Anda di halaman 1dari 4

Virus dari Kota Besar

Pukul sembilan malam. ponsel masih pendiam. Belum ada kabar dari teman, seorang laki-laki peranakan china berkacamata. Malam ini kami janjian akan mendatangi satu tempat kongkow kaum lesbian kota daeng. Tadi malam, jam yang sama, kami ngobrol sejenak perihal semakin maraknya penyimpangan seksual sejak beberapa tahun terakhir. Topik ini sangat menggairahkan malam itu. Teman yang lain pun menyinggung perihal keberadaan mereka yang seolah telah menjadi rahasia publik. Saya teringat sepuluh tahun lalu. Waktu itu, kasus penyimpangan seksual masih tabu dan jarang ditemukan. Namanya Jamrud. Tahun 2001 memang band rock Jamrud sedang naik daun. Mungkin itulah alasan mengapa Anita mengganti namanya. Anaknya manis, menurutku. Kulitnya sawo matang. Usianya hanya terpaut satu tahun dariku. Saya kelas enam sekolah dasar, dia kelas satu Madrasah Tsanawiyah. Kami berpapasan di sebuah gang sempit. Dia menarik tanganku. Menyembunyikanku di bagian kelam lorong dan berkata, Mau, kan kamu jadi pacarku? Saya kaget. Lari tak menoleh-noleh. Tiga bulan kemudian dia berpacaran dengan teman main kami sejak kecil, namanya Yanti. Belum ada kabar dari Kak Ikhsan. Kkhirnya kuputuskan menghubungi ponselnya. Posisinya kurang lebih berada 4 kilometer dari appointment point, KFC Ratulangi. Bangunan itu dulunya adalah gedung bioskop terbesar di Makassar. Studio 21. Sekarang, anak muda Makassar menyebut tempat itu KDS, singkatan dari KFC Dua Satu. Akhirnya kami janjian di sana, 30 menit lagi. Sambil menunggu kabar dari dia, saya kedatangan dua orang tamu. Kebetulan sabtu malam. Mereka berdua tidak ada destinasi. Kuajak mereka ikut ke KDS. Mereka mengiyakan. Di jalan, di atas motor, ternyata Abel (salah satu dari mereka) cukup familiar dengan cerita butchie KDS. Dia kenal dengan seseorang. Namanya Yoland. Abel pernah memergoki butchie itu bercinta dengan femme-nya di tempat kelam halaman benteng Rotterdam. Kami bertiga tiba di KDS tepat 30 menit. KDS sesak. Padahal untuk ukuran tempat makan, KDS terbilang luas. KFC ini merupakan yang terbesar di Makassar dengan luas bangunan 1.352 meter persegi dan luas tanah 3000 meter persegi. Di KFC tersebut tersedia fasilitas paling modern dan terlengkap di banding KFC lainnya di dunia. Betapa tidak, di KFC ini tersedia tempat bagi penikmat kopi, yaitu KFC Coffee. Fasilitas lainnya adalah touchscreen order, internet corner, bluetooth, playland, live music, sofa area, outdoor seating, drive thuru, dan ATM Center. Ada sekitar 15 meja outdoor seating. KFC Coffee terletak di sebelah kiri bagunan. Dari dalam sana, kita bisa menyaksikan langsung performance band kafe melalui kaca yang memisahkannya dengan ruang utama. Ruang utama-nya sendiri dilengkapi 20 meja, arena bermain anak tampak sperti surga fantasi dari luar. Tepat di belakang internet corner, terdapat toilet. Tempat pemesanan makanan terletak pas berhadapan pintu masuk. Semuanya full. Kami bertiga terpaksa duduk di bangku tunggu dekat pintu masuk. Dua obor menyala-nyala di belakang kami.

Sambil menunggu Kak Ikhsan datang, kami mengobrol sejenak. Sesekali kami memerhatikan para pengunjung restoran. Ada ratusan kepala yang terlihat. Dengan ratusan style berbeda. Ratusan kepentingan terselubung di dalam tiap-tiap kepala itu. Di arah jam 3, saya melihat seorang butchie. Lewat cara berpakaian dan gesturnya, bisa saya simpulkan. Dia duduk berhadapan dengan dua perempuan berambut pirang. Pakaian mereka minim. Si butchie mengisap rokok dan terus bercanda dengan dua perempuan itu. Dua meja dari meja mereka, duduk empat orang. Dua di antaranya tampak butchie juga. Rambut pendek, spike di tengah, celana skinny, kemeja longgar, telinga beranting. Yang satu berpenampilan lebih sederhana. Di ujung belakang, dekat jalur keluar parkir, beberapa pemuda duduk melantai, melingkar. Seperti ada hal penting yang mereka bicarakan. Di tembok pembatas, terparkir tiga sepeda motor. Ada satu butchie di sana. Dua femme. Selebihnya mungkin teman laki-laki mereka. Butchie itu terlihat mencolok. Ia mengenakan jaket kulit hitam. Sesekali dia memeluk femme berbaju merah dari belakang. Setahun lalu, saya pernah ke sini. Seram! Abel bercerita lagi. Apanya yang seram? timpalku Waktu itu, KDS tidak lebih ramai dari ini. Saya dan teman-teman duduk di bagian sana (menunjuk meja sudut), saat itu sudah lewat tengah malam. Sebuah mobil merapat. Turun lelaki Chinese paruh baya, berbicara sebentar dengan mereka. Tidak lama, dua femme dan satu butchie naik ke mobil laki-laki itu. Kak Ikhsan datang. Abel menghentikan ceritanya. Menyisakan tanda tanya di kepalaku. Kak Ikhsan kemudian duduk di sampingku. Aku dan Abel beranjak ke coffee shop untuk memesan tiga cappuccino. Setelah memesan, ada satu meja kosong. Kami pindah ke sana dan melanjutkan pengamatan. Saya dan Irpank bermain hitung-hitungan. Saya menghitung ada berapa banyak homo, Irpank menghitung butchie. 15 menit berselang. Irpank menemukan 11. Saya 7. 18 belas pembelok. Belok adalah sebutan untuk perempuan yang mencoba mencari cinta dari sesamanya. Sementara pengunjung lain, ada yang tampak seperti PSK high class. Sekitar lima orang. Mereka cantik-cantik. Selebihnya laki-laki rentan homo, orang-orang menyebut mereka Wandu. Belum ada 30 menit kami duduk di meja itu, satu-persatu orang yang masuk hitungan Irpank menghilang. Termasuk para PSK itu. Namun tidak dengan hitunganku. Kepala yang musti kuhitung, bertambah. Dari dalam ruang utama restoran, keluar sepasang kekasih. Duaduanya laki-laki. Yang satu tampak macho, sigap merebut meja. Yang satunya gemulai, membawa pesanan di tangan dengan pinggul yang sedikit bergoyang. Mereka berdua klimis dan stylish. Rambut rapi. Kaos polos berkerah V, celana skinny dan sepatu kets. Keduanya duduk tepat di meja belakang. Kami masih mengamati kekasih itu, ketika seorang laki-laki (kami yakin dia berjenis kelamin laki-laki) keluar dari mobil, diikuti seorang perempuan seksi dan seorang laki-laki macho. Ketiganya masuk ke dalam restoran. Lima menit kemudian keluar dan kembali lagi ke

dalam mobil. Mobil melesat. Abel bilang laki-laki itu kemungkinan besar seorang mucikari. Banyak laki-laki sejenisnya sering mangkal di pub, saat ladies night. KDS tampaknya seperti halte. Dijadikan tempat janjian atau ngaso sejenak sebelum ke tempat lain. Bagi para homoseksual, dijadikan tempat nongkrong dan mencari target. Santernya, kaum lesbian menjadikan tempat ini sebagai markas besar. Bagi kami, agaknya malam ini tidak membuktikan itu. Hitungan Irpank yang berkurang menguatkan alasanku. Namun Kak Ikhsan masih memerhatikan butchie di dekat tembok KDS. Dia semakin rebut. Ketawanya semakin besar. Menurut Abel, puncak arus kedatangan kaum mereka pukul dua belas lewat. Namun apa yang terjadi, hitungan berkurang. Saya penasaran dengan toilet wanita di belakang. Katanya, para lesbi itu sering mangkal di parkiran belakang, di dekat toilet. Saya pun mencoba menyelidiki. Di toilet, hanya ada beberapa laki-laki yang memandangiku aneh. Malam ini saya memang sengaja berpenampilan mirip butchie. Tapi saya masuk toilet perempuan, dengan harapan akan dihadapkan pada satu realitas mengejutkan. Tidak ada. Hanya segumpal darah segar yang melayang-layang di dasar kloset. Saya keluar toilet, memutar jalan lewat parkiran menuju meja kami. Tiba-tiba beberapa laki-laki meneriaki saya, saya tidak menoleh. Saya bertanya-tanya, saya tampak seperti butchie tapi kenapa yang menggoda saya adalah laki-laki, bukannya femme. Saya terus berjalan sampai ke dekat tembok pembatas. Buthie yang sejak tadi kami perhatikan balik memerhatikan saya. Linglung. Entah harus berbuat apa. Saya mematung cukup lama. Mengarahkan wajah ke jalan raya, namun mata saya melirik ke arah mereka. Femme itu balik memerhatikan. Saya akhirnya menyerah dan kembali ke meja. Setelah menyulut sebatang rokok, kami memutuskan untuk pindah ke benteng Rotterdam. Hendak mencoba peruntungan lain. Siapatahu sebagian lesbian itu sedang mangkal di sana. Lebih untung lagi kalau kami memergoki mereka pacaran. Halaman benteng dipenuhi mobil-mobil mewah dan sepeda motor besar jenis Tiger. Sudah jadi kebiasaan di sabtu malam, semua komunitas ngumpul di sekitar benteng atau monumen Mandala. Kami duduk melantai tidak jauh dari patung Sultan Hasanuddin. Sesekali kami mengamati sekeliling. Komunitas sepeda fixie merapat. Mungkin hanya 15 menit kami duduk, lalu kak Ikhsan mengajak kami ke gedung Kesenian. Ya, penyelidikan malam ini kita lanjutkan sabtu depan. Di gedung kesenian, tiba-tiba ponsel saya berdering. Ada telpon dari salah seorang anak KDS. Dia mencariku. Tadi malam saya memang sempat janjian sama dia di KDS. Saya kira dia lupa. Namanya Mezon, mirip merek minuman bervitamin. Dia datang bersama temannya. Kami duduk berlima. Cukup lama saya ngobrol dengan Mezon. Kapan-kapan kenalkan aku pada salah satu Butchie KDS! ujarku pada Mezon. Dia menyakan alasanku hendak kenal dengan komunitas lesbi. Saya mengaku hendak menjadi

butchie. Tentu saja ini hanya alibi. Mezon menertawaiku. Katanya tidak baik menjadi seperti mereka. Ia pun bercerita. KDS dibangun tahun 2007. Dengan menyulap gedung bioskop Studio 21 dalam waktu enam bulan. Saat itu komunitas lesbian semakin percaya diri menunjukkan jati diri mereka. Sebelumnya, sebelum KDS ada, yang menguasai daerah itu adalah anak Punk. Terjadi perselisihan cukup besar kala itu. Antara genk Mezon dengan anak Punk. Mezon dan teman-temannya menang. Menghasilkan satu perjanjian, bahwa wilayah studio 21 dan sekitarnya adalah wilayah kekuasaan mereka. Tidak lama berselang, seorang butchie datang dari Jakarta. Dialah butchie yang ketawanya membahana itu. Namanya Emo. Kata Abel, dia juga dikenal sebagai Yoland. Emo berteman dengan genk Mezon cukup lama. Seiring waktu berjalan, teman-teman Emo semakin banyak. Butchie dan Femme. Mereka saling pacaran. Katanya, ada pula femme yang memiliki pacar laki-laki. Namun jumlah mereka sedikit. Sekarang ini, sejak tahun 2007, jumlah mereka di seantero Makassar mencapai ratusan. Tidak semua sering datang ke KDS. Hanya kurang lebih 20 orang. Menurut Mezon, Emo-lah ratu lesbian di sana. Emo sekarang tinggal satu atap dengan femme-nya. Tidak ada yang curiga sebab masyarakat menganggap Emo dan kekasihnya hanya sebatas sahabat. Tidak hanya Emo yang memilih cara hidup seperti itu. Masih banyak pasangaan lesbi lain yang Mezon tahu, hanya saja ia tidak bisa menceritakan lebih jauh tentang mereka. Mezon meminta sebatang rokok. Kusodorkan sebungkus. Ia mengangguk senang. Kepalanya oleng. Sepertinya dia sedang kencang-kencangnya. Saya pun bertanya soal kabar santer tentang adanya tindak prostitusi di sana. Mezon terkekeh. Itu femme. Mereka memang kadang terima order om-om. Katanya sih untuk biaya hidup dengan butchie-nya. Tahulah, butchie di sana cuma bisa rese. Tapi mereka jengkel juga kalo ada yang godain femme-nya, penjelasan ini membenarkan cerita Abel tadi. Tambahnya lagi, para lesbian itu kebanyakan berasal dari keluarga broken home atau pernah disakiti oleh laki-laki. Kebanyakan berusia sekitar 16 sampai 25 tahun. Yang tergolong tua jarang nongkrong di sana. Mereka sebagian besar mahasiswi dan memilih bermain aman. Perihal aktualisasi diri bukan lagi prioritas utama. Sudah jadi watak anak baru gede, mencoba hal-hal baru merupakan kesenangan tersendiri dan itu membantu mereka memperoleh pengakuan dari orang-orang sekitarnya. Mezon kemudian pamit. Ia tidak bisa berlama-lama dengan kami. Sekali lagi, saya minta dikenalkan dengan teman butchie-nya. Ia mengangguk ragu. Entahlah rahasia apa yang dipegang para lesbian itu. Yang pasti keagresifan mereka membuat saya hendak mengupas tuntas kehidupan mereka, sampai ke akar termikro.

Anda mungkin juga menyukai