STUDI PUSTAKA
5|Page
b. Jalan Kolektor: Jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi
dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan
jumlah jalan masuk dibatasi,
c. Jalan Lokal: Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan
masuk tidak dibatasi.
Klasifikasi jalan berdasarkan kelas jalan dapat dilihat pada buku
Tata Cara Perencanaan Jalan Antar Kota halaman 4 Tabel 11.1.2
Klasifikasi Menurut Kelas Jalan.
Klasifikasi jalan berdasarkan medan jalan dapat dilihat pada buku
Tata Cara Perencanaan Jalan Antar Kota halaman 5 Tabel 11.2 Klasifikasi
Menurut Medan Jalan.
Tata cara menentukan lebar lajur lalu lintas jalan menurut golongan
kelas jalan dapat dilihat pada buku Tata Cara Perencanaan Geometrik
Jalan Antar Kota halaman 17 tabel 11.8 Lebar Lajur Jalan Ideal.
6|Page
ini diperhitungkan dengan mengekuivalenkan terhadap keadaan standar,
yang dikelompokkan terhadap setiap jenis/tipe kendaraan menjadi satuan
mobil penumpang (smp). Angka ekuivalensi mobil penumpang ditentukan
dalam buku Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997 (MKJI 1997). Struktur
jembatan slab on pile pada proyek jembatan yang menghubungkan
Balikpapan-Samarinda ini terletak pada ruas jalan bebas hambatan, maka
ketentuan yang digunakan adalah ketentuan yang terdapat dalam MKJI
1997 BAB 7 tentang jalan bebas hambatan halaman 7-33 pada tabel A-3:1,
A-3:2, dan A-3:3.
Angka LHR masing-masing golongan kendaraan yang sudah
dikonversi kedalam satuan smp bis digunakan untuk kemudian
dijumlahkan bersama jenis kendaraan lainnya. Hasil penjumlahan antar
kendaraan tersebut kemudian dikalikan dengan faktor k seperti tercantum
dalam MKJI 1997 BAB 7 hal 7-57 tentang tata cara perencanaan jalan
bebas hambatan.
QDH
k=
LHRT
Dimana :
QDH = arus jam puncak
LHRT = lalu lintas harian rata-rata
k = faktor-k LHRT
Dimana :
LHRn = LHR akhir umur rencana
LHR0 = LHR awal tahun rencana
i = faktor pertumbuhan (%)
n = umur rencana (tahun)
7|Page
2.2.3 Kapasitas Jalan
Kapasitas didefinisikan sebagai arus maksimum yang dapat
dipertahankan persatuan jam yang melewati suatu titik jalan yang ada.
Kapasitas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp), dengan
persamaan dasar :
C = CO x FCW x FCSP x FCSF
Dimana :
C = kapasitas (smp/jam)
CO = kapasitas dasar (smp/jam)
FCW = faktor penyesuaian akibat lebar jalur lalu lintas
FCSP = faktor penyesuaian akibat pemisahan arah
FCSF = faktor penyesuaian akibat hambatan samping dan bahu jalan
8|Page
on pile pada Proyek Jalan Tol Balikpapan Samarinda (Km. 13 Balikpapan –
Km. 38 Sombaja) segmen 1 untuk menentukan jenis dan kedalaman pondasi
yang sesuai dengan keadaan tanah pada lokasi jembatan yang direncanakan.
Tinjauan aspek geoteknik pada perencanaan struktur Jembatan slab on pile
pada Proyek Jalan Tol Balikpapan Samarinda (Km. 13 Balikpapan – Km. 38
Sombaja) segmen 1 ini meliputi tinjauan terhadap data-data tanah yang ada
seperti nilai boring (Bor Log), nilai penetrasi (N-SPT), nilai kohesi, sudut
geser tanah , γ tanah, kadar air tanah, dan void ratio, pada beberapa titik soil
investigation di daerah perencanaan jembatan. Data-data tersebut diperoleh
dengan cara melakukan penyelidikan tanah di lapangan dan di laboratorium.
Beberapa jenis uji tanah di lapangan dan di laboratorium.
9|Page
dilakukan dengan memancangkan alat split spoon sampler, yaitu berupa
silinder baja dengan ujung-ujung yang terbuka. Split spoon
dipancangkan 45 cm kedalam tanah pada kedalaman tertentu dalam
tanah. Alat untuk memancang adalah suatu alu (hammer) berat 63,5
dengan tinggi jatuh 75 cm. Jumlah tumbukkan alu untuk setiap
penetrasi 15 cmk dicatat. Jumlah tumbukan untuk penetrasi 15 cm
kedua dan 15 cm ketiga disebut standar penelitian resistance N, yang
mana hal ini menggambarkan jumlah tumbukan per 30 cm penetrasi.
Umumnya SPT dalam suatu lubang bor dilakukan interval 1,5 m
sampai 2 m. Korelasi antara relative density tanah berbutir dan SPT
disajikan oleh Terzaghi & Peck pada tabel 2.1 dibawah ini :
Tabel 2.1 Korelasi antara Relative Density Tanah berbutir dan SPT
Very
Compectness Very Loose Loose Medium Dense
Dense
Relative
0-15% 15-35% 35-65% 65-85% >85%
Density (Dr)
SPT, Nilai N 0-4 4-10 10-30 30-50 >50
ɸ < 28o 28o-30o 30o-36o 36o-41o >42
Tabel dibawah ini memberikan korelasi antara relative density tanah
non kohesif dengan Nilai SPT N dan kondisi konsistensi tanah kohesive
dengan nilai SPT-N menurut Burt G. Look dalam buku Table
Geotechnical seperti pada tabel 2.2 hingga 2.3 .
Tabel 2.2 Clay Strength from SPT data (Look, 2007)
10 | P a g e
Tabel 2.3 Strength from SPT on clean medium size sands only (Look, 2007)
Tabel 2.4 Strength from corrected SPT on fine and coarse size sands (Look,
2007)
11 | P a g e
Tabel 2.6 Nilai n menurut Schmertman (1970)
n = qc/N
Tipe Tanah
(Nilai Rata-rata)
Silts, Sandy Silts and Slightly
2,0
Cohessive Silt - Sand mixtures
Clean, tine to medium Sands and
3,5
Slightly silty sand
Coarse sand and sand with little
5,5
gravel
Sandy Gravel and Gravel 9,0
b. Sondir
Uji ini dilakukan untuk mengetahui elevasi lapisan “keras” (Hard
Layer) dan homogenitas tanah dalam arah lateral. Hasil Cone
Penetration Test disajikan dalam bentuk diagram sondir yang mencatat
nilai tahanan konus dan friksi selubung, kemudian digunakan untuk
menghitung daya dukung pondasi yang diletakkan pada tanah tersebut.
Hasil Uji Sondir dapat dikorelasikan untuk mendapatkan kuat
geser tak terdrainase. Beberapa persamaan telah diajukan oleh berbagai
ahli geoteknik di dunia, seperti pada tabel 2.7.
Tabel 2.7 Beberapa Korelasi menentukan Cu dari CPT
Dari hasil uji CPT dapat ditentukan klasifikasi tanah apakah tanah
tersebut masuk ke dalam keluarga pasir atau lempung berdasarkan
grafik pada gambar 2.1 di bawah ini :
12 | P a g e
Gambar 2.1 CPT properties untuk klasifikasi tanah (Schmertmann, 1978)
Kuat geser tanah dapat ditentukan secara empiris dari hasil sondir
(CPT), dapat dilihat pada tabel 2.8 berikut :
13 | P a g e
udara, air dan massa padat) dinyatakan dengan 6 m. Dirumuskan
sebagai berikut :
γt
Gs =
γ0
W
Gs =
V×γ0
2. Bulk Density
Berat isi massa tanah dinyatakan dengan rasio berat massa tanah W
terhadap volume massa tanah V.
W
γ=
V
3. Void Ratio
Ruang pori dirumuskan sebagai perbandingan antara volume ruang
kosong pada massa tanah Vv terhadap volume padat Vs
Vv
e=
Vs
4. Kadar Air
Kadar air W dari suatu massa tanah dinyatakan sebagai rasio berat
air Ww, pada ruang pori terhadap berat padat massa tanah Ws yang
dirumuskan sebagai berikut :
Ww
w= ×100%
Ws
5. Sieve Analysis
Untuk mengetahui klasifikasi apakah termasuk Gravel, Sand, Silt
dan Clay maka test yang dilakukan adalah sieve analysis dan
Hydrometer. Berdasarkan kurva hasil test sieve analaysis dan
Hydrometer maka tanah dapat diklarifikasikan sebagai berikut :
a) Bergradasi buruk (gradasi seragam)
b) Bergradasi baik
c) Bergradasi terputus
Untuk menentukan apakah suatu material bergradasi baik atau buruk,
Allan Hazen memberikan rumusan sebagai berikut :
D 60
Cu =
D 40
14 | P a g e
dimana : Cu < 5 = tanah bergradasi seragam
5 < Cu < 15 = tanah bergradasi sedang
Cu > 15 = tanah bergradasi baik
Selain koefiesien keseragaman, suatu hasil analisis saringan juga
dibandingkan dengan koefisien gradasi.
D10 2
Cc =
D10 xD60
Dimana untuk kriteria well graded, Cc berinlai antara 1 < Cc < 3.
6. Hydrometer test
Hydrometer test dilakukan untuk mengetahui besarnya material
halus yang lolos saringan No. 200 Pengujian ini juga dimaksudkan
untuk mendapatkan jumlah fraksi lempung yang terkandung pada
suatu sampel tanah.
7. Atterberg Limit Test
Konsistensi adalah bentuk yang digunakan untuk menyatakan tingkat
kekakuan tanah kohesif. Konsistensi dari deposit tanah kohesif
natural didapatkan dari uji atterberg limit dan dinyatakan dari grafik
pada gambar 2.2 berikut :
15 | P a g e
Unconfined compression strength qu dinyatakan sebagai beban
berikut per satuan luas penampang contoh tanah bentuk silinder
(dengan rasio tinggi terhadap diameter) yang dikenakan tekanan
tanpa ad tekanan lateral. Kadar air tanah diasumsi tetap konstan
selama test yang umumnya hanya beberapa menit. Tabel 2.9 di
bawah menyatakan hubungan antara konsistensi dengan qu.
2. Consolidation Test
Konsolidasi adalah suatu proses pemampatan suatu massa tanah
dengan keluarnya air dalam pori tanah yang disebabkan adanya
tekanan atau beban luar. Secara umum test konsolidasi akan
memberikan besarnya σp (Tekanan Pra Konsolidasi), Cc
(Compression Index), Cv (Void Ratio), e0 (Coeficient Of
Consolidation).
3. Quick Direct Shear Test
Uji geser langsung umumnya dilakukan untuk tanah non kohesif
yaitu pasir seperti diketahui bahwa nilai lokasi dari tanah berbutir ini
adalah c = 0 dan 0. Dengan demikian hasil Direct Shear Test
hanya akan memberikan nilai , untuk setiap contoh tanah yang
diuji.
16 | P a g e
menentukan jenis pengujian yang tepat. Contohnya, untuk pengujian
gradasi butiran tanah pada lempung, lebih cocok digunakan uji
hydrometer. Sebaliknya, pada pasir lebih cocok jika diuji dengan analisis
saringan.
17 | P a g e
Tabel 2.10 Sistem Klasifikasi USCS (Das, 2013)
18 | P a g e
19 | P a g e
2.2.3.2 Sistem Klasifikasi AASHTO
Sistem klasifikasi ini dikembangkan pada tahun 1929 sebagai Public Road
Administration Classification System. Sistem ini sudah mengalami
beberapa perbaikan, versi yang saat ini berlaku adalah yang diajukan oleh
Committee on Classification of Materials for Subgrade and Granular Type
Road of the Highway Research Board dalam tahun 1945 (ASTM Standard
no. D-38282, AASHTO metode M145). Cara pengklasifikasian sistem
AASHTO berdasarkan kriteria berikut :
a. Analisis ukuran butiran.
b. Batas cair dan batas plastis dan Indeks Plastisitas (IP) yang dihitung.
c. Batas susut.
20 | P a g e
Sumber : Braja M. Das, Principal of Geotechnical Engginering
a
untuk A - 7 - 5, PI ≤ LL – 30
b
untuk A - 7 - 6, PI > LL – 30
2.2.4 Longsoran
Cruden (1991) mengusulkan definisi sederhana dari longsoran, yaitu
pergerakan massa batuan, debris, atau tanah menuruni suatu lereng
2.2.3.1 Klasifikasi longsoran berdasarkan tipe pergerakan :
a. Falls
Falls adalah tipe longsoran dimana material tertanggalkan (detached)
dan jatuh bebas atau menggelundung (rolling) dari sebuah lereng
21 | P a g e
terjal dimana kecepatan pergerakan tergolong cepat sampai dengan
sangat cepat.
b. Topples
Topples adalah gerakan longsor secara rotasional dengan sumbu
putaran dibawah titik berat massa tanah yang longsor. Toppling
disebabkan oleh faktor gravitasi, gaya dari samping longsoran, atau
adanya rembesan air pada celah-celah batuan
c. Slides ( Rotasional dan Translasional)
Slides adalah pergerakan tanah diatas sebuah garis gelincir yang
tercipta dari kegagalan geser tanah, secara rotasional atau
translational. Pergerakan longsor secara rotasional dapat terbagi
menjadi pergerakan sirkular dan non sirkular. Pergerakan sirkular
cenderung terjadi pada tanah homogen. Sementara pergerakan
translational terjadi bila perbedaan kekuatan geser antar lapisan tanah
cenderung sangat jauh atau mencolok.
d. Lateral Spread
Lateral Spread merupakan suatu bentuk longsoran (slide) secara
translasi, disebabkan oleh pergerakan tiba-tiba oleh retakan berisi
pasir atau lanau yang mengandung air, yang ditumpuk oleh lempung
atau urugan.
e. Flows
Flows adalah tipe longsoran dimana material yang terbawa
menyerupai benda cair kental, misalnya lumpur.
f. Composites (Kombinasi)
Longsoran dapat berupa gabungan dari dua atau banyak golongan
longsoran seperti telah disebutkan diatas.
Gaya Penahan
F=
Gaya Pendorong
22 | P a g e
Yang termasuk gaya penahan adalah kuat geser tanah dan gaya penahan
lain seperti dari struktur dinding atau angkur. Sedangkan gaya pendorong
ini adalah massa tanah longsor beserta beban tambahan, misalnya beban
hidup, beban lalu lintas, atau beban gempa. Perhitungan tersebut akan
menghasilkan Faktor Keamanan terhitung (Calculated Factor of Safety).
Desain stabilitas longsoran lebih berfokus pada mempertahankan
stabilitas daripada meminimalisasi deformasi lereng.
Dalam analisis stabilitas longsoran, diketahui bahwa angka Faktor
Keamanan pada longsoran yang tepat hampir gagal adalah 1.00 , dimana
bentuk bidang gelincir bisa saja susah diukur, pengetahuan tentang faktor
lain yang terlibat dalam stabilitas longsoran dapat membantu praktisi
rekayasa geoteknik untuk memperkirakan kuat geser pada bidang
gelincir. Perhitungan ini disebut analisis balik, dan lebih membantu
daripada bila menggunakan informasi terbatas pada analisis stabilitas
lereng konvensional.
Bila terdapat kesalahan pada asumsi kuat geser dan parameter air
tanah pada analisis balik, kesalahan itu akan terbawa juga pada
perhitungan penanganan. Namun karena sifat kedua perhitungan tersebut
komparatif (sebagai “sebelum” dan “sesudah”), hampir pasti stabilitas
longsoran akan membaik. Faktor keamanan terhitung harus dapat
menutupi kesalahan-kesalahan asumsi dalam perhitungan. Kebanyakan
kesalahan terjadi karena (i) keadaan lapangan berbeda dengan keadaan
hasil pengukuran/asumsi, (ii) analisis matematika berbeda dengan
perilaku tanah. Besarnya kesalahan yang ada dapat dipengaruhi oleh
ukuran longsoran dan jumlah data yang telah dikumpulkan.
Longsoran yang berukuran besar dapat dimodelkan dengan lebih
mudah dibandingkan dengan longsoran ukuran kecil. Pada longsoran
berukuran besar, kuat geser tanah secara keseluruhan dapat diperkirakan
dengan lebih mudah menggunakan analisis balik, dengan geometri
longsoran dapat ditentukan dengan lebih pasti. Karena itulah, pada
longsoran berukuran besar, penambahan faktor keamanan yang tidak
terlalu banyak sudah cukup untuk memastikan keamanan pada masa
23 | P a g e
mendatang. Pada longsoran berukuran sangat kecil, analisis tegangan
efektif lebih sulit dilakukan karena (i) tekanan air pori negatif di dekat
permukaan tanah (yang tidak terlalu signifikan pada longsoran berukuran
besar), (ii) sensitivitas tinggi terhadap fluktuasi tekanan air pori. Maka,
faktor keamanan untuk longsoran berukuran kecil harus lebih besar
daripada faktor keamanan untuk longsoran berukuran besar.
Comforth (2005) memberikan sebuah tabel yang dapat digunakan untuk
acuan dalam menentukan jumlah pengeboran dan faktor keamanan
minimum berdasarkan ukuran longsoran (Tabel 2.12). Namun tabel
tersebut bersifat sebagai suatu saran, bukan sebagai standar praktik
rekayasa geoteknik.
Tabel 2.12 Saran untuk Faktor Keamanan Berdasarkan Ukuran Longsoran
dan Informasi yang Dimiliki (Sumber : Comforth,2005)
Ukuran Studi Minimum Studi Normal
Longsoran Boring F Boring F
Sangat Kecil 1 1.50 1 1.50
Kecil 1 1.50 2 1.35
Sedang 2 1.40 4 1.25
Besar 3 1.30 6 1.20
Sangat Besar 4 1.20 8 1.15
Pada tabel 2.12 diasumsikan bahwa (i) longsoran telah diperiksa
oleh staf profesional, boring telah disampel, dan contoh tanah/batuan
dideskripsikan oleh insinyur geoteknik berkualitas baik, (ii) semua
boring dilakukan di dalam area longsoran aktif, (iii) boring disertai
dengan inclometer kecuali pada longsoran sangat kecil, (iv) piezometer
terpasang pada lokasi longsoran, (v) kuat geser telah didapat dari analisis
laboratorium yang menyatakan bahwa F = 1.00 pada saat longsoran
hampir bergerak, (vi) Analisis stabilitas yang relevan digunakan, dan
(vii) studi ini bersifat deterministik.
24 | P a g e
Gambar 2.4 Skema Metode Pias dalam Perhitungan Stabilitas Lereng
Dalam analisis stabilitas lereng , digunakan metode pias. Adapun
konsep metode pias dapat dilihat pada Gambar 2.4. Pada metode ini,
diasumsikan bahwa bidang gelincir longsoran berbentuk lingkaran
dengan pusat O dan jari-jari r. Bidang gelincir ABCD dibagi menjadi
beberapa pias dengan lebar b. Alas pias diasumsikan berupa garis lurus
dengan kemiringan alas terhadap bidang horizontal sebesar α, sedangkan
tinggi pias diukur dari garis tengahnya adalah h. Analisis faktor
keamanan (F) didefinisikan sebagai perbandingan antara kuat geser yang
tersedia (τf) terhadap kuat geser yang harus ada untuk mempertahankan
kesetimbangan (τm).
τf
F = τm
25 | P a g e
Mengingat definisi kuat geser dengan parameter efektif sebagai τf =
c’+σ’tanϕ’, rumusan faktor keamanan (F) dapat dinyatakan seperti pada
persamaan berikut
Σ(c ′ + σ′ tanϕ′ )I
F=
ΣWsinα
Atau dapat pula dinyatakan seperti pada persamaan berikut
cLα + tanϕ′ΣN
F=
ΣWsinα
Dimana La adalah panjang busur bidang gelincir atau busur AC pada
gambar 2.
Pada metode Swedia atau metode Fellenius, resultan gaya antar pias
dianggap 0, maka solusi didapat dengan menyelesaikan kesetimbangan
tiap pias terhadap gaya normal masing-masing, seperti dinyatakan pada
persamaan berikut
N’ = Wcosα − ul
Sehingga, untuk perhitungan faktor keamanan (F) menggunakan
parameter efektif, dapat dirumuskan seperti pada persamaan berikut
cLα + tanϕ′ Σ(Wcosα − ul)
F=
ΣWsinα
Sedangkan untuk perhitungan menggunakan parameter total, nilai kohesi
menggunakan nilai undrained (cu), sudut geser undrained senilai 0 (ϕu =
0), dan nilai tekanan air pori (u) adalah 0. Sehingga persamaan Faktor
Keamanan menjadi seperti pada persamaan berikut
cuLα
F=
ΣWsinα
Dalam perhitungan menggunakan metode Fellenius, data tiap pias akan
diolah dalam sistem tabulasi demi kemudahan analisis. Adapun kolom-
kolom atau elemen-elemen yang terdapat dalam perhitungan adalah
sebagai berikut :
b = lebar pias
h(i) = tinggi garis titik berat pias pada layer ke-i
γ(i) = berat jenis tanah pada lapisan tanah ke-i
W(i) = berat tanah pada lapisan tanah ke-I = h(i). γ(i)
Wtotal = berat total tanah pada suatu pias
26 | P a g e
α = sudut yang dibentuk oleh garis yang ditarik dari titik pusat
lingkaran dan garis titik berat pias ( yang bila ditinjau secara geometris,
juga merupakan sudut kemiringan alas pias terhadap sumbu horizontal).
Sudut yang terbentuk searah jarum jam bernilai positif, sudut yang
terbentuk berlawanan arah jarum jam bernilai negatif
b
l = panjang alas pias =( )
sec α
u = tekanan air tanah, yaitu perkalian tinggi permukaan air tanah
dengan berat jenis air
Wcosα-ul = elemen tanah yang menahan bidang geser
Wsinα = elemen tanah yang menggerakkan bidang geser
27 | P a g e
2.4.1.1 Landai Maksimum
a. Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk memungkinkan kendaraan
bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti.
b. Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang
bermuatan penuh yang mampu bergerak dengan penurunan kecepatan
tidak lebih dari separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan
gigi rendah.
c. Kelandaian maksimum untuk berbagai VR ditetapkan dapat dilihat
dalam Tabel 2.13
Tabel 2.13 Kelandaian maksimum yang diizinkan
Vr (km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40
Kelandaian Maksimal
3 3 4 5 8 9 10 10
(%)
d. Panjang kritis yaitu panjang landai maksimum yang harus disediakan
agar kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian
sehingga penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh VR. Lama
perjalanan tersebut ditetapkan tidaklebih dari satu menit.
e. Panjang kritis dapat ditetapkan dari Tabel 2.14
28 | P a g e
2) jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertikal
cekung, panjangnya ditetapkan dengan rumus:
Perbedaan
Kecepatan Rencana Panjang
Kelandaian
(km/jam) Lengkung (m)
Memanjang (%)
< 40 1 20 - 30
40 - 60 0,6 40 - 80
> 60 0,4 80 - 150
29 | P a g e
b. Perencanaan geometri pada bagian lengkung dimaksudkan untuk
mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima oleh kendaraan yang
berjalan pada kecepatan VR.
c. Untuk keselamatan pemakai jalan, jarak pandang dan daerah bebas
samping jalan harus diperhitungkan.
2.4.2.2 Tikungan
a. Bentuk bagian lengkung dapat berupa:
1) Spiral-Circle-Spiral (SCS);
2) full Circle (fC)
3) Spiral-Spiral (SS).
b. Superelevasi
1) Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di tikungan yang
berfungsimengimbangi gaya sentrifugal yang diterima kendaraan
pada saat berjalanmelalui tikungan pada kecepatan VR.
2) Nilai superelevasi maksimum ditetapkan 10%.
c. Jari-Jari Tikungan
Jari - jari tikungan minimum (Rmin) ditetapkan sebagai berikut:
30 | P a g e
di mana :
Rmin = Jari jari tikungan minimum (m),
VR = Kecepatan Rencana (km/j),
emax = Superelevasi maximum (%),
f = Koefisien gesek, untuk perkerasan aspal f = 0,14-0,24
Selain itu Rmin juga dapat dicari melalui Tabel 2.18
31 | P a g e
untuk VR 80km/jam, re-maz =0.025 m/m/detik.
e. Pencapaian superelevasi
1) Superelevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang
normal pada bagian jalan yang lurus sampai ke kemiringan penuh
(superelevasi) pada bagian lengkung.
2) Pada tikungan SCS, pencapaian superelevasi dilakukan secara
linear, diawali dari bentuk normal sampai awal lengkung peralihan
(TS) yang berbentuk pada bagian lurus jalan, 'lalu dilanjutkan
sampai superelevasi penuh pada akhir bagian lengkung peralihan
(SC).
3) Pada tikungan fC, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear
diawali dari bagian lurus sepanjang 213 LS sampai dengan bagian
lingkaran penuh sepanjang 113 bagian panjang LS.
4) Pada tikungan S-S, pencapaian superelevasi seluruhnya dilakukan
pada bagian spiral.
2.5.1 BebanMati
Beban mati adalah semua beban yang berasal dari berat sendiri
jembatan atau bagian jembatan yang ditinjau, termasuk segala unsur
tambahan yang dianggap merupakan satu kesatuan tetap dengannya.
32 | P a g e
untuk struktur bawah jembatan adalah pilar tiang pancang. Besarnya
beban akibat berat sendiri tergantung dari dimensi elemen struktur dan
berat jenis dari bahan yang digunakan. Berat jenis dari beberapa bahan di
tampilkan pada tabel di bawah, sebagai berikut :
Tabel 2.19 Berat Jenis Bahan Konstruksi
Bahan Berat Jenis (kg/m3)
Aspal Beton 2200
Beton Bertulang 2500
Baja 7850
33 | P a g e
Tabel 2.21 Faktor beban untuk berat sendiri
34 | P a g e
Gambar 2.5 Model beban kendaraan truk pada jembatan (Beban Truk T)
Pada setiap jalur hanya disyaratkan diberi satu beban Truk “T”.
Beban “T” tidak dapat digunakan bersamaan dengan beban “D”. Adapun
faktor beban ‘T” dapat dilihat pada tabel 2.22 dibawah ini.
Tabel 2.22 Faktor beban untuk beban “T”
35 | P a g e
a. Beban Terbagi Rata (BTR) dengan intesitas q (kPa). Besarnya q
tergantung pada panjang jembatan (L) yang dibebani total, sebagai
berikut
L ≤ 30 m; q = 9,0 kPa ≈ 900 kg/m2
L ≥ 30 m; q = 9,0 x [0,5 + (15/L)] kPa
Beban BTR bisa ditempatkan dalam panjang terputus agar terjadi
pengaruh yang maksimum pada struktur. Dalam hal ini, L adalah
jumlah dari panjang masing-masing beban terputus tersebut. Beban
BTR ditempatkan tegak lurus terhadap arah lalu lintas.
b. Beban Garis Terbagi Rata (BGT) dengan intesitas p (kN/m),
ditempatkan pada kedudukan sembarang sepanjang jembatan dan
tegak lurus pada arah lalu lintas. Besarnya BGT ditetapkan sebesar p
= 49 kN/m ≈ 4900 kg/m.
36 | P a g e
Gambar2.7 Alternatif penempatan beban “D” dalam arah memanjang
37 | P a g e
Untuk Beban Lajur D, FBD merupakan fungsi dari panjang
bentang jembatan seperti diperlihatkan pada Gambar 2.8. Untuk Beban
Truk T, besarnya FBD diambil 30%.
38 | P a g e
Gambar 2.9 Gaya rem per-lajur 2,75 meter
39 | P a g e
a. Penentuan Kelas Situs
Kelas situs ditentukan berdasarkan nilai rata-rata cepat rambat
gelombang geser (Vs), hasil uji penetrasi standar (N), dan kuat geser
tak terdrainase (Su) dengan tebal lapis tanah sebagai pembobotnya.
Rumus yang digunakan sebagai berikut :
Keterangan :
ti = adalah tebal lapisan tanah ke-i
Vsi = adalah kecepatan rambat gelombang geser melalui
lapisan tanah ke-i
Ni = adalah nilai hasil uji penetrasi standar lapisan tanah ke-i
Sui = adalah kuat geser tak terdrainase lapisan tanah ke-i
m = adalah jumlah lapisan tanah yang ada diatas batuan dasar
= 30 m
Klasifikasi situs ditentukan untuk tanah setebal 30 m didasarkan
pada penyelidikan tanah dilapangan dan dilaboratorium, klasifikasi
situs dapat dilihat pada tabel 2.23 di bawah ini :
40 | P a g e
Tabel 2.23 Kelas Situs
41 | P a g e
Gambar 2.10 Peta percepatan puncak di batuan dasar (PGA) untuk
probabilitas terlampaui 7% dalam 75 tahun.
42 | P a g e
Gambar 2.12 Peta responspektrum percepatan 1 detik di batuan
dasar untuk probabilitas terlampaui 7% dalam 75 tahun.
Tabel 2.24 Faktor amplifikasi untuk PGA dan 0,2 detik (FPGA/Fa)
43 | P a g e
Tabel 2.25 Besarnya nilai faktor amplifikasi untuk periode 1 detik (Fv)
2) Untuk periode lebih besar atau sama dengan T0, dan lebih kecil
atau sama dengan TS, respons spektrum percepatan, Csm adalah
sama dengan SDS.
3) Untuk periode lebih besar dari TS, koefisien respons gempa elastik
(Csm) didapatkan dari persamaan berikut :
44 | P a g e
Keterangan:
SDS= nilai spektrum permukaan tanah pada periode pendek (T=0,2
detik).
SD1 = nilai spektrum permukaan tanah pada periode 1,0 detik
T0 = 0.2 Ts
Ts = SD1/SDS
45 | P a g e
struktur ekuivalen yang kemudian dimodifikasi dengan faktor
modifikasi respon (R) dengan formula dibawah ini.
Tabel 2.28 Faktor modifikasi respon ( R ) untuk hubungan antar elemen struktur
46 | P a g e
Tabel 2.29 Persyaratan analisis minimum untuk pengaruh gempa
47 | P a g e
2.5.6 Kombinasi Pembebanan
Menurut SNI 1725-2016 Pembebanan untuk Jembatan, kombinasi
pembebanan untuk perhitungan struktur jembatan harus diperhitungkan
pada kondisi masa layan dan pada kondisi ultimate. Kombinasi
pembebanan dapat dilihat pada tabel2.30di bawah ini.
Tabel 2.30 Kombinasi pembebanan yang terjadi pada struktur slab on pile
Kondisi Keadaan Batas Kombinasi
Kuat I 1 MS + 1 MA + 1,8 TT/TD + 1,8 TB
Kuat II 1 MS + 1 MA + 1,4 TT/TD + 1,4 TB
Kuat III 1 MS + 1 MA
Kuat IV 1 MS + 1 MA
Kuat V 1 MS + 1 MA
Daya Layan I 1 MS + 1 MA + 1 TT/TD + 1 TB
Daya Layan II 1 MS + 1 MA + 1,3 TT/TD + 1,3 TB
Masa Daya Layan III 1 MS + 1 MA + 0,8 TT/TD + 0,8 TB
Layan
Daya Layan IV 1 MS + 1 MA
Fatik (TD dan
0,75 TT/TD + 0,75 TB
TR)
Ekstrem II 1 MS +1 MA + 0,5 TT/TD + 0,5 TB
1 MS +1 MA + 0,3TT/TD + 0,3 TB + 0.3
EQx + 0,7 EQy
Ekstrem I
1 MS + 1 MA + 0,3TT/TD + 0,3 TB + 0.7
EQx + 0,3 EQy
Kuat I 1,3 MS + 2 MA + 1,8 TT/TD + 1,8 TB
Kuat II 1,3 MS + 2 MA + 1,4 TT/TD + 1,4 TB
Kuat III 1,3 MS + 2 MA
Kuat IV 1,3 MS + 2 MA
Kuat V 1,3 MS + 2 MA
Daya Layan I 1 MS + 1 MA + 1 TT/TD + 1 TB
Daya Layan II 1 MS + 1 MA + 1,3 TT/TD + 1,3 TB
Ultimate Daya Layan III 1 MS + 1 MA + 0,8 TT/TD + 0,8 TB
Daya Layan IV 1 MS + 1 MA
Fatik (TD dan
0,75 TT/TD + 0,75 TB
TR)
Ekstrem II 1,3 MS + 2 MA + 0,5 TT/TD + 0,5 TB
1,3 MS + 2 MA + 0,3TT/TD + 0,3 TB + 0.3
EQx + 0,7 EQy
Ekstrem I
1,3 MS + 2 MA + 0,3TT/TD + 0,3 TB + 0.7
EQx + 0,3 EQy
48 | P a g e
2.6 Pemodalan Tumpuan Pondasi Tiang Pancang
Untuk keperluan analisis struktur, digunakan model tumpuan pegas
elastis, yang merepresentasikan daya dukung pondasi tiang pancang.
Besarnya reaksi yang dapat didukung oleh tanah yang dimodelkan sebagai
tumpuan pegas elastis, tergantung dari besarnya gaya pegas dari tumpuan
yang bersangkutan. Untuk tanah yang dimodelkan sebagai tumpuan elastis,
kemampuan untuk mendukung beban tergantung dari besarnya modulus of
subgrade reaction (ks)dari tanah.
Besarnya ks berlainan untuk setiap jenis tanah. Besarnya modulus of
subgrade reaction kearah vertikal (ksv) dapat ditentukan dari besarnya daya
dukung tanah yang diijinkan (qa), yaitu :
ksv = 40.(SF).qa(kN/m3)
dimana SF adalah angka keamanan (safety factor), dan qadalam satuan kPa
(kN/m2).Untuk besarnya modulus of subgrade reaction arah horizontal besarnya
dua kali nilai ksv.
Menurut Meyerhof (1965), hubungan antara daya dukung tanah yang
diijinkan (qa) dengan nilai N-SPT, dapat dinyatakan dengan persamaan :
qa = (N/8) (kg/cm2 )
qa dalam satuan kg/cm2.
Untuk mencari konstanta pegas arah vertikal dan horizontal menggunakan
rumus :
a. Ksh = Ah x ksh
b. Ksv1 = Ah1 x 0,2 x ksv
c. Ksv2 = Ap x ksv
Keterangan :
Ah = luas bidang kontak antara tanah dengan tiang pancang = (0,7 x D) x L
Ap = Luas penampang ujung pipa
Ah1 = Luas selimut antara tanah dengan tiang pancang
ksv = modulus subgrade reaction arah vertikal
ksh = modulus subgrade reaction arah horizontal
Ksv = konstanta pegas arah vertikal
Ksh = konstanta pegas arah horizontal
49 | P a g e
2.7 Pengecekan Kekuatan Struktur
Kekakuan struktur slab on pile diperiksa dengan menghitung besarnya
simpangan ke arah horizontal dari struktur akibat kombinasi pembebanan
yang ditinjau di dalam analisis. Simpangan yang terjadi antara permukaan
tanah dengan pelat/slab dihitung berdasarkan SNI 1726 – 2012 dengan rumus
sebagai berikut :
∆ = (δa - δb)
Besarnya nilai simpangan yang terjadi tidak boleh melebihi simpangan ijin,
dimana simpangan ijin dipengaruhi oleh tingkat risiko dan jenis struktur
seperti tabel di bawah ini yang mengacu pada Tabel 16 - SNI 1726 – 2012 :
Tabel 2.31 Simpangan Ijin
50 | P a g e
kombinasi beban yang bekerja dalam semua kondisi tersebut. Tahap –
tahap perencanaan pelat beton bertulang adalah sebagai berikut :
a. Menentukan syarat – syarat batas bentang dan pelat lantai
b. Menentukan tebal pelat
c. Menghitung beban pada pelat
d. Menentukan nilai momen.
e. Menghitung tulangan dan jarak antar tulangan pelat.
51 | P a g e
Pasal 9.5.3.2, Untuk pelat tanpa balok interior yang membentang di
antara tumpuan dan mempunyai rasio bentang panjang terhadap
bentang pendek yang tidak lebih dari 2, tebal minimumnya harus
memenuhi ketentuan Tabel 2.32 dan tidak boleh kurang dari nilai
berikut:
1) Tanpa panel drop (drop panels) seperti yang didefinisikan dalam
Pasal 13.2.5 ……. 125 mm
2) Dengan panel drop (drop panels) seperti yang didefinisikan dalam
Pasal 13.2.5 ……100 mm
Tabel 2.32 Tebal minimum pelat tanpa balok interior
Untuk konstruksi dua arah, 𝑙𝑛 adalah panjang bentang bersih dalam arah
panjang, diukur muka ke muka tumpuan pada pelat tanpa balok dan
muka ke muka balok atau tumpuan lainnya pada kasus yang lain.
1
Untuk 𝑓𝑦 antara nilai yang diberikan dalam tabel, tebal minimum harus
ditentukan dengan interpolasi linier.
2
Panel drop didefinisikan dalam Pasal 13.2.5
3
Pelat dengan balok didalam kolom-kolomnya di sepanjang tepi eksterior.
Nilai 𝛼𝑓 untuk balok tepi tidak boleh kurang dari 0,8.
b. αm lebih besar dari 0,2 tapi tidak lebih dari 2,0 , h tidak boleh kurang
dari ;
𝑓𝑦
𝑙𝑛(0,8+ )
1400
h=
36+5𝛽(𝛼𝑚 −0,2)
52 | P a g e
c. Untuk αm lebih besar dari 2,0 , ketebalan pelat minimum tidak boleh
kurang dari ;
𝑓𝑦
𝑙𝑛(0,8+ )
1400
h=
36+9𝛽
53 | P a g e
Gambar 2.14 Model beban kendaraan truk pada jembatan (Beban
Truk T)
Pemodelan beban truk (TT) sebesar 25 kN pada roda depan
sedangkan untuk roda tengah dan belakang pembebanan sebesar
112,5 kN pada tiap roda. Beban truk dimodelkan sebagai beban
bergerak dengan cara meletakkan tiga konfigurasi beban truk di
titik-titik kritis portal jembatan.
54 | P a g e
Toleransi untuk ddan untuk selimut beton minimum pada
komponen struktur lentur, dinding, dan komponen struktur tekan
terdapat pada tabel 2.33
Tabel 2.33 Toleransi untuk nilai d
Toleransi untuk
Toleransi untuk
selimut beton yang
d
disyaratkan
d ≤ 200 mm 10 mm 10 mm
d > 200 mm 13 mm 13 mm
Kecuali bahwa ketentuan toleransi untuk jarak bersih ke sisi
bawah (soffits) harus minus 6 mm. Sebagai tambahan, toleransi
untuk selimut tidak boleh melampaui minus 1/3 selimut beton yang
disyaratkan dalam kontrak.
55 | P a g e
Menghitung besarnya jarak spasi
0,25 π Dtulangan2 b
s
A s
Syarat jarak antar tulangan adalah:
a) s ≤ 2 x h
b) s ≤ 250 mm.
2
0,25 π Dtulangan2 b
As
s
A
s
b.d
fy
Mn.. . .b.d x f y .1 0,588
2
f ' c
Gambar 2.17 Tegangan geser pada bidang vertikal dan tegangan tarik diagonal
56 | P a g e
Gambar 2.18 Penampang kritis geser pons dari beberapa bentuk penampang
kolom.
Gambar 2.19 Penampang kritis dan tegangan geser yang terjadi pada keruntuhan
geser-pons untuk penampang segi-empat
57 | P a g e
untuk βc< 2, untuk kolom dalam
as = 40 untuk kolom dalam, 30 untuk kolom pinggir dan 20 untuk
kolom sudut, dimana kata-kata dalam, pinggir dan sudut
berhubungan dengan sisi dari penampang kritis
58 | P a g e
Mu = Cc . (d-1/2a) atau Ts (d-1/2a)
Mu = As.fy.(d-0,5.0,81.c)
Mu = As.fy.(d-0,405c)
Apabila momen yang bekerja dan luas penampang beton telah
diketahui, maka besarnya rasio tulangan ρ dapat diketahui untuk mencari
besarnya kebutuhan luas tulangan.
Pengecekan persentase tulangan balance, maksimum dan minimum :
ρb =
ρmax = ρb
ρmin =
PerhitunganTulangan Ganda
Apabila ρ > ρmax maka terdapat dua alternatif :
a. Sesuaikanlah ukuran penampang balok
b. Bila tidak memungkinkan, maka dipasang tulangan rangkap
Dalam menghitung tulangan rangkap, total momen lentur yang dilawan
akan dipisahkan dalam dua bagian : Mu1 + Mu2
Dengan :
Mu1 = momen lentur yang dapat dilawan oleh ρmax dan berkaitan
dengan lengan momen dalam z. jumlah tulangan tarik yang
sesuai adalah As1 = ρmax .b . d
Mu2 = momen sisa yang pada dasarnya harus ditahan baik oleh tulangan
tarik maupun tekan yang sama banyaknya. Lengan momen
dalam yang berhubungan dengan ini sama dengan (d-d’)
As’
As
59 | P a g e
Jumlah tulangan tarik tambahan As2 sama dengan jumlah tulangan tekan
As’, yaitu :
As2 = As’ =
Vc = 1/6 . . b. d
Tulangan geser dibutuhkan apabila Vu > ϕ.Vc, apabila nilai Vu < ϕ.Vc
maka tulangan geser tetap diperlukan dan dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
Av min = 1/3 .
Tc = φ . .
Tulangan torsi dibutuhkan apabila Tu > ϕ Tc, apabila nilai Tu < ϕ .Tc,
maka tulangan torsi tidak perlu digunakan.
60 | P a g e
disalurkan melalui pondasi. Kapasitas/daya dukung tanah batas (qu = qult
= ultimate bearing capacity) adalah tekanan maksimum yang dapat
diterima oleh tanah akibat beban yang bekerja tanpa menimbulkan
kelongsoran geser pada tanah pendukung tepat di bawah dan sekeliling
pondasi.
61 | P a g e
Qp = 9 x α x Su x Area ujung tiang
Dalam hal ini nilai Su ( Undrained Shear Strength) yang
akan digunakan adalah korelasi dengan nilai N-SPT mengacu
pada Sower (1979) sebagai berikut :
Tanah CH : 12,5 x N-SPT
Tanah CL,MH : 7,5 x N-SPT
Tanah ML : 3,0 x N-SPT
Dimana :
CH = Lempung plastisitas tinggi, contoh : lempung kelanauan
CL = Lempung plastisitas rendah
MH = Lanau plastisitas tinggi, contoh : lanau berpasir
ML = Lanau plastisitas rendah, contoh : lanau
2) Daya dukung selimut tiang (friksi)
Qs = α x Su x Keliling x ketebalan lapisan tanah (△L)
Nilai α (faktor adhesi tanah) mengacu pada tabel 2.22
Tabel 2.34 Nilai adhesi tanah (α)
Undrained Shear Strength (Su) Value of α
< 2 tsf 0,55
2 – 3 tsf 0,49
3 – 4 tsf 0,42
4 – 5 tsf 0,38
5 – 6 tsf 0,35
6 – 7 tsf 0,33
7 – 8 tsf 0,32
8 – 9 tsf 0,31
> 9 tsf rock
1 tsf = 95,76952 kN/m2
b. Tanah Non – Kohesif ( tanah berpasir )
1) Daya dukung ujung tiang
Qp = 57.5 * N-SPT*Area ujung tiang
2) Daya dukung selimut tiang
Qs = 2 * N-SPT * keliling tiang * ketebalan lapisan tanah
c. Daya dukung tiang yang diijinkan
Total daya dukung ultimit didapatkan dari penjumlahan daya dukung
ujung tiang dan selimut tiang :
62 | P a g e
Qu = Qp + Qs
Sedangkan daya dukung tiang tunggal yang diijinkan adalah :
Qall= Qu / SF, dengan nilai SF = 2,5
63 | P a g e
b. Daya Dukung Friksi
8. D L
z
Qs = Ks,c .
z 0 8.D
. f s . As . f s . As
z 8. D
64 | P a g e
Tabel 2.35 Korelasi nilai N-SPT dengan nilai qc
Subsurf Cone Young's
Penetration Friction Poisson Relative
ace Penetrat Modulus
Resistance Angle Ratio Density
Conditio ion Range
Range (N) (dcg) (v) Dr (%)
n qc = 4N Es* (psi)
Very
0-4 28 0,45 0 - 16 0 - 15 0 - 440
loose
Loose 4 - 10 28 - 30 0,40 15 - 35 15 - 35 440 - 1100
1100 -
Medium 10 - 30 30 - 36 0,35 35 - 65 35 - 65
3300
3300 -
Dense 30 - 50 36 - 41 0,35 65 - 85 65 - 85
5500
Very 5500 -
50 - 100 41 - 45 0,20 85 - 100 85 - 100
Dense 11000
Schmertman (1970) Es* = 2qc.psf G** = Es/2(1+v); v = 0,5
Dimana :
Eg = Efisiensi kelompok tiang pancang
n = Jumlah baris tiang dalam kelompok
m = Jumlah kolom tiang dalam kelompok
D = Diameter tiang (m)
S = Jarak antar tiang pancang
θ = Tan-1 D/S (dalam derajat)
Untuk lebih jelasnya keterangan dalam rumus persamaan Converse –
Labarre dapat dilihat dalam Gambar 2.22
65 | P a g e
Gambar 2.22 Nilai – Nilai dalam Persamaan Efisiensi Group Pile
66 | P a g e
S3 = penurunan tiang pancang akibat beban yang tersalurkan sepanjang
tiang pancang
a) Menentukan S1
Dimana :
Ԛwp = beban yang dipikul ujung tiang akibat beban kerja
Ԛws = beban yang dipikul selimut tiang akibat beban kerja
L = panjang tiang
Ap = luas penampang tiang
Ep = modulus elastisitas tiang
Dimana :
Cp = koefisien empiris, nilai Cp didapat dari tabel 2.36
qp = tahanan ujung batas tiang
67 | P a g e
c) Menentukan S3
68 | P a g e
Tabel 2.37 Jenis Pangkal Tipikal
69 | P a g e