintasan dari
sumbu tunggal seberat 8,16 ton yang akan menyebabkan kerusakan yang
sama atau penurunan indeks ermukaan yang sama apabila kendaraan
tersebut lewat satu kali.

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 40

Setiap jenis kendaraan mempunyai konfigurasi sumbu yang berbedabeda. Sumbu depan merupakan sumbu tunggal roda tunggal, sumbu
belakang dapat merupakan sumbu tunggal ataupun sumbu ganda. Dengan
demikian setiap jenis kendaraan akan mempunyai angka ekivalen yang
merupakan jumlah angka ekivalen dari sumbu depan dan sumbu belakang.
Bina Marga memberikan rumus untuk menentukan angka ekivalen beban
sumbu sebagai berikut :
E K(

beban satu satu sumbu tunggal dalam kg ) 4


8160

Dimana :
K = 1 (untuk sumbu tunggal)
K = 0.086 (untuk sumbu ganda)
K = 0.026 (untuk sumbu triple)
Tabel 2.14 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan

Beban satu sumbu


Kg
Lbs
1000
2205
2000
4409
3000
6614
4000
8818
5000
11023
6000
13228
7000
15432
8000
17637
8160
18000
9000
19841
10000
22046
11000
24251
12000
26455
13000
28660
14000
30864
15000
33069
16000
35276

Angka Ekivalen
Sumbu tunggal Sumbu ganda
0,0002
0,0035
0,0003
0,0183
0,0016
0,0577
0,0050
0,1410
0,0121
0,2923
0,0251
0,5415
0,0466
0,9238
0,0794
1,0000
0,0860
1,4797
0,1273
2,2555
0,1740
3,3022
0,2840
4,6770
0,4022
6,4417
0,5540
8,6647
0,7452
11,4148
0,9820
14,7815
1,2712

Sumber : Pedoman Penentuan Tabel Perkerasan Lentur Jalan Raya No.01/PD/B/1983

2. Jumlah Jalur dan Koefisien Distribusi Kendaraan ( C )


Jalur rencana merupakan salah satu jalur lalu lintas dari suatu ruas jalan
raya yang menampung lalu lintas terbesar.

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 41

Jika jalan tidak memiliki tanda batas lajur,maka jumlah lajur ditentukan
dari lebar perkerasan seperti tabel 2.16
Tabel 2.15 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan

Lebar perkerasan (L)


L < 5,50 m
5,50 m L < 8,35 m
8,25 m L < 11,25 m
11,25 m L < 15,00 m
15,00 m L < 18,75 m
18,75 m L < 22,00 m

Jumlah lajur (n)


1 lajur
2 lajur
3 lajur
4 lajur
5 lajur
6 lajur

Sumber: Pedoman Penentuan Tabel Perkerasan Lentur Jalan Raya No.01/PD/B/1983

Tabel 2.16 Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat
yang lewat pada lajur rencana

Jumlah
lajur
1 lajur
2 lajur
3 lajur
4 lajur
5 lajur
6 lajur

Kendaraan Ringan*
1 arah
2 arah
1,00
0,60
0,40
-

Kendaran berat**
1 arah
2 arah

1,00
0,50
0,40
0,30
0,25
0,20

1,00
0,75
0,50
-

1,00
0,50
0,475
0,45
0,425
0,40

Sumber : Pedoman Penentuan Tabel Perkerasan Lentur Jalan Raya No.01/PD/B/1983


Catatan
: * berat total < 5 ton, misalnya: mobil penumpang, pick up, mobil
Hantaran.
** berat total 5 ton, misalnya: bus, truk, traktor, semi trailer, trailer.

3. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP), adalah lintas ekivalen pada saat


jalan tersebut dibuka.
LEP

LHRj x Cj x Ej

j l

4. Lintas Ekivalen Akhir (LEA), adalah besarna lintas ekivalen pada akhir
umur rencana pada sat jalan tersebut membutuhkan perbaikan secara
structural.
LEA

j l

LHRj 1 i

UR

x Cj x Ej

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 42

5. Lintas Ekivalen Tengah (LET), adalah jumlah lintas ekivalen harian


dari sumbu tunggal sebesar 8,16 ton (18.000 lb) pada jalur rencana pada
pertengahan umur rencana.
LET

LEP LEA
2

6. Lintas Ekivalen Rencana (LER), adalah jumlah lintas ekivalen yang


akan melintasi jalan tersebut selama masa pelayanan, dari saat dibuka
sampai akhir umur rencana.
LER = LET x FP
Faktor penyesuaian (FP) tersebut ditentukan dengan rumus :
FP

UR
10

Dimana:
I

= Perkembangan lalu lintas

Ej

= Angka ekivalen beban sumbu untuk satu jenis


kendaraan

LHR =

Lalu lintas Harian Rata-rata

UR

Usia Rencana (tahun)

FP

Faktor Penyesuaian

2.3.2 Perhitungan Daya Dukung Tanah Dasar (DDT)


Daya dukung lapisan tanah dasar adalah hal yang sangat penting dalam
merencanakan tebal lapisan perkerasan, jadi tujuan evaluasi lapisan tanah dasar ini
untuk mengetimasi nilai daya dukung subgrade yang akan digunakan dalam
perencanaan.
1. Faktor pertimbangan untuk estimasi daya dukung
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mengenstimasi nilai
kekuatan dan kekakuan lapisan tanah dasar.
Urutan pekerjaan tanah

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 43

Penggunaan kadar air (w) pada saat pemadatan (compaction) dan


kepadatan lapangan (d) yang dicapai
Perubahan kadar air selaa usia pelayanan
Variabilitas tanah dasar
Ketebalan lapisan perkerasan total yang dapat diterima lapisan lunak
yang ada di bawah lapisan tanah dasar.
2. Pengukuran daya dukung Subgrade
Pengukuran daya dukung subgrade (lapisan tanah dasar) yang digunakan,
dilakukan dengan :
a. California Bearing Ratio (CBR)
CBR adalah perbandingan antara beban penetrasi suatu lapisan tanah
atau perkerasan terhadap lahan standar dengan kedalaman dan kecepatan
penetrasi. CBR merupakan singkatan dari California Bearing Ratio
yang berarti perbandingan beban penetrasi yang sama yaitu 0,1 dan 0,2.
a) Pengujian CBR Insitu (di tempat) dilakukan untuk mendapatkan
nilai CBR yang diperlukan untuk mengetahui daya dukung lapisan
tanah dasar, akan tetapi pengujian ini memerlukan banyak waktu
dan biaya yang mahal. Disamping itu, untuk trase jalan baru,
metoda/pengujian ini sangat tidak praktis.
b) Metoda Penetralisasi (Cone Penetration) dapat digunakan sebagai
pengganti metoda CBR. Metoda ini terdiri dari dua metoda yang
sesuai dengan alat yang digunakan yaitu:
DCP (Dynamic Cone Penetration) nilai dari metoda ini dapat
dikorelsikan untuk mendapatkan nilai CBR

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 44

Sumber

: Pavement Design, NAASRA 1987

Gambar 2.15 Korelasi Nilai DCP dan CBR

Sondir (Static Cone Penetration) nilai dari metoda ini dapat


dikorelasikan untuk mendapatkan nilai CBR

Sumber

: Pavement Design, NAASRA 1987

Gambar 2.16 Korelasi Nilai qc dan CBR

Modulus Reaksi Tanah Dasar (K)


Modulus K ini dapat ditentulan dari pengujian pembebanan
plat (plate loading test) yang dapat digunakan untuk evaluasi daya
dukung lapisan tanah dasar (subgrade), menggunakan plat
berdiameter relatif besar, dengan metoda pengujian dari ASTM D1
196-64(1997) atau AASHTOT 221-66 (1982) untuk perkerasan
lentur maupun kaku.
Modulus K ini dapat ditentukan dan langsung dimasukkan ke
proses perencanaan perkerasan kaku. Nilai CBR dapat diperoleh
dari hubungan dengan nilai k tersebut.

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 45

Sumber

: Pavement Design, NAASRA 1987

Gambar 2.17 Korelasi Nilai (k) dan CBR


b. Mencari Nilai Daya Dukung Tanah Dasar
Daya dukung tanah dasar (DDT) ditetapkan berdasarkan grafik
korelasi. Daya dukung tanah dasar diperoleh dari nilai CBR atau Plate
Bearing Test, DCP, dan lain-lain. CBR disini adalah harga CBR lapangan
atau CBR laboratorium. CBR lapangan biasanya digunakan untuk
perencanaan lapis tambahan, sedangkan CBR laboratorium digunakan
untuk pembangunan jalan baru. Harga CBR yang mewakili dari sejumlah
harga CBR yang dilaporkan, ditentukan sebagai berikut :
Tentukan harga CBR terendah
Tentukan jumlah harga CBR yang sama atau lebih besar dari
masing-masing nilai CBR
Angka jumlah terbanyak dinyatakan sebagai 100 % dan yang
lainnya merupakan persentase jumlah trsebut
Buat grafik hubungan CBR dan persentase jumlah tersebut.
Nilai CBR rata-rata adalah nilai yang didapat dari angka 90%.
DDT = 4,3 log (CBR) + 1,7

2.3.3

Perhitungan Tebal Lapis Perkerasan


Adapun data yang diperlukan untuk menentukan perencanaan tebal lapis

perkerasan adalah sebagai berikut :


1. Menentukan Faktor Regional (FR)
Faktor Regional (FR) adalah factor koreksi sehubungan dengan adanya
perbedaan kondisi dengan kondisi percobaan AASHTO Road Test dan
sesuaikan dengan keadaan di Indonesia. FR ini dipengaruhi oleh bentuk
alinemen, persentase kendaraan berat dan yang berhenti serta iklim.
Tabel 2.17 Faktor Regional (FR)

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 46

Kelandaian I
(< 6 %)

Curah
Hujan

Kelandaian II
Kelandaian III
(< 6 10 %)
(<10 %)
% Kendaraan berat
> 30 %
30 % > 30 % 30 %

30 %

> 30 %

0,5

1,0 1,5

1,0

1,5 2,0

1,5

2,0-2,5

1,5

2,0 2,5

2,0

2,5 3,0

2,5

3,0 3,5

Iklim I
< 900 mm/th
Iklim II
> 900 mm/th

Sumber : Pedoman Penentuan Tabel Perkerasan Lentur Jalan Raya No.01/PD/B/1983


Catatan : pada bagian-bagian jalan tertentu, seperti persimpangan, pemberhentian atau tikungan
tajam (jari-jari 30 m) FR ditambah dengan 0,5. Pada daerah rawa-rawa FR ditambah
dengan 1,0.

2. Menentukan Indeks Permukaan (IP)


Indeks permukaan adalah nilai kerataan/kehalusan serta kekokohan
permukaan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang
lewat.
Tabel 2.18 Indeks Permukaan Pada Akhir Usia Rencana (IPT)

LER *)
< 10
10 100
1100 1000
> 1000

Lokal
1,0 1,5
1,5
1,5 2,0
-

Klasifikasi jalan
Kolektor
Arteri
1,5
1,5 2,0
1,5 2,0
2,0
2,0
2,0 2,5
2,0 2,5
2,5

Tol
2,5

Sumber: Petunjuk perencanaan tebal perkerasan jalan raya dengan Metoda Analisa Komponen
No. 378/KPTN/1987
Catatan : pada proyek-proyek penunjang jalan, JAPAT/jalan Murah atau jalan darurat maka I pt
dapat diambil 1,0

Adapun beberapa nilai IP beserta artinya adalah seperti yang tersebut


di bawah ini :
Keterangan:
Ipt = 1,0 Menyatakan ukaran jalan dalam keadaan rusak berat sehingga
sangat mengganggu lalu lintas kendaraan
Ipt = 1,5 Adalah tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan
tidak terputus)
Ipt = 2,0 Adalah tingkat pelayanan terendah bagi jalan yang masih mantap
Ipt = 2,5 Menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik
Tabel 2.19 Indeks Permukaan Pada Awal Usia Rencana (Ipo)
Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 47

Jenis Lapis Perkerasan


LASTON
LASBUTAG
HRA
BURDA
BURTU
LAPEN
LATASBUM
BURAS
LATASIR
JALAN TANAH
JALAN KERIKIL

Ipo

Roughness (mm/km)

4
3,9 3,5
3,9 3,5
3,4 3,0
3,9 3,5
3,4 3,0
3,9 3,5
3,4 - 3,0
3,4 3,0
2,9 2,0
2,9 2,5
2,9 2,5
2,9 2,5
2,4
2,4

1000
> 1000
2000
> 2000
2000
> 2000
< 2000
2000
3000
> 3000
-

Sumber : Pedoman Penentuan Tabel Perkerasan Lentur Jalan Raya No.01/PD/B/1983

3. Mencari harga Indeks Tebal Perkerasan (ITP)


ITP = a1D1 + a2D2 + a3D3
Dimana:
ITP = Indeks tebal perkerasan
a

= Koefesien lapisan

D = Tebal lapisan (cm).


Adapun data-data untuk tebal lapisan yang akan direncanakan dapat
dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.20 Batas-Batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan

Tebal
ITP
Minimum
(cm)
1. Lapisan Permukaan
< 3,00

3,00 6,70

6,71 7,49

7,5

Bahan
Lapis pelindung:
(BURAS/BURTU/BURDA
LAPEN/Aspal Macadam,
HRA, ASBUTAG, LASTON
LAPEN/Aspal Macadam,
HRA, ASBUTAG, LASTON

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 48

7,50 9,99
7,5
10,00
10
2. Lapisan Pondasi Atas
, 3,00

15

3,00 7,49

20*)

7,50 9,99

10
20

10 12,14

15
20

12,25

25

LASBUTAG, LASTON
LASTON
Batu pecah, stabilisasi tanah
dengan semen, stabilisasi tanah
dengan kapur
Batu pecah, stabilisasi tanah
dengan semen, stabilisasi tanah
dengan kapur
LASTON Atas
Batu pecah, stabilisasi tanah
dengan semen, stabilisasi tanah
dengan kapur, pondasi
macadam
LASTON Atas
Batu pecah, stabilisasi tanah
dengan semen, stabilisasi tanah
dengan kapur, pondasi
macadam, LAPEN, LASTON
Atas
Batu pecah, stabilisasi tanah
dengan semen, stabilisasi tanah
dengan kapur, pondasi
macadam, LAPEN, LASTON
Atas

2. Lapisan Pondasi Bawah


Untuk setiap nilai ITP bila digunakan pondasi bawah, tebal
minimum adalah 10 cm.
Sumber : Pedoman Penentuan Tabel Perkerasan Lentur Jalan Raya No.01/PD/B/1983
*) Batas 20 cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15 cm bila untuk pondasi

bawah

digunakan material berbutir kasar.

Koefisien kekuatan relatif (a) masing-masing bahan dan kegunaanya


sebagai lapis permukaan (a1), pondasi (a2), dan pondasi bawah (a3)
diturunkan secara korelasi sesuai nilai Marshall Test (untuk bahan dengan
aspal), kuat tekan (untuk bahan yang distabilisasi dengan semen atau kapur),
atau CBR (untuk bahan lapis pondasi bawah)
Tabel 2.21 Koefesien Kekuatan Relatif (a)

Koefesien
kekuatan
relatif

Kekuatan
bahan

Jenis bahan

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 49

a1

A2

a3

MS
(kg)

Kt
(Kg/cm)

CBR
(%)

0,40
0,35
0,32
0,30

744
590
454
340

LASTON

0,35
0,31
0,28
0,26

744
590
454
340

LASBUTAG

0,30
0,26
0,25
0,20

340
340
-

HRA
ASPAL MACADAM
LAPEN (mekanis)
LAPEN (manual)

0,28
0,26
0,24

590
454
340

LASTON Atas

0,23
0,19

LAPEN (mekanis)
LAPEN (manual)

0,15
0,13

22
18

Stabilitas tanah
Dengan semen

0,14
0,13
0,12

100
80
60

Batu pecah (kelas A)


Batu pecah (kelas B)
Batu pecah (kelas C)

0,13
0,12
0,11

70
50
30

SIRTU/Pitrun (Kelas A)
SIRTU/pitrun (Kelas B)
SIRTU/Pitrun (kelas C)

0,10

20

Tanah/Lempung
Kepasiran

Sumber : Pedoman Penentuan Tabel Perkerasan Lentur Jalan Raya No.01/PD/B/1983


Keterangan : MS (Marshall Test), Kt (Kuat tekan)

4. Merencanakan Susunan Lapisan Perkerasan

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 50

Setelah seluruh data yang dibutuhkan telah didapat, maka langkah


selanjutnya yaitu perencanaan susunan lapis perkerasan seperti gambar
berikut :
Lapis Permukaan

D1
D2

Lapis Pondasi Atas

D3

Lapis Pondasi Bawah


Tanah Dasar

Gambar 2.18 Susunan Lapis Perkerasan

2.4 Galian dan Timbunan


2.4.1 Galian
Galian adalah jumlah volume tanah yang dibuang pada perencanaan sebuah
jalan raya yang bertujuan untuk membentuk badan jalan raya yang baik dan
rata.Dan sebaliknya timbunan yaitu jumlah volume tanah yang ditimbun untuk
membentuk badan jalan yang rata dan baik.
Ada beberapa unsur macam galian yaitu :
1. Galian melintang
Yaitu tanah digali dari sisi yang satu dan digunakan untuk menimbun sisi
yang lain.
2. Galian tinggi
Untuk galian tinggi dimana tingginya lebih dari 1 meter, maka
pengaturannya akan sulit yaitu sulitnya penyediaan ruang yang cukup untuk
tempat bekerja. Untuk itu disarankan pengerjaannya dilakukan secara
bertahap, setiap lahan digali sampai kedalaman 1 meter sehingga ada
daerah datar.
3. Galian U
Galian U adalah galian dimana jalan melewati daerah bukit ( tengahtengah ) dengan tujuan untuk mengurangi kelandaian yang terjadi.
2.4.2 Timbunan
Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 51

Timbunan adalah volume tanah yang ditimbun untuk membentuk badan


jalan yang baik, rata dan padat.
Beberapa faktor yang menyebabkan dasar timbunan menjadi lemah antara
lain :
Air, baik air tanah atau air rembesan
Bahan dasar timbunan jelek
Lerang sangat curah

2.4.3 Dasar-dasar Perhitungan


Langkah-langkah perhitungan galian dan timbunan :
1. Tentukan stationing (jarak patok)
Stationing dicari berdasarkan pada jenis tikungan yang kita gunakan
sehingga didapat titik-titik dan didapat panjang jalan rencana.
2. Gambarkan profil potongan memanjang
Potongan memanjang jalan dibuat berdasarkan panjang jalan rencana
yang didapat sehingga dapat dilihat beda tinggi muka tanah asli dengan
muka perkerasan jalan raya yang akan direncanakan.
3. Gambarkan profil melintang jalan
Pada titik penting digambarkan potongan melintang jalan sesuai dengan
skala gambar dan didapat luas penampang baik itu galian atau timbunan
dengan menggunakan sistem koordinasi rumus.
Luas galian/timbunan =
Volume galian/timbunan =

x. y y.x
2

Luas sta A Luas sta B


x jarak
2

Keterangan :
x

= Koordinat sumbu x

= Koordinat sumbu y

xy

= Jumlah perkalian sumbu x dan sumbu y

yx

= Jumlah perkalian sumbu y dan sumbu x

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 52

4. Hitung volume galian dan timbunan


Didapat dari mengalikan luas penampang rata-rata antar patok dengan
jarak patok tersebut.
Jarak profil melintang adalah 100 meter (daerah datar) dan dengan
adanya langkah perhitungan seperti di atas,dapat kita nyatakan sebagai
berikut :
G

= Luas penampang melintang galian satu stationing (m2)

= Luas penampang melintang galian rata-rata antara dua stationing


(m2)

= Luas penampang melintang timbunan rata-rata antara dua


stationing (m2)

= Luas penampang melintang timbunan rata-rata antara dua


stationing (m2).

= Jarak antara dua stationing

VG

= Volume galian antara dua stationing (m3)

VT

= Volume timbunan antara dua stationing (m3)

Semakin kecil jarak antara station dengan yang lainnya, maka akan
didapat volume galian dan timbunan yang mendekati harga sesungguhnya.

Praproyek Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan

II - 53

Anda mungkin juga menyukai