Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

“REKAYASA LALU LINTAS”.

Disusun oleh :

KELOMPOK I

KETUA : WAWAN NURCAHYONO, S.H


ANGGOTA : 1. SRI MARTINI, S.E., M.H
2. KOMANG ASTINA
3. HARDI HULISDIARTO, S.H
4. EVAN’S RICARDO TUMANGGOR, S.H

PUSDIK LANTAS
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, karena berkat taufiq
dan hidayah-Nya lah penulisan makalah ini dapat disesuaikan. Kami selaku
penulis sadar bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
sebab itu, penulis selalu mengharapkan kritik dan saran dari Anda demi perbaikan
selanjutnya.
Terlepas dari semua kekurangan penulisan makalah ini, baik dalam
susunan dan penulisannya yang salah, penulis memohon maaf dan berharap
semoga penulisan makalah ini bermanfaat khususnya kepada kami selaku penulis
dan umumnya kepada pembaca.

Selanjutnya, kami mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada


semua pihak yang telah membantu terselesaikannya pembuatan makalah.

Jakarta, Januari 2022


Penyusun

i
DASAR TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka


2.1.1 Rekayasa Lalu Lintas
Menurut Homburger dan Kell (1981), Rekayasa lalu lintas adalah sesuatu
penanganan yang berkaitan dengan perencanaan, perancangan geometrik dan
operasi lalu lintas jalan raya serta jaringannya, terminal, penggunaan lahan serta
keterkaitannya dengan mode transportasi lain sedangkan menurut Blunden (1981),
rekayasa lalu lintas adalah ilmu yang mempelajari tentang pengukuran lalu lintas
dan perjalanan, studi hukum dasar yang terkait dengan arus lalu lintas dan
bangkitan, dan penerapan ilmu pengetahuan professional praktis tentang
perencanaan, perancangan dan operasi sIstem lalu lintas untuk mencapai
keselamatan dan pergerakan yang efisien terhadap orang dan barang (Afdhal,
Chairil., 2014).

Tujuan dari rekayasa lalu lintas adalah untuk mendapatkan atau memberikan
kondisi lalu lintas yang selancar dan seaman mungkin tanpa biaya yang besar bagi
pergerakan manusia, barang dan jasa dengan kondisi geometrik/jaringan dan lalu
lintas yang ada melalui system pengaturan, penataan dan regulasi (anonim, 2011).
Keinginan manusia untuk senantiasa bergerak dan kebutuhan mereka akan barang
telah menciptakan kebutuhan akan transportasi, preferensi manusia dalam hal
waktu, uang, kenyamanan, dan kemudahan mempengaruhi moda (cara)
transportasi apa yang akan dipakai, tentu saja sejauh moda transportasi tersebut
tersedia bagi si pengguna (Khisty, C.J dan Lall, B.K., 2005, 5).
Persoalan dasar lalu lintas sebenernya sederhana, yakni terlalu banyak kendaraan
yang menggunakan dan terlalu sedikit atau sempit jalan. Penanggulan persoalan
pun tidak perlu sulit dipilih dari tiga kemungkinan berikut :
a) Membangun jalan secukupnya dengan ukuran sesuai dengan kebutuhan.
b) Batasi permintaan akan jalan dengan membatasi jumlah kendaraan yang
bisa menggunakan jalan.
c) Gabungkan antara (a) dan (b), yakni membangun jalan tambahan,
menggunakan jalan itu serta jaringan jalan yang sudah ada sampai batas

1
maksimum, dan pada saat yang sama melakukan pengendalian
perkembangan permintaan sejauh mungkin dapat dilakukan (Wells, G.R.,
1993, 4).

2.1.2 Simpang Tak Bersinyal


Persimpangan adalah pertemuan tiga ruas jalan atau lebih sedangkan simpang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari jaringan jalan. Di daerah perkotaam
biasanya banyak memiliki simpang, dimana pengemudi harus memutuskan untuk
berjalan lurus atau berbelok dan pindah jalan untuk mencapai satu tujuan.
Simpang dapat didefinisikan sebagai daerah dimana dua jalan atau lebih
bergabung atau persimpangan, termaksud jalan dan fasilitas tepi jalan untuk
pergerakan lalu lintas di dalamnya. Simpang tak bersinyal adalah persimpangan
yang tidak dipasangi Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APILL) yang berpotensi
besar mengakibatkan konflik antar kendaraan yang melewatinya. Jika terjadi
kesalahanpahaman atau pelanggaran jalur, maka kecelakaan berpeluang besar
terjadi.

MKJI (1997) menyatakan bahwa angka kecelakaan pada simpang tak bersinyal
diperkirakan sebesar 0,60 kecelakaan/juta kendaraan, dikarenakan kurangnya
perhatian pengemudi terhadap rambu YIELD dan rambu STOP, sehingga
mengakibatkann perilaku pengemudi melintasi simpang mempunyai perilaku
tidak menunggu celah dan memaksa untuk menempatkan kendaraan pada ruas
jalan yang akan dimasukinya, hal ini mengakibatkan konflik arus lalu lintas yang
mengakibatkan kemacetan lalu lintas bahkan berpotensi untuk terjadinya
kecelakaan.

2.1.3 Penelitian Sejenis yang Dilakukan


Suhartono dan Tjokrorahardjo (2015) telah melakukan penelitian untuk
mengetahui alternatif manajemen lalu lintas yang dapat mengurangi kemacetan
pada persimpangan antara Jalan Raya Jemursari dengan Jalan Margorejo Indah
sehingga

2
kinerja jaringan jalan di sekitarnya meningkat. Data hasil survei asal-tujuan diolah
menjadi model sebaran pergerakan, kemudian model pemilihan rutenya dibuat
dengan bantuan software perencanaan transportasi dan dibebankan pada idealisasi
jaringan jalan. Setelah itu, dilakukan analisis untuk menemukan alternatif
manajemen lalu lintas yang menghasilkan kinerja jaringan jalan lebih baik
daripada kondisi aktual. Dari sekian alternatif yang dianalisis, terdapat empat
alternatif yang memberikan hasil positif terhadap peningkatan kinerja jaringan
jalan secara umum. Bahkan ada alternatif yang mampu mengurangi nilai derajat
kejenuhan lalu lintas hingga 17%. Pada akhirnya dipilih dua alternatif yang
menghasilkan kinerja terbaik dan stabil selama jangka waktu perencanaan. Salah
satu dari dua alternatif tersebut yaitu usulan membuat jembatan layang dua tingkat
untuk kendaraan yang ingin menyeberang dari Jalan Raya Jemursari menuju Jalan
Margorejo Indah dan sebaliknya. Sedangkan alternatif lainnya yaitu usulan
membuat pelebaran jalan di beberapa ruas Jalan Raya Jemursari untuk
mengakomodasi kendaraan yang melakukan putar balik kanan langsung pada
persimpangan. Indicator yang digunakan dalam perencanaan manajemen dan
rekayasa lalu lintas ini antara lain jumlah arus lalu lintas, waktu tempuh,
kecepatan tempuh, waktu tundaan, rasio kemacetan, derajat kejenuhan,
penggunaan bahan bakar, serta emisi karbon monoksida.

Kurniawan (2017) telah melakukan pennelitian manajeman dan rekayasa lalu


lintas pada kawasan Dakota untuk mengurangi terjadinya peningkatan volume
kendaraan dibeberapa titik ruas jalan. Akibat peningkatan volume kendaraan
tersebut maka berpotensi menimbulkan kemacetan. Ruas jalan dengan potensi
kemacetan tertinggi adalah Jl.Wahidin dan Jl.Dakota. sehingga dilakukan
penelitian untuk mencari solusi mengurangi kemacetan terjenuh. Sehingga
didapatkan pengaturan lalu lintas yang lebih baik dalam menjaga kinerja jalan
yang tetap baik dan lancar. Hasil analisis kondisi eksisting menunjukkan hasil
kinerja dengan derajat kejenuhan >0,75 pada ruas Jl.Wahidin dan Jl.Dakota serta
konflik pergerakan yang mengakibatkan tundaan lalu lintas yang besar dan
menimbulkan kemacetan. Uji coba dengan penerapan skenario 1 menghasilkan
kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan

3
skenario 2 sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu solusi untuk mengurangi
konflik di Kawasan Dakota Mataram. Namun perlu dicermati kembali, disisi lain
penerapan manajemen ini menyebabkan waktu tempuh perjalanan beberapa
pergerakan menjadi lebih besar. Sehingga pada penelitian ini, digunakan beberapa
indikator antara lain, kinerja lalu lintas dan waktu tempuh kendaraan.

4
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Pengertian Jalan
Menurut Undang-Undang No.28 Tahun 2004, jalan sebagai bagian system
transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung
bidang ekonomi, social dan budaya serta lingkungan dan dikembangkan melalui
pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan perataan
pembangunan antar daerah, membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional
untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional, serta membentuk struktur
ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional.
Klasifikasi menurut fungsi jalan terbagi atas (Bina Marga, 1997) :
a) Jalan Arteri: Jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk
dibatasi secara efisien,
b) Jalan Kolektor: Jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi
dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan
jumlah jalan masuk dibatasi,
c) Jalan Lokal: Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk
tidak dibatasi.

2.2.2 Kecepatan Rencana


a) Kecepatan rencana, VR, pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang
dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan
kendaraan- kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi
cuaca yang cerah, lalu lintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan
yang tidak berarti.
b) VR untuk masing masing fungsi jalan dapat ditetapkan dari Tabel 2.1.
c) Untuk kondisi medan yang sulit, VR suatu segmen jalan dapat diturunkan
dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam.

5
Tabel Kecepatan Rencana, Vr, Sesuai Klasifikasi Fungi dan Klasifikasi
Medan Jalan
Kecepatan Rencana, VR Km/jam
Fungsi
Datar Bukit Pegunungan
Arteri 70 - 120 60 - 80 40 - 70
Kolektor 60 - 90 50 - 60 30 - 50
Lokal 40 - 70 30 - 50 20 - 30
Sumber: Bina Marga, 1997

2.2.3 Lajur
1. Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh marka
lajur jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu kendaraan
bermotor sesuai kendaraan rencana.
2. Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan kendaraan rencana, yang dalam
hal ini dinyatakan dengan fungsi dan kelas jalan seperti ditetapkan dalam
Tabel 2.2.
3. Jumlah lajur ditetapkan dengan mengacu kepada MKJI berdasarkan
tingkat kinerja yang direncanakan, di mana untuk suatu ruas jalan
dinyatakan oleh nilai rasio antara volume terhadap kapasitas yang nilainya
tidak lebih dari 0.80.
4. Untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu lintas pads alinemen
lurus memerlukan kemiringan melintang normal sebagai berikut :
a) 2-3% untuk perkerasan aspal dan perkerasan beton;
b) 4-5% untuk perkerasan kerikil (Bina Marga, 1997).

Tabel 2.2 Lebar Lajur Jalan Ideal

Fungsi Kelas Lebar Lajur Ideal (m)


I 3.75
Arteri
II, IIIA 3.50
Kolektor IIIA, IIIB 3.00
Lokal IIIC 3.00
Sumber : Bina Marga, 1997

6
2.2.4 Ketentuan-Ketentuan Perencanaan Persimpangan Sederhana
Persimpangan sederhana adalah persimpangan jalan sebidang yang
merupakan pertemuan tiga atau empat ruas jalan dua jalur, untuk satu arah atau
dua arah didalam wilayah perkotaan yang melayani arus lalu lintas dengan volume
konflik tidak melebihi 1500 kend/jam. Ketentuan-ketentuan untuk merencanakan
persimpangan sederhana ini antara lain (Bina Marga, 1991) :

2.2.4.1 Jarak Pandang


Jarak pandang yang diperlukan dalam perencanaan Persimpangan Sederhana
mencakup dua hal yaitu Jarak Pandang Henti dan Jarak Pandang Bebas ke
Samping. Jarak pandang diukur oleh suatu jarak antara benda penghalang setinggi
20 cm dari atas permukaan perkerasan dan benda penghalang lain setinggi mata
pengemudi yang ditetapkan 120 cm.
a. Jarak Pandang Henti (LPH)
Jarak Pandang Henti (LPH) adalah jarak aman yang diperlukan oleh pengemudi
untuk menghentikan kendaraan yang sedang dikendarainya mulai dari pengemudi
mengetahui adanya halangan didepannya sampai kendaraan tersebut berhenti tepat
sebelum halangan tersebut. LPH di persimpangan berkaitan dengan jarak yang
diperlukan untuk mencapai garis henti.

Gambar Jarak Pandang Henti (LPH)


Jarak Pandang Henti tergantung kepada kecepatan pergerakan kendaraan pada
saat mendekati persimpangan. Jarak ini diukur mulai dari garis henti kearah
datangnya kendaraan dan besarnya ditetapkan seperti pada table berikut ini.

7
Jarak Pandang Henti Untuk Perencanaan Persimpangan Sederhana (LPH)
Kecepatan Kendaraan Jarak Pandang Henti pada
(Km/jam) persimpangan sederhana
(meter)
20 20
30 30
40 40
50 55
60 75
Sumber : Bina Marga, 1991

b. Jarak Pandang Bebas ke Samping (JPBS)


Jarak Pandang Bebas ke Samping adalah jarak pandang bebas diukur dari posisi
kendaraan pada jarak 9,0 meter dibelakang garis henti pada kaki persimpangan
kedua mengarah kepada jalur lalu lintas kendaraan dari kaki persimpangan utama
yang bergerak kearah persimpangan. Dalam kondisi yang sulit posisi kendaraan
sebagai titik ukur, diperpendek menjadi 4,5 meter. Jarak Pandang Bebas ke
Samping

diperlukan pengemudi untuk memperkirakan keamanan melintasi persimpangan


baik berupa pergerakan membelok atau memotong arah arus lalu-lintas. Jarak ini
memberikan kesempatan kepada pengemudi untuk mengevaluasi persimpangan
sehingga dapat memutuskan apakah ia dapat melintas dipersimpangan dengan
aman.

8
Gambar Jarak Pandang Bebas ke Samping (JPBS)

Jarak pandang bebas ke samping minimum ditentukan seperti pada table berikut.
Tabel Jarak Pandang Bebas ke Samping (JPBS) Kecepatan Rencana Pada
Kaki Jalan Utama

Kecepatan (Km/jam) 60 50 40 30 20

Jarak Pandang Bebas ke 50 45 40 35 30


Samping (meter)

2.2.4.2 Fasilitas Pengaturan pada Persimpangan Tak Bersinyal

Fasilitas pengaturan lalu lintas jalan raya sangat berperan dalam menciptakan
ketertiban, kelancaran dan keamanan bagi lalu lintas jalan raya, sehingga
keberadaannya sangat dibutuhkan untuk memberikan petunjuk dan pengarahan
bagi pemakai jalan raya. Pengaturan lalu lintas tersebut adalah rambu dan marka
jalan, diantaranya :
1. Marka Garis Stop
Marka Garis Stop adalah garis melintang pada perkerasaan jalan yang
dijadikan sebagai batas perhentian kendaraan sebelum memasuki
persimpangan.
2. Marka Garis Henti
Marka Garis Henti adalah garis penuh menerus yang melintang jalan pada
perkerasan jalan sebagai tanda bahwa kendaraan harus berhenti sebelum
garis tersebut. Marka ini bertujuan untuk memberikan petunjuk terhadap
posisi kendaraan untuk berhenti sebelum memasuki persimpangan guna
mengamati persimpangan agar pengemudi dapat memutuskan tindakannya
memasuki persimpangan dengan aman. Marka garis henti dipersimpangan

9
sederhana selalu disertai dengan Rambu Stop dan harus dipasang pada
kaki persimpangan kedua.
3. Marka Garis Menerus
Marka Garis Menerus adalah marka yang sejajar jalur jalan, berfungsi
mengarahkan dan membatasi pergerakan kendaraan agar kendaraan tetap
berjalan pada jalurnya. Tanda garis menerus menunjukan bahwa garis
tersebut tidak diperbolehkan dilintasi kendaraan, marka ini harus dibuat
disetiap kaki persimpangan sederhana.
4. \Marka Garis Lurus Terputus-putus
Marka garis lurus terputus-putus adalah marka yang sejajar dengan jalur
jalan berfungsi sebagai batas jalur, tetapi garis ini masih diijinkan untuk
dilintasi kendaraan.Marka garis lurus terputus-putus disarankan untuk
dipasang sebagai pembatas jalur untuk jalur jalan yang masih cukup jauh
dari persimpangan, sehingga pengemudi memiliki kesempatan mengatur
kendaraan pada jalur yang dikendakinya dan benar.
5. Rambu Pemberitahuan Adanya Persimpangan
Rambu Pemberitahuan Adanya Persimpangan adalah rambu yang
memberitahukan adanya persimpangan didepan pada jarak sesuai dengan
jarak pandangan henti (LPH).
6. Rambu Stop
Rambu Stop adalah rambu yang mengisyratkan kepada pengemudi yang
akan memasuki persimpangan untuk berhenti terlebih dahulu sebelum
memasuki areal konflik dipersimpangan.
7. Rambu Penunjuk Arah
Rambu Penunjuk Arah berupa rambu tanda panah yang menuntun
kendaraan agar memilih jalur sesuai dengan tujuan pergerakan pengemudi
di persimpangan.

2.2.5 Bukaan Pemisah Jalan


Bukaan pemisah tengah digunakan untuk arus lalu-lintas belok kanan dan atau
berputar. Lokasi bukaan ditentukan dipersimpangan dan tempat-tempat yang
dipandang perlu. Prinsip desain bukaan pemisah tengah serupa dengan prinsip

10
desain pulau atau kanalisasi.Prasarana pemutaran ditengah ruas jalan, ujung
pemisah tengah harus dibentuk sesuai dengan kebutuhan geometrik.Jalur
perlambatan menuju bukaan dapat dibuat bilalebar pemisah tengah mencukupi
(Nizar, C., 2011).
Tabel Jarak Minimum antar Bukaan

Jarak
No Deskripsi Minimum
1 Untuk pemutaran normal 500 m
2 Dengan jalur khusus belok kanan dari persimpangan 100 m
3 Di daerah belum terbangun (di luar kota) 1000 m

2.2.6 Prosedur Perhitungan Analisis Kinerja Simpang Tak Bersinyal

Secara lebih rinci, prosedur perhitungan analisis kinerja simpang tak bersinyal
meliputi formulir – formulir yang digunakan untuk mengetahui kinerja simpang
pada simpang tak bersinyal sebagai berikut.:

1. Formulir USIG-I Geometri dan arus lalu lintas

2. Formulir USIG-II analisis mengenai lebar pendekat dan tipe


persimpangan, kapasitas dan perilaku lalu lintas.

2.2.6.1 Data Masukan

Pada tahap ini akan diuraikan secara rinci tentang kondisi – kondisi yang
diperlukan untuk mendapatkan data masukan dalam menganalisis simpang tak
bersinyal di antaranya adalah:

1. Kondisi Geometrik

Sketsa pola geometrik jalan yang dimasukan ke dalam formulir USIG-I.


Harus dibedakan antara jalan utama dan jalan minor dengan cara
pemberian nama untuk simpang lengan tiga, jalan yang menerus selalu
dikatakan jalan utama. Pada sketsa jalan harus diterangkan dengan jelas
kondisi geometrik jalan yang dimaksud seperti lebar jalan, lebar bahu, dan
lain – lain.

2. Kondisi lalu lintas

Kondisi lalu lintas yang dianalisa ditentukan menurut Arus Jam Rencana
atau Lalu Lintas Harian Rata – Rata Tahunan dengan faktor – k yang

11
sesuai untuk konversi LHRT menjadi arus per jam. Pada survei tentang
kondisi lalu lintas ini, sketsa mengenai arus lalu lintas sangat diperlukan
terutama jika akan merencanakan perubahan sistem pengaturan simpang
dari tak bersinyal ke simpang bersinyal maupun sistem satu arah.

3. Kondisi lingkungan

Berikut data kondisi lingkungan yang dibutuhkan dalam perhitungan:

a. Kelas ukuran kota

Yaitu ukuran besarnya jumlah penduduk yang tinggal dalam suatu daerah
perkotaan seperti pada Tabel

Tabel Kelas Ukuran Kota

Ukuran Kota Jumlah Penduduk (Juta)

Sangat Kecil < 0,1

Kecil 0,1 ≤ X 1,0

Sedang 0,5 ≤ X 1,0

Besar 1,0 ≤ X < 3,0

Sangat Besar ≥ 3,0

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997


b. Tipe Lingkungan Jalan
Lingkungan jalan diklasifikasikan dalam kelas menurut tata guna lahan dan
akesibilitas jalan tersebut dari aktifitas sekitarnya hal ini ditetapkan secara
kualitatif dari pertimbangan teknik lalu lintas dengan buatan Tabel 2.7

c. Tipe Lingkungan Jalan


Lingkungan jalan diklasifikasikan dalam kelas menurut tata guna
lahan dan akesibilitas jalan tersebut dari aktifitas sekitarnya hal ini
ditetapkan secara kualitatif dari pertimbangan teknik lalu lintas dengan
buatan Tabel

12
Tabel Tipe Lingkungan Jalan

Komersial Tata guna lahan komersial (misalnya pertokoan, rumah makan,


perkantoran) dengan jalan masuk langsung bagi pejalan kaki dan
kendaraan.
Permukiman Tata guna lahan tempat tinggal dengan jalan masuk langsung
bagi pejalan kaki dan kendaraan.
Akses Terbatas Tanpa jalan masuk atau jalan masuk langsung terbatas (misalnya
karena adanya penghalang fisik, jalan samping dsb).
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997

2.2.6.2 Prosedur Perhitungan Arus Lalu Lintas Dalam


Satuan Mobil Penumpang (smp)
Klasifikasi data arus lalu lintas per jam masing – masing
gerakan di konversi ke dalam smp/jam dilakukan dengan
mengalikan smp yang tercatat pada Tabel 2.8. Menurut Manual
Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) jenis kendaraan yang menjadi
data arus lalu lintas dikatagorikan sebagai berikut :
a. Kendaraan ringan (LV), jenis kendaraan ini termasuk mobil
penumpang, mini bus dan pick up.
b. Kendaraan berat (HV), jenis ini termasuk truk, dum truck, dan bus.
c. Kendaraan sepada motor (MC), jenis kendaraan ini adalah
semua kendaraan roda dua dan roda tiga.
d. Kendaraan tak bermotor (UM), jenis ini termasuk sepeda dan cidomo.
Tabel Konversi kendaraan terhadap satuan mobil penumpang

Jenis Kendaraan Ekivalensi Mobil penumpang


(emp)
Kendaraan berat (HV) 1,3
Kendaraan ringan (LV) 1,0
Sepeda motor (MC) 0,5

2.2.6.3 Perhitungan Rasio Belok dan Rasio Arus Jalan Minor

13
Lebar rata-rata pendekat minor Jumlah lajur
dan (total
utama WAC, WBD untuk kedua
arah)
WBBD B = < 5.5 2
(b+d/2)/2
> 5.5 4
WBAC B = < 5.5 2
(a/2+c/2)/2
> 5.5 4

Gambar Notasi Pendekat Jalan Utama


dan Jalan Minor

1. Perhitungan rasio arus minor PMI yaitu arus jalan minor dibagi arus
total dan dimasukkan hasilnya pada formulir USIG-I
PMI = QMI/QTOT (2.1)
Dimana:
PMI = Rasio arus jalan minor.
QMI = Volume arus lalu lintas pada jalan minor.

QTOT = Volume arus lalu lintas pada persimpangan.

Perhitungan rasio arus belok kiri dan belok kanan (PLT, PRT)

14
PLT = QLT/QTOT ; PRT = QRT/QTOT (2.2)
Dimana:
PLT = Rasio kendaraan belok kiri.
QLT = Arus kendaraan belok kiri
QTOT = Volume arus lalu lintas pada persimpangan.

PRT = Rasio kendaraan belok kanan.


QRT = Arus kendaraan belok kanan
2. Perhitungan rasio antara arus kendaraan tak bermotor dengan
kendaraan bermotor dinyatakan dalam kendaraan/jam.
PUM = QUM/QTOT (2.3)

Dimana:
PUM = Rasio kendaraan tak bermotor
QUM = Arus kendaraan tak bermotor
QTOT = Volume arus lalu lintas pada persimpangan.

2.2.6.4 Kapasitas

Kapasitas adalah kemampuan suatu ruas jalan melewatkan arus


lalu lintas secara maksimum. Kapasitas total untuk seluruh pendekat
simpang adalah hasil perkalian antara kapasitas dasar (Co) untuk kondisi
tertentu (ideal) dan faktor – faktor penyesuaian (F), dengan
memperhitungkan pengaruh kondisi sesungguhnya terhadap kapasitas.
Kapasitas dihitung dari rumus berikut :
C = Co x Fw x Fm x Fcs x FRSU x FLT x FRT x FMI (2.4)

Dimana:
C = Kapasitas (smp/jam)
Co = Nilai Kapasitas Dasar (smp/jam)

Fw = Faktor koreksi lebar masuk


Fm = Faktor koreksi median jalan utama

Fcs = Faktor koreksi ukuran kota


FRSU = Faktor koreksi tipe lingkungan dan
hambatan samping

15
FLT = Faktor koreksi persentase belok kiri
FRT = Faktor koreksi persentase belok kanan
FMI = Faktor koreksi rasio arus jalan minor

1. Lebar Pendekatan dan Tipe Simpang


Pengukuran lebar pendekat dilakukan pada jarak 10 meter dari
garis imajiner yang menghubungkan jalan yang berpotongan, yang
dianggap sebagai mewakili lebar pendekat efektif untuk masing masing
pendekat. Perhitungan lebar pendekat rata – rata adalah jumlah lebar
pendekat pada persimpangan dibagi dengan jumlah lengan yang terdapat
pada simpang tersebut parameter geometrik berikut diperlukan untuk
analisa kapasitas.
a. Lebar rata – rata pendekatan minor dan utama WC, WBC dan lebar rata –
rata pendekat WI (Simpang tiga lengan)
1) Perhitungan lebar rata – rata pendekat pada jalan minor dan
jalan utama WAC = (WA + WC) / 2 ; WBD = (WB+WD) / 2

2) (2.5) Dimana:
WC = Lebar pendekat jalan minor. WBD = Lebar pendekat
jalan mayor. WI = Lebar pendekat jalan rata – rata.
3) Perhitungan lebar rata –pendekat.

4) rata WI = (WA + WC + WB + WD) / jumlah lengan simpang (2.6)


Tabel Kode Tipe Simpang

Kode IT Jumlah Lengan Jumlah Lajur Jalan Jumlah Lajur Jalan


Simpang Minor Utama
322 3 2 2
324 3 2 4
342 3 4 2
422 4 2 2
424 4 2 4
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997
2. Kapasitas Dasar (Co)
Nilai kapasitas dasar ditentukan menurut tipe persimpangan berdasarkan

16
Tabel 2.10 dibawah ini :

Tabel Kapasitas Dasar

Tipe Simpang IT Kapasitas Dasar smp/jam


322 2700
342 2900
324 atau 344 3200
422 2900
424 atau 444 3400
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997

3. Faktor Penyesuaian Lebar Pendekat (Fw)


Penyesuaian lebar pendekat diperoleh dari Gambar, dan dimasukkan dalam
formulir USIG-II. Variabel masukan adalah lebar rata – rata pendekat
persimpangan W1 dan tipe persimpangan IT. Batas – batas waktu nilai yang
diberikan dalam Gambar adalah batas nilai untuk dasar empiris dari manual.

Gambar Faktor penyesuaian lebar pendekat


(Fw)

4. Faktor Penyesuaian Median Jalan Utama (FM)


Faktor penyesuaian ini hanya digunakan untuk jalan utama dengan 4
17
lajur.
Variabel masukan adalah tipe median jalan utama.

Uraian Tipe M Faktor koreksi


median (Fm)
Tidak ada median jalan utama Tidak ada 1,00
Ada median jalan utama, lebar<3m Sempit 1,05
Ada median jalan utama, lebar>3m Lebar 1,20
Tabel Faktor Penyesuaian Median Jalan utama

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997

5. Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (Fcs)


Besarnya jumlah penduduk suatu kota akan mempengaruhi
karakteristik perilaku pengguna jalan dan jumlah kendaraan yang ada.
Faktor penyesuaian ukuran kota dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.

Tabel Faktor penyesuaian ukuran kota (Fcs)

Ukuran Kota (Cs) Jumlah Penduduk Kota Faktor Penyesuaian


(juta jiwa) Ukuran Kota (Fcs)
Sangat kecil ≤ 0,1 0,82
Kecil 0,1 ≤ X < 0,5 0,88
Sedang 0,5 ≤ X 1,0 0,94
Besar 1,0 ≤ X < 3,0 1,00
Sangat Besar ≥ 3,0 1,05
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997

6. Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan Jalan


Hambatan Samping dan kendaraan tak bermotor (FSF), factor
penyesuaian tipe lingkungan jalan, hambatan samping dan kendaraan tak
bermotor, FRSU dihitung dengan menggunakan Tabel 2.13. Variabel
masukan adalah tipe lingkungan (RE), kelas hambatan samping (SF) dan
rasio kendaraan tak bermotor (PUM).
18
Tabel Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan Jalan Hambatan
Samping dan Kendaraan Tak Bermotor (FRSU)
Kelas tipe Kelas hambatan Rasio kendaraan tak bermotor PUM
lingkungan samping SF
jalan RE 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 ≥0,25
tinggi 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70
Komersial sedang 0,94 0,89 0,85 0,80 0,75 0,70
rendah 0,95 0,90 0,86 0,81 0,76 0,71
tinggi 0,96 0,91 0,86 0,82 0,77 0,72
Permukiman sedang 0,97 0,92 0,87 0,82 0,77 0,73
rendah 0,98 0,93 0,88 0,83 0,78 0,74
Akses terbatas tinggi/sedang/rendah 1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997

7. Faktor Penyesuaian Belok Kiri (FLT)


Faktor ini merupakan penyesuaian dari persentase seluruh
gerakan lalu lintas yang belok kiri pada persimpangan. Faktor ini dapat
dilihat pada grafik dibawah ini.

Gambar Faktor penyesuaian belok kiri (FLT)

8. Faktor Penyesuaian Belok Kanan (FRT)


Faktor ini merupakan penyesuaian dari presentase seluruh
gerakan lalu lintas yang belok kanan pada persimpangan. Faktor
penyesuaian belok kanan untuk simpang 4 lengan adalah FRT = 1,0
dapat dilihat pada grafik di bawah ini:

19
Gambar Faktor penyesuaian belok kanan (FRT)

9. Faktor Penyesuaian Rasio Arus Jalan Minor (PMI)


Faktor penyesuaian rasio arus minor ditentukan dari
Gambar. Batas nilai yang diberikan untuk PMI pada grafik adalah

Gambar 2.7 Faktor penyesuaian rasio arus


jalan minor (PMI)
rentang dasar empiris dari manual. Untuk mencari PMI
tentukan terlebih dahulu rasio jalan minor kemudia di tarik garis
vertikal ke atas sampai berpotongan pada garis tipe simpang yang
akan dicari nilainya dilanjutkan dengan menarik horisontal ke kiri.
Untuk mencari nilai FMI dapat dicari dengan Tabel 2.14.

Tabel Faktor penyesuaian rasio arus jalan minor

20
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997

2.2.6.5 Derajat Kejenuhan (Degree of Saturation, DS)


Yang dimaksud dengan derajat kejenuhan adalah hasil arus lalu
lintas terhadap kapasitas biasanya dihitung perjam. Derajat kejenuhan
dihitung dengan menggunakan rumus berikut.
DS = Q / C (2.7)
Dimana:
DS = Derajat kejenuhan.
Q = Total arus aktual (smp/jam).
C = Kapasitas aktual.

2.2.6.6 Tundaan (Delay, D)


Tundaan adalah rata – rata waktu tunggu tiap kendaraan
yang masuk dalam pendekat.
1. Tundaan lalu lintas simpang.
Tundaan lalu lintas simpang adalah tundaan lalu lintas rata – rata
untuk semua kendaraan bermotor yang masuk simpang. DTi ditentukan

21
dari kurva empiris antara DTi dan DS, lihat Gambar

Gambar Tundaan lalu lintas simpang (Dti)

2. undaan lalu lintas jalan utama (DTMA)


Tundaan lalu lintas jalan utama adalah tundaan lalu lintas rata –
rata semua kendaraan bermotor yang masuk persimpangan dari jalan
utama DTMA ditentukan dari kurva empiris antara DTMA dan DS,
dapat dilihat Gambar

Gambar Tundaan lalu lintas jalan utama


(DTMA)

3. Penentuan tundaan lalu lintas jalan minor (DTMI)


Tundaan lalu-lintas jalan minor rata-rata, ditentukan berdasarkan
tundaan simpang rata-rata dan tundaan jalan utama rata-rata.
DTMI = (QTOT × DTI - QMA × DTMA)/QMI (2.8)

Dimana:
DTMI = Tundaan untuk jalan minor.
DTMA = Tundaan untuk jalan mayor.
QTOT = Volume arus.
QMA = Volume arus lalu lintas pada jalan mayor.
QMI = volume arus lalu lintas pada jalan minor.

4. Tundaan geometrik simpang (DG)

22
Tundaan geometrik simpang adalah tundaan geometrik rata-
rata seluruh kendaraan bermotor yang masuk simpang. DG dihitung
dari rumus berikut:
Untuk DS < 1,0
DG = (1- DS) × (PT × 6 + (1- PT) × 3) + DS × 4 (det/smp) (2.9)
Untuk DS ≥ 1,0: DG = 4
Dimana:
DG = Tundaan geometrik simpang.
DS = Derajat kejenuhan.
PT = Rasio belok total.

4. Tundaan simpang (Delay, D)


Tundaan simpang dihitung sebagai berikut
D = DG + DTI (det/smp) (2.10)

Dimana :
DG = Tundaan geometrik simpang.
DTI = Tundaan lalu-lintas simpang.

2.2.6.7 Peluang Antrian (QP%)

Peluang antrian dinyatakan pada range nilai yang didapat dari


kurva hubungan antara peluang antrian (QP%) dengan derajat jenuh
(DS), yang merupakan peluang antrian dengan lebih dari dua kendaraan
di daerah pendekat yang mana saja, pada simpang tak bersinyal.

Gambar Peluang antrian (QP%)

23
2.2.6.8 Penilaian Perilaku Lalu Lintas

Manual ini terutama direncanakan untuk memperkirakan


kapasitas dan perilaku lalu-lintas pada kondisi tertentu berkaitan dengan
rencana geometrik jalan, lalu-lintas dan lingkungan. Karena hasilnya
biasanya tidak dapat diperkirakan sebelumnya, mungkin diperlukan
beberapa perbaikan dengan pengetahuan para ahli lalu-lintas, terutama
kondisi geometrik, untuk memperoleh perilaku lalu-lintas yang
diinginkan berkaitan dengan kapasitas dan tundaan dan sebagainya.
Cara yang paling cepat untuk menilai hasil adalah dengan melihat
derajat kejenuhan (DS) untuk kondisi yang diamati, dan
membandingkannya dengan pertumbuhan lalu-lintas tahunan dan "umur"
fungsional yang diinginkan dari simpang tersebut. Jika nilai DS yang
diperoleh terlalu tinggi (> 0,75), pengguna manual mungkin ingin
merubah anggapan yang berkaitan dengan lebar pendekat dan
sebagainya, dan membuat perhitungan yang baru.

2.2.6.9 Tingkat Pelayanan Persimpangan


Dalam MKJI cara yang paling tepat untuk menilai hasil kinerja
persimpangan adalah dengan melihat derajat kejenuhan (DS) untuk
kondisi yang diamati dan membandingkannya dengan pertumbuhan lalu
lintas dan umur fungsional yang diinginkan dari simpang tersebut. Jika
derajat kejenuhan yang diperoleh terlalu tinggi,

maka diperlukan perubahan asumsi yang terkait dengan penampang


melintang jalan dan sebagainya serta perlu diadakan perhitungan ulang.
Jika untuk penilaian operasional persimpangan, maka nilai derajat
kejenuhan yang tinggi mengindikasikan ketidakmampuan persimpangan

24
dalam mengatasi jumlah kendaraan yang dilewatkan. Standar untuk
menentukan tingkat derajat kejenuhan (DS) menurut Pignataro, L.J. 1973
diperlihatkan pada Tabel 2.15 dan berdasarkan Departemen Perhubungan
(2006).

Tabel Standar Derajat Kejenuhan (DS)

Tingkat Derajat Kejenuhan Batasan Nilai


Tidak Baik > 0,85
Baik < 0,75
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997

Dari Tabel dapat dijabarkan untuk standar nilai derajat kejenuhan


(DS) adalah sebagai berikut:

1. Tingkat Kapasitas Tidak Baik Apabila didapat nilai DS diatas 0,85


2. Tingkat Kapasitas Baik
Apabila didapat nilai DS dibawah 0,75

2.2.7 Waktu Tempuh Perjalanan

Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI, 1997), Waktu


rata-rata yang digunakan kendaraan menempuh segmen jalan dengan
panjang tertentu,termasuk semua tundaan waktu berhenti (detik) atau
jam.
Waktu tempuh rata-rata TT = L/V (jam) (2.11)

Dimana :
TT = Waktu tempuh rata-rata (jam)
L = Panjanglintasan (km)
V = Kecepatan tempuh (km/jam)
(Waktu tempuh rata-rata dalam detik dapat dihitung dengan TT × 3.600).

Beberapa metode survei diberikan yang pemilihannya sesuai


dengan tujuan dari survei. Pada panduan survei dan perhitungan waktu
perjalanan lalu lintas (No.001/T/BNKT/1990) metode yang diberikan

25
adalah yang dipertimbangkan dapat diterapkan untuk kota-kota di
Indonesia seperti berikut:

2.2.7.1 Metode Kendaraan Contoh


Cara ini dilakukan dengan kendaraan contoh yang dikendarai
pada arus lalu- lintas dengan mengikuti salah satu dari kondisi operasi
sebagai berikut :
a. Pengemudi berusaha membuat kendaraan contoh mengambang
pada arus kendaraan dalam artian mengusahakan agar jumlah
kendaraan yang disiap kendaraan contoh sama dengan kendaraan
yang menyiap kendaraan contoh.
b. Pengemudi mengatur kecepatan sesuai dengan perkiraan kecepatan
arus kendaraan.
c. Kendaraan contoh melaju sesuai dengan kecepatan batas kecuali
terhambat oleh kondisi lalu-lintas yang disurvei.
Pada cara ini dapat diperoleh kecepatan perjalanan total dan
kecepatan bergerak serta lokasi hambatan dan lamanya hambatan di
sepanjang rute. Dibawah ini adalah tata cara survei dengan metode
kendaraan contoh sebagai berikut:

Titik awal dan titik akhir dari rute yang disurvei perlu diidentifikasi
terlebih dahulu untuk memperkirakan kondisi lalu-lintas yang ada. Titik-
titik antara di sepanjang rute perlu juga diidentifikasi yang dapat dipakai
sebagai titik kontrol. Stopwatch dimulai pada titik awal survei.
Selanjutnya kendaraan contoh dikendarai di sepanjang rute sesuai dengan
perkiraan kriteria operasi yang diambil. Ketika kendaraan berhenti atau
terpaksa bergerak sangat lambat, karena kondisi yang ada, maka
stopwatch kedua digunakan untuk mencatat waktu hambatan yang
dialami. Masing-masing lokasi, lamanya dan penyebab hambatan dicatat
pada lembar kerja lapangan. Pada akhir rute, stopwatch dihentikan dan
waktu total perjalanan dicatat. Jarak rute serta jarak pada masing-masing
seksi dapat diperoleh dari odometer kendaraan contoh. Dianjurkan untuk
melakukan survai 6 kali perjalanan untuk tiap arah. Apabila jumlah

26
tersebut tidak dapat dicapai, di dalam praktek dapat dilaksanakan selama
3 kali perjalanan untuk setiap arah.

2.2.7.2 Metode Kecepatan Setempat


Metode kecepatan setempat dimaksudkan untuk pengukuran
karakteristik kecepatan pada lokasi tertentu pada lalu-lintas dan kondisi
lingkungan yang ada pada saat studi. Sejumlah kecepatan ini perlu
diambil, agar dapat diperoleh hasil yang dapat diterima secara statistik.
Lokasi pengamatan kecepatan setempat sebaiknya dipilih pada
ruas jalan diantara persimpangan, sedangkan waktu pengamatan
tergantung pada tujuan penggunaan hasil survei. Kecepatan setempat
hendaknya dilakukan pada saat udara yang baik dengan kondisi lalu-
lintas normal. Pelaksanaan survei dapat secara manual atau otomatis.
Pada cara manual, kecepatan dihitung berdasarkan waktu selang pada
jarak tertentu. Alat yang diperlukan adalah stopwatch, meteran dan
material untuk tanda pada permukaan jalan.
Tata cara ini diberikan untuk pengukuran kecepatan setempat
dengan metode manual yang umum dilakukan. Sampel yang perlu
dipenuhi saat melakukan survei adalah :

a) Kendaraan yang paling depan dari suatu arus hendaknya diambil


sebagai sampel dengan pertimbangan bahwa kendaraan kedua
dan selanjutnya mempunyai kecepatan yang sama dan
kemungkinan tidak dapat menyiap.
b) Sampel untuk truk hendaknya diambil sesuai dengan proporsinya.
Dalam pengukuran kecepatan setempat, panjang jalan diambil
sesuai dengan perkiraan kecepatan, seperti direkomendasikan pada tabel
berikut:
Tabel Rekomendasi panjang jalan untuk studi

Perkiraan Penggal Jalan


Kecepatan rata-rata
(m)
Arus Lalu-Lintas km/jam
<40 25

27
40-65 50
>65 75
Sumber: Panduan survei dan perhitungan waktu
perjalanan lalu lintas (No.001/T/BNKT/1990)
2.2.8 Macam-Macam Bentuk Pertemuan Sebidang
Dilihat dari bentuknya ada beberapa macam jenis
persimpangan sebidang yaitu antara lain:
- Pertemuan/persimpangan sebidang bercabang 3
- Pertemuan/persimpangan sebidang bercabang 4
- Pertemuan/persimpangan sebidang bercabang banyak
- Bundaran ( Rotary Intersection )
Bentuk dari bermacam-macam persimpangan tersebut dapat
dilihat pada gambar berikut :

28
Gambar Persimpangan Bercabang Tiga

Gambar Persimpangan Bercabang Banyak Gambar Bundaran (Rotary


Intersection)

Dari sifat dan tujuan gerakan didaerah persimpangan, dikenal beberapa


bentuk alih gerak yaitu:

a. Diverging (Memisah)
Diverging adalah peristiwa memisahnya kenderaan dari suatu arus yang
sama kejalur yang lain.

29
Gambar Diverging (memisah)
b. Merging (Menggabung)
Merging adalah peristiwa menggabungnya kenderaan dari satu jalur kejalur
yang lain.

Gambar Merging (menggabung)


c. Crossing (Memotong)
Crossing adalah peristiwa perpotongan antara arus kenderaan dari satu
jalur kejalur yang lain pada persimpangan dimana Keadaan yang demikian akan
menimbulkan titik konflik pada persimpangan tersebut.

Gambar Crossing (memotong)

30
d. Weaving (Menyilang)
Weaving adalah pertemuan dua arus latu lintas atau lebih
yang berjalan menurut arah yang sama sepanjang suatu lintasan
dijalan raya tanpa bantuan rambu lalu lintas. Gerakan ini sering
terjadi pada suatu kenderaan yang berpindah dari suatu jalur kejalur
lain misalnya pada saat kenderaan masuk kesuatu jalan raya dari
jalan masuk, kemudian bergerak kejalur lainnya untuk mengambil
jalan keluar dari jalan raya tersebut keadaan ini juga akan
menimbulkan titik konflik pada persimpangan tersebut.

Gambar Weaving (menyilang)

31

Anda mungkin juga menyukai