Anda di halaman 1dari 14

PUISI ARAB MODERN

(Tugas Mata Kuliah Al-adab Al-mu’ashir)

Dosen Pengampu :
M. Anwar Mas’adi, M.A.

Disusun oleh:

Ranjy Ramadani 13310020


Aziz Kurniawan 13310102
Umar 13310114

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB


FAKULTAS HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2016

1|Page
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sastra Arab sebagaimana halnya sastra-sastra lain di dunia termasuk Indonesia, terus
mengalami perkembangan, baik dari segi bentuk maupun kontennya. Setelah mengalami
masa kemunduran sejak Dinasti Turki Utsmani menguasai sebagian besar wilayah Timur
Tengah, sastra Arab akhirnya berhasil bangkit dan eksis kembali setelah para penyair pada
masa kebangkitan mencurahkan segala upaya terhadap sastra Arab. Hal ini juga tidak terlepas
dari pengaruh pemikiran-pemikiran Barat yang dianut oleh beberapa penyair Arab.

Karya sastra Arab menurut Sukron Kamil, dibagi ke dalam tiga bagian besar: puisi,
prosa dan drama. Puisi (syi’ir) merupakan genre sastra yang paling populer dalam
kesusastraan Arab. Dari masa jahiliyyah sampai masa modern, puisi sangat digandrungi oleh
para penyair. Akan tetapi, bentuk, struktur, dan tema yang digunakan dalam menggubah puisi
saat ini berbeda dengan bentuk dan tema yang ada pada masa sebelum kebangkitan. Oleh
karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas tentang bentuk, genre dan tema yang ada
pada masa modern.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk puisi Arab modern?


2. Apa saja Genre yang ada pada puisi Arab modern?

C. Tujuan

Tujuan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui bentuk-bentuk puisi Arab modern.


2. Mengetahui genre apa saja yang ada dalam puisi Arab modern.
3.

2|Page
BAB II

PEMBAHASAN

A. Bentuk dan Struktur Puisi Arab Modern

Pada masa modern (Ahmad Muzakki, 2011:56), dilihat dari segi lahirnya (bentuknya)
puisi Arab terbagi menjadi:

1. Syi’r Multazam

Puisi ini merupakan puisi yang masih terikat dengan aturan wazan dan qafiyah.
Dalam bentuk ini, seorang penyair ketika menggubah syai’rnya harus menggunakan salah
satu jenis bahr yang ada, di samping persoalan qafiyah yang harus diperhatikan agar
memperoleh sebuah keindahan.

2. Puisi Lepas (asy-syi’ri al-mursal)

Puisi ini merupakan puisi yang terikat dengan satuan irama (taf’ilat), tetapi tidak
terikat oleh aturan bahr dan qafiyah. Dalam bentuk ini seseorang hanya memperhatikan
bentuk taf’ilat-nya saja.

Sedangkan menurut sukron kamil, puisi ini masih memakai qafiyah. Hanya saja,
dalam puisi ini antara satu qafiyah dalam satu baris, berbeda dengan baris berikutnya.
Model puisi ini digemakan oleh penyair macam Iliya Abu Madhi, dan Zahawi. Dalam
hal ini, mereka juga dipengaruhi oleh william shakespear, salah seorang sastrawan
Inggris terkenal.

3. Puisi Bebas (asy-syi’ri al-hurr)

Puisi bebas Arab adalah puisi yang tidak terikat prosodi/matra gaya lama atau ‘arudh
(wazan/bahr) dan qafiyah, yang secara bentuk terkadang mendekati gaya prosa sastra
dan susunan barisnya tidak dalam bentuk qasidah (dua baris sejajar), tetapi tersusun
kebawah (Sukron Kamil, 2009:16). Karena puisi ini tidak terikat oleh ‘arudh dan qawafi,
maka asy-syi’ri al-hurr acapkali disebut dengan al-qasidah an-natsariyah (sajak
keprosa-prosaan), asy-syi’ril mantsur (puisi yang diprosakan), dan an-natsar asy-syi’ri
(prosa liris).

Menurut Khalil Gibran (dalam Sukron Kamil, 2009:17) yang terpenting puisi itu
menggugah rasa, karena syi’ir dalam bahasa Arab artinya adalah rasa. Di antara penyair

3|Page
yang memakai model ini ialah Ali Ahmad Sa’id (1930), penyair Suriah dan Libanon,
Khalil Hawi (1925), penyair Libanon, Fadwa Tuqan (1917), dan penyair Suriah, Nizar
Qabbani (1923).

Ada beberapa faktor munculnya puisi arab bebas, pertama, karena


kecenderungan romantis dan realis puisi Arab modern yang mendorong agar puisi yang
dicipta lebih berbobot, karena mengandung gagasan filosofis dan simbolik. Kedua,
kecenderungan para penyair modern Arab memegang teguh prinsip kebebasan berkarya.

B. Genre Puisi Arab Modern

Beberapa tokoh sastrawan Arab berhasil memberikan warna tersendiri bagi


perkembangan puisi Arab modern sehingga terbentuk aliran atau genre khusus (Taufiq A.
Dardiri, Adabiyyāt, Vol. X, No. 2, Desember 2011:290). Banyak versi yang menyatakan
terkait pengelompokan genre-genre puisi modern.

Menurut Taufiq A. Dardiri, genre atau aliran puisi pada masa modern adalah sebagai
berikut:

1. Aliran Neo Klasik

Pelopor aliran neoklasik puisi Arab atau biasa disebut al muhafizun adalah Mahmud
Sami al-Barudi dan Ahmad Syauqi. Fenomena kemunculan pemikiran dan gerakan neo
klasik memiliki peranan penting dalam sejarah Arab modern, sebagaimana halnya
gerakan yang sama terjadi dalam kebudayaan Barat. Apabila neo klasik dalam
kebudayaan Barat berorientasi menghidupkan sastra Yunani dan Latin kuno, maka neo
klasik Arab berkeinginan untuk membangkitkan kembali keindahan puisi Abbasiyah,
seperti puisi Abu Nuwas, Abu Tamam, Ibnu Rumi, al-Mutanabbi, al-Ma’arri, dan al-
Buhturi.

Kedatangan Napoleon ke Mesir tahun 1798, yang menandai masuknya kebudayaan


Perancis ke dunia Arab. Gerakan yang dipelopori al-Barudi dan Syauqi ini disambut dan
didukung para sastrawan lain di Mesir seperti Hafiz Ibrahim, Ismail Sobri, dan Ali al-
Jarim; Ma’ruf al-Rasasi dan Jamil Sidqi di Irak; serta Basyarah al-Khauri di Lebanon.
Aliran ini memang tidak terlalu banyak melakukan inovasi pada teknik pengungkapan
puisi. Namun demikian, melalui tokohnya, al-Barudi, ia berhasil menghidupkan kembali
unsur subjektivitas dalam berpuisi yang telah lama ditinggalkan dalam tradisi puisi Arab

4|Page
saat itu. Al-Barudi membawa kembali style, bentuk, dan musikalitas puisi Arab pada
masa keemasannya bukan untuk taklid buta atau larut dalam romantisme kejayaan
penyair masa lampau. Akan tetapi langkah ini sebagai otokritik bagi penyair sezamannya
untuk menjaga tradisi dan peradaban bangsa Arab, terlebih lagi mengembalikan
kepercayaan penyair sezamannya untuk percaya diri dan muncul dengan karyanya yang
baru (Taufiq A. Dardiri, 2011) .

Aliran klasik ini biasa disebut juga dengan istilah taqlidi athba’i dan salafi. Sebab,
pada umumnya penyair Arab mengikuti jejak para penyair terdahulu, misalnya seperti
penyair Umru’ al-Qais dalam hal preferensi kata dan penggunaan gaya bahasa (Ahmad
Muzakki, 2011:139). Berikut ini adalah karya dari al-Barudi:

‫ فعلى الصبا وعلى الزمان سالم‬# ‫ذهب الصبا وتولت األيام‬


‫ ليست لغير خيولنا تستام‬# ‫نلهو ونلعب بين خضر حدائق‬
Telah lenyap kerinduan, hari-hari mengiringinya
Semoga keselamatan tetap pada kerinduan dan waktu
Kami bersenda gurau dan bermain-main di antara kebun yang menghijau
Yang tidak dinaikkan harganya bagi selain kuda-kuda kami

2. Aliran Romantisme

Khalil Mutran (1872―1949) merupakan orang yang pertama kali mengembangkan


aliran romantik dalam perpuisian Arab. Ia lahir di Lebanon dan kemudian tinggal di
Mesir. Namun, ia sempat tinggal di Perancis dan banyak mempelajari bidang keilmuan
dan sastra Perancis. Sehingga nilai-nilai romantisme mengakar pada dirinya. Dalam hal
ini, menurut Andangdjaja (dalam Taufiq A. Dardiri, 2011:293) Mutran berada di bawah
pengaruh langsung puisi romantik Prancis, terutama puisi-puisi naratif Hugo, lirik-lirik
Mussel dan Baudelaire. Meskipun syair-syairnya sangat bernuansa romantik yang
mengekspresikan pengalaman-pengalaman pribadi seputar cinta, kenangan masa kecil,
sejarah jamannya, dan impian-impiannya, namun Mutran juga kritis terhadap situasi
sosial yang melingkupinya.

Para sastrawan yang beraliran ini selalu memperhatikan aspek keindahan, cenderung
mengadakan pembaharuan dan kebebasan dalam berpikir dan gaya bahasa yang

5|Page
diungkapkan. Mereka berpendapat pada umumnya karya sastra bukan mimesis dari
kehidupan, tetapi ia merupakan kreativitas manusia. Karya sastra tidak diciptakan oleh
akal, melainkan hasil eksplorasi imajinasi (Ahmad Muzakki, 2011:140).

Berdasarkan keterikatannya dengan prosodi gaya lama, golongan ini terbagi menjadi
dua: 1) mereka yang hanya terikat oleh qafiyah. 2) Mereka yang sama sekali tidak
menerima wazan dan qafiyah, tidak terikat aturan klasik, dan bergaya prosa liris, seperti
Khalil Gibran. Selain Mutran, di antara para penyair yang termasuk ke dalam aliran ini
ialah, Abu al-Qasim al-Syabi, Abu Syadi dan lainnya.

Puisi romantisme Abu al-Qasim al-Syabi:

‫ يا غريب أشق بغريبة نفسي‬# ‫يا صميم الحياة كم أنا في الدن‬


‫ تائه في ظالم شك ونحس‬# ‫في وجود مكبل بقيود‬
‫ ضي فهذا الوجود علة يأسى‬# ‫فاحتضنني وضمني لك بالما‬
Wahai lubuk hati kehidupan, berapa lama aku meninggalkan dunia
Aku akan celaka dengan meninggalkan diriku sendiri
Hidup dengan alam yang dibelenggu kesesatan
Penuh keraguan dan kesialan
Peluklah aku
Jaminanku kepadamu pada masa lalu
Kenyataan ini adalah sebab munculnya kesedihan

3. Kelompok Diwan (1921)

Kelompok ini dipelopori tiga sastrawan, yaitu Abd al-Rahman Syukri (1889-1958),
Abbas Mahmud al-‘Aqad (1889-1964), dan Ibrahim Abd al-Qadir al-Mazini (1890-1949).
Grup ini telah membawa perkembangan yang cukup berarti bagi perpuisian Arab,
meskipun dalam banyak hal masih bergantung pada aliran romantik yang dikembangkan
Khalil Mutran dan banyak dipengaruhi oleh romantisme sastra Inggris. Akan tetapi,
dengan konsep-konsepnya, mereka telah membawa puisi Arab pada bentuk dan citra yang
lain, baik dari Mutran maupun neo klasik.

6|Page
Dalam aliran ini terdapat adanya pembaharuan dalam topiknya, khususnya dalam hal
yang menyangkut tentang masyarakat dan kehidupan, serta kasus-kasus yang terjadi di
masyarakat; adanya pembaharuan dalam deskripsi dan majaznya; dan adanya pengaruh
aliran simbolis dalam kesusastraan Arab, di mana para sastrawan atau penyair
menggunakan simbolsimbol sebagai sarana pengungkapan perasaan dan pikiran mereka.

Kelompok Diwan sesungguhnya merupakan antitesis dari aliran neo klasik.


Kelompok ini melakukan kritikan tajam terhadap aliran neo klasik. Sejumlah kritik yang
mereka ajukan antara lain:

a. Al-Tafakfuk, yaitu puisi-puisi yang dihasilkan aliran neo klasik dinilai tidak
memiliki kesatuan tema.
b. Al-Ihalah, yaitu upaya yang dilakukan neo klasik justru membuat makna puisi
menjadi rusak karena berisikan sesuatu yang bombastis, tidak realistis, dan tidak
masuk akal.
c. Al-Taqlid, yaitu puisi-puisi neo klasik tidak lebih dari pengulangan apa yang
sudah dilakukan para sastrawan Perkembangan Puisi Arab Modern Arab
sebelumnya dengan cara membolak-balikkan kata dan makna.
d. Para pengusung neo klasik dinilai memiliki kecenderungan yang lebih
mementingkan eksistensi (al-I’rad) daripada substansi karya yang dihasilkan.
e. Aliran neo klasik dikritik karena banyak mengumpulkan tauriyah, kinayah, dan
jinas.

Terlepas dari itu, madrasah Diwān memang memiliki karakteristik sendiri yang
membedakannya dengan kelompok sastra Arab modern lainnya. Karakteristik itu antara
lain: menolak kesatuan bait dan memberi penekanan pada kesatuan organis puisi,
mempertahankan kejelasan, kesederhanaan, dan keindahan bahasa puisi yang tenang,
mengambil segala macam sumber untuk memperluas dan memperdalam persepsi dan
sensitivitas rasa penyair. Karakteristik lainnya, tema-tema yang diangkat dalam karya-
karya kelompok ini berkaitan dengan persoalan-persoalan kontemporer seperti
humanisme, nasionalisme, dan Arabisme; karya-karya yang dihasilkan juga banyak
dipengaruhi romantisme dan model kritik Inggris.

4. Aliran Apollo (1922)

Kelompok yang namanya diambil dari nama majalah ini dipelopori oleh Ahmad Zaki
Abu Syadi (1892—1955). Ia seorang dokter dan ahli bakteriologi yang lama tinggal di

7|Page
Inggris dan Amerika. Ia banyak mempelajari sastra Inggris dan Perancis, khususnya
karya-karya Keats, Shelly, Woordsworth, Dickens, Arnold Bennett, dan G.G. Shaw.
Setelah kembali ke Mesir, Syadi menerbitkan sebuah majalah yang diberi nama “Apollo”
dengan dua bahasa pengantar, Inggris dan Arab, yang di antaranya memuat karya-karya
sastra jenis puisi.

Apollo sesungguhnya adalah nama dewa puisi bangsa Yunani. Nama Apollo dipilih
agar menjadi sumber inspirasi bagi para sastrawan. Selain Abu Syadi, sastrawan yang
tergabung dalam aliran ini antara lain Ibrahim Naji, Kamil Kaylani, dan Sayyid Ibrahim
[(Saqr, 1981: 84—85), dalam Taufiq A. Dardiri, 2011:296]. Apollo memiliki obsesi untuk
menyatukan dan memberikan wadah bagi para penyair untuk mengembangkan bakat
seninya. Apabila modernisasi aliran Diwan banyak menghasilkan karya baik puisi
maupun prosa, maka modernisasi kelompok Apollo lebih banyak menghasilkan konsep
tentang karya sastra.

Baik kelompok Diwan maupun aliran Apollo sama-sama melakukan counter attack
terhadap gerakan neoklasik yang masih mempertahankan corak puisi lama. Mereka
mengajak pada perubahan yang total. Aliran ini mengkritik metode taklid pada karya
klasik yang dilakukan kelompok neoklasik. Menurut kelompok ini, hal itu seharusnya
tidak boleh dilakukan. Adapun sikap yang baik adalah mengambil aspek yang baik saja
sebagai bahan pertimbangan untuk menciptakan karya sendiri, sehingga tetap orisinal.

Ada sejumlah ciri khas puisi hasil kreasi kelompok Apollo. Pertama, puisi sentimentil
atau curahan hati, namun dengan kadar yang berlainan antar penyair sesuai dengan faktor
kebudayaan, dan pembentukan kejiwaan masing-masing. Kedua, puisi kecintaan pada
alam sebagaimana kecintaan para penyair Mahjar dan Romantik dengan menjadikannya
alat pengkonkretan kondisi kejiwaan dan sikap mereka pada kehidupan dan manusia.
Ketiga, puisi bebas (al-Syi’r al-Mursal) dengan mengabaikan rima. Keempat, beberapa
penyair menyatakan emosi cinta dalam kerangka pengalaman subjektifnya. Kelima,
beberapa penyair mengekspresikan kegagalannya menarik dan mendapatkan wanita lalu
melukiskannya sebagai orang yang gegabah, kurang pertimbangan, dan suka berkhianat.

Karya Abu Syadzi:

‫تفتش في لب الوجود معبرا عن الفكرة العظمى به األلباء‬


‫تترجم أسمى معاني البقاء‬
8|Page
‫وتثبت بالفن سر الحياة‬
Telitilah inti wujud sambil mengungap pikiran agung
Terjemahkanlah makna keabadian tertinggi
Dan pastikanlah rahasia kehidupan lewat seni (Akhmad Muzakki: 2011).

5. Aliran Mahjar

Kelompok penyair Mahjar (The Emigran Poet) ini hidup di Amerika, terutama
Amerika Utara dan Selatan. Dinamakan Mahjar karena sebagian besar penyairnya adalah
para perantau atau emigran yang berasal dari Syria dan Lebanon. Mereka pindah ke
Amerika agar mendapatkan kebebasan politik, bebas mengekspresikan pikiran dalam
bentuk karya sastra yang di dalam negerinya dilarang karena kekuasaan Turki Usmani
(Rosyidi dan Setyabudi, 2015). Di Amerika Utara, tepatnya di New York berdiri
perkumpulan sastrawan al-Rabitah al-Qalamiyah atau Liga Pena (1920). Sedang di
Amerika Selatan, yaitu di Sau Paulo berdiri al-‘Ushbah al-Andalusiyah atau Liga
Andalusia (1923).

Konsep pembaruan yang paling menonjol dan cukup matang digagas oleh kelompok
al-Rabitah al-Qalamiyah. Sedangkan pada al-‘Ushbah al-Andalusiyah lebih bersifat
konservatif. Anggota dari kelompok pertama antara lain Jibran Khalil Gibran (1883-
1931), Mikhail Nu’aimah (1889), Iliya Abu Madhi (1894-1957), Rasyid Ayub (1871-
1941), dan lain-lain. Sastrawan paling popuer dalam kelompok ini adalah Jibran Khalil
Gibran, yang kebetulan juga pendiri dan ketua kelompok ini (Taufiq A. Dariri, 2011:298).

kepenyairan yang kuat pengaruhnya dan paling menonjol dalam kelompok ini adalah
karya dan konsep yang dilontarkan Gibran. Karya-karya Gibran banyak diwarnai oleh
pemberontakan terhadap modus pemikiran yang telah mapan, dan mendapat pengaruh
dari Nietzsche, Blake, Rodin, aliran romantik dan transendentalis Amerika, dan
mistisisme Timur. Selain itu, ia juga berhasil menciptakan gaya penulisan puisi baru,
yaitu bentuk puisi-prosa.

C. Tema Puisi Modern

9|Page
Pada masa modern, tema-tema yang digunakan dapat digolongkan menjadi dua
bagian (Hasan Khamis, 1989: 336):

1. Tema lama yang telah berkembang, di antaranya:


a. fakhr (membanggakan diri), tema ini dulu digunakan untuk membanggakan diri
sendiri atau kabilah tertentu. Tapi saat ini tema ini digunakan untuk kepentingan
bangsa dan umat.
b. madh (pujian), tema ini dulu digunakan untuk memuji para khalifah dan para
pembesar negeri saat itu. Akan tetapi tema ini mengalami perubahan seiring
perkembangan sastra modern. Kini tema ini lebih ditujukan kepada para pahlawan
bangsa, orang hebat yang berkontribusi bagi bangsa, serta pegabdian mulia
seseorang bagi negara.
c. Ritsa’ (ratapan), tema ini dulu digunakan untuk meratapi seseorang yang telah
meninggal dgn mengingat-ingat sifat dan perbuatannya. Saat ini tema ini
digunakan untuk meratapi atau mengingat perjuangan para pahlawan bangsa yang
gugur di medan perang.
2. Tema-tema baru, di antaranya: tentang semangat nasionalisme dan kritik sosial.

D. Puisi Nizar Qabbani

Nizar Qabbani lahir di Damaskus pada tahun 1923. Ia pernah kuliah di bidang hukum
pada tahun 1945 di Damaskus. Dalam karirnya, ia sempat bekerja di Departeen Luar Negeri
Syiria, dan bertugas di London, Turki, Spanyol dan Kairo. Akan tetapi pada tahun 1966, ia
meninggalkan pekerjaannya dan fokus di bidang puisi. (Havindar Kheder, 2012). Berikut ini
akan kami paparkan sebuah potongan puisi Nizar Qabbani yang berjudul al-Quds.

‫القدس‬
‫ حتى انتهت الدموع‬..‫بكيت‬
‫ حتى ذابت الشموع‬..‫صليت‬
‫ حتى ملّني الركوع‬..‫ركعت‬
ِ ،‫سألت عن محمد‬
‫فيك وعن يسوع‬

10 | P a g e
‫ يا مدينة تفوح أنبياء‬،‫دس‬
ُ ُ‫يا ق‬
ِ
‫األرض والسماء‬ ِ
‫الدروب بين‬ ‫يا أقصر‬
‫ يا منارةَ الشرائع‬،‫قدس‬
ُ ‫يا‬
‫يا طفلةً جميلةً محروقةَ األصابع‬
ِ ٌ‫حزينة‬
‫ يا مدينةَ البتول‬،‫عيناك‬
‫مر بها الرسول‬
َّ ً‫يا واحةً ظليلة‬
‫حزينةٌ حجارةُ الشوارع‬
1
‫حزينةٌ مآذ ُن الجوامع‬
Aku menangis
hingga air mataku mengering
aku berdoa
hingga lilin-lilin padam
aku berlutut
hingga lantai retak
aku bertanya
tentang Muhammad dan Yesus

Yerusalem,
O kota nabi-nabi yang bercahaya
jalan pintas
antara surga dan bumi!
Yerusalem, kota seribu menara
seorang gadis cilik yang cantik
dengan jari-jari terbakar
Kota sang perawan,
matamu terlihat murung.
Oasis teduh yang dilewati sang Nabi,
bebatuan jalananmu bersedih
menara-menara masjid pun murung.

Puisi ini berisi curahan hati Nizar Qabbani terhadap kondisi Palestina yang diserang
oleh tentara Israel. Dalam bait pertama puisi ini, Nizar Qabbani mengutarakan perasaannya
yang tak henti-hentinya menangis dan berdoa. Bagaimana mungkin kota para nabi, bisa
1
http://bloginnasyifazahrah.blogspot.co.id/2013/09/puisi-nizar-qabbani-al-quds.html/ diakses pada 25
September 2016

11 | P a g e
menjadi ladang pertumpahan darah, tidak seperti dulu sebagai kota yang penuh kedamaian
dan kesejahteraan diiringi dengan sikap toleransi. Pada kutipan puisi /Yerusalem, kota nabi-
nabi yang bercahaya/ Yerusalem, kota seribu menara/ disini tampak Nizar menggambarkan
keindahan kota Yerusalem. Hal ini berisi pesan bahwa kota ini merupakan kota yang damai
dan indah, sebelum peperangan ini terjadi. Sedangkan dalam bait ketiga, Nizar
mendekripsikan keadaan penduduk yang sangat memprihatinkan akibat penyerangan Israel.
Anak kecil harus merasakan sakitnya penderitaan perang, hidup dalam ketakutan dan
kegelisahan. Pada puisi ini juga Nizar menggambarkan kesedihan yang mendalam. Hal ini
tampak pada kutipan puisi berikut: /matamu terlihat murung. Oasis teduh yang dilewati sang
Nabi, bebatuan jalananmu bersedih, menara-menara masjid pun murung/. Bebatuan dan
menara-menara seakan menjadi saksi akan peristiwa ini. Menjadi saksi akan peristiwa yang
menimpa tuannya (masyarakat).
Puisi ini jika dilihat juga mengandung unsur romantik. Dimana penyair
mengungkapkan setiap gejolak dan konflik secara dramatis hingga menyentuh emosi
pembaca. Puisi ini juga berisi kritik sosial yang terjadi terhadap orang-orang Palestina
(Yerusalem). Di mana banyak orang tak bersalah harus merasakan sakit, susah, takut dan
gelisah.

12 | P a g e
BAB III
KESIMPULAN & SARAN

A. Kesimpulan
Bentuk puisi Arab modern terbagi tiga, yaitu: syi’ir multazam, puisi lepas (asy-
syi’ri al mursal), dan puisi bebas (asy-syi’ri al hurr). Puisi multazam adalah puisi yang
masih menggunakan wazan dan qafiyah. Puisi lepas adalah puisi yang hanya
menggunakan taf’ilatnya saja. Sedangkan puisi bebas adalah puisi yang sama sekali tidak
terikat oleh wazan dan qafiyah. Puisi bebas ini terkadang juga disebut puisi prosa.
Adapun genre yang yang ada pada masa modern ini adalah aliran neo klasik,
Romantisme, aliran Diwan, aliran Apollo dan aliran Mahjar. Dalam hal tema juga
mengalami perubahan dibandingkan dengan tema yang digunakan pada masa lampau.
Tema-tema yang digunakan dalam puisi Arab modern ini dapat digolongkan menjadi dua:
1) tema-tema lama yang mengalami perubahan, seperti madh, fakhr dan ritsa’. 2) tema-
tema yang baru muncul pada masa modern, seperti semangat nasionalisme dan kiritik
sosial.

B. Saran
Alhamdulillah makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. namun, kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu kami
membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun, agar kedepannya dapat menjadi
lebih baik.
Dalam penyusunan makalah ini kami dibingungkan oleh beberapa literatur yang
terakait materi ini. Akan tetapi, banyak terjadi perbedaan antara satu referensi dengan
referensi yang lain. Selain itu, penulis merasa bahwa literatur bahasa indonesia yang ada
terkait masalah puisi modern masih sangat sedikit, sehingga ini menjadi tantangan
tersendiri bagi akademisi di bidang Bahasa Arab untuk terus menerbitkan karya.

13 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Choir Rosyidi dan Mohammad Arif Setyabudi, Pembelajaran Sastra Arab (Al-Adab
Al-‘Arab. Al Ta’dib, Volume 4 Nomor 2 Januari 2015.pdf

Havindar Kheder, Colours in Nizar Qabbani’s Poetry, Lunds Universitet, 2012.pdf

Kamil, Sukron. Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

Khamis, Hassan. Al-adab wa An-nushus (li Ghairi An-natiqin bil Arabiyah). Jami’ah al-
Malik Sa’ud, 1989.

Muzakki, Akhmad. Pengantar Teori Sastra Arab. Malang: UIN Maliki Press, 2011.

Taufiq A. Dardiri, Adabiyyāt, Vol. X, No. 2, Desember 2011.pdf

http://bloginnasyifazahrah.blogspot.co.id/2013/09/puisi-nizar-qabbani-al-quds.html/ diakses
pada 25 September 2016.

14 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai