Ketika Islam harus terjun ke medan perang karena membela diri, Abdullah bin Rawahah tampil
membawa pedangya ke medan tempur Badar, Uhud, Khandaq, Hudaibiyah, dan Khaibar. Dalam semua
peperangan itu ia selalu menjadikan bait-bait syair dan kasidahnya sebagai slogan perjuangan:
“Wahai jiwa, seandainya engkau tidak mati terbunuh, engkau pasti akan mati juga”
Dalam setiap peperangan, ia selalu meneriakkan kepada orang-orang musyrik, “Menyingkirlah, wahai
anak-anak kafir dari jalan-Nya. Menyingkirlah kalian, karena setiap kebaikan itu ada di tangan Rasul-Nya”.
Pada Perang Mu’tah, Abdullah bin Rawahah menjadi panglima yang ketiga dalam pasukan Islam,
sebagaimana telah kita ceritakan dalam riwayat Zaid dan Ja’far. Ibnu Rawahah berdiri dalam keadaan
siap bersama pasukan Islam yang akan beranhkat meninggalkan Madinah. Ia tegak sejenak lalu
mengucapkan syairnya:
“Wahai prajurit Islam yang dibimbing oleh Allah, Dia memang telah memimpinmu.”
Benar, itulah cita-citanya dan tiada yang lain; pukulan pedang, tusukan tombak yang akan
mengantarkan ke alam kesyahidan dan orang-orang yang beruntung.
Tentara Islam bergerak maju ke medan Perang Mu’tah. Ketika orang-orang Islam telah dapat melihat
pasukan musuh dari kejauhan, mereka memperkirakan jumlah tentara Romawi itu sekitar 200 ribu orang.
Barisan tentara mereka seolah-olah tidak ada ujung akhir dan tidak terhitung banyaknya. Kaum Muslimin
terdiam ketika melihat jumlah mereka sendiri yang sedikit.
Sebagian di antara mereka berkata, “Sebaiknya, kita kirim kepada Rasulullah, memberitakan jumlah
musuh yang besar itu, agar kita mendapat bantuan tambahan pasukan, atau jika diperintahkan tetap maju
akan kita patuhi.”
Tetapi, Ibnu Rawahah bangkit di antara barisan pasukannya bagaikan fajar yang menyingsing dan
berkata, “Wahai orang-orang, demi Allah, kita tidak berperang melawan musuh-musuh kita selain karena
mempertahankan agama kita ini, yang dengan memeluknya kita telah dimuliakan Allah. Karena itu majulah
kalian! Karena itu adalah salah satu dari dua kebaikan; kemenangan atau kesyahidan.”
Kaum Muslimin yang sedikit jumlahnya, tapi besar kualitas imannya itu menyambut seruannya.
Mereka berteriak, “Sungguh, demi Allah, apa yang dikatakan Ibnu Rawahah itu benar.”
Akhirnya, pasukan Islam terus bergerak ke
tempat tujuannya, dengan jumlah yang jauh
lebih sedikit dan akan meghadapi musuh
yang berjumlah 200 ribu orang yang berhasil
dihimpun orang Romawi untuk menghadapi
suatu peperangan dahsyat yang belum ada
bandingannya. Kedua pasukan itu pun
bertemu, lalu berkecamuklah pertempuran di
antara keduanya, sebagaimana telah kita
sebutkan sebelumnya. Komandan perang
pertama, Zaid bin Haritsah, gugur sebagai
syahid yang mulia, disusul oleh pemimpin
yang kedua Ja’far bin Abu Thalib, hingga ia
memperoleh syahidnya pula dengan penuh
kebesaran, dan menyusul pula sesudah itu
pemimpin yang ketiga ini, Abdullah bin
Rawahah. Kala itu ia memungut panji perang
dari tangan kanan Ja’far, saat peperangan
sudah mencapai puncaknya.
Pasukan Islam yang kecil itu hampir saja tersapu musnah di antara pasukan-pasukan Romawi yang
datang bergelombang laksana air bah, yang berhasil dihimpun oleh Heraklius. Ketika bertempur sebagai
seorang prajurit, Ibnu Rawahah menerjang ke depan dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan tanpa ragu-
ragu. Sekarang, setelah menjadi panglima seluruh pasukan yang akan dimintai tanggung jawabnya atas
hidup mati pasukannya, seolah-olah terlintas rasa kecut dan ragu-ragu pada dirinya ketika ia
membangkitkan seluruh semangat dan kekuatannya dan melenyapjan semua kekhawatiran dari dirinya,
sambil berseru:
Aku telah bersumpah wahai diri, engkau harus turun ke medan laga
Tapi, mengapa kulihat, engkau menolak surga
Wahai diri, bila engkau tidak tewas terbunuh, engkau pasti mati
Inilah kematian sejati yang sejak lama engkau nanti
Tibalah waktunya apa yang engkau idam-idamkan selama ini
Jika engkau ikuti jejak keduanya, engkau berada dalam petunjuk.
Saat pertempuran sengit sedang berkecamuk di bumi Balqa’ di Syam, Rasulullah sedang duduk beserta
para shahabat di Madinah, sambil memperbincangkan mereka. Tiba-tiba percakapan yang berjalan dengan
tenang tenteram, Nabi terdiam, kedua matanya jadi basah berkaca-kaca. Beliau mengangkat wajahnya
dengan mengedipkan kedua mata, untuk melepas air mata yang jatuh disebabkan rasa duka dan belas kasih.
Dengan pandangan haru yang tertuju ke wajah para shahabat, beliau bersabda, “Panji perang yang
dipegang oleh Zaid bin Haritsah, ia bertempur sambil membawa panji itu hingga ia gugur sebagai syahid.
Kemudian panji perang diambil oleh Ja’far, dan ia bertempur pula mempertahankan panji tersebut hingga
gugur syahid pula.” Beliau berdiam sebentar, lalu meneruskan sabdanya, “Kemudian panji perang dipegang
oleh Abdullah bin Rawahah dan ia bertempur membawa panji itu, sampai akhirnya ia pun gugur syahid.”
Kemudian Rasulullah diam sejenak, sementara mata beliau memancarkan cahaya kegembiraan,
ketenteraman dan merinduan, lalu bersabda, “Mereka bertiga diangkat ke tempatku, ke surga.”