Anda di halaman 1dari 32

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka


2.1.1 Rekayasa Lalu Lintas
Menurut Homburger dan Kell (1981), Rekayasa lalu lintas adalah sesuatu
penanganan yang berkaitan dengan perencanaan, perancangan geometrik dan operasi
lalu lintas jalan raya serta jaringannya, terminal, penggunaan lahan serta
keterkaitannya dengan mode transportasi lain sedangkan menurut Blunden (1981),
rekayasa lalu lintas adalah ilmu yang mempelajari tentang pengukuran lalu lintas dan
perjalanan, studi hukum dasar yang terkait dengan arus lalu lintas dan bangkitan, dan
penerapan ilmu pengetahuan professional praktis tentang perencanaan, perancangan
dan operasi sIstem lalu lintas untuk mencapai keselamatan dan pergerakan yang
efisien terhadap orang dan barang (Afdhal, Chairil., 2014).
Tujuan dari rekayasa lalu lintas adalah untuk mendapatkan atau memberikan
kondisi lalu lintas yang selancar dan seaman mungkin tanpa biaya yang besar bagi
pergerakan manusia, barang dan jasa dengan kondisi geometrik/jaringan dan lalu
lintas yang ada melalui system pengaturan, penataan dan regulasi (anonim, 2011).
Keinginan manusia untuk senantiasa bergerak dan kebutuhan mereka akan
barang telah menciptakan kebutuhan akan transportasi, preferensi manusia dalam hal
waktu, uang, kenyamanan, dan kemudahan mempengaruhi moda (cara) transportasi
apa yang akan dipakai, tentu saja sejauh moda transportasi tersebut tersedia bagi si
pengguna (Khisty, C.J dan Lall, B.K., 2005, 5).
Persoalan dasar lalu lintas sebenernya sederhana, yakni terlalu banyak
kendaraan yang menggunakan dan terlalu sedikit atau sempit jalan. Penanggulan
persoalan pun tidak perlu sulit dipilih dari tiga kemungkinan berikut :
a) Membangun jalan secukupnya dengan ukuran sesuai dengan
kebutuhan.

6
b) Batasi permintaan akan jalan dengan membatasi jumlah kendaraan
yang bisa menggunakan jalan.
c) Gabungkan antara (a) dan (b), yakni membangun jalan tambahan,
menggunakan jalan itu serta jaringan jalan yang sudah ada sampai
batas maksimum, dan pada saat yang sama melakukan pengendalian
perkembangan permintaan sejauh mungkin dapat dilakukan (Wells,
G.R., 1993, 4).
2.1.2 Simpang Tak Bersinyal
Persimpangan adalah pertemuan tiga ruas jalan atau lebih sedangkan simpang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari jaringan jalan. Di daerah perkotaam
biasanya banyak memiliki simpang, dimana pengemudi harus memutuskan untuk
berjalan lurus atau berbelok dan pindah jalan untuk mencapai satu tujuan. Simpang
dapat didefinisikan sebagai daerah dimana dua jalan atau lebih bergabung atau
persimpangan, termaksud jalan dan fasilitas tepi jalan untuk pergerakan lalu lintas di
dalamnya. Simpang tak bersinyal adalah persimpangan yang tidak dipasangi Alat
Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APILL) yang berpotensi besar mengakibatkan konflik
antar kendaraan yang melewatinya. Jika terjadi kesalahanpahaman atau pelanggaran
jalur, maka kecelakaan berpeluang besar terjadi.
MKJI (1997) menyatakan bahwa angka kecelakaan pada simpang tak
bersinyal diperkirakan sebesar 0,60 kecelakaan/juta kendaraan, dikarenakan
kurangnya perhatian pengemudi terhadap rambu YIELD dan rambu STOP, sehingga
mengakibatkann perilaku pengemudi melintasi simpang mempunyai perilaku tidak
menunggu celah dan memaksa untuk menempatkan kendaraan pada ruas jalan yang
akan dimasukinya, hal ini mengakibatkan konflik arus lalu lintas yang mengakibatkan
kemacetan lalu lintas bahkan berpotensi untuk terjadinya kecelakaan.
2.1.3 Penelitian Sejenis yang Dilakukan
Suhartono dan Tjokrorahardjo (2015) telah melakukan penelitian untuk
mengetahui alternatif manajemen lalu lintas yang dapat mengurangi kemacetan pada
persimpangan antara Jalan Raya Jemursari dengan Jalan Margorejo Indah sehingga

7
kinerja jaringan jalan di sekitarnya meningkat. Data hasil survei asal-tujuan diolah
menjadi model sebaran pergerakan, kemudian model pemilihan rutenya dibuat
dengan bantuan software perencanaan transportasi dan dibebankan pada idealisasi
jaringan jalan. Setelah itu, dilakukan analisis untuk menemukan alternatif manajemen
lalu lintas yang menghasilkan kinerja jaringan jalan lebih baik daripada kondisi
aktual. Dari sekian alternatif yang dianalisis, terdapat empat alternatif yang
memberikan hasil positif terhadap peningkatan kinerja jaringan jalan secara umum.
Bahkan ada alternatif yang mampu mengurangi nilai derajat kejenuhan lalu lintas
hingga 17%. Pada akhirnya dipilih dua alternatif yang menghasilkan kinerja terbaik
dan stabil selama jangka waktu perencanaan. Salah satu dari dua alternatif tersebut
yaitu usulan membuat jembatan layang dua tingkat untuk kendaraan yang ingin
menyeberang dari Jalan Raya Jemursari menuju Jalan Margorejo Indah dan
sebaliknya. Sedangkan alternatif lainnya yaitu usulan membuat pelebaran jalan di
beberapa ruas Jalan Raya Jemursari untuk mengakomodasi kendaraan yang
melakukan putar balik kanan langsung pada persimpangan. Indicator yang digunakan
dalam perencanaan manajemen dan rekayasa lalu lintas ini antara lain jumlah arus
lalu lintas, waktu tempuh, kecepatan tempuh, waktu tundaan, rasio kemacetan, derajat
kejenuhan, penggunaan bahan bakar, serta emisi karbon monoksida.
Kurniawan (2017) telah melakukan pennelitian manajeman dan rekayasa lalu
lintas pada kawasan Dakota untuk mengurangi terjadinya peningkatan volume
kendaraan dibeberapa titik ruas jalan. Akibat peningkatan volume kendaraan tersebut
maka berpotensi menimbulkan kemacetan. Ruas jalan dengan potensi kemacetan
tertinggi adalah Jl.Wahidin dan Jl.Dakota. sehingga dilakukan penelitian untuk
mencari solusi mengurangi kemacetan terjenuh. Sehingga didapatkan pengaturan lalu
lintas yang lebih baik dalam menjaga kinerja jalan yang tetap baik dan lancar. Hasil
analisis kondisi eksisting menunjukkan hasil kinerja dengan derajat kejenuhan >0,75
pada ruas Jl.Wahidin dan Jl.Dakota serta konflik pergerakan yang mengakibatkan
tundaan lalu lintas yang besar dan menimbulkan kemacetan. Uji coba dengan
penerapan skenario 1 menghasilkan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan

8
skenario 2 sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu solusi untuk mengurangi
konflik di Kawasan Dakota Mataram. Namun perlu dicermati kembali, disisi lain
penerapan manajemen ini menyebabkan waktu tempuh perjalanan beberapa
pergerakan menjadi lebih besar. Sehingga pada penelitian ini, digunakan beberapa
indikator antara lain, kinerja lalu lintas dan waktu tempuh kendaraan.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Pengertian Jalan
Menurut Undang-Undang No.28 Tahun 2004, jalan sebagai bagian system
transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung bidang
ekonomi, social dan budaya serta lingkungan dan dikembangkan melalui pendekatan
pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan perataan pembangunan antar
daerah, membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan
pertahanan dan keamanan nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka
mewujudkan sasaran pembangunan nasional.
Klasifikasi menurut fungsi jalan terbagi atas (Bina Marga, 1997) :
a) Jalan Arteri: Jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan
jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara
efisien,
b) Jalan Kolektor: Jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan
ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan
masuk dibatasi,
c) Jalan Lokal: Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk
tidak dibatasi.
2.2.2 Kecepatan Rencana
a) Kecepatan rencana, VR, pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih
sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan-
kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah,
lalu lintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti.

9
b) VR untuk masing masing fungsi jalan dapat ditetapkan dari Tabel 2.1.
c) Untuk kondisi medan yang sulit, VR suatu segmen jalan dapat diturunkan
dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam.
Tabel 2.1 Kecepatan Rencana, Vr, Sesuai Klasifikasi Fungi dan Klasifikasi
Medan Jalan
Kecepatan Rencana, VR Km/jam
Fungsi
Datar Bukit Pegunungan
Arteri 70 - 120 60 - 80 40 - 70
Kolektor 60 - 90 50 - 60 30 - 50
Lokal 40 - 70 30 - 50 20 - 30

Sumber: Bina Marga, 1997

2.2.3 Lajur
1) Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh marka lajur
jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu kendaraan bermotor
sesuai kendaraan rencana.
2) Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan kendaraan rencana, yang dalam hal
ini dinyatakan dengan fungsi dan kelas jalan seperti ditetapkan dalam Tabel
2.2.
3) Jumlah lajur ditetapkan dengan mengacu kepada MKJI berdasarkan tingkat
kinerja yang direncanakan, di mana untuk suatu ruas jalan dinyatakan oleh
nilai rasio antara volume terhadap kapasitas yang nilainya tidak lebih dari 0.80.
4) Untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu lintas pads alinemen lurus
memerlukan kemiringan melintang normal sebagai berikut :
(a) 2-3% untuk perkerasan aspal dan perkerasan beton;
(b) 4-5% untuk perkerasan kerikil (Bina Marga, 1997).

10
Tabel 2.2 Lebar Lajur Jalan Ideal

Fungsi Kelas Lebar Lajur Ideal (m)


I 3.75
Arteri
II, IIIA 3.50
Kolektor IIIA, IIIB 3.00
Lokal IIIC 3.00
Sumber : Bina Marga, 1997
2.2.4 Ketentuan-Ketentuan Perencanaan Persimpangan Sederhana
Persimpangan sederhana adalah persimpangan jalan sebidang yang
merupakan pertemuan tiga atau empat ruas jalan dua jalur, untuk satu arah atau dua
arah didalam wilayah perkotaan yang melayani arus lalu lintas dengan volume
konflik tidak melebihi 1500 kend/jam. Ketentuan-ketentuan untuk merencanakan
persimpangan sederhana ini antara lain (Bina Marga, 1991) :
2.2.4.1 Jarak Pandang
Jarak pandang yang diperlukan dalam perencanaan Persimpangan Sederhana
mencakup dua hal yaitu Jarak Pandang Henti dan Jarak Pandang Bebas ke Samping.
Jarak pandang diukur oleh suatu jarak antara benda penghalang setinggi 20 cm dari
atas permukaan perkerasan dan benda penghalang lain setinggi mata pengemudi yang
ditetapkan 120 cm.
a. Jarak Pandang Henti (LPH)
Jarak Pandang Henti (LPH) adalah jarak aman yang diperlukan oleh
pengemudi untuk menghentikan kendaraan yang sedang dikendarainya mulai dari
pengemudi mengetahui adanya halangan didepannya sampai kendaraan tersebut
berhenti tepat sebelum halangan tersebut. LPH di persimpangan berkaitan dengan
jarak yang diperlukan untuk mencapai garis henti.

11
Gambar 2.1 Jarak Pandang Henti (LPH)
Jarak Pandang Henti tergantung kepada kecepatan pergerakan kendaraan pada
saat mendekati persimpangan. Jarak ini diukur mulai dari garis henti kearah
datangnya kendaraan dan besarnya ditetapkan seperti pada table berikut ini.

Tabel 2.3 Jarak Pandang Henti Untuk Perencanaan Persimpangan Sederhana


(LPH)

Kecepatan Kendaraan Jarak Pandang Henti pada persimpangan


(Km/jam) sederhana
(meter)
20 20
30 30
40 40
50 55
60 75
Sumber : Bina Marga, 1991
b. Jarak Pandang Bebas ke Samping (JPBS)
Jarak Pandang Bebas ke Samping adalah jarak pandang bebas diukur dari
posisi kendaraan pada jarak 9,0 meter dibelakang garis henti pada kaki persimpangan
kedua mengarah kepada jalur lalu lintas kendaraan dari kaki persimpangan utama
yang bergerak kearah persimpangan. Dalam kondisi yang sulit posisi kendaraan
sebagai titik ukur, diperpendek menjadi 4,5 meter. Jarak Pandang Bebas ke Samping

12
diperlukan pengemudi untuk memperkirakan keamanan melintasi persimpangan baik
berupa pergerakan membelok atau memotong arah arus lalu-lintas. Jarak ini
memberikan kesempatan kepada pengemudi untuk mengevaluasi persimpangan
sehingga dapat memutuskan apakah ia dapat melintas dipersimpangan dengan aman.

Gambar 2.2 Jarak Pandang Bebas ke Samping (JPBS)

Jarak pandang bebas ke samping minimum ditentukan seperti pada table berikut.

Tabel 2.4 Jarak Pandang Bebas ke Samping (JPBS) Kecepatan Rencana Pada
Kaki Jalan Utama
Kecepatan (Km/jam) 60 50 40 30 20

Jarak Pandang Bebas ke 50 45 40 35 30


Samping (meter)

Sumber : Bina Marga, 1991

2.2.4.2 Fasilitas Pengaturan pada Persimpangan Tak Bersinyal

Fasilitas pengaturan lalu lintas jalan raya sangat berperan dalam menciptakan
ketertiban, kelancaran dan keamanan bagi lalu lintas jalan raya, sehingga
keberadaannya sangat dibutuhkan untuk memberikan petunjuk dan pengarahan bagi
pemakai jalan raya. Pengaturan lalu lintas tersebut adalah rambu dan marka jalan,
diantaranya :

13
1. Marka Garis Stop
Marka Garis Stop adalah garis melintang pada perkerasaan jalan yang
dijadikan sebagai batas perhentian kendaraan sebelum memasuki persimpangan.
2. Marka Garis Henti
Marka Garis Henti adalah garis penuh menerus yang melintang jalan pada
perkerasan jalan sebagai tanda bahwa kendaraan harus berhenti sebelum garis
tersebut. Marka ini bertujuan untuk memberikan petunjuk terhadap posisi
kendaraan untuk berhenti sebelum memasuki persimpangan guna mengamati
persimpangan agar pengemudi dapat memutuskan tindakannya memasuki
persimpangan dengan aman. Marka garis henti dipersimpangan sederhana selalu
disertai dengan Rambu Stop dan harus dipasang pada kaki persimpangan kedua.
3. Marka Garis Menerus
Marka Garis Menerus adalah marka yang sejajar jalur jalan, berfungsi
mengarahkan dan membatasi pergerakan kendaraan agar kendaraan tetap berjalan
pada jalurnya. Tanda garis menerus menunjukan bahwa garis tersebut tidak
diperbolehkan dilintasi kendaraan, marka ini harus dibuat disetiap kaki
persimpangan sederhana.
4. Marka Garis Lurus Terputus-putus
Marka garis lurus terputus-putus adalah marka yang sejajar dengan jalur jalan
berfungsi sebagai batas jalur, tetapi garis ini masih diijinkan untuk dilintasi
kendaraan.
Marka garis lurus terputus-putus disarankan untuk dipasang sebagai pembatas
jalur untuk jalur jalan yang masih cukup jauh dari persimpangan, sehingga
pengemudi memiliki kesempatan mengatur kendaraan pada jalur yang dikendakinya
dan benar.
5. Rambu Pemberitahuan Adanya Persimpangan
Rambu Pemberitahuan Adanya Persimpangan adalah rambu yang
memberitahukan adanya persimpangan didepan pada jarak sesuai dengan jarak
pandangan henti (LPH).

14
6. Rambu Stop
Rambu Stop adalah rambu yang mengisyratkan kepada pengemudi yang akan
memasuki persimpangan untuk berhenti terlebih dahulu sebelum memasuki areal
konflik dipersimpangan.
7. Rambu Penunjuk Arah
Rambu Penunjuk Arah berupa rambu tanda panah yang menuntun kendaraan
agar memilih jalur sesuai dengan tujuan pergerakan pengemudi di persimpangan.
2.2.5 Bukaan Pemisah Jalan
Bukaan pemisah tengah digunakan untuk arus lalu-lintas belok kanan dan atau
berputar. Lokasi bukaan ditentukan dipersimpangan dan tempat-tempat yang
dipandang perlu. Prinsip desain bukaan pemisah tengah serupa dengan prinsip desain
pulau atau kanalisasi.
Prasarana pemutaran ditengah ruas jalan, ujung pemisah tengah harus
dibentuk sesuai dengan kebutuhan geometrik.Jalur perlambatan menuju bukaan dapat
dibuat bilalebar pemisah tengah mencukupi (Nizar, C., 2011).
Tabel 2.5 Jarak Minimum antar Bukaan
Jarak
No Deskripsi Minimum
1 Untuk pemutaran normal 500 m
2 Dengan jalur khusus belok kanan dari persimpangan 100 m
3 Di daerah belum terbangun (di luar kota) 1000 m

15
2.2.6 Prosedur Perhitungan Analisis Kinerja Simpang Tak Bersinyal
Secara lebih rinci, prosedur perhitungan analisis kinerja simpang tak bersinyal
meliputi formulir – formulir yang digunakan untuk mengetahui kinerja simpang pada
simpang tak bersinyal sebagai berikut.:
1. Formulir USIG-I Geometri dan arus lalu lintas
2. Formulir USIG-II analisis mengenai lebar pendekat dan tipe persimpangan,
kapasitas dan perilaku lalu lintas.
2.2.6.1 Data Masukan
Pada tahap ini akan diuraikan secara rinci tentang kondisi – kondisi yang
diperlukan untuk mendapatkan data masukan dalam menganalisis simpang tak
bersinyal di antaranya adalah:
1. Kondisi Geometrik
Sketsa pola geometrik jalan yang dimasukan ke dalam formulir USIG-I.
Harus dibedakan antara jalan utama dan jalan minor dengan cara pemberian nama
untuk simpang lengan tiga, jalan yang menerus selalu dikatakan jalan utama. Pada
sketsa jalan harus diterangkan dengan jelas kondisi geometrik jalan yang dimaksud
seperti lebar jalan, lebar bahu, dan lain – lain.
2. Kondisi lalu lintas
Kondisi lalu lintas yang dianalisa ditentukan menurut Arus Jam Rencana atau
Lalu Lintas Harian Rata – Rata Tahunan dengan faktor – k yang sesuai untuk
konversi LHRT menjadi arus per jam. Pada survei tentang kondisi lalu lintas ini,
sketsa mengenai arus lalu lintas sangat diperlukan terutama jika akan merencanakan
perubahan sistem pengaturan simpang dari tak bersinyal ke simpang bersinyal
maupun sistem satu arah.

16
3. Kondisi lingkungan
Berikut data kondisi lingkungan yang dibutuhkan dalam perhitungan:
a. Kelas ukuran kota
Yaitu ukuran besarnya jumlah penduduk yang tinggal dalam suatu daerah
perkotaan seperti pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Kelas Ukuran Kota

Ukuran Kota Jumlah Penduduk (Juta)

Sangat Kecil < 0,1

Kecil 0,1 ≤ X 1,0

Sedang 0,5 ≤ X 1,0

Besar 1,0 ≤ X < 3,0

Sangat Besar ≥ 3,0

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997

b. Tipe Lingkungan Jalan


Lingkungan jalan diklasifikasikan dalam kelas menurut tata guna lahan dan
akesibilitas jalan tersebut dari aktifitas sekitarnya hal ini ditetapkan secara kualitatif
dari pertimbangan teknik lalu lintas dengan buatan Tabel 2.7.

17
Tabel 2.7 Tipe Lingkungan Jalan
Komersial Tata guna lahan komersial (misalnya pertokoan, rumah makan,
perkantoran) dengan jalan masuk langsung bagi pejalan kaki dan
kendaraan.
Permukiman Tata guna lahan tempat tinggal dengan jalan masuk langsung
bagi pejalan kaki dan kendaraan.
Akses Terbatas Tanpa jalan masuk atau jalan masuk langsung terbatas (misalnya
karena adanya penghalang fisik, jalan samping dsb).
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997

2.2.6.2 Prosedur Perhitungan Arus Lalu Lintas Dalam Satuan Mobil


Penumpang (smp)
Klasifikasi data arus lalu lintas per jam masing – masing gerakan di konversi
ke dalam smp/jam dilakukan dengan mengalikan smp yang tercatat pada Tabel 2.8.
Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) jenis kendaraan yang menjadi
data arus lalu lintas dikatagorikan sebagai berikut :
a. Kendaraan ringan (LV), jenis kendaraan ini termasuk mobil penumpang, mini bus
dan pick up.
b. Kendaraan berat (HV), jenis ini termasuk truk, dum truck, dan bus.
c. Kendaraan sepada motor (MC), jenis kendaraan ini adalah semua kendaraan roda
dua dan roda tiga.
d. Kendaraan tak bermotor (UM), jenis ini termasuk sepeda dan cidomo.
Tabel 2.8 Konversi kendaraan terhadap satuan mobil penumpang
Jenis Kendaraan Ekivalensi Mobil penumpang
(emp)
Kendaraan berat (HV) 1,3
Kendaraan ringan (LV) 1,0
Sepeda motor (MC) 0,5

18
2.2.6.3 Perhitungan Rasio Belok dan Rasio Arus Jalan Minor

Lebar rata-rata pendekat minor dan Jumlah lajur (total


utama WAC, WBD untuk kedua arah)
WBBD B = (b+d/2)/2 < 5.5 2
> 5.5 4
WBAC B = (a/2+c/2)/2 < 5.5 2
> 5.5 4

Gambar 2.3 Notasi Pendekat Jalan Utama dan Jalan Minor

1. Perhitungan rasio arus minor PMI yaitu arus jalan minor dibagi arus total dan
dimasukkan hasilnya pada formulir USIG-I
PMI = QMI/QTOT (2.1)
Dimana:
PMI = Rasio arus jalan minor.
QMI = Volume arus lalu lintas pada jalan minor.
QTOT = Volume arus lalu lintas pada persimpangan.

19
2. Perhitungan rasio arus belok kiri dan belok kanan (PLT, PRT)
PLT = QLT/QTOT ; PRT = QRT/QTOT (2.2)
Dimana:
PLT = Rasio kendaraan belok kiri.
QLT = Arus kendaraan belok kiri
QTOT = Volume arus lalu lintas pada persimpangan.
PRT = Rasio kendaraan belok kanan.
QRT = Arus kendaraan belok kanan
3. Perhitungan rasio antara arus kendaraan tak bermotor dengan kendaraan
bermotor dinyatakan dalam kendaraan/jam.
PUM = QUM/QTOT (2.3)
Dimana:
PUM = Rasio kendaraan tak bermotor
QUM = Arus kendaraan tak bermotor
QTOT = Volume arus lalu lintas pada persimpangan.

2.2.6.4 Kapasitas
Kapasitas adalah kemampuan suatu ruas jalan melewatkan arus lalu lintas
secara maksimum. Kapasitas total untuk seluruh pendekat simpang adalah hasil
perkalian antara kapasitas dasar (Co) untuk kondisi tertentu (ideal) dan faktor – faktor
penyesuaian (F), dengan memperhitungkan pengaruh kondisi sesungguhnya terhadap
kapasitas.
Kapasitas dihitung dari rumus berikut:
C = Co x Fw x Fm x Fcs x FRSU x FLT x FRT x FMI (2.4)
Dimana:
C = Kapasitas (smp/jam)
Co = Nilai Kapasitas Dasar (smp/jam)

20
Fw = Faktor koreksi lebar masuk
Fm = Faktor koreksi median jalan utama
Fcs = Faktor koreksi ukuran kota
FRSU = Faktor koreksi tipe lingkungan dan hambatan samping
FLT = Faktor koreksi persentase belok kiri
FRT = Faktor koreksi persentase belok kanan
FMI = Faktor koreksi rasio arus jalan minor

1. Lebar Pendekatan dan Tipe Simpang


Pengukuran lebar pendekat dilakukan pada jarak 10 meter dari garis imajiner
yang menghubungkan jalan yang berpotongan, yang dianggap sebagai mewakili lebar
pendekat efektif untuk masing masing pendekat. Perhitungan lebar pendekat rata –
rata adalah jumlah lebar pendekat pada persimpangan dibagi dengan jumlah lengan
yang terdapat pada simpang tersebut parameter geometrik berikut diperlukan untuk
analisa kapasitas.
a. Lebar rata – rata pendekatan minor dan utama WC, WBC dan lebar rata – rata
pendekat WI (Simpang tiga lengan)
1) Perhitungan lebar rata – rata pendekat pada jalan minor dan jalan utama
WAC = (WA + WC) / 2 ; WBD = (WB+WD) / 2 (2.5)
Dimana:
WC = Lebar pendekat jalan minor.
WBD = Lebar pendekat jalan mayor.
WI = Lebar pendekat jalan rata – rata.
2) Perhitungan lebar rata – rata pendekat.
WI = (WA + WC + WB + WD) / jumlah lengan simpang (2.6)

21
Tabel 2.9 Kode Tipe Simpang
Kode IT Jumlah Lengan Jumlah Lajur Jalan Jumlah Lajur Jalan
Simpang Minor Utama
322 3 2 2
324 3 2 4
342 3 4 2
422 4 2 2
424 4 2 4
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997

2. Kapasitas Dasar (Co)


Nilai kapasitas dasar ditentukan menurut tipe persimpangan berdasarkan
Tabel 2.10 dibawah ini :

Tabel 2.10 Kapasitas Dasar

Tipe Simpang IT Kapasitas Dasar smp/jam


322 2700
342 2900
324 atau 344 3200
422 2900
424 atau 444 3400
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997

3. Faktor Penyesuaian Lebar Pendekat (Fw)


Penyesuaian lebar pendekat diperoleh dari Gambar, dan dimasukkan dalam
formulir USIG-II. Variabel masukan adalah lebar rata – rata pendekat persimpangan
W1 dan tipe persimpangan IT. Batas – batas waktu nilai yang diberikan dalam
Gambar adalah batas nilai untuk dasar empiris dari manual.

22
Gambar 2.4 Faktor penyesuaian lebar pendekat (Fw)

4. Faktor Penyesuaian Median Jalan Utama (FM)


Faktor penyesuaian ini hanya digunakan untuk jalan utama dengan 4 lajur.
Variabel masukan adalah tipe median jalan utama.
Tabel 2.11 Faktor Penyesuaian Median Jalan utama

Uraian Tipe M Faktor koreksi


median (Fm)
Tidak ada median jalan utama Tidak ada 1,00
Ada median jalan utama, lebar<3m Sempit 1,05
Ada median jalan utama, lebar>3m Lebar 1,20
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997

5. Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (Fcs)


Besarnya jumlah penduduk suatu kota akan mempengaruhi karakteristik
perilaku pengguna jalan dan jumlah kendaraan yang ada. Faktor penyesuaian ukuran
kota dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.

23
Tabel 2.12 Faktor penyesuaian ukuran kota (Fcs)

Ukuran Kota (Cs) Jumlah Penduduk Kota Faktor Penyesuaian


(juta jiwa) Ukuran Kota (Fcs)
Sangat kecil ≤ 0,1 0,82
Kecil 0,1 ≤ X < 0,5 0,88
Sedang 0,5 ≤ X 1,0 0,94
Besar 1,0 ≤ X < 3,0 1,00
Sangat Besar ≥ 3,0 1,05
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997

6. Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan Jalan


Hambatan Samping dan kendaraan tak bermotor (FSF), factor penyesuaian
tipe lingkungan jalan, hambatan samping dan kendaraan tak bermotor, FRSU
dihitung dengan menggunakan Tabel 2.13. Variabel masukan adalah tipe lingkungan
(RE), kelas hambatan samping (SF) dan rasio kendaraan tak bermotor (PUM).
Tabel 2.13 Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan Jalan Hambatan Samping dan
Kendaraan Tak Bermotor (FRSU)

Kelas tipe Rasio kendaraan tak bermotor PUM


Kelas hambatan
lingkungan
samping SF
jalan RE 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 ≥0,25
tinggi 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70
Komersial sedang 0,94 0,89 0,85 0,80 0,75 0,70
rendah 0,95 0,90 0,86 0,81 0,76 0,71
tinggi 0,96 0,91 0,86 0,82 0,77 0,72
Permukiman sedang 0,97 0,92 0,87 0,82 0,77 0,73
rendah 0,98 0,93 0,88 0,83 0,78 0,74
Akses terbatas tinggi/sedang/rendah 1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997

24
7. Faktor Penyesuaian Belok Kiri (FLT)
Faktor ini merupakan penyesuaian dari persentase seluruh gerakan lalu lintas
yang belok kiri pada persimpangan. Faktor ini dapat dilihat pada grafik dibawah ini.

Gambar 2.5 Faktor penyesuaian belok kiri (FLT)

8. Faktor Penyesuaian Belok Kanan (FRT)


Faktor ini merupakan penyesuaian dari presentase seluruh gerakan lalu lintas
yang belok kanan pada persimpangan. Faktor penyesuaian belok kanan untuk
simpang 4 lengan adalah FRT = 1,0 dapat dilihat pada grafik di bawah ini:

Gambar 2.6 Faktor penyesuaian belok kanan (FRT)

25
9. Faktor Penyesuaian Rasio Arus Jalan Minor (PMI)
Faktor penyesuaian rasio arus minor ditentukan dari Gambar 2.7. Batas nilai
yang diberikan untuk PMI pada grafik adalah rentang dasar empiris dari manual.
Untuk mencari PMI tentukan terlebih dahulu rasio jalan minor kemudia di tarik garis
vertikal ke atas sampai berpotongan pada garis tipe simpang yang akan dicari nilainya
dilanjutkan dengan menarik horisontal ke kiri. Untuk mencari nilai FMI dapat dicari
dengan Tabel 2.14.

Gambar 2.7 Faktor penyesuaian rasio arus jalan minor (PMI)

Tabel 2.14 Faktor penyesuaian rasio arus jalan minor

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997

26
2.2.6.5 Derajat Kejenuhan (Degree of Saturation, DS)
Yang dimaksud dengan derajat kejenuhan adalah hasil arus lalu lintas
terhadap kapasitas biasanya dihitung perjam. Derajat kejenuhan dihitung dengan
menggunakan rumus berikut.
DS = Q / C (2.7)
Dimana:
DS = Derajat kejenuhan.
Q = Total arus aktual (smp/jam).
C = Kapasitas aktual.

2.2.6.6 Tundaan (Delay, D)


Tundaan adalah rata – rata waktu tunggu tiap kendaraan yang masuk dalam
pendekat.
1. Tundaan lalu lintas simpang.
Tundaan lalu lintas simpang adalah tundaan lalu lintas rata – rata untuk semua
kendaraan bermotor yang masuk simpang. DTi ditentukan dari kurva empiris antara
DTi dan DS, lihat Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Tundaan lalu lintas simpang (Dti)

27
2. Tundaan lalu lintas jalan utama (DTMA)
Tundaan lalu lintas jalan utama adalah tundaan lalu lintas rata – rata semua
kendaraan bermotor yang masuk persimpangan dari jalan utama DTMA ditentukan
dari kurva empiris antara DTMA dan DS, dapat dilihat Gambar 2.9

Gambar 2.9 Tundaan lalu lintas jalan utama (DTMA)

3. Penentuan tundaan lalu lintas jalan minor (DTMI)


Tundaan lalu-lintas jalan minor rata-rata, ditentukan berdasarkan tundaan
simpang rata-rata dan tundaan jalan utama rata-rata.
DTMI = (QTOT × DTI - QMA × DTMA)/QMI (2.8)
Dimana:
DTMI = Tundaan untuk jalan minor.
DTMA = Tundaan untuk jalan mayor.
QTOT = Volume arus.
QMA = Volume arus lalu lintas pada jalan mayor.
QMI = volume arus lalu lintas pada jalan minor.

28
4. Tundaan geometrik simpang (DG)
Tundaan geometrik simpang adalah tundaan geometrik rata-rata seluruh
kendaraan bermotor yang masuk simpang. DG dihitung dari rumus berikut:
Untuk DS < 1,0
DG = (1- DS) × (PT × 6 + (1- PT) × 3) + DS × 4 (det/smp) (2.9)
Untuk DS ≥ 1,0: DG = 4
Dimana:
DG = Tundaan geometrik simpang.
DS = Derajat kejenuhan.
PT = Rasio belok total.

5. Tundaan simpang (Delay, D)


Tundaan simpang dihitung sebagai berikut
D = DG + DTI (det/smp) (2.10)
Dimana :
DG = Tundaan geometrik simpang.
DTI = Tundaan lalu-lintas simpang.

2.2.6.7 Peluang Antrian (QP%)


Peluang antrian dinyatakan pada range nilai yang didapat dari kurva hubungan
antara peluang antrian (QP%) dengan derajat jenuh (DS), yang merupakan peluang
antrian dengan lebih dari dua kendaraan di daerah pendekat yang mana saja, pada
simpang tak bersinyal.

29
Gambar 2.10 Peluang antrian (QP%)

2.2.6.8 Penilaian Perilaku Lalu Lintas


Manual ini terutama direncanakan untuk memperkirakan kapasitas dan
perilaku lalu-lintas pada kondisi tertentu berkaitan dengan rencana geometrik jalan,
lalu-lintas dan lingkungan. Karena hasilnya biasanya tidak dapat diperkirakan
sebelumnya, mungkin diperlukan beberapa perbaikan dengan pengetahuan para ahli
lalu-lintas, terutama kondisi geometrik, untuk memperoleh perilaku lalu-lintas yang
diinginkan berkaitan dengan kapasitas dan tundaan dan sebagainya.
Cara yang paling cepat untuk menilai hasil adalah dengan melihat derajat
kejenuhan (DS) untuk kondisi yang diamati, dan membandingkannya dengan
pertumbuhan lalu-lintas tahunan dan "umur" fungsional yang diinginkan dari simpang
tersebut. Jika nilai DS yang diperoleh terlalu tinggi (> 0,75), pengguna manual
mungkin ingin merubah anggapan yang berkaitan dengan lebar pendekat dan
sebagainya, dan membuat perhitungan yang baru.

2.2.6.9 Tingkat Pelayanan Persimpangan


Dalam MKJI cara yang paling tepat untuk menilai hasil kinerja persimpangan
adalah dengan melihat derajat kejenuhan (DS) untuk kondisi yang diamati dan
membandingkannya dengan pertumbuhan lalu lintas dan umur fungsional yang
diinginkan dari simpang tersebut. Jika derajat kejenuhan yang diperoleh terlalu tinggi,

30
maka diperlukan perubahan asumsi yang terkait dengan penampang melintang jalan
dan sebagainya serta perlu diadakan perhitungan ulang. Jika untuk penilaian
operasional persimpangan, maka nilai derajat kejenuhan yang tinggi mengindikasikan
ketidakmampuan persimpangan dalam mengatasi jumlah kendaraan yang dilewatkan.
Standar untuk menentukan tingkat derajat kejenuhan (DS) menurut Pignataro, L.J.
1973 diperlihatkan pada Tabel 2.15 dan berdasarkan Departemen Perhubungan
(2006).

Tabel 2.15 Standar Derajat Kejenuhan (DS)

Tingkat Derajat Kejenuhan Batasan Nilai


Tidak Baik > 0,85
Baik < 0,75
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997

Dari Tabel 2.15 dapat dijabarkan untuk standar nilai derajat kejenuhan (DS) adalah
sebagai berikut:

1. Tingkat Kapasitas Tidak Baik


Apabila didapat nilai DS diatas 0,85
2. Tingkat Kapasitas Baik
Apabila didapat nilai DS dibawah 0,75

31
2.2.7 Waktu Tempuh Perjalanan
Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI, 1997), Waktu rata-rata
yang digunakan kendaraan menempuh segmen jalan dengan panjang
tertentu,termasuk semua tundaan waktu berhenti (detik) atau jam.
Waktu tempuh rata-rata TT = L/V (jam) (2.11)
Dimana :
TT = Waktu tempuh rata-rata (jam)
L = Panjang lintasan (km)
V = Kecepatan tempuh (km/jam)
(Waktu tempuh rata-rata dalam detik dapat dihitung dengan TT × 3.600).

Beberapa metode survei diberikan yang pemilihannya sesuai dengan tujuan


dari survei. Pada panduan survei dan perhitungan waktu perjalanan lalu lintas
(No.001/T/BNKT/1990) metode yang diberikan adalah yang dipertimbangkan dapat
diterapkan untuk kota-kota di Indonesia seperti berikut:

2.2.7.1 Metode Kendaraan Contoh


Cara ini dilakukan dengan kendaraan contoh yang dikendarai pada arus lalu-
lintas dengan mengikuti salah satu dari kondisi operasi sebagai berikut :
a. Pengemudi berusaha membuat kendaraan contoh mengambang pada arus
kendaraan dalam artian mengusahakan agar jumlah kendaraan yang disiap
kendaraan contoh sama dengan kendaraan yang menyiap kendaraan contoh.
b. Pengemudi mengatur kecepatan sesuai dengan perkiraan kecepatan arus
kendaraan.
c. Kendaraan contoh melaju sesuai dengan kecepatan batas kecuali terhambat oleh
kondisi lalu-lintas yang disurvei.
Pada cara ini dapat diperoleh kecepatan perjalanan total dan kecepatan bergerak
serta lokasi hambatan dan lamanya hambatan di sepanjang rute. Dibawah ini adalah
tata cara survei dengan metode kendaraan contoh sebagai berikut:

32
Titik awal dan titik akhir dari rute yang disurvei perlu diidentifikasi terlebih
dahulu untuk memperkirakan kondisi lalu-lintas yang ada. Titik-titik antara di
sepanjang rute perlu juga diidentifikasi yang dapat dipakai sebagai titik kontrol.
Stopwatch dimulai pada titik awal survei. Selanjutnya kendaraan contoh dikendarai di
sepanjang rute sesuai dengan perkiraan kriteria operasi yang diambil. Ketika
kendaraan berhenti atau terpaksa bergerak sangat lambat, karena kondisi yang ada,
maka stopwatch kedua digunakan untuk mencatat waktu hambatan yang dialami.
Masing-masing lokasi, lamanya dan penyebab hambatan dicatat pada lembar kerja
lapangan. Pada akhir rute, stopwatch dihentikan dan waktu total perjalanan dicatat.
Jarak rute serta jarak pada masing-masing seksi dapat diperoleh dari odometer
kendaraan contoh. Dianjurkan untuk melakukan survai 6 kali perjalanan untuk tiap
arah. Apabila jumlah tersebut tidak dapat dicapai, di dalam praktek dapat
dilaksanakan selama 3 kali perjalanan untuk setiap arah.
2.2.7.2 Metode Kecepatan Setempat
Metode kecepatan setempat dimaksudkan untuk pengukuran karakteristik
kecepatan pada lokasi tertentu pada lalu-lintas dan kondisi lingkungan yang ada pada
saat studi. Sejumlah kecepatan ini perlu diambil, agar dapat diperoleh hasil yang
dapat diterima secara statistik.
Lokasi pengamatan kecepatan setempat sebaiknya dipilih pada ruas jalan
diantara persimpangan, sedangkan waktu pengamatan tergantung pada tujuan
penggunaan hasil survei. Kecepatan setempat hendaknya dilakukan pada saat udara
yang baik dengan kondisi lalu-lintas normal. Pelaksanaan survei dapat secara manual
atau otomatis. Pada cara manual, kecepatan dihitung berdasarkan waktu selang pada
jarak tertentu. Alat yang diperlukan adalah stopwatch, meteran dan material untuk
tanda pada permukaan jalan.
Tata cara ini diberikan untuk pengukuran kecepatan setempat dengan metode
manual yang umum dilakukan. Sampel yang perlu dipenuhi saat melakukan survei
adalah :

33
a) Kendaraan yang paling depan dari suatu arus hendaknya diambil sebagai
sampel dengan pertimbangan bahwa kendaraan kedua dan selanjutnya
mempunyai kecepatan yang sama dan kemungkinan tidak dapat menyiap.
b) Sampel untuk truk hendaknya diambil sesuai dengan proporsinya.
Dalam pengukuran kecepatan setempat, panjang jalan diambil sesuai dengan
perkiraan kecepatan, seperti direkomendasikan pada tabel berikut:
Tabel 2.16 Rekomendasi panjang jalan untuk studi
Perkiraan Penggal Jalan
Kecepatan rata-rata
(m)
Arus Lalu-Lintas km/jam
<40 25
40-65 50
>65 75
Sumber: Panduan survei dan perhitungan waktu perjalanan lalu lintas
(No.001/T/BNKT/1990)

2.2.8 Macam-Macam Bentuk Pertemuan Sebidang


Dilihat dari bentuknya ada beberapa macam jenis persimpangan sebidang
yaitu antara lain:
- Pertemuan/persimpangan sebidang bercabang 3
- Pertemuan/persimpangan sebidang bercabang 4
- Pertemuan/persimpangan sebidang bercabang banyak
- Bundaran ( Rotary Intersection )
Bentuk dari bermacam-macam persimpangan tersebut dapat dilihat pada gambar
berikut :

34
Gambar 2.11 Persimpangan Bercabang Tiga

Gambar 2.12 Persimpangan Bercabang Banyak Gambar 2.13 Bundaran (Rotary


Intersection)

Dari sifat dan tujuan gerakan didaerah persimpangan, dikenal beberapa bentuk
alih gerak yaitu:

a. Diverging (Memisah)
Diverging adalah peristiwa memisahnya kenderaan dari suatu arus yang sama
kejalur yang lain.

35
Gambar 2.14 Diverging (memisah)
b. Merging (Menggabung)
Merging adalah peristiwa menggabungnya kenderaan dari satu jalur kejalur
yang lain.

Gambar 2.15 Merging (menggabung)


c. Crossing (Memotong)
Crossing adalah peristiwa perpotongan antara arus kenderaan dari satu jalur
kejalur yang lain pada persimpangan dimana Keadaan yang demikian akan
menimbulkan titik konflik pada persimpangan tersebut.

Gambar 2.16 Crossing (memotong)

36
d. Weaving (Menyilang)
Weaving adalah pertemuan dua arus latu lintas atau lebih yang berjalan
menurut arah yang sama sepanjang suatu lintasan dijalan raya tanpa bantuan rambu
lalu lintas. Gerakan ini sering terjadi pada suatu kenderaan yang berpindah dari suatu
jalur kejalur lain misalnya pada saat kenderaan masuk kesuatu jalan raya dari jalan
masuk, kemudian bergerak kejalur lainnya untuk mengambil jalan keluar dari jalan
raya tersebut keadaan ini juga akan menimbulkan titik konflik pada persimpangan
tersebut.

Gambar 2.17 Weaving (menyilang)

37

Anda mungkin juga menyukai