Anda di halaman 1dari 65

BAB II

STUDI PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum


Perencanaan Jembatan slab on pile pada Proyek Jalan Tol Balikpapan
Samarinda (Km. 13 Balikpapan – Km. 38 Sombaja) segmen 1 mengacu pada
:
a. BMS (Bridge Management System) Tahun 1992
b. RSNI3 2833:2013 Perancangan Jembatan Terhadap Beban Gempa
c. SNI 1725-2016 Pembebanan untuk Jembatan
d. Peraturan-peraturan lain yang relevan
Aspek-aspek yang ditinjau dalam perencanaan Jembatan slab on pile pada
Proyek Jalan Tol Balikpapan Samarinda (Km. 13 Balikpapan – Km. 38
Sombaja) segmen 1 antara lain :
a. Aspek Lalu Lintas
b. Aspek geoteknik
c. Aspek konstruksi jembatan

2.2 Aspek Lalu Lintas


Analisa terhadap data lalu lintas diperlukan untuk mengetahui tingkat
pelayanan jembatan sampai umur rencana tertentu. Persyaratan perencanaan
aspek lalu lintas meliputi kelancaran arus lalu lintas kendaraan yang
direncanakan akan melintasi jembatan tersebut. Perencanaan lebar optimum
jembatan dalam hal ini sangat penting agar didapatkan tingkat pelayanan lalu
lintas yang maksimum. Analisa perencanaan lebar optimum jalan dan
jembatan ini menggunakan beberapa parameter lalu lintas antara lain sebagai
berikut.

2.2.1 Sistem Jaringan Jalan dan Klasifikasi Menurut Kelas Jalan


Berdasarkan buku Tata Cara Perencanaan Jalan Antar Kota, klasifikasi
fungsi jalan terbagi atas :
a. Jalan Arteri: Jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan
masuk dibatasi secara efisien,

5|Page
b. Jalan Kolektor: Jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi
dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan
jumlah jalan masuk dibatasi,
c. Jalan Lokal: Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan
masuk tidak dibatasi.
Klasifikasi jalan berdasarkan kelas jalan dapat dilihat pada buku
Tata Cara Perencanaan Jalan Antar Kota halaman 4 Tabel 11.1.2
Klasifikasi Menurut Kelas Jalan.
Klasifikasi jalan berdasarkan medan jalan dapat dilihat pada buku
Tata Cara Perencanaan Jalan Antar Kota halaman 5 Tabel 11.2 Klasifikasi
Menurut Medan Jalan.
Tata cara menentukan lebar lajur lalu lintas jalan menurut golongan
kelas jalan dapat dilihat pada buku Tata Cara Perencanaan Geometrik
Jalan Antar Kota halaman 17 tabel 11.8 Lebar Lajur Jalan Ideal.

2.2.2 Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR)


Volume lalu lintas yang dua arah yang melalui suatu titik rata-rata
dalam satu hari, biasanya dihitung sepanjang tahun. LHR adalah istilah
yang baku digunakan dalam menghitung beban lalu lintas pada suatu ruas
jalan dan merupakan dasar dalam proses perencanaan transportasi ataupun
dalam pengukuran polusi yang diakibatkan oleh arus lalu lintas pada suatu
ruas jalan (Wikipedia). Data LHR yang digunakan diperoleh dari survei
lapangan yang diambil pada jam puncak. Jam Puncak adalah waktu
tertentu dimana suatu jalan dilewati lalu lintas terpadat pada setiap
harinya. Penyelidikan lapangan dilakukan dengan cara mencatat jenis
kendaraan bermotor, kendaraan fisik atau tak bermotor yang lewat di titik-
titik tertentu yang sebelumnya telah ditentukan di area survei.
Pada umumnya lalu lintas jalan raya terdiri dari campuran
kendaraan ringan, cepat, lambat, dan kendaraan tak bermotor, maka
hubungan dengan kapasitas jalan (jumlah kendaraan maksimum) yang
melawati satu titik atau satu satuan waktu mengakibatkan adanya pengaruh
dari setiap jenis kendaraan terhadap keseluruhan arus lalu lintas. Pengaruh

6|Page
ini diperhitungkan dengan mengekuivalenkan terhadap keadaan standar,
yang dikelompokkan terhadap setiap jenis/tipe kendaraan menjadi satuan
mobil penumpang (smp). Angka ekuivalensi mobil penumpang ditentukan
dalam buku Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997 (MKJI 1997). Struktur
jembatan slab on pile pada proyek jembatan yang menghubungkan
Balikpapan-Samarinda ini terletak pada ruas jalan bebas hambatan, maka
ketentuan yang digunakan adalah ketentuan yang terdapat dalam MKJI
1997 BAB 7 tentang jalan bebas hambatan halaman 7-33 pada tabel A-3:1,
A-3:2, dan A-3:3.
Angka LHR masing-masing golongan kendaraan yang sudah
dikonversi kedalam satuan smp bis digunakan untuk kemudian
dijumlahkan bersama jenis kendaraan lainnya. Hasil penjumlahan antar
kendaraan tersebut kemudian dikalikan dengan faktor k seperti tercantum
dalam MKJI 1997 BAB 7 hal 7-57 tentang tata cara perencanaan jalan
bebas hambatan.
QDH
k=
LHRT
Dimana :
QDH = arus jam puncak
LHRT = lalu lintas harian rata-rata
k = faktor-k LHRT

Perkiraan pertumbuhan lalu lintas untuk tahun yang akan datang


dapat dihitung dengan metode eksponensial yaitu :

LHRn = LHR0 (1+i)n

Dimana :
LHRn = LHR akhir umur rencana
LHR0 = LHR awal tahun rencana
i = faktor pertumbuhan (%)
n = umur rencana (tahun)

7|Page
2.2.3 Kapasitas Jalan
Kapasitas didefinisikan sebagai arus maksimum yang dapat
dipertahankan persatuan jam yang melewati suatu titik jalan yang ada.
Kapasitas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp), dengan
persamaan dasar :
C = CO x FCW x FCSP x FCSF
Dimana :
C = kapasitas (smp/jam)
CO = kapasitas dasar (smp/jam)
FCW = faktor penyesuaian akibat lebar jalur lalu lintas
FCSP = faktor penyesuaian akibat pemisahan arah
FCSF = faktor penyesuaian akibat hambatan samping dan bahu jalan

2.2.4 Perencanaan Kebutuhan Lajur


Perencanaan kebutuhan lajur diperhitungkan berdasarkan dari nilai
Degree of Saturation (DS). Derajat kejenuhan didefinisikan sebagai rasio
arus terhadap kapasitas, digunakan sebagai faktor kunci dalam penentuan
perilaku lalu lintas suatu segmen jalan. Nilai derajat kejenuhan
menunjukkan apakah segmen jalan akan
mempunyai masalah kapasitas atau tidak, dinyatakan dalam persamaan :
DS = QDC / C
Dimana :
DS = derajat kejenuhan
QDC = volume lalu lintas (smp/jam)
C = kapasitas jalan (smp/jam)
Derajat kejenuhan yang diisyaratkan oleh MKJI 1997 adalah
sebesar 0,75 apabila DS atau VJP/C ≤ 0,75 atau bahkan sudah ≥ 0,75 maka
perlu diadakan manajemen lalu lintas ulang maupun diadakan pelebaran
jalan.

2.3 Aspek Geoteknik


Analisa geoteknik dimaksudkan untuk mengetahui sifat fisis dan
mekanis tanah disekitar lokasi rencana pembangunan struktur Jembatan slab

8|Page
on pile pada Proyek Jalan Tol Balikpapan Samarinda (Km. 13 Balikpapan –
Km. 38 Sombaja) segmen 1 untuk menentukan jenis dan kedalaman pondasi
yang sesuai dengan keadaan tanah pada lokasi jembatan yang direncanakan.
Tinjauan aspek geoteknik pada perencanaan struktur Jembatan slab on pile
pada Proyek Jalan Tol Balikpapan Samarinda (Km. 13 Balikpapan – Km. 38
Sombaja) segmen 1 ini meliputi tinjauan terhadap data-data tanah yang ada
seperti nilai boring (Bor Log), nilai penetrasi (N-SPT), nilai kohesi, sudut
geser tanah , γ tanah, kadar air tanah, dan void ratio, pada beberapa titik soil
investigation di daerah perencanaan jembatan. Data-data tersebut diperoleh
dengan cara melakukan penyelidikan tanah di lapangan dan di laboratorium.
Beberapa jenis uji tanah di lapangan dan di laboratorium.

2.2.1 Uji Lapangan


Penyelidikan tanah di lapangan dimaksudkan untuk mendapatkan
gambaran mengenai bentuk geologi maupun kondisi lapisan tanah dan air
tanah secara keseluruhan dari suatu daerah tertentu. Untuk tujuan tersebut,
diperlukan contoh-contoh tanah yang dapat diperoleh dengan metode-
metode yang umum digunakan yaitu antara lain dengan cara percobaan
penetrasi ataupun dengan cara pengeboran.
Metode-metode yang paling penting untuk melakukan penyelidikan tanah
dilapangan adalah sebagai berikut :
a. Bor Dalam (Bore Machine)
Maksud dari pekerjaan bor dalam ini adalah untuk
mengidenitifikasi kondisi lapisan tanah sampai kedalaman yang
diterapkan, sehingga dapat digunakan dalam perencanaan pondasi
struktural, khususnya struktur jembatan. Pekerjaan ini menggunakan
peralatan mesin bor, serta tabung untuk mengambil contoh tanah tak
terganggu. Pada tanah yang mudah runtuh, maka proses pengeboran
dilakukan dengan memberikan campuran bentonite, yang berfungsi
menahan tanah pada dinding lubang bor agar tidak runtuh.
Selain itu juga dilakukan SPT test pada setiap interval tertentu.
Standart Penetration Test (SPT) digunakan untuk menentukan
konsistensi atau density tanah di lapangan (in situ). Test tersebut

9|Page
dilakukan dengan memancangkan alat split spoon sampler, yaitu berupa
silinder baja dengan ujung-ujung yang terbuka. Split spoon
dipancangkan 45 cm kedalam tanah pada kedalaman tertentu dalam
tanah. Alat untuk memancang adalah suatu alu (hammer) berat 63,5
dengan tinggi jatuh 75 cm. Jumlah tumbukkan alu untuk setiap
penetrasi 15 cmk dicatat. Jumlah tumbukan untuk penetrasi 15 cm
kedua dan 15 cm ketiga disebut standar penelitian resistance N, yang
mana hal ini menggambarkan jumlah tumbukan per 30 cm penetrasi.
Umumnya SPT dalam suatu lubang bor dilakukan interval 1,5 m
sampai 2 m. Korelasi antara relative density tanah berbutir dan SPT
disajikan oleh Terzaghi & Peck pada tabel 2.1 dibawah ini :

Tabel 2.1 Korelasi antara Relative Density Tanah berbutir dan SPT
Very
Compectness Very Loose Loose Medium Dense
Dense
Relative
0-15% 15-35% 35-65% 65-85% >85%
Density (Dr)
SPT, Nilai N 0-4 4-10 10-30 30-50 >50
ɸ < 28o 28o-30o 30o-36o 36o-41o >42
Tabel dibawah ini memberikan korelasi antara relative density tanah
non kohesif dengan Nilai SPT N dan kondisi konsistensi tanah kohesive
dengan nilai SPT-N menurut Burt G. Look dalam buku Table
Geotechnical seperti pada tabel 2.2 hingga 2.3 .
Tabel 2.2 Clay Strength from SPT data (Look, 2007)

10 | P a g e
Tabel 2.3 Strength from SPT on clean medium size sands only (Look, 2007)

Tabel 2.4 Strength from corrected SPT on fine and coarse size sands (Look,
2007)

Beberapa hasil penelitian hubungan antara nilai standar penelitian (SPT –


N dan Nilai Static Cone penetrometer qc). Hubungan ini dinyatakan
sebagai berikut :
qc = n×N
Dengan nilai n diperoleh dari tabel 2.5 dan 2.6 berikut untuk beberapa
tipe tanah :
Tabel 2.5 Nilai n menurut Engineers of Frank pile
Tipe Tanah n = qc/N
Clayey Sand 6
Silty Sand 5
Sandy Clay 4
Silty Clay 3

11 | P a g e
Tabel 2.6 Nilai n menurut Schmertman (1970)

n = qc/N
Tipe Tanah
(Nilai Rata-rata)
Silts, Sandy Silts and Slightly
2,0
Cohessive Silt - Sand mixtures
Clean, tine to medium Sands and
3,5
Slightly silty sand
Coarse sand and sand with little
5,5
gravel
Sandy Gravel and Gravel 9,0
b. Sondir
Uji ini dilakukan untuk mengetahui elevasi lapisan “keras” (Hard
Layer) dan homogenitas tanah dalam arah lateral. Hasil Cone
Penetration Test disajikan dalam bentuk diagram sondir yang mencatat
nilai tahanan konus dan friksi selubung, kemudian digunakan untuk
menghitung daya dukung pondasi yang diletakkan pada tanah tersebut.
Hasil Uji Sondir dapat dikorelasikan untuk mendapatkan kuat
geser tak terdrainase. Beberapa persamaan telah diajukan oleh berbagai
ahli geoteknik di dunia, seperti pada tabel 2.7.
Tabel 2.7 Beberapa Korelasi menentukan Cu dari CPT

Dari hasil uji CPT dapat ditentukan klasifikasi tanah apakah tanah
tersebut masuk ke dalam keluarga pasir atau lempung berdasarkan
grafik pada gambar 2.1 di bawah ini :

12 | P a g e
Gambar 2.1 CPT properties untuk klasifikasi tanah (Schmertmann, 1978)

Kuat geser tanah dapat ditentukan secara empiris dari hasil sondir
(CPT), dapat dilihat pada tabel 2.8 berikut :

Tabel 2.8 Hubungan antara Konsistensi dan Tekanan Konus


Tekanan Undrained
Konsistensi Konus qc Cohesion ɣ
(kg/cm2) (t/m2)
Very Soft <2,50 <1,25 1,30-1,70
Soft 2,50-5,00 1,25-2,50 1,50-1,80
Medium Stiff 5,00-10,00 2,50-5,00 1,70-1,90
Stiff 10,00-20,00 5,00-10,00 1,70-2,00
Very Stiff 20,00-40,00 10,00-20,00 1,80-2,10
Hard >40,00 >20,00 1,90-2,20

2.2.2 Penyelidikan Tanah di Laboratorium


a. Tes Kelakuan Fisik (Index Properties Test)
1. Specific Gravity
Specific Gravity suatu substansi adalah rasio dari berat substansi
tersebut di udara terhadap berat volume air yang sama pada
temperatur 4° C. Specific Gravity suatu massa tanah (termasuk

13 | P a g e
udara, air dan massa padat) dinyatakan dengan 6 m. Dirumuskan
sebagai berikut :
γt
Gs =
γ0
W
Gs =
V×γ0
2. Bulk Density
Berat isi massa tanah dinyatakan dengan rasio berat massa tanah W
terhadap volume massa tanah V.
W
γ=
V
3. Void Ratio
Ruang pori dirumuskan sebagai perbandingan antara volume ruang
kosong pada massa tanah Vv terhadap volume padat Vs
Vv
e=
Vs
4. Kadar Air
Kadar air W dari suatu massa tanah dinyatakan sebagai rasio berat
air Ww, pada ruang pori terhadap berat padat massa tanah Ws yang
dirumuskan sebagai berikut :
Ww
w= ×100%
Ws
5. Sieve Analysis
Untuk mengetahui klasifikasi apakah termasuk Gravel, Sand, Silt
dan Clay maka test yang dilakukan adalah sieve analysis dan
Hydrometer. Berdasarkan kurva hasil test sieve analaysis dan
Hydrometer maka tanah dapat diklarifikasikan sebagai berikut :
a) Bergradasi buruk (gradasi seragam)
b) Bergradasi baik
c) Bergradasi terputus
Untuk menentukan apakah suatu material bergradasi baik atau buruk,
Allan Hazen memberikan rumusan sebagai berikut :

D 60
Cu =
D 40

14 | P a g e
dimana : Cu < 5 = tanah bergradasi seragam
5 < Cu < 15 = tanah bergradasi sedang
Cu > 15 = tanah bergradasi baik
Selain koefiesien keseragaman, suatu hasil analisis saringan juga
dibandingkan dengan koefisien gradasi.

D10 2
Cc =
D10 xD60
Dimana untuk kriteria well graded, Cc berinlai antara 1 < Cc < 3.
6. Hydrometer test
Hydrometer test dilakukan untuk mengetahui besarnya material
halus yang lolos saringan No. 200 Pengujian ini juga dimaksudkan
untuk mendapatkan jumlah fraksi lempung yang terkandung pada
suatu sampel tanah.
7. Atterberg Limit Test
Konsistensi adalah bentuk yang digunakan untuk menyatakan tingkat
kekakuan tanah kohesif. Konsistensi dari deposit tanah kohesif
natural didapatkan dari uji atterberg limit dan dinyatakan dari grafik
pada gambar 2.2 berikut :

Gambar 2.2 Consistency limits of cohessive soil (Look, 2007)

b. Test Kelakuan Teknik (Enginering Properties Test)


1. Unconfined Compression Test

15 | P a g e
Unconfined compression strength qu dinyatakan sebagai beban
berikut per satuan luas penampang contoh tanah bentuk silinder
(dengan rasio tinggi terhadap diameter) yang dikenakan tekanan
tanpa ad tekanan lateral. Kadar air tanah diasumsi tetap konstan
selama test yang umumnya hanya beberapa menit. Tabel 2.9 di
bawah menyatakan hubungan antara konsistensi dengan qu.

Tabel 2.9 Hubungan antara Konsistensi dengan qu (Look, 2007)

2. Consolidation Test
Konsolidasi adalah suatu proses pemampatan suatu massa tanah
dengan keluarnya air dalam pori tanah yang disebabkan adanya
tekanan atau beban luar. Secara umum test konsolidasi akan
memberikan besarnya σp (Tekanan Pra Konsolidasi), Cc
(Compression Index), Cv (Void Ratio), e0 (Coeficient Of
Consolidation).
3. Quick Direct Shear Test
Uji geser langsung umumnya dilakukan untuk tanah non kohesif
yaitu pasir seperti diketahui bahwa nilai lokasi dari tanah berbutir ini
adalah c = 0 dan   0. Dengan demikian hasil Direct Shear Test
hanya akan memberikan nilai , untuk setiap contoh tanah yang
diuji.

2.2.3 Sistem Klasifikasi Tanah


Suatu sistem klasifikasi adalah metode untuk mengidentifikasi
jenis tanah berdasarkan parameter tertentu. Sistem klasifikasi
memudahkan engineer untuk mengelompokkan tanah dengan karakter
yang hampir sama. Setalah tanah dikelompokkan, maka penentuan profil
tanah dapat dilakukan. Selain itu, sistem klasifikasi juga digunakan untuk

16 | P a g e
menentukan jenis pengujian yang tepat. Contohnya, untuk pengujian
gradasi butiran tanah pada lempung, lebih cocok digunakan uji
hydrometer. Sebaliknya, pada pasir lebih cocok jika diuji dengan analisis
saringan.

2.2.3.1 Unified Soil Classification System (USCS)


USCS pertama kali diperkenalkan oleh Cassagrande pada tahun
1948 dan kemudian diperbaharui oleh US-Army Corps of Engineers dan
US- Bureau of Reclamation. Pada awalnya, USCS hanya memiliki dua
kelompok utama. Suatu tanah diklasifikasikan dalam kelompok berbutir
kasar jika jumlah fraksi tertahan saringan No 200 lebih dari 50%,
sedangkan dikelompokkan ke dalam keluarga tanah berbutir halus jika
jumlah fraksi yang lolos saringan No 200 lebih dari 50%. Saat ini, metode
USCS telah dikembangkan menjadi beberapa sub-kelompok, seperti pada
tabel 2.10 berikut ini.

17 | P a g e
Tabel 2.10 Sistem Klasifikasi USCS (Das, 2013)

18 | P a g e
19 | P a g e
2.2.3.2 Sistem Klasifikasi AASHTO
Sistem klasifikasi ini dikembangkan pada tahun 1929 sebagai Public Road
Administration Classification System. Sistem ini sudah mengalami
beberapa perbaikan, versi yang saat ini berlaku adalah yang diajukan oleh
Committee on Classification of Materials for Subgrade and Granular Type
Road of the Highway Research Board dalam tahun 1945 (ASTM Standard
no. D-38282, AASHTO metode M145). Cara pengklasifikasian sistem
AASHTO berdasarkan kriteria berikut :
a. Analisis ukuran butiran.
b. Batas cair dan batas plastis dan Indeks Plastisitas (IP) yang dihitung.
c. Batas susut.

Tabel 2.11 Klasifikasi Tanah Berdasarkan AASHTO

20 | P a g e
Sumber : Braja M. Das, Principal of Geotechnical Engginering
a
untuk A - 7 - 5, PI ≤ LL – 30
b
untuk A - 7 - 6, PI > LL – 30

2.2.3.3 US Department of Agricultural


Sistem ini mengklasifikasikan jenis tanah didasarkan pada ukuran batas
dari butiran tanah seperti yang dapat dilihat ada Gambar 2.3 yaitu :
a. Pasir : merupakan butiran dengan diameter 2,0 – 0,05 mm
b. Lanau : merupakan butiran dengan diameter 0,05 – 0,002 mm
c. Lempung : merupakan butiran dengan diameter lebih kecil dari
0,002mm

Gambar 2.3 Klasifikasi berdasarkan tekstur oleh USDA

2.2.4 Longsoran
Cruden (1991) mengusulkan definisi sederhana dari longsoran, yaitu
pergerakan massa batuan, debris, atau tanah menuruni suatu lereng
2.2.3.1 Klasifikasi longsoran berdasarkan tipe pergerakan :
a. Falls
Falls adalah tipe longsoran dimana material tertanggalkan (detached)
dan jatuh bebas atau menggelundung (rolling) dari sebuah lereng

21 | P a g e
terjal dimana kecepatan pergerakan tergolong cepat sampai dengan
sangat cepat.
b. Topples
Topples adalah gerakan longsor secara rotasional dengan sumbu
putaran dibawah titik berat massa tanah yang longsor. Toppling
disebabkan oleh faktor gravitasi, gaya dari samping longsoran, atau
adanya rembesan air pada celah-celah batuan
c. Slides ( Rotasional dan Translasional)
Slides adalah pergerakan tanah diatas sebuah garis gelincir yang
tercipta dari kegagalan geser tanah, secara rotasional atau
translational. Pergerakan longsor secara rotasional dapat terbagi
menjadi pergerakan sirkular dan non sirkular. Pergerakan sirkular
cenderung terjadi pada tanah homogen. Sementara pergerakan
translational terjadi bila perbedaan kekuatan geser antar lapisan tanah
cenderung sangat jauh atau mencolok.
d. Lateral Spread
Lateral Spread merupakan suatu bentuk longsoran (slide) secara
translasi, disebabkan oleh pergerakan tiba-tiba oleh retakan berisi
pasir atau lanau yang mengandung air, yang ditumpuk oleh lempung
atau urugan.
e. Flows
Flows adalah tipe longsoran dimana material yang terbawa
menyerupai benda cair kental, misalnya lumpur.
f. Composites (Kombinasi)
Longsoran dapat berupa gabungan dari dua atau banyak golongan
longsoran seperti telah disebutkan diatas.

2.2.3.2 Stabilitas Longsoran


Faktor longsoran dapat dinyatakan dalam suatu angka faktor
keamanan atau safety of factor. faktor keamanan dapat didefinisikan
sebagai rumusan pada persamaan berikut.

Gaya Penahan
F=
Gaya Pendorong

22 | P a g e
Yang termasuk gaya penahan adalah kuat geser tanah dan gaya penahan
lain seperti dari struktur dinding atau angkur. Sedangkan gaya pendorong
ini adalah massa tanah longsor beserta beban tambahan, misalnya beban
hidup, beban lalu lintas, atau beban gempa. Perhitungan tersebut akan
menghasilkan Faktor Keamanan terhitung (Calculated Factor of Safety).
Desain stabilitas longsoran lebih berfokus pada mempertahankan
stabilitas daripada meminimalisasi deformasi lereng.
Dalam analisis stabilitas longsoran, diketahui bahwa angka Faktor
Keamanan pada longsoran yang tepat hampir gagal adalah 1.00 , dimana
bentuk bidang gelincir bisa saja susah diukur, pengetahuan tentang faktor
lain yang terlibat dalam stabilitas longsoran dapat membantu praktisi
rekayasa geoteknik untuk memperkirakan kuat geser pada bidang
gelincir. Perhitungan ini disebut analisis balik, dan lebih membantu
daripada bila menggunakan informasi terbatas pada analisis stabilitas
lereng konvensional.
Bila terdapat kesalahan pada asumsi kuat geser dan parameter air
tanah pada analisis balik, kesalahan itu akan terbawa juga pada
perhitungan penanganan. Namun karena sifat kedua perhitungan tersebut
komparatif (sebagai “sebelum” dan “sesudah”), hampir pasti stabilitas
longsoran akan membaik. Faktor keamanan terhitung harus dapat
menutupi kesalahan-kesalahan asumsi dalam perhitungan. Kebanyakan
kesalahan terjadi karena (i) keadaan lapangan berbeda dengan keadaan
hasil pengukuran/asumsi, (ii) analisis matematika berbeda dengan
perilaku tanah. Besarnya kesalahan yang ada dapat dipengaruhi oleh
ukuran longsoran dan jumlah data yang telah dikumpulkan.
Longsoran yang berukuran besar dapat dimodelkan dengan lebih
mudah dibandingkan dengan longsoran ukuran kecil. Pada longsoran
berukuran besar, kuat geser tanah secara keseluruhan dapat diperkirakan
dengan lebih mudah menggunakan analisis balik, dengan geometri
longsoran dapat ditentukan dengan lebih pasti. Karena itulah, pada
longsoran berukuran besar, penambahan faktor keamanan yang tidak
terlalu banyak sudah cukup untuk memastikan keamanan pada masa

23 | P a g e
mendatang. Pada longsoran berukuran sangat kecil, analisis tegangan
efektif lebih sulit dilakukan karena (i) tekanan air pori negatif di dekat
permukaan tanah (yang tidak terlalu signifikan pada longsoran berukuran
besar), (ii) sensitivitas tinggi terhadap fluktuasi tekanan air pori. Maka,
faktor keamanan untuk longsoran berukuran kecil harus lebih besar
daripada faktor keamanan untuk longsoran berukuran besar.
Comforth (2005) memberikan sebuah tabel yang dapat digunakan untuk
acuan dalam menentukan jumlah pengeboran dan faktor keamanan
minimum berdasarkan ukuran longsoran (Tabel 2.12). Namun tabel
tersebut bersifat sebagai suatu saran, bukan sebagai standar praktik
rekayasa geoteknik.
Tabel 2.12 Saran untuk Faktor Keamanan Berdasarkan Ukuran Longsoran
dan Informasi yang Dimiliki (Sumber : Comforth,2005)
Ukuran Studi Minimum Studi Normal
Longsoran Boring F Boring F
Sangat Kecil 1 1.50 1 1.50
Kecil 1 1.50 2 1.35
Sedang 2 1.40 4 1.25
Besar 3 1.30 6 1.20
Sangat Besar 4 1.20 8 1.15
Pada tabel 2.12 diasumsikan bahwa (i) longsoran telah diperiksa
oleh staf profesional, boring telah disampel, dan contoh tanah/batuan
dideskripsikan oleh insinyur geoteknik berkualitas baik, (ii) semua
boring dilakukan di dalam area longsoran aktif, (iii) boring disertai
dengan inclometer kecuali pada longsoran sangat kecil, (iv) piezometer
terpasang pada lokasi longsoran, (v) kuat geser telah didapat dari analisis
laboratorium yang menyatakan bahwa F = 1.00 pada saat longsoran
hampir bergerak, (vi) Analisis stabilitas yang relevan digunakan, dan
(vii) studi ini bersifat deterministik.

24 | P a g e
Gambar 2.4 Skema Metode Pias dalam Perhitungan Stabilitas Lereng
Dalam analisis stabilitas lereng , digunakan metode pias. Adapun
konsep metode pias dapat dilihat pada Gambar 2.4. Pada metode ini,
diasumsikan bahwa bidang gelincir longsoran berbentuk lingkaran
dengan pusat O dan jari-jari r. Bidang gelincir ABCD dibagi menjadi
beberapa pias dengan lebar b. Alas pias diasumsikan berupa garis lurus
dengan kemiringan alas terhadap bidang horizontal sebesar α, sedangkan
tinggi pias diukur dari garis tengahnya adalah h. Analisis faktor
keamanan (F) didefinisikan sebagai perbandingan antara kuat geser yang
tersedia (τf) terhadap kuat geser yang harus ada untuk mempertahankan
kesetimbangan (τm).
τf
F = τm

Faktor keamanan F dianggap sama setiap piasnya. Adapun gaya-gaya


yang bekerja pada tiap pias adalah :
a. Berat total pias (W = b. h)
b. Gaya normal total di alas pias, N, terdiri atas gaya normal efektif (N’
= σ’. I) dan gaya tekanan air (U = u . I), dimana u adalah tekanan air
pori pada alas pias dan I adalah panjang alas pias.
c. Gaya geser pada alas pias ( T = τm.I)
d. Gaya normal total pada sisi pias, E1 dan E2.
e. Gaya geser total pada sisi pias, X1 dan X2

25 | P a g e
Mengingat definisi kuat geser dengan parameter efektif sebagai τf =
c’+σ’tanϕ’, rumusan faktor keamanan (F) dapat dinyatakan seperti pada
persamaan berikut
Σ(c ′ + σ′ tanϕ′ )I
F=
ΣWsinα
Atau dapat pula dinyatakan seperti pada persamaan berikut
cLα + tanϕ′ΣN
F=
ΣWsinα
Dimana La adalah panjang busur bidang gelincir atau busur AC pada
gambar 2.
Pada metode Swedia atau metode Fellenius, resultan gaya antar pias
dianggap 0, maka solusi didapat dengan menyelesaikan kesetimbangan
tiap pias terhadap gaya normal masing-masing, seperti dinyatakan pada
persamaan berikut
N’ = Wcosα − ul
Sehingga, untuk perhitungan faktor keamanan (F) menggunakan
parameter efektif, dapat dirumuskan seperti pada persamaan berikut
cLα + tanϕ′ Σ(Wcosα − ul)
F=
ΣWsinα
Sedangkan untuk perhitungan menggunakan parameter total, nilai kohesi
menggunakan nilai undrained (cu), sudut geser undrained senilai 0 (ϕu =
0), dan nilai tekanan air pori (u) adalah 0. Sehingga persamaan Faktor
Keamanan menjadi seperti pada persamaan berikut
cuLα
F=
ΣWsinα
Dalam perhitungan menggunakan metode Fellenius, data tiap pias akan
diolah dalam sistem tabulasi demi kemudahan analisis. Adapun kolom-
kolom atau elemen-elemen yang terdapat dalam perhitungan adalah
sebagai berikut :
b = lebar pias
h(i) = tinggi garis titik berat pias pada layer ke-i
γ(i) = berat jenis tanah pada lapisan tanah ke-i
W(i) = berat tanah pada lapisan tanah ke-I = h(i). γ(i)
Wtotal = berat total tanah pada suatu pias

26 | P a g e
α = sudut yang dibentuk oleh garis yang ditarik dari titik pusat
lingkaran dan garis titik berat pias ( yang bila ditinjau secara geometris,
juga merupakan sudut kemiringan alas pias terhadap sumbu horizontal).
Sudut yang terbentuk searah jarum jam bernilai positif, sudut yang
terbentuk berlawanan arah jarum jam bernilai negatif
b
l = panjang alas pias =( )
sec α
u = tekanan air tanah, yaitu perkalian tinggi permukaan air tanah
dengan berat jenis air
Wcosα-ul = elemen tanah yang menahan bidang geser
Wsinα = elemen tanah yang menggerakkan bidang geser

2.4 Geometri Jembatan


Berdasarkan Buku Tata CaraPerencanaan Geometri Jalan Antar Kota,
perencanaan geometri jalan maupun jembatan terdiri dari perencanaan
alinyemen vertikal dan alinyemen horizontal.

2.4.1 Alinyemen Vertikal


Alinyemen vertikal adalah perpotongan antara bidang vertikal
dengan sumbu jalan. Untuk jalan dengan dua lajur, alinyemen vertikal ini
adalah perpotongan bidang vertikal melalui sumbu atau as jalan. Didalam
perancangan geometrik jalan harus diusahakan agar alinyemen vertikal
mendekati permukaan tanah asli yang secara teknis berfungsi sebagai tanah
dasar,untuk dapat mengurangi pekerjaan tanah. Secara umum alinyemen
vertikal terdiri dari :
a. Alinyemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian
lengkung vertikal.
b. Ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian landai vertikal dapat
berupa landaipositif (tanjakan), atau landai negatif (turunan), atau
landai nol (datar)
c. Bagian lengkung vertikal dapat berupa lengkung cekung atau
lengkung cembung.

27 | P a g e
2.4.1.1 Landai Maksimum
a. Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk memungkinkan kendaraan
bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti.
b. Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang
bermuatan penuh yang mampu bergerak dengan penurunan kecepatan
tidak lebih dari separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan
gigi rendah.
c. Kelandaian maksimum untuk berbagai VR ditetapkan dapat dilihat
dalam Tabel 2.13
Tabel 2.13 Kelandaian maksimum yang diizinkan
Vr (km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40
Kelandaian Maksimal
3 3 4 5 8 9 10 10
(%)
d. Panjang kritis yaitu panjang landai maksimum yang harus disediakan
agar kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian
sehingga penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh VR. Lama
perjalanan tersebut ditetapkan tidaklebih dari satu menit.
e. Panjang kritis dapat ditetapkan dari Tabel 2.14

Tabel 2.14 Panjang Kritis


Kecepatan pada awal Kelandaian (%)
tanjakan km/jam
4 5 6 7 8 9 10
80 630 460 360 270 230 230 200
60 320 210 160 120 110 90 80

2.4.1.2 Lengkung Vertikal


a. Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang
mengalami perubahankelandaian dengan tujuan
1) mengurangi guncangan akibat perubahan kelandaian; dan
2) menyediakan jarak pandang henti.
b. Lengkung vertikal dalam tata cara ini ditetapkan berbentuk parabola
sederhana,
1) jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikal
cembung, panjangnya ditetapkan dengan rumus:

28 | P a g e
2) jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertikal
cekung, panjangnya ditetapkan dengan rumus:

c. Panjang minimum lengkung vertikal ditentukan dengan rumus:

d. Y dipengaruhi oleh jarak pandang di malam hari, kenyamanan, dan


penampilan. Y ditentukan sesuai Tabel 2.15

Tabel 2.15 Penentuan Faktor penampilan kenyamanan, Y


Kecepatan Rencana Faktor Penampilan Kenyamanan,
(km/jam) Y
< 40 1,5
40 - 60 3
> 60 8

e. Panjang lengkung vertikal bisa ditentukan langsung sesuai Tabel 2.16


yang didasarkan pada penampilan, kenyamanan, dan jarak pandang.

Tabel 2.16 Panjang Minimum Lengkung Vertikal

Perbedaan
Kecepatan Rencana Panjang
Kelandaian
(km/jam) Lengkung (m)
Memanjang (%)
< 40 1 20 - 30
40 - 60 0,6 40 - 80
> 60 0,4 80 - 150

2.4.2 Alinyemen Horizontal


a. Alinemen horizontal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung
(disebut juga tikungan).

29 | P a g e
b. Perencanaan geometri pada bagian lengkung dimaksudkan untuk
mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima oleh kendaraan yang
berjalan pada kecepatan VR.
c. Untuk keselamatan pemakai jalan, jarak pandang dan daerah bebas
samping jalan harus diperhitungkan.

2.4.2.1 Panjang Bagian Lurus


a. Dengan mempertimbangkan faktor keselamatan pemakai jalan,
ditinjau dari segi kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum
bagian jalan yang lurus harus ditempuh dalam waktu tidak lebih dari
2,5 menit (sesuai VR).
b. Panjang bagian lurus dapat ditetapkan dari Tabel 2.17
Tabel 2.17 Panjang Bagian Lurus Maksimum
Panjang Bagian Lurus Maksimum
Fungsi
Datar Perbukitan Pegunungan
Arteri 3000 2500 2000
Kolektor 2000 1750 1500

2.4.2.2 Tikungan
a. Bentuk bagian lengkung dapat berupa:
1) Spiral-Circle-Spiral (SCS);
2) full Circle (fC)
3) Spiral-Spiral (SS).
b. Superelevasi
1) Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di tikungan yang
berfungsimengimbangi gaya sentrifugal yang diterima kendaraan
pada saat berjalanmelalui tikungan pada kecepatan VR.
2) Nilai superelevasi maksimum ditetapkan 10%.
c. Jari-Jari Tikungan
Jari - jari tikungan minimum (Rmin) ditetapkan sebagai berikut:

30 | P a g e
di mana :
Rmin = Jari jari tikungan minimum (m),
VR = Kecepatan Rencana (km/j),
emax = Superelevasi maximum (%),
f = Koefisien gesek, untuk perkerasan aspal f = 0,14-0,24
Selain itu Rmin juga dapat dicari melalui Tabel 2.18

Tabel 2.18 Panjang Jari-jari Minimum (dibulatkan)

Vr (km/jam) 120 160 80 60 50 40 30 20


Jari-jari Minimum 600 370 210 110 80 50 30 15
Rmin (m)
d. Lengkung peralihan
1) Lengkung peralihan adalah lengkung yang disisipkan di antara
bagian lurus jalan dan bagian lengkung jalan berjari jari tetap R;
berfungsi mengantisipasi perubahan alinyemen jalan dari bentuk
lurus (R tak terhingga) sampai bagian lengkung jalan berjari jari
tetap R sehingga gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan saat
berjalan di tikungan berubah secara berangsur-angsur, baik ketika
kendaraan mendekati tikungan maupun meninggalkan tikungan.
2) Bentuk lengkung peralihan dapat berupa parabola atau spiral
(clothoid). Dalam tata cara ini digunakan bentuk spiral.
3) Panjang lengkung peralihan (L) ditetapkan atas pertimbangan
bahwa:
a) Lama waktu perjalanan di lengkung peralihan perlu dibatasi
untukmenghindarkan kesan perubahan alinyemen yang
mendadak, ditetapkan 3 detik (pada kecepatan VR).
b) Gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan dapat
diantisipasi berangsur-angsur pada lengkung peralihan dengan
aman
c) Tingkat perubahan kelandaian melintang jalan dari bentuk
kelandaiannormal ke kelandaian superelevasi penuh tidak
boleh melampaui re-max yangditetapkan sebagai berikut:
untuk VR 􀁤70 km/jam, re-max = 0.035 m/m/detik,

31 | P a g e
untuk VR 􀁤 80km/jam, re-maz =0.025 m/m/detik.
e. Pencapaian superelevasi
1) Superelevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang
normal pada bagian jalan yang lurus sampai ke kemiringan penuh
(superelevasi) pada bagian lengkung.
2) Pada tikungan SCS, pencapaian superelevasi dilakukan secara
linear, diawali dari bentuk normal sampai awal lengkung peralihan
(TS) yang berbentuk pada bagian lurus jalan, 'lalu dilanjutkan
sampai superelevasi penuh pada akhir bagian lengkung peralihan
(SC).
3) Pada tikungan fC, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear
diawali dari bagian lurus sepanjang 213 LS sampai dengan bagian
lingkaran penuh sepanjang 113 bagian panjang LS.
4) Pada tikungan S-S, pencapaian superelevasi seluruhnya dilakukan
pada bagian spiral.

2.5 Pembebanan Struktur Jembatan


Pembebanan struktur jembatan dilakukan sesuai SNI 1725-2016
Pembebanan untuk Jembatan. Analisa beban yang perlu diperhitungkan pada
struktur jembatan slab on pile pada proyek jembatan yang menghubungkan
Balikpapan-Samarinda ini meliputi beban tetap, beban lalu lintas dan beban
dinamis. Beban tetap terdiri dari beban sendiri struktur dan beban mati
tambahan. Beban lalu lintas terdiri dari beban lajur, beban truk, dan gaya rem.
Beban dinamis terdiri dari beban angin dan beban gempa.

2.5.1 BebanMati
Beban mati adalah semua beban yang berasal dari berat sendiri
jembatan atau bagian jembatan yang ditinjau, termasuk segala unsur
tambahan yang dianggap merupakan satu kesatuan tetap dengannya.

2.5.1.1 Berat Sendiri (MS)


Berat sendiri struktur jembatan slab on pile dihitung secara
otomatis oleh software SAP2000. Berat sendiri meliputi berat struktur
atas dan struktur bawah, struktur atas meliputi balok dan pelat sedangkan

32 | P a g e
untuk struktur bawah jembatan adalah pilar tiang pancang. Besarnya
beban akibat berat sendiri tergantung dari dimensi elemen struktur dan
berat jenis dari bahan yang digunakan. Berat jenis dari beberapa bahan di
tampilkan pada tabel di bawah, sebagai berikut :
Tabel 2.19 Berat Jenis Bahan Konstruksi
Bahan Berat Jenis (kg/m3)
Aspal Beton 2200
Beton Bertulang 2500
Baja 7850

Secara umum untuk perhitungan berat sendiri struktur dihitung


dengan cara menghitung massa dari struktur sesuai dengan dimensi
perencanaan elemen struktur dan berat jenis yang digunakan seperti yang
tertera pada tabel dibawah ini. Untuk mencari berat struktur massa
struktur dikalikan dengan percepatan gravitasi yaitu 9,81 m/s2.

Tabel 2.20 Berat isi untuk beban mati

Berat isi Kerapatan


No Bahan
(kN/m3) massa (kg/m3)

Lapisan permukaan beraspal


1 22,0 2245
(bituminious wearing surfaces )
2 Besi tuang (cast iron) 71,0 7240
Timbunan tanah dipadatkan
3 17,2 1755
(compacted sand, silt or clay)
Kerikil dipadatkan (rolled gravel,
4 18,8-22,7 1920-2315
macadamor ballast)
5 Beton aspal (asphalt concrete) 22,0 2245
6 Beton ringan (low density) 12,25-19,6 1250-2000
7 Beton f'c < 35 Mpa 22,0-25,0 2320
8 35 < f'c < 105 22+0,022 f'c 2240+2,29 f'c
9 Baja (steel) 78,5 7850
10 Kayu (ringan) 7,8 800
11 Kayu keras (hard wood) 11,0 1125

Faktor beban yang digunakan untuk berat sendiri dapat dilihat


pada tabel dibawah ini.

33 | P a g e
Tabel 2.21 Faktor beban untuk berat sendiri

2.5.1.2 Beban Mati Tambahan


Menurut SNI 1725:2016 pasal 5.3.1 halaman 12 beban mati
tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu beban pada
jembatan yang merupakan elemen non struktural, dan besarnya dapat
berubah selama umur jembatan. Beban mati tambahan pada struktur slab
on pile diantaranya :
a. Lapisan aspal beton setebal 7 cm. Beban aspal beton = 0,07 x 2200 =
150 kg/m2.
b. Barier dan Pipa Sandaran. Dari perhitungan didapatkan beban barier
dan pipa sandaran = 600 kg/m.

2.5.2 Beban Hidup


Beban hidup adalah semua beban yang berasal dari berat
kendaraan-kendaraan bergerak/lalu lintas dan/atau pejalan kaki yang
dianggap bekerja pada jembatan. Beban hidup pada jembatan yang harus
ditinjau dinyatakan dalam dua macam, yaitu beban ”T” yang merupakan
beban terpusat untuk lantai kendaraan dan beban”D” yang merupakan
beban jalur untuk gelagar.

2.5.2.1 Beban ”T”


Beban T mempresentasikan beban kendaraan semi-trailer yang
melewati struktur slab on pile yang mana memiliki susunan dan berat
sesuai dengan gambar di bawah ini, berat dari tiap gandar di distribusikan
menjadi 2 beban merata yang sama besar dan merupakan kontak antara
roda dengan permukaan lantai. Jarak antara dua gandar tersebut dapat
diubah-ubah dari 4 meter sampai 9 meter untuk mendapatkan pengaruh
terbesar pada arah memanjang jembatan.

34 | P a g e
Gambar 2.5 Model beban kendaraan truk pada jembatan (Beban Truk T)
Pada setiap jalur hanya disyaratkan diberi satu beban Truk “T”.
Beban “T” tidak dapat digunakan bersamaan dengan beban “D”. Adapun
faktor beban ‘T” dapat dilihat pada tabel 2.22 dibawah ini.
Tabel 2.22 Faktor beban untuk beban “T”

Untuk pembebanan melintang beban “T” umumnya untuk satu


lajur kendaraan hanya bisa ditempatkan satu beban kendaraan pada satu
lajur rencana. Untuk jembatan yang sangat panjang bisa ditempatkan
lebih dari satu beban kendaraan untuk satu jalur rencana.

2.5.2.2 Beban ”D”


Beban Lajur D ditempatkan melintang pada lebar penuh dari jalur
lalu lintas pada jembatan, dan akan menghasilkan pengaruh pada
jembatan yang ekuivalen dengan rangkaian kendaraan sebenarnya.
Jumlah total Beban Lajur D yang ditempatkan tergantung pada lebar jalur
pada jembatan.
Beban Lajur D terdiri dari :

35 | P a g e
a. Beban Terbagi Rata (BTR) dengan intesitas q (kPa). Besarnya q
tergantung pada panjang jembatan (L) yang dibebani total, sebagai
berikut
L ≤ 30 m; q = 9,0 kPa ≈ 900 kg/m2
L ≥ 30 m; q = 9,0 x [0,5 + (15/L)] kPa
Beban BTR bisa ditempatkan dalam panjang terputus agar terjadi
pengaruh yang maksimum pada struktur. Dalam hal ini, L adalah
jumlah dari panjang masing-masing beban terputus tersebut. Beban
BTR ditempatkan tegak lurus terhadap arah lalu lintas.
b. Beban Garis Terbagi Rata (BGT) dengan intesitas p (kN/m),
ditempatkan pada kedudukan sembarang sepanjang jembatan dan
tegak lurus pada arah lalu lintas. Besarnya BGT ditetapkan sebesar p
= 49 kN/m ≈ 4900 kg/m.

Gambar 2.6 Model beban lalu lintas pada jembatan (Beban


Lajur D)
Penyusunan beban “D” pada arah melintang harus sedemikian rupa
sehingga menimbulkan momen maksimum. Penempatan beban “D”
secara umum dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

36 | P a g e
Gambar2.7 Alternatif penempatan beban “D” dalam arah memanjang

2.5.3 Faktor Beban Dinamis (FBD)


Faktor Beban Dinamik (FBD) merupakan hasil interaksi antara
kendaraan yang bergerak dengan struktur jembatan. Besarnya FBD
tergantung pada frekuensi dasar dari suspensi kendaraan, biasanya antara 2
sampai 5 Hz untuk kendaraan berat, dan frekuensi dari getaran lentur
jembatan.

37 | P a g e
Untuk Beban Lajur D, FBD merupakan fungsi dari panjang
bentang jembatan seperti diperlihatkan pada Gambar 2.8. Untuk Beban
Truk T, besarnya FBD diambil 30%.

Gambar 2.8 Faktor Beban Dinamik (FBD) untuk BGT

FBD yang diperhitungkan pada struktur slab on pile adalah : 1,40


untuk Beban lajur D dan 1,30 untuk Beban Truk T.
Beban truk T yang bekerja pada struktur.
Roda depan = 1,3 x 25 kN = 32,5 kN
Roda tengah dan belakang = 1,3 x 112,5 kN = 146,25 kN

2.5.4 Gaya Rem


Bekerjanya gaya-gaya di arah memanjang jembatan, akibat gaya
rem dan traksi, harus ditinjau untuk kedua jurusan lalu lintas. Pengaruh ini
diperhitungkan senilai dengan gaya rem sebesar 25% dari berat gandar
truk desain atau 5% dari berat truk rencana ditambah beban lajur terbagi
BTR.
Gaya rem dianggap bekerja horizontal dalam arah sumbu
jembatan dengan titik tangkap setinggi 1,80 meter di atas permukaan lantai
kendaraan. Untuk slab on piledengan panjang bentang segmental 5 meter,
dari Gambar 2.9 didapat besarnya gaya rem yang diperhitungkan pada
struktur adalah 10 kN ≈ 1000 kg.

38 | P a g e
Gambar 2.9 Gaya rem per-lajur 2,75 meter

2.5.5 Gaya Akibat Gempa Bumi


Perencanaan beban gempa jembatan menggunakan metode analisa
dinamik (Response spectrum) dilakukan dengan ketentuan sesuai RSNI
2833:2013 (Standar Perancangan Jembatan Terhadap Beban Gempa)
dengan ketentuan sebagai berikut :
Besarnya beban gempa yang terjadi bergantung pada besarnya
massa total struktur slab on pile dan percepatan gempa rencana, dimana
untuk massa total struktur meliputi berat dari struktur slab on pile sendiri
dan beban mati tambahan yang ada pada struktur.
Percepatan gempa rencana diambil dari Peta Wilayah Gempa
Indonesia pada RSNI 2833:2013 (Perancangan Jembatan Terhadap Beban
Gempa).
Analisa dinamik dilakukan dengan menggunakan metode Respon
Spectrum, dimana diambil dua arah gaya yaitu pada sumbu x dan sumbu y,
yang kemudian besarnya gaya gempa yang diambil merupakan hasil
superposisi gempa arah x dan y yang dikombinasikan sebesar 100% dan
30%, sehingga menghasilkan pengaruh maksimum pada struktur jembatan
slab on pile.
Langkah- langkah yang perlu dilakukan untuk melakukan analisa
beban gempa dinamik menggunakan spektrum respon adalah sebagai
berikut :

39 | P a g e
a. Penentuan Kelas Situs
Kelas situs ditentukan berdasarkan nilai rata-rata cepat rambat
gelombang geser (Vs), hasil uji penetrasi standar (N), dan kuat geser
tak terdrainase (Su) dengan tebal lapis tanah sebagai pembobotnya.
Rumus yang digunakan sebagai berikut :

Keterangan :
ti = adalah tebal lapisan tanah ke-i
Vsi = adalah kecepatan rambat gelombang geser melalui
lapisan tanah ke-i
Ni = adalah nilai hasil uji penetrasi standar lapisan tanah ke-i
Sui = adalah kuat geser tak terdrainase lapisan tanah ke-i
m = adalah jumlah lapisan tanah yang ada diatas batuan dasar
= 30 m
Klasifikasi situs ditentukan untuk tanah setebal 30 m didasarkan
pada penyelidikan tanah dilapangan dan dilaboratorium, klasifikasi
situs dapat dilihat pada tabel 2.23 di bawah ini :

40 | P a g e
Tabel 2.23 Kelas Situs

Sumber : Tabel 2 RSNI-2833-2013

b. Spektrum Respon Desain


Untuk perhitungan beban gempa pada struktur slabonpile,
perlu dibuat Kurva ResponSpektrum Desain untuk lokasi dimana
bangunan akan didirikan. Berdasarkan RSNI-2833-2013 langkah
pertama adalah mencari nilai dari PGA, Ss dan S1. Nilai-nilai
tersebutdidapatkan dari peta percepatan puncak di batuan dasar (PGA)
untuk probabilitas terlampaui 7% dalam 75 tahun untuk PGA, peta
responspektrum percepatan 0.2 detik di batuan dasar untuk
probabilitas terlampaui 7% dalam 75 tahun untuk Ss dan peta
responspektrum percepatan 1 detik di batuan dasar untuk probabilitas
terlampaui 7% dalam 75 tahun untuk S1..

41 | P a g e
Gambar 2.10 Peta percepatan puncak di batuan dasar (PGA) untuk
probabilitas terlampaui 7% dalam 75 tahun.

Gambar 2.11 Peta responspektrum percepatan 0.2 detik di batuan


dasar untuk probabilitas terlampaui 7% dalam 75 tahun.

42 | P a g e
Gambar 2.12 Peta responspektrum percepatan 1 detik di batuan
dasar untuk probabilitas terlampaui 7% dalam 75 tahun.

Setelah didapatkan nilai PGA, Ss dan S1 selanjutnya


menentukan faktor amplifikasi, yang meliputi faktor amplifikasi
getaran terkait percepatan pada batuan dasar (FPGA), faktor
amplifikasi periode pendek (Fa) dan faktor amplifikasi terkait
percepatan yang mewakili getaran periode 1 detik (Fv). Tabel 2.24
dan Tabel 2.25 memberikan nilai-nilai FPGA, Fa, dan Fv untuk
berbagai klasifikasi jenis tanah berdasarkan RSNI-2833-2013.

Tabel 2.24 Faktor amplifikasi untuk PGA dan 0,2 detik (FPGA/Fa)

Sumber : Tabel 3 RSNI-2833-2013

43 | P a g e
Tabel 2.25 Besarnya nilai faktor amplifikasi untuk periode 1 detik (Fv)

Sumber : Tabel 4 RSNI-2833-2013

Selanjutnya menetukan respon spektrum rencana,


responspektrum adalah nilai yang menggambarkan respon maksimum
sistem berderajatkebebasan-tunggal pada berbagai frekuensi alami
(periode alami) teredam akibat suatu goyangan tanah (RSNI-2833-
2013, 2013 : 17). Berdasarkan RSNI-2833-2013 perumusan
responspektrum adalah sebagai berikut :
1) As = FPGA x PGA
2) SDS = FA x Ss
3) SD1 = Fv x S1
Selanjutnya membuat grafik respon spektrum gempa sesuai
bentuk standar dari RSNI-2833-2013. Data yang diperlukan untuk
menggambar grafik adalah nilai T dan Csm atau koefesien respon
gempa. Mencari koefisien respon gempa elastik (Csm), dengan
ketentuan-ketentuan yang disyaratkan oleh RSNI-2833-2013 sebagai
berikut.
1) Untuk periode lebih kecil dari T0, koefisien respons gempa elastik
(Csm) didapatkan dari persamaan berikut :

2) Untuk periode lebih besar atau sama dengan T0, dan lebih kecil
atau sama dengan TS, respons spektrum percepatan, Csm adalah
sama dengan SDS.
3) Untuk periode lebih besar dari TS, koefisien respons gempa elastik
(Csm) didapatkan dari persamaan berikut :

44 | P a g e
Keterangan:
SDS= nilai spektrum permukaan tanah pada periode pendek (T=0,2
detik).
SD1 = nilai spektrum permukaan tanah pada periode 1,0 detik
T0 = 0.2 Ts
Ts = SD1/SDS

Gambar 2.13 Bentuk tipikal respon spektrum di permukaan tanah

c. Mencari faktor modifikasi respon dan metode analisis yang


digunakan
1) Mencari Zona Gempa
Berdasarkan nilai SD1dapat menggambarkan variasi risiko
seismik dan digunakan untuk menentukan metode analisis, panjang
tumpuan minimum, detail perencanaan kolom, serta prosedur
desain pondasi dan kepala jembatan.
Tabel 2.26 Zona Gempa

2) Faktor Modifikasi Respon


Berdasarkan rumus untuk mencari beban gempa, yang
merupakan perkalian koefesien respon elastik (Csm) dengan berat

45 | P a g e
struktur ekuivalen yang kemudian dimodifikasi dengan faktor
modifikasi respon (R) dengan formula dibawah ini.

dimana besarnya nilai R dibedakan menjadi dua yaitu nilai


yaitu nilai R untuk bangunan bawah dan nilai R untuk hubungan
antar elemen struktur. Nilainya sesuai tabel 2.27 dan tabel 2.28
dibawah ini.

Tabel 2.27 Faktor modifikasi respon ( R ) untuk bangunan bawah

Tabel 2.28 Faktor modifikasi respon ( R ) untuk hubungan antar elemen struktur

Untuk penggunaan R, gaya gempa harus diasumsikan untuk


dapat bekerja dari semua arah lateral. Faktor modifikasi respon (R)
yang sesuai harus digunakan di kedua arah sumbu ortogonal
bangunan bawah. Pilar tipe dinding dapat dianalisis sebagai kolom
tunggal dalam arah sumbu lemah.

3) Pemilihan Metode Analisis


Sesuai dengan RSNI-2833-2013, persyaratan analisis
minimum untuk pengaruh gempa berdasarkan tabel2.29di bawah
ini.

46 | P a g e
Tabel 2.29 Persyaratan analisis minimum untuk pengaruh gempa

4) Kombinasi Pengaruh Gaya Gempa yang Digunakan


Berdasarkan SNI-2833-2013 Gaya gempa elastis yang
bekerja pada struktur jembatan harus dikombinasi sehingga
memiliki 2 tinjauan pembebanan sebagai berikut :
a) 100% gaya gempa pada arah x dikombinasikan dengan 30%
gaya gempa pada arah y.
b) 100% gaya gempa pada arah y dikombinasikan dengan 30%
gaya gempa pada arah x.
Sehingga apabila diaplikasikan dengan memperhitungkan
variasi arah maka kombinasi gaya gempa menjadi sebagai berikut :
a) DL + gEQLL ± EQx ± 0,3 EQy
b) DL + gEQLL ± EQy ± 0,3 EQx
Keterangan :
DL adalah beban mati yang bekerja (kN)
EQ g adalah faktor beban hidup kondisi gempa
EQ g = 0,5 (jembatan sangat penting)
EQ g = 0,3 (jembatan penting)
EQ g = 0 (jembatan lainnya)
LL adalah beban hidup yang bekerja (kN)
EQx adalah beban gempa yang bekerja pada arah x
EQy adalah beban gempa yang bekerja pada arah y

47 | P a g e
2.5.6 Kombinasi Pembebanan
Menurut SNI 1725-2016 Pembebanan untuk Jembatan, kombinasi
pembebanan untuk perhitungan struktur jembatan harus diperhitungkan
pada kondisi masa layan dan pada kondisi ultimate. Kombinasi
pembebanan dapat dilihat pada tabel2.30di bawah ini.
Tabel 2.30 Kombinasi pembebanan yang terjadi pada struktur slab on pile
Kondisi Keadaan Batas Kombinasi
Kuat I 1 MS + 1 MA + 1,8 TT/TD + 1,8 TB
Kuat II 1 MS + 1 MA + 1,4 TT/TD + 1,4 TB
Kuat III 1 MS + 1 MA
Kuat IV 1 MS + 1 MA
Kuat V 1 MS + 1 MA
Daya Layan I 1 MS + 1 MA + 1 TT/TD + 1 TB
Daya Layan II 1 MS + 1 MA + 1,3 TT/TD + 1,3 TB
Masa Daya Layan III 1 MS + 1 MA + 0,8 TT/TD + 0,8 TB
Layan
Daya Layan IV 1 MS + 1 MA
Fatik (TD dan
0,75 TT/TD + 0,75 TB
TR)
Ekstrem II 1 MS +1 MA + 0,5 TT/TD + 0,5 TB
1 MS +1 MA + 0,3TT/TD + 0,3 TB + 0.3
EQx + 0,7 EQy
Ekstrem I
1 MS + 1 MA + 0,3TT/TD + 0,3 TB + 0.7
EQx + 0,3 EQy
Kuat I 1,3 MS + 2 MA + 1,8 TT/TD + 1,8 TB
Kuat II 1,3 MS + 2 MA + 1,4 TT/TD + 1,4 TB
Kuat III 1,3 MS + 2 MA
Kuat IV 1,3 MS + 2 MA
Kuat V 1,3 MS + 2 MA
Daya Layan I 1 MS + 1 MA + 1 TT/TD + 1 TB
Daya Layan II 1 MS + 1 MA + 1,3 TT/TD + 1,3 TB
Ultimate Daya Layan III 1 MS + 1 MA + 0,8 TT/TD + 0,8 TB
Daya Layan IV 1 MS + 1 MA
Fatik (TD dan
0,75 TT/TD + 0,75 TB
TR)
Ekstrem II 1,3 MS + 2 MA + 0,5 TT/TD + 0,5 TB
1,3 MS + 2 MA + 0,3TT/TD + 0,3 TB + 0.3
EQx + 0,7 EQy
Ekstrem I
1,3 MS + 2 MA + 0,3TT/TD + 0,3 TB + 0.7
EQx + 0,3 EQy

48 | P a g e
2.6 Pemodalan Tumpuan Pondasi Tiang Pancang
Untuk keperluan analisis struktur, digunakan model tumpuan pegas
elastis, yang merepresentasikan daya dukung pondasi tiang pancang.
Besarnya reaksi yang dapat didukung oleh tanah yang dimodelkan sebagai
tumpuan pegas elastis, tergantung dari besarnya gaya pegas dari tumpuan
yang bersangkutan. Untuk tanah yang dimodelkan sebagai tumpuan elastis,
kemampuan untuk mendukung beban tergantung dari besarnya modulus of
subgrade reaction (ks)dari tanah.
Besarnya ks berlainan untuk setiap jenis tanah. Besarnya modulus of
subgrade reaction kearah vertikal (ksv) dapat ditentukan dari besarnya daya
dukung tanah yang diijinkan (qa), yaitu :
ksv = 40.(SF).qa(kN/m3)
dimana SF adalah angka keamanan (safety factor), dan qadalam satuan kPa
(kN/m2).Untuk besarnya modulus of subgrade reaction arah horizontal besarnya
dua kali nilai ksv.
Menurut Meyerhof (1965), hubungan antara daya dukung tanah yang
diijinkan (qa) dengan nilai N-SPT, dapat dinyatakan dengan persamaan :
qa = (N/8) (kg/cm2 )
qa dalam satuan kg/cm2.
Untuk mencari konstanta pegas arah vertikal dan horizontal menggunakan
rumus :
a. Ksh = Ah x ksh
b. Ksv1 = Ah1 x 0,2 x ksv
c. Ksv2 = Ap x ksv
Keterangan :
Ah = luas bidang kontak antara tanah dengan tiang pancang = (0,7 x D) x L
Ap = Luas penampang ujung pipa
Ah1 = Luas selimut antara tanah dengan tiang pancang
ksv = modulus subgrade reaction arah vertikal
ksh = modulus subgrade reaction arah horizontal
Ksv = konstanta pegas arah vertikal
Ksh = konstanta pegas arah horizontal

49 | P a g e
2.7 Pengecekan Kekuatan Struktur
Kekakuan struktur slab on pile diperiksa dengan menghitung besarnya
simpangan ke arah horizontal dari struktur akibat kombinasi pembebanan
yang ditinjau di dalam analisis. Simpangan yang terjadi antara permukaan
tanah dengan pelat/slab dihitung berdasarkan SNI 1726 – 2012 dengan rumus
sebagai berikut :
∆ = (δa - δb)
Besarnya nilai simpangan yang terjadi tidak boleh melebihi simpangan ijin,
dimana simpangan ijin dipengaruhi oleh tingkat risiko dan jenis struktur
seperti tabel di bawah ini yang mengacu pada Tabel 16 - SNI 1726 – 2012 :
Tabel 2.31 Simpangan Ijin

Untu mencari simpangan yang diperbesar digunakan rumus sebagai berikut


∆ = (δa - δb).Cd/Ie
Keterangan :
Cd = faktor amplifikasi defleksi
Δ = defleksi yang terjadi
Ie = faktor keutamaan gempa

2.8 Perencanaan Struktur Atas Jembatan


2.8.1 Perencanaan Elemen Pelat
2.8.1.1 Dasar Perencanaan
Elemen pelat direncanakan menggunakan jenis pelat beton
bertulang dengan sistem penulangan konvensional. Pelat beton bertulang
ini direncanakan untuk menahan negatif pada daerah tumpuan pelat dan
momen positif pada daerah lapangan pada kondisi layan dan kondisi
ultimite. Desain yang dipakai adalah desain yang mampu menahan

50 | P a g e
kombinasi beban yang bekerja dalam semua kondisi tersebut. Tahap –
tahap perencanaan pelat beton bertulang adalah sebagai berikut :
a. Menentukan syarat – syarat batas bentang dan pelat lantai
b. Menentukan tebal pelat
c. Menghitung beban pada pelat
d. Menentukan nilai momen.
e. Menghitung tulangan dan jarak antar tulangan pelat.

2.8.1.2 Penentuan Syarat-syarat Batas dan Bentang Pelat


Pada perencanaan pelat beton bertulang terdapat dua macam
sistem penulangannya yaitu perencanaan pelat dengan tulangan pokok
satu arah (one way slab) dan dua arah (two way slab). Untuk mengetahui
apakah pelat termasuk dalam salah satu kondisi tersebut dapat ditentukan
dengan perbandingan antara bentang panjang dengan bentang pendek
pada pelat
ly
β=
lx
Dimana :
ly = bentang panjang
lx = bentang pendek
β > 3 = one way slab
β ≤ 3 = two way slab.

2.8.1.3 Penentuan Tebal Pelat


Berdasarkan peraturan SNI 03-2847-2013 Pasal 13.6.1.6 rasio
kekakuan lentur balok terhadap pelat lantai ditentukan dengan langkah
sebagai berikut:
E cb I b
αm 
E cp I p

Berdasarkan peraturan SNI 2847-2013 Pasal 9.5.3.3, untuk pelat


dengan balok yang membentang di antara tumpuan pada semua sisinya,
tebal minimumnya h, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. Untuk αm yang sama atau lebih kecil dari 0.2, harus menggunakan
Pasal 9.5.3.2;

51 | P a g e
Pasal 9.5.3.2, Untuk pelat tanpa balok interior yang membentang di
antara tumpuan dan mempunyai rasio bentang panjang terhadap
bentang pendek yang tidak lebih dari 2, tebal minimumnya harus
memenuhi ketentuan Tabel 2.32 dan tidak boleh kurang dari nilai
berikut:
1) Tanpa panel drop (drop panels) seperti yang didefinisikan dalam
Pasal 13.2.5 ……. 125 mm
2) Dengan panel drop (drop panels) seperti yang didefinisikan dalam
Pasal 13.2.5 ……100 mm
Tabel 2.32 Tebal minimum pelat tanpa balok interior

Tanpa penebalan2 Dengan penebalan2


Tegang Panel
Panel
an Panel eksterior Panel eksterior interio
interior
leleh, r
𝒇𝒚 Tanpa Dengan Tanpa Dengan
MPa1 balok balok balok balok
pinggir pinggir3 pinggir pinggir3
280 𝑙𝑛/33 𝑙𝑛/36 𝑙𝑛/36 𝑙𝑛/36 𝑙𝑛/40 𝑙𝑛/40
420 𝑙𝑛/30 𝑙𝑛/33 𝑙𝑛/33 𝑙𝑛/33 𝑙𝑛/39 𝑙𝑛/36
520 𝑙𝑛/28 𝑙𝑛/31 𝑙𝑛/31 𝑙𝑛/31 𝑙𝑛/34 𝑙𝑛/34

Untuk konstruksi dua arah, 𝑙𝑛 adalah panjang bentang bersih dalam arah
panjang, diukur muka ke muka tumpuan pada pelat tanpa balok dan
muka ke muka balok atau tumpuan lainnya pada kasus yang lain.
1
Untuk 𝑓𝑦 antara nilai yang diberikan dalam tabel, tebal minimum harus
ditentukan dengan interpolasi linier.
2
Panel drop didefinisikan dalam Pasal 13.2.5
3
Pelat dengan balok didalam kolom-kolomnya di sepanjang tepi eksterior.
Nilai 𝛼𝑓 untuk balok tepi tidak boleh kurang dari 0,8.

b. αm lebih besar dari 0,2 tapi tidak lebih dari 2,0 , h tidak boleh kurang
dari ;
𝑓𝑦
𝑙𝑛(0,8+ )
1400
h=
36+5𝛽(𝛼𝑚 −0,2)

dan tidak boleh kurang dari 125 mm;

52 | P a g e
c. Untuk αm lebih besar dari 2,0 , ketebalan pelat minimum tidak boleh
kurang dari ;
𝑓𝑦
𝑙𝑛(0,8+ )
1400
h=
36+9𝛽

dan tidak boleh kurang dari 90 mm;


d. Pada tepi yang tidak menerus, balok tepi harus mempunyai rasio
kekakuan αftidak kurang dari 0,8 atau sebagai alternatif ketebalan
minimum yang ditentukan persamaan pada point (b) dan (c) harus
dinaikan paling tidak 10 persen pada panel dengan tepi yang tidak
menerus.
Bagian ln dalam (b) dan (c) adalah panjang bentang bersih dalam
arah panjang diukur muka ke muka balok. Bagian β dalam (b) dan (c)
adalah rasio bentang bersih dalam arah panjang terhadap pendek pelat.

2.8.1.4 Menentukan Nilai Momen


Nilai momen diperoleh dari hasil analisis struktur menggunakan
software SAP2000. Momen yang dihasilkan oleh SAP2000 nantinya
digunakan sebagai checking apakah struktur kuat menahan beban atau
tidak.

2.8.1.5 Menghitung Pembebanan Pada Pelat


a. Beban Mati ( DL ) pada pelat antara lain :
1) Beban Sendiri Pelat
2) Beban lapisan aspal
b. Beban Hidup/Sementara (L)
1) Beban Truk T (TT)
Beban T mempresentasikan beban kendaraan semi-trailer
yang melewati struktur slab on pile yang mana memiliki susunan
dan berat sesuai dengan gambar di bawah ini, berat dari tiap gandar
di distribusikan menjadi 2 beban merata yang sama besar dan
merupakan kontak antara roda dengan permukaan lantai. Pada
setiap jalur hanya disyaratkan diberi satu beban Truk T.

53 | P a g e
Gambar 2.14 Model beban kendaraan truk pada jembatan (Beban
Truk T)
Pemodelan beban truk (TT) sebesar 25 kN pada roda depan
sedangkan untuk roda tengah dan belakang pembebanan sebesar
112,5 kN pada tiap roda. Beban truk dimodelkan sebagai beban
bergerak dengan cara meletakkan tiga konfigurasi beban truk di
titik-titik kritis portal jembatan.

2.8.1.6 Menghitung Tulangan dan Jarak Tulangan


Menghitung tulangan pada pelat :
a. Menentukan tebal selimut pelat
Berdasarkan SNI 03-2847-2013 Pasal 9.7.1 tebal selimut ditentukan
sebagai berikut :
1) untuk diameter tulangan ≤ 36 mm tebal selimut adalah min 20
mm dan jika D> 36 mm tebal selimut adalah min 40 mm
2) pelat lantai menggunakan tulangan dengan diameter 16 mm
maka tebal selimut (p) adalah 20 mm
b. Menghitung tinggi efektif pelat lantai
Berdasarkan SNI 2847-2013 Pasal 7.5.2.1 tinggi efektif dan
tebal selimut ditentukan sebagai berikut:

54 | P a g e
Toleransi untuk ddan untuk selimut beton minimum pada
komponen struktur lentur, dinding, dan komponen struktur tekan
terdapat pada tabel 2.33
Tabel 2.33 Toleransi untuk nilai d
Toleransi untuk
Toleransi untuk
selimut beton yang
d
disyaratkan
d ≤ 200 mm 10 mm 10 mm
d > 200 mm 13 mm 13 mm
Kecuali bahwa ketentuan toleransi untuk jarak bersih ke sisi
bawah (soffits) harus minus 6 mm. Sebagai tambahan, toleransi
untuk selimut tidak boleh melampaui minus 1/3 selimut beton yang
disyaratkan dalam kontrak.

Gambar 2.15 Tinggi efektif pada pelat


c. Perhitungan pelat
Menghitung rasio tulangan terhadap momen lapangan arah-x :
 Mu    fy  
    . . . f .
y  1  0,588    
bd 2 
 x    f ' c 
dimana nilai β untuk f’c < 30 MPa, β = 0,85
Checking rasio tulangan terhadap rasio tulangan maksimum dan
rasio tulangan minimum
1,4
 min 
fy

diambil nilai terkecil dari kedua persamaan di atas

 0,85. . f ' c 600 


 max  0,75 
 fy 600  fy 

55 | P a g e
Menghitung besarnya jarak spasi
 0,25  π  Dtulangan2  b 
s   
 A s 
Syarat jarak antar tulangan adalah:
a) s ≤ 2 x h
b) s ≤ 250 mm.
2
 0,25  π  Dtulangan2  b 
As   
 s 
A
 s
b.d
  fy  
Mn..   . .b.d x f y .1  0,588    
2

  f ' c 

2.8.1.7 Menghitung Kuat Geser Pons

Gambar 2.16 Keruntuhan geser-pons.

Gambar 2.17 Tegangan geser pada bidang vertikal dan tegangan tarik diagonal

56 | P a g e
Gambar 2.18 Penampang kritis geser pons dari beberapa bentuk penampang
kolom.

Gambar 2.19 Penampang kritis dan tegangan geser yang terjadi pada keruntuhan
geser-pons untuk penampang segi-empat

Besarnya kapasitas geser beton pada keruntuhan geser-pons, ditentukan


dari nilai terkecil dari persamaan :
as d √fc′bo d
Vc = ( + 2)
bo 12
2
Vc = (1 + ) √fc ′ bo d
βc
1
Vc = √fc ′ bo d
3
dimana :
d = tinggi efektif pelat lantai
b0 = keliling dari penampang kritis
βc = rasio dari sisi panjang terhadap sisi pendek dari kolom

57 | P a g e
untuk βc< 2, untuk kolom dalam
as = 40 untuk kolom dalam, 30 untuk kolom pinggir dan 20 untuk
kolom sudut, dimana kata-kata dalam, pinggir dan sudut
berhubungan dengan sisi dari penampang kritis

2.8.2 Perencanaan Balok


Elemen balok direncanakan menggunakan sistem beton bertulang
konvensional cor di tempat/ Perhitungan elemen balok ini didasarkan dari
kekuatan balok dalam menahan beban ultimate yang terjadi pada jembatan.
Langkah-langkah perencanaan penulangan balok berdasarkan buku dasar-
dasar Perencanaan Beton Bertulang adalah :

2.8.2.1 Perencanaan Tulangan Lentur

Gambar 2.20 Diagram tegangan dan regangan dalam kondisi seimbang

Berdasarkan gambar 2.3 didapat :


Cc = 0,85 . fc’. a . b
Ts = As. Fy
Dengan keseimbangan ẕH = 0
Cc = Ts
Sehingga,
α = β . c Mpa dan As = ρ.b.d
Besarnya nilai β untuk mutu beton :
f’c ≤ 28 Mpa, β = 0,85
f’c > 28 Mpa, β = 0,85 - (fc’-28)/7 x 0,05
Besarnya momen yang dapat dipikul oleh penampang adalah :

58 | P a g e
Mu = Cc . (d-1/2a) atau Ts (d-1/2a)
Mu = As.fy.(d-0,5.0,81.c)
Mu = As.fy.(d-0,405c)
Apabila momen yang bekerja dan luas penampang beton telah
diketahui, maka besarnya rasio tulangan ρ dapat diketahui untuk mencari
besarnya kebutuhan luas tulangan.
Pengecekan persentase tulangan balance, maksimum dan minimum :

ρb =

ρmax = ρb

ρmin =

PerhitunganTulangan Ganda
Apabila ρ > ρmax maka terdapat dua alternatif :
a. Sesuaikanlah ukuran penampang balok
b. Bila tidak memungkinkan, maka dipasang tulangan rangkap
Dalam menghitung tulangan rangkap, total momen lentur yang dilawan
akan dipisahkan dalam dua bagian : Mu1 + Mu2
Dengan :
Mu1 = momen lentur yang dapat dilawan oleh ρmax dan berkaitan
dengan lengan momen dalam z. jumlah tulangan tarik yang
sesuai adalah As1 = ρmax .b . d
Mu2 = momen sisa yang pada dasarnya harus ditahan baik oleh tulangan
tarik maupun tekan yang sama banyaknya. Lengan momen
dalam yang berhubungan dengan ini sama dengan (d-d’)

As’

As

59 | P a g e
Jumlah tulangan tarik tambahan As2 sama dengan jumlah tulangan tekan
As’, yaitu :

As2 = As’ =

2.8.2.2 Perencanaan Geser dan Torsi


Berdasarkan SNI 7833:2012 ditentukan besarnya kekuatan gaya nominal
geser sambungan beton adalah :

Vc = 1/6 . . b. d

Tulangan geser dibutuhkan apabila Vu > ϕ.Vc, apabila nilai Vu < ϕ.Vc
maka tulangan geser tetap diperlukan dan dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :

Av min = 1/3 .

Tulangan untuk menahan puntiran/torsi dapat dihitung menggunakan


rumus :

Tc = φ . .

Tulangan torsi dibutuhkan apabila Tu > ϕ Tc, apabila nilai Tu < ϕ .Tc,
maka tulangan torsi tidak perlu digunakan.

2.9 Perencanaan Struktur Bawah Jembatan


Struktur Jembatan slab on pile pada Proyek Jalan Tol Balikpapan
Samarinda (Km. 13 Balikpapan – Km. 38 Sombaja) segmen 1 terdiri dari
pelat-pelat yang menumpu pada balok. Balok ditumpu oleh tiang-tiang
pancang prategang yang ditanam sampai kedalaman mencapai tanah keras.
Tiang pancang pada struktur jembatan slab on pile in berfungsi sebagai
kolom sekaligus pondasi jembatan.

2.9.1 Daya Dukung Tanah


Kapasitas/daya dukung tanah (bearing capacity) adalah kekuatan
tanah untuk menahan suatu beban yang bekerja padanya yang biasanya

60 | P a g e
disalurkan melalui pondasi. Kapasitas/daya dukung tanah batas (qu = qult
= ultimate bearing capacity) adalah tekanan maksimum yang dapat
diterima oleh tanah akibat beban yang bekerja tanpa menimbulkan
kelongsoran geser pada tanah pendukung tepat di bawah dan sekeliling
pondasi.

2.9.2 Pondasi Tiang Pancang


Pondasi tiang pancang adalah pondasi yang digunakan untuk
menerima dan mentransfer beban dari struktur atas ke tanah penunjang
yang terletak pada kedalaman tertentu. Tiang pancang yang memiliki
bentuk panjang dan langsing dapat menyalurkan beban tanah yang lebih
dalam. Pondasi tiang pancang termasuk jenis pondasi displacement,
yaitupondasi yang pemasangannya dengan cara mendesak tanah. Suatu
pondasi harus diletakkan pada kedalaman yang cukup untuk
menanggulangi erosi permukaan, gerusan, kembang susut, dan gangguan
tanah di sekitar pondasi. Pondasi tiang pancang, daya dukungnya
mengandalkan kekuatan tanah ujung pondasi (base bearing) dan/atau
lekatan tanah (friction) saja untuk pertimbangan ekonomis jika bed rock
sangat dalam.
Analisa kapasitas daya dukung dilakukan dengan cara pendekatan
untuk memudahkan hitungan. Standardisasi perhitungan daya dukung
pondasi belum terdapat di Indonesia, sehingga dalam perencanaan pondasi
pada proyek jembatan yang menghubungkan antara Balikpapan dan
Samarinda menggunakan rumus-rumus hasil analisa pakar geoteknik.

2.9.2.1 Daya Dukung Tiang Tunggal Reese dan O’Neill


Menurut pendekatan yang dilakukan dengan metode dan rumus
dari O’Neill dan Reese (1999) untuk tanah kohesif dan untuk tanah non-
kohesif mengacu pada rumus yang diberikan oleh Reese & Wright
(1977) untuk perhitungan daya dukung selimut tiang (friksi) serta Reese
dan O’Neill (1988) untuk perhitungan daya dukung ujung tiang. Adapun
perhitungan daya dukung pondasi yaitu :
a. Tanah Kohesif ( lempung dan lanau )
1) Daya dukung tiang (bearing)

61 | P a g e
Qp = 9 x α x Su x Area ujung tiang
Dalam hal ini nilai Su ( Undrained Shear Strength) yang
akan digunakan adalah korelasi dengan nilai N-SPT mengacu
pada Sower (1979) sebagai berikut :
Tanah CH : 12,5 x N-SPT
Tanah CL,MH : 7,5 x N-SPT
Tanah ML : 3,0 x N-SPT
Dimana :
CH = Lempung plastisitas tinggi, contoh : lempung kelanauan
CL = Lempung plastisitas rendah
MH = Lanau plastisitas tinggi, contoh : lanau berpasir
ML = Lanau plastisitas rendah, contoh : lanau
2) Daya dukung selimut tiang (friksi)
Qs = α x Su x Keliling x ketebalan lapisan tanah (△L)
Nilai α (faktor adhesi tanah) mengacu pada tabel 2.22
Tabel 2.34 Nilai adhesi tanah (α)
Undrained Shear Strength (Su) Value of α
< 2 tsf 0,55
2 – 3 tsf 0,49
3 – 4 tsf 0,42
4 – 5 tsf 0,38
5 – 6 tsf 0,35
6 – 7 tsf 0,33
7 – 8 tsf 0,32
8 – 9 tsf 0,31
> 9 tsf rock
1 tsf = 95,76952 kN/m2
b. Tanah Non – Kohesif ( tanah berpasir )
1) Daya dukung ujung tiang
Qp = 57.5 * N-SPT*Area ujung tiang
2) Daya dukung selimut tiang
Qs = 2 * N-SPT * keliling tiang * ketebalan lapisan tanah
c. Daya dukung tiang yang diijinkan
Total daya dukung ultimit didapatkan dari penjumlahan daya dukung
ujung tiang dan selimut tiang :

62 | P a g e
Qu = Qp + Qs
Sedangkan daya dukung tiang tunggal yang diijinkan adalah :
Qall= Qu / SF, dengan nilai SF = 2,5

2.9.2.2 Daya Dukung Tiang Tunggal Meyerhoff (1956)


Penentuan daya dukung pondasi tiang menggunakan data SPT
dengan metode Meyerhoff (1956) menganjurkan formula daya dukung
untuk tiang pancang dengan persamaan sebagai berikut :
Qult = 40 Nb . Ap+ 0.2 Ns . As
dimana :
Qult = daya dukung ultimit pondasi tiang pancang (ton)
Nb = harga N-SPT pada elevasi dasar tiang
Ap = luas penampang dasar tiang (m2)
As = luas selimut tiang (m2)
Ns = harga N-SPT rata rata

2.9.2.3 Daya Dukung Tiang Tunggal Schmertmann-Nottingham (1975)


Metode yang diberikan oleh Schmertmenn dan Nottingham (1975)
ini hanya berlaku untuk tiang pancang. Schmertmenn dan Nottingham
menganjurkan perhitungan daya dukung ujung pondasi tiang mengikuti
cara Begeman, yaitu dengan meninjau perlawanan ujung sondir hingga
jarak 8.D di atas ujung tiang dan dari 0,7.D hingga 4.D di bawah ujung
tiang, dengan D adalah diameter atau sisi tiang.
Persamaan daya dukung tiang tunggal menurut Schmertmann-
Nottingham adalah sebagai berikut :
a. Daya Dukung Ujung
 qc  qc1 
Qp   1  • Ap
 2 
Dimana :
Qp = daya dukung ujung tiang pancang
qc1= Nilai qc rata-rata pada 0,7.D hingga 4.D di bawah ujung tiang
qc2 = Nilai qc rata-rata dari ujung tiang hingga 8.D di atas ujung
tiang
Ap = luas penampang tiang

63 | P a g e
b. Daya Dukung Friksi
8. D L
z
Qs = Ks,c .
z 0 8.D
. f s . As   . f s . As
z 8. D

Qs = daya dukung selimut tiang pancang (kg)


fs = faktor gesekan selimut (kg/cm2)
As = luas selimut tiang pancang
D = diameter tiang pancang
Ks,c = faktor reduksi gesekan selimut
Pada gambar 2.5 menunjukkan faktor koreksi gesekan selimut
tiang pada sondir mekanis. Ks digunakan untuk tanah pasiran
sedangkan Kc digunakan untuk tanah lempung.

Gambar 2.21Korelasi faktor reduksi gesekan selimut tiang pancang


(Nottingham, 1975)
Schmertmann menggunakan korelasi N-SPT dengan tahanan
ujung sondir qc untuk menentukan daya dukung gesekan dan daya
dukung ujung pondasi tiang. Nilai korelasi N-SPT dengan tahanan
ujung qc ditampilkan pada tabel 2.35 Tabel ini berlaku untuk pondasi
tiang pancang dengan penampang tetap.

64 | P a g e
Tabel 2.35 Korelasi nilai N-SPT dengan nilai qc
Subsurf Cone Young's
Penetration Friction Poisson Relative
ace Penetrat Modulus
Resistance Angle Ratio Density
Conditio ion Range
Range (N) (dcg) (v) Dr (%)
n qc = 4N Es* (psi)
Very
0-4 28 0,45 0 - 16 0 - 15 0 - 440
loose
Loose 4 - 10 28 - 30 0,40 15 - 35 15 - 35 440 - 1100
1100 -
Medium 10 - 30 30 - 36 0,35 35 - 65 35 - 65
3300
3300 -
Dense 30 - 50 36 - 41 0,35 65 - 85 65 - 85
5500
Very 5500 -
50 - 100 41 - 45 0,20 85 - 100 85 - 100
Dense 11000
Schmertman (1970) Es* = 2qc.psf G** = Es/2(1+v); v = 0,5

2.9.2.4 Kapasitas Daya Dukung Pondasi Tiang Kelompok


Analisa daya dukung pondasi tiang kelompok perlu untuk dikalikan
dengan faktor efisiensi (Eg). Banyak formula efisiensi tiang, akan tetapi
yang umum dipakai dalam desain adalah menggunakan persamaan
Converse – Labarre :
(n−1)m+(m−1)n
Eg =1− θ 90mn

Dimana :
Eg = Efisiensi kelompok tiang pancang
n = Jumlah baris tiang dalam kelompok
m = Jumlah kolom tiang dalam kelompok
D = Diameter tiang (m)
S = Jarak antar tiang pancang
θ = Tan-1 D/S (dalam derajat)
Untuk lebih jelasnya keterangan dalam rumus persamaan Converse –
Labarre dapat dilihat dalam Gambar 2.22

65 | P a g e
Gambar 2.22 Nilai – Nilai dalam Persamaan Efisiensi Group Pile

2.9.2.5 Kontrol Gaya Lateral (Metode Broms)

Gambar 2.23 Grafik Broms Ultimate Lateral Resistance (Das, 2004)


pada tiang pancang
𝑀𝑢
Dari nilai yang diperoleh, dimasukkan ke dalam grafik broms pada
𝐶𝑢 𝑏^2
Gambar 2.20 diatas, dengan cara menarik garis tegak lurus, sehingga
𝑄𝑢
didapatkan nilai dan dapat dicari nilai Qu
𝐶𝑢 𝑏^2

2.9.2.6 Kontrol Terhadap Penurunan Tiang pancang


S =S1+S2 +S3
Dimana:
S = penurunan total
S1 = penurunan batang tiang pancang
S2 = penurunan tiang akibat beban di ujung tiang pancang

66 | P a g e
S3 = penurunan tiang pancang akibat beban yang tersalurkan sepanjang
tiang pancang
a) Menentukan S1

Dimana :
Ԛwp = beban yang dipikul ujung tiang akibat beban kerja
Ԛws = beban yang dipikul selimut tiang akibat beban kerja
L = panjang tiang
Ap = luas penampang tiang
Ep = modulus elastisitas tiang

Gambar 2.24 Distribusi tahanan tiang

b) Menentukan S2 dengan cara Vesic (1977) semi-empiris

Dimana :
Cp = koefisien empiris, nilai Cp didapat dari tabel 2.36
qp = tahanan ujung batas tiang

Tabel 2.36 Nilai Cp ( Vesic, 1977)


Tiang
Jenis Tanah Tiang Bor
Pancang
Pasir (padat-lepas) 0,02 - 0,04 0,09 - 0,18
Lempung (kaku-lunak) 0,02 - 0,03 0,03 - 0,06
Lanau (padat-lepas) 0,03 - 0,05 0,09 - 0,12
Sedangkan nilai qp dicari dengan rumus berikut :
Ԛwp
qp =
Ap

67 | P a g e
c) Menentukan S3

Dimana nilai Cs dicari dengan rumus berikut :


L
Cs = (0,93 + 0,16√D) x 𝐶𝑝

2.9.3 Pangkal / Abutment


Abutment menyalurkan gaya vertikal dan horisontal dari bangunan
atas ke pondasi dengan fungsi tambahan untuk mengadakan peralihan
tumpuan dari timbunan jalan pendekat ke bangunan atas jembatan. Terdapat
tiga jenis pangkal / abutment pada struktur jembatan, di antaranya :
a. Pangkal tembok penahan
Dinamakan demikian karena timbunan jalan tertahan dalam batas-batas
pangkal dengan tembok penahan yang didukung oleh pondasi.
b. Pangkal kolom “Spill-Through”
Dinamakan demikian karena timbunan diijinkan berada dan melalui portal
pangkal yang sepenuhnya tertanam dalam timbunan. Portal terdiri dari balok
kepala dan tembok kepala yang didukung oleh rangkaian kolom-kolom pada
pondasi atau secara sederhana terdiri dari balok kepala yang didukung
langsung oleh tiang-tiang.
c. Pangkal tanah bertulang.
Ini adalah sistem paten yang memperkuat timbunan agar menjadi bagian
pangkal.
Untuk lebih jelasnya, jenis pangkal/ Abutment dapat dilihat di bawah ini :

68 | P a g e
Tabel 2.37 Jenis Pangkal Tipikal

Sumber : Bridge Manual Design BMS 1992

Dalam hal ini perhitungan Abutment meliputi :


1. Menentukan bentuk dan dimensi rencana penampang abutment serta
mutu beton serta tulangan yang diperlukan.
2. Menentukan pembebanan yang terjadi pada abutment :
- Beban mati berupa rangka baja, lantai jembatan, trotoar, perkerasan
jembatan (pavement), sandaran, dan air hujan.
- Beban hidup berupa beban merata dan garis serta beban di trotoar.
- Beban sekunder berupa beban gempa, tekanan tanah aktif, rem dan
traksi, koefisien kejut, beban angin dan beban akibat aliran dan
tumbukan benda – benda hanyutan.
3. Menghitung momen, gaya normal dan gaya geser yang terjadi akibat
kombinasi dari beban – beban yang bekerja.
4. Mencari dimensi tulangan dan cek apakah abutment cukup memadai
untuk menahan gaya – gaya tersebut.
5. Tinjauan terhadap sliding dan bidang runtuh tanah.
6. Tinjauan terhadap settlement ( penurunan tanah ).

69 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai