Budaya secara harafiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Cloere yang memiliki
arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara lading (menurut Soerjanto
Poespowardojo, 1993). Selain iu budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu Buddhayah, yang berupakan bentuk jamak dari kata buddhi (budi
atau akal) yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Menurut istilah, Kebudayaan merupakan sesuatu yang agung dan mahal
nilainya, karena ia tercipta dari hasil rasa, karya, karsa, dan cipta manusia yang
kesemuanya merupakan sifat manusia yang tidak mungkin dimiliki oleh makhluk lain
selain manusia.
Wikipedia menerjemahkan Kebudayaan Nasional sebagai sebuah kebudayaan
yang diakui sebagai identitas nasional. Sedangkan untuk Kebudayaan Indonesia
adalah seluruh kebudayaan nasional, Kebudayaan local, maupun kebudayaan asal
asing yang ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka tahun 1945. Jadi
Kebudayaan nasional adalah gabungan dari kebudayaan daerah yang ada di Negara
tersebut.
c. Kebudayaan-kebudayaan Barat
Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan Kebudayaan Barat Modern.
Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan Barat, tetapi bukan hatinya,
bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia mengancam Kebudayaan Barat,
seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain, akan tetapi ia belum mencaploknya.
Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan barangkali juga Amerika Serikat masih
mempertahankan kebudayaan khas mereka masing-masing. Meskipun di mana-mana
orang minum Coca Cola, kebudayaan itu belum menjadi Kebudayaan Coca Cola.
Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan Barat palsu itu,
dengan demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga belum akan mengerti
bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang pergaulan, apa selera
estetik dan cita rasanya, apakah keyakinan-keyakinan moral dan religiusnya, apakah
paham tanggung jawabnya (Suseno; 1992).
Dampak Kebudayaan Barat di Indonesia
Dampak kebudayaan barat di Indonesia dicerminkan dalam wujud globalisasi
dan modernisasi yang dapat membawa dampak positif dan dampak negatif bagi
bangsa kita.
Dampak Positif
a. Perubahan Tata Nilai dan Sikap
Adanya moderenisasi dan globalisasi dalam budaya menyebabkan pergeseran nilai
dan sikap semua irasional menjadi rasional.
b. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat menjadi lebih
mudah dalam beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju.
c. Tingkat Kehidupan yang lebih Baik
Dibukanya industri yang memproduksi alat-alat komunikasi dan transportasi yang
canggih merupakan salah satu usaha mengurangi penggangguran dan meningkatkan
taraf hidup masyarakat.
Dampak Negatif
Dampak negatif modernisasi dan globalisasi adalah sebagai berikut.
a. Pola Hidup Konsumtif
Perkembangan industri yang pesat membuat penyediaan barang kebutuhan
masyarakat melimpah. Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk
mengonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada.
b. Sikap Individualistik
Masyarakat merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa
tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa
bahwa mereka adalah makhluk sosial.
c. Gaya Hidup Kebarat-baratan
Tidak semua budaya Barat baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Budaya negatif
yang mulai menggeser budaya asli adalah anak tidak lagi hormat kepada orang tua,
kehidupan bebas remaja, dan lain-lain.
d. Kesenjangan Sosial
Apabila dalam suatu komunitas masyarakat hanya ada beberapa individu yang dapat
mengikuti arus modernisasi dan globalisasi maka akan memperdalam jurang pemisah
antara individu dengan individu lain yang stagnan. Hal ini menimbulkan kesenjangan
sosial. Kesenjangan social menyebabkan adanya jarak antara si kaya dan si miskin
sehingga sangat mungkin bias merusak kebhinekaan dan ketunggalikaan Bangsa
Indonesia.
Istilah integrasi nasional berasal dari dua kata yaitu integrasi dan nasional.
Istilah integrasi mempunyai arti pembauran/penyatuan sehingga menjadi kesatuan
yang utuh / bulat. Istilah nasional mempunyai pengertian kebangsaan, bersifat
bangsa sendiri, meliputi suatu bangsa seperti cita-cita nasional, tarian nasional,
perusahaan nasional (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1989 dalam Suhady 2006: 36).
Hal-hal yang menyangkut bangsa dapat berupa adat istiadat, suku, warna kulit,
keturunan, agama, budaya, wilayah/daerah dan sebagainya.
Sehubungan dengan penjelasan kedua istilah di atas maka integritas nasional
identik dengan integritas bangsa yang mempunyai pengertian suatu proses
penyatuan atau pembauran berbagai aspek sosial budaya ke dalam kesatuan wilayah
dan pembentukan identitas nasional atau bangsa (Kamus Besar Bahasa Indonesia:
1989 dalam Suhady 2006: 36-37) yang harus dapat menjamin terwujudnya
keselarasan, keserasian dan kesimbangan dalam mencapai tujuan bersama sebagai
suatu bangsa. Integritas nasional sebagai suatu konsep dalam kaitan dengan
wawasan kebangsaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berlandaskan pada
aliran pemikiran/paham integralistik yang dicetuskan oleh G.W.F. Hegl (1770- 1831
dalam Suhady 2006: 38) yang berhubungan dengan paham idealisme untuk
mengenal dan memahami sesuatu harus dicari kaitannya dengan yang lain dan untuk
mengenal manusia harus dikaitkan dengan masyarakat di sekitarnya dan untuk
mengenal suatu masyarakat harus dicari kaitannya dengan proses sejarah.
Integrasi nasional Indonesia. Sejauh ini, apa yang telah ditampakkan oleh
kajian sistem sosial dan budaya Indonesia? Bangsa yang ditengarai oleh aneka
bifurkasi sosial menurut garis wilayah, etnis, agama, tingkat ekonomi, apakah masih
memiliki signifikansi untuk bersatu? Jawabannya adalah ya. Persatuan di Indonesia
bukan merupakan sesuatu yang baru oleh sebab consensus nasional utama
(Proklamasi 1945) pernah tercetus. Problem krusial di masa-masa kemudian adalah
Indonesia terus mencari format-format baru integrasi nasionalnya sendiri.
Bukan Indonesia saja, Negara multikultur yang mengalami permasalahan
integrasi nasional. Spanyol, sebagai missal, mengalami masalah integrasi nasional
lewat persaingan politik antara etnis Catalan dengan Basque. Lebanon pun memiliki
masalah integrasi nasional lewat integrasi agama yang sangat bervariasi (Islam Sunni,
Islam Syiah, Kristen Maronit, Kristen Druze). Srilangka punya masalah yang terus
berkembang akibat perseteruan antara etnis Sinhala dan Tamil. Tetangga Indonesia
seperti Thailand dan Filipina menghadapi masalah integrasi nasional lewat kasus
wilayah Pattani dan Moro. Sebab itu, masalah integrasi Negara yang berisikan
multikultur bukan Cuma monopoli Indonesia.
Persoalan penting kemudian adalah, bagaimana Indonesia mengidentifikasi
pola integrasi nasionalnya untuk kemudian diaplikasikan ke dalam tindakan positif
menuju integrasi nasional, baik dari kalangan elit maupun masyarakat kebanyakan.
Pertanyaan pentinya kemudian adalah, apa yang sesungguhnya “bergerak” dalam
pola integrasi nasional Indonesia?
1.Neopatrimonialisme
Pertama adalah penjelasan David Brown tentang metode integrasi Indonesia
yang ditentukan elit.1 Brown menggunakan istilah Neo Patrimonialisme dalam kasus
integrasi nasional Indonesia. Untuk memahami Neopatrimonialisme, paling jelas
dikontraskan dengan apa yang Max Weber maksud dengan Patrimonialisme.
Patrimonialisme adalah “the object of obedience is the personal authority of
the individual which he enjoys by virtue of his traditional status. The organized group
exercising authority is, in the simplest case, primarily based on relations of personal
loyalty, cultivated through a common process of education. The person exercising
authority is no a ‘superior’, but a personal ‘chief’. His administrative staff does no
consist primarily of officials, but of personal retainers … Wha determines the
relations of the administrative staff to the chief is not the impersonal obligations of
office, but personal loyalty to the chief.
Dalam patrimonialisme, sistem pemerintahan terbangun lewat ikatan antara
pimpinan pemerintah tertentu (ketua adat, raja, sultan) atau orang berpengaruh di
mana ia diangkat ke dalam posisi tertentu di dalam kekuasaan pusat. Orang-orang ini
punya pengikut yang mengikutinya berdasarkan loyalitas personal. Jaringan-jaringan
patron-klien ini kemudian mengembangkan loyalitas masing-masing yang
kedaerahan ke tingkat nasional.
Negara patrimonial sebab itu merupakan puncak dari suatu masyarakat yang
dikarakteristikkan oleh hubungan patron-klien tradisional. Negara patrimonial, sebab
itu, bergantung pada seberapa besar loyalitas rakyat pada pemimpin lokalnya, dan,
loyalitas para pemimpin local kepada pemerintah pusat. Ia mengandalkan stabilitas
sistem politik tradisional kedaerahan yang berkembang. Misalnya, ketaatan rakyat
Yogyakarta kepada Sultan Hamengkubuwono X dan ketaatan Sultan
Hamengkubowono kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesia. Atau, dalam kasus
Aceh, seberapa besar loyalitas rakyat Aceh kepada Hasan Tiro dan bagaimana sikap
Hasan Tiro kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesia.
Lalu, apa yang membedakan antara patrimonialisme dengan
neopatrimonialisme? Perbedaan utamanya terletak pada perubahan hubungan
antara pengikut dan pemimpin. Dalam patrimonialisme, elit patrimonial menyatakan
dirinya sebagai kelas istimewa yang mampu menempatkan dirinya sebagai monopol
sumber daya sekaligus mengesampingkan massa dari wilayah kuasa dan
kesejahteraan. Ini terus terjadi andaikan pemimpin patrimonial mampu menjamin
keamanan dan perlindungan yang ia berikan kepada para pengikut.
Dalam neopatrimonialisme, perubahan ikatan tradisional, meningkatnya
mobilisasi penduduk (vertical, horizontal), dan tersebarnya harapan akan demokrasi,
membuat para elit patrimonial makin sulit memelihara ikatan patron-klien terhadap
massanya. Loyalitas dari para pengikut kini berubah dari sekadar perlindungan dan
keamanan menjadi bersifat material (kuasa, uang, kemakmuran).
Dalam konteks neopatrimonial, pemimpin massa yang tadinya (secara
tradisional) memiliki pengikut loyal, kini mulai bergeser. Mereka tidak stabil lagi
dalam menggamit massa-nya sendiri dan kemudian, untuk menyelamatkan posisi,
turun ‘tahta’ menjadi broker politik. Pemimpin yang awalnya menguasai monopoli
loyalitas massa suatu daerah kini terpecah. Dalam suatu daerah muncul ‘communal
leader’ yang berbeda dengan pemimpin tradisional. Pemimpin-pemimpin baru ini
mengklaim punya massa tertentu dan bersedia membela mereka baik secara
material maupun politik. Inilah pemimpin-pemimpin neopatrimonial. Sebab itu,
dalam Negara yang terintegrasi menurut garis neopatrimonial, menjadi penting
kajian atas kohesi antar-elit neopatrimonial.
2.Teori Dimensi
Christine Drake mengutarakan tesis tentang 4 faktor yang mendorong
integrasi nasional Indonesia.3 Pertama, dimensi politik dan sejarah yang menekankan
kepada persamaan nasib selaku rakyat yang terjajah Hindia-Belanda, yang
membangun kesadaran bersama mencapai satu tujuan. Kedua, dimensi sosiokultural
yang termasuk atribut-atribut budaya yang sama, bahasa yang sama, agama yang
sama, dan kemudian membimbing pada ikatan bersama untuk bersatu di dalam
Indonesia.
Ketiga, dimensi interaktif, yaitu tingkat kontak yang terbangun antara orang-
orang yang diam di wilayah yang kini menjadi Indonesia, di mana mereka satu sama
lain saling berkomunikasi lewat perdagangan, transportasi, teleppon, migrasi, dan
televise. Keempat, dimensi ekonomi, yaitu kesalingtergantungan ekonomi antar
region-region yang ada di Indonesia.
Sumber :
- www.wikipedia.com
- www.google.com
- Forum Yahoo ask
- Beberapa Blog pribadi