Dosen Pengampu :
M. Anwar Mas’adi, M.A.
Disusun oleh:
1|Page
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sastra Arab sebagaimana halnya sastra-sastra lain di dunia termasuk Indonesia, terus
mengalami perkembangan, baik dari segi bentuk maupun kontennya. Setelah mengalami
masa kemunduran sejak Dinasti Turki Utsmani menguasai sebagian besar wilayah Timur
Tengah, sastra Arab akhirnya berhasil bangkit dan eksis kembali setelah para penyair pada
masa kebangkitan mencurahkan segala upaya terhadap sastra Arab. Hal ini juga tidak terlepas
dari pengaruh pemikiran-pemikiran Barat yang dianut oleh beberapa penyair Arab.
Karya sastra Arab menurut Sukron Kamil, dibagi ke dalam tiga bagian besar: puisi,
prosa dan drama. Puisi (syi’ir) merupakan genre sastra yang paling populer dalam
kesusastraan Arab. Dari masa jahiliyyah sampai masa modern, puisi sangat digandrungi oleh
para penyair. Akan tetapi, bentuk, struktur, dan tema yang digunakan dalam menggubah puisi
saat ini berbeda dengan bentuk dan tema yang ada pada masa sebelum kebangkitan. Oleh
karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas tentang bentuk, genre dan tema yang ada
pada masa modern.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
C. Tujuan
2|Page
BAB II
PEMBAHASAN
Pada masa modern (Ahmad Muzakki, 2011:56), dilihat dari segi lahirnya (bentuknya)
puisi Arab terbagi menjadi:
1. Syi’r Multazam
Puisi ini merupakan puisi yang masih terikat dengan aturan wazan dan qafiyah.
Dalam bentuk ini, seorang penyair ketika menggubah syai’rnya harus menggunakan salah
satu jenis bahr yang ada, di samping persoalan qafiyah yang harus diperhatikan agar
memperoleh sebuah keindahan.
Puisi ini merupakan puisi yang terikat dengan satuan irama (taf’ilat), tetapi tidak
terikat oleh aturan bahr dan qafiyah. Dalam bentuk ini seseorang hanya memperhatikan
bentuk taf’ilat-nya saja.
Sedangkan menurut sukron kamil, puisi ini masih memakai qafiyah. Hanya saja,
dalam puisi ini antara satu qafiyah dalam satu baris, berbeda dengan baris berikutnya.
Model puisi ini digemakan oleh penyair macam Iliya Abu Madhi, dan Zahawi. Dalam
hal ini, mereka juga dipengaruhi oleh william shakespear, salah seorang sastrawan
Inggris terkenal.
Puisi bebas Arab adalah puisi yang tidak terikat prosodi/matra gaya lama atau ‘arudh
(wazan/bahr) dan qafiyah, yang secara bentuk terkadang mendekati gaya prosa sastra
dan susunan barisnya tidak dalam bentuk qasidah (dua baris sejajar), tetapi tersusun
kebawah (Sukron Kamil, 2009:16). Karena puisi ini tidak terikat oleh ‘arudh dan qawafi,
maka asy-syi’ri al-hurr acapkali disebut dengan al-qasidah an-natsariyah (sajak
keprosa-prosaan), asy-syi’ril mantsur (puisi yang diprosakan), dan an-natsar asy-syi’ri
(prosa liris).
Menurut Khalil Gibran (dalam Sukron Kamil, 2009:17) yang terpenting puisi itu
menggugah rasa, karena syi’ir dalam bahasa Arab artinya adalah rasa. Di antara penyair
3|Page
yang memakai model ini ialah Ali Ahmad Sa’id (1930), penyair Suriah dan Libanon,
Khalil Hawi (1925), penyair Libanon, Fadwa Tuqan (1917), dan penyair Suriah, Nizar
Qabbani (1923).
Menurut Taufiq A. Dardiri, genre atau aliran puisi pada masa modern adalah sebagai
berikut:
Pelopor aliran neoklasik puisi Arab atau biasa disebut al muhafizun adalah Mahmud
Sami al-Barudi dan Ahmad Syauqi. Fenomena kemunculan pemikiran dan gerakan neo
klasik memiliki peranan penting dalam sejarah Arab modern, sebagaimana halnya
gerakan yang sama terjadi dalam kebudayaan Barat. Apabila neo klasik dalam
kebudayaan Barat berorientasi menghidupkan sastra Yunani dan Latin kuno, maka neo
klasik Arab berkeinginan untuk membangkitkan kembali keindahan puisi Abbasiyah,
seperti puisi Abu Nuwas, Abu Tamam, Ibnu Rumi, al-Mutanabbi, al-Ma’arri, dan al-
Buhturi.
4|Page
saat itu. Al-Barudi membawa kembali style, bentuk, dan musikalitas puisi Arab pada
masa keemasannya bukan untuk taklid buta atau larut dalam romantisme kejayaan
penyair masa lampau. Akan tetapi langkah ini sebagai otokritik bagi penyair sezamannya
untuk menjaga tradisi dan peradaban bangsa Arab, terlebih lagi mengembalikan
kepercayaan penyair sezamannya untuk percaya diri dan muncul dengan karyanya yang
baru (Taufiq A. Dardiri, 2011) .
Aliran klasik ini biasa disebut juga dengan istilah taqlidi athba’i dan salafi. Sebab,
pada umumnya penyair Arab mengikuti jejak para penyair terdahulu, misalnya seperti
penyair Umru’ al-Qais dalam hal preferensi kata dan penggunaan gaya bahasa (Ahmad
Muzakki, 2011:139). Berikut ini adalah karya dari al-Barudi:
2. Aliran Romantisme
Para sastrawan yang beraliran ini selalu memperhatikan aspek keindahan, cenderung
mengadakan pembaharuan dan kebebasan dalam berpikir dan gaya bahasa yang
5|Page
diungkapkan. Mereka berpendapat pada umumnya karya sastra bukan mimesis dari
kehidupan, tetapi ia merupakan kreativitas manusia. Karya sastra tidak diciptakan oleh
akal, melainkan hasil eksplorasi imajinasi (Ahmad Muzakki, 2011:140).
Berdasarkan keterikatannya dengan prosodi gaya lama, golongan ini terbagi menjadi
dua: 1) mereka yang hanya terikat oleh qafiyah. 2) Mereka yang sama sekali tidak
menerima wazan dan qafiyah, tidak terikat aturan klasik, dan bergaya prosa liris, seperti
Khalil Gibran. Selain Mutran, di antara para penyair yang termasuk ke dalam aliran ini
ialah, Abu al-Qasim al-Syabi, Abu Syadi dan lainnya.
Kelompok ini dipelopori tiga sastrawan, yaitu Abd al-Rahman Syukri (1889-1958),
Abbas Mahmud al-‘Aqad (1889-1964), dan Ibrahim Abd al-Qadir al-Mazini (1890-1949).
Grup ini telah membawa perkembangan yang cukup berarti bagi perpuisian Arab,
meskipun dalam banyak hal masih bergantung pada aliran romantik yang dikembangkan
Khalil Mutran dan banyak dipengaruhi oleh romantisme sastra Inggris. Akan tetapi,
dengan konsep-konsepnya, mereka telah membawa puisi Arab pada bentuk dan citra yang
lain, baik dari Mutran maupun neo klasik.
6|Page
Dalam aliran ini terdapat adanya pembaharuan dalam topiknya, khususnya dalam hal
yang menyangkut tentang masyarakat dan kehidupan, serta kasus-kasus yang terjadi di
masyarakat; adanya pembaharuan dalam deskripsi dan majaznya; dan adanya pengaruh
aliran simbolis dalam kesusastraan Arab, di mana para sastrawan atau penyair
menggunakan simbolsimbol sebagai sarana pengungkapan perasaan dan pikiran mereka.
a. Al-Tafakfuk, yaitu puisi-puisi yang dihasilkan aliran neo klasik dinilai tidak
memiliki kesatuan tema.
b. Al-Ihalah, yaitu upaya yang dilakukan neo klasik justru membuat makna puisi
menjadi rusak karena berisikan sesuatu yang bombastis, tidak realistis, dan tidak
masuk akal.
c. Al-Taqlid, yaitu puisi-puisi neo klasik tidak lebih dari pengulangan apa yang
sudah dilakukan para sastrawan Perkembangan Puisi Arab Modern Arab
sebelumnya dengan cara membolak-balikkan kata dan makna.
d. Para pengusung neo klasik dinilai memiliki kecenderungan yang lebih
mementingkan eksistensi (al-I’rad) daripada substansi karya yang dihasilkan.
e. Aliran neo klasik dikritik karena banyak mengumpulkan tauriyah, kinayah, dan
jinas.
Terlepas dari itu, madrasah Diwān memang memiliki karakteristik sendiri yang
membedakannya dengan kelompok sastra Arab modern lainnya. Karakteristik itu antara
lain: menolak kesatuan bait dan memberi penekanan pada kesatuan organis puisi,
mempertahankan kejelasan, kesederhanaan, dan keindahan bahasa puisi yang tenang,
mengambil segala macam sumber untuk memperluas dan memperdalam persepsi dan
sensitivitas rasa penyair. Karakteristik lainnya, tema-tema yang diangkat dalam karya-
karya kelompok ini berkaitan dengan persoalan-persoalan kontemporer seperti
humanisme, nasionalisme, dan Arabisme; karya-karya yang dihasilkan juga banyak
dipengaruhi romantisme dan model kritik Inggris.
Kelompok yang namanya diambil dari nama majalah ini dipelopori oleh Ahmad Zaki
Abu Syadi (1892—1955). Ia seorang dokter dan ahli bakteriologi yang lama tinggal di
7|Page
Inggris dan Amerika. Ia banyak mempelajari sastra Inggris dan Perancis, khususnya
karya-karya Keats, Shelly, Woordsworth, Dickens, Arnold Bennett, dan G.G. Shaw.
Setelah kembali ke Mesir, Syadi menerbitkan sebuah majalah yang diberi nama “Apollo”
dengan dua bahasa pengantar, Inggris dan Arab, yang di antaranya memuat karya-karya
sastra jenis puisi.
Apollo sesungguhnya adalah nama dewa puisi bangsa Yunani. Nama Apollo dipilih
agar menjadi sumber inspirasi bagi para sastrawan. Selain Abu Syadi, sastrawan yang
tergabung dalam aliran ini antara lain Ibrahim Naji, Kamil Kaylani, dan Sayyid Ibrahim
[(Saqr, 1981: 84—85), dalam Taufiq A. Dardiri, 2011:296]. Apollo memiliki obsesi untuk
menyatukan dan memberikan wadah bagi para penyair untuk mengembangkan bakat
seninya. Apabila modernisasi aliran Diwan banyak menghasilkan karya baik puisi
maupun prosa, maka modernisasi kelompok Apollo lebih banyak menghasilkan konsep
tentang karya sastra.
Baik kelompok Diwan maupun aliran Apollo sama-sama melakukan counter attack
terhadap gerakan neoklasik yang masih mempertahankan corak puisi lama. Mereka
mengajak pada perubahan yang total. Aliran ini mengkritik metode taklid pada karya
klasik yang dilakukan kelompok neoklasik. Menurut kelompok ini, hal itu seharusnya
tidak boleh dilakukan. Adapun sikap yang baik adalah mengambil aspek yang baik saja
sebagai bahan pertimbangan untuk menciptakan karya sendiri, sehingga tetap orisinal.
Ada sejumlah ciri khas puisi hasil kreasi kelompok Apollo. Pertama, puisi sentimentil
atau curahan hati, namun dengan kadar yang berlainan antar penyair sesuai dengan faktor
kebudayaan, dan pembentukan kejiwaan masing-masing. Kedua, puisi kecintaan pada
alam sebagaimana kecintaan para penyair Mahjar dan Romantik dengan menjadikannya
alat pengkonkretan kondisi kejiwaan dan sikap mereka pada kehidupan dan manusia.
Ketiga, puisi bebas (al-Syi’r al-Mursal) dengan mengabaikan rima. Keempat, beberapa
penyair menyatakan emosi cinta dalam kerangka pengalaman subjektifnya. Kelima,
beberapa penyair mengekspresikan kegagalannya menarik dan mendapatkan wanita lalu
melukiskannya sebagai orang yang gegabah, kurang pertimbangan, dan suka berkhianat.
5. Aliran Mahjar
Kelompok penyair Mahjar (The Emigran Poet) ini hidup di Amerika, terutama
Amerika Utara dan Selatan. Dinamakan Mahjar karena sebagian besar penyairnya adalah
para perantau atau emigran yang berasal dari Syria dan Lebanon. Mereka pindah ke
Amerika agar mendapatkan kebebasan politik, bebas mengekspresikan pikiran dalam
bentuk karya sastra yang di dalam negerinya dilarang karena kekuasaan Turki Usmani
(Rosyidi dan Setyabudi, 2015). Di Amerika Utara, tepatnya di New York berdiri
perkumpulan sastrawan al-Rabitah al-Qalamiyah atau Liga Pena (1920). Sedang di
Amerika Selatan, yaitu di Sau Paulo berdiri al-‘Ushbah al-Andalusiyah atau Liga
Andalusia (1923).
Konsep pembaruan yang paling menonjol dan cukup matang digagas oleh kelompok
al-Rabitah al-Qalamiyah. Sedangkan pada al-‘Ushbah al-Andalusiyah lebih bersifat
konservatif. Anggota dari kelompok pertama antara lain Jibran Khalil Gibran (1883-
1931), Mikhail Nu’aimah (1889), Iliya Abu Madhi (1894-1957), Rasyid Ayub (1871-
1941), dan lain-lain. Sastrawan paling popuer dalam kelompok ini adalah Jibran Khalil
Gibran, yang kebetulan juga pendiri dan ketua kelompok ini (Taufiq A. Dariri, 2011:298).
kepenyairan yang kuat pengaruhnya dan paling menonjol dalam kelompok ini adalah
karya dan konsep yang dilontarkan Gibran. Karya-karya Gibran banyak diwarnai oleh
pemberontakan terhadap modus pemikiran yang telah mapan, dan mendapat pengaruh
dari Nietzsche, Blake, Rodin, aliran romantik dan transendentalis Amerika, dan
mistisisme Timur. Selain itu, ia juga berhasil menciptakan gaya penulisan puisi baru,
yaitu bentuk puisi-prosa.
9|Page
Pada masa modern, tema-tema yang digunakan dapat digolongkan menjadi dua
bagian (Hasan Khamis, 1989: 336):
Nizar Qabbani lahir di Damaskus pada tahun 1923. Ia pernah kuliah di bidang hukum
pada tahun 1945 di Damaskus. Dalam karirnya, ia sempat bekerja di Departeen Luar Negeri
Syiria, dan bertugas di London, Turki, Spanyol dan Kairo. Akan tetapi pada tahun 1966, ia
meninggalkan pekerjaannya dan fokus di bidang puisi. (Havindar Kheder, 2012). Berikut ini
akan kami paparkan sebuah potongan puisi Nizar Qabbani yang berjudul al-Quds.
القدس
حتى انتهت الدموع..بكيت
حتى ذابت الشموع..صليت
حتى ملّني الركوع..ركعت
ِ ،سألت عن محمد
فيك وعن يسوع
10 | P a g e
يا مدينة تفوح أنبياء،دس
ُ ُيا ق
ِ
األرض والسماء ِ
الدروب بين يا أقصر
يا منارةَ الشرائع،قدس
ُ يا
يا طفلةً جميلةً محروقةَ األصابع
ِ ٌحزينة
يا مدينةَ البتول،عيناك
مر بها الرسول
َّ ًيا واحةً ظليلة
حزينةٌ حجارةُ الشوارع
1
حزينةٌ مآذ ُن الجوامع
Aku menangis
hingga air mataku mengering
aku berdoa
hingga lilin-lilin padam
aku berlutut
hingga lantai retak
aku bertanya
tentang Muhammad dan Yesus
Yerusalem,
O kota nabi-nabi yang bercahaya
jalan pintas
antara surga dan bumi!
Yerusalem, kota seribu menara
seorang gadis cilik yang cantik
dengan jari-jari terbakar
Kota sang perawan,
matamu terlihat murung.
Oasis teduh yang dilewati sang Nabi,
bebatuan jalananmu bersedih
menara-menara masjid pun murung.
Puisi ini berisi curahan hati Nizar Qabbani terhadap kondisi Palestina yang diserang
oleh tentara Israel. Dalam bait pertama puisi ini, Nizar Qabbani mengutarakan perasaannya
yang tak henti-hentinya menangis dan berdoa. Bagaimana mungkin kota para nabi, bisa
1
http://bloginnasyifazahrah.blogspot.co.id/2013/09/puisi-nizar-qabbani-al-quds.html/ diakses pada 25
September 2016
11 | P a g e
menjadi ladang pertumpahan darah, tidak seperti dulu sebagai kota yang penuh kedamaian
dan kesejahteraan diiringi dengan sikap toleransi. Pada kutipan puisi /Yerusalem, kota nabi-
nabi yang bercahaya/ Yerusalem, kota seribu menara/ disini tampak Nizar menggambarkan
keindahan kota Yerusalem. Hal ini berisi pesan bahwa kota ini merupakan kota yang damai
dan indah, sebelum peperangan ini terjadi. Sedangkan dalam bait ketiga, Nizar
mendekripsikan keadaan penduduk yang sangat memprihatinkan akibat penyerangan Israel.
Anak kecil harus merasakan sakitnya penderitaan perang, hidup dalam ketakutan dan
kegelisahan. Pada puisi ini juga Nizar menggambarkan kesedihan yang mendalam. Hal ini
tampak pada kutipan puisi berikut: /matamu terlihat murung. Oasis teduh yang dilewati sang
Nabi, bebatuan jalananmu bersedih, menara-menara masjid pun murung/. Bebatuan dan
menara-menara seakan menjadi saksi akan peristiwa ini. Menjadi saksi akan peristiwa yang
menimpa tuannya (masyarakat).
Puisi ini jika dilihat juga mengandung unsur romantik. Dimana penyair
mengungkapkan setiap gejolak dan konflik secara dramatis hingga menyentuh emosi
pembaca. Puisi ini juga berisi kritik sosial yang terjadi terhadap orang-orang Palestina
(Yerusalem). Di mana banyak orang tak bersalah harus merasakan sakit, susah, takut dan
gelisah.
12 | P a g e
BAB III
KESIMPULAN & SARAN
A. Kesimpulan
Bentuk puisi Arab modern terbagi tiga, yaitu: syi’ir multazam, puisi lepas (asy-
syi’ri al mursal), dan puisi bebas (asy-syi’ri al hurr). Puisi multazam adalah puisi yang
masih menggunakan wazan dan qafiyah. Puisi lepas adalah puisi yang hanya
menggunakan taf’ilatnya saja. Sedangkan puisi bebas adalah puisi yang sama sekali tidak
terikat oleh wazan dan qafiyah. Puisi bebas ini terkadang juga disebut puisi prosa.
Adapun genre yang yang ada pada masa modern ini adalah aliran neo klasik,
Romantisme, aliran Diwan, aliran Apollo dan aliran Mahjar. Dalam hal tema juga
mengalami perubahan dibandingkan dengan tema yang digunakan pada masa lampau.
Tema-tema yang digunakan dalam puisi Arab modern ini dapat digolongkan menjadi dua:
1) tema-tema lama yang mengalami perubahan, seperti madh, fakhr dan ritsa’. 2) tema-
tema yang baru muncul pada masa modern, seperti semangat nasionalisme dan kiritik
sosial.
B. Saran
Alhamdulillah makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. namun, kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu kami
membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun, agar kedepannya dapat menjadi
lebih baik.
Dalam penyusunan makalah ini kami dibingungkan oleh beberapa literatur yang
terakait materi ini. Akan tetapi, banyak terjadi perbedaan antara satu referensi dengan
referensi yang lain. Selain itu, penulis merasa bahwa literatur bahasa indonesia yang ada
terkait masalah puisi modern masih sangat sedikit, sehingga ini menjadi tantangan
tersendiri bagi akademisi di bidang Bahasa Arab untuk terus menerbitkan karya.
13 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Choir Rosyidi dan Mohammad Arif Setyabudi, Pembelajaran Sastra Arab (Al-Adab
Al-‘Arab. Al Ta’dib, Volume 4 Nomor 2 Januari 2015.pdf
Kamil, Sukron. Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Khamis, Hassan. Al-adab wa An-nushus (li Ghairi An-natiqin bil Arabiyah). Jami’ah al-
Malik Sa’ud, 1989.
Muzakki, Akhmad. Pengantar Teori Sastra Arab. Malang: UIN Maliki Press, 2011.
http://bloginnasyifazahrah.blogspot.co.id/2013/09/puisi-nizar-qabbani-al-quds.html/ diakses
pada 25 September 2016.
14 | P a g e