Ini adalah kisah seorang pemuda Makkah dari keturunan terhormat, dan dari ibu bapa
yang mulia. Nama pemuda itu Saad bin Abi Waqas.
Tatkala cahaya kenabian memancar di kota Makkah, Saad masih muda belia,
penuh perasaan belas kasih, banyak bakti kepada ibu bapa, dan sangat mencintai
ibunya. Walaupun Saad baru menjelang usia 17 tahun, namun dia telah memiliki
kematangan fikiran dan kedewasaan bertindak.
Dia tidak tertarik kepada aneka macam permainan yang menjadi kegemaran
pemuda-pemuda sebayanya. Bahkan dia mengarahkan perhatiannya untuk bekerja
membuat panah, memperbaiki busur, dan berlatih memanah, seolah-olah dia
sedang menyiapkan diri untuk suatu pekerjaan besar. Dia juga tidak puas dengan
kepercayaan/agama sesat yang dianut bangsanya, serta kerusakan masyarakat, seolah-
olah dia sedang menunggu uluran tangan yang kokoh kuat, penuh kasih sayang, untuk
mengubah keadaan gelap gulita menjadi terang benderang.
Saad segera memenuhi panggilan yang berisi petunjuk dan haq ini (agama
Islam), sehingga dia tercatat sebagai orang ketiga atau keempat yang masuk Islam.
Bahkan dia sering berucap dengan penuh kebanggaan: “Setelah aku renungkan selama
seminggu, maka aku masuk Islam sebagai orang ketiga.”
Rasulullah SAW sangat bersuka cita dengan Islamnya Saad. Karena beliau
melihat pada pribadi Saad terdapat ciri-ciri kecerdasan dan kepahlawanan yang
menggembirakan. Seandainya kini dia ibarat bulan sabit, maka dalam tempoh singkat
dia akan menjadi bulan purnama yang sempurna.
Keturunan dan status sosialnya yang mulia dan murni, melapangkan jalan
baginya untuk mengajak pemuda-pemuda Makkah mengikuti langkahnya masuk
Islam seperti dia. Di samping itu, sesungguhnya Saad termasuk paman nabi SAW
juga. Karena dia adalah keluarga Aminah binti Wahab, ibunda Rasulullah SAW.
Kata Saad bercerita: Tiga malam sebelum aku masuk Islam, aku bermimpi,
seolah-olah aku tenggelam dalam kegelapan yang tindih menindih. Ketika aku sedang
mengalami puncak kegelapan itu, tiba-tiba kulihat bulan memancarkan cahaya
sepenuhnya, lalu kuikuti bulan itu. aku melihat tiga orang telah lebih dahulu berada di
hadapanku mengikuti bulan tersebut. Mereka itu ialah Zaid bin Haritsh, Ali bin Abu
Thalib, Abu Bakar Ash-Shidiq. Aku bertanya kepada mereka: Sejak kapan Anda
bertiga di sini? Belum lama, jawab mereka.
Setelah hari siang, aku mendapat kabar, Rasulullah SAW mengajak orang-
orang kepada Islam secara diam-diam. Yakinlah aku, sesungguhnya Allah SWT
menghendaki kebaikan bagi diriku, dan dengan Islam Allah akan mengeluarkanku
dari kegelapan kepada cahaya terang. Aku segera mencari beliau, sehingga bertemu
dengannya pada suatu tempat ketika dia sedang shalat Ashar. Aku menyatakan masuk
Islam di hadapan beliau. Belum ada orang mendahuluiku masuk Islam, selain mereka
bertiga seperti yang terlihat dalam mimpiku.
Jawabku: “Jangan lakukan itu, Bu! Tetapi aku tidak akan meninggalkan
agamaku biar bagaimanapun.”
Aku berkata kepada ibu: “Ibu! Sesungguhnya aku sangat mencintai ibu. Tetapi
aku lebih cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah! Seandainya ibu memiliki
seribu jiwa, lalu jiwa itu keluar dari tubuh ibu satu per satu (untuk memaksaku keluar
dari agamaku) sungguh aku tidak meninggalkan agamaku karenanya.”
Tatkala dilihat Rasulullah SAW Sa’ad seorang pemanah jitu, beliau berkata
memberinya semangat “Panahlah, hai Saad! Panahlah…! Bapak dan ibuku menjadi
tebusanmu!”
Namun puncak kejayaan Saad, ialah ketika Khalifah Umar Al-Faruq bertekad
menyerang kerajaan Persia, untuk menggulingkan pusat pemerintahannya, dan
mencabut agama berhala sampai ke akar-akarnya di permukaan bumi. Khalifah Umar
memerintahkan kepada setiap Gubernur dalam wilayah kekuasaannya, supaya
mengirim kepadanya setiap orang yang mempunyai senjata, atau kuda, atau setiap
orang yang mempunyai keberanian, kekuatan atau orang yang berpikiran tajam, yang
mempunyai suatu keahlian seperi syair, berpidato dan sebagainya, yang dapat
membantu memenangkan perang.
Maka tumpah ruahlah ke Madinah para pejuang muslim dari setiap pelosok.
Setelah semuanya selesai melapor, Khalifah Umar merundingkan dengan para
pemuka yang berwenang, siapa kiranya yang pantas dan dipercaya untuk diangkat
menjadi panglima angkatan perang yang besar itu. mereka sepakat dengan aklamasi
menunjuk Saad bin Abi Waqas, singa yang menyembunyikan kuku. Lalu khalifah
menyerahkan panji-panji perang kaum muslimin kepadanya dengan resmi, dalam
pengangkatannya menjadi panglima.
Sewaktu angkatan perang yang besar itu hendak berangkat, Khalifah Umar
berpidato memberi amanat dan perintah harian kepada Saad.
Saad bin Abi Waqqas dikaruniai Allah usia lanjut. Dia dicukupi kekayaan
yang lumayan. Tetapi ketika wafat telah mendekatinya, dia hanya meminta sehelai
jubah usang. Katanya, “Kafani aku dengan jubah ini. Dia kudapatkan dari seorang
musyrik dalam perang badar. Aku ingin menemui Allah dengan jubah itu.”
Sebagian wanita begitu mudah melaknat orang yang ia benci bahkan orang yang sedang
berpekara dengannya, sama saja apakah itu anaknya, suaminya, hewan atau selainnya.
Kata laknat yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia memiliki dua makna dalam
bahasa Arab :
Ucapan laknat ini mungkin terlalu sering kita dengar dari orang-orang di lingkungan kita dan
sepertinya saling melaknat merupakan perkara yang biasa bagi sementara orang, padahal
melaknat seorang Mukmin termasuk dosa besar. Tsabit bin Adl Dlahhak radhiallahu ‘anhu
berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Siapa yang melaknat seorang Mukmin
maka ia seperti membunuhnya.’ ” (HR. Bukhari dalam Shahihnya 10/464)
Sebagian wanita begitu mudah melaknat orang yang ia benci bahkan orang yang sedang
berpekara dengannya, sama saja apakah itu anaknya, suaminya, hewan atau selainnya.
Sangat tidak pantas bila ada seseorang yang mengaku dirinya Mukmin namun lisannya
terlalu mudah untuk melaknat. Sebenarnya perangai jelek ini bukanlah milik seorang Mukmin,
sebagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Bukanlah seorang Mukmin itu seorang yang suka mencela, tidak pula seorang yang suka
melaknat, bukan seorang yang keji dan kotor ucapannya.” (HR. Bukhari dalam Kitabnya Al
Adabul Mufrad halaman 116 dari hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Hadits ini
disebutkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i hafidhahullah dalam Kitabnya Ash Shahih
Al Musnad 2/24)
Dan melaknat itu bukan pula sifatnya orang-orang yang jujur dalam keimanannya (shiddiq),
karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Tidak pantas bagi seorang shiddiq
untuk menjadi seorang yang suka melaknat.” (HR. Muslim no. 2597)
Pada hari kiamat nanti, orang yang suka melaknat tidak akan dimasukkan dalam barisan para
saksi yang mempersaksikan bahwa Rasul mereka telah menyampaikan risalah dan juga ia
tidak dapat memberi syafaat di sisi Allah guna memintakan ampunan bagi seorang hamba.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Orang yang suka melaknat itu bukanlah orang
yang dapat memberi syafaat dan tidak pula menjadi saksi pada hari kiamat.” (HR. Muslim
dalam Shahihnya no. 2598 dari Abi Darda radhiallahu ‘anhu)
Perangai yang buruk ini sangat besar bahayanya bagi pelakunya sendiri. Bila ia melaknat
seseorang, sementara orang yang dilaknat itu tidak pantas untuk dilaknat maka laknat itu
kembali kepadanya sebagai orang yang mengucapkan.
Imam Abu Daud rahimahullah meriwayatkan dari hadits Abu Darda radhiallahu ‘anhu
bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Apabila seorang hamba
melaknat sesuatu maka laknat tersebut naik ke langit, lalu tertutuplah pintu-pintu langit.
Kemudian laknat itu turun ke bumi lalu ia mengambil ke kanan dan ke kiri. Apabila ia tidak
mendapatkan kelapangan, maka ia kembali kepada orang yang dilaknat jika memang berhak
mendapatkan laknat dan jika tidak ia kembali kepada orang yang mengucapkannya.”
Kata Al Hafidh Ibnu Hajar hafidhahullah tentang hadits ini : “Sanadnya jayyid (bagus). Hadits
ini memiliki syahid dari hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu dengan sanad yang hasan. Juga
memiliki syahid lain yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dari hadits Ibnu Abbas
radhiallahu ‘anhuma. Para perawinya adalah orang-orang kepercayaan (tsiqah), akan tetapi
haditsnya mursal.”
Ada beberapa hal yang dikecualikan dalam larangan melaknat ini yakni kita boleh melaknat
para pelaku maksiat dari kalangan Muslimin namun tidak secara ta’yin (menunjuk langsung
dengan menyebut nama atau pelakunya). Tetapi laknat itu ditujukan secara umum, misal kita
katakan : “Semoga Allah melaknat para pembegal jalanan itu… .”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sendiri telah melaknat wanita yang menyambung
rambut dan wanita yang minta disambungkan rambutnya.
Beliau juga melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki
dan masih banyak lagi. Berikut ini kami sebutkan beberapa haditsnya : “Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melaknat wanita yang menyambung rambutnya (dengan
rambut palsu/konde) dan wanita yang minta disambungkan rambutnya.” (HR. Bukhari dan
Muslim dalam Shahih keduanya)
“Allah melaknat wanita yang membuat tato, wanita yang minta dibuatkan tato, wanita yang
mencabut alisnya, wanita yang minta dicabutkan alisnya, dan melaknat wanita yang mengikir
giginya untuk tujuan memperindahnya, wanita yang merubah ciptaan Allah Azza wa Jalla.”
(HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu)
“Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR.
Bukhari dalam Shahihnya)
Dibolehkan juga melaknat orang kafir yang sudah meninggal dengan menyebut namanya
untuk menerangkan keadaannya kepada manusia dan untuk maslahat syar’iyah. Adapun jika
tidak ada maslahat syar’iyah maka tidak boleh karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
bersabda : “Janganlah kalian mencaci orang-orang yang telah meninggal karena mereka
telah sampai/menemui (balasan dari) apa yang dulunya mereka perbuat.” (HR. Bukhari dalam
Shahihnya dari hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)
Setelah kita mengetahui buruknya perangai ini dan ancaman serta bahayanya yang bakal
diterima oleh pengucapnya, maka hendaklah kita bertakwa kepada Allah Ta’ala. Janganlah
kita membiasakan lisan kita untuk melaknat karena kebencian dan ketidaksenangan pada
seseorang. Kita bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan menjaga dan membersihkan lisan kita
dari ucapan yang tidak pantas dan kita basahi selalu dengan kalimat thayyibah. Wallahu
a’lam bis shawwab.
(Dikutip dari MUSLIMAH Edisi 37/1421 H/2001 M Rubrik Akhlaq, MENJAGA LISAN DARI MELAKNAT
Oleh : Ummu Ishaq Al Atsariyah. Terjemahan dari Kitab Nasihati lin Nisa’ karya Ummu Abdillah bintu
Syaikh Muqbil Al Wadi’iyyah dengan beberapa perubahan dan tambahan)
Sumber: http://salafy.or.id Penulis : Ummu Ishaq Al Atsariyah Judul: Menjaga Lisan dari
Mengutuk/Melaknat
http://ahlulhadiits.wordpress.com/2007/10/12/hadits-shahih-muslim/