Anda di halaman 1dari 18

KEBUDAYAAN NASIONAL

Budaya secara harafiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Cloere yang memiliki
arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara lading (menurut Soerjanto
Poespowardojo, 1993). Selain iu budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu Buddhayah, yang berupakan bentuk jamak dari kata buddhi (budi
atau akal) yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Menurut istilah, Kebudayaan merupakan sesuatu yang agung dan mahal
nilainya, karena ia tercipta dari hasil rasa, karya, karsa, dan cipta manusia yang
kesemuanya merupakan sifat manusia yang tidak mungkin dimiliki oleh makhluk lain
selain manusia.
Wikipedia menerjemahkan Kebudayaan Nasional sebagai sebuah kebudayaan
yang diakui sebagai identitas nasional. Sedangkan untuk Kebudayaan Indonesia
adalah seluruh kebudayaan nasional, Kebudayaan local, maupun kebudayaan asal
asing yang ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka tahun 1945. Jadi
Kebudayaan nasional adalah gabungan dari kebudayaan daerah yang ada di Negara
tersebut.

KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA


Definisi
Kebudayaan Nasional Indonesia secara hakiki terdiri dari semua budaya yang
terdapat dalam wilayah Republik Indonesia. Tanpa budaya-budaya itu tak ada
Kebudayaan Nasional. Itu tidak berarti Kebudayaan Nasional sekadar penjumlahan
semua budaya lokal di seantero Nusantara. Kebudayan Nasional merupakan realitas,
karena kesatuan nasional merupakan realitas.

Wujud Kebudayaan Indonesia


Kebudayaan daerah tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di
seluruh daerah di Indonesia. Setiap saerah memilki ciri khas kebudayaan yang
berbeda.
 Rumah adat
 Aceh: Rumoh Aceh
 Sumatera Barat : Rumah Gadang
 Sumatera Selatan : Rumah Limas
 Jawa : Joglo
 Papua : Honai
 Sulawesi Selatan : Tongkonang (Tana Toraja), Bola Soba (Bugis Bone), Balla
Lompoa (Makassar Gowa)
 Sulawesi Tenggara: Istana buton
 Sulawesi Utara: Rumah Panggung
 Kalimantan Barat: Rumah Betang
 Nusa Tenggara Timur: Lopo
 Maluku : Balieu (dari bahasa Portugis)
 Tarian
 Jawa: Bedaya, Kuda Lumping, Reog
 Bali: Kecak, Barong/ Barongan, Pendet
 Maluku: Cakalele, Orlapei, Katreji
 Aceh: Saman, Seudati
 Minangkabau: Tari Piring, Tari Payung, Tari Indang, Tari Randai, Tari Lilin
 Betawi: Yapong
 Sunda: Jaipong, Tari Topeng
 Timor NTT: Likurai, Bidu, Tebe, Bonet, Pado'a, Rokatenda, Caci
 Batak Toba & Suku Simalungun: Tortor
 Sulawesi Selatan: Tari Pakkarena, Tarian Anging Mamiri, Tari Padduppa, Tari 4
Etnis
 Sulawesi Tengah: Dero
 Pesisir Sibolga/Tapteng: Tari Sapu Tangan , Tari Adok , Tari Anak , Tari
Pahlawan , Tari Lagu Duo , Tari Perak , Tari Payung
 Riau : Persembahan, Zapin, Rentak Bulian, Serampang Dua Belas
 Lampung : Bedana, Sembah, Tayuhan, Sigegh, Labu Kayu
 Irian Jaya: ( Musyoh, Selamat Datang )
 Nias : Famaena
 Lagu
 Jakarta: Kicir-kicir, Jali-jali, Lenggang Kangkung, Keroncong Kemayoran,
Surilang, Terang Bulan
 Maluku : Rasa Sayang-sayange, Ayo Mama, Buka Pintu, Burung Tantina, Goro-
Gorone, Huhatee, Kole-Kole, Mande-Mande, Ole Sioh, O Ulate, Sarinande,
Tanase
 Melayu : Tanjung Katung
 Aceh : Bungong Jeumpa, Lembah Alas, Piso Surit
 Kalimantan Selatan : Ampar-Ampar Pisang, Paris Barantai, Saputangan
Bapuncu Ampat
 Nusa Tenggara Timur : Anak Kambing Saya, Oras Loro Malirin, Sonbilo, Tebe
Onana, Ofalangga, Do Hawu, Bolelebo, Lewo Ro Piring Sina, Bengu Re Le Kaju,
Aku Retang, Gaila Ruma Radha, Desaku, Flobamora, Potong Bebek Angsa
 Sulawesi Selatan : Angin Mamiri, Pakarena, Sulawesi Parasanganta, Ma
Rencong
 Sumatera Utara : Anju Ahu, Bungo Bangso, Cikala Le Pongpong, Bungo
Bangso, Butet, Dago Inang Sarge, Lisoi, Madekdek Magambiri, Mariam
Tomong, Nasonang Dohita Nadua, Rambadia, Sengko-Sengko, Siboga Tacinto,
Sinanggar Tulo, Sing Sing So, Tapian Nauli
 Papua/Irian Barat : Apuse, Yamko Rambe Yamko
 Sumatera Barat : Ayam Den Lapeh, Barek Solok, Dayung Palinggam,
Kambanglah Bungo, Kampuang Nan Jauh Di Mato, Ka Parak Tingga, Malam
Baiko, Kampuang nan Jauh di Mato, Kambanglah Bungo, Indang Sungai
Garinggiang, Rang Talu
 Jambi: Batanghari, Soleram
 Jawa Barat : Bubuy Bulan, Cing Cangkeling, Es Lilin, Karatagan Pahlawan,
Manuk Dadali, Panon Hideung, Peuyeum Bandung, Pileuleuyan, Tokecang
 Kalimantan Barat : Cik-Cik Periuk
 Sumatera Selatan : Cuk Mak Ilang, Dek Sangke, Gending Sriwijaya, Kabile-bile,
Tari Tanggai
 Banten : Dayung Sampan
 Sulawesi Utara : Esa Mokan, O Ina Ni Keke, Si Patokaan, Sitara Tillo
 Jawa Tengah : Gambang Suling, Gek Kepriye, Gundul Pacul, Ilir-ilir, Jamuran,
Bapak Pucung, Yen Ing Tawang Ono Lintang, Stasiun Balapan
 Nusa Tenggara Barat : Helele U Ala De Teang, Moree, Orlen-Orlen, Pai Mura
Rame, Tebe Onana, Tutu Koda
 Kalimantan Timur : Indung-Indung
 Jambi : Injit-Injit Semut, Pinang Muda, Selendang Mayang
 Kalimantan Tengah : Kalayar
 Jawa Timur : Keraban Sape, Tanduk Majeng
 Bengkulu : Lalan Belek
 Bali : Mejangeran, Ratu Anom
 Sulawesi Tenggara : Peia Tawa-Tawa
 Yogyakarta : Pitik Tukung, Sinom, Suwe Ora Jamu, Te Kate Dipanah
 Sulawesi Tengah : Tondok Kadadingku, Tope Gugu
 Sulawesi Barat : Bulu Londong, Malluya, Io-Io, Ma'pararuk
 Musik
 Jakarta: Keroncong Tugu.
 Maluku :
 Melayu : Hadrah, Makyong, Ronggeng
 Minangkabau :
 Aceh :
 Makassar : Gandrang Bulo, Sinrilik
 Pesisir Sibolga/Tapteng : Sikambang
 Alat musik
 Jawa: Gamelan, Kendang Jawa.
 Nusa Tenggara Timur: Sasando, Gong dan Tambur, Juk Dawan, Gitar Lio.
 Gendang Bali
 Gendang Simalungun
 Gendang Melayu
 Gandang Tabuik
 Sasando
 Talempong
 Tifa
 Saluang
 Rebana
 Bende
 Kenong
 Keroncong
 Serunai
 Jidor
 Suling Lembang
 Suling Sunda
 Dermenan
 Saron
 Kecapi
 Bonang
 Angklung
 Calung
 Kulintang
 Gong Kemada
 Gong Lambus
 Rebab
 Tanggetong
 Gondang Batak
 Kecapi
 Kesok-Kesok
 Gambar
 Jawa: Wayang.
 Tortor: Batak
 Patung
 Jawa: Patung Buto, patung Budha.
 Bali: Garuda.
 Irian Jaya: Asmat.
 Pakaian
 Jawa: Batik.
 Sumatra Utara: Ulos, Suri-suri, Gotong.
 Sumatra Utara, Sibolga: Anak Daro & Marapule.
 Sumatra Barat/ Melayu:
 Sumatra SelatanSongket
 Lampung : Tapis
 Sasiringan
 Tenun Ikat Nusa Tenggara Timur
 Bugis - MakassarBaju Bodo dan Jas Tutup, Baju La'bu
 Suara
 Jawa: Sinden.
 Sumatra: Tukang cerita.
 Talibun : (Sibolga, Sumatera Utara)
 Sastra/tulisan
 Jawa: Babad Tanah Jawa, karya-karya Ronggowarsito.
 Bali: karya tulis di atas Lontar.
 Sumatra bagian timur (Melayu): Hang Tuah
 Sulawesi Selatan Naskah Tua Lontara
 Timor Ai Babelen, Ai Kanoik
 Makanan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar masakan Indonesia
 Timor: Jagung Bose, Daging Se'i, Ubi Tumis.
 Sumatera bagian Barat: Sate Padang
 Sumatera bagian Selatan: Pempek Palembang
 Jogjakarta: Gado-Gado
 Kebudayaan Modern Khas Indonesia
 Musik Dangdut: Elvie Sukaesih, Rhoma Irama.
 Film Indonesia: "Daun di Atas Bantal" (1998) yang mendapat penghargaan
Film terbaik di "Asia Pacific Film Festival" di Taipei.
Akar Kebudayaan Nasional Indonesia
Akar kebudayaan Indonesia adalah suatu mekanisme yang terbentuk dari
unsur-unsur yang berkaitan dengan zaman prasejarah,jadi ibarat pohon,pohon tidak
dapat tumbuh dan berkembang tanpa adanya akar,demikian pula dengan
kebudayaan pada suatu Negara tidak dapat tumbuh dan berkembang tanpa adanya
akar atau pendahulu yang membentuk kebudayaan tersebut.
Akar kebudayaan Indonesia berhubungan dengan zaman prasejarah, mulai
dari nenek moyang kita yang membawa kebudayaan Dongson, setelah itu diikuti oleh
perkembangan Islam di Indonesia. Jadi islam juga merupakan salah satu akar
kebudayaan Indonesia.
Berikut ini ringkasan mengenai sejarah nenek moyang bangsa Indonesia dari
tulisan Mochtar Lubis pada tahun 1986 dalam pidato kebudayaannya yang berjudul
“Situasi Akar Budaya Kita”:
Nenek moyang kita adalah bagian dari arus perpindahan manusia yang
bergerak di zaman lampau yang telah hilang sebagai hilangnya bayangan wayang dari
layar sejarah, bergerak dari bagian Timur Eropa Tengah dan bagian Utara wilayah
Balkan sekitar laut Hitam ke arah timur, mencapai Asia, masuk ke Tiongkok. Dan di
Tiongkok arus perpindahan ini bercabang-cabang ke utara, timur dan selatan.
Arus selatan mencapai daerah Yunan, sedang bagian timur mencapai laut
Indo Cina. Di sinilah tempat lahirnya budaya asal Indonesia. Manusia-manusia yang
berpindah dan bergerak ke Asia dari Eropa Tengah dan Wilayah Balkan itu adalah
orang Tharacia, Iliria, Cimeria, Kakusia, dan mungkin termasuk orang Teuton, yang
memulai perpindahan mereka di abad ke-9 hingga abad ke-8 sebelum nabi Isa.
Mereka membawa keahlian membuat besi dan perunggu.
Nenek moyang orang Indonesia yang telah berada terlebih dahulu dari
mereka di daerah Dongson ini telah mengembangkan seni monumental tanpa
banyak ornamentik yang dekoratif. Dari pendatang-pendatang baru ini mereka
mengambil alih, menerima, dan mencernakan seni ornamentik pendatang-
pendatang dari barat ini. Tidak saja dalam ornamentik, akan tetapi juga dalam hiasan
tenunan (amat banyak persamaan antara hiasan tenun Indonesia dan Balkan
umpamanya), dan juga dalam musik dan nyayian. Jaap Kunst, seorang ahli musik,
juga ahli musik Indonesia mengindentifikasikan persamaan nyayian rakyat di pulau
Flores dengan nyanyian rakyat di bagian timur Yugoslavia (Balkan). Kebudayaan
Dongson menunjukkan lebih banyak persamaan dan kaitan dengan budaya Eropa
dibanding budaya Cina.
Nenek moyang Dongson inilah yang bergerak ke selatan, dan kemudian
mencapai Nusantara. Di Nusantara hampir tidak ada perpisahan antara zaman
perunggu dan zaman besi. Hal ini sama juga terjadi di Indo Cina. Dalam penggalian
situs-situs purbakala, perunggu dan besi selalu ditemukan bersama-sama. Hulu pisau
dongson banyak berbentuk manusia, seperti keris Majapahit. Bentuk hulu pisau yang
serupa juga ditemukan di Holstein (Jerman), Denmark, dan di Kauskasus.
Tetapi, sebelum nenek moyang dari Dongson turun ke Nusantara, kelompok-
kelompok manusia lain telah terlebih dahulu datang. Selama zaman es terakhir,
kurang lebih 15.000 tahun sebelum Masehi, sejarah bumi Nusantara menunjukkan
bahwa sebagian besar Nusantara bagian barat menyatu dengan daratan Asia
Tenggara, Jawa, Sumatera, Kalimantan dan wilayah yang kini laut Jawa. Ketika es
berakhir, permukaan laut naik kembali, dan terbentuklah gugusan pulau-pulau
seperti yang kita kenal kini. Sejarah bumi Nusantara telah berpengaruh besar pada
perkembangan manusia Melayu-Polinesia. Mereka menjadi bangsa maritim, yang
kurang lebih 1000 tahun sebelum nabi Isa megarungi Samudera Hindia. Manuskrip
tua Hebrew dari masa akhir 2000 dan permulaan 1000 sebelum tahun Nabi Isa telah
menyebut perdagangan kulit manis dari berbagai tempat sepanjang pantai timur
Afrika.
Sebuah naskah Arab dari abad ke 13 menceritakan masuknya orang Melayu-
Polinesia ke belahan barat Samudera Hindia. Naskah itu mengatakan bahwa di masa
mundurnya Kerajaan Fira’un di Mesir, tempat yang bernama Aden, yang menguasai
jalan masuk ke laut Merah (yang masa itu merupakan tempat penduduk nelayan),
telah direbut oleh orang Qumr (Melayu-Polinesia) yang datang dengan armada yang
terdiri dari perahu-perahu yang memakai cadik. Mereka mengusir penduduk
setempat, membangun berbagai monumen dan memilihara hubungan langsung
dengan pulau Madagaskar dan Asia Tenggara. Para ahli sejarah menyebutkan hal itu
mungkin terjadi di masa Nabi Isa masih hidup. Untuk masa yang cukup lama orang
Melayu-Polinesia menguasai pelayaran dan perdagangan lewat Samudera Hindia dari
Asia Tenggara ke pintu Laut Merah, sepanjang pantai timur Afrika dan Pulau
Madagaskar.
Dalam melakukan ini, mereka juga telah membawa berbagai kekayaan budaya
ke Madagaskar dan Afrika. Di Madagaskar mereka telah menetap di belahan barat
pulau itu. Hingga kini masih terlihat berbagai persamaan kata antara bahasa
Madagaskar dan bahasa suku Manyaan di Kalimantan. Ke timur, nenek moyang
Melayu-Polinesia ini berlayar jauh ke pedalaman pasifik, menetap di berbagai
kepulauan, dan mereka paling ke timur mencapai Easter Island, pulau terjauh ke
timur dari Nusantara.
Jelaslah bahwa budaya bangsa kita berakar jauh ke zaman prasejarah, ke
masa silam yang begitu jauhnya, hingga telah lenyap dari ingatan bangsa kita. Jelas
pula bahwa kita telah mewarisi budaya dunia yang ada di masa itu, di samping nenek
moyang kita telah memberi pula sumbangan pada budaya-budaya bangsa lain di
seberang Samudera Hindia, serta menciptakan berbagai budaya di Madagaskar, dan
di kepulauan-kepulauan Samudera Pasifik.
Mengingat ini kembali, apakah kita kini, sebagai pewaris langsung dari
mereka, harus merasa gentar menghadapi abad ke 21 dan seterusnya? Seharusnya
tidak! Kita harus berani memeriksa diri secara cermat. Apa kekurangan-kekurangan
kita kini, hingga kita tidak memiliki kemampuan, keberanian dan daya cipta untuk
berbuat yang besar-besar bagi bangsa kita dan umat manusia hari ini?
Proses melalui zaman Mesolitik mencapai zaman Neolitik mungkin terjadi
kurang lebih 3500-2500 tahun sebelum Nabi Isa. Ketika itu mereka mulai tinggal
bersama dalam komunitas-komunitas kecil dan mulai mengembangkan pertanian
dan sistem pengairan. Di zaman ini berkembang akar budaya musyawarah Indonesia,
karena di kala itu belum ada kepala dan raja, dan semuanya masih dimusyawarahkan
oleh semua anggota komunitas, dipimpin oleh orang-orang yang lebih tua. Wanita
ikut bermusyawarah, dan anak-anak boleh hadir dan ikut mendengar. Di suku Sakudei
di pulau Mentawai, seorang peneliti Swiss melaporkan bahwa dia masih menemukan
tradisi musyawarah yang lama itu.
Akar budaya kita juga tumbuh dalam kepercayaan bahwa segala yang ada di
bumi memiliki ”ruh-ruh” sendiri. Ruh manusia adalah saudaranya, yang dapat
melepaskan diri dari dalam badan seseorang, dan ruh itu dapat mengalami bencana
dalam petualangannya di luar tubuh kita, yang dapat mengakibatkan yang punya
tubuh jatuh sakit atau mati. Manusia harus berbaik-baik dalam hubungannya dengan
dunia roh ini.
Selanjutnya nenek moyang kita di masa Megalitik itu memiliki konsep
hubungan dan pertentangan antara dunia atas dan dunia bawah. Dalam upacara-
upacara khusus, mereka membangun megalith-megalith dengan tujuan melindungi
ruh dari bahaya-bahaya yang datang dari dunia bawah, untuk menjadi penghubung
antara yang hidup dan yang telah mati, dan untuk mengabadikan kekuatan-kekuatan
magis mereka yang membangun megalith-megalith tersebut, atau untuk siapa batu-
batu itu dibangun. Megalith-megalith dibangun untuk memperkuat kesuburan
manusia, ternak dan apa yang mereka tanam, dan dengan demikian memperbesar
kekayaan generasi-generasi yang akan datang.
Kebudayaan Megalitik ini kemudian dimasuki oleh budaya Dongson yang
membawa teknologi perunggu dan besi, dan memberikan nafas dan kekuatan serta
daya cipta baru pada kelompok-kelompok budaya di Nusantara. Diperkirakan pula
bahwa budaya Dongson membawa teknologi bertanam padi di sawah. Teknologi padi
sawah mendorong komunitas-komunitas kecil untuk lebih berintegrasi
mengembangkan dan memilihara sistem pengairan, koordinasi bertanam serempak
pada waktu yang sama. Dalam proses sejarah, teknologi padi sawah ini telah
mendorong proses integrasi masyarakat-masyarakat desa Indonesia yang hingga kini
tumpuan kehidupan terbesar bangsa kita. Ia juga erat hubungannya dengan irama
iklim, datang musim kering dan musim hujan, yang mempengaruhi pola kehidupan di
Indonesia. Musim panen merupakan musim perkawinan umpamanya.
Pemujaan nenek moyang merupakan salah satu akar budaya bangsa
Indonesia. Pandangan kosmik mengenai kontradiksi antara dunia bawah dan dunia
atas tercermin dalam organisasi sosial berbagai suku bangsa kita; garis ibu dan garis
ayah, hubungann dasar antara dua suku yang saling mengambil laki-laki dan
perempuan dari dua suku untuk perkawinan, membuat tiada satu suku lebih tinggi
kedudukannya dari yang lain. Setiap suku bergantian menduduki tempat yang
superior dan tempat di bawah. Struktur tradisi kesukuan ini merupakan sebuah
mekanisme ke arah demokrasi, yang seandainya kita pandai mengembangkannya
dapat merupakan kekuatan untuk tradisi demokrasi bangsa kita.
Datangnya agama Budha, Hindu dan Islam, bangkitnya feodalisme, lalu
datang orang Eropa membawa penindasan penjajah, dan agama Nasrani, lalu lewat
pendidikan Barat masuk pula ilmu pengetahuan modern dan tekonologi modern
telah mendorong berbagai proses kemasyarakatan, politik, ekonomi, dan budaya,
yang akhirnya membawa manusia Indonesia pada keadaan hari ini.
Akar budaya lama jadi layu dan terlupakan, meskipun ada diantaranya tanpa
kita sadari masih berada terlena di bawah sadar kita. Bangkitnya feodalisme di
Indonesia dengan lahirnya berbagai kerajaan besar dan kecil telah mengubah
hubungan antara kekuasaan dan manusia atau anggota masyarakat. Penjajahan
Belanda menggunakan sistem menguasai dan memerintah melalui kelas bangsawan
atau feodal lama Indonesia telah meneruskan tradisi feodal berlangsung terus dalam
masyarakat kita. Malahan setelah Indonesia merdeka, hubungan-hubungan diwarnai
nilai-nilai feodalisme masih berlangsung terus, hingga sering kita mengatakan bahwa
kita kini menghadapi neo-feodalisme dalam bentuk-bentuk baru.
Semua pendidikan modern, falsafah Barat dan Timur, ideologi-ideologi yang
datang dari Barat mengenai manusia dan masyarakat. Agama Islam dan Nasrani yang
jadi lapis terakhir di atas kepercayaan-kepercayaan lama dan nilai-nilai akar budaya
kita, oleh daya sinkritisme manusia Indonesia, semuanya diterima dalam dirinya
tanpa banyak konflik dalam jiwa dan diri kita.
Sesuatu terjadi dalam diri kita, hingga secara budaya tidak mampu
memisahkan yang satu dari yang lain: mana yang takhyul, mana yang ilmiah, mana
yang bayangan, mana yang kenyataan, mana yang mimpi dan mana dunia nyata.
Malahan banyak orang kini membuat ilmu dan teknologi jadi takhyul dalam arti,
orang percaya bahwa ilmu dan teknologi dapat menyelesaikan semua masalah
manusia di dunia. Dan ada yang berbuat sebaliknya.
Kita jadi tidak tajam lagi membedakan mana yang batil dan mana yang halal.
Karena itu beramai-ramai dan penuh kebahagiaan kita melakukan korupsi besar-
besaran, dan tidak merasa bersalah sama sekali (Lubis, dalam ”Pembebasan Budaya-
Budaya Kita; 1999).

Kebudayaan Barat di Indonesia


Dalam era globalisasi seperti sekarang ini kebudayaan barat yang masuk ke Indonesia
semakin berkembang pesat. Hal ini dapat kita lihat dari semakin banyaknya rakyat
Indonesia yang bergaya hidup kebarat-baratan seperti mabuk-
mabukkan,clubbing,memakai pakaian mini,bahkan berciuman di tempat umum
seperti sudah lumrah di Indonesia. Proses akulturasi di Indonesia tampaknya beralir
secara simpang siur, dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot,
tersesat dalam ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya dilihat arah induk yang lurus:
”the things of humanity all humanity enjoys”. Terdapatlah arus pokok yang dengan
spontan menerima unsur-unsur kebudayaan internasional yang jelas menguntungkan
secara positif. Proses filtrasi perlu dilakukan sedini mungkin supaya kebudayaan barat
yang masuk ke Indonesia tidak akan merusak identitas kebudayaan nasional bangsa
kita. Tetapi bukan berarti kita harus menutup pintu akses bangsa barat yang ingin
masuk ke Indonesia, karena tidak semua kebudayaan barat yang masuk ke Indonesia
berpengaruh negatif, tetapi juga ada yang memberi pengaruh positif seperti
memajukan perkembangan IPTEK di Indonesia. Prioritas yang perlu kita lakukan
terhadap kebudayaan barat yang masuk ke Indonesia adalah kita harus lebih selektif
kepada kebudayaan barat. rans Magnis Suseno dalam bukunya ”Filsafat Kebudayan
Politik”, membedakan tiga macam Kebudayaan Barat Modern:

a. Kebudayaan Teknologis Modern


Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan sesuatu yang kompleks. Penyataan-
penyataan simplistik, begitu pula penilaian-penilaian hitam putih hanya akan
menunjukkan kekurangcanggihan pikiran. Kebudayaan itu kelihatan bukan hanya
dalam sains dan teknologi, melainkan dalam kedudukan dominan yang diambil oleh
hasil-hasil sains dan teknologi dalam hidup masyarakat: media komunikasi, sarana
mobilitas fisik dan angkutan, segala macam peralatan rumah tangga serta
persenjataan modern. Hampir semua produk kebutuhan hidup sehari-hari sudah
melibatkan teknologi modern dalam pembuatannya.
Kebudayaan Teknologis Modern itu kontradiktif. Dalam arti tertentu dia bebas nilai,
netral. Bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak mempunyai implikasi ideologis
atau keagamaan. Seorang Sekularis dan Ateis, Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis
atau Islam Fundamentalis, bahkan segala macam aliran New Age dan para normal
dapat dan mau memakainya, tanpa mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan
mereka masing-masing. Kebudayaan Teknologis Modern secara mencolok bersifat
instumental.

b. Kebudayaan Modern Tiruan


Kebudayaan Modern Tiruan terwujud dalam lingkungan yang tampaknya
mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi sebenarnya
hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah saja, misalnya kebudayaan
lapangan terbang internasional, kebudayaan supermarket (mall), dan kebudayaan
Kentucky Fried Chicken (KFC).
Di lapangan terbang internasional orang dikelilingi oleh hasil teknologi tinggi, ia
bergerak dalam dunia buatan: tangga berjalan, duty free shop dengan tawaran hal-
hal yang kelihatan mentereng dan modern, meskipun sebenarnya tidak dibutuhkan,
suasana non-real kabin pesawat terbang; semuanya artifisial, semuanya di seluruh
dunia sama, tak ada hubungan batin.
Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal orang bersentuhan dengan
hasil-hasil teknologi modern, ia menjadi manusia modern. Padahal dunia artifisial itu
tidak menyumbangkan sesuatu apapun terhadap identitas kita. Identitas kita
malahan semakin kosong karena kita semakin membiarkan diri dikemudikan. Selera
kita, kelakuan kita, pilihan pakaian, rasa kagum dan penilaian kita semakin
dimanipulasi, semakin kita tidak memiliki diri sendiri. Itulah sebabnya kebudayaan ini
tidak nyata, melainkan tiruan, blasteran.
Anak Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme: orang ketagihan
membeli, bukan karena ia membutuhkan, atau ingin menikmati apa yang dibeli,
melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern Blateran ini, bahkan
membuat kita kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu dengan sungguh-
sungguh. Konsumerisme berarti kita ingin memiliki sesuatu, akan tetapi kita semakin
tidak mampu lagi menikmatinya. Orang makan di KFC bukan karena ayam di situ
lebih enak rasanya, melainkan karena fast food dianggap gayanya manusia yang
trendy, dan trendy adalah modern.

c. Kebudayaan-kebudayaan Barat
Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan Kebudayaan Barat Modern.
Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan Barat, tetapi bukan hatinya,
bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia mengancam Kebudayaan Barat,
seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain, akan tetapi ia belum mencaploknya.
Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan barangkali juga Amerika Serikat masih
mempertahankan kebudayaan khas mereka masing-masing. Meskipun di mana-mana
orang minum Coca Cola, kebudayaan itu belum menjadi Kebudayaan Coca Cola.
Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan Barat palsu itu,
dengan demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga belum akan mengerti
bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang pergaulan, apa selera
estetik dan cita rasanya, apakah keyakinan-keyakinan moral dan religiusnya, apakah
paham tanggung jawabnya (Suseno; 1992).
Dampak Kebudayaan Barat di Indonesia
Dampak kebudayaan barat di Indonesia dicerminkan dalam wujud globalisasi
dan modernisasi yang dapat membawa dampak positif dan dampak negatif bagi
bangsa kita.

Dampak Positif
a. Perubahan Tata Nilai dan Sikap
Adanya moderenisasi dan globalisasi dalam budaya menyebabkan pergeseran nilai
dan sikap semua irasional menjadi rasional.
b. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat menjadi lebih
mudah dalam beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju.
c. Tingkat Kehidupan yang lebih Baik
Dibukanya industri yang memproduksi alat-alat komunikasi dan transportasi yang
canggih merupakan salah satu usaha mengurangi penggangguran dan meningkatkan
taraf hidup masyarakat.

Dampak Negatif
Dampak negatif modernisasi dan globalisasi adalah sebagai berikut.
a. Pola Hidup Konsumtif
Perkembangan industri yang pesat membuat penyediaan barang kebutuhan
masyarakat melimpah. Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk
mengonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada.
b. Sikap Individualistik
Masyarakat merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa
tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa
bahwa mereka adalah makhluk sosial.
c. Gaya Hidup Kebarat-baratan
Tidak semua budaya Barat baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Budaya negatif
yang mulai menggeser budaya asli adalah anak tidak lagi hormat kepada orang tua,
kehidupan bebas remaja, dan lain-lain.
d. Kesenjangan Sosial
Apabila dalam suatu komunitas masyarakat hanya ada beberapa individu yang dapat
mengikuti arus modernisasi dan globalisasi maka akan memperdalam jurang pemisah
antara individu dengan individu lain yang stagnan. Hal ini menimbulkan kesenjangan
sosial. Kesenjangan social menyebabkan adanya jarak antara si kaya dan si miskin
sehingga sangat mungkin bias merusak kebhinekaan dan ketunggalikaan Bangsa
Indonesia.

Situasi Budaya di Indonesia


Situasi Budaya Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Pasalnya, semakin
banyak kebudayaan Indonesia yang diklaim oleh Negara tetangga kita sendiri yaitu
Malasyia. Seperti tari reog ponorogo, dan yang baru akhir-akhir ini terjadi yaitu tari
pendet yang diklaim juga oleh Malaysia. Hak paten atas kebudayaan dalam hal ini
sangat berperan penting. Pemerintah baru menyadari akan perlunya hak paten
tersebut setelah adanya klaim-mengklaim Malaysia terhadap Kebudayaan Indonesia.
Menurut saya stabilitas situasi budaya di Indonesia dapat terwujud dengan cara
mempublikasikan kebudayaan kita kepada bangsa luar, dengan demikian secara tidak
langsung menghak-patenkan kebudayaan kita. Selain itu proses akulturasi yang
negatif dapat mempengaruhi situasi budaya di Indonesia semakin memprihatinkan.
Sajiman Surjohadiprojo dalam pidato kebudayaannya di tahun 1986
menyampaikan tentang persoalah kita hari ini, yaitu kurang kuatnya kemampuan
mengeluarkan energi pada manusia Indonesia. Hal ini mengakibatkan kurang adanya
daya tindak atau kemampuan berbuat. Rencana konsep yang baik, hasil dari otak
cerdas, tinggal dan rencana dan konsep belaka karena kurang mampu untuk
merealisasikannya. Akibat lainnya adalah pada disiplin dan pengendalikan diri.
Lemahnya disiplin bukan karena kurang kesadaran terhadap ketentuan dan peraturan
yang berlaku, melainkan karena kurang mampu untuk membawakan diri masing-
masing menetapi peraturan dan ketentuan yang berlaku. Kurangnya kemampuan
mnegeluarkan energi juga berakibat pada besarnya ketergantungan pada orang lain.
Kemandirian sukar ditemukan dan mempunyai dampak dalam segala aspek
kehidupan termasuk kepemimpinan dan tanggung jawab.
Menurut beliau kelemahan ini merupakan Kelemahan Kebudayaan. Artinya,
perbaikan dari keadaan lemah itu hanya dapat dicapai melalui pendekatan budaya.
Pemecahannya harus melalui pendidikan dalam arti luas dan Nation and Character
Building (Surjohadiprodjo, dalam ”Pembebasan Budaya-Budaya Kita; 1999).
Mochtar Lubis juga dalam kesempatan yang sama saat Temu Budaya tahun 1986,
menyampaikan bahwa kondisi budaya kita hari ini ditandai secara dominan oleh ciri:
 Kontradiksi gawat antara asumsi dan pretensi moral budaya Pancasila dengan
kenyataan
 Kemunafikan
 Lemahnya kreativitas
 Etos kerja yang lemah
 Neo-Feodalisme
Budaya malu telah sirna ( Lubis, 1999).

Tantangan-tantangan kebudayaan di Indonesia

1. Kebudayaan Modern Tiruan


Tantangan yang sungguh-sungguh mengancam kita adalah Kebudayaan
Modern Tiruan. Dia mengancam justru karena tidak sejati, tidak substansial. Yang
ditawarkan adalah semu. Kebudayaan itu membuat kita menjadi manusia plastik,
manusia tanpa kepribadian, manusia terasing, manusia kosong, manusia latah.
Kebudayaan Blasteran Modern bagaikan drakula: ia mentereng, mempunyai
daya tarik luar biasa, ia lama kelamaan meyedot pandangan asli kita tentang nilai,
tentang dasar harga diri, tentang status. Ia menawarkan kemewahan-kemewahan
yang dulu bahkan tidak dapat kita impikan. Ia menjanjikan kepenuhan hidup,
kemantapan diri, asal kita mau berhenti berpikir sendiri, berhenti membuat kita
kehilangan penilaian kita sendiri. Akhirnya kita kehabisan darah , kehabisan identitas.
Kebudayaan modern tiruan membuat kita lepas dari kebudayaan tradisional kita
sendiri, sekaligus juga tidak menyentuh kebudayaan teknologis modern sungguhan
(Suseno;1992)

2. Bagaimana Memberi Makan, Sandang, dan Rumah


Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa, budaya adalah perjuangan manusia
dalam mengatasi masalah alam dan zaman. Permasalahan yang paling mendasar bagi
manusia adalah masalah makan, pakaian dan perumahan. Ketika orang kekurangan
gizi bagaimana ia akan mendapat orang yang cerdas. Ketika kebutuhan pokok saja
tidak terpenuhi bagaimana orang akan berpikir maju dan menciptakan teknologi
yang hebat. Jangankan untuk itu, permasalahan pemenuhan kebutuhan kita sangat
mempengaruhi pola hubungan di antara manusia. Orang rela mencuri bahkan
membunuh agar ia bisa makan sesuap nasi. Sehingga, kelalaian dalam hal ini bukan
hanya berdampak pada kemiskinan, kelaparan, kematian, akan tetapi akan
berpengaruh dalam tatanan budaya-sosial masyarakat.

3. Masalah Pendidikan yang Tepat


Pendidikan masih menjadi permasalahan yang menjadi perhatian serius jika
bangsa ini ingin dipandang dalam percaturan dunia. Ada fenomena yang menarik
terkait dengan hal ini, yaitu mengenai kolaborasi kebudayaan dengan pendidikan,
dalam artian bagaimana sistem pendidikan yang ada mengintrinsikkan kebudayaan di
dalamnya. Dimana ada suatu kebudayaan yang menjadi spirit dari sistem pendidikan
yang kita terapkan.

4. Mengejar Kemajuan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Problem ini beranjak ketika kita sampai saat ini masih menjadi konsumen atas
produk-produk teknologi dari negara luar. Situasi keilmiahan kita belum berkembang
dengan baik dan belum didukung oleh iklim yang kondusif bagi para ilmuan untuk
melakukan penelitian dan penciptaan produk-produk, teknologi baru. Jika kita tetap
mengandalkan impor produk dari luar negeri, maka kita akan terus terbelakang. Oleh
karena itu, hal ini tantangan bagi kita untuk mengejar ketertinggalan iptek dari
negara-negara maju.

5. Kondisi Alam Global


Salah satu dampak pemanasan global adalah meningkatnya suhu permukaan
bumi sepanjang lima tahun mendatang. Hal itu akan mengakibatkan gunung es di
Amerika Latin mencair. Dampak lanjutannya adalah kegagalan panen, yang hingga
tahun 2050 mengakibatkan 130 juta penduduk dunia, terutama di Asia, kelaparan.
Pertanian gandum di Afrika juga akan mengalami hal yang sama.
Dampak pemanasan global juga dapat berupa meningkatnya permukaan laut,
lenyapnya beberapa spesies dan bencana nasional yang makin meningkat.
Disebutkan, 30% garis pantai di dunia akan lenyap pada 2080. Lapisan es di kutub
mencair hingga terjadi aliran air di kutub utara. Hal itu akan mengakibatkan terusan
Panama terbenam.
Naiknya suhu memicu topan yang lebih dasyat hingga mempengaruhi wilayah
pantai yang selama ini aman dari gangguan badai. Banyak tempat yang kini kering
makin kering, sebaliknya berbagai tempat basah akan semakin basah. Kesenjangan
distribusi air secara alami ini akan berpotensi meningkatkan ketegangan dalam
pemanfaaatan air untuk kepentingan industri, pertanian dan penduduk.
Asia menjadi bagian dari bumi yang akan paling parah. Perubahan iklim yang
tak terdeteksi akan menjadi bencana lingkungan dan ekonomi, dan buntutnya adalah
tragedi kemanusiaan.
INTEGRASI NASIONAL

Istilah integrasi nasional berasal dari dua kata yaitu integrasi dan nasional.
Istilah integrasi mempunyai arti pembauran/penyatuan sehingga menjadi kesatuan
yang utuh / bulat. Istilah nasional mempunyai pengertian kebangsaan, bersifat
bangsa sendiri, meliputi suatu bangsa seperti cita-cita nasional, tarian nasional,
perusahaan nasional (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1989 dalam Suhady 2006: 36).
Hal-hal yang menyangkut bangsa dapat berupa adat istiadat, suku, warna kulit,
keturunan, agama, budaya, wilayah/daerah dan sebagainya.
Sehubungan dengan penjelasan kedua istilah di atas maka integritas nasional
identik dengan integritas bangsa yang mempunyai pengertian suatu proses
penyatuan atau pembauran berbagai aspek sosial budaya ke dalam kesatuan wilayah
dan pembentukan identitas nasional atau bangsa (Kamus Besar Bahasa Indonesia:
1989 dalam Suhady 2006: 36-37) yang harus dapat menjamin terwujudnya
keselarasan, keserasian dan kesimbangan dalam mencapai tujuan bersama sebagai
suatu bangsa. Integritas nasional sebagai suatu konsep dalam kaitan dengan
wawasan kebangsaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berlandaskan pada
aliran pemikiran/paham integralistik yang dicetuskan oleh G.W.F. Hegl (1770- 1831
dalam Suhady 2006: 38) yang berhubungan dengan paham idealisme untuk
mengenal dan memahami sesuatu harus dicari kaitannya dengan yang lain dan untuk
mengenal manusia harus dikaitkan dengan masyarakat di sekitarnya dan untuk
mengenal suatu masyarakat harus dicari kaitannya dengan proses sejarah.

INTEGRASI NASIONAL INDONESIA

Integrasi nasional Indonesia. Sejauh ini, apa yang telah ditampakkan oleh
kajian sistem sosial dan budaya Indonesia? Bangsa yang ditengarai oleh aneka
bifurkasi sosial menurut garis wilayah, etnis, agama, tingkat ekonomi, apakah masih
memiliki signifikansi untuk bersatu? Jawabannya adalah ya. Persatuan di Indonesia
bukan merupakan sesuatu yang baru oleh sebab consensus nasional utama
(Proklamasi 1945) pernah tercetus. Problem krusial di masa-masa kemudian adalah
Indonesia terus mencari format-format baru integrasi nasionalnya sendiri.
Bukan Indonesia saja, Negara multikultur yang mengalami permasalahan
integrasi nasional. Spanyol, sebagai missal, mengalami masalah integrasi nasional
lewat persaingan politik antara etnis Catalan dengan Basque. Lebanon pun memiliki
masalah integrasi nasional lewat integrasi agama yang sangat bervariasi (Islam Sunni,
Islam Syiah, Kristen Maronit, Kristen Druze). Srilangka punya masalah yang terus
berkembang akibat perseteruan antara etnis Sinhala dan Tamil. Tetangga Indonesia
seperti Thailand dan Filipina menghadapi masalah integrasi nasional lewat kasus
wilayah Pattani dan Moro. Sebab itu, masalah integrasi Negara yang berisikan
multikultur bukan Cuma monopoli Indonesia.
Persoalan penting kemudian adalah, bagaimana Indonesia mengidentifikasi
pola integrasi nasionalnya untuk kemudian diaplikasikan ke dalam tindakan positif
menuju integrasi nasional, baik dari kalangan elit maupun masyarakat kebanyakan.
Pertanyaan pentinya kemudian adalah, apa yang sesungguhnya “bergerak” dalam
pola integrasi nasional Indonesia?

Beberapa Penjelasan Integrasi Nasional Indonesia


Dalam kasus integrasi nasional Indonesia, terdapat sejumlah penjelasan guna
menggambarakan metode terjadinya integrasi nasional. Penjelasan-penjelasan ini
memiliki aneka perbedaan titik tekan. Seluruh pendekatan yang tersedia kemudian
akan dipertimbangkan keeratan hubungannya dengan metode integrasi nasional
Indonesia.

1.Neopatrimonialisme
Pertama adalah penjelasan David Brown tentang metode integrasi Indonesia
yang ditentukan elit.1 Brown menggunakan istilah Neo Patrimonialisme dalam kasus
integrasi nasional Indonesia. Untuk memahami Neopatrimonialisme, paling jelas
dikontraskan dengan apa yang Max Weber maksud dengan Patrimonialisme.
Patrimonialisme adalah “the object of obedience is the personal authority of
the individual which he enjoys by virtue of his traditional status. The organized group
exercising authority is, in the simplest case, primarily based on relations of personal
loyalty, cultivated through a common process of education. The person exercising
authority is no a ‘superior’, but a personal ‘chief’. His administrative staff does no
consist primarily of officials, but of personal retainers … Wha determines the
relations of the administrative staff to the chief is not the impersonal obligations of
office, but personal loyalty to the chief.
Dalam patrimonialisme, sistem pemerintahan terbangun lewat ikatan antara
pimpinan pemerintah tertentu (ketua adat, raja, sultan) atau orang berpengaruh di
mana ia diangkat ke dalam posisi tertentu di dalam kekuasaan pusat. Orang-orang ini
punya pengikut yang mengikutinya berdasarkan loyalitas personal. Jaringan-jaringan
patron-klien ini kemudian mengembangkan loyalitas masing-masing yang
kedaerahan ke tingkat nasional.
Negara patrimonial sebab itu merupakan puncak dari suatu masyarakat yang
dikarakteristikkan oleh hubungan patron-klien tradisional. Negara patrimonial, sebab
itu, bergantung pada seberapa besar loyalitas rakyat pada pemimpin lokalnya, dan,
loyalitas para pemimpin local kepada pemerintah pusat. Ia mengandalkan stabilitas
sistem politik tradisional kedaerahan yang berkembang. Misalnya, ketaatan rakyat
Yogyakarta kepada Sultan Hamengkubuwono X dan ketaatan Sultan
Hamengkubowono kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesia. Atau, dalam kasus
Aceh, seberapa besar loyalitas rakyat Aceh kepada Hasan Tiro dan bagaimana sikap
Hasan Tiro kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesia.
Lalu, apa yang membedakan antara patrimonialisme dengan
neopatrimonialisme? Perbedaan utamanya terletak pada perubahan hubungan
antara pengikut dan pemimpin. Dalam patrimonialisme, elit patrimonial menyatakan
dirinya sebagai kelas istimewa yang mampu menempatkan dirinya sebagai monopol
sumber daya sekaligus mengesampingkan massa dari wilayah kuasa dan
kesejahteraan. Ini terus terjadi andaikan pemimpin patrimonial mampu menjamin
keamanan dan perlindungan yang ia berikan kepada para pengikut.
Dalam neopatrimonialisme, perubahan ikatan tradisional, meningkatnya
mobilisasi penduduk (vertical, horizontal), dan tersebarnya harapan akan demokrasi,
membuat para elit patrimonial makin sulit memelihara ikatan patron-klien terhadap
massanya. Loyalitas dari para pengikut kini berubah dari sekadar perlindungan dan
keamanan menjadi bersifat material (kuasa, uang, kemakmuran).
Dalam konteks neopatrimonial, pemimpin massa yang tadinya (secara
tradisional) memiliki pengikut loyal, kini mulai bergeser. Mereka tidak stabil lagi
dalam menggamit massa-nya sendiri dan kemudian, untuk menyelamatkan posisi,
turun ‘tahta’ menjadi broker politik. Pemimpin yang awalnya menguasai monopoli
loyalitas massa suatu daerah kini terpecah. Dalam suatu daerah muncul ‘communal
leader’ yang berbeda dengan pemimpin tradisional. Pemimpin-pemimpin baru ini
mengklaim punya massa tertentu dan bersedia membela mereka baik secara
material maupun politik. Inilah pemimpin-pemimpin neopatrimonial. Sebab itu,
dalam Negara yang terintegrasi menurut garis neopatrimonial, menjadi penting
kajian atas kohesi antar-elit neopatrimonial.

2.Teori Dimensi
Christine Drake mengutarakan tesis tentang 4 faktor yang mendorong
integrasi nasional Indonesia.3 Pertama, dimensi politik dan sejarah yang menekankan
kepada persamaan nasib selaku rakyat yang terjajah Hindia-Belanda, yang
membangun kesadaran bersama mencapai satu tujuan. Kedua, dimensi sosiokultural
yang termasuk atribut-atribut budaya yang sama, bahasa yang sama, agama yang
sama, dan kemudian membimbing pada ikatan bersama untuk bersatu di dalam
Indonesia.
Ketiga, dimensi interaktif, yaitu tingkat kontak yang terbangun antara orang-
orang yang diam di wilayah yang kini menjadi Indonesia, di mana mereka satu sama
lain saling berkomunikasi lewat perdagangan, transportasi, teleppon, migrasi, dan
televise. Keempat, dimensi ekonomi, yaitu kesalingtergantungan ekonomi antar
region-region yang ada di Indonesia.

3.Teori Proses Industri


Anthony Harold Birch.4 Birch coba cari jawaban bagaimana kelomopk etnik
dan budaya yang saling berbeda mengikat diri ke dalam sebuah masyarakat nasional
dan mendirikan Negara nasional. Sebagai proses, integrasi nasional merupakan
produk dari kebijakan pemerintah (atau elit) yang disengaja. Integrasi nasional
awalnya “tidak direncanakan” lewat proses mobilisasi sosial. Initinya suatu proses
bagaimana industrialisasi mengundang pekerja meninggalkan desa asal untuk cari
kerja di area industry baru. Perpindahan ini menggerogoti komunitas-komunitas
sosial di area pedesaan dan memobilisasi pekerja untuk terserap di masyarakat
nasional yang lebih besar. Hubungan kedaerahan menjadi lemah, bahasa dan dialek
local makin samar untuk kemudian digantikan bahasan nasional. Budaya local dan
kebiasaan kehilangan pendukungnya.
Alat transportasi, juga menyumbang point dalam integrasi nasional.
Pembukaan jalan membuat wilayah-wilayah dan penduduk terlebur, berinteraksi,
saling pengaruh. Terlebih, media massa kemudian muncul memberikan informasi-
informasi baru harian kepada pemirsa yang bisa dicapainya. Anggota-anggota
masyarakat yang tadinya berasal dari budaya atau kultur spesifik secara gradual
masuk ke dalam terma masyarakat ‘yang lebih luas.’
Empat argumentasi diajukan dalam menjelaskan proses integrasi nasional.
Pertama, dalam terminology keniscayaan sejarah. Dalam pandangan Hegel, masa
depan umat manusia terletak dalam organisasi yang disebut ‘negara’. Negara
merupakan bentuk tertinggi organisasi sosial yang ada di tengah masyarakat. Negara
mempersatukan elemen-elemen yang berbeda di level masyarakat ke dalam ‘elemen
bersama’ dan sifatnya lebih tinggi.
Kedua, pandangan integrasi nasional sebagai bentuk asimilasi sosial. Integrasi
nasional adalah terasimilasinya budaya-budaya yang lebih ‘minor’ kepada budaya
yang lebih ‘mayor’. Misalnya, etnis Cina di Indonesia mau tidak mau harus
mengasimilasi seluruh atau sebagian dari kultur yang berkembang di Indonesia
kebanyakan agar dapat terintegrasi baik di tengah Negara Indonesia. Demikian pula
etnis-etnis Arab, agar dapat diterima di Indonesia harus mengasimilasi budaya umum
yang berkembang di masyarakat Indonesia. Disintegrasi nasional muncul akibat
asimilasi gagal dilakukan.
Ketiga, integrasi nasional muncul akibat pemerintah didasarkan atas perasaan
kesatuan nasional. Integrasi nasional tidak akan tercipta jika perasaan tersebut
belumlah lagi terbangun. Untuk itu, masalah bahasa persatuan, ideology nasional,
merupakan komponen penting di dalam integrasi nasional. Pemerintah memiliki
tugas menjamin hal-hal tersebut terselenggara, baik secara teori maupun praktik.
Keempat, integrasi nasional berhubungan dengan masalah representasi
politik. Negara yang terbangun dari garis primordial berbeda memiliki sensitivitas
tinggi warganegara atas aspek primordial ini. Agama, etnis, region, merupakan
unsure primordial yang perlu diperhatikan representasi politiknya. Pimpinan puncak
nasional memerlukan kohesi yang membuat representasi elemen primordial yang
berlainan tersebut menggapai consensus. Partai-partai politik utamanya mengambil
peran dalam integrasi nasional yang berhubungan dengan representasi politik ini.

Sumber :
- www.wikipedia.com
- www.google.com
- Forum Yahoo ask
- Beberapa Blog pribadi

Anda mungkin juga menyukai