Anda di halaman 1dari 6

1.

Perencanaan Geometrik

a. Penentuan Trase Jalan


1) Faktor Topogorafi
Topografi merupakan dalam menentukan lokasi jalan dan pada umumya
mempengaruhi penentuan trase jalan, seperti : landai jalan, jarak pandang,
panampang melintang dan lain-lainnya.
Bukit, lembah, sunai dan danau sering memberikan pembatas terhadap lokasi
dan perencanaan trase jalan. Hal demikian perlu dikaitkan pula pada kondisi medan
yang direncanakan.
Kondisi medan sangat diperlukan oleh hal-hal sebagai berikut:
- Tikungan
Jari-jari tikungan dan pelebaran perkerasan sedemikain rupa sehingga terjamin
keamanan jalananya kendaraan-kendaraan dan pandangan bebas yang cukup luas.
- Tanjakan
Adanya tanjakan yang cukup curan dapat merugikan kecepatan kendaraan dan kalau
tenaga tariknya tidak cukup, maka berak muatan kendaraan harus dikurangi, yang
berarti menguragi kapasitas angkutan dan sangat merugikan.
Karena itu diusahakan supaya tanjakan dibuat landai sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
Golongan Medan Lereng melintang
- Darat (D) 0 sampai dengan 9,9 %
- Bukit (B) 10 sampai dengan 24,9 %
- Gunung (G) lebih besar dari 25%
Sumber : PPGJR No. 13/1970/BM.

2) Faktor Geologi
Kondisi geologi suatu daerah dapat mempengaruhi pemilihan suatu tresle jalan.
Adanya daerah-daerah yang rawan secara geologis seperti; daerah patahan atau
daerah bargerak baik vertical maupun horizontal akan merupakan daerah yang tidak
baik untuk dibuat suatu trase jalan dan memaksa suatu rencana trase jalan untuk
dirubah atau dipindahkan.
Keadaan tahah dasar dapat mempengaruhi lokasi dan bentuk geometrik jalan
misalnya; daya dukung tanah dasar dasar yang jarak dan muka air yang tinggi.
Kondisi iklim juga dapat mempengaruhi penetapan laokasi dan bentuk geometric
jalan.

3) Faktor Tata Guna Lahan


Tata guna lahan merupakan hal yang paling mendasar dalam perencanaan suatu
lokasi jalan, karena ini perlu adanya suatu musyawarah yang berhubungan langsung
dengan masyarakat berkait tentang pembebasan tanah sarana trasportasi.
Dengan demikian akan merubah kwalitas kehidupan secara keseluruhan dari suatu
daerah dan nilai lahannya yang akan berujud lain.
Akibat bangunya suatu lokasi jalan baru pembebasan lahan ternyata sering
menimbulkan permasalahan yang sulit dan controversial. Pada prinsipnya pembebasn
tanah untuk suatu lokasi ialah sama seperti pembeli tanah untuk kegiatan ekonomi
lainnya, yang akan menggantikan penggunaan selanjutnya.
Maka secara prinsip itu tidak akan lebih sukar dari pada membeli sebidang
tanah untuk pembanguna aparteman baru, pabrik dan sebagainya, tapi karena suatu
pembangunan akan memerlukan sebidang tanah yang harus panjang rute dimana jalan
tadi akan dibangun, oleh karena itu maka tanah yang harus dibeli adalah merupakan
tanah-tanah lokasi tertentu saja dn bukan tanah yang berlokasi sembarang.

b. Perhitungan Alinement Horizontal dan Stationing


Alinemen horisontal (trase jalan) adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang
horisontal. Alinemen horisontal tersusun atas garis lurus dan garis lengkung (busur)
atau lebih dikenal dengan istilah tikungan. Busur terdiri atas busur lingkaran saja
(full-circle), busur peralihan saja (spiral-spiral), atau gabungan busur lingkaran dan
busur peralihan (spiral-circlespiral).
F=m.a

G.V2
F= g.R

Dimana :
F = gaya sentrifugal
m = massa kendaraan
a = percepatan sentrifugal
G = berat kendaraan
g = gaya gravitasi
V = kecepatan kendaraan
R = jari-jari tikungan

Gaya yang mengimbangi gaya sentrifugal adalah berasal dari :

 Gaya gesekan melintang roda (ban) kendaraan yang sangat


dipengaruhi oleh koefisien gesek (= f)
 Superelevasi atau kemiringan melintang permukaan jalan (= e)
Ketajaman lengkung horisontal (tikungan) dinyatakan dengan besarnya radius
lengkung (R) atau dengan besarnya derajat lengkung (D). Derajat lengkung (D)
adalah besarnya sudut lengkung yang menghasilkan panjang busur 25 meter.

D = (25/π.R) . 360
D = 1432.39 / R

Radius lengkung (R) sangat dipengaruhi oleh besarnya superelevasi (e) dan
koefisien gesek (f) serta kecepatan rencana (V) yang ditentukan. Untuk nilai
superelevasi dan koefisien gesek melintang maksimum pada suatu kecepatan yang
telah ditentukan akan meghasilkan lengkung tertajam dengan radius minimum
(Rmin).

Pada jalan lurus dimana radius lengkung tidak berhingga perlu direncanakan
super elevasi (en) sebesar 2 – 4 persen untuk keperluan drainase permukaan jalan.

Secara teori pada tikungan akan terjadi perubahan dari radius lengkung tidak
berhingga (R~) pada bagian lurus menjadi radius lengkung tertentu (Rc)pada bagian
lengkung dan sebaliknya. Untuk mengimbangi perubahan gaya sentrifugal secara
bertahap diperlukan lengkung yang merupakan peralihan dari R~ menuju Rc dan
kembali R~.
Lengkung peralihan ini sangat dipengaruhi oleh sifat pengemudi, kecepatan
kendaraan, radius lengkung dan superelevasi jalan. Pencapaian superelevasi dari en
menjadi emaks dan kembali menjadi en dilakukan pada awal sampai akhir lengkung
secara bertahap. Panjang lengkung peralihan (Ls) diperhitungkan dari superelevasi
sebesar en sampai superelevasi mencapai emaks.

Panjang lengkung peralihan (Ls) yang digunakan dalam perencanaan adalah yang
terpanjang dari pemenuhan persyaratan untuk:

 Kelandaian relatif maksimum

 Modifikasi rumus SHORT


Berdasarkan panjang perjalanan selama waktu tempuh 3 detik (Bina Marga)
atau 2 detik (AASHTO)Ls = (V/3.6) . T

Kelandaian relatif maksimum (1/m) berdasarkan kecepatan rencana

No Kecepatan Rencana (Vr)


20 30 40 50 60 80 100

Bina Marga
1/50 1/75 1/100 1/115 1/125 1/150 1/100

No Kecepatan Rencana (Vr)


32 48 64 80 88 96 104

AASHTO
1/33 1/150 1/175 1/200 1/213 1/222 1/244

Diagram Superelevasi

Merupakan penggambaran pencapaian superelevasi dari lereng normal (en)


sampai lereng maksimal (e maks), sehingga dapat ditentukan diagram penampang
melintang setiap titik (stationing) pada suatu tikungan yang direncanakan.

Anda mungkin juga menyukai