Anda di halaman 1dari 57

2003

http. www.kalbe.co.id/cdk
International Standard Serial Number: 0125 913X

138. Kesehatan Lingkungan

Daftar isi :
2. Editorial 4. English Summary Artikel 5. Kelainan Paru pada Ketinggian Risa Febriana, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono 11. Pengaruh Inhalasi Ozon terhadap Kesehatan Paru Agus Dwi Susanto, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono, Mukhtar Ikhsan 17. Pengaruh Inhalasi NO2 terhadap Kesehatan Paru Diah Handayani, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono 23. Dampak Inhalasi Cat Semprot terhadap Kesehatan Paru Wahyuningsih, Faisal Yunus, Mukhtar Ikhsan, Wiwien Heru Wiyono 29. Pengaruh Inhalasi Sulfur Dioksida terhadap Kesehatan Paru Eva Munthe, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono, Mukhtar Ikhsan 34. Efek Kesehatan Radiasi Non Pengion pada Manusia Zubaidah Alatas, Yanti Lusiyanti 41. Indikator Biologik Kerusakan Tubuh akibat Pajanan Radiasi Zubaidah Alatas 46. Kendali Mutu Dosimetri Akselerator Linier Medik Susetyo Trijoko 49. 50. 51. 52. 54. 56. Produk Baru Kapsul Internet untuk Dokter Kegiatan Ilmiah Abstrak RPPIK

Karya Sriwidodo WS
Gambar Sampul: Suasana Lingkungan

CDK dapat diperoleh cuma-cuma melalui MedRep Grup PT. Kalbe Farma, ATAU dengan mengganti ongkos Rp. 10.000,-/eks

Kesehatan manusia tidak lepas dari pengaruh lingkungan; makin ideal lingkungan akan makin baik pula manusia yang hidup di dalamnya. Meskipun demikian tidak semua zat yang ada di lingkungan mendukung kehidupan atau status kesehatan seseorang; beberapa di antaranya apalagi jika kadarnya berlebihan dapat membahayakan. Cermin Dunia Kedokteran edisi ini banyak membahas pengaruh gas/zat di udara yang dapat mempengaruhi status kesehatan seseorang, termasuk oksigen yang dianggap vital bagi kehidupan; beberapa jenis zat/gas tersebut kadarnya banyak dipengaruhi oleh aktivitas manusia sendiri, seperti pembakaran, industri maupun telekomunikasi. Artikel lain juga menyinggung masalah radiasi sesuatu yang tidak terdeteksi oleh pancaindra manusia, tetapi potensial dapat mengganggu kesehatan; masalah ini akan makin mengemuka seiring dengan makin canggihnya teknologi. Meskipun masalah-masalah di atas mungkin tidak langsung berhubungan dengan praktek kedokteran kita sehari-hari, mudah-mudahan dapat menambah wawasan dan kewaspadaan terhadap hal-hal di sekitar kita yang dapat mempengaruhi kesehatan. Selamat membaca, dan Selamat Tahun Baru 2003.

Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2002

2003

International Standard Serial Number: 0125 913X

KETUA PENGARAH
Prof. Dr Oen L.H. MSc

REDAKSI KEHORMATAN
Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo
Staf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

PEMIMPIN UMUM
Dr. Erik Tapan

Prof. Dr. R. Budhi Darmojo


Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

KETUA PENYUNTING
Dr. Budi Riyanto W.

PELAKSANA
Sriwidodo WS.

Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno SKM, MScD, PhD.


Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort


Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta

TATA USAHA
Dodi Sumarna

ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt. Telp. (021)4208171 E-mail : cdk@kalbe.co.id Website : http://www.kalbe.co.id/cdk

DR. Arini Setiawati


Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

NOMOR IJIN
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

DEWAN REDAKSI

PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma

Dr. Boenjamin Setiawan Ph.D

Prof. Dr. Zahir MSc.

Sjahbanar

Soebianto

PENCETAK
PT Temprint

http://www.kalbe.co.id/cdk PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam bentuk disket program MS Word. Nama (para) pe-ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/ skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan

urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: 1. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72. 3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990; 64: 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Tlp. (021) 4208171. E-mail : redaksiCDK@yahoo.com Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2002 instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

English Summary
HEALTH EFFECTS OF IONIZING RADIATION NONBIOLOGIC INDICATORS FOR HEALTH EFFECTS OF RADIATION EXPOSURE Zubaidah Alatas
Nuclear Biomedicine and Radiation Safety Research Centre, National Nuclear Energy Board, Indonesia

DOSIMETRY QUALITY CONTROL OF MEDICAL LINEAR ACCELERATORS Susetyo Trijoko


Radiation Safety and Standarditation Centre, National Nuclear Energy Board, Indonesia

Zubaidah Alatas, Yanti Lusiyanti


Nuclear Biomedicine and Radiation Safety Research Centre, National Nuclear Energy Board, Indonesia

The development and use of equipment that emit non-ionizing radiation energy such as laser, radar, microwave ovens, power lines and handphones, increases public concern on its possible health effects. Compared to ionizing radiation, non ionizing electromagnetic radiation has longer wavelength, lower frequency, and lower photon energy in its interaction with body tissues. The term of non-ionizing radiation refers to the groups of electromagnetic radiation with energies less than about 10 eV, corresponding to ultraviolet wavelengths, visible light, infra red, microwave and radiofrequency spectral regions. This paper describes the current state of knowledge on non-ionizing radiation types and the effects at molecular and cellular levels as well as its effects on human health.
Cermin Dunia Kedokt, 2003; 138: 34-40

za, yl

If human body is exposed to radiation, there will be interactions at atomic levels. The deposited energy can trigger molecular changes that can be deleterious if the exposed molecule is critical to cell activities. This molecular changes can be used as biological indicators to estimate radiation exposure. Methods based on this principle have progressed rapidly. Chromosome aberration analysis in lymphocytes still play a central role, but it is no longer the only system in biological dosimetry. The best approach is by combining several assays based on their specific advantages, i.e. the high sensitivity in dicentric chromosome analysis, the wide dose range using the electron spin resonance technique, the possibility of localization identification of partial-body exposure by determining hair diameter, and individual prognostic information based on changes of blood cell count after exposure of more than l Gy.
Cermin Dunia Kedokt, 2003; 138: 41-5

Several hospitals in Indonesia operate medical linear accelerators for cancer treatment. The aim of this work is to detect the possibility of discrepancies in absorbed-dose of linac photonbeam larger than the acceptable limit of 4.0%. Dosimetry quality control of linac therapy machine was carried out by using ionization chamber detector.The detector placed in a water phantom at reference depth was irradiated with photon beam of 200 cGy by hospital physicist. Out of 5 (five) photon beams audited, 4 (four) beams were well within acceptable limit (deviation less than 4.0%), one beam had a major deviation larger than 7.0%.
Cermin Dunia Kedokt, 2003; 138: 46-8

st

za

Knowledge without integrity is dangerous and dreadful (Johnson)

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2002

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Kelainan Paru pada Ketinggian


Risa Febriana, Faisal Yunus, Wiwin Heru Wiyono
Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN Setiap tahun jutaan orang berpergian ke daerah ketinggian untuk berekreasi seperti mendaki, ski, hiking dan lain sebagainya. Penurunan tekanan barometer pada ketinggian menyebabkan penurunan tekanan parsial oksigen (PO2) inspirasi; keadaan ini dapat menjadi masalah bagi beberapa pendaki.1 Ketinggian terdiri atas 3 skala yaitu tinggi (2438 2658 meter), sangat tinggi (3658 5487 meter) dan ketinggian ekstrim (>5500 meter) tetapi sulit untuk mengetahui tingkat ketinggian saat seseorang dapat mengalami kelainan akibat ketinggian.2 Tekanan atmosfer dan tekanan oksigen inspirasi akan menurun secara linear, menjadi 50% dari nilai permukaan laut pada ketinggian 5000 meter dan hanya 30% dari nilai permukaan laut pada ketinggian 8900 meter (Puncak Everest).3 Seiring dengan penurunan PO2, tubuh akan mengkompensasinya dengan meningkatkan ventilasi.1-7 Hipoksia juga akan menyebabkan vasokonstriksi pulmoner yang selanjutnya mengakibatkan hipertensi pulmoner dan high altitude pulmonary oedema (HAPE).1,5-7 Selain itu ketinggian juga dapat menyebabkan gejala acute mountain sickness (AMS) dan chronic mountain sickness (CMS).1-3,5-8 Insidens HAPE bervariasi antara 0,01% - 15%. Laki-laki dan perempuan dapat menderita HAPE, walaupun laki-laki muda lebih mempunyai risiko.1,4 Orang Tibet dan Sherpa mempunyai proteksi genetik terhadap HAPE walaupun pernah dilaporkan terjadi pada populasi ini.4 Pendakian cepat pada ketinggian menyebabkan perubahan fisiologik dan kelainan paru sehingga diperlukan penanganan yang tepat.2,4

atau pada ketinggian 3000 meter dan tekanan oksigen alveolar kira-kira 8 kPa (tabel 1).5 Peningkatan ventilasi ini merupakan akibat perangsangan hipoksia dari badan karotid yang derajatnya berbeda tiap individu.1,3,5-7 Ablasi badan karotid pada kuda poni, domba, anjing dan anak sapi menyebabkan respons ventilasi terhadap hipoksia menghilang. 1 Hipoksia akut menyebabkan peningkatan ventilasi, setelah 15 menit terjadi pengurangan hiperventilasi sekitar 25-30%; pengurangan ini terjadi akibat reaksi sekunder neurotransmiter di sistem saraf pusat dan penurunan nilai metabolik serebral, walaupun mekanismenya belum diketahui. Selanjutnya setelah beberapa hari, ventilasi terus meningkat akibat kompensasi ginjal terhadap alkalosis respiratorik melalui ekskresi bikarbonat yang memperbaiki status asam basa sehingga merangsang pernapasan.6 Fungsi paru pada ketinggian Peningkatan aliran darah, volume darah sentral serta cairan interstisial menyebabkan penurunan kapasitas vital, peningkatan volume residu dan penurunan keteregangan paru. Kebalikannya terjadi bila seseorang tinggal lama di ketinggian.1,6 Menurut Hurtado, Brody dkk.dikutip dari 1 terdapat kapasitas vital yang besar pada penduduk yang tinggal di ketinggian. Peningkatan kapasitas vital ini tergantung dari usia seseorang mulai tinggal pada ketinggian. Makin muda seseorang mulai tinggal di ketinggian, makin besar kapisitas vitalnya.1,6,7 Aliran darah pulmoner Hiperventilasi karena ketinggian akan diikuti peningkatan curah jantung, frekuensi jantung dan tekanan darah sistemik.1,6,8-11 Efek ini akibat perangsangan simpatis sistem kardiovaskular yang menyebabkan perangsangan kemoreseptor arteri dan peningkatan inflasi paru. Selain itu mungkin juga merupakan akibat langsung efek hipoksia miokardium yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah pulmoner.9 Peningkatan curah jantung, vasokonstriksi hipoksik pulmoner dan rangsang saraf simpatis pembuluh darah menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmoner rata-rata yang selanjutnya dapat mengakibatkan hipertensi pulmoner serta peningkatan kerja ventrikel kanan9,10

EFEK KETINGGIAN TERHADAP FISIOLOGI PARU Respons ventilasi merupakan keadaan fisiologi yang terjadi akibat ketinggian. Penilaian tekanan parsial oksigen alveolar (PaO2) yang pertama kali dilakukan oleh Halden dan Priestley (1905), diikuti Boycott dan Halden (1908) serta Rahn dan Otis (1946) menyebutkan bahwa bila tekanan barometer menurun, ventilasi meningkat untuk meminimalkan penurunan PaO2.dikutip dari 1 Peningkatan ventilasi terjadi bila tekanan oksigen inspirasi menurun sampai kira-kira 13,3 kPa (kilopascal)

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

Tabel 1. Tekanan barometer sesuai ketinggian Ketinggian Kaki 0 2000 4000 6000 8000 10000 Meter 0 610 1220 1830 2440 3050 Tekanan barometer KPa 101 94,3 87,8 81,2 75,3 69,7 MmHg 760 707 659 609 564 523 PO2 inspirasi KPa 19,9 18,4 16,9 15,7 14,4 13,3 MmHg 149 138 127 118 108 100 % oksigen ekuivalen pada permukaan laut 20,9 19,4 17,8 16,6 15,1 14,0 % oksigen dibutuhkan 20,9 22,6 24,5 26,5 28,8 31,3

12000 14000 16000 18000 20000

3660 4270 4880 5490 6100

64,4 59,5 54,9 50,5 46,5

483 446 412 379 349

12,1 11,1 10,1 9,2 8,4

91 83 76 69 63

12,8 11,6 10,7 9,7 8,8

34,2 37,3 40,8 44,8 49,3

22000 24000 26000 28000 30000

6710 7320 7930 8540 9250

42,8 39,2 36,0 32,9 30,1

321 294 270 247 226

7,6 6,9 6,3 5,6 4,9

57 52 47 42 37

8,0 7,3 6,6 5,9 5,2

54,3 60,3 66,8 74,5 83,2

35000 40000 45000 50000 63000

10700 12200 13700 15300 19200

23,7 18,8 14,8 11,6 6,3

178 141 111 87 47

3,7 2,7 1,8 1,1 0

27 20 13 8 0

3,8 2,8 1,9 1,1 0

Dikutip dari (5)

Ventilasi dan perfusi Peningkatan aliran darah pulmoner pada ketinggian menyebabkan rasio ventilasi perfusi (VA/Q) mendekati 1,0.9 Dawson dan Groverdikutip 1 dengan menggunakan scanning radionuklida menemukan bahwa penduduk yang tinggal lama di ketinggian 3111 meter mempunyai distribusi rasio VA/Q lebih merata dibandingkan dengan orang yang tinggal pada permukaan laut. Gale dkk.dikutip dari 1 dengan menggunakan teknik eliminasi menemukan bahwa rasio VA/Q menjadi optimal sampai ketinggian 4550 meter. Kedua studi tersebut mengindikasikan bahwa respons normal vaskular paru terhadap hipoksia akan memperbaiki pertukaran gas dalam paru pada saat istirahat melalui optimalisasi rasio VA/Q.1 Difusi Penurunan tekanan parsial oksigen menyebabkan penurunan tekanan oksigen kapiler alveolar. Ekuilibrasi (keseimbangan) oksigen ke darah tergantung pada lamanya sel darah merah melewati kapiler paru, biasanya dibutuhkan 0,25 detik pada permukaan laut. Keseimbangan oksigen yang adekuat tidak terjadi pada ketinggian walaupun lamanya waktu untuk melewati kapiler paru menjadi 0,75 detik. 1,7,9,10 Peningkatan kapasitas difusi terjadi pada penduduk yang tinggal di ketinggian, seperti terlihat pada anak-anak di pegunungan Andes.1,6 Peningkatan kapasitas difusi sebagian besar disebabkan peningkatan volume darah kapiler sehingga terjadi

pelebaran kapiler dan peningkatan luas permukaan difusi oksigen.1,6,10 PERUBAHAN HEMATOLOGI Peningkatan konsentrasi hemoglobin terjadi 1 2 hari pertama pendakian dan terus meningkat sampai beberapa minggu disebabkan oleh peningkatan viskositas darah.1,3,6,7 Selanjutnya hipoksia akan merangsang produksi eritropoetin dari aparatus jukstaglomerular ginjal dan hati sehingga produksi hemoglobin akan meningkat.1,3 Volume sel darah merah dan volume darah total meningkat bersamaan dengan penurunan volume plasma. Perubahan ini mengakibatkan peningkatan kandungan oksigen dan mungkin pengangkutan oksigen. Nilai hemoglobin diperkirakan kembali normal setelah 3 minggu.1 Kurva disosiasi oksigen hemoglobin dipengaruhi oleh konsentrasi ion hidrogen, karbondioksida dan 2,3-diphosphoglycerate (2,3-DPG).1,6,7 Hipoksia karena pendakian cepat ke ketinggian merangsang produksi 2,3-DPG dalam sel darah merah sehingga kurva disosiasi hemoglobin akan bergeser ke kanan.1,6,7,10 Pergeseran kurva ini menguntungkan karena menyebabkan pengangkutan oksigen dari hemoglobin ke jaringan dengan PO 2 yang lebih tinggi.1,10 PERNAPASAN PERIODIK SAAT TIDUR DI KETINGGIAN Pendaki yang tidur pada ketinggian di atas 3000 m umumnya mengalami pernapasan periodik2,5,7 Pernapasan periodik

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

ditandai dengan periode hiperpnea kemudian diikuti dengan apnea selama 3 10 detik.8 Selama periode apnea, orang sering menjadi lelah dan terbangun karena perasaan seperti tercekik.2 Pernapasan periodik dapat berkurang pada aklimatisasi, akan hilang bila turun dari ketinggian.6,8 Pernapasan periodik bervariasi pada tiap individu, mungkin berhubungan dengan fungsi kemosensitivitas terhadap keadaan hipoksia.1,6 Individu dengan respons tinggi terhadap hipoksia mempunyai ketidakstabilan interaksi antara oksigen dengan karbondioksida di daerah sentral dan perifer yang mengakibatkan periodisitas saat tidur, walaupun mekanisme pastinya belum jelas.1,6,7 AKLIMATISASI Aklimatisasi merupakan proses membaiknya toleransi dan penampilan individu setelah beberapa jam sampai beberapa minggu berada di ketinggian.5 Kompensasi ginjal untuk alkalosis respiratorik terjadi mulai hari pertama berada di ketinggian. Mekanisme kompensasi lainnya yaitu eritropoesis. Sel darah merah baru akan diproduksi dalam 3 sampai 5 hari sehingga meningkatkan hematokrit dan kapasitas pengangkutan oksigen.5,9,10 Kurva respons pernapasan terhadap karbondioksida akan bergeser ke kiri segera setelah seseorang berada di ketinggian.9,10 Respons pernapasan juga meningkat setelah beberapa hari di ketinggian akibat perubahan keseimbangan asam basa.1,9,10 Curah jantung, frekuensi jantung dan tekanan darah sistemik kembali normal setelah sebulan berada di ketinggian. Hal ini terjadi mungkin karena penurunan aktivitas simpatis atau perubahan dalam reseptor simpatis.9,10 ACUTE MOUNTAIN SICKNESS Acute Mountain Sickness (AMS) umum terjadi pada pendaki yang mendaki dengan cepat di ketinggian lebih dari 3000 meter.1,3,6,8 Gejala terjadi dalam beberapa jam sampai 2 hari setelah mendaki dan berkurang pada hari ke tiga.2,3,8 Gejalanya antara lain sakit kepala terutama pagi hari, sesak napas, kelelahan, hilangnya nafsu makan, muntah serta insomnia.1,2-8 Kejadian AMS tergantung dari ketinggian yang dicapai, kecepatan pendakian dan kerentanan individu.1,3,5-7,12 Laki-laki dan perempuan dapat menderita AMS walaupun perempuan lebih cenderung terkena AMS.12 Penyakit infeksi pernapasan dapat menjadi faktor risiko.1,3,7,12 Penduduk yang mempunyai respons pernapasan tumpul terhadap hipoksia lebih berisiko untuk terkena AMS dibandingkan pendatang. Begitu pula individu yang mempunyai respons cepat pada tekanan arteri pulmoner terhadap hipoksia. 6 Patofisiologi Proses pasti terjadinya AMS tidak diketahui. Hipoksia yang menginduksi vasodilatasi serebral dan efektornya seperti nitrik oksid (NO) dianggap menjadi penyebab timbulnya nyeri kepala melalui aktivasi sistem trigeminovaskular.12 Acute mountain sickness mungkin berhubungan dengan kemampuan individu untuk mengkompensasi edema otak. Individu yang mempunyai rasio cairan serebrospinal kranial lebih besar, akan lebih baik dalam mengkompensasi edema melalui pemindahan

cairan serebrospinal sehingga lebih jarang menderita AMS.1,7,12 Faktor lain yang dianggap mempengaruhi kejadian AMS adalah perubahan pernapasan saat sampai di ketinggian. Individu dengan PCO2 tinggi saat sampai di ketinggian lebih mudah terkena AMS.7 Latihan lama yang dilakukan pendaki juga dapat menyebabkan retensi natrium dan air melalui aktivasi sistem renin-aldosteron yang akan meningkatkan risiko untuk terkena AMS.1,7 Penatalaksanaan dan Pencegahan Penatalaksanaan AMS tergantung dari cepatnya diagnosis.1,6 Gejala AMS ringan dapat berkurang dengan istirahat , pemberian analgetik dan tinggal di ketinggian yang sama selama observasi.1,2,6,12 Pada keadaan berat, penderita harus turun secepat mungkin dan diberi suplemen oksigen atau masuk ke ruang hiperbarik.1,2,12 Asetazolamid 125 250 mg/12 jam dapat diberikan bila tidak mungkin untuk segera turun.1,2-4,6-8,12 Untuk pencegahan, asetazolamid diberikan 125 mg/12 jam mulai sejak 24 jam sebelum pendakian.2,8,12 Deksametason 4 mg/6 jam diberikan untuk kasus sedang sampai berat.1 Deksametason dengan dosis 4 mg/6-12 jam, mulai 6 jam sebelum pendakian dapat dipakai untuk pencegahan.1,8,12 Ginkgo biloba 80 120 mg/12 jam dapat mencegah terjadinya AMS.8,12 Diet tinggi karbohidrat dapat meningkatkan PO2 alveolar sehingga dapat mengurangi gejala AMS.1

CHRONIC MOUNTAIN SICKNESS Chronic mountain sickness (CMS) terjadi pada individu yang lahir dan tinggal di ketinggian atau pendatang yang pindah dan tinggal di ketinggian untuk jangka waktu lama.1,6 Kelainan ini lebih sering diderita laki-laki setengah baya dibandingkan perempuan.7 Terdapat perbedaan etnik dan geografik dalam prevalensi CMS. Orang Andes dan Han lebih sering menderita CMS dibandingkan orang Tibet.1,6,7 Gejala dan tanda CMS sama dengan penderita polisitemia, yaitu sakit kepala, pusing, lemah, gangguan memori dan tingkah laku, sianosis serta sulit tidur.1,6,7 Pada pemeriksaan penunjang didapat peningkatan nilai hematokrit dan hemoglobin, penurunan saturasi O2 dan PaO2 serta peningkatan PaCO2.6,7 Patofisiologi Hipoksemia merupakan faktor penting dalam perkembangan CMS.7 Hipoksemia berat selama tidur dapat menjadi penyebab meningkatnya nilai hematokrit.1 Hipoventilasi yang berhubungan dengan tumpulnya kemosensitivitas terhadap hipoksia menyebabkan hipoksemia sehingga merangsang respons hemopoetik.6 Faktor lain yaitu ketinggian (makin tinggi, makin besar insidens CMS), fungsi paru (dipengaruhi riwayat merokok, polusi udara dan infeksi), umur (insidens meningkat dengan umur, mungkin karena fungsi paru dan respons ventilasi menurun sesuai perkembangan usia), gender (perempuan jarang terkena, mungkin akibat efek perangsangan pernapasan oleh hormon).7

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

Penatalaksanaan Gejala dan tanda CMS hilang bila turun ke daerah pada permukaan laut.7 Memperbaiki oksigenasi dapat menurunkan polisitemia, memperbaiki hipertensi pulmoner dan fungsi serebral.6 Pemberian oksigen dosis rendah selama tidur dapat meningkatkan saturasi oksigen.1,6 Plebotomi dapat menurunkan hematokrit, meningkatkan curah jantung dan pengangkutan oksigen. Plebotomi juga dapat memperbaiki gejala neuropsikologi dan pertukaran gas dalam paru.6 Alternatif lain yaitu pemberian obat yang merangsang pernapasan seperti medroksiprogesteron asetat.1,6,7 Obat ini dapat diberikan dengan dosis 20 60 mg/hari selama 10 minggu, dapat meningkatkan volume tidal dan ventilasi, menurunkan PCO2 arteri serta memperbaiki oksigenasi saat terjaga maupun tidur.1 Asetazolamid dapat diberikan walaupun efektivitasnya kurang dibandingkan medroksiprogesteron asetat.6

dan alkalosis respiratorik.12 Pemeriksaan bronchoalveolar lavage (BAL) menunjukkan peningkatan konsentrasi protein berat molekul tinggi dan persentase makrofag alveolar.1,14,15

HIGH ALTITUDE PULMONARY OEDEMA (HAPE) High altitude pulmonary oedema (HAPE) adalah penyebab kematian akibat ketinggian yang tersering. High altitude pulmonary oedema tanpa penanganan mengakibatkan kematian hampir 50%, dengan penanganan yang lebih baik kematian menjadi kurang dari 3%.5 Insidens HAPE berhubungan dengan kecepatan pendakian, ketinggian yang dicapai, udara dingin serta kerentanan individu.12 Individu dengan riwayat HAPE sebelumnya mempunyai risiko lebih besar untuk terkena kembali.1,4,7,8,12 Faktor genetik juga berperan sebagai predisposisi terjadinya HAPE dengan ditemukannya alel HLA-DR6 dan HLA-DQ4 pada subyek dengan riwayat HAPE dan hipertensi pulmoner.1,6 High altitude pulmonary oedema sering terjadi pada pendaki berusia muda yang mendaki dengan cepat pada ketinggian lebih dari 2500 meter (8000 kaki). Penyakit ini biasanya terjadi pada 2 4 hari pertama pendakian dan paling sering malam ke dua serta mempunyai ciri khas perburukan pada malam hari.
1,4,7,12

Gambar 1. Foto toraks penderita HAPE Dikutip dari (13)

Patofisiologi High altitude pulmonary oedema berhubungan dengan hipertensi pulmoner dan peningkatan tekanan kapiler akibat vasokonstriksi hipoksik pulmoner.1,3,6,7,10,12-17 Mekanisme hipertensi pulmoner dan peningkatan tekanan kapiler terjadi karena aktivitas berlebihan saraf simpatis, disfungsi endotel dan hipoksemia berat akibat buruknya respons pernapasan terhadap hipoksia.12,16 Peningkatan aktivitas simpatis menyebabkan peninggian tekanan kapiler akibat konstriksi vena pulmoner .12
Tabel 2. Klasifikasi HAPE Tingkatan Ringan Gejala Dispnea pada pengerahan tenaga, batuk kering, lelah bila mendaki Tanda Frekuensi jantung (istirahat) <90-100 x/ menit, frekuensi napas < 20 x/menit, sianosis ringan pada kuku, ronki terlokalisir Frekuensi jantung 90-110 x/menit frekuensi napas 1630 x/menit, sianosis Foto Toraks Infiltrat halus <25% pada satu lapang paru

Diagnosis Diagnosis ditegakkan jika terdapat dua atau lebih tanda dan gejala berikut: penurunan performance (tampilan), kelelahan dan rasa lemah (tanda awal yang paling sering terjadi), batuk kering, dispnea saat istirahat, rasa berat di dada (tabel 2). Pada pemeriksaan fisis didapatkan ronki di lobus tengah kanan serta basal paru (tidak terdapat ronki pada 30% kasus), mengi, sianosis sentral, takikardi, demam dengan suhu lebih dari 38,5C (relatif sering), ortopnea, sputum berwarna kemerahan dan berbusa jika keadaan menjadi berat.4,8,13 Foto toraks memperlihatkan gambaran infiltrat halus tidak merata di lobus tengah dan bawah paru kanan pada kasus ringan dan di kedua paru bila kasus menjadi lebih berat (gambar 1). Gambaran jantung normal disertai dengan peningkatan vaskularisasi paru.1,4,6,8,12,13 Elektrokardiografi memperlihatkan sinus takikardi, deviasi aksis ke kanan, elevasi segmen ST serta gelombang P abnormal. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia berat dengan PaO2 30 40 mmHg

Sedang

Dispnea saat istirahat, lemah dan kelelahan saat berjalan, batuk

Beberapa infiltrat terdapat pada dari satu lapang paru atau sedikit infiltrat pada dua paru Infiltrat bilateral pada lebih dari lapang kedua paru

Berat

Dispnea saat istirahat, sangat lemah, ortopnea, batuk produktif

Frekuensi jantung lebih dari 110 x/ menit frekuensi napas > 30 x/menit, sianosis muka dan kuku, ronki bilateral, sputum berbusa kemerahan, stupor, koma

Dikutip dari (8)

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

Hultgren,dikutip dari 12 menerangkan bahwa peningkatan tekanan kapiler akibat vasokonstriksi hipoksik pulmoner yang tidak merata menyebabkan kerusakan dinding kapiler paru karena tekanan yang sangat tinggi. Kerusakan struktur dinding kapiler paru meliputi kerusakan lapisan endotel kapiler, lapisan epitel alveolar dan kadang-kadang semua lapisan dari dinding kapiler.14 Kerusakan dinding kapiler akibat peninggian tekanan mikrovaskular dianggap sebagai penyebab ekstravasasi plasma dan sel ke rongga alveolar.1,12-15,17 Mekanisme lain yang mungkin berperan yaitu inflamasi. Pemeriksaan BAL dan urin penderita HAPE memperlihatkan tanda-tanda inflamasi akibat kerusakan endotel.1,15,16 Penemuan ini tidak dapat menetapkan bahwa inflamasi merupakan penyebab utama HAPE atau akumulasi cairan dalam paru, tetapi diperkirakan inflamasi merupakan akibat kerusakan dinding kapiler.6,13,15,16 Konsep baru dalam proses patofisiologi HAPE adalah gangguan bersihan cairan ruang alveolar.12,16 Mekanisme patofisiologi HAPE dapat dilihat pada gambar 2.

Hipoksemia akibat ketinggian

Paru

Peningkatan aktivitas simpatis

Peningkatan tekanan arteri pulmoner

PAC) dapat segera meningkatkan saturasi oksigen, menurunkan tekanan arteri pulmoner, frekuensi jantung, frekuensi napas dan gejala lain.1,6-8,12 Oksigen diberikan 2 - 4 liter/menit menggunakan kanula atau masker hidung.4,8,12 Membuat penderita tetap hangat penting karena kedinginan dapat meningkatkan tekanan arteri pulmoner.1 Penggunaan masker bertekanan positif dapat meningkatkan oksigenasi pada penderita HAPE walaupun efikasinya belum dievaluasi.1-4 Di daerah ketinggian dengan fasilitas memadai, tirah baring dengan suplemen oksigen cukup untuk penyakit ringan sampai sedang.12 Perbaikan edema menyeluruh terjadi setelah pemberian suplemen oksigen selama 24 72 jam.1,12 Vasodilator seperti golongan antagonis kalsium (nifedipin) menurunkan tekanan arteri pulmoner dan tahanan vaskular paru serta memperbaiki oksigenasi.1,4,8,12 Nifedipin diberikan dengan dosis awal 10 mg oral, kemudian diikuti dengan 10 mg tiap 4 jam. Setelah keadaan penderita stabil diganti dengan formula lepas lambat 20 30 mg peroral setiap 8 atau 12 jam.1,4,12 Penelitian terbaru oleh Sartori dkk.dikutip dari 12 menemukan bahwa inhalasi menggunakan beta-agonis mungkin berguna untuk pengobatan dan pencegahan HAPE. Beta-agonis dapat meningkatkan bersihan cairan dari ruang alveolar dan menurunkan tekanan arteri pulmoner. Deksametason dapat diberikan 4 mg tiap 6 jam bila terjadi gangguan neurologik.12 Singh dkk. melaporkan hasil yang baik pada penggunaan furosemid, tetapi efek samping hipovolemi dan hipotensi harus diwaspadai.1 Pencegahan Pendakian cepat merupakan faktor penting yang mempengaruhi risiko terjadinya HAPE sehingga diperlukan tahapan dalam mendaki.1 Hindari mendaki lebih dari 3000 meter (10000 kaki) pada malam hari dan istirahatlah 2 malam sebelum pendakian selanjutnya.4 Diet tinggi karbohidrat dapat meningkatkan oksigenasi.1 Nifedipin 20 mg/ 8 jam dapat diberikan pada pendaki dengan riwayat HAPE sebelumnya.1,4,12 Asetazolamid 250 mg peroral dapat diberikan 1 atau 2 hari sebelum pendakian untuk menstimulasi pernapasan sehingga saturasi oksigen dapat meningkat selama pernapasan periodik.4,8 Hindari merokok, alkohol dan obat antidepresan karena dapat mendepresi pernapasan.4 RANGKUMAN Ketinggian akan menyebabkan turunnya tekanan parsial oksigen akibat penurunan tekanan barometer. Tubuh akan mengkompensasinya dengan meningkatkan ventilasi, meningkatkan curah jantung. Vasokonstriksi hipoksik pulmoner menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmoner. Kelainan paru yang sering terjadi akibat pendakian cepat adalah acute mountain sickness (AMS) dan high altitude pulmonary oedema (HAPE). Chronic mountain sickness (CMC) adalah kelainan dengan gejala polisitemia yang sering terjadi pada penduduk yang tinggal di ketinggian. Patofisiologi terjadinya HAPE adalah akibat peningkatan tekanan kapiler yang menyebabkan kerusakan dinding kapiler sehingga terjadi ekstravasasi cairan ke ruang alveolar. Gejala HAPE bervariasi dari ringan sampai berat. Penatalaksanaan

Vasokonstriksi yang tidak merata Konstriksi vena pulmoner

Over perfusion fokal atau regional

Penurunan bersihan natrium dan air dari alveolar

Peningkatan tekanan kapiler

HAPE Gambar 2. Proses patofisiologi HAPE

Kebocoran kapiler

Dikutip dari (12)

Penatalaksanaan Penatalaksanaan HAPE tergantung pada beratnya penyakit dan keadaan lingkungan; makin cepat diagnosis ditegakkan, makin mudah ditangani. Di daerah ketinggian jika oksigen dan peralatan medik tidak tersedia, penanganan paling baik adalah turun secepat mungkin.1,3,4,6-8,12 Bila HAPE cepat terdiagnosis, perbaikan segera terlihat pada penurunan 500 sampai 1000 meter dan penderita dapat mendaki kembali 2 atau 3 hari kemudian.1 Oksigen atau ruang hiperbarik (Gamow, CERTEC,

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

HAPE dan AMS yang paling penting adalah turun secepat mungkin dan pemberian oksigen.

9. 10.

KE PUSTAKAAN 1. Schoene RB, Hackett PH, Hornbein TF. High altitude. In: Murray JF, Nadel JA, Mason RJ, Boushey HA, eds. Textbook of respiratory medicine. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Co; 2000. p.1915-50. Curtis R. Outdoor action guide to high altitude: Acclimatization and illnesses. Last pageup date 07/07/1999. Available from: URL: http: //www. princeton. edu /~oa /safety.html. Accessed on April 23rd, 2002. Peacock AJ. ABC of oxygen. Oxygen at high altitude. BMJ 1998; 317: 1063-6. Altitude illness Pulmonary syndromes. eMedicine Journal, Jan 7, 2002; 3(1). Available from: URL: http://www.emedicine.com/EMERG/topic 795.htm. Accessed on April 23rd, 2002. Lumb AB. High altitude and flying. In: Nunns applied respiratory physiology. 5th ed. Oxford: Butterwoth-Heinemann; 2000.pp.35774. Schoene RB. Adaptation and maladaptation to high altitude. In: Baum GL, Wolinsky E, eds. Textbook of pulmonary disease. 5th ed. Boston: Little Brown and Co; 1994. p.1117-38. Lahiri S, Milledge JS. Pulmonary adaptation and clinical disorders related to high altitude. In: Fishman AP, Elias JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM, eds. Pulmonary disease and disorders. 3rd ed. New York: McGraw-Hill; 1998. pp.964-77. HAMG. Altitude Illness: clinical guide for physicians. Available from: URL: http: //www.high-altitudemedicine.com/AMS_medical-html. Accessed on April 23rd, 2002.

11.

2.

12. 13.

3. 4.

14. 15.

5.

16.

6.

17.

7.

18.

8.

Levitzky MG. The respiratory system under stress. In: Pulmonary physiology. 5th ed. New York: McGraw-Hill; 1999.p.231-51. LSUHSC. Altitude physiology. Copyright 2000 Levitzky MG. Available from: URL: http://www.physiology.lsuhsc.edu/mgl/mg110.asp. Accessed on April 23rd, 2002. Levine BD, Kubo K, Kaoayashi T, Fukushima M, Shibamoto T, Ueda G. Oxygen diffusion and athletic performance 1999. Available from :URL: http://www.bio.davidson.edu/courses/anphys/1999/Yusi/advphysiol ogy2.html. Accessed on April 23rd, 2002. Hackett PH, Roach RC. High-altitude illness. N Engl J Med 2001; 345: 107-13. Maggiorini M, Melot C, Pierre S, Pfeiffer F, Greve I, Sartori C, et al. High-altitude pulmonary edema is initially caused by an increase in capillary pressure. Circulation 2001; 24:2078-83. Peacock AJ. High altitude pulmonary oedema: who gets it and why? Eur Respir J 1995; 8:1819-21. West JB, Colice GL, Lee YJ, Namba Y, Kurdak SS, Fu Z, et al. Pathogenesis of high altitude pulmonary oedema: direct evidence of stress failure of pulmonary capillaries. Eur Respir J 1995; 8:523-9. Duplain H, Sartori C, Lepori M, Egli M, Alleman Y, Nicod P, et al. Exhaled nitric oxide in high-altitude pulmonary oedema. Role in the regulation of pulmonary vascular tone and evidence for a role against inflammation. Am J Respir Crit Care Med 2000; 162:221-4. Hanaoka M, Tanaka M, Ge r-l, Droma Y, Ito A, Miyahara T et al. Hypoxia-induced pulmonary blood redistribution in subject with a history of high altitude pulmonary edema. Circulation 2000; 28:1418-22. Napier PJ, West JB. High-altitude medical and operations problems and solutions for the millimeter Array. October 10,1996. Available from: URL: http://www.alma.nrao.edu/memos/htmlmemos/alma162/memo162 .html. Accessed on April 23rd, 2002.

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Pengaruh Inhalasi Ozon terhadap Kesehatan Paru


Agus Dwi Susanto, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono, Mukhtar Ikhsan
Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN Dewasa ini lebih dari dua milyar orang hidup dalam lingkungan yang dapat mengancam kesehatan. Lebih dari 1 milyar penduduk kota-kota besar terpajan dengan polutan udara yang kadarnya sudah melampaui baku mutu yang dianjurkan.1 Para ahli memperkirakan sekitar 60-80 % penduduk perkotaan di dunia menghirup udara yang kualitasnya buruk bagi kesehatan atau setidaknya udara dengan kadar polutan mendekati nilai ambang batas.2 Polusi udara perkotaan sebagian besar berasal dari kendaraan. Di Jakarta, 80 % polusi udara berasal dari transportasi, 20% lainnya berasal dari industri dan perumahan.1 Dikenal 6 jenis polutan udara urban utama; yaitu sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NO dan NO2 ,bersama disebut NOx), karbon monoksida (CO), timbal (Pb), ozon (O3) dan suspended particulate matter (SPM).1,3,4 Tiga polutan udara yang paling banyak mempengaruhi kesehatan paru adalah sulfur dioksida, nitrogen dioksida dan ozon.2 Ozon merupakan salah satu polutan yang berakibat buruk bagi kesehatan.2 Ozon dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain bersama angin.2,5 Lapisan ozon normal membentang di stratosfer bawah pada ketinggian 15-25 km untuk melindungi kehidupan di bumi dari efek radiasi sinar ultraviolet (UV).6 Ozon sendiri terbentuk dari aksi radiasi ultraviolet pada molekul oksigen (O2) sehingga mengalami disosiasi menjadi radikal oksigen, yang kemudian bereaksi kembali dengan oksigen membentuk ozon (O3).7,8 Ozon sebagai polutan ditemukan di atmosfer bawah atau troposfer.3,8-9 Energi radiasi ultraviolet di atmosfer bawah tidak cukup kuat untuk mendisosiasi oksigen, tapi cukup kuat untuk mendisosiasi NO2, membentuk NO dan radikal oksigen. Selanjutnya reaksi antara radikal oksigen dengan oksigen akan membentuk ozon (O3) di atmosfer bawah. Lebih jauh, pelepasan hidrokarbon hasil pembakaran akan menambah oksidasi nitrit oksida membentuk NO2 yang pada akhirnya akan meningkatkan konsentrasi ozon di udara.7 OZON Ozon adalah oksidan yang sangat poten.3,9-11 Ozon bukan radikal bebas, tetapi reaksi antara ozon dengan molekul radikal

bebas sering terjadi.11 Tidak seperti polutan yang lain, ozon merupakan polutan tidak langsung yang terbentuk di troposfer melalui reaksi kimia yang melibatkan sinar matahari, nitrogen oksida (NOx) dan volatile organic chemical (VOC).2-3,5 Ozon disebut juga sebagai polutan sekunder yang terbentuk dari perubahan kimia polutan lainnya.8,11 Bagian terbesar ozon di udara dibentuk dari reaksi fotokimia antara bahan organik dengan nitrogen oksida (NOx), yang sebagian besar terbentuk dari kendaraan bermotor. Konsentrasi ozon di udara mengalami fluktuasi, biasanya rendah di pagi hari dan kemudian meningkat serta mencapai puncaknya di sore hari setelah sebagian besar mobil ada di jalan raya.2-3,5,8 Sumber dan pajanan Ozon tidak diemisikan langsung ke udara oleh sumbersumber spesifik. Sumber-sumber VOC atau hidrokarbon secara tidak langsung merupakan prekursor ozon. Sumber-sumber VOC dapat dibagi menjadi 4 kategori utama:2 1. Pusat-pusat industri besar, seperti pembangkit energi, pabrik kimia, tempat-tempat manufaktur utama 2. Sumber yang dihasilkan secara individu; emisinya tidak cukup besar tetapi jika terakumulasi mempunyai kontribusi yang penting seperti dari printer, dry cleaner, kendaraan bermotor pribadi, pembakaran terbuka, korek api gas, pengecatan dan gas hasil pembakaran padang rumput. 3. Kendaraan bermotor yang berada di jalan raya 4. Kendaraan nonjalan raya seperti pesawat terbang, kereta api, kendaraan air atau kapal, peralatan konstruksi, kendaraan pertanian, perkebunan, taman dan mesin-mesin lainnya Peralatan elektrik dengan voltase tinggi seperti peralatan sinar-X, spektograf, lampu jam ultraviolet, lampu merkuri, electrical insulator, ultra-billion-volt linear accelerator dan peralatan elektrik voltase tinggi lainnya juga merupakan sumber terbentuknya ozon.9-10 Pajanan ozon di lingkungan kerja dapat terjadi selama proses pengelasan pipa atau besi dengan gas inert seperti argon dan helium; juga dapat ditemukan pada proses desinfeksi makanan di ruang penyimpanan dengan suhu rendah, pengeringan cepat dari cat pernis, berbagai tinta cetak serta pemutih tekstil, lilin, tepung, minyak Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003 11

mineral, gula.12 Di dalam ruangan (indoor), ozon berasal dari peralatan elektrik seperti penyaring udara, generator ion, peralatan kantor dengan motor elektrik atau sinar ultraviolet antara lain mesin fotokopi.3 Konsentrasi dan nilai batas ambang Di wilayah Amerika Serikat (AS), konsentrasi ozon meningkat sepanjang bulan Mei sampai September saat suhu tinggi dan jumlah sinar matahari meningkat. Ozon lebih sering ditemukan di daerah urban pada bulan-bulan musim panas.13 Total 60 sampai 120 juta orang di AS terpajan oleh peningkatan konsentrasi ozon di udara tiap musim panas. Konsentrasi tertinggi di AS tercatat di daerah Los Angeles dengan konsentrasi rerata dalam 1 jam kadang-kadang melampaui 0,3 ppm. Nilai yang melebihi konsentrasi standar 0,12 ppm tercatat pada bulan-bulan musim panas di daerah urban, interurban dan suburban.3 Di Eropa selama musim panas konsentrasi dasar ozon mungkin meningkat dari sekitar 0,025 ppm (25 ppb) ke 0,1 ppm (100 ppb) dan kadang-kadang di atas 0,2 ppm di Inggris dan Eropa pusat.11 Di Indonesia, Urban Air Pollution in Megacities of the World, Gemsdikutip dari 1 melaporkan pencemaran ozon derajat sedang sampai berat di Jakarta. Berdasarkan laporan pemantauan kualitas udara di wilayah DKI Jakarta tahun 1994-1995, konsentrasi ozon di lokasi road side (sumber pencemaran asal kendaraan bermotor) dan di lokasi umum yang berada agak jauh dari sumber pencemaran masih berada di bawah baku mutu.dikutip dari 1 Konsentrasi ozon di udara bebas (outdoor) lebih tinggi dibandingkan di dalam ruangan (indoor).3 Konsentrasi ozon di udara bebas mempunyai variasi diurnal14 tergantung dari sinar matahari yang berarti konsentrasi ozon meningkat perlahan sepanjang hari dan mencapai puncaknya setelah jam sibuk sore hari.8 Konsentrasi ozon di dalam ruangan tergantung pada sejumlah faktor seperti konsentrasi ozon di udara bebas, rerata pertukaran udara, rerata emisi dalam ruangan, rerata perpindahan permukaan (surface removal rate), reaksi antara ozon dan zat kimia lain dalam udara.3,14 Nilai batas ambang ozon ditentukan dalam ppm (parts per million) per 1 jam konsentrasi maksimal.2 Metode pemeriksaan ozon menurut United States Enviromental Protection Agency (USEPA) dengan chemiluminescent dan ultraviolet photometry. Standar kualitas udara ambien untuk ozon menurut USEPA 100 g/m3 dalam 1 jam sedangkan sasaran jangka panjang World Health Organization (WHO) adalah 188-320 g/m3 dalam 8 jam.dikutip dari 15 Berdasarkan lamanya pajanan, WHO menetapkan kualitas ozon dalam udara sebesar 76-110 ppb (parts per billion) untuk pajanan jangka pendek ( 1 jam) dan 50-60 ppb untuk pajanan 8-24 jam.8 National Ambient Air Quality Standards (NAAQS) menetapkan rerata per 1 jam konsentrasi maksimal adalah 0,12 ppm (235 g/m3) dan konsentrasi maksimal di udara bebas dalam 8 jam adalah 0,08 ppm.3-4,16 WHO untuk Eropa menetapkan standar kualitas udara ambien untuk ozon adalah 0,08 0,10 ppm dalam 1 jam dan 0,05-0,06 ppm dalam 8 jam. Dalam ruang kerja ditetapkan sebesar 0,1 ppm dalam 8 jam dengan batas puncak pajanan atau batas pajanan jangka pendek 0,3 ppm.dikutip dari 11 Food and Drug Administration (FDA) menghendaki produk ozon dari peralatan 12 Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

medik dalam ruangan tidak lebih dari 0,05 ppm. The Occupational Safety and Health Administration (OSHA) menghendaki bahwa pekerja tidak boleh terpajan dengan konsentrasi lebih dari 0,10 ppm per 8 jam. National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) merekomendasikan batas atas adalah 0,10 ppm, tidak boleh lebih pada suatu waktu.16 Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization) dikutip dari 7 menetapkan ozon di lingkungan penduduk seharusnya tidak lebih dari 100 ppb dan 60 ppb selama lebih dari 1 dan 8 jam, dengan nilai batas ambang lingkungan kerja 100 ppb time-weighted average (TWA) serta batas pajanan jangka pendek 300 ppb.7 Di Amerika Serikat, konsentrasi ozon 0,1 ppm TWA untuk 8 jam perhari adalah batas pajanan diijinkan yang.aman untuk lingkungan dan kesehatan Batas waktu pajanan jangka pendek adalah 0.3 ppm dalam 15 menit.dikutip dari 11 Indeks kualitas udara untuk konsentrasi ozon dalam 1 jam menurut USEPA dapat dilihat pada tabel 1.17
Tabel 1. Indeks kualitas udara untuk konsentrasi ozon dalam 1 jam Konsentrasi ozon (dalam 1 jam) 0 64 ppb 65 124 ppb 125 204 ppb 205 404 ppb Kualitas udara Baik Sedang Tidak sehat Sangat tidak sehat

Dikutip dari (17)

Kelarutan, deposisi dan mekanisme toksisitas Ozon adalah gas kebiru-biruan dengan karakteristik bau yang pedas atau tajam dan merupakan gas iritan.9-10,12 Relatif tidak larut dalam air tetapi larut dalam alkali dan minyak.9; adsorbsinya pada mukosa saluran napas jelek.7 Ozon akan turun dari saluran napas proksimal ke tempat deposit terbanyak yaitu rongga udara perifer.11 Deposit ozon akan berakhir di parenkim paru; jika pajanannya lama maka akan terjadi kerusakan alveol dan berkembang menjadi edema paru. Proporsi ambilan dan kelarutan ozon pada saluran napas dapat dilihat pada gambar 1.18 Meskipun mempunyai kelarutan rendah dalam air, ozon adalah molekul yang sangat reaktif dan ambilan dalam sistem pernapasan sangat tinggi.7 Penelitian pada anjing menunjukkan ambilan ozon pada saluran napas atas 70% dari jumlah yang diinspirasi pada konsentrasi 0,3 ppm dan aliran 4,5 L/menit, tetapi menurun di bawah 30 % pada konsentrasi 0,8 ppm dan aliran 40 L/menit. dikutip dari 7 Ambilan ozon mungkin sekitar 80 % pada saluran napas bawah, tidak tergantung dari aliran dan konsentrasi.7 Total ambilan ozon di sistem pernapasan diperkirakan mencapai 90 %.dikutip dari 3, 7,11 Pryordikutip dari 11 menekankan faktor penting yang mem-pengaruhi penetrasi ozon dalam saluran napas. Epithelial lining fluid (ELF) mempunyai ketebalan antara 0,1 20 m. Ozon yang hanya dapat berpenetrasi pada ketebalan 0,1 m tanpa bereaksi dengan komponen cairan, mungkin dapat berpenetrasi di beberapa tempat di saluran napas bawah yang mempunyai ELF tipis, sehingga ozon berpotensi untuk bereaksi langsung dengan sel-sel di permukaan saluran napas bawah.11

Gambar 1. Lokasi kerusakan oleh iritan saluran napas Dikutip dari (18)

Sebagai oksidan yang kuat, ozon dapat bereaksi dengan berbagai biomolekul ekstraseluler dan intraseluler, terutama yang mengandung kelompok amin, thiol atau ikatan C=C tidak tersaturasi. Beberapa enzim dari metabolisme intermediate, glutathione recycling, metabolisme xenobiotic serta fungsi proteinase menunjukkan perubahan dan tidak aktif oleh ozon baik secara in vivo maupun in vitro. Ozon juga bereaksi dengan glutathione (GSH), askorbat, asam urat yang ada di cairan permukaan saluran napas.3 Toksisitas ozon pada sel membran melibatkan oksidasi asam amino dan asam lemak tidak tersaturasi.11 Sitotoksisitas ozon mungkin bertambah akibat interaksi dengan lipid tidak tersaturasi yang menghasilkan radikal bebas perusak atau produk toksik intermediate seperti hidrogen peroksida dan aldehid.3 Peroksidase yang dihasilkan menyebabkan efek toksik dan juga radikal bebas yang mempengaruhi enzim, struktur protein, asam lemak dan sejumlah molekul lainnya.11 Kerusakan sel dalam paru, seperti makrofag, sel epitel, dan sel mast meningkatkan akumulasi protein plasma interstisial atau di rongga udara, merangsang inflamasi dan menstimulasi saraf aferen dalam saluran napas.3 Alpha1antitrypsin (1-proteinase inhibitor) dapat dioksidasi dan menjadi tidak aktif oleh ozon secara in vitro, yang mungkin berpotensi menyebabkan emfisema.11 EFEK OZON TERHADAP KESEHATAN PARU Ozon merupakan gas yang toksik terhadap saluran napas; efeknya tergantung dari konsentrasi dan lamanya pajanan.8 Faktorfaktor yang dapat meningkatkan risiko dan efek ozon terhadap kesehatan yaitu konsentrasi ozon dalam udara, lamanya pajanan, kegiatan yang meningkatkan frekuensi pernapasan dan penyakit paru sebelumnya.16 Kelompok sensitif ozon yang merupakan kelompok berisiko meliputi anak-anak yang aktif di luar, pekerja lapangan, orang dengan penyakit pernapasan seperti asma atau penyakit paru obstruksi kronik ( PPOK ) dan orang yang selalu terpengaruh oleh ozon.13,17 Pajanan konsentrasi ozon relatif tinggi (> 0,5 ppm) pada binatang percobaan menyebabkan berbagai efek anatomi dan fisiologi setelah beberapa jam, terutama di bronkiolus dan alveol.19 Pajanan ozon dapat menyebabkan inflamasi akut dan iritasi saluran napas, terutama selama aktivitas fisik berat.17 Pajanan ozon awal dapat menyebabkan iritasi mata dan

membran mukosa pada konsentrasi di atas 0,1 ppm.9,12 Gejalagejala yang kemudian timbul antara lain iritasi tenggorokan, batuk, mengi, napas pendek dan nyeri dada saat napas dalam. 8,12-3,16-7,19 Inhalasi ozon dapat mempengaruhi fungsi paru, perburukan pada penyakit paru kronik dan asma.16-17; juga dapat meningkatkan kepekaan paru terhadap infeksi, alergi dan polusi udara lainnya.17 Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ozon merusak jaringan paru dan menimbulkan efek tidak sehat yang mungkin berlanjut selama beberapa hari setelah pajanan berakhir. Perubahan fungsi paru pada konsentrasi ozon tinggi mungkin menetap beberapa hari setelah pajanan.13,17 Pajanan konsentrasi tinggi ozon dapat menyebabkan edema paru akut yang fatal, perdarahan bahkan kematian.7,9,20 Berbagai penelitian selama ini pada manusia menunjukkan 3 tipe respons paru terhadap pajanan akut ozon, yaitu batuk iritatif dan nyeri substernal pada saat inspirasi, penurunan kapasitas vital paksa (KVP) dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) serta inflamasi neutrofil di submukosa saluran napas diikuti dengan peningkatan konsentrasi mediator dan protein pada cairan broncho alveolar lavage (BAL). 3 Pengaruh ozon terhadap fungsi paru Pajanan akut ozon meningkatkan frekuensi napas, menurunkan tidal volume dan mungkin menyebabkan terperangkapnya udara yang dapat dilihat dari peningkatan kapasitas residu fungsional (KRF) dan volume tutup (closing volume). Ozon mungkin menyebabkan limitasi akut aliran udara yang dapat dilihat dari peningkatan tahanan jalan napas dan pengurangan keteregangan dinamik.7 Pajanan ozon pada atau di bawah konsentrasi standar 0,12 ppm dapat menyebabkan penurunan fungsi paru orang dewasa sehat dan anak-anak, terutama selama aktivitas fisik berat.2,4,13,21 Pajanan ozon dengan konsentrasi antara 0,08 ppm dan 0,4 ppm dapat menginduksi perubahan fungsi paru seperti penurunan VEP1, KVP, kapasitas paru total (KPT), kapasitas inspirasi (KI) dan peningkatan tahanan jalan napas (Raw). dikutip dari 22 Pada penelitian Horstman dkkdikutip dari 5, kelompok laki-laki dewasa bukan perokok dipajankan pada berbagai konsentrasi ozon dengan beberapa kondisi selama 6,6 jam. (grafik 1).5
105 100 95 90 85 80 75
Grafik 1. Perubahan fungsi paru dewasa sehat dengan aktivitas fisik sedang pada peningkatan konsentrasi ozon Dikutip dari (5)

0.00 ppm 0.08 ppm 0.10 ppm 0.12 ppm

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003 13

Folinsbee dkkdikutip dari 11 serta Horstman dkkdikutip dari 3 melakukan penelitian yang hampir sama dengan waktu pajanan 68 jam pada konsentrasi ozon bervariasi antara 0,08 ppm 0,12 ppm dengan aktivitas fisik intermiten selama pajanan. Hasilnya bermakna, terjadi penurunan nilai rerata VEP1 pada konsentrasi yang cukup rendah.3,11; penurunan nilai rerata VEP1 terjadi pada pajanan konsentrasi 0,08 ppm selama 6,6 jam (grafik 2.).3
4.5 4.4 4.3 VEP1 (L) 4.2 4.1 4.0 3.9 3.8 3.7 0 1 2 3 4 5 6 7 Lamanya Pajanan (Jam)
Grafik 2. Rerata VEP1 pada laki-laki sehat dengan aktivitas fisik selama 50 menit pada pajanan ozon 0 ppm (lingkaran putih), 0,08 ppm (kotak), 0,1 ppm (segitiga) dan 0,12 ppm (lingkaran hitam) Dikutip dari (3)

Penelitian Horstman dan McDonnell dikutip dari 11 menunjukkan bahwa fungsi paru menurun setelah konsentrasi ozon 80 ppb dengan rerata penurunan VEP1 8 %. Penelitian dengan skala lebih besar menunjukkan bahwa ozon dapat menyebabkan akumulasi penurunan fungsi paru setelah pajanan minimal 6 jam. Pajanan berulang harian konsentrasi ozon pada atau sedikit di bawah standar NAAQS 0,12 ppm berhubungan dengan penurunan fungsi paru.3 Penelitian pada anak-anak sekolah di Meksikodikutip dari 3 dengan konsentrasi maksimal dalam 1 jam selama 1 hari rerata melebihi konsentrasi standar NAAQS 0,12 ppm menyebabkan penurunan VEP1 dan forced expiratory flow 25-75 % (FEF25-75 %). Weinmann dkk melakukan penelitian pada laki-laki dewasa sehat bukan perokok yang dipajankan pada konsentrasi ozon 0,35 ppm selama 130-150 menit dengan aktivitas fisik intermiten. Hasilnya menunjukkan penurunan yang bermakna KVP, VEP1, VEP1/KVP dan FEF2519 75 %. Pengaruh ozon terhadap sistem pertahanan paru Pajanan jangka pendek dengan ozon konsentrasi antara 0,08 ppm sampai 0,4 ppm menyebabkan inflamasi akut pada saluran napas orang sehat.dikutip dari 22 Pajanan akut ozon merangsang respons inflamasi pada saluran napas atas dan bawah. Inflamasi ditandai oleh hiperemi mukosa, peningkatan permeabilitas menyebabkan protein serum dan molekul-molekul pindah ke permukaan saluran napas serta infiltrasi neutrofil di mukosa. Terjadi peningkatan konsentrasi sel mononuklear di saluran napas, perpindahan yang cepat neutrofil ke mukosa saluran napas dan cairan BAL, peningkatan protein cairan 14 Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

BAL. Protein cairan BAL yang meningkat selama pajanan ozon pada manusia meliputi lactate dehydrogenase (LDH), PGE2, IL-6, fibronectin, faktor koagulasi, albumin, IgG, komponen komplemen, 1-antitrypsin dan aktivator plasma. Pajanan ozon 0,08 ppm dan 0,10 ppm pada manusia selama 6,6 jam dengan aktivitas fisik sedang menyebabkan peningkatan kadar sel polymorphonuclear leukocytes (PMNs) atau neutrofil pada cairan BAL serta peningkatan mediator inflamasi yang lain seperti PGE, IL-6 dan fibronectin.3 Migrasi neutrofil terjadi maksimal 12 jam, komponen protein cairan BAL maksimal 24 jam dan migrasi limfosit maksimal 72 jam setelah pajanan ozon. Infiltrasi limfosit pada jaringan paru serta proliferasi limfosit T pada kelenjar getah bening dan bronchus associated lymphoid tissue (BALT) ditemukan pada spesimen histologi setelah pajanan ozon.7 Inflamasi mungkin meningkatkan efek terhadap kesehatan secara bermakna, termasuk gangguan pada sistem pertahanan tubuh dan perubahan struktural yang ireversibel.3 Pada binatang yang terpajan ozon, sel alveolar tipe I dan silia saluran napas rusak. Sel pneumosit tipe I degenerasi dan digantikan sel tipe II. Kemudian berproliferasi dan menjadi bentuk sel kubus. Fungsi makrofag dan pembersihan mukosilier terganggu dan meningkatkan kemungkinan infeksi.3-4,20 Daya fagositosis sel makrofag alveolar menurun pada penelitian in vivo dan in vitro.3,7 Tempat pertama setelah pajanan ozon jangka pendek (<24 jam) adalah daerah sentroasinar pada penelitian paru binatang percobaan.4 Pajanan ozon terhadap sel alveolar tipe II secara in vitro menunjukkan penurunan bermakna sintesis phosphatidylcholine (PC).3 Zwick dkk dikutip dari 20 meneliti pengaruh ozon pada komponen sistem imun pada anak-anak di lingkungan perkotaan. Anak-anak yang berada di lingkungan konsentrasi ozon tinggi menunjukkan peningkatan frekuensi dan beratnya hipereaktivitas saluran napas, juga bermanifestasi dengan penurunan sel limfosit CD4+, peningkatan sel CD8+ dan penurunan natural killer cell. Hal ini menunjukkan bahwa pajanan jangka panjang ozon konsentrasi tinggi di lingkungan dapat meningkatkan hipereaktivitas saluran napas yang menetap dan perubahan subklinis subpopulasi limfosit pada anakanak. 20 Pengaruh ozon terhadap asma dan PPOK Efek penting lainnya, ozon dapat menyebabkan peningkatan reaktivitas saluran napas, baik pada orang sehat maupun orang dengan hiperesponsif saluran napas sebelumnya.4,11,20,23 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan reaktivitas mungkin berhubungan dengan inflamasi.23 Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa hiperesponsivitas bronkus sebagian berhubungan dengan pelepasan tachynins seperti substansi P (SP) dan neurokinin.dikutip dari 22 Penelitian Krisna dkk menunjukkan bahwa pajanan jangka pendek ozon 0,2 ppm dapat menyebabkan pelepasan epitel dan stimulasi saraf sensorik subepitel untuk melepaskan SP ke dalam saluran napas. Pelepasan SP mempunyai peranan dalam bronkokonstriksi dan infiltrasi neutrofil ke saluran napas.22 Holtzman dkk dikutip dari 20 melakukan penelitian pada anjing yang dipajankan pada 2 ppm ozon selama 2 jam menghasilkan hipereaktivitas terhadap metakolin yang kembali normal dalam

1 minggu. Penelitian pada individu normal oleh Golden dkk yang dipajan dengan konsentrasi ozon 0,5-0,6 ppm selama 2 jam menunjukkan penurunan yang cukup besar pada VEP dan didapat peningkatan reaktiviti pada metakolin maupun histamin. Pajanan tunggal 2-3 jam konsentrasi ozon 0,2-0,8 ppm mungkin menginduksi penyempitan saluran napas derajat sedang dan menetap kurang dari 24 jam serta meningkatkan secara bermakna hipereaktiviti bronkus, yang mungkin bertahan lama.20 Hazucha dkkdikutip dari 21 melaporkan pajanan 1 jam dengan konsentrasi 350 ppb menyebabkan peningkatan responsibiliti metakolin. Folinsbee dkkdikutip dari 11 menunjukkan hiperesponsif yang bermakna setelah 6,6 jam pajanan ozon 120 ppb. Pada penelitian lain Folinsbeedikutip dari 11 terlihat pajanan 0,12 pmm ozon selama 1 jam dapat menyebabkan bronkokontriksi bila subjek dalam aktiviti berat selama 1 jam. McDonnell dkkdikutip dari 11 menunjukkan konsentrasi ozon 0,08 ppm mungkin menyebabkan bronkokontriksi pada subjek dengan aktiviti. Pasien asma dan PPOK lebih sensitif terhadap ozon dibandingkan orang normal.13,17,23 Whittemore dan Korndikutip dari 23 menyimpulkan bahwa konsentrasi ozon 120 ppb menyebabkan peningkatan serangan asma sampai 20%. Berbagai penelitian epidemiologi menyebutkan terdapat hubungan antara peningkatan konsentrasi ozon dan peningkatan serangan asma.3,4 Hiperesponsif jalan napas merupakan karakteristik asma, diperkirakan ozon akan menyebabkan bronkokontriksi pada penderita asma karena pada orang sehat ozon meningkatkan reaktiviti jalan napas. Pajanan ozon sebelumnya menunjukkan potensiasi respons awal bronkokontriksi asma alergi terhadap pajanan antigen.4 Kehrl dkk menyimpulkan pajanan 0,16 ppm ozon selama 7,6 jam dengan aktiviti fisik pada penderita asma atopi ringan terjadi penurunan fungsi paru dan peningkatan respon terhadap inhalasi alergen mite.24 Penelitian Mortimer dkk pada anak-anak perkotaan penderita asma yang terpajan ozon 15 ppb menunjukkan penurunan bermakna persentase peak expiratory flow rate (PEFR) pagi hari dan peningkatan gejala asma pagi hari.25 Newson dkk dalam penelitiannya menyimpulkan pajanan ozon 0,2 ppm dengan aktiviti intermiten pada penderita asma atopi ringan menginduksi respons inflamasi akut dengan karakteristik infiltrasi lebih awal (dalam 6 jam setelah pajanan) sel PMNs diikuti ekstravasasi plasma, aktivasi eosinofil dan neutrofil serta terdapat penurunan bermakna nilai VEP1 dan KI.26 Penderita dengan penyakit paru seperti bronkitis kronik, emfisema dan asma sudah mengalami penurunan fungsi paru dan mereka tidak dapat mentoleransi penambahan penurunan fungsi paru oleh pajanan ozon.13 Ada sebuah penelitian menarik, penderita PPOK yang dipajankan 0,2 ppm ozon selama 2 jam tidak ditemukan penurunan fungsi paru yang bermakna. Alasan mengapa pasien PPOK tidak menunjukkan penurunan fungsi paru tidak diketahui.11 Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa eksaserbasi PPOK berhubungan dengan konsentrasi ozon. Penelitian di Southern Ontario menemukan bahwa pajanan ozon dalam udara ambien dapat meningkatkan angka kunjungan rumah sakit untuk semua penyakit saluran napas termasuk eksaserbasi bronkitis kronik dan emfisema berhubungan dengan konsentrasi ozon pada musim panas.4 Beberapa penelitian di Eropa dan Amerika Serikat menunjukdikutip dari 20

kan peningkatan risiko relatif kunjungan rumah sakit dari eksaserbasi PPOK berhubungan dengan konsentrasi tinggi ozon.dikutip dari 27 Efek jangka panjang Pajanan kronik ozon dapat meningkatkan remodeling saluran napas distal daerah sentroasinar.4,7 Proses remodeling ini sering disebut bronkiolisasi alveol sentroasinar artinya epitel bronkus menggantikan sel tipikal duktus alveol tipe I dan II. Bronkiolisasi diamati pada pajanan 0,25 ppm (8 jam per hari selama 18 bulan) pada monyet dan dapat menetap untuk beberapa bulan setelah pajanan.3,4 Remodeling daerah sentroasinar mempunyai karakteristik berupa proliferasi fibroblas, penebalan membran kapiler alveol, peningkatan sintesis dan deposisi kolagen, penebalan dinding, penyempitan diameter bronkiolus terminal serta fibrosis septa interalveol.7 Penambahan ketebalan septum alveol sentroasinar pada pajanan kronik terjadi sebagai akibat peningkatan matriks ekstraseluler, membran basal, kolagen dan fibroblas serta penebalan epitel alveol. Secara umum konsentrasi ozon relatif tinggi (> 0,5 ppm) yang diberikan selama jangka waktu lama (misalnya beberapa bulan) diperkirakan menyebabkan proses fibrosis interalveol.4 Selain fibrosis jaringan paru, emfisema juga terlihat pada penelitian binatang yang dipajankan tiap hari dengan konsentrasi sedikit di atas 1 ppm.7 Oksidasi dan inaktivasi 1-antitrypsin (1proteinase inhibitor) oleh ozon secara in vitro, mungkin berpotensi menyebabkan emfisema.11 Pajanan ozon jangka panjang dapat menyebabkan tumor paru, hal ini baru terlihat pada penelitian binatang percobaan, pada manusia belum terbukti. Adenoma paru timbul pada 85 % mencit setelah dipajankan dengan ozon 1 ppm dalam 1 hari selama 15 bulan.10 Werthamer dkk dikutip dari 10 menginduksi pertumbuhan tumor paru pada mencit yang dipajan 4,5 ppm ozon selama 2 jam tiap hari dalam 75 hari.

PERANAN SUPLEMENTASI ANTIOKSIDAN Paru dilindungi oleh sejumlah antioksidan enzimatik maupun nonenzimatik yang ada di intraseluler dan ELF.28 Antioksidan tersebut sangat penting untuk mencegah atau mengurangi efek toksik oksidan seperti ozon dan nitrit oksid. Superokside dismutase (SOD), glutathione (GSH), glutathione peroksidase (GSH-Px), katalase, disulfide reduktase, 6phospogluconate dehydrogenase terkenal sebagai antioksidan tersebut.7,11 Sebenarnya stimulasi antioksidan tersebut merupakan bentuk respons jangka pendek dan menengah terhadap pajanan oksidan. Induksi sistem proteksi antioksidan diperkirakan merupakan mekanisme sel melawan peroksidase lipid.7 Vitamin E dan vitamin C mungkin mempunyai proteksi terhadap oksidasi dan peroksidasi yang diinisiasi oleh ozon serta dapat mengurangi efek toksik. Peningkatan kapasiti antioksidan setelah atau selama pajanan oksidan merupakan satu mekanisme proteksi yang penting.11 Penelitian in vitro dan pada hewan menunjukkan vitamin C dan -tokoferol efektif mengurangi toksisiti oksidan lingkungan seperti ozon dan NO2.28 Cathan dkk dikutip dari 28 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kombinasi vitamin C dan -

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003 15

tokoferol mengurangi penurunan VEP1 dan KVP yang diinduksi ozon. Samet dkk melakukan penelitian pada laki-laki dewasa bukan perokok yang dipajankan ozon 0,4 ppm selama 2 jam setelah sebelumnya diberikan suplementasi vitamin C, tokoferol dan sayur-sayuran tiap hari selama 2 minggu. Hasilnya menunjukkan penurunan VEP1 dan KVP yang diinduksi ozon 30% dan 24% lebih kecil dibandingkan kontrol. Disimpulkan bahwa diet antioksidan memberikan efek proteksi terhadap penurunan fungsi paru pada manusia.28 RANGKUMAN Ozon merupakan oksidan poten yang bersifat iritan dan toksik terhadap saluran napas. Konsentrasi standar ozon menurut NAAQS per 1 jam konsentrasi maksimal adalah 0,12 ppm. Efek ozon terhadap kesehatan paru tergantung pada konsentrasi serta lamanya pajanan. Inhalasi ozon jangka pendek dengan konsentrasi mendekati, sama atau lebih dari standar menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan reaktiviti saluran napas baik pada orang sehat maupun penderita asma. Inhalasi ozon di atas konsentrasi standar pada penderita asma dan PPOK meningkatkan eksaserbasi serta kunjungan rumah sakit. Pajanan jangka panjang ozon di atas konsentrasi standar dapat menyebabkan fibrosis paru. Suplementasi antioksidan selama pajanan ozon memberikan efek proteksi terhadap penurunan fungsi paru.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. Baratawidjaja K. Dampak pencemaran lingkungan hidup pada kesehatan paru. MKI 1996; 10:565-9. Aditama TY, Mangunnegoro H, Tugaswati T. Polusi SO2, NO2 dan ozon. Paru 1994; 3: 15-7. Health effects of outdoor air pollution. State of the art. Am J Respir Crit Care Med 1996; 153: 3-50. Balmes JR, Tager I. Air pollution. In:Murray JF, Nadel JA, editors. Textbook of respiratory medicine. 3rd ed. Philadelphia:WB Saunders company; 2000. p. 1885-902. ST. Louis regional clean air patnership. Care about clean air. Available from URL: http://www.cleanair-stlouis.com. Accessed March 6, 2002. Lloyd SA. Stratospheric ozon depletion. Lancet 1993; 6:1156-8. Chitano P, Hosselet JJ, Mapp CE. Effect of oxidant air pollutants on the respiratory system : insights from experimental animal research. Eur Respir J 1995; 8: 1357-71. Lumb A, Nunn JF. Smoking and air pollution. In:Nunns applied respiratory physiology. 5th ed. Oxford:Butterworth Heinemann; 2000. p.407-19. Parmeggiani L. Ozone. In:Encyclopaedia of occupational health and safety. 3rd ed. Geneva:International labour office; 1983. p. 1579-80.

5. 6. 7.

8.

9.

10. Waldbott GL. Pulmonary Irritants. In:Health effect of enviromental pollutans. 2nd ed. Saint Louis: CV Mosby company; 1978. p. 93-6. 11. Sandstrom T. Respiratory effects of air pollutants: experimental studies in humans Eur Respir J 1995; 8:976-95. 12. Harrison RJ. Occupational and enviromental medicine. Chemical and gases. Available from URL: http://www.mdconsult.com/das/article/body/ 1/jorg/1htm. Accessed April 23, 2002. 13. Lung USA Organization. What is ozone air pollution. Available from URL: http://www.Lungusa.org/air/envozone.html. Accessed May 16, 2002. 14. Weschler CJ. Ozone in indoor enviroments : concentration and chemistry. Available from URL: http.//www.blackwell-synergy.com/servier.html. Accessed February 19, 2002. 15. Aditama TY. Penilaian polusi udara. J Respir Indo 1999; 1: 4-10. 16. U.S. Enviromental Protection Agency. Ozone generators that are sold as air cleaners: an assesment of effectiveness and health consequences. Available from URL : http:/www.epa.gov/iaq/pubs/ozoneegen.html. Accessed February 19, 2002. 17. Mid-Atlantic Regional Air Management Association. MARAMA Introduction to ozone tables. Available from URL: http:/www. marama.org/ozone_monitoring.htm. Accessed February 19, 2002. 18. Fink JB, Hunt GE. Respiratory pathophysiology. In:Clinical practice in respiratory care. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins publishers; 1999. p. 131-53. 19. Weinmann GG, Bowes SM, Gerbase MW, Kimball AW, Frank R. Response to acute ozone exposure in healthy men: results of a screening procedure. Am J Respir Crit Care Med 1995; 151: 33-40. 20. Lopez M, Salvaggio JE. Air pollution and asthma. In:Gershwin ME, Halpern GM, editors. Bronchial asthma principles of diagnosis and treatment. 3rd ed. New Jersey:Humana Press; 1994. p.581-602. 21. Hazucha MJ, Folinsbee LJ, Seal E, Bromberg PA. Lung function response of healthy women after sequential exposures to NO2 and O3. Am J Respir Crit Care Med 1994; 150: 642-7. 22. Krishna MT, Springall D, Meng Q, Withers N, Macleod D, Biscione G, et.al. Effect of ozone on epithelium and sensory nerves in the bronchial mucosa of healthy humans. Am J Respir Crit Care Med 1997; 156: 94350. 23. Bates DV. Effect of smoking and enviromental pollutants. In: Respiratory function in disease. 3rd ed. Philadelphia:WB Saunders company; 1989. p. 152-71. 24. Kehrl HR, Peden DB, Ball B, Folinsbee L, Horstman D. Increased spesific airway reactivity of persons with mild allergic asthma after 7,6 hours of exposure to 0,16 ppm ozone. J Allergy Clin Immun 1999. Available from URL : http://home.mdconsult.com./das/article/body/1/ jorg.html Accessed April 4, 2002. 25. Mortimer KM, Tager IB, Dockery DW, Neas LM, Redline S. The effect of ozone on inner-city children with asthma. Identification of susceptible subgroups. Am J Respir Crit Care Med 2000; 162: 1838-45. 26. Newson EJ, Khrisna MT, Lau LCK, Howard PH, Holgate ST, Frew AJ. Effect of short-term exposure to 0,2 ppm ozone on biomarkers of inflamation in sputum, exahaled nitric oxide, and lung function in subjects with mild atopic asthma. J Occ Env Med 2000. Available from URL: http://home.mdconsult.com/das/article/body/1/jorg.html Accessed April 23, 2002. 27. MacNee W, Donaldson K. Exacerbations of COPD. Enviromental mechanisms. Chest 2000; 117(suppl): 390-7. 28. Samet J, Hatch G, Hosrtman D, Steck-scott S, Arab L, Bromberg PA, et.al. Effect of antioxidant supplementation on ozone-induced lung injury in human subjects. Am J Respir Crit Care Med 2001; 164: 819-25.

Truth is the root, but human sympathy is the flower of practical life (Chapin)

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Pengaruh Inhalasi NO2 terhadap Kesehatan Paru


Diah Handayani, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono
Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI / RS Persahabatan Jakarta

PENDAHULUAN Polusi udara merupakan suatu masalah internasional. Sumber polutan dari suatu negara dapat saja mencemari negara di sekitarnya. Kebakaran hutan pada bulan Juli sampai Oktober 1977 di Kalimantan dan Sumatera serta beberapa kawasan lain di negara kita telah menimbulkan dampak luas di kawasan Asia Tenggara. World Wildlife Fund (WWF) di awal Juni 1998 menyampaikan bahwa seluruh kerugian akibat kebakaran hutan tersebut tidak kurang dari 4,4 milyar dolar AS. World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 20 juta orang Indonesia telah terpajan asap kebakaran hutan itu mengakibatkan berbagai gangguan paru dan pernapasan.1,2,3 Dampak buruk polusi udara pada kesehatan mulai banyak dibicarakan setelah timbulnya beberapa kejadian di Belgia tahun 1930, di Pennsylvania pada tahun 1948 dan di London tahun 1952. Pada peristiwa itu terjadi stagnasi udara yang mengakibatkan peningkatan jumlah bahan polutan di udara dan angka kematian meningkat tajam. Sebagian besar korban adalah mereka yang sangat muda, sangat tua atau sebelumnya telah menderita penyakit paru dan jantung. Kematian umumnya disebabkan oleh pneumonia, bronkitis, penyakit paru dan jantung lainnya. Oleh karena itu polusi udara harus menjadi salah satu perhatian para dokter dan kajian penting bagi dokter spesialis paru.2,4 Nitrogen dioksida (NO2) di udara merupakan salah satu polutan yang paling mempengaruhi kesehatan paru. Polusi udara dan kesehatan Indonesia sebagai negara berkembang mengalami peningkatan jumlah tenaga kerja sektor industri. Peningkatan energi produksi, urbanisasi dan motorisasi menambah masalah polusi udara. Para ahli memperkirakan bahwa sekitar 60-80% penduduk perkotaan di dunia menghisap udara yang kualitasnya buruk bagi kesehatan, atau setidaknya udara dengan kadar polutan mendekati nilai ambang batas.2 Suatu studi di delapan wilayah di Jakarta menunjukkan hubungan antara jumlah kendaraan dan konsentrasi polutan. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor, sistem transportasi

dan lalu lintas yang tidak memadai, standar emisi yang lemah serta kurangnya perawatan kendaraan telah menimbulkan dampak terhadap polusi udara. Hal ini diperburuk dengan pengendalian polusi udara yang belum memadai. Badan pengendali dampak lingkungan (BAPEDAL) tahun 1992 melaporkan bahwa emisi kendaraan bermotor menyumbangkan 73% NOx sebagai salah satu polutan di udara. World Bank(1994) melaporkan bahwa diperkirakan pada tahun 2000 polusi udara di kota-kota besar di Indonesia akan meningkat dua kali lipat dari keadaan tahun 1990, menjadi lima kali lipat pada tahun 2010 dan sembilan kali lipat pada tahun 2020.2,5 Polusi udara dapat terjadi di luar (outdoor) dan di dalam ruangan (indoor). Polusi udara di luar ruangan biasanya terjadi akibat asap kendaraan bermotor dan asap industri sedangkan polusi udara di dalam ruangan akibat asap rokok, gangguan sirkulasi udara di gedung-gedung dan asap dari dapur tradisional, pemakaian kompor gas serta pemanas ruangan. Sumber yang terakhir bahkan dapat menghasilkan NO2 hingga 4 partpermillion(ppm) di dalam ruangan.WHO memperkirakan sekitar 400-500 juta orang khususnya di negara-negara berkembang saat ini menghadapi masalah polusi udara di dalam ruangan dan diperkirakan setiap tahunnya dari sekitar 3 juta kematian akibat polusi udara, 2,8 juta di antaranya akibat polusi udara dalam ruangan serta 0,2 juta lainnya akibat polusi udara luar ruangan. Tabel 1 berikut ini menyajikan kontribusi negara maju dan berkembang dalam mortalitas akibat polusi udara dalam ruangan sedangkan tabel 2 untuk data di luar ruangan. 2,3,5

Tabel 1.

Kematian di dunia akibat polusi udara dalam ruangan ( jumlah kematian 2,8 juta/tahun)(2) Persentase (%) 67 23 1 9

Jenis Negara berkembang (rural) Negara berkembang (urban) Negara maju (rural) Negara maju (urban)

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

17

Tabel 2. Kematian di dunia akibat polusi udara di luar ruangan (jumlah kematian 0,2 juta/tahun)(2) Jenis Negara berkembang (urban) Negara maju (urban) Persentase (%) 93 7

higroskopisitasnya; komponen kimia juga dapat berinteraksi secara langsung dengan jaringan sekitarnya. Kelarutan NO2 dalam air rendah sehingga dapat melewati trakea dan bronkus mencapai alveoli.8,9 NITROGEN DIOKSIDA (NO2) Nitrogen dioksida terbentuk dari proses pembakaran berbagai industri dan rumah tangga, melalui proses oksidasi oksigen dan nitrogen di udara bebas akibat panas tinggi. Rumah memakai kompor gas memiliki kadar NO2 lebih tinggi dibandingkan dengan rumah yang memakai kompor listrik, dan kadar puncaknya dapat mencapai 2,0 ppm. Nitrogen dioksida juga didapat pada bangunan kedap udara penyimpan makanan ternak yang disebut silo. Dalam silo NO2 terbentuk dari pembusukan rumput dan tanaman lainnya, juga tanah yang mengandung nitrogen mengalami oksidasi membentuk NO2 di dasarnya. Ketika silo dibuka NO2 akan keluar sehingga langsung dapat terhirup dalam konsentrasi tinggi dan menyebabkan efek toksik berat yang dikenal dengan istilah silo fillers disease.9-12 Nitrogen dioksida adalah gas toksik, kelarutannya dalam air rendah, namun larut dalam larutan alkali, karbon disulfida dan kloroform. Gas ini berwarna coklat kemerahan dan pada suhu di bawah 21,2C akan berubah menjadi cairan berwarna kuning. Bau NO2 khas dan mengganggu bahkan dapat mengiritasi saluran napas pada konsentrasi 1-3 ppm. Bentuk NO2 berdisosiasi dengan N2O4 tergantung suhu (N2O4 2 NO2). Pada suhu tubuh, rasio NO2 : N2O4 adalah 30 : 70. Di dalam saluran pernapasan NO2 akan terhidrolisis membentuk asam nitrit (HNO2) dan asam nitrat (HNO3) yang bersifat korosif terhadap mukosa permukaan saluran napas. 9-13 Konsentrasi ambang NO2 dan konsentrasinya di beberapa tempat. Nilai ambang NO2 di udara dihitung dalam kadar rata-rata dalam ppm, karena pengaruh pajanan NO2 lebih bersifat kronik. Amerika menetapkan nilai standar NO2 di udara sebesar 0,053 ppm (100g/m3) per tahun; metode pengukurannya dengan cara chemiluminescent. Di Indonesia, seperti bahan polutan lainnya, pengukuran dilakukan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). Nilai konsentrasi rerata NO2 di Indonesia saat ini sulit didapat karena kondisi geografis Indonesia belum memungkinkan untuk melakukan pengukuran di semua wilayah. Data yang diambil pada tahun 1982 di beberapa kota besar di Jawa dan tahun 1984 di Medan, Palembang, Manado, Banjarmasin, Pontianak dan Balik Papan menunjukkan sebagian besar konsentrasi NO2 masih di bawah ambang batas polutan, kecuali di Manado di daerah industri dan lalu lintas padat, hal yang sama di Pontianak dan Banjarmasin.1,5,6,13 Pada pengukuran polusi udara daerah Ciganjur, daerah pemukiman yang cukup jauh dari lalu lintas padat dan industri dibandingkan dengan Paseban, yang berada di pusat kota didapatkan tingkat NO2 di Ciganjur sebesar 18,19g/m3 sedangkan di Paseban 39,57 g/m3. Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada fungsi paru di antara penduduk yang tinggal di kedua daerah tersebut.5 Pengukuran jangka panjang sejak tahun 1986 sampai 1993

Mekanisme pengaruh polusi udara terhadap kesehatan Bahan polutan dari udara dapat menimbulkan efek lokal jika kelainan hanya pada satu organ saja dan efek sistemik jika mengenai satu sistem tubuh tertentu. Efek yang ditimbulkan juga dapat berupa efek akut dan efek kronik. Polutan dapat masuk ke dalam tubuh melalui tiga cara yaitu inhalasi, ingesti dan penetrasi kulit. Mekanisme masuknya polutan dari berbagai sumber hingga menimbulkan efek terhadap kesehatan manusia dijabarkan dalam bagan 1 di bawah ini.6
Udara Air Tanah Makanan

Media sumber pajanan

Transport

Inhalasi Jalan masuk Ingesti Kulit

Pajanan

Dosis internal

Dosis efektif biologis

Efek terhadap kesehatan

Bagan 1. Skema algoritma proses pajanan polutan terhadap kesehatan(7)

Inhalasi NO2 dapat menyebabkan gangguan paru dan saluran pernapasan, kemudian dapat masuk ke dalam peredaran darah dan menimbulkan akibat di alat tubuh lain. Terdapat tiga faktor yang berpengaruh dalam inhalasi bahan pencemar ke dalam paru, yaitu komponen fisik, komponen kimiawi dan faktor pejamu (host). Komponen fisik utama adalah keadaan dari bahan yang diinhalasi apakah berupa debu, gas, uap dan lain-lain. Ukuran dan bentuk partikel juga berpengaruh dalam proses penimbunannya di dalam paru, juga kelarutan dan nilai

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

dengan membandingkan Pulogadung dan Rawasari menunjukkan rerata tahunan konsentrasi NO2 tidak melebihi standar yaitu 0,05 ppm/ 24 jam dan tidak terdapat perbedaan bermakna di antara kedua tempat tersebut (Gambar 2).
16

Nitrogen dioksida (ug/m3)

14 12 10 8 6 4 2 0 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993

VEP1 8,2ml/detik, MMEF 10,7ml/detik dan 23,6ml/detik di kota dengan konsentrasi NO2 tinggi.16, 17 Hazucha dkk. meneliti pajanan NO2 dan ozon secara berturut-turut pada perempuan sehat bukan perokok. Didapatkan penurunan VEP1 yang bermakna pada pajanan NO2 dan ozon, namun pajanan NO2 saja tidak memberikan efek ini. Framton dkk. meneliti pajanan NO2 dengan berbagai konsentrasi terhadap individu sehat. Dilakukan tiga cara pajanan, pertama pajanan 0,60 ppm secara kontinu, ke dua 0,50 ppm dengan puncak intermiten 2 ppm dan ke tiga 1,5 ppm secara kontinu. Penurunan fungsi paru, KVP dan VEP1 terlihat pada pajanan 1,5 ppm NO2 secara kontinu, sedangkan pada dua prosedur lain tidak terlihat pengaruh yang berarti. Pajanan NO2 5 ppm selama 10 menit menyebabkan peningkatan tahanan saluran napas.9,18,19 Pengaruh NO2 terhadap aktivitas mukosilier Pajanan NO2 terbukti mengurangi aktivitas mukosilier; diketahui bahwa beberapa gas seperti NO2 dan ozon dapat mencapai alveoli dan mempunyai efek toksik langsung terhadap makrofag alveolar yaitu mengurangi daya fagosit dan aktivitas bakterisidal sehingga meningkatkan kemungkinan infeksi bakteri. Pajanan NO2 juga menimbulkan gangguan sekresi mukus, kerusakan silia dan gangguan imunitas humoral28,9,20-22 Terdapat peningkatan virus influenza intranasal pada pajanan 0, 1, 2 atau 3 ppm NO2 selama 2 jam, 3 hari berturutturut. Angka kejadian infeksi tinggi pada setiap pajanan meskipun tidak bermakna dibandingkan kelompok kontrol. Pada percobaan menggunakan tikus, ditemukan perubahan lapisan silia dan epitel bronkus akibat inhalasi 2 ppm (3,8 mg/m3) secara kontinu. Juga terjadi pelebaran alveoli pada pajanan 0,5 ppm NO2 selama 4 jam sedangkan pada pajanan 0,5 sampai 25 ppm NO2 selama tiga bulan atau lebih paru berubah seperti emfisema. 9,14 Heleday dkk.melakukan penelitian in vivo terhadap individu sehat menggunakan bronkoskopi serat optik, untuk menilai aktivitas mukosilier. Kontrol dibuat dengan mengambil data dasar sebelum pajanan NO2. Kelompok pertama menjalani bronkoskopi 45 menit setelah pajanan 1,5 ppm NO2 selama 20 menit, kelompok ke dua, bronkoskopi 45 menit setelah pajanan 3,5 ppm NO2 selama 20 menit, kelompok ke tiga bronkoskopi dilakukan 24 jam setelah pajanan 3,5 ppm NO2 selama 4 jam. Pada dua kelompok pertama tidak terlihat aktivitas mukosilier, sebaliknya terlihat peningkatan aktivitas mukosilier secara bermakna pada kelompok ke tiga. Disimpulkan bahwa pajanan NO2 jangka pendek menimbulkan penurunan aktivitas mukosilier 45 menit setelah pajanan, efek berlawanan terlihat 24 jam setelah pajanan.23 Pengaruh NO2 pada asma NO2 bukanlah penyebab asma secara langsung namun berbagai studi melihat hubungannya dengan eksaserbasi asma. Penelitian menunjukkan pajanan 0,5 pm NO2 dan 2 ppm selama 1 jam terhadap orang sehat meningkatkan respons saluran napas terhadap metakolin. Pada penderita asma pajanan 0,30 ppm NO2 menyebabkan peningkatan respons jalan napas meskipun tidak berpengaruh terhadap risiko munculnya asma.

Years
Gambar 2. Grafik rerata NO2 tahunan di Rawasari dan Pulogadung Jakarta Timur (1986-1993)(5)

EFEK NO2 TERHADAP KESEHATAN Pengaruh pajanan NO2 ditentukan oleh konsentrasi saat pajanan, proses akut atau kronik serta lama pajanan. Gejala yang dapat terjadi akibat NO2 meliputi asfiksi, edema paru, batuk, sesak, sianosis dan bronkiolitis obliterans. Pajanan kronik menimbulkan gangguan obstruksi Namun demikian mekanisme yang mendasari berbagai gangguan di atas belum jelas. Terdapat variasi hasil dari berbagai studi pajanan NO2 dalam konsentrasi yang bervariasi maupun yang sama.9-11,13,14 Pengaruh NO2 terhadap fungsi paru Pajanan 1,5 ppm selama 2 jam pada orang sehat tidak menyebabkan penurunan fungsi paru yang berarti meskipun studi lain pada orang sehat menunjukkan bahwa pajanan NO2 1,5-5 ppm meningkatkan tahanan jalan napas dan pada konsentrasi 2,5 ppm memperlihatkan gangguan fungsi paru dengan mekanisme yang belum dapat dijelaskan. Untuk pajanan NO2 di bawah 1 ppm masih kontroversial;. sebuah studi membuktikan peningkatan tahanan jalan napas pada pajanan NO2 dengan konsentrasi 0,24 ppm tetapi konsentrasi 0,51 ppm tidak menimbulkan efek yang sama. Diduga terdapat respons bifasik, konsentrasi di bawah dan di atas 0,5 ppm akan menimbulkan bronkokonstriksi tetapi pada konsentrasi 0,5 ppm terjadi bronkorelaksasi.2,9,15 Studi di California melihat hubungan antara fungsi paru anak sehat berusia di atas 4 tahun dengan pajanan polusi udara di beberapa kota tempat tinggal subjek. Didapatkan hubungan bermakna antara penurunan fungsi paru (volume ekspirasi paksa detik pertama, VEP1; kapasitas vital paksa, KVP dan arus tengah, maximal midexpiratory flow (MMEF) serta (FEF75) dengan pajanan partikel polutan berukuran kurang dari 10m (PM10), PM2,5, PM10-2,5, NO2 dan asam inorganik. Edward dkk. membandingkan konsentrasi rerata harian NO2 di udara bebas dengan fungsi paru. Didapatkan penurunan fungsi paru dengan rerata penurunan KVP 2,7ml/detik,

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

19

Pemeriksaan cairan bronchoalveolar lavage (BAL) setelah pajanan NO2 2 ppm selama lebih dari 4 hari, hanya menunjukkan inflamasi ringan.8,24 Framton melakukan pajanan dengan konsentrasi bervariasi. Pajanan 1,5 ppm NO2 selama 3 jam meningkatkan reaktivitas jalan napas terhadap karbakol sedangkan pajanan 0,5 ppm atau diseling dengan puncak konsentrasi 2 ppm dan 0,60 ppm secara kontinu tidak menimbulkan efek yang sama. Penderita asma memberikan respons peningkatan reaktivitas yang lebih jelas dibandingkan dengan orang sehat. Pajanan 0,1 ppm NO2 juga meningkatkan reaktivitas bronkus terhadap karbakol. Bauer menunjukkan bahwa pajanan 0,30 ppm NO2 pada penderita asma menyebabkan hiperesponsif terhadap uji provokasi latihan dan provokasi dengan udara dingin.19,24 Pada percobaan hewan, diketahui bahwa proses inflamasi akibat NO2 melibatkan peningkatan jumlah neutrofil, makrofag, sel mast dan limfosit. Berhasil dibuktikan bahwa pajanan NO2 2 ppm selama 6 jam meningkatkan neutrofil pada cairan BAL. Heleday dan Becker masing-masing menunjukkan peningkatan neutrofil pada cairan BAL orang sehat 24 jam setelah pajanan 3,5 ppm NO2 sambil latihan ringan dan 16 jam setelah pajanan 2 ppm NO2 selama 4 jam.18 Sandstrom dengan pajanan 2,25-5,5 ppm NO2 selama 20 menit memperlihatkan peningkatan sel mast dan limfosit sesuai dengan peningkatan konsentrasi. Pada konsentrasi di bawah 2 ppm tidak didapatkan perubahan apapun pada cairan BAL.24 Solomon menunjukkan pajanan 4 jam NO2 2 ppm selama 3 hari berturut-turut pada orang sehat meningkatkan persentase neutrofil dibandingkan dengan inhalasi udara terfiltrasi, dengan perbandingan 10,6 % dan 5,3%. Pada cairan BAL juga terjadi penurunan persentasi sel T-helper dengan perbandingan 55,9% dan 61,6%, pada pemeriksaan darah perifer tidak terjadi perubahan leukosit atau limfosit.23 Hipotesis lain diuji oleh Hasan dkk. secara in vitro menggunakan kultur sel epitel bronkus manusia (human bronchial epithelial subjects, HBECs) orang sehat dibandingkan dengan HBECs orang asma. Secara in vivo sel tersebut dipajankan dengan NO2 dengan konsentrasi 200 400 ppm selama 24 jam dengan kontrol pajanan terhadap udara bersih. Didapatkan perbedaan bermakna pengeluaran interleukin 8 (IL-8) dan soluble intercellular adhesion molecule (sICAM-1) di antara kedua kelompok, tetapi pajanan 100 400 ppm selama 6 jam tidak menimbulkan respons yang sama; sehingga disimpulkan bahwa NO2 berperan dalam meningkatkan pelepasan mediator inflamasi dari sel epitel bronkus terutama pada orang asma.25 Kadar beberapa polutan di Barcelona, Helsinki, Paris dan London tahun 1986-1992 dibandingkan dengan kedatangan pasien asma anak dan dewasa ke instalasi gawat darurat (IGD); didapatkan peningkatan bermakna kunjungan pasien asma dewasa ke IGD sesuai dengan peningkatan kadar NO2, juga pasien anak di musim dingin.26 Pajanan NO2, maupun kombinasi dengan ozon meningkatkan respons saluran napas terhadap inhalasi alergen pada subjek atopi, sehingga memicu eksaserbasi asma. Studi eksperimental menunjukkan bahwa polutan di udara dapat berinteraksi dengan aeroallergen di atmosfir dan di saluran napas sehingga meningkatkan efek alergi.25

INTOKSIKASI NO2 Kecelakaan yang terjadi pada September 1966 di sebuah perusahaan zat kimia memberikan gambaran efek akut dan lambat intoksikasi NO2 tanpa campuran zat lain. Empat orang petugas pemadam kebakaran menghirup asap NO2 yang keluar akibat kebocoran di pabrik tersebut. Sepuluh menit setelah pajanan, salah seorang berusia 49 tahun merasa sakit kepala ringan dan batuk kering yang keras dan 20 jam kemudian pernapasannya memendek, demam 38,9C, mengi dan ronki ditemukan di seluruh lapangan paru disertai gambaran edema paru. Kemudian kesadaran menurun, semikoma dan kondisinya memburuk. Perawatan pertama di rumah sakit meliputi pemberian kortikosteroid, aminofilin intravena untuk mengurangi bronkospasme dan digitalis untuk mengatasi gagal jantung membantu pasien tetap bertahan. Pada hari keduabelas pasien kembali demam, menggigil, nafas memendek dan batuk darah. Foto toraks mendapatkan gambaran nodul berukuran buah ceri tersebar di seluruh lapangan paru dan bertahan selama 5 minggu. Pasien mengeluh sesak, dan kapasitas difusinya menurun. Mekanisme intoksikasi diduga karena akumulasi neutrofil dan berkurangnya elastisitas paru. Marmut yang terpajan 30 ppm NO2 mengalami penurunan elastin paru dan kolagen pada hari keempat dan kesepuluh. Elastin tidak kembali ke tingkat normal hingga pajanan NO2 dihentikan. Selama pajanan, neutrofil berakumulasi secara cepat dalam paru; diduga neutrofil membawa elastase keluar. Pada percobaan binatang untuk melihat mekanisme terjadinya bronkitis kronik, pajanan NO2 konsentrasi kurang dari 1,0 dan 10,0 ppm menimbulkan kerusakan sel di regio sentriasinar. Terjadi cedera pada silia dan sel sekretorik membran bronkiolus dan sel epitel alveolar tipe 1 pada bronkiolus. Cedera sel diikuti oleh metaplasia sel sekretorik, epitelnya berubah dari datar menjadi kuboid. Terlihat sel inflamasi di dinding dan lumen bronkioli.27 Pajanan NO2 dengan konsentrasi 150 ppm selama 30 sampai 60 menit dapat menyebabkan kematian akibat edema laring yang menutup saluran napas sehingga terjadi asfiksia.9 Silo fillers disease Pada tahun 1956 dilaporkan seorang petani mengalami silo fillers disease. Petani dapat terpajan NO2 bila masuk ke dalam silo setelah 1 minggu pengisian, bahkan kadang terjadi meskipun hanya mendekati silo tanpa membukanya. Gambaran klinis fase awal tergantung kepada konsentrasi. Bila inhalasi NO2 tidak lama dan konsentrasi rendah hanya menimbulkan gejala respiratorik ringan. Pada fase ke dua muncul batuk dengan sputum berbusa dan sesak napas, dalam 1-2 jam kemudian dapat terjadi edema paru dan sianosis disertai takipnea, takikardi, ronki dan mengi di seluruh paru. Sesak dan batukbatuk selama beberapa jam dapat bertahan 2-3 minggu meskipun gejala lain membaik. Pada fase ini pasien terkadang menggigil dan demam.9,10,13 Gambaran radiologis pada tingkat awal bervariasi, mulai dari gambaran normal sampai tanda-tanda edema paru. Sebagian besar kasus menunjukkan gambaran nodul berukuran buah ceri tersebar di seluruh lapangan paru pada fase awal.

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

Gambaran nodul kemudian hilang, pada fase kedua hanya terlihat gambaran infiltrat milier seperti penyebaran hematogen tuberkulosis. Pemeriksan fungsi paru pada fase awal menunjukkan pengurangan volume paru dan kapasitas difusi. Saturasi oksigen juga menurun pada fase kedua. Beberapa kasus menunjukkan kapasitas difusi yang rendah, dengan perbaikan yang lambat hingga 2 sampai 6 bulan.Gambaran patologis lesi akut menunjukkan edema mukosa luas dan eksudasi sel inflamasi. Kapiler alveoli melebar, terisi cairan dan sel darah. Lesi lanjut menunjukkan gambaran bronkiolitis. Bronkus dan bronkiolus terbungkus oleh sel-sel inflamasi dengan fibrin mengisi seluruh lumen. Biopsi paru serial pada satu pasien menunjukkan bahwa lesi tersebut akan menghilang dalam 6 bulan dengan meninggalkan kolagen interstisial dan dilatasi alveoli. Penatalaksanaan silo fillers disease sesuai dengan gejala, diikuti dengan pemberian kortikosteroid. Hal yang penting adalah pencegahan dengan memberikan informasi terutama kepada pekerja resiko tinggi seperti petani atau peternak disertai peringatan bahaya di silo dan menjauhkan anak-anak dari silo. Kematian dapat terjadi baik pada awal maupun fase kedua peyakit ini. Bila pasien mampu bertahan pada tahap ini, dalam 2-3 minggu pasien dapat sembuh. PENATALAKSANAAN Saat ini belum ada terapi antidot spesifik terhadap intoksikasi akibat inhalasi gas beracun. Penatalaksanaan pertama akibat pajanan akut inhalasi gas toksik adalah memindahkan pasien dari daerah pajanan, resusitasi pengamatan tanda vital dengan observasi ketat. Jika terjadi efek pada saluran napas bawah perlu kewaspadaan meskipun penderita tidak menunjukkan gejala apapun karena mungkin masih berada pada kondisi edema paru laten. Pemeriksaan meliputi uji fungsi paru, saturasi oksigen (oksimetri) atau tekanan parsial oksigen berdasar analisis gas darah. Pemeriksaan foto toraks sebaiknya dilakukan dalam 8 jam setelah pajanan.9-11,13-14 Jika didapatkan vertigo, mual, tanda-tanda iritasi saluran napas bawah mungkin terjadi edema paru, dan memerlukan kortkosteroid intravena. Meskipun gejala edema paru minimal (sesak napas, batuk progresif, tanda radiologik edema paru) pasien harus dirawat di ruang rawat intensif. Secara rinci penanganan pasien iritasi saluran napas bawah meliputi9 : 1. anamnesis riwayat perjalanan penyakit 2. observasi keadaan klinis secara ketat 3. pemeriksaan radiologik (0, 8, 24 jam setelah pajanan) 4. uji fungsi paru (minimal kapasitas vital dan kapasitas difusi, atau lebih lengkap, jika mungkin pada 0, 8, 24 jam) 5. terapi inhalasi kortikosteroid (awal 5 semprot dari 200 g, kemudian 2 semprot setiap 5-10 menit) juga kortikoseroid iv (0,25 1g prednisolon) Tujuan utama terapi adalah menekan perkembangan edema paru dengan pemberian kortikosteroid secepat mungkin. Pada kasus yang tidak jelas, penatalaksanaan agresif lebih baik. Pemberian antibiotik berdasarkan adanya tanda inflamasi, meskipun hasilnya meragukan lebih baik tetap diberikan. Oksigen diberikan jika terdapat tanda-tanda hipoksia. Ventilasi

mekanik secara umum dilakukan jika frekuensi napas lebih dari 30 kali permenit dan tekanan parsial oksigen di bawah 55 mmHg. Komplikasi berat edema paru adalah acute respiratory failure (acute respiratory distress syndrome, ARDS). Pola penatalaksanaan inhalasi toksik dapat dilihat pada gambar 3. Pencegahan pajanan zat toksik sangat penting dan dapat dilakukan antara lain dengan memberikan informasi tentang NO2 dan pertolongan pertama pada intoksikasi akibat inhalasi NO2 terutama kepada pekerja berisiko tinggi, memasang tanda peringatan khusus di tempat kerja yang potensial menghasilkan NO2 terutama dalam konsentrasi tinggi, desain ruangan dengan ventilasi yang cukup sehingga mencegah NO2 terkonsentrasi di dalamnya.
Inhalasi gas toksik yang menimbulkan iritasi saluran napas atas Tidak ada keluhan Sindrom iritasi

Terapi dan observasi

Perbaikan

Perburukan

Pulang

Pulang sesudah perawatan

Rawat

Inhalasi gas toksik yang menimbulkan iritasi saluran napas bawah

Tidak ada keluhan

Keluhan tidak spesifik

Tanda edema paru jelas

Observasi

Terapi profilaksis

Terapi dan rawat Tanda edema (-) Tanda edema paru

Pulang Gambar 3. Skema penatalaksanaan setelah inhalasi gas toksik(28)

RANGKUMAN Polusi udara merupakan masalah penting karena pengaruhnya bagi kesehatan terutama kesehatan paru. NO2 merupakan salah satu bahan polutan yang penting dengan konsentrasi standar NO2 0,53 ppm. 1. Inhalasi NO2 dapat menimbulkan penurunan fungsi paru, memicu eksaserbasi asma, meningkatkan frekuensi infeksi tergantung konsentrasi dan cara pajanan. Pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan cedera paru hingga edema paru dan dapat

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003 21

menimbulkan kematian. 2. Penatalaksanaan inhalasi maupun intoksikasi NO2 bertujuan mencegah dan mengatasi edema paru dengan pemberian kortikosteroid 3. Pencegahan terhadap inhalasi dan intoksikasi NO2 lebih baik dan sangat penting

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. Aditama TY, Mangunnegoro H, Tugaswati T. Polusi SO2, NO2 dan ozon. Paru 1994; 3: 15-7. Aditama TY. Penilaian polusi udara. J Respir Indon 1999; 19: 4-5. Aditama TY. Dampak asap kebakaran hutan pada paru & pernapasan. Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia, 1999. p. 1-5. Balmes JR, Tager I. Air pollution. In: Murray JF, Nadel JA, eds. Textbook of respiratory medicine. 3rd ed. Philadelphia : WB Saunders Co.; 2000. pp. 1886, 1893-6. Mangunnegoro H, Sutoyo DK. Environmental and occupational lung diseases in Indonesia. Respirology 1996; 1:85-91. Marcelo B, Paulo HN, Saldiva, Pope AC, Capelozzi VL. Respiratory changes due longterm exposure to urban level air pollution. Chest 1998; 113: 1312-8. Bascom R, Bromberg PA, Costa DA, Devlin R, et al. Health effects of outdoor air pollution. Am J Respir Crit Care Med 1996; 153: 5,6,12-3. Aditama TY. Polusi udara dan kesehatan paru. Paru 1991; 11: 3-5. Waldbott GL. Source and actions of pollutans. In: Waldbott GL, ed. Health effects on environmental pollutants. 2nd ed. St Louis: CV Mosby; 1978. p.91-2. Ross AS, Seaton A, Morgan C. Toxic gasses and fumes. In: Morgan C, Seaton A, eds. Occupational lung disease. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Co.; 1995. p.580-4. Schepers GWH. Allergenic occupational air pollutants. In: Frazier MA. ed. Occupational asthma. New York: Van Nostrand Reinhold Co.; 1980. p. 326-7. Parmeggiani L.Nitrogen dioxide. In: Parmeggiani L, ed. Encyclopaedia of Occupational Health and Safety. 3rd ed. Geneva: International labour office; 1983. p.1458. Bates DV. Occupational lung diseases. In: Lamsback W, ed. Respiratory function in disease. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Co; 1989. p. 32432.

5. 6.

7. 8. 9.

10.

11.

12.

13.

14. Swartz DA, Balski CA. Toxic inhalation. In: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, et al. eds. Fishmans Pulmonary Disease and Disorders. 3rd ed. New York: McGraw-Hill; 1998. p.928-34. 15. Hazucha MJ, Follinsbee LJ, Seal E, Bromberg PA. Lung function response of healthy women after sequential exposures to NO2 dan O3. Am J Respir Crit Care Med 1994; 150: 642-7. 16. Avol EL, Gauferman WH, Tan SM, Peters JM. Respiratory effects of relocating to areas of differing air pollution levels. Am J Respir Crit Care Med 2001; 164: 2067-72. 17. Gauderman WJ, McConnel R, Gilliand F, London S, et al. Association between air pollution and lung function growth in Southern California children. Am J Respir. Crit Care Med 2000; 162: 1383-90. 18. Framton MW, Morrow PE, Cox C, Gibb FR, et al. Effects of nitrogen exposures on pulmonary function and airway reactivity in normal human. Am Rev Respir Dis 1991; 143: 522-7. 19. DAmato G, Liccardi G, DAmato M. Environmental risk factors (outdoor and climatic changes) and increased trend of respiratory allergy. J Investig Allerg Clin Immunol 2000; 10: 123-8. 20. Bates DV. Effects of air pollutants on the lung. In: Lamsback W, ed. Respiratory function in disease. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Co.; 1989. pp.169-70. 21. Yeates DB, Mortensen J. Deposition and clearance. In: Murray JF, Nadel JA, eds. Textbook of respiratory medicine. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Co; 2000. p.372. 22. Solomon C, Christian DL, Chen LL, Welch BS, et al. Effect of serial-day exposure to nitrogen dioxide on airway and blood leukocytes and lymphocyte subsets. Eur Respir J 2000; 15: 922-8. 23. Helleday R, Huberman D, Blomberg A, Stenjeberg N, et al. Nitrogen dioxide exposure impairs the frequency of the mucociliary activity in healthy subjects. Eur Respir J 1995; 8: 1664-8. 24. Sandstrom T. Respiratory effects of air pollution: experimental studies in humans. Eur Respir J 1995; 8: 976-95. 25. Byram H, Sasford JR, Abdelaziz MM. Effect of ozone and nitrogen dioxide on the release of proinflammatory mediators from bronchial epithelial cells of nonatopic nonastmathic subjects and atopic astmathic patients in vitro. J Allergy Clin Immunol 2001; 107: 287-94. 26. Sunyer J, Quenel P, Ponce-de-Leon A, Ponka A, et al. Urban air pollution and emergency admissions for asthma in four European cities: the APHEA Project. Thorax 1997; 52: 760-5. 27. Piquette CA, Rennard SI, Snider GL. Chronic bronchitis and emphysema. In: Murray JF, Nadel JA, eds. Textbook of respiratory medicine. 3d ed. Philadelphia: WB Saunders Co; 2000. p.1213-5. 28. Nowak D, Hoppe P. Acute exposure to toxic agents. In: Grassi C, Brambilla C, Costabel U, Fishman, AP, et al, eds. Pulmonary diseases. London: McGraw-Hill International Ltd; 1999.p.303-10.

Every brave man is a man of his word (Corneille)

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Dampak Inhalasi Cat Semprot terhadap Kesehatan Paru


Wahyuningsih, Faisal Yunus, Mukhtar Ikhsan, Wiwien Heru Wiyono
Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN Paru sebagai organ dengan permukaan yang luas, aliran darah yang cepat dan epitel alveolar yang tipis merupakan tempat kontak yang penting dengan substansi yang berasal dari lingkungan. Perhatian atas dampak pajanan bahan-bahan berbahaya di tempat kerja dan lingkungan terhadap kesehatan sejak beberapa dekade terakhir tampak makin meningkat karena peranannya terhadap gangguan fungsi paru. Penyakit paru kerja penting dikenali karena dapat dicegah dan diobati. Pajanan bahan berbahaya di tempat kerja dapat menyebabkan atau memperburuk penyakit seperti asma, kanker, dermatitis atau tuberkulosis.1-3 Diperkirakan jumlah kasus baru penyakit akibat kerja di Amerika Serikat 125.000 sampai 350.000 kasus pertahun dan terjadi 5,3 juta kecelakaan kerja pertahun. Biaya yang dikeluarkan lebih dari 60 trilyun dolar pertahun.2 Penyakit akibat kerja dapat dijumpai di tempat industri dan pertanian.3 Kejadian penyakit yang disebabkan oleh debu mineral menurun di negara-negara pascaindustri dan asma muncul sebagai penyakit paru kerja yang utama.4 Asma kerja merupakan penyakit paru kerja yang sering dijumpai di negara berkembang, prevalensinya bervariasi antara 2-20%.1,2,5 Cat merupakan campuran bahan kimia yang sudah dikenal sejak dahulu dan banyak digunakan di berbagai tempat. Cat merupakan bahan yang mudah menguap dan cat semprot akan mengubah substansi menjadi bentuk aerosol yang mudah terisap Cat dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui inhalasi, kontak kulit dan oral, hal ini merupakan pajanan potensial.6,7 Cat mengandung bahan kimia yang dapat menyebabkan kanker terutama kanker paru di samping kanker esofagus, abdomen dan kandung kencing.8 Isosianat yang dikombinasi dengan bahan-bahan kimia lain dalam cat semprot, pelapis polyurethane serta beberapa industri dapat mempengaruhi kesehatan bila dihirup dalam bentuk aerosol. Isosianat dapat menyebabkan beberapa kelainan paru seperti asma dan pneumonitis hipersensitif.4 Pajanan isosianat dapat menyebabkan asma pada 5-15% pekerja dan merupakan penyebab paru kerja yang sering dijumpai di daerah industri.9,10 Cat semprot

yang mengandung hidrokarbon, suatu bahan yang mudah menguap dapat menimbulkan sensasi euforia dan halusinasi, sehingga dapat disalahgunakan (abuse) terutama di kalangan remaja. Pajanan akut dan kronik dapat mempengaruhi kesehatan paru dan bahkan dapat menyebabkan kematian.11 BAHAN CAT Cat berisi bahan kandungan cat dan bahan pewarna (tabel 1 dan 2)6 berupa campuran zat kimia padat dengan medium cair, digunakan sebagai lapisan proteksi atau dekorasi permukaan; akan mengering dengan oksidasi, polimerisasi dan evaporasi. Pekerja cat dan orang di sekitarnya dapat terpajan oleh bahan-bahan kimia yang terdapat dalam cat. Cat pada umumnya berbahan dasar air atau minyak dan terdiri atas tiga komponen penting, yaitu: 7 1. Tiner Semua cat mengandung pelarut/solven yang biasanya berupa tiner. Tiner akan menguap segera setelah cat dioleskan, saat itu pekerja cat dapat mengisap bahan berbahaya yang terkandung dalam solven. Pajanan terhadap solven dapat menyebabkan sakit kepala, pusing, iritasi mata, hidung dan tenggorokan, masalah reproduksi dan kanker. 2. Binder Binder yang dapat menyebabkan masalah kesehatan adalah resin (epoxy resin dan urethane resin) menimbulkan iritasi hidung, mata, tenggorokan dan kulit. 3. Pigmen Pigmen dalam cat berguna untuk mewarnai dan meningkatkan ketahanan cat. Banyak jenis pigmen merupakan bahan berbahaya yaitu: Lead chromate: digunakan untuk memberi warna hijau, kuning dan merah; dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf pusat. Kromium: memberikan warna hijau, kuning dan oranye; dapat menyebabkan kanker paru dan iritasi kulit, hidung dan saluran napas atas. Kadmium: memberi warna hijau, kuning, oranye dan merah; dapat menyebabkan kanker paru.

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003 23

Tabel 1. Bahan-bahan kandungan cat Bahan Bahan pembentuk lapisan (film-forming materials): Linseed oil, Soybean oil, Tung oil, Dehydrated Castor oil, Fish oil, Oiticica oil, Perilla oil, Casein, Latex emulsion, Varnishes. Tiner (thinners) : Hidrokarbon alifatik, naphtha, fraksi petroleum lain Turpentin (turpentine) : Seperti hidrokarbon aromatik: toluen, silol (xylol), methylated naphthalene Pengering (driers) : Co, Mn, Pb, Zn, naphthalene, resin, octoates, linoleat, tallates Antiskinning agents : Polyhydroxy phenols Plasticizers: Beberapa macam minyak Fungsi Membentuk lapisan pelindung melalui oksidasi dan polimerisasi minyak tak jenuh Sebagai suspensi pewarna cat (pigmen), terlarut dalam bahan pembentuk lapisan dan konsentrasinya sedikit dalam cat Mempercepat pengeringan lapisan (film) melalui oksidasi dan polimerisasi Mencegah penggumpalan dan pengelupasan cat sebelum digunakan. Memberikan elastisitas pada lapisan sehingga mengurangi atau mencegah proses penguraian. Dikutip dari (6) Tabel 2. Bahan-bahan pewarna cat (pigmen) Pigmen Pewarna putih: timah putih, titanium dioksida, Zn oksida, lithopone, Zn sulfida, basic lead sulphate Pewarna hitam: karbon hitam, lampblack, graphite, magnetite black Pewarna biru: ultramarine, cobalt blue, copper phthalocyanine, iron blue Pewarna merah: timah merah, iron oxides,kadmium merah, toners and lakes Pewarna metalik : aluminum, debu seng, bubuk tembaga Pewarna kuning: litharge, ochre, timah atau Zn kromat, hansa yellows, ferrite yellows, cadmium lithopone Pewarna jingga: basic lead chromate, cadmium orange, molybdenum orange Pewarna hijau: kromium oksida, kromat hijau, hydrated chromium oxide, phthalocyanine green, permansa green Pewarna coklat: burnt sienna, burnt amber, vandyke brown Metal protective pigments: timah merah, timah biru, seng, basic lead, barium potassium chromates Pigments Extenders: China clay, talk, asbestos, silika, gips, mika, barytes, blanc fixe Fungsi Untuk melindungi lapisan cat dari sengatan matahari, menguatkan lapisan dan memberi tampilan menarik (estetik)

Mengurangi biaya pewarna dan meningkatkan ketahanan warna Dikutip dari (6)

CAT SEMPROT Cat semprot banyak digunakan di industri-industri mobil, mebel, pesawat, kapal laut dan industri lain. Cat semprot lebih berbahaya daripada cat kuas karena partikelnya yang kecil dapat tersebar luas. Cat semprot mengubah substansi menjadi aerosol, yaitu kumpulan partikel halus berupa cair atau padat, yang karena ukurannya yang kecil akan mudah terisap, sehingga potensial merupakan pajanan khususnya terhadap kesehatan paru,12,13 berpotensi menyebabkan penyakit paru akibat kerja; antara lain kanker, asma dan pneumonitis hipersensitivitas.4,14. Selain itu cat dapat mempengaruhi beberapa organ lain seperti susunan saraf pusat, hati, ginjal, kulit, mata, organ reproduksi, jantung dan paru. Di samping itu cat semprot yang mengandung hidrokarbon dapat disalahgunakan karena dapat memberikan sensasi euforia atau halusinasi; intoksikasi hidrokarbon dapat menyebabkan kelainan paru bahkan kematian.11 Cat semprot berupa partikel halus yang dapat terisap ke dalam saluran napas. Lokasi deposisi partikel di saluran napas ditentukan oleh konsentrasi, kelarutan dan ukurannya. Partikel berukuran 10 m atau lebih akan mengendap di hidung dan

faring, yang berukuran kurang dari 5 m dapat penetrasi sampai ke alveoli, dan partikel berukuran sedang (5-10 m) akan mengendap di beberapa tempat di saluran napas besar. Lokasi deposisi partikel akan memberikan respons atau penyakit yang berbeda (gambar 1). Faktor manusia juga berperan penting dalam berkembangnya penyakit, seperti kebiasaan merokok, kecepatan aliran udara, pernapasan, ukuran paru dan faktor familial.1,4,14 KANKER PARU Kanker paru dikenal sebagai jenis kanker yang sering dijumpai pada laki-laki di daerah industri di negara berkembang. Penelitian epidemiologi kejadian kanker paru menunjukkan bahwa insidens kanker paru berhubungan dengan faktor eksternal, lingkungan dan perilaku. Merokok merupakan faktor risiko utama kanker paru dan pajanan bahan karsinogen di tempat kerja juga mempunyai efek yang signifikan. The International Agency for Research on Cancer (IARC) menentukan bahwa cat dapat menyebabkan kanker terutama

24

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

Gambar 1. Penyakit respirasi akibat kerja Dikutip dari (4)

kanker paru di samping kanker esofagus, abdomen dan kandung kencing.15 Cat jenis tertentu diduga mengandung beberapa zat yang bersifat karsinogenik. Sebagian besar pajanan cat melalui inhalasi walaupun dapat juga melalui kontak kulit atau oral. Beberapa bahan dalam cat yang dapat menyebabkan kanker paru antara lain timah, kromium, molybdenum, asbestos, arsenik, titanium dan mineral oil (polycyclic aromatic hydrocarbon).8,16,17 Arsen dan pewarna cat yang mengandung metal seperti titanium oksida, kromium dan besi saat ini jarang digunakan karena sejak tahun 1960 digunakan cat dengan berbahan dasar air yang hanya sedikit mengandung pelarut dan kurang berbahaya. 6-8 Pajanan kronik bahan karsinogen membutuhkan waktu lama untuk dapat menyebabkan kanker, hal menyulitkan diagnosis dan riwayat pekerjaan memegang peranan yang penting.1,2,4 .Lama pajanan akan meningkatkan risiko kanker paru. Droste dkk16 mendapatkan bahwa molybdenum, kromium dan mineral oil sangat berhubungan dengan kanker paru dan kejadian kanker paru akan meningkat setelah pajanan lebih dari 20-30 tahun. Morrel dkk17 mendapatkan 58% kematian yang berhubungan dengan bahan berbahaya disebabkan neoplasma ganas. Kanker paru dan pleura merupakan jenis kanker yang sering dijumpai (57%) sebagai penyebab kematian dan laki-laki (61%) dua kali lebih tinggi dari perempuan (36%). Jenis kanker yang sering dijumpai adalah mesotelioma (14%). Kebiasaan merokok meningkatkan risiko kanker paru 4-14 kali dibanding pekerja yang tidak merokok.

ASMA KERJA Terdapat dua kategori asma di tempat kerja yaitu asma kerja (occupational asthma) dan asma diperberat di tempat kerja (work-aggravated asthma). Asma kerja didefinisikan sebagai keterbatasan aliran udara dan/atau hiperesponsivitas bronkus yang disebabkan bahan di lingkungan tempat kerja dan tidak disebabkan oleh rangsangan di luar lingkungan kerja. Sedangkan asma diperberat di tempat kerja adalah asma yang diperburuk oleh iritan atau rangsang fisik di tempat kerja. Asma kerja dapat dibedakan menjadi asma dengan periode laten dan tanpa periode laten. Asma kerja dengan periode laten merupakan asma kerja yang sering dijumpai dan berkembang setelah pajanan berulang selama beberapa minggu sampai beberapa tahun serta berhubungan dengan mekanisme imunologi. Asma kerja tanpa periode laten berkembang setelah pajanan tunggal atau berulang gas iritan, uap atau kimia konsentrasi tinggi.2,3,9 Riwayat timbulnya gejala merupakan hal yang penting dalam mengenali asma kerja. Asma yang timbul pada saat atau beberapa saat setelah bekerja dan hilang pada akhir minggu atau saat libur merupakan gejala yang khas pada asma kerja. Pada asma kerja yang lanjut gejala akan tetap ada pada saat akhir minggu atau liburan sehingga akan menyulitkan diagnosis..3,4,14 Isosianat sering diidentifikasi sebagai penyebab asma kerja pada pekerja cat semprot yang dikenal sebagai isocyanate-induced asthma.18 Prevalensi isocyanate-induced

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003 25

asthma diperkirakan berkisar antara 5-15% dan sering dijumpai di negara berkembang.9 Isosianat merupakan bahan utama cat semprot, selain itu dapat juga dijumpai pada varnis, lem dan polyurethane. Isosianat merupakan bahan kimia reaktif yang dapat mengiritasi saluran napas dan membran mukosa.12,18 Dahulu toluene diisocyanate (TDI) sering digunakan dalam komponen cat semprot kendaraan bermotor; saat ini digantikan oleh 1,6 hexamethylene diisocyanate (OCN(CH2)6NCO (HDI) dan methylene diphenyl diisocyanate (MDI). HDI merupakan diisosianat alifatik; HDI monomer sangat mudah menguap, sehingga sebagian besar HDI dalam bentuk prepolimer.18,19 Pajanan isosianat yang tinggi dapat menyebabkan iritasi mata, sensitisasi dan inflamasi kulit serta edema paru. Pada pekerja yang telah tersensitisasi oleh isosianat, pajanan dosis kecil (kurang dari 1 ppb = parts per billion) dapat menyebabkan asma13 yang dapat tetap diderita bertahun-tahun setelah pajanan dihentikan. Tanda dan gejala yang sering yaitu batuk dengan atau tanpa produksi sputum, sesak atau rasa berat di dada, mengi, mengigil, malaise, nyeri otot, dan gejala seperti flu (flulike symptoms) pada saat bekerja. Demam disertai lekositosis dapat juga dijumpai pada asma kerja (5%). Pada beberapa pasien dapat dijumpai gejala yang tidak khas seperti batuk kronik atau bronkitis. Foto dada biasanya normal walaupun dapat juga ditemukan infiltrat interstisial atau menyebar. Pada pemeriksaan arus paksa ekspirasi serial (APE) didapatkan nilai APE yang lebih rendah saat berada di lingkungan pekerjaan.3,4,14,17 Isosianat merupakan senyawa dengan berat molekul rendah (kurang dari 5000 dalton); mekanismenya sebagai penyebab asma belum jelas3,4 ;diperkirakan melalui mekanisme imunologi dan nonimunologi. Mekanisme isocyanate-induced asthma melalui non-IgE dependent karena antibodi IgE (imunoglobulin E) yang spesifik terhadap protein konjugat hanya sedikit dijumpai (10-30%).21,22 Eosinofil jarang dijumpai pada asma kerja; berhubungan dengan beratnya penyakit dan peningkatan reversibilitas terhadap bronkodilator.23 Pada asma kerja faktor yang paling penting adalah pajanan, karena memungkinkan terjadinya sensitisasi imunologi dan asma. Pada derajat pajanan isosianat tertentu, tidak semua pekerja akan menderita asma kerja; hal ini disebabkan kerentanan individu. Faktor genetik mungkin mempunyai peranan penting dalam perkembangan asma; human leukocyte antigen (HLA) kelas II dilaporkan berhubungan dengan risiko asma kerja yang disebabkan isosianat.24 Dosis (lama dan konsentrasi pajanan) isosianat yang dapat menyebabkan asma belum diketahui dengan pasti, konsentrasi yang direkomendasikan National Institute for Occupational Safety and Health adalah di bawah 20 ppb.dikutip dari 24 Pengaruh pajanan isosianat terhadap penurunan fungsi paru saat ini masih kontroversial. Sejumlah penelitian longitudinal yang meneliti kapasitas pekerja yang terpajan TDI (toluen diisosianat) melaporkan penurunan fungsi paru yang berhubungan dengan pajanan di tempat kerja 5,13,26 ,tetapi penelitian lain 12,25,27-29 tidak menemukan hubungan antara keduanya. Penelitian epidemiologi yang meneliti pajanan isosianat jangka panjang juga masih belum jelas hasilnya. Beberapa penelitian5,13 menunjukkan bahwa pajanan isosianat

jangka panjang walaupun dalam kadar rendah dapat menyebabkan penurunan fungsi paru, tetapi penelitian lain tidak mendapatkan hal yang sama.27,28 Khanzadeh dkk26 mendapatkan bahwa kebiasaan merokok memberikan efek tambahan. Pada penelitan ini walaupun terjadi penurunan KVP (kapasitas vital paksa) pada perokok tetapi perubahan fungsi paru tidak signifikan antara kelompok perokok, bekas perokok dan tidak merokok.

PNEUMONITIS HIPERSENSITIVITAS Inhalasi partikel organik atau gas dapat menyebabkan perubahan respons pulmonar, yang ditandai oleh peningkatan resistensi aliran udara di saluran napas sehingga menyebabkan asma. Sebagian kecil reaksi dapat menyertakan asinus termasuk bronkiolus yang dikenal sebagai pneumonitis hipersensitivitas (extrinsic allergic alveolitis). Pajanan terhadap isosianat aerosol dapat mengakibatkan pneumonitis hipersensitivitas, walaupun jarang terjadi (1%).30 Gambaran klinis episode akut meliputi demam, menggigil, berkeringat, nyeri otot, lemas dan sakit kepala 2 sampai 9 jam setelah pajanan. Biasanya disertai mengi, rasa berat di dada dan batuk tidak produktif. Umumnya gejala mencapai puncaknya 8 sampai 12 jam setelah pajanan dan berkurang setelah 12 sampai 24 jam bebas pajanan. Gejala subakut terjadi perlahanlahan setelah beberapa hari atau minggu, ditandai dengan batuk, dan dapat berkembang menjadi sesak hebat disertai sianosis yang memerlukan perawatan rumah sakit segera. Gejala kronik timbul perlahan-lahan setelah beberapa bulan berupa peningkatan gejala batuk dan sesak saat bekerja. Lemas dan penurunan berat badan mungkin merupakan gejala yang menonjol. Pemeriksaan fisik dapat normal atau ronki di basal atau kedua lapangan paru, pada keadaan akut sering dijumpai demam, takikardi, takipnu setelah pajanan dan dapat pula disertai leukositosis dan limfopenia. Pada penyakit yang berat dapat terjadi sianosis dan komplikasi gagal jantung kanan disertai fibrosis tanpa disertai jari tabuh. Gejala dan tanda pneumonitis hipersensitivitas dapat hilang dalam beberapa hari sampai beberapa bulan setelah bebas pajanan.30-33 Diagnosis pneumonitis hipersensitif ditentukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis dan penemuan pajanan lingkungan. Gambaran radiologik bervariasi, dapat normal walaupun pada pasien dengan gejala. Pada fase akut dapat dijumpai nodul kecil, batas tidak tegas, uniform, diskret dan difus, dapat juga ditemukan infiltrat interstisial atau difus dengan atau tanpa nodul. Pada fase kronik dapat dijumpai fibrosis. Kelainan yang jarang dijumpai pada pneumonitis hipersensitif adalah efusi pleura atau penebalan, pembesaran kelenjar hilus, kalsifikasi, kavitas, atelektasis dan lesi mata uang (coin lesions).33 Pada biopsi paru didapatkan lesi granulomatosis dan pada bilasan bronkoalveolar dijumpai limfositosis. Pemeriksaan imunologi mendapatkan IgG spesifik antibodi isosianat HAS (human serum albumin).30,31 Pemeriksaan fungsi paru menunjukkan restriksi dengan penurunan compliance dan gangguan pertukaran gas. Pada keadaan akut didapatkan penurunan

26

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

kapasitas vital paksa; walaupun didapatkan perubahan ventilasi perfusi regional, resistensi saluran napas masih normal. Tekanan karbon dioksida biasanya turun akibat hiperventilasi alveolar. Beberapa penelitian31,32 mendapatkan penurunan kapasitas difusi beberapa jam setelah terpajan isosianat. Penurunan fungsi paru pada keadaan akut akan membaik setelah beberapa hari; gejala dapat menetap beberapa minggu pada keadaan penurunan fungsi paru dan kapasitas difusi yang berat. Pada keadaan subakut mungkin hanya dijumpai penurunan kapasitas difusi dan compliance paru; pada fase kronik dapat berkembang menjadi fibrosis yang progresif, perubahan saluran napas obstruktif dan restriktif; 1/3 kasus kronik dapat memberi gambaran seperti emfisema. Kortikosteroid sistemik dapat mengurangi gejala pada keadaan akut, tetapi penggunaan secara kronik tidak dianjurkan.4

RANGKUMAN Inhalasi cat semprot dapat mempengaruhi kesehatan paru. Bahan cat tertentu mengandung timah, kromium, molybdenum, asbestos, arsenik, titanium dan mineral oil yang berpotensi karsinogen dapat menyebabkan kanker paru. Cat semprot terutama mengandung isosianat yang dapat menyebabkan isocyanate-induced asthma dan pneumonitis hipersensitivitas. Peranan isosianat terhadap penurunan fungsi paru masih kontroversial. Cat semprot selain menyebabkan penyakit paru kerja, dapat disalahgunakan terutama di kalangan remaja; pajanan akut maupun kronik dapat menganggu kesehatan paru bahkan kematian.

KEPUSTAKAAN

PENYALAHGUNAAN HIDROKARBON (HYDROCARBON ABUSE) Hidrokarbon adalah bahan kimia yang terdapat di dalam cat, lem, pelarut dan bahan bakar (bensin); merupakan komponen organik yang terdiri atas molekul karbon dan hidrogen; terbagi atas jenis hidrokarbon aromatik dan alifatik. Toksisitas hidrokarbon disebabkan karena bahan ini mudah menguap (volatil) sehingga mempengaruhi organ respirasi (paru); di samping itu dapat juga mempengaruhi sistem saraf, jantung, ginjal, hati dan gastrointestinal. Hidrokarbon volatil seperti bensen, toluen dan silen dapat memberikan sensasi eforia dan halusinasi sehingga sering disalahgunakan (abuse). Sejak dua dekade terakhir terjadi peningkatan penyalahgunaan cat semprot yang mengandung hidrokarbon pada remaja dengan sosial ekonomi rendah karena murah dan mudah didapat.34,35 Teknik inhalasi melalui hidung, mulut atau cat disemprotkan ke kantong kemudian dihirup. Cat semprot yang disukai adalah cat semprot warna metalik karena mengandung toluene konsentrasi tinggi.35 Hidrokarbon volatil sangat mudah larut dalam lemak dan dapat melewati sawar darah-otak. Walaupun mekanisme yang pasti belum diketahui, hidrokarbon dapat menyebabkan anesthetic-like state.34 Keadaan eforia dapat dicapai dengan inhalasi berulang. Kematian pada intoksikasi akut biasanya disebabkan karena depresi susunan saraf pusat dan aritmia.34,35 Pada penggunaan kronik terjadi restriksi paru, hipertensi pulmoner dan penurunan kapasitas difusi35,36. De La Rocha dkk4 yang meneliti fungsi paru pada penggunaan kronik cat semprot mendapatkan kelainan fungsi paru berupa gambaran obstruksi pada 90% subyeknya. Pada susunan saraf pusat hidrokarbon dapat menyebabkan atrofi serebral dan serebelar serta neuropati perifer. Kelainan fungsi paru dan saraf akan menetap walaupun pajanan dihilangkan. Pada penggunaan oral dapat terjadi aspirasi yang akan menyebabkan pneumonitis kimia, jika penetrasinya mencapai bronkoalveoli akan menyebabkan bronkospasme. Di alveoli dapat merusak surfaktan yang dapat menyebabkan hipoksia dan diffuse haemorrhagic exudative alveolitis. Disfungsi alveoler dapat menyebabkan ventilation-perfusion ratio mismatch, hipoksemi dan gagal napas.

1. 2.

3. 4. 5.

6.

7. 8. 9.

10. 11. 12.

13.

14. 15.

16.

17.

18.

19.

Cullen MR, Cherniack MG, Rosenstock L.Occupational medicine. N Engl J Med. 1990; 322:594-601,675-83. Rosenstock L, Rest KM, Benson JA Jr, Cannella JM, Cohen J, Cullen MR et al. Occupational and environmental medicine: meeting the growing need for clinical services. N Engl J Med 1991; 326:924-7. Chang-Yeung M, Malo JL. Occupational asthma. N Engl J Med 1995; 97:93-104. Becket WS. Occupational respiratory diseases. N Engl J Med 2000; 342:406-12. McDonald JC, Keynes HL, Meredith SK. Reported incidence of occupational asthma in The United Kingdom, 1989-97. Occup Environ Med 2000; 57:823-9. Shreve RN. Paint, varnish, lacquer, and allied industries. In: The chemical process industries 2nd ed. New York: McGraw-Hill Book Co. Inc; 1956; pp. 494-527. Pain and coating. Available from: URL: http://www.benyaminmore.com/ msds/1033/ M6680.htm Steenland K, Palu S. Cohort mortality study of 57000 painters and other union members: a 15 years update. Occup Environ Med 1999; 56:315-21. Hebert FA, Hessel PA, Mlnka LS, Yoshida K, Nazalea M. Respiratory effect of simultaneuos MDI, formaldehyde and wood dust on workers in an oriented strand board plant. J Occup Environ Med.1993; 37:461-5. Davies RJ. Respiratory hypersensitivity to isocyanates. Clin Immunol Allerg 1984; 4:103-24. De la Rocha SR, Brown MA, Fortenberry JD. Pulmonary function abnormalities in intentional spray paint inhalation. Chest 1987; 92:100-4. Butcher BT, Jones RN, ONeil CE. Longitudinal study of workers employed in manufacture of toluene-diisocyanate. Am Rev Respir Dis 1977; 116:411-21. Diem JE, Jones RN, Hendrick DJ. Five-year longitudinal study of workers employed in a new toluene diisocyanate manufacturing plant. Am J Respir Dis 1982; 126:420-8. Chan-Yeung M, Malo JL. Aetiological agents in occupational asthma. Eur Respir J 1994; 346-71. International Agency for Reasearch on Cancer (IARC)- summaries and evaluation. Occupational exposure in pain manufacture and painting. Available from: URL: http://www.inchem.org/documents/iarc/iarc/ iarc63a.htm Droste JHJ, Weyler D, Van Meerbeeck JP, Vermeire PA, Sprundel MP. Occupational risk factor of lung cancer: a hospital based case control study. Occup Environ Med 1999; 56:322-7. Morrel S. Kerr C, Drisscol T, Taylor R, Salkeld G, Corbett S. Best estimate of the magnitude of mortality due to occupational exposure to hazards substances. Occup Environ Med 1998; 55:634-41. Vandenplas O, Cartier A, Lesage J, Eng YC, Perreault G, Grammer LC, et al. Prepolymers of hexamethylene diisocyanate as a cause of occupational asthma. J Allerg Clin Immunol 1993; 93:850-61. Piirila PL, Nordman H, Keskinen HM, Luukkonen R, Salo S, Tuomi TO, et al. Long-term follow-up of hexamethylene diisocyanate, diphenyl methane diisocyanate and toluene diisocyanate-induced asthma. Am J Respir Crit Care Med 2000; 162:516-22.

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003 27

20. Banks D, Rando R, Barleman H. Persistence of toluene diisocyanateinduced asthma despite negligible workplace exposure. Chest 1990; 97:121-5. 21. Tse KS, Chang H, Chang-Yeung M. Specific IgE antibodies in workers with occupational asthma due to western red cedar. J Allergy Clin Imunol 1993; 92:249-58. 22. Liss G, Berstein D, Moller D, Gallager J, Stephenson R, Berstein I. Respiratory and immunologic evaluation of foundry workers exposed to methylene diphenyldiisocyanate (MDI). J Allerg Clin Imunol 1988; 82:255-61. 23. Anees W, Huggins V, Pavord ID, Robertson AS, Burge PS. Occupational asthma due to low molecular weight agents: eosinophilic and noneosinophilic variants. Thorax 2002; 57:231-6. 24. Mapp CE, Balboni R, Baricordi R, Fabbri LM. Human leukocyte antigen associations in occupational asthma induced by isocyanate. Am J Respir Crit Care Med 1997; 156:S139-43. 25. Ott MG, Klees JE, Poche SL. Respiratory health survaillance in a toluene di-isocyanate production unit, 1967-97: clinical observations and lung function analyses. Occup Environ Med 2000; 57:43-52. 26. Khanzadeh FA, Rivas RD. Exposure to isocyanate and organic solvents, and pulmonary-function changes in workers in a polyurethane molding process. J Occup Environ Med 1996; 38:1205-12. 27. Vandeplast O, Cartier A, Ghezzo H, Cloutier Y, Mayo J. Response to isocyanates: effect of concentration, duration, of exposure, and dose. Am Rev Respir Dis 1993; 147:1287-90.

28. Morgan WKC, Reger RB. Rise and fall of the FEV1. Chest 2000; 118:1639-44. 29. Bodner KM, Burns CJ, Randolph NM, Salazar EJ. A longitudinal study of respiratory health of toluene diisocyanate production workers. J Occup Environ Med 2001; 43:890-7. 30. Baur X. Immunodeficiency and other clinical immunology: hypersensitivity pneumonitis (extrinsic allergic alveolitis) induced by isocyanates. J Allerg Clin Immunol 1995; 15:1004-10. 31. Vandeplas O, Malo J, Dugas M. Hypersensitivity pneumonitis reaction among workers exposed to diphenylmethane diisocyanate (MDI). Am Rev Respir Dis.1993; 147:338-46. 32. Yoshizawa Y, Otsuka M, Noguchi K, Uchida Y, Suko M, Hasegawa S. Hypersensitivity pneumonitis induced by toluene diisocyanate: sequelae of continuous exposure. Ann Intern Med 1989; 89:31-34. 33. Richerson HB, Bernstein L, Fink JN, Hunninghake GW, Novey HS, Reed CE. Guidelines for the clinical evaluation of hypersensitivity pneumonitis. J Allerg Clin Immunol 1999; 84:839-44. 34. Hydrocarbon inhalation injury. eMedicine Journal, June 6,2002; 3(1). Available from: http://www.emedicine.com/ped/byname/hydrocarbon inhalation.injury.htm 35. Toxicity hydrocarbons. eMedicine Journal, June 6,2001; 2(6). Available from: http://www.emedicine.com/emerg/topic873.htm 36. Streicher HZ, Gagow RA. Syndrome of toluene sniffing in adults. Ann Intern Med 1981; 94:758-61.

KALENDER KEGIATAN ILMIAH PERIODE FEBRUARI MEI 2003


Waktu 68 68 20 22 22 23 12 79 MARET 89 15 16 26 29 28 30 12 13 17 20 20 23 24 26 26 27 9 10 11 24 MEI 3 34 11 10 11 25 26 31 1 Kegiatan Ilmiah HUT RSPP PIT Penyakit Dalam Sumatera Simposium Holistik Kardiovaskuler II Muktamar VII & CUE XXIII IAUI Dietecom Indonesian Symposium 2003 Simposium Plasmid The Second Symposium KARIMUN 2003 Cardiovascular Respiratory Immunology : from Pathogenesis to Clinical Application" Indonesian Shock Society Symposium KPPIK Anestesi & Terapi Intensif (Symp. Critical Care Medicine) AOFOG 4 (Fetomaternal) Pendekatan Multidisiplin Penyakit Kronik dan Degeneratif Simposium YAGINA Simposium Holistik Ibu & Anak Kongres Nasional Autisme I Kongres Nasional PERKENI Cardiology Update XII 4th Jakarta Antimicrobial Update (JADE) 3rd JAKARTA NEPHROLOGY HYPERTENSION (JNHC) Symposium Hipertensi Therapeutic Update in Internal Medicine (Pertemuan Ilmiah Nasional PB PAPDI) Dutch Foundation Symposium Akupunktur The 2nd National Surgical Update The 2nd Multitrauma Update Temu Ilmiah Geriatri Symp. Gram Positive Pathogen Infections Tempat dan Sekretariat RS Pertamina, Jakarta Hotel Tiara, Medan Hotel Sahid, Jakarta Hotel Hyatt Regency, Yogyakarta JCC, Jakarta Hotel Sahid, Jakarta Hotel Sahid Jaya, Jakarta

FEBRUARI

APRIL

Hotel Grand Melia, Jakarta Hotel Borobudur, Jakarta Hotel Tiara, Medan Hotel Sahid, Jakarta Hotel Borobudur, Jakarta Hotel Sahid Jaya, Jakarta Hotel Sahid Jaya, Jakarta Hotel Tiara, Medan Hotel Borobudur, Jakarta Hotel Sahid Jaya, Jakarta Hotel Borobudur, Jakarta Hotel Borobudur, Jakarta Hotel Sheraton Jogjakarta Surabaya Hotel Sahid Jaya, Jakarta Surabaya Surabaya Hotel Sahid Jaya, Jakarta Hotel Grand Melia, Jakarta

Informasi Terkini, Detail dan Lengkap (jadwal acara/pembicara) bisa diakses di http://www.kalbe.co.id Medical>>Calender of Event>>Complete

28

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Pengaruh Inhalasi Sulfur Dioksida terhadap Kesehatan Paru


Eva Munthe, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono, Mukhtar Ikhsan
Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN Sejalan dengan kehidupan masyarakat yang makin moderen, jumlah kendaraan bermotor makin bertambah, pabrik-pabrik industri juga meningkat; akibatnya polusi udara makin bertambah dan menjadi masalah internasional, menimbulkan dampak negatif berupa antara lain masalah kesehatan. Indonesia sebagai negara berkembang juga menghadapi masalah polusi udara, paling sering disebabkan oleh asap kendaraan bermotor dan asap pabrik. Tingkat polusi udara terutama di kota-kota besar di Indonesia makin meningkat sehingga masalah kesehatan terutama pernapasan juga bertambah.1 Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional tahun 1992dikutip 1 menunjukkan bahwa penduduk Jakarta yang menderita gejala batuk dalam satu bulan akibat polusi udara meningkat dari 16,8 % menjadi 22,5 % dan kematian akibat infeksi saluran napas juga meningkat dari 6,2 % pada tahun 1986 menjadi 9,2 % pada tahun 1992. Bahkan pajanan polusi udara dalam jangka lama, dapat menimbulkan perubahan atau kerusakan histopatologi paru.2 Sulfur dioksida yang terdapat di atmosfir dapat digunakan sebagai indikator polusi udara. Kadar standar SO2 di Indonesia adalah 0,1 part per million (ppm) per 24 jam.1 Sulfur dioksida dapat bereaksi dengan berbagai partikel dan dapat membentuk hujan asam. Jumlah total SO2 yang dilepaskan di udara diperkirakan 100 X 106 ton per tahun.3 Akibat pajanan SO2 dapat timbul iritasi konjungtiva, kulit dan saluran napas menyebabkan gangguan fungsi paru baik akut maupun kronik, bahkan kematian.4 SULFUR DIOKSIDA Sulfur dioksida (SO2) merupakan bagian partikel gas yang mencemari udara. Sifat SO2 mudah larut dalam air, tidak berwarna, berbau tajam atau pedas pada konsentrasi sekitar 0,5 sampai 0,8 part per million (ppm) dan iritan yang kuat. Sulfur dioksida dapat berasal dari pembakaran batubara dan minyak mentah yang mengandung sulfur, pembangkit tenaga listrik bertenaga batubara, pabrik yang menghasilkan bubur kertas,

peleburan seng, timah dan tembaga serta pemanas ruangan.5 Secara alamiah sumber SO2 berasal dari dekomposisi zat-zat organik,vulkanik dan garam laut.3 Kadar SO2 yang terpajan pada manusia di udara bebas lebih rendah dibandingkan pada pekerja dalam ruangan yang terpolusi. Batas pajanan jangka pendek untuk pekerja di Amerika Serikat dan beberapa negara adalah 5 ppm.6 Nilai standar SO2 berdasarkan National Primary Air Quality Standards in the United States adalah 0,03 ppm (80 mikrogram/m3) rata-rata per tahun dan 0,14 ppm (365 mikrogram/m3) rata-rata per hari.5 Konsentrasi SO2 di udara ambien tetap di bawah 0,04 ppm.6 Metode pengukuran gas SO2 menurut United States Environmental Protection (USEPA ) ialah dengan teknik pulsed fluorescent (continuous).7 INHALASI SO2 Menurut penelitian inhalasi SO2 paling sering terjadi di kawasan industri seperti pabrik kertas dan daerah pertambangan.8 Derajat gangguannya pada saluran napas dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu9 : - Karakteristik agregat Diameter partikel akan mempengaruhi lokasi terjadinya deposit. Partikel >10 m akan terdeposit di saluran napas atas dan partikel < 5 m akan masuk ke saluran napas distal dan alveoli. - Sifat kelarutannya di dalam air Gas yang mudah larut dalam air akan menimbulkan efek pada saluran napas atas; gas yang tidak mudah larut dalam air akan menimbulkan efek di alveoli (gambar 1). - Jumlah Gas yang mudah larut dalam air dalam jumlah besar dapat menimbulkan gangguan sampai ke alveoli. Pada pernapasan biasa melalui hidung, hampir 98 % gas SO2 akan diabsorbsi di nasofaring dan sisanya akan diabsorbsi dengan cepat di mukosa serta epitel di bronkus. Hal ini karena turbulensi udara dengan mukosa hidung pada pernapasan biasa relatif sangat besar sehingga gas-gas yang diabsorbsi meningkat; hanya sedikit bahkan hampir tidak

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

29

ada yang sampai ke saluran napas bawah. Pada pernapasan melalui mulut, gas SO2 yang diabsorbsi lebih sedikit dibandingkan melalui hidung. Namun dalam keadaan khusus misal bekerja berat, ventilasi per menitnya akan meningkat, sehingga jumlah udara yang dihisap melalui mulut meningkat dan deposit gas SO2 dapat mengenai saluran napas bawah.5 Pajanan SO2 pada kadar 1 - 5 ppm dapat menyebabkan iritasi mata, konsentrasi SO2 antara 5 - 10 ppm menyebabkan iritasi mata dan mukosa hidung sedangkan pajanan dengan konsentrasi antara 10 - 50 ppm selama 5 sampai 15 menit dapat menyebabkan iritasi mata, hidung, tenggorok, juga timbul rasa tercekik di leher, nyeri dada, dan bronkokonstriksi. Konsentrasi SO2 lebih dari 50 ppm menimbulkan kerusakan parenkim paru dan vaskularisasi paru yang berat, sehingga terjadi perubahan fungsi dan anatomi paru.4,5 Ada beberapa pendapat mengenai mekanisme toksikologi SO2, ada yang mengatakan terjadi peningkatan tahanan saluran napas karena sifat SO2 yang mudah larut dan diabsorbsi oleh air yang terkandung di saluran napas, mukus dan cairan epitel dinding bronkus, membentuk asam sulfur dan bisulfur. Kemungkinan lain adalah reaksi inflamasi di saluran napas sebagai respons terhadap SO2 yang menghasilkan asam. Pada inflamasi terjadi penglepasan mediator seperti histamin, leukotrien, prostaglandin, faktor kemotaktik neutrofil dan faktor aktivasi platelet serta sitokin, yang secara fungsional menyebabkan peningkatan permeabilitas epitel. Selain itu faktor terjadinya bronkokonstriksi adalah peningkatan refleks parasimpatis dan penurunan aktivitas simpatis atau penurunan aktivitas inhibitory non adrenergic.6, 9

bronchoalveolar lavage fluid (BALF): sekitar 90 %. Tidak ada perubahan konsentrasi albumin, fibronektin, hialuronan atau 2 mikroglobulin.6 Penelitian fungsi makrofag oleh Skornik dan Brain pada tupai dalam keadaan istirahat yang diberi pajanan SO2 50 ppm selama 4 jam menunjukkan penurunan yang tidak bermakna sedangkan pajanan yang sama pada tupai yang berlari selama 40 menit dengan kecepatan 0.9 km/jam menyebabkan penurunan endositosis makrofag setelah 1 jam, bahkan 24 jam kemudian efek ini masih bermakna; endositosis ini akan kembali normal setelah 48 jam.11

Rasio sesudah /sebelum pajanan

Jam sesudah pajanan Keterangan :

PENGARUH SO2 TERHADAP PARU SO2 dapat menimbulkan berbagai macam gejala seperti konjungtivitis, iritasi kulit, rhinorrhea, nyeri dada, batuk, sesak napas. Pada orang sehat yang tidak hipereaktif bila terpajan SO2 pada konsentrasi di atas 5 ppm dapat timbul peningkatan resistensi saluran napas. Dari beberapa penelitian ditemukan bahwa pada penderita asma konsentrasi yang lebih rendah yaitu 0,25-0,5 ppm SO2 sudah menyebabkan konstriksi saluran napas dan gejala asma karena pada penderita asma sudah terdapat peningkatan sensitivitas.6 Pemeriksaan fisik akibat pajanan akut SO2 yaitu hiperemia mukosa faring, melemahnya suara napas, batuk dan mengi. Gambaran foto toraks sering terlihat normal tapi pada saat serangan akan terlihat hiperinflasi. Pemeriksaan faal paru pada penderita asma kerja karena terpajan gas SO2 akan menunjukkan penurunan volume ekspirasi paksa pada detik pertama (VEP1) dan ratio VEP1 / kapasitas vital paksa (KVP).10 Bronchoalveolar lavage sering digunakan pada beberapa kasus untuk mengetahui tanda-tanda inflamasi akut akibat pajanan SO2. Pajanan SO2 setelah 20 menit pada konsentrasi 10, 13, 20 dan 30 mg SO2 m3 meningkatkan limfosit, makrofag alveolar, makrofag positif lisozim dan sel mast. Sebuah studi kinetik menyatakan bahwa akibat rangsangan SO2 terjadi peningkatan sel-sel inflamasi setelah 4 jam, mencapai puncaknya dalam 8 - 24 jam dan kembali normal setelah 72 jam (gambar 2). Makrofag alveolar ditemukan paling banyak dalam

Sel Mast Limfosit Makrofag/Monosit Gambar 2. Perubahan relatif jumlah total sel-sel pada cairan BAL setelah 20 menit terpajan konsentrasi 20 mg SO2 / m3 Dikutip dari (12)

Pajanan akut SO2 konsentrasi tinggi dapat menyebabkan trakeobronkitis berat yang ditandai dengan edema mukosa membran, eksudasi masif, ulserasi, perdarahan dan nekrosis; juga dapat menyebabkan bronkitis atau bronkiolitis akut dan alveolitis.8,12 Hal ini sering terjadi akibat kecelakaan di pabrik, yang ditandai oleh konjungtivitis dengan ulserasi, batuk progresif, nyeri dada, sesak napas hebat bahkan dapat timbul sianosis. Foto toraks tampak normal walaupun terjadi penurunan suara napas disertai ronki, mengi dan hiperemia mukosa faring; dapat juga terlihat gambaran opak yang bulat pada seluruh lapangan paru dan sedikit bayangan konfluen. Selain menyebabkan trakeobronkitis juga dapat menyebabkan kematian karena paralisis pernapasan dan edema paru akibat kerusakan membran kapiler alveoli juga aktivasi sel-sel inflamasi yang menyebabkan kerusakan epitel dan endotel.8,9 Suatu penelitian pada kelompok laki-laki sehat, tidak merokok, berusia 25 tahun dan telah menginhalasi SO2 konsentrasi tinggi selama 15 menit karena kecelakaan di pabrik, memperoleh hasil foto toraks dengan gambaran infiltrat, tetapi

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

akan hilang dalam 5 hari. Mereka mengalami batuk produktif yang berat dan sesak napas disertai mengi. Setelah 20 bulan kapasitas vital (KV) akan meningkat dari 2,18 menjadi 3,58 liter (nilai prediksi 4,32), tetapi forced expiratory flow between 25% and 75% vital capacity (FEF25-75) hanya mengalami sedikit perubahan dari 0,48 menjadi 0,56 liter/detik.13 Menurut Rabinovitch dkk, 3 minggu setelah terpajan gas SO2 konsentrasi tinggi, pada dua kelompok berbeda umur dan tidak merokok akan terjadi obstruksi berat, hipoksemia, menurunnya toleransi kerja dan gangguan ventilasi dan perfusi yang terlihat pada payar paru galium; setelah 12 bulan pada serial payar ventilasiperfusi akan terlihat perbaikan meskipun tidak kembali normal.10 Pengaruh pajanan kronik SO2 terhadap paru dapat menyebabkan bronkitis kronik, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), fibrosis peribronkial. Biasanya terjadi pada karyawan yang bekerja di pabrik-pabrik industri terutama pabrik kertas yang menghasilkan bubur kertas atau penduduk yang tinggal dekat kawasan industri. Penderita umumnya mengeluh batuk produktif yang lama. Pajanan SO2 jangka lama dapat menyebabkan perubahan volume paru, histologi dan perubahan BALF. Volume paru pada PPOK akan berubah, kapasitas paru total (KPT) dan volume residual (VR) akan meningkat.14 Selain itu dapat timbul bronkiektasis, bronkiolitis obliterans yang sering disertai pneumonia. Pada kondisi ini timbul gejala batuk, sesak napas dan demam. Pemeriksaan fungsi paru menunjukkan gangguan ventilasi restriksi dengan gangguan difusi dan hipoksemia (penurunan KV, KPT dan VR).9 Perubahan histologi yang terjadi adalah hiperplasi dan hipertrofi epitel bronkus, pelebaran rongga udara karena destruksi alveoli, inflamasi peribronkial. Hasil BALF juga menunjukkan peningkatan protein, albumin, laktik dehidrogenase (LDH), makrofag alveolar dan neutrofil.14 Penelitian yang dilakukan oleh Abbey dkk serta penelitian yang dilakukan di Eropa dan Kanada berkesimpulan bahwa ada hubungan antara SO2 dengan peningkatan insidens kanker paru dan kardiopulmoner.15 Data dua studi kohort memberi kesan peningkatan mortalitas kardiopulmoner dan kanker paru yang dihubungkan dengan lingkungan mengandung partikel polusi udara dalam jumlah yang makin bertambah; hasil ini kurang tepat untuk menyatakan ada hubungan spesifik antara polusi udara dengan kanker paru, pada studi ini belum ada data kematian akibat penyakit di luar respirasi. Namun beberapa penelitian memperoleh hasil peningkatan insidens kanker paru pada pajanan SO2 dalam jangka waktu lama.5 PENATALAKSANAAN Pertolongan pertama sesudah terjadinya inhalasi SO2 yaitu memindahkan segera pasien dari area yang berbahaya. Secara praktis penanganan pada pasien sesudah terpajan gas SO2 dibagi dalam 2 kelompok ( gambar 3) yaitu 9: Sindrom iritasi saluran napas atas Prinsip pengobatannya bersifat simptomatik; penatalaksanaannya berupa: 1. Antitusif jika diperlukan. 2. Inhalasi simpatomimetik jika ada tanda-tanda obstruksi. 3. Pemberian oksigen jika terjadi hipoksia.

4. 5.

Pemberian obat sedasi ringan jika perlu. Pemberian antileukotrien Jika gejala akut belum teratasi atau makin berat, penderita harus dirawat di rumah sakit. Langkah penting yang harus di lakukan dalam melakukan observasi adalah : 1. Pemeriksaan fisik, saturasi oksigen, analisis gas darah dan foto toraks. Pemeriksaan foto toraks dilakukan maksimal 8 jam sesudah terinhalasi. 2. Jika penderita mengeluh dada terasa berat, vertigo, nausea maka harus dipikirkan terjadinya edema paru; pada keadaan ini harus diberikan kortikosteroid intravena. 3. Penderita edema paru harus segera dirawat di instalasi perawatan intensif. Sindrom iritasi saluran napas bawah Prinsip penatalaksanaannya : 1. Pemberian oksigen jika terjadi hipoksemia 2. Perawatan di rumah sakit setelah inhalasi gas-gas toksik adalah untuk mencegah terjadinya edema paru toksik dengan pemberian kortikosteroid yaitu prednisolon intravena 0,25-1 gram dengan inhalasi steroid. 3. Foto toraks berkala saat penderita masuk rumah sakit, 8 jam dan 24 jam kemudian. 4. Pemeriksaan analisis gas darah pada saat masuk rumah sakit, 8 jam dan 24 jam kemudian. 5. Terapi simptomatik seperti bronkodilator, antitusif dan sedatif. 6. Pemberian antibiotik jika terjadi tanda-tanda inflamasi (peningkatan C- reactive protein). 7. Penggunaan ventilasi mekanik jika frekuensi napas lebih dari 30 kali per menit, tekanan parsial oksigen arteri kurang dari 55 mm Hg.

KESIMPULAN 1. Sulfur dioksida dapat menyebabkan bronkokonstriksi sehingga meningkatkan tahanan saluran napas. 2. Pajanan akut SO2 dengan konsentrasi tinggi dapat menyebabkan perubahan fungsi dan anatomi paru, bahkan kematian. 3. Pajanan SO2 dalam jangka waktu lama menyebabkan perubahan volume paru, histologi dan perubahan BALF. 4. Terjadi peningkatan sel-sel inflamasi pada BALF terutama sel makrofag alveolar dan penurunan endositosis makrofag.
KEPUSTAKAAN 1. 2. Mangunnegoro H, Sutoyo DK. Enviromental and occupational lung diseases in Indonesia. Respirology 1996; 1:85-91. Marcelo B, Paulo HN, Saldiva, Pope AC, Capelozzi VL. Respiratory changes due long-term exposure to urban level of air pollution. Chest 1998; 113:1312-8. Waldbott GL. The Sulfur oxides. In: Waldbott GL, ed. Health effects on environnmental pollutants. 2nd ed. St Louis: CV Mosby Co; 1978. p. 85101. Malachowski MJ. Health effects of toxic substances. Inhalation SO2. Available at http:www/ce.wsu.edu/research/westberg_HTML/SO2 _module/ healtheffects.htm. Accessed 1995. Balmes RJ, Tager I. Air pollution. In: Murray JF, Nadel JA, eds. Textbook of respiratory medicine. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Co; 2000.p.1885-93.

3.

4.

5.

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003 31

6.

Sandstrom T. Respiratory effect of air pollutants: experimental studies in humans. Eur Respir J 1995; 8:986-9. 7. Lazarus CS, Wong HH, Watts JM, Boushey HA, Lavins BJ, Minkwitz MC. The leukotriene receptor antagonist zafirlukast inhibits sulfur dioxide-induced bronchoconstiction in patients with asthma. Am J Respir Crit Care Med 1997; 156:1725-30. 8. Ross AS, Seaton A, Morgan C. Toxic gases and fumes. In: Morgan C, Seaton A, eds. Occupational lung diseases. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Co; 1995.p.568-86. 9. Nowak D, Hoppe P. Acute exposure to toxic agents. In: Grassi C, Roisin RR, Brambilla C, Stockley RA, Costabel U, Naeije R, eds. Pulmonary diseases. London: McGraw-Hill; 1999.p.303-9. 10. Rabinovitch S, Greyson ND, Weiser W, Hoffstein V. Clinical and laboratory features of acute sulfur dioxide inhalation poisoning: two-year follow up. Am Rev Respir Dis 1989; 139:556-8.

11. Skornik WA, Brain JD. Effect of sulfur dioxide on pulmonary macrophage endocytosis at rest and during exercise. Am Rev Respir Dis 1990; 142:655-9. 12. Sandstrom T, Stjernberg N, Anderson MC, Hedman-Kolmodin B, Lundgren R, Rosenhall L, et al. Cell response in bronchoalveolar lavage fluid after to sulfur dioxide: A time-response study. Am Rev Respir Dis 1989; 140:1828-31. 13. Bates DV. Occupational lung diseases. In: Lamsback W, ed. Respiratory function in disease. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Co; 1989.p.324-31. 14. Kodavanti UP, Jackson MC, Ledbetter AD, Starcher BC, Evansky PA, Harewood A, et al. The combination of elastase and sulfur dioxide exposure causes COPD-like lesions in the rat. Chest 2000; 117:299S302S. 15. Abbey DE, Nishino N, William F, McDonnell, Burchette RJ, Knutsen SF, et al. Long term inhalable particles and other air pollutants related to mortality in nonsmokers. Am J Respir Crit Care Med 1999; 159:373-82.

Kelarutan dalam air

Lokasi

Substansi

Tinggi

Mata Laring Trakea

Amonia (NH3) Hidrogen klorida (HCl) Formaldehida (CH2O) Akrolein (C3H4O)

Sedang

Bronkus Bronkiolus

Sulfur dioksida (SO2) Klorin (Cl2) Isosianat

Rendah

Brokiolus Alveoli

Ozon (O3) Nitrogen dioksida (NO2)

Gambar 1.

Lokasi pajanan gas SO2 Dikutip dari (9)

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

Inhalasi gas toksik yang menimbulkan iritasi saluran napas atas

Tidak ada keluhan

Sindrom iritasi

Terapi dan observasi

Perbaikan

Perburukan

Pulang

Pulang sesudah perawatan Rawat

Inhalasi gas toksik yang menimbulkan iritasi saluran napas bawah

Tidak ada keluhan

Keluhan tidak spesifik

Tanda edema paru jelas

Observasi

Terapi profilaksis

Terapi dan rawat Tanda edema (-) Tanda edema paru

Pulang Gambar 3. Skema penatalaksanaan sesudah inhalasi gas-gas berbahaya Dikutip dari (9)

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003 33

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Efek Kesehatan Radiasi Non Pengion pada Manusia


Zubaidah Alatas, Yanti Lusiyanti
Pusat Penelitian dan Pengemangan Keselamatan Radiasi dan Biomedika Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK Meningkatnya perkembangan dan penggunaan peralatan yang mengeluarkan energi radiasi non pengion seperti laser, radar, microwave oven, jaringan listrik dan telepon genggam, menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan adanya efek yang merugikan kesehatan akibat pajanan radiasi tersebut. Dibandingkan dengan radiasi pengion, radiasi elektromagnetik non pengion mempunyai panjang gelombang yang lebih besar, frekuensi lebih kecil dan energi foton yang lebih rendah ketika berinteraksi dengan jaringan tubuh. Istilah radiasi non pengion mengacu pada jenis radiasi elektromagnetik dengan energi lebih kecil dari 10 eV, berhubungan dengan panjang gelombang pada daerah spektrum radiasi ultra violet, cahaya tampak, infra merah, gelombang mikro dan radiofrekuensi. Makalah ini menguraikan informasi terakhir mengenai berbagai radiasi non pengion dan efek yang mungkin timbul pada tingkat molekul dan seluler dan juga pada kesehatan manusia.

PENDAHULUAN Kekhawatiran masyarakat mengenai efek kesehatan akibat pajanan radiasi elektromagnetik non pengion mulai timbul sejak akhir tahun 1960-an. Hal ini terjadi sehubungan dengan makin berkembangnya pemanfaatan sumber radiasi non pengion terutama buatan manusia seperti laser, radar, oven microwave, jaringan listrik, termasuk yang sedang mewabah saat ini yaitu telepon genggam; meskipun kenyataannya, risiko terbesar terhadap kesehatan berasal dari sumber radiasi non pengion alam yaitu sinar ultra violet matahari(1). Pada tahun 1950-an dan 1960-an telah dibuat rekomendasi pertama mengenai pembatasan pajanan radiasi microwave dan radiofrekuensi VHF yang dihasilkan oleh radar militer dan peralatan komunikasi. Dengan meningkatnya teknologi dan penggunaan peralatan dengan sumber radiasi non pengion ini, maka pada tahun 1992 dibentuk komisi internasional untuk menangani masalah proteksi radiasi non pengion yaitu International Commission on Non-Ionizing Radiation Protection

(ICNIRP) yang sebelumnya bergabung dengan International Radiological Protection Association (IRPA). Sebagai organisasi ilmiah, komisi ini bekerja sama dengan World Health Organization (WHO) untuk mengkaji efek kesehatan akibat pajanan radiasi non pengion dan rnenggunakan hasilnya untuk menetapkan prinsip dasar dan rekomendasi mengenai standar keselamatan dan proteksi radiasi non pengion(2). Beberapa guidelines untuk proteksi terhadap pajanan radiasi non pengion pada pekerja, masyarakat, pasien dan lingkungan yang telah diterbitkan oleh IRPA/ICNIRP antara lain mengenai Airborne Ultrasound(3), Concepts, Quantities, Units and Terminology for Non-Ionising Radiation Protection(4), Laser Radiation(5,6), Ultraviolet Radiation(7), Radiofrequency Fields(8), Video Display Terminals(9), Flourescence Lighting and Malignant Melanoma(10), 50/60 Hz Electric and Magnetic Fields(11), Health Issues of UV-A sunbeds(12), Protection of the Patient undergoing Magnetic Resonance Imaging(13), Static Magnetic Fields(14) dan Health Issues on

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

Hand-Held Radio-Telephones and Base Transmitters(15). Bila dilihat dari sudut pandang efek biologik, radiasi elektromagnetik umumnya dianggap sebagai radiasi pengion jika mempunyai panjang gelombang lebih kecil dari 100 Angstrom yang setara dengan energi yang lebih besar dari 124 eV(16). Berarti radiasi elektromagnetik dengan > 10-6 cm termasuk dalam kategori radiasi non pengion. Pada makalah ini akan diuraikan berbagai jenis radiasi yang termasuk dalam kategori radiasi elektromagnetik non pengion beserta efek kesehatan yang mungkin ditimbulkannya. SPEKTRUM RADIASI ELEKTROMAGNETIK NON PENGION Radiasi non pengion dapat didefinisikan sebagai penyebaran atau emisi energi yang bila melalui suatu media dan terjadi proses penyerapan, berkas energi radiasi tersebut tidak akan mampu menginduksi terjadinya proses ionisasi dalam media tersebut. Istilah radiasi non pengion secara fisika mengacu pada radiasi elektromagnetik dengan energi lebih kecil dari 10 eV yang antara lain meliputi sinar ultra violet, cahaya tampak, infra merah, gelombang mikro (microwave) dan radiofrekuensi elektromagnetik. Selain itu ultrasound juga termasuk dalam radiasi non pengion(17). Alat dan proses yang menghasilkan radiasi non pengion banyak dimanfaatkan dalam bidang industri, kedokteran termasuk gigi, telekomunikasi, industri hiburan, laboratorium penelitian, bangunan dan konstruksi, aplikasi militer, aplikasi pendidikan, geodesi, transportasi, periklanan, preparasi makanan komersil, dan di rumah(17). Berdasarkan panjang gelombang yang berhubungan dengan frekuensi dan energi fotonnya, radiasi non pengion dapat dibagi atas dua kelompok besar yaitu radiasi optik dengan panjang gelombang () antara 100 nm sampai 1 mm dan radiasi radiofrekuensi elektromagnetik antara 1 mm sampai sekitar > 100 km(17). Spektrum radiasi elektromagnetik yang meliputi radiasi pengion dan non pengion ditunjukkan pada Gambar 1. Radiasi Optik Kelompok radiasi optik terdiri dari 3 jenis yaitu radiasi ultra violet (UV), cahaya tampak dan infra merah (IR). Spektrum sinar UV adalah radiasi elektromagnetik yang terletak pada rentang panjang gelombang 100 nm - 400 nm, dibagi atas UV-C (100 - 280 nm), UV-B (280 - 315 nm) dan UV-A (315 - 400 nm) (17). Sumber radiasi UV alam adalah matahari. Namun karena adanya serapan oleh atom oksigen yang kemudian membentuk lapisan ozon, maka radiasi matahari yang sampai ke bumi (terestrial) intensitasnya lebih rendah yang meliputi UV dengan panjang gelombang 290-400 nm sedangkan panjang gelombang yang lebih pendek diserap oleh lapisan atmosfer. Sebagai penyerap utama radiasi UV, lapisan gas ini berfungsi sebagai pelindung bumi dari pajanan sebagian radiasi UV yang lebih pendek dari 340 nm. Berkurangnya lapisan ozon akibat pelepasan chlorofluorocarbon (CFC) buatan manusia ke atmosfer akan mengurangi daya proteksi ozon terhadap sinar UV dan memperbesar tingkat kerusakan akibat pajanan radiasi UV(15,19).

Gambar 1. Perbandingan panjang gelombang, frekuensi dan energi dari (17) spektrum elektomagnetik .

Sumber radiasi UV buatan manusia pada dasarnya terdiri dari tiga jenis yaitu incandescent, seperti lampu halogen tungsten, lampu neon, lampu intensitas tinggi yang digunakan pada industri untuk fotopolimerisasi, lampu germisidal untuk sterilisasi dan lampu untuk pengelasan metal; dan laser UV seperti excimer laser. Spektrum cahaya tampak berada pada panjang gelombang 400-700 nm. Sumber alamiahnya adalah matahari sedangkan sumber buatan manusia adalah lampu baca, peralatan berpendar dan laser. Laser (Light Amplification Stimulated Emission by Radiation) merupakan berkas radiasi dengan energi yang digabung dan dilipatgandakan intensitasnya. Berkas laser yang dipergunakan saat ini adalah sinar tampak dan infra merah(17,20). Sedangkan sinar infra merah terletak pada rentang panjang gelombang 770 nm - 1 mm yang dibagi atas IR-A (770 nm -1,4 m), IR-B (1,4 - 3 m) dan IR-C (3 m - 1 mm). Matahari juga merupakan sumber alamiah radiasi infra merah, sedangkan sumber buatan manusia antara lain lampu infra merah yang umumnya digunakan sebagai pemanas, laser dan LED (Light Emission Diode) (17). Medan elektromagnetik radiofrekuensi Kelompok radiasi non pengion ini berdasarkan frekuensinya dibedakan atas gelombang mikro pada frekuensi 30 MHz 300 GHz dan gelombang radiofrekuensi pada 0,3 - 30 MHz. Peralatan gelombang mikro antara lain radar (1 40 GHz) digunakan untuk berbagai keperluan baik militer rnaupun sipil, peralatan industri, laboratorium, kedokteran dan rumah tangga seperti microwave oven (2,45 GHz). Sedangkan gelombang radiofrekuensi dapat dibagi lagi atas frekuensi tinggi (orde kHz - 230 MHz) seperti pada stasiun radio, TV UHF, TV VHF, walkie talkie dan alat las plastik, dan frekuensi rendah (orde Hz - MHz) seperti peralatan elektronika dan jaringan listrik. Sedangkan ultrasonik yaitu gelombang suara dengan frekuensi sangat tinggi (> 20 kHz) dimasukkan pula ke dalam kategori radiasi non pengion(17).

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003 35

EFEK KESEHATAN RADIASI OPTIK Efek akibat pajanan radiasi optik pada tubuh sangat bergantung pada panjang gelombang yang berhubungan dengan daya tembusnya pada jaringan tubuh. Secara biologik, panjang gelombang < 180 nm (Vacuum UV) tidak memberikan efek nyata karena telah terserap oleh udara. UV-C lebih aktif secara fotokimia karena diserap secara kuat oleh asam amino tertentu; dengan demikian oleh kebanyakan protein. UV-B kurang bersifat fotokimia tetapi dapat menembus jaringan. UV-A sangat rendah sifat fotobiologiknya tetapi mempunyai daya tembus lebih dari UVB. Sasaran utama pajanan radiasi optik pada tubuh adalah kulit dan mata. Tidak seperti kebanyakan radiasi pengion, radiasi optik hanya diserap secara sangat superfisial dan kedalaman pada kulit dan kornea umumnya < l mm., dan untuk UV-C hanya beberapa lapisan sel(18,22). Interaksi radiasi optik dengan materi biologik umumnya menimbulkan reaksi panas/termal dan reaksi fotokimia; menghasilkan energi yang diserap oleh jaringan dalam waktu singkat sehingga dapat meningkatkan suhu jaringan. Reaksi fotokimia terjadi ketika sebuah foton mempunyai energi kuantum yang cukup untuk mengionisasi terjadinya eksitasi yang mengubah suatu molekul menjadi satu atau lebih molekul kimia yang berbeda(2,18). Jumlah radiasi optik terutama UV yang dapat diserap bergantung pada intensitas matahari, yang maksimum terjadi pada pukul 11.00 - 15.00 saat matahari berada di sekitar posisi tertingginya. Selain itu, intensitas matahari juga dipengaruhi oleh ketinggian karena berhubungan dengan ketebalan lapisan atmosfer yang berfungsi sebagai penahan sinar UV; diketahui bahwa refleksi sinar matahari dari salju dan tanah juga dapat meningkatkan intensitas radiasi.(23). Efek pajanan kronik radiasi UV lebih serius daripada efek pajanan akut. Efek yang merugikan pada mata termasuk penebalan konjungtiva, katarak, dan kanker konjungtiva. Efek kronik pada kulit yang paling penting adalah kanker kulit. Sedangkan efek akut berupa peradangan pada mata dan kulit(20,23). Efek Radiasi Optik Pada Tingkat Molekuler Ikatan tunggal dan ganda molekul organik menyerap radiasi UV pada panjang gelombang 200 - 250 nm dan molekul organik berbentuk cincin pada 250 - 300 nm. Penyerapan maksimum terhadap panjang gelombang 300 -450 nm terjadi pada molekul dengan 3 cincin seperti riboflavin, atau 4 cincin seperti porfirin dan molekul organik dengan ulangan rantai panjang seperti karotenoid(18). Molekul protein sel mampu menyerap secara maksimum pada panjang gelombang sekitar 280 nm dengan asam amino triptofan dan tirosin sebagai penyerap utama. Meskipun triptofan menyerap 10 kali lebih besar daripada sistein (pada 254 nm), kerusakan protein lebih sering dimediasi oleh sistein karena daya merusak sistein lebih besar (18). Spektrum radiasi optik yang diserap secara maksimum oleh DNA adalah pada 260 nm dengan kemampuan menyerap 10-20 kali lebih besar dari protein. Dengan demikian, DNA memberikan kontribusi besar terhadap penyerapan total UV-C (200 - 280 nm) oleh sel. Meskipun penyerapan oleh DNA

terhadap UV-B pada sekitar 300 nm jauh lebih kecil dari UV-C (10-100 kali lebih rendah), pajanan matahari menyebabkan kerusakan nyata pada DNA yang dapat membunuh sel(18). Kerusakan DNA akan mengalami proses perbaikan secara spontan. Masalahnya adalah bahwa proses perbaikan dapat berlangsung tanpa kesalahan (error-free repair) atau dengan kesalahan (error-prone repair), tergantung tingkat keparahannya. Pajanan radiasi UV-C dan UV-B terutama menimbulkan kerusakan pada pirimidin dengan terbentuknya dimer, seperti Cyclobutane pyrimidine dimer (CPD), yang umumnya dapat diperbaiki tanpa kesalahan. Sedangkan UV-A (315 - 400 nm) walaupun yang terserap sangat sedikit tetapi dapat menginduksi DNA strand breaks pada frekuensi yang jauh lebih kecil dari UV-B dan biasanya proses perbaikan berlangsung dengan kesalahan; konsekuensinya, setelah terpajan relatif lama, kode genetik dapat mengalami tingkat perubahan yang sama baik oleh UV-A rnaupun UV-B(23). Efek Radiasi Optik Pada Kulit Penyerapan UV-B/C pada kulit dibatasi oleh lapisan basal epidermis, sedangkan UV-A dapat menembus lebih dalam. UV-C diserap stratum korneum dan lapisan atas stratum malpighi. UV-C hanya memberikan efek tidak langsung pada lapisan hidup epidermis (melanosit dan keratinosit), mampu menginduksi produksi sitokin yang bertanggung jawab terhadap timbulnya eritema dan mampu mengubah fungsi imunitas sel langerhans sehingga mungkin terlibat dalam pembentukan kanker kulit(20,23). Radiasi UV-B dapat menembus semua lapisan epidermis, hanya sekitar 10-15 % dapat menjangkau bagian atas lapisan dermis. Efek pajanan ini adalah eritema dan kanker kulit; panjang gelombang yang dapat menimbulkan efek akut paling parah berupa induksi luka bakar adalah 307 nm(20). Sedangkan radiasi UV-A yang diserap lapisan epidermis hanya 50%, sisanya mampu menembus lapsan dermis sampai kedalaman 2 mm. Efek yang ditimbulkan adalah kanker kulit, penuaan dini dan juga pigmentasi kulit akibat peningkatan produksi pigmen melanin(20). Efek akut yang terjadi dalam jangka pendek pada kulit antara lain: Reaksi sunburn sebagai efek yang paling umum terjadi akibat pajanan sinar matahari. Perubahan yang terjadi tergantung pada jumlah radiasi, tingkat dan kualitas melanin dan ketebalan stratum korneum. Eritema atau memerahnya kulit adalah aspek visual dari respon sunburn; tertunda 2 - 4 jam setelah irradiasi, puncaknya pada 14 - 20 jam, secara normal terjadi selama 72 jam. Sunburn yang parah biasanya diikuti dengan peningkatan ketebalan epidermis dan deskuamasi sel epidermis yang mati. Sunburn minimal adalah oleh cahaya merah dan tidak nyeri. Sunburn yang sangat parah diikuti dengan blister pada 48 jam kemudian(20). Respon umum lainnya terhadap radiasi UV-B terutama pada mereka yang tidak membentuk tan (kecoklatan pada kulit) adalah hiperplasia yaitu penebalan akibat peningkatan jumlah lapisan sel stratum korneum. Ini secara nyata mereduksi penetrasi UV-B ke lapisan basal yang berarti merupakan suatu

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

sistem proteksi yang penting. Hiperplasia epidermis ini agaknya berperan penting dalam proses adaptasi terhadap pajanan UV-B yang lebih tinggi(18). Pajanan laser yang termasuk dalam kelompok radiasi cahaya tampak dan infra merah dapat menyebabkan sunburn yang parah, tergantung pada energi yang diserap. Radiasi pada 310 -700 nm menyebabkan reaksi fotosensitif berupa eritema ringan dan tidak nyeri; radiasi 700 nm - 1 mm menyebabkan kulit terbakar dan kering(24). Pigmentasi kulit Pigmentasi kulit merupakan proses adaptif sebagai konsekuensi langsung pajanan radiasi UV dengan dosis yang cukup. Peningkatan pigmentasi dapat teramati paling tidak dalam waktu 24 jam dan mencapai puncaknya pada hari ke 8. Pigmentasi tertunda ini akibat peningkatan produksi pigmen melanin dan pemindahannya pada sel keratinosit sekitar. Keratinosit yang terinduksi radiasi UV-B menyebabkan peningkatan ketebalan epidermis sehingga meningkatkan pula kandungan melanin. Pajanan UV-A tidak mengakibatkan peningkatan sel keratinosit yang berarti, peningkatan pigmentasi terjadi karena terstimulasinya melanogenesis secara langsung(23). Respon pigmentasi kulit yang segera setelah radiasi UV-A merupakan konsekuensi dari reaksi oksidatif dari prekursor eumelanin yang tidak berwarna. Proses ini bersifat sementara dalam beberapa jam dan tidak menimbulkan efek apapun(23). Efek imunitas Diketahui bahwa sinar UV dapat memodifikasi protein dan molekul organik dalam epidermis menjadi molekul terubah yang dikenali sebagai molekul asing oleh sistem imun sehingga memacu respon imunitas pada kulit, seperti alergi matahari atau fotodermatitis. Radiasi UV mengganggu sistem imunitas seluler dengan merusak sel langerhans dan/atau menginduksi sitokin dari keratinosit dan/atau melalui makrofag yang muncul di epidermis setelah hilangnya sel langerhans. Pajanan UV tidak hanya mencegah stimulasi reaksi sel T spesifik antigen, tetapi juga dapat melepaskan sel T supressor yang secara spesifik menghambat pembelahan sel T reaktif terhadap antigen spesifik. Sistem imunitas seluler tampaknya berperan penting dalam penolakan sel tumor kulit yang diinduksi oleh UV(18,23). Sintesis vitamin D3 Radiasi UV-B juga memberikan dampak yang menguntungkan kesehatan yaitu berperan dalam sintesis vitamin D3 di lapisan epidermis. Provitamin D3 (7-dehydrocholesterol) dikonversi menjadi previtamin D3 di membran sel epidermis oleh iradiasi UV-B, yang kemudian secara thermal isomerises menjadi vitamin D3 (Cholecalciferol) dan secara rutin dilepaskan dari epidermis. Intensitas radiasi UV-B yang dibutuhkan hanya sedikit dan kelebihan pajanan dapat mengakibatkan penghentian aksi vitamin D3 yang telah terbentuk. Vitamin D (baik D3 atau D2 dari makanan) tidak aktif secara biologik tetapi harus dibawa oleh darah untuk dikonversi dengan proses hidroksilasi dalam hati menjadi 25-hydroxyvitamin D (25OH-vitD) dan kemudian dalam ginjal menjadi 1,25dihydroxyvitamin D (1,25-diOH-vitD), yaitu suatu hormon

bentuk aktif yang dapat terikat pada reseptor vitamin D (VDR). Vitamin D berfungsi mengatur keseimbangan kalsium dan fosfat dalam darah, menstimulasi penyerapan kalsium dari makanan dalam usus halus, memobilisasi kalsium ke tulang, memacu differensiasi sel dan menghambat pembelahan beberapa jenis sel terutama sel kanker(18,23). Pajanan sinar matahari lebih dari 10 menit seperti pada mandi sinar matahari tidak akan meningkatkan jumlah previt D, tetapi justru akan berbahaya akibat pajanan UV(18). Pajanan kronik radiasi UV menyebabkan gejala klinik yang dikenal sebagai efek penuaan. Terjadi terutama di bagian tubuh yang terpajan secara permanen, berhubungan dengan kekeringan kulit, keriput dan telangiectasia. Pigmentasi tidak teratur dan lentigo solar juga dijumpai. Secara histologis disebabkan oleh penipisan kulit, pengurangan ketebalan papillary dermis dan penggantian materi kolagen elastik normal dengan gumpalan elastotic yang kehilangan sifat elastisitasnya pada dermis normal. Perubahan ini biasanya berhubungan dengan kanker kulit non melanoma yaitu Basal Cell Carcinoma (BCC) dan Squamous Cell Carcinoma (SCC), dan Cutaneous Malignant Melanoma (CMM) sebagai efek kronik yang paling penting(18,20,25). CMM berasal dari sel pigmen, melanosit, merupakan jenis kanker kulit yang paling agresif, cepat bermetastasis dan mematikan. Sedangkan BCC dan SCC berasal dari keratinosit, tidak terlalu agresif tetapi tumbuh invasif. Tingkat mortalitas CMM sekitar 20-25%, SCC 1-3% dan BCC 1%. Kanker kulit biasanya mudah diangkat pada tahap awal karena mudah dikenali ketika masih kecil; sayangnya, berisiko tinggi terbentuk kembali(18).

Gambar 2. Ilustrasi menunjukkan karsinogenesis yang diinduksi radiasi UV(25).

CMM umumnya terjadi di bagian badan dan kaki terutama pada mereka yang secara berkesinambungan terpajan sinar matahari. Awal melanoma ganas dapat dikenali dari beberapa tanda yaitu tahi lalat yang makin membesar atau tumbuh tahi lalat yang baru (biasanya tahi lalat tidak tumbuh/bertambah setelah pubertas). Tahi lalat dengan bentuk tidak beraturan atau campuran bayangan yang berbeda coklat atau hitam. Tanda lain ialah tahi lalat lebih besar dari ujung pensil yang tumpul atau dengan tepi kemerahan, perdarahan, agak berair atau mengeras, dan mulai terasa berbeda seperti sedikit sakit(18,23). Pengenalan dan diagnosis segera terhadap melanoma ganas memberikan

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003 37

kesempatan untuk pengobatan tuntas. Efek Radiasi Optik Pada Mata Di mata, energi radiasi panjang gelombang < 280 nm (UV-C) dapat diserap seluruhnya oleh kornea. Energi radiasi UV-B ( 280 -315 nm) sebagian besar diserap kornea dan dapat pula mencapai lensa. Sedangkan energi UV-A (315-400 nm) diserap dalam lensa secara kuat, hanya sebagian kecil energi saja (< 1%) yang dapat mencapai retina. Untuk mata apakia (mata yang telah mengalami operasi katarak), penetrasi radiasi UV pada 300 - 400 nm dapat mencapai retina(19,22).

dalam waktu yang sangat singkat ataupun cahaya terang dari laser untuk waktu yang lebih lama. Peningkatan suhu retina yang hanya beberapa derajat lebih tinggi dari suhu saat demam diyakini dapat menimbulkan kerusakan retina permanen. Pajanan IR-A juga memberikan kontribusi dalam pembentukan katarak akibat panas(22,26). Radiasi IR-B (1,4 - 3 gym) dapat menembus lebih jauh dan diserap lensa, memberikan kontribusi pembentukan katarak dan juga menimbulkan luka bakar di kornea dan konjungtiva. Sedangkan energi radiasi IR-C (3 m - 1 m) yang diserap kornea dapat menyebabkan fotokeratitis atau yang lebih parah lagi luka bakar pada kornea dan juga konjungtiva. Dengan demikian, laser yang rnenggunakan radiasi cahaya tampak dan juga infra merah dapat menyebabkan kerusakan kornea, lensa atau retina, tergantung pada panjang gelombang dan karakteristik penyerapan energi dari struktur mata(22,24,26). Jumlah energi cahaya yang masuk mata ditentukan oleh luas pembukaan pupil. Energi cahaya tampak yang dapat menembus struktur mata secara kuat diserap oleh retina dan dikonversi menjadi panas. Peningkatan suhu hanya beberapa derajat lebih tinggi dari suhu yang terjadi ketika demam diyakini dapat menimbulkan kerusakan retina yang permanen(24). EFEK KESEHATAN RADIOFREKUENSI ELEKTROMAGNETIK Berdasarkan studi epidemiologi, tidak ada bukti kuat mengenai risiko kanker baik pada anak-anak rnaupun dewasa akibat energi frekuensi elektromagnetik tingkat normal, frekuensi radio, atau radiasi gelombang mikro. Data menunjukkan bahwa radiasi ini tidak dapat membahayakan materi genetik dan juga tidak dapat menginduksi kanker, terutama yang berhubungan dengan kanker otak. Yang jelas perubahan medan magnit atau listrik dapat menginduksi arus listrik internal ke tubuh yang menimbulkan panas; tingkat atau laju perubahannya sebanding dengan frekuensi(27,28). Efek Radiasi Gelombang Mikro Efek kesehatan pada umumnya terjadi akibat panas yang timbul saat interaksi antara energi gelombang mikro dengan materi biologik, disebut efek thermal; efek ini berbahaya karena terutama merusak mata dan testis yang relatif sangat sensitf terhadap kenaikan suhu jaringan(21). Lensa mata tidak berpembuluh darah dan terselubung dalam kapsul, sehingga mudah terbakar akibat penambahan/ penimbunan panas dari pajanan radiasi dengan intensitas tinggi; selain itu melalui efek thermal dan mungkin juga melalui efek non thermal, gelombang ini dapat mencetuskan serangkaian perubahan di permukaan posterior kapsul lensa yang mengarah pada pembentukan katarak. Kataraktogenesis ini sama halnya dengan akibat radiasi pengion; sedangkan katarak akibat penuaan diawali di bagian permukaan anterior lensa. Kondisi pajanan, waktu dan intensitas yang menyebabkan suhu jaringan mata mencapai 45C atau lebih diyakini bersifat kataraktogenik; dalam kondisi praktis, risiko tinggi pembentukan katarak berhubungan dengan pajanan pada satuan ratusan atau lebih mW/cm2(21). Fungsi testis sangat bergantung pada suhu. Secara normal, suhu testis 2C lebih rendah dari suhu tubuh 37C. Peningkatan

Gambar 3. Daya tembus radiasi UV pada struktur mata(23).

Efek fototoksik akut radiasi UV pada mata adalah keratokonjungtivitis (dikenal juga sebagai welder's flash atau snow blindness) yaitu reaksi radang akut kornea dan konjungtiva mata akibat reaksi fotokimia pada kornea (fotokeratitis) dan konjungtiva (fotokonjungtivitis) yang timbul beberapa jam setelah pajanan 200 - 400 nm dan umumnya berlangsung hanya 24 - 48 jam. Gejala fotokeratitis berupa memerahnya bola mata disertai rasa sakit yang parah dan pada beberapa kasus terjadi blepharospasme; berlangsung selama satu atau dua hari dan timbul kabut pada bagian kornea. Efek ini bersifat sementara karena kerusakan yang terjadi sangat ringan (bagian permukaannya saja) dan penggantian sel epitel permukaan kornea berlangsung dengan cepat (satu siklus 48 jam) (18,22,26). Eritema kelopak mata muncul beberapa jam pasca pajanan akut (200 -400 nm), biasanya berlangsung selama 8 - 72 jam tergantung pada tingkat pajanan dan daerah spektrum(22). Pajanan kronik radiasi UV pada mata dapat menimbulkan pterygium atau penebalan konjungtiva dan katarak. Pterygium merupakan pertumbuhan jaringan lemak di atas kornea. Sedangkan pajanan radiasi UV pada panjang gelombang 290 320 nm dapat menyebabkan katarak. Terdapat hubungan yang jelas antara katarak dengan pajanan UV-B sepanjang hidup(18,22,26). Radiasi cahaya tampak dan IR-A (400 - 1400 nm) dapat mencapai retina dan menimbulkan fotoretinitis, peradangan retina. Kerusakan retina timbul khususnya akibat pajanan cahaya tampak biru (400 - 550 nm) sehingga dikenal pula sebagai blue light retinal injury. Fotoretinitis yang biasanya disertai dengan scotoma (blind spot), terjadi akibat menatap sumber cahaya yang sangat tajam dan terang seperti matahari

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

suhu testis walaupun hanya sampai 37C sudah dapat mengganggu spermatogenesis (proses pembentukan sperma). Dengan demikian pajanan radiasi gelombang mikro juga berisiko mengganggu spermatogenensis melalui mekanisme efek thermal(21). Efek non thermal yang ditemukan pada para pekerja yang secara kronik terpajan microwave berupa peningkatan kelelahan, sakit kepala periodik dan konstan, iritasi parah, ketiduran selama bekerja, dan penurunan sensitivitas penciuman (olfactory). Gejala klinik yang timbul antara lain bradikardi, hipotensi, hipertiroid dan peningkatan tingkat histamin darah. Pada kelompok pekerja yang berada di medan gelombang mikro dijumpai pula efek subyektif seperti sakit kepala, lelah, pusing, tidur tidak nyenyak, perasaan takut, tegang, depresi mental, daya ingat kurang baik, nyeri pada otot dan daerah jantung dan susah bernafas(21).

akibat pajanan medan frekuensi rendah;dengan demikian tidak diharapkan terjadi efak mutasi dan transformasi neoplastik yang mengarah ke pembantukan kanker.(2,29) ICNIRP mengeluarkan beberapa peryataan mengenai hubungan antara medan frekuensi rendah elektromagnetik dan kanker, antara lain : - Tidak ada bukti substantif yang menunjukkan bahwa pajanan magnetik statis bersifat karsinogenik. - Data laboratorium dan epidemiologi yang berhubungan dengan kanker tidak memberikan dasar untuk perkiraan risiko kesehatan pada manusia terpajan medan frekuensi listrik. - Data laboratorium yang berhubungan dengan kanker akibat pajanan frekuensi radio tidak memberikan dasar untuk dilakukannya batasan pajanan. Bukti pajanan radiofrekuensi sebagai promotor atau progresor dalam karsinogenesis membutuhkan penelitian lebih lanjut(2).

Efek Radiasi Gelombang Radiofrekuensi Studi pada pekerja industri yang terpajan radiasi radiorekuensi elektromagnetik menunjukkan tidak adanya peningkatan risiko leukemia. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa bila memang terdapat hubungan antara gelombang radiofrekuensi elektromagnetik dengan kanker, maka hubungan tersebut lemah dan perlu dukungan penelitian laboratorium(29). Efek pajanan elektromagnetik radiofrekuensi terhadap sel telah dipertimbangkan dalam 4 tahap utama pembentukan kanker yaitu inisiasi, konversi, promosi dan progresi. Inisiasi tumor dianggap sebagai hasil kerusakan genetik sedangkan konversi berhubungan dengan perubahan genetik berskala besar. Karena tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa pajanan menginduksi perubahan genetik maka tampaknya pajanan tidak memberikan efek baik inisiasi rnaupun konversi. Tidak adanya efek pada struktur kromosom menunjukkan bahwa jika medan frekuensi rendah mempunyai efek pada proses karsinogenesis, mereka lebih berperan sebagai promotor daripada sebagai inisiator, dengan meningkatkan laju proliferasi sel terubah secara genetik daripada menyebabkan kerusakan awal pada DNA atau kromatin. Terdapat bukti yang menunjukkan adanya perubahan pada jalur informasi kimia antar yang mungkin berhubungan dengan promosi tumor, meskipun pengaruhnya sangat kecil dan oleh karena itu tampaknya tidak menimbulkan gangguan sistem biologik. Pengaruhnya pada pertumbuhan tumor dapat terjadi melalui efek epigenetik dari medan ini seperti perubahan pada jalur cell signalling atau pada ekspresi gen. Laporan tentang efek terhadap permukaan sel yang mungkin berhubungan dengan progresi tumor sangat spekulatif. Oleh karena itu, sampai saat ini tidak ada mekanisme yang jelas menerangkan pengaruh radiofrekuensi elektromagnetik terhadap karsinoenesis(30). Satu studi epidemiologi menunjukkan data yang konsisten bahwa risiko leukemia lebih tinggi pada anak-anak yang tinggal dekat jaringan listrik, tetapi dasar hubungan tersebut tidak diketahui; tidak ada bukti yang didukung penelitian di laboratorium yang menunjukkan adanya kerusakan DNA dan kromosom, mutasi, dan peningkatan frekuensi transformasi

PENUTUP Untuk memperkecil efek yang timbul akibat pajanan radiasi matahari dapat digunakan sun screen dengan SPF (sun protection factor) sekitar 20-40, baju dengan tenunan rapat lebih bersifat protektif kacamata dan topi yang lebar untuk melindungi wajah dan leher. Sedangkan pencegahan efek kesehatan akibat pajanan radiasi non pengion buatan manusia antara lain dapat dilakukan dengan memberikan informasi secara jelas dan sederhana terutama kepada operator, selain pasien dan juga masyarakat mengenai konsekuensi yang mungkin timbul bila tidak memperhatikan prosedur keselamatan kerja dan proteksi serta batasan pajanan terhadap radiasi non pengion yang telah ditetapkan oleh ICNIRP. Prosedur kerja dan batasan-batasan yang direkomendasikan terhadap pajanan radiasi non pengion bertujuan untuk melakukan proteksi terhadap kerusakan retina akibat efek thermal dan reaksi fotokimia, pada mata apakia (lensa mata telah diangkat pada operasi katarak) dan bayi dari bahaya fotokimia, pada kornea dari kerusakan akibat panas, pada lensa dari risiko efek tertunda katarak, dan pada kulit dari berbagai risiko kerusakan akibat panas. Masalahnya sekarang adalah apakah sudah ada atau dibentuk suatu badan atau institusi di Indonesia yang secara khusus berwenang melakukan pengawasan terhadap penggunaan peralatan sumber radiasi non pengion dan bertanggung jawab untuk melakukan sosialisasi berbagai standar prosedur kerja keselamatan radiasi yang harus dipatuhi untuk memperkecil risiko kesehatan yang mungkin timbul. Manusia menjadi target berbagai jenis bahan karsinogenik yang membuat sangat tidak mungkin untuk memperkirakan bahwa kanker yang diderita seseorang hanya disebabkan oleh faktor lingkungan termasuk medan frekuensi listrik. Kita terpajan radioaktivitas alam dari radon, polusi buatan manusia dari hasil gas buangan kendaraan,gas industri, asap rokok, limbah kimia dari pestisida dan herbisida, lemak makanan, alkohol, dan sinar UV matahari. Oleh karena itu perlu dilakukan studi epidemiologi yang didukung dengan penelitian laboratorium dalam rangka mendapatkan hasil yang lebih konklusif.

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003 39

KEPUSTAKAAN

1.

Dennis JA. Non-Ionising Issues. Radiation Protection Dosimetry. 1997; 72(3-4): 161-2. 2. Bernhardt JH, Matthes R. Recent and Future Activities of the ICNIRP. Radiation Protection Dosimetry. 1997; 72(3-4):167-76. 3. International Non-Ionizing Radiation Committee/ International Radiation Protection Association. Guidelines on Limits of Exposure to Airborne Ultrasound. Health Physics, 1984; 46(4): 969-74. 4. International Non-Ionizing Radiation Committee/ International Radiation Protection Association. Concepts, Units and Terminology for NIR Protection. Health Physics, 1985; 49(6): 1329-62. 5. International Non-Ionizing Radiation Committee/ International Radiation Protection Association. Guidelines on Limits of Exposure to Laser Radiation of Wavelengths between 180 nm and 1 mm. Health Physics, 1985; 49(2): 341-59. 6. International Non-Ionizing Radiation Committee/ International Radiation Protection Association. Guidelines on Limits of Exposure to Laser Radiation of Wavelengths between 180 nm and 1,000 gm. Health Physics, 1996; 71(5) : 804-19. 7. International Non-Ionizing Radiation Committee/ International Radiation Protection Association. Guidelines on Limits of Exposure to Ultraviolet Radiation of Wavelengths between 180 nm and 400 nm (Incoherent Optical Radiation). Health Physics, 1985; 49(2) : 331-40. 8. International Non-Ionizing Radiation Committee/ International Radiation Protection Association. Guidelines on Limits of Exposure to Radiofrequency Electromagnetic Fields in the Frequency Range from 100 kHz to 300 GHz. Health Physics, 1988; 54(1) : 115-23. 9. International Non-Ionizing Radiation Committee/ International Radiation Protection Association. Alleged Radiation Risks from Visual Display Units. Health Physics, 1988; 54(2) : 231-2. 10. International Non-Ionizing Radiation Committee/ International Radiation Protection Association. Flourescence Lighting and Malignant Melanoma. Health Physics, 1990; 58(1) : 111-2. 11. International Non-Ionizing Radiation Committee/ International Radiation Protection Association. Interim Guidelines on Limits of Exposure to 50/60 Hz Electric and Magnetic Fields. Health Physics, 1990; 58(1) : 113-22. 12. International Non-Ionizing Radiation Committee/ International Radiation Protection Association. Health Issues of Ultraviolet A Sunbeds used for Coemetic Purposes. Health Physics, 1991; 61(2) : 285-8.

13. International Non-Ionizing Radiation Committee/ International Radiation Protection Association. Protection of the Patient undergoing a Magnetic Resonance Examination. Health Physics, 1991; 61(6) : 923-8. 14. International Commission on Non-Ionizing Radiation Protection. Guidelines on Limits of Exposure to Static Magnetic Fields. Health Physics, 1994; 66(1) : 100-106. 15. International Commission on Non-Ionizing Radiation Protection. Health Issues Related to the Use of Hand-held Radiotelephones and Base Transmitters. Health Physics, 1996; 70(4): 587-93. 16. Hall, EJ. Radiobiology for the Radiologist. 5th ed. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins; 2000. 17. Glaser, ZR. Organization and Management of A Non-Ionizing Safety program. In Miller, KL. (ed.) Handbook of Management of Radiation Protection Programs. 2nd ed. Boca Raton, CRC Press. 1992; 43-52. 18. De Gruijl, FR. Health Effects from Solar UV Radiation. Radiation Protection Dosimetry. 1997; 72(3-4): 177-96. 19. Webb, AR. Changes in Stratospheric Ozone Concentrations and Solar UV Levels. Radiation Protection Dosimetry. 1997 72(3-4): 207-16. 20. United Nations Scientific Committee on The Effects of Atomic Radiation. Ultraviolet Radiation: Exposures and Effects. Vienna. 1994. 21. Cember, H. Introduction to Health Physics. 2nd ed. New York, McGraw-Hill, INC. 1992. 22. Sliney, DH. Ultra Violet Radiation Effects upon the Eye: Problems of Dosimetry. Radiation Protection Dosimetry. 1997; 72(3-4): 197-206. 23. Cesarini, JP. UV and Skin: the Biological Effects of UVA and UVB. International Congress on radiation protection (IRPA 9). Vienna. 1996; 339-43. 24. Classic, KL. Organization and Management of A Laser Safety program. In Miller, KL. (ed.) Handbook of Management of Radiation Protection Programs. 2nd ed. Boca Raton, CRC Press. 1992; 53-65. 25. Cesarini, JP. Chronic Effects of UV on Human Skin. International Congress on radiation protection (IRPA 9). Vienna. 1996; 361-6. 26. Cesarini, JP. Ultra Violet Radiation: the Eye. International Congress on radiation protection (IRPA 9). Vienna. 1996; 345-51. 27. Stather, JW. Electromagnetics Fields and the Risk of Cancer. Radiological Protection Bull. 142. Chilton, National Radiological Protection Board. 1993; 8-10. 28. Deutsch S., Wilkening, GM. Electromagnetic Field Cancer Scares. Health Physics. 1997; 73(2): 301-9. 29. Hendee WR., Boteler, JC. The Question of Health Effects from Exposure to Electromagnetic Fileds. Health Physics. 1994; 66(2): 127-36. 30. Cridland, NA. Effects of Power Frequency EMF Exposures at Cellular Level. Radiation Protection Dosimetry. 1997; 72(3-4): 197-206.

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

TINJAUN KEPUSTAKAAN

Indikator Biologik Kerusakan Tubuh akibat Pajanan Radiasi


Zubaidah Alatas
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keselamatan Radiasi dan Biomedika Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK Pajanan radiasi terhadap tubuh akan menyebabkan interaksi pada tingkat atom. Energi yang terdeposisi menyebabkan perubahan tingkat molekul yang akan merugikan jika yang terpajan adalah molekul penting. Perubahan tersebut merupakan indikator biologik yang dapat digunakan untuk memperkirakan dosis radiasi yang diterima. Berbagai metode untuk memperkirakan dosis radiasi yang diterima dengan menggunakan indikator biologik telah berkembang cepat; analisis aberasi kromosom sel limfosit masih berperan utama, tetapi tidak lagi merupakan satu-satunya sistem dalam dosimetri biologi. Pendekatan terbaik adalah dengan mengkombinasikan beberapa uji berdasarkan kelebihannya masing-masing, seperti sensitivitas yang tinggi pada analisis kromosom disentrik sel limfosit, kisaran dosis yang besar dengan metode resonansi spin elektron, kemungkinan menentukan lokasi pajanan radiasi lokal pada tubuh dengan analisis diameter rambut, dan informasi prognosis individual berdasarkan perubahan jumlah sel-sel darah pasca pajanan di atas 1 Gy.

PENDAHULUAN Radiasi tidak dapat dilihat, dirasa atau diketahui keberadaannya oleh tubuh, sedangkan pajanan radiasi yang berlebih dapat menimbulkan efek merugikan; oleh karena itu pemanfaatan sumber radiasi dalam berbagai bidang harus dilakukan secara cermat dan mematuhi ketentuan teknik kerja keselamatan radiasi. Jika tubuh terpajan radiasi, akan terjadi interaksi antara energi radiasi dengan materi biologik baik secara langsung ataupun tidak langsung. Disebut langsung jika penyerapan energi langsung terjadi pada molekul, terutama yang penting seperti DNA dan menimbulkan kerusakan; secara tidak langsung jika terlebih dahulu terjadi interaksi radiasi dengan molekul air menghasilkan radikal bebas yang kemudian akan mempengaruhi molekul seperti DNA. Mengingat sekitar 80% tubuh manusia terdiri dari air, maka sebagian besar interaksi radiasi dalam tubuh terjadi secara tidak langsung.

Kerusakan yang terjadi pada tubuh diawali dengan kerusakan DNA yang tidak mengalami proses perbaikan secara tepat dan benar; konsekuensinya akan berlanjut pada tingkatan yang lebih tinggi seperti pada kromosom, sel, jaringan dan organ tubuh. Semua ini jelas sangat tergantung pada berbagai faktor fisik a.l. jenis dan dosis radiasi, dan faktor biologik a.l. tingkat radiosensitivitas. Berbagai perubahan yang terjadi pada tubuh dapat digunakan sebagai indikator biologik yang spesifik hanya timbul bila tubuh terpajan radiasi. Dalam kondisi tertentu indikator biologik dapat digunakan untuk memperkirakan dosis radiasi yang diterima tubuh, yang lebih dikenal sebagai dosimeter biologi; hal ini penting bila pada saat terjadi kecelakaan, pekerja tidak rnenggunakan dosimeter fisik (TLD, film badge) sebagaimana seharusnya atau untuk meng-konfirmasi dosis yang diterima berdasarkan dosimeter fisik. Sistem biologi yang dapat digunakan sebagai indikator bio-

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003 41

logik terhadap kerusakan akibat radiasi dapat dibagi atas tingkat molekuler, sitogenetik, seluler dan sistem lain. INDIKATOR BIOLOGI PADA TINGKAT MOLEKULER Resonansi spin elektron Diketahui bahwa radiasi menginduksi pembentukan radikal bebas yaitu suatu molekul/atom tidak bermuatan dan mempunyai elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Kondisi ini menyebabkan radikal bebas menjadi sangat reaktif dan tidak stabil; secara normal setiap molekul/atom mempunyai elektron berpasangan yang masing-masing berotasi dengan arah yang berlawanan pada orbit terluarnya sehingga terjadi kondisi stabil. Jumlah radikal bebas yang terbentuk dapat dideteksi dengan electron spin resonance (ESR). Metode ini bisa diterapkan pada material yang kandungan airnya rendah. Material yang sangat sesuai untuk metode ini adalah gigi dan kuku, sedangkan rambut dan tulang memberikan respon yang sangat bervariasi. Metode ini dapat dipakai segera setelah terjadi pajanan radiasi karena radikal bebas langsung terbentuk pada saat terpajan. Selain materinya relatif mudah didapat seperti kuku atau melalui operasi kecil untuk tulang dan gigi, pengukuran dengan spektroskopi ESR ini dapat dilakukan sangat cepat terhadap kisaran dosis 0,5 - 100 Gy. Indikator Biokimia Perubahan komposisi cairan tubuh seperti saliva, serum darah dan urin dapat digunakan untuk memperkirakan dosis radiasi; akibat adanya pelepasan enzim atau degradasi protein dan asam nukleat, pasca pajanan akan terjadi perubahan konsentrasi sejumlah komponen terutama amilase dan glikoprotein dalam serum, taurin, keratin, deoksisitidin dan lainnya dalam urin. Masalah umum pada semua metode biokimia, selain masalah yang spesifik berhubungan dengan metodenya, adalah variabilitas yang tinggi dalam hal konsentrasi molekul yang diuji. Selain itu, nutrisi, penyakit, medikasi, stres dan lainnya juga sangat mempengaruhi komposisi biokimia cairan tubuh. Oleh karena itu tidak ada indikator biokimia yang diketahui cukup memuaskan untuk dapat digunakan sebagai dosimeter biologik. Perubahan konsentrasi biokimia umumnya terjadi segera pasca pajanan dan kembali normal dalam waktu beberapa hari, sehingga tidak ada perubahan tetap yang bisa diharapkan. Amilase serum mengalami peningkatan sampai 10 kali pada pasien radioterapi bila kelenjar parotid termasuk dalam lapangan radiasi. Tertinggi dalam waktu 24-36 jam setelah terpajan sampai 1 Gy. Dosis fraksinasi dalam radioterapi sekitar 1-2 Gy/hari menyebabkan kerusakan kelenjar parotid dan penurunan konsentrasi amilase. Diamine oksidase (DAO) adalah enzim serum yang juga berpotensi sebagai dosimeter biologi. DAO diproduksi oleh vili usus halus selama pembelahan sel dan differensiasi. Konsentrasi DAO telah digunakan untuk memantau pengaruh kemoterapi pada sistem pencernaan tetapi respon pasca radiasi pada manusia masih belum konklusif. Pasca irradiasi, kandungan keratin, histamin, taurin, amilase dan prostaglandin urin akan meningkat.

Hari Gambar 1. Kandungan amilase serum sebagai fungsi hari pada pasien yang menerima radioterapi dengan 4 variasi fraksinasi : satu fraksi/hari @ 2 Gy (----) tiga fraksi/hari @ 2 Gy dengan waktu antar fraksi 3-4 jam (---), tiga fraksi/hari @ 1 Gy dengan waktu 3-4 jam antar fraksi ( ___ ) dan dua fraksi/hari @ 2 Gy dengan waktu 7-8 jam antar fraksi (). Nilai kontrol ditunjukkan dengan daerah yang diarsir(1).

INDIKATOR GENETIK

BIOLOGIK

PADA

TINGKAT

SITO-

Aberasi Kromosom Radiasi dapat menyebabkan perubahan, baik pada jumlah maupun pada struktur kromosom, yang dikenal dengan istilah aberasi kromosom. Kerusakan struktur berupa patahnya lengan kromosom terjadi secara acak dengan peluang yang makin besar sesuai dengan meningkatnya dosis radiasi. Aberasi kromosom yang mungkin dapat terjadi adalah 1) fragmen asentrik yaitu terjadinya delesi atau patahnya bagian kecil atau fragmen lengan kromosom yang tidak mengandung sentromer, 2) ring atau kromosom bentuk cincin yang merupakan hasil penggabungan dua lengan yang mengalami delesi pada kromosom yang sama, 3) disentrik berupa kromosom dengan dua buah sentromer sebagai hasil peng-gabungan dua buah kromosom yang mengalami patah dan 4) translokasi yaitu terjadinya perpindahan atau pertukaran fragmen dari dua atau lebih kromosom. Dari semua kerusakan tersebut, kromosom disentrik diyakini spesifik terjadi akibat pajanan radiasi sehingga aberasi disentrik ini digunakan secara luas sebagai dosimeter biologi dan umumnya dapat dengan mudah diamati pada sel limfosit darah tepi. Selain mudah pengambilannya, sel limfosit merupakan sel yang paling sensitif terhadap radiasi; dosis tunggal 0,2 Gy sudah dapat menimbulkan aberasi kromosom yang dapat dideteksi. Frekuensi terjadinya aberasi kromosom bergantung pada jenis dan dosis radiasi yang diterima. Penentuan dosis radiasi pengion yang diterima seorang pekerja radiasi dapat ditentukan dengan menggunakan kurva standar aberasi kromosom sebagai fungsi dari jumlah disentrik per sel limfosit. Teknik ini dapat digunakan untuk memperkirakan dosis sinar gamma/X dari 0,25 Gy sampai 6-8 Gy. Karena frekuensi kromosom disentrik dalam sel limfosit akan menurun dengan bertambahnya waktu, pemeriksaan aberasi kromosom (disentrik) sebaiknya dilakukan sesegera mungkin pasca terpajan

42

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

Dengan demikian pemeriksaan mikronuklei juga harus melalui proses pembiakan di laboratorium dan penghitungannya jauh lebih cepat dan mudah dibandingkan dengan aberasi kromosom. Tetapi metode ini kurang sensitif bila dibandingkan dengan kromosom disentrik dan kebolehjadian mikronuklei secara spontan lebih besar sekitar 10-20 kali dari kromosom disentrik. Rentang dosis radiasi yang dapat dideteksi dengan rnenggunakan tehnik mikronuklei saat itu adalah antara 0,3 - 3 Gy.

radiasi, tidak lebih dari 30 hari.


Gambar 2. Aberasi kromosom pada sel limfosit manusia. Kiri, dua buah kromosom disentrik (D) dan dua pasang fragmen (F). Kanan, sebuah kromosom bentuk cincin(2).

Dibutuhkan sekitar 3 - 5 ml darah tepi untuk dibiakkan di laboratorium selama sekitar 2 hari. Sel limfosit darah distimulasi untuk melakukan pembelahan dengan phyto-hemagglutinin dan dihentikan pada saat metafase, dipanen dan dibuat preparat untuk kemudian diamati dan dihitung dengan mikroskop. Dengan demikian dibutuhkan waktu yang relatif lebih lama dibandingkan metode lain yaitu sekitar 2-3 minggu. Pemeriksaan aberasi kromosom ini telah dapat dilakukan di Puslitbang Keselamatan Radiasi dan Biomedika Nuklir - BATAN. Kromosom disentrik dan ring merupakan aberasi yang tidak stabil, artinya sel yang mengandung kromosom tersebut akan mati ketika melakukan pembelahan sel atau mitosis; sedangkan aberasi kromosom yang bersifat stabil, yang tidak hilang dengan bertambahnya waktu adalah translokasi dan delesi. Aberasi ini masih dapat dijumpai pada para korban bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Dengan demikian, meskipun selang waktunya cukup lama sejak terpajan radiasi atau pada kasus pajanan kronik, masih mungkin memperkirakan dosis yang diterima dengan rnenggunakan translokasi sebagai indikator. Tetapi kebolehjadian translokasi secara spontan atau alamiah pada manusia dewasa sehat lebih besar yaitu sekitar 5 10 translokasi/1000 sel dibandingkan dengan disentrik yang hanya 1-2 disentrik/1000 sel; kondisi ini ditambah dengan penggunaan metode pewarnaan khusus (Fluoresence in situ hybridization), membuat pemeriksaan aberasi translokasi sulit dilakukan terutama jika akibat pajanan radiasi dosis rendah. Oleh karena itu aberasi kromosom terbaik yang dapat digunakan sebagai indikator yang dapat diandalkan adalah kromosom disentrik. Mikronuklei Mikronuklei adalah fragmen kromosom tanpa sentromer (efek klastogenik) atau kromosom dengan sentromer (efek aneugenik) yang tidak terbawa serta dalam salah satu dan dua inti set anak ketika proses mitosis berlangsung. Kerusakan ini antara lain diinduksi oleh radiasi dan dapat diamati pada sel limfosit darah tepi. Mikronuklei dapat diamati pada sel dengan dua inti (binukleat) yang dicegah untuk membelah menjadi dua sel anak dengan cytochalasin B.

Gambar 3. (a) Sel-sel binukleat dengan dan tanpa mikronuklei. (b) Sel binukleat dengan sebuah mikronuklei. (c) Sel binukleat dengan dua buah mikronuklei(3).

Kondensasi Kromosom Prematur Penggabungan sel-set darah berinti tunggal (mononuclear cells) dengan sel Chinese Hamster Ovary stadium mitosis dengan bantuan polietilen glikol (PEG) disebut dengan Prematurely Condensed Chromosome (PCC). Proses ini menghasilkan kondensasi kromosom prematur dan sel-sel pada stadium interfase yang segera diikuti dengan hilangnya membran inti kedua sel dan kondensasi kromatin menjadi 46 (2n) kromosom kromatid tunggal. Radiasi dapat menyebabkan kerusakan kromosom dengan terbentuknya fragmen kromatid yang jumlahnya lebih dari 46 dan kondisi ini yang digunakan untuk memperkirakan tingkat kerusakan sitogenetik.

Gambar 4. Kiri, sebanyak 46 kromosom kromatid tunggal dari sel mononuklear darah tepi yang tidak diiradiasi. Kanan, terdapat 63 kromatid tunggal prematur pada sel darah yang diiradiasi dengan 5 Gy sinar X, berarti terdapat kelebihan 17 fragmen(4).

Pada metode ini tidak ada stimulasi untuk melakukan pembelahan, hasilnya dapat diperoleh dalam waktu 2 jam serta mempunyai tingkat sensitivitas yang lebih besar. Tetapi masih sangat sedikit ulasan atau penelitian lebih lanjut mengenai

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003 43

metode ini sehingga belum banyak digunakan sebagai dosimeter biologi. INDIKATOR BIOLOGIK PADA TINGKAT SELULER Hematopoetik Dalam kondisi alamiah, penurunan jumlah komponen sel darah karena konsumsi makanan atau infeksi selalu dikembalikan ke dalam rentang jumlah yang normal melalui aktivitas pembelahan sel stem pluripotensial yang berada dalam sumsum tulang. Radiasi menghambat aktivitas pembelahan sel stem tersebut, bahkan dapat menghentikannya sama sekali, bergantung pada dosis radiasinya. Selain itu sel darah yang bersirkulasi akan mengalami kematian interfase. Dengan demikian akan terjadi penurunan jumlah sel darah secara cepat bergantung pada tingkat radiosensitivitasnya. Sel limfosit diketahui sebagai sel darah yang paling radiosensitif, yang diikuti oleh sel granulosit, trombosit dan sel eritrosit sebagai sel yang paling tahan terhadap radiasi. Penurunan jumlah sel-sel darah ini baru terjadi secara nyata pada dosis di atas 0,5 Gy. Hubungan antara penurunan berbagai jenis sel darah dengan dosis radiasi yang diterima dapat dilihat pada Gambar 5. Selain itu khusus untuk sel limfosit, berdasarkan jumlah sel dalam darah tepi dapat diperkirakan tingkat keparahan yang terjadi dengan mengacu pada nomogram yang ditunjukkan pada Gambar 6. Dengan demikian pada seseorang yang terpajan radiasi dengan dosis relatif tinggi disarankan agar jumlah sel-sel darahnya selalu dipantau terus menerus.

perkembangan tersebut, sel spermatogoniumlah yang paling sensitif terhadap radiasi.

Gambar 6. Nomogram limfosit yang dapat dipergunakan untuk memperkirakan tingkat keparahan akibat pajanan radiasi akut berdasarkan jumlah limfosit absolut/mm3 setiap 6 jam(6).

Dosis terendah radiasi yang dapat menyebabkan perubahan jumlah sperma adalah sekitar 0,15 Gy yaitu menyebabkan penurunan jumlah sel spermatogonium yang beberapa lama kemudian akan terlihat sebagai penurunan jumlah sperma (oligozoospermia); tetapi hal ini tidak berlangsung lama karena akan segera diantisipasi dengan peningkatan laju pembelahan sel stem. Penurunan jumlah sperma dan waktu yang dibutuhkan untuk kembali normal sangat bergantung pada dosis radiasi yang diterima. Makin besar dosis radiasi, makin rendah jumlah sperma dan makin lama waktu pulihnya. Dosis di bawah 1 Gy menyebabkan steril selama beberapa bulan dan dosis 1-3 Gy menyebabkan steril selama sekitar 1-2 tahun. Dengan demikian dari perubahan jumlah sperma dapat diperkirakan dosis radiasi yang diterima selama belum mencapai kondisi azoospermia permanen. Ambang dosis radiasi di atas 3,5 Gy mengakibatkan terjadinya sterilitas permanen. Rambut Kematian sel folikel rambut yang menyebabkan rambut menjadi tipis, sangat bergantung pada dosis radiasi. Pengukuran dapat dilakukan terhadap persentase rambut displastik, jumlah aberasi kromosom pada epitelium dan rambut, jumlah sel yang mati (apoptosis) pada folikel atau pada lebar rambut dan jumlah inti sel dalam medulla rambut. Informasi dosis radiasi yang dapat diperkirakan dari rambut bersifat relatif tetap. Indikator yang paling sensitif adalah sel-sel mati dalam folikel rambut untuk kisaran dosis 0,05-1 Gy yang pengukurannya dapat dilakukan segera pasca pajanan.

Gambar 5. Perubahan komponen hematopoetik akibat pajanan radiasi gamma seluruh tubuh dengan dosis 1 Gy (atas) dan 3 Gy (bawah) sebagai fungsi waktu pasca pajanan(5).

Spermatogenesis Proses pembentukan sel sperma diawali dari pembelahan sel stem pada tubuli seminiferi testis. Sel stem akan membelah dan berdiferensiasi sambil bermigrasi menuju bagian lumen tubulus sehingga sel sperma yang terbentuk siap dikeluarkan. Adapun tahapan perkembangan sel stem adalah sel spermatogonium, spermatosit primer, sel spermatosit sekunder dan akhirnya sel spermatid atau sel sperma. Di antara tahapan

INDIKATOR BIOLOGIK PADA SISTEM LAIN Terdapat sejumlah sistem lain yang diharapkan dapat dipergunakan untuk memperkirakan pajanan radiasi yang diterima seseorang seperti elektroensefalografi, mutasi pada lokus glycophorin A yang menyebabkan terbentuknya eritrosit abnormal, mobilitas elektrophorik sel, ikatan lektin pada membran sel, sel progenitor hematopoetik dan indikator imunologik. Perubahan fisik dapat pula digunakan sebagai indikator yaitu timbulnya gejala pada tahap prodromal pasca pajanan

44

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

radiasi akut (> 1 Gy) yang terjadi dalam waktu menit - hari. Gejala tersebut adalah nausea, muntah, anoreksia, dan diare. Tingkat keparahan, lamanya dan waktu timbulnya bergantung pada dosis dan jenis radiasi yang diterima. Untuk radiasi gamma, diperkirakan dosis rata-rata sekitar 0,97 Gy untuk anoreksia, 1,4 Gy untuk nausea, 1,5 Gy untuk fatigue, 1,8 Gy untuk muntah dan 2,3 Gy menimbulkan diarrhea. Selain itu eritema dan epilasi merupakan indikator fisik lainnya yang secara nyata berhubungan dengan radiasi. Dosis ambang terjadinya eritema sekitar 2- 3 Gy bergantung terutama pada lokasi kulit yang terpajan. Eritema akibat pajanan radiasi terjadi dalam 2 tahap, awal dan akhir sebagai eritema sesungguhnya. Eritema awal terjadi dalam waktu sampai 24 jam dan kemudian hilang; dalam waktu 2-3 minggu kemudian timbul kembali eritema sesungguhnya yang berlangsung beberapa minggu. Tingkat keparahan dan waktu timbulnya sangat bergantung pada dosis dan jenis radiasi serta kondisi kulit; sedangkan epilasi terjadi sekitar 2 minggu pasca pajanan radiasi dengan dosis lebih besar dari 2-3 Gy. Epilasi dapat bersifat permanen bila dosis yang diterima sampai 7 Gy. PENUTUP Semua metode yang diuraikan di atas berdasarkan pada pengalaman yang relatif terbatas pada manusia dengan pengecualian pada analisis kromosom disentrik pada set limfosit manusia. Sampai saat ini dosis dan pajanan radiasi eksternal, akut, seluruh tubuh ataupun lokal dapat diperkirakan secara relatif tepat dengan rnenggunakan indikator biologik. Sedangkan bila pajanan terjadi secara internal, akut, pada pajanan fraksinasi dan pajanan lokal pada posisi yang spesifik/ terlokalisir, maka penggunaan indikator biologik menjadi agak sulit dan terbatas. Masalah ini dapat diselesaikan dengan menggunakan atau mengkombinasikan beberapa indikator biologjk yang sesuai untuk saling melengkapi. Teknik sitogenetik masih merupakan sistem dosimetri biologik yang paling penting. Metode yang paling sensitif dan dapat diandalkan adalah penghitungan aberasi kromosom

khususnya disentrik pada sel limfosit manusia meskipun waktu yang dibutuhkan relatif lebih lama. Pemeriksaan aberasi kromosom sangat dianjurkan terhadap pekerja radiasi bila dosis radiasi yang diterima berdasarkan dosimeter fisik, di atas nilai batas dosis kerja yang diizinkan yaitu 20mSv/tahun rerata 5 tahun. Hal ini bertujuan untuk memastikan perkiraan dosis dan mengkaji tingkat keparahan sehingga dapat dilakukan tindakan medik yang tepat, bila diperlukan.

KEPUSTAKAAN

1.

2. 3.

4.

5.

6.

7. 8.

9.

Walden TL, Farzaneh NK. Biological assessment of radiation damage. Dalam: Walker, R.I., Cerveny, T.J. Medical consequences of nuclear warfare. Maryland : TMM Publications, 1989; 85-99. Tubiana M, Dutreix J, Wambersie A. Introduction to Radiobiology. London : Taylor & Francis, 1990. Hal 34-85. Hande MP, Boei JJ.WA., Natarajan AT. Induction and persistence of cytogenetic damage in mouse splenocytes following whole-body Xirradiation analysed by fourescence in situ hybridization. II. Micronuclei. Int. J. Radiat. Biol. 1996; 70 (4) : 375-83. Pantelias GE, Maillie HD. The use of peripheral blood mononuclear cell prematurely condesed chromosome for biogical dosimetry. Radiation Research. 1984 ; 99: 140-50. Cerveny TJ, Mac Vittie TJ, Young RW. Acute radiation syndrome in humans. Dalam : Walker RI, Cerveny TJ. Medical consequences of nuclear warfare. Maryland : TMM Publications 1989 ; 15-36. Done RF, Cerveny TJ. Triage and treatment of radiation-injured mass casualities. Dalam : Walker, RI, Cerveny TJ. Medical consequences of nuclear warfare. Maryland: TMM Publications 1989; 37-54. Edwards AA. The use of chromosomal aberrations in human lymphocytes for biological dosimetry. Radiation Research 1997 ; 148 : S39-S44. Zoetelief J, Broerse JJ. Dosimetry for radiation accidents : present status and prospects for biological dosemeters. Int J. Radiat Biol. 1990 ; 57 (4) : 737-50. International Atomic Energy Agency. Biological Dosimetry : chromosomal aberration analysis for dose assessment. Technical Reports Series No. 260. Vienna: IAEA, 1986.

Dirt is not dirt, but only something in the wrong place (Palmerston)

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003 45

HASIL PENELITIAN

Kendali Mutu Dosimetri Akselerator Linier Medik


Susetyo Trijoko
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keselamatan Radiasi dan Biomedika Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional, Jakarta

ABSTRAK Beberapa rumah sakit di Indonesia saat ini telah menggunakan pesawat akselerator linier (linac) medik untuk terapi kanker. Maksud dari kegiatan ini adalah untuk mengidentifikasi kemungkinan terjadinya perbedaan dosis serap berkas foton linac medik lebih besar dari batas yang dapat diterima 4,0%. Kendali mutu dosimetri pesawat terapi linac dilaksanakan dengan menggunakan detektor bilik pengion. Detektor bilik pengion yang diletakkan dalam fantom air pada kedalaman acuan diirradiasi dengan berkas foton dosis 200 cGy oleh fisikawan rumah sakit. Dari 5 (lima) macam berkas foton yang diaudit, hasilnya menunjukkan bahwa 4 (empat) berkas berada dalam batas yang dapat diterima (deviasi 4,0%) dan satu berkas memiliki deviasi major, lebih besar dari 7,0%.

PENDAHULUAN Beberapa rumah sakit di Indonesia telah dilengkapi dengan akselerator linier medik dan jenis jenis pesawat linac yang digunakan adalah Mitsubishi EXL-22 (10-MV), Clinac-18 (10-MV), Mevatron-67 (6-MV), dan Mevatron-74 (10-MV). Dengan semakin banyaknya penggunaan berkas radiasi linac dan dalam upaya meningkatkan keberhasilan radioterapi kanker, diperlukan ketelitian dalam pemberian dosis. Terlalu kecil dosis yang diberikan, sel-sel kanker tidak akan mati seluruhnya atau bahkan dapat merangsang terjadinya kanker baru pada jaringan sekitarnya. Sebaliknya, kelebihan dosis yang diberikan bisa mematikan jaringan sehat di sekitar kanker. Untuk itu, ICRU (International Commission on Radiation Unit and Measurement)(1) merekomendasikan bahwa ketelitian dosis yang diberikan pada target tumor adalah lebih kecil dari 5,0%. Lebih lanjut, Davis dan Faessler(2) telah merekomendasikan tingkat toleransi dosis yang diberikan sebesar 4,0%. Selama ini Instalasi Kalibrasi dan Standardisasi, PSPKR BATAN, telah melaksanakan pengecekan dosis radioterapi Co-60 dengan menggunakan dosimeter termoluminesensi (TLD). Belum lama ini audit dosimetri berkas sinar gamma

Co-60 telah dilaksanakan terhadap satu rumah sakit dan hasilnya cukup baik, dengan perbedaan maksimum tidak lebih dari 5% (2 SD)(3). Maksud kegiatan kali ini adalah untuk mengidentifikasi kemungkinan terjadinya perbedaan dosis lebih besar dari 4,0% untuk berkas foton pesawat akselerator medik. Kegiatan ini dilaksanakan terhadap jenis-jenis akselerator linier medik yang tersedia di Indonesia. PERALATAN DAN TATAKERJA Peralatan Berbagai peralatan yang digunakan dalam kegiatan ini meliputi sebagai berikut : 1) Detektor bilik pengion, berbentuk silinder, volume 0,6 ml. 2) Digital Farmer Dosimeter 2570A. 3) Fantom air standar IAEA, ukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm. 4) Sumber pengecek Sr-90. 5) Barometer. 6) Termometer. Tata Kerja 1) Uji Stabilitas Alat Ukur Radiasi Sebelum digunakan untuk pengukuran, sistim alat ukur

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

radiasi yang terdiri dari detektor dan Farmer Dosimeter selalu dicek stabilitas responnya dengan menggunakan sumber Sr-90. Detektor dimasukkan ke dalam sumber dan bacaan untuk waktu paparan 250 detik dicatat. Bacaan yang dikoreksi (Bc) terhadap suhu dan tekanan udara ruangan kemudian dibandingkan dengan bacaan acuan (Ba). Perbedaan antara bacaan alat saat itu dengan bacaan acuan tidak boleh lebih dari 1%. 2) Penentuan Koreksi Rekomendasi Ion Karena tidak semua ion yang terjadi dalam detektor dapat terkumpul ke elektroda(4) dan terbaca oleh Dosimeter, maka diperlukan koreksi rekombinasi ion. Faktor koreksi rekombinasi ion (Ps) ditentukan dengan metode dua-tegangan(5), yakni dengan mengukur banyaknya ionisasi Ql dan Q2 yang dikumpulkan oleh detektor yang diberi tegangan kerja V1 dan V2. Tegangan kerja V1 = 240 Volt dan V2 = V1/4. Detektor diletakkan di dalam fantom air pada kedalaman acuan (5 cm untuk foton 6-MW dan 10 cm untuk foton 10-MV) dan diberi radiasi 100 mu (monitor unit): Ps dihitung dengan rumus berikut(5) : Ps = 1,002 - 0,3632 (Q1/Q2) + 0,3413 (Q1/Q2)2 . . . . (1) 3) Penentuan Kualitas Berkas Radiasi Kualitas radiasi ditentukan dengan membandingkan laju ionisasi pada kedalaman 20 cm air (I20) dengan laju ionisasi pada kedalaman 10 cm air (I10) untuk jarak fokus ke permukaan fantom (FSD) 100 cm dan ukuran lapangan radiasi (FS) di permukaan fantom 10 cm x 10 cm(6). Fantom yang digunakan adalah fantom air standar IAEA. Nilai perbandingan I20/I20 akan digunakan untuk menentukan besarnya Sair,ud (nisbah daya henti air relatif terhadap udara) dan Pu (faktor koreksi perturbasi) dalam penentuan dosis serap. 4) Pengecekan Dosis Serap Pengecekan dosis serap acuan dilakukan pada kedalaman 5 cm air untuk berkas foton 6-MV dan 10 cm untuk berkas foton 10-MV. Jarak fokus ke permukaan fantom (FSD) adalah 100 cm dan ukuran lapangan radiasi (FS) di permukaan fantom diambil 10 cm x 10 cm. Pada saat kunjungan ke rumah sakit, fisikawan rumah sakit diminta untuk memberikan dosis serap acuan sebesar 200 cGy. Dosis serap acuan tersebut di atas dibandingkan dengan hasil pengukuran dengan alat ukur radiasi milik PSPKR yang ditentukan dengan rumus berikut(5) : Da = M . Nd . Sair , ud . Pu . Ps, . Prepl ..(2) dimana :
Da M Nd Sair , ud Pu Ps Prepl : dosis serap acuan (cGy) : bacaan dosimeter yang telah dikoreksi oleh suhu dan tekanan udara ruangan (skala divisi = SD) : faktor kalibrasi detektor, besarnya (0,8455 1,9%) cGy/SD : nisbah daya henti air terhadap udara, diambil dari Tabel XIII TRS No. 277(5) : faktor koreksi perturbasi, diambil dari Gambar 14 TRS No. 277(5) : faktor koreksi rekombinasi ion : faktor koreksi pergeseran titik efektif pengukuran, diambil dari Gambar 5. AAPM(7)

digunakan selama audit ini diperlihatkan pada Tabel 1. Di sini terlihat bahwa alat ukur selalu dalam keadaan stabil, karena nilai deviasi bacaan acuan dan bacaan pada saat itu tidak lebih dari 1,0%(8). Dengan demikian alat selalu siap digunakan untuk pengukuran.
Tabel 1. Hasil uji stabilitas alat ukur radiasi. Tanggal 12-07-1996 13-07-1996 06-09-1996 23-10-1996 24-10-1996 Deviasi = Bc Ba X 100% Ba Ba (s . d) 44,84 44,84 44,69 20,71 20,71 Bc (s . d) 44,56 0,1% 44,63 0,1% 44,68 0,2% 20,51 0,0% 20,54 0,1% Deviasi (%) - 0,6 - 0,4 - 0,1 - 0,9 - 0,8

Hasil pengukuran jumlah ionisasi yang terkumpul pada tegangan kerja V1 dan V2 ditunjukkan dengan Tabel 2. Nilai perbandingan Q1/Q2 kemudian digunakan untuk menentukan faktor rekombinasi ion (Ps) dengan menggunakan persamaan (1). Nilai-nilai Ps selama kegiatan audit ini ditampilkan pada Tabel 2 kolom 4.
Tabel 2. Nilai Ps yang ditentukan dengan metoda dua-tegangan Jenis Pesawat Mitsubishi EXL-22 Mitsubishi EXL-14 Clinac-18 Mevatron-67 Mevatron-74 Tegangan Kerja V1 V2 V1 V2 V1 V2 V1 V2 V1 V2 Jumlah Ionisasi Q1 = 99,2 s.d Q2 = 96,2 s.d Q1 = 92,2 s.d Q2 = 91,3 s.d Q1 = 85,1 s.d Q2 = 84,5 s.d Q1 = 88,6 s.d Q2 = 87,7 s.d Q1 = 77,8 s.d Q2 = 77,0 s.d Ps 1,0082 1,0032 1,0024 1,0036 1,0033

Hasil penentuan kualitas berkas radiasi foton yang dihasilkan oleh 5 (lima) jenis pesawat akselerator linier medik ditunjukkan pada Tabel 3. Kualitas radiasi (I20/I10) ini kemudian digunakan untuk menentukan nilai-nilai Sair , ud (nisbah daya henti air terhadap udara) dan Pu (faktor koreksi perturbasi).
Tabel 3. Nilai-nilai I20/I10, Sair , ud dan Pu Jenis Pesawat Mitsubishi EXL-22 Mitsubishi EXL-14 Clinac-18 Mevatron-67 Mevatron-74 Kualitas Berkas Potensial I20/I10 10-MV 6-MV 10-MV 6-MV 10-MV 0,638 0,586 0,621 0,585 0,635 Sair,ud 1,103 1,118 1,108 1,118 1,104 Pu 1,005 1,006 1,004 1,006 1,005

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penentuan uji stabilitas alat ukur radiasi yang

Bacaan rata-rata hash pengecekan dosis serap untuk lima jenis pesawat akselerator linier medik pada kedalaman acuan ditunjukkan pada Tabel 4. Nilai Prepl tergantung pada diameter detektor bilik pengion dan potensial akselerator linier(7). Dosis serap acuan (Da) ditentukan dengan persamaan (2). Da penge-

ermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

47

cekan dibandingkan dengan Da yang dinyatakan oleh fisika-

wan rumah sakit.

Tabel 4. Perbandingan antara dosis serap pengecekan dan dosis serap yang dinyatakan fisikawan rumah sakit. Jenis Pesawat Mitsubishi EXL-22 Mitsubishi EXL-14 Clinac-18 Mevatron-67 Mevatron-74 Kedalaman acuan (cm) 10 5 10 5 10 Bacaan ratarata (s.d) 210,8 208,0 234,2 204,4 210,5 0,2% 0,2% 0,2% 0,3% 0,3% Prepl 0,991 0,990 0,991 0,990 0,991 Da, pengecekan (cGy) 197,4 1,9% 197,2 1,9% 218,8 1,9% 195,0 1,9% 195,9 1,9% Da , oleh RS. (cGy) 200 200 200 200 200 Deviasi (%) 1,3 1,4 -8,6 2,5 2,1

Da , pengecekan - Da , oleh RS Deviasi = Da, pengecekan X 100%

Besarnya deviasi antara dosis pengecekan dengan dosis yang dinyatakan oleh fisikawan rumah sakit digunakan sebagai indikator kinerja dosimetri di rumah sakit. Hasil pengecekan dosis dibagi dalam 3 (tiga) kategori sesuai dengan besarnya deviasi, yakni : Dapat diterima : 4,0% Deviasi minor : 4,0 - 7,0% Deviasi major : 7,0% Kategori yang serupa juga telah digunakan oleh Davis dan Faessler(2). Dari Tabel 4, di sini dapat dilihat bahwa 4 (empat) berkas foton akselerator linier berada di dalam rentang batas yang dapat diterima, sedangkan satu berkas foton berada di luar deviasi major, yakni -8,6%. Hal ini terjadi karena rumah sakit yang bersangkutan tidak memiliki fisikawan medik dam pada waktu audit, irradiasi dilakukan oleh seorang radiografer. KESIMPULAN Kegiatan kendali mutu dosimetri berkas foton akselerator linier medik ini merupakan yang pertama kali dilakukan. Pelaksanaan pengecekan dosis di titik acuan cukup mudah dan cepat, namun staf PSPKR BATAN harus mengunjungi rumah sakit yang diaudit. Hasil pengecekan ini secara umum adalah

sangat baik, kecuali satu berkas linac. Pada waktu yang akan datang, kegiatan pengecekan semacam ini pada prinsipnya dapat dilanjutkan untuk seluruh tahap perhitungan dosis di rumah sakit, tidak hanya dosimetri di titik acuan.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada para staf radioterapi di RS. Kanker Dharmais (Jakarta), RS. Gatot Subroto (Jakarta), dan RS. Dr. Soetomo (Surabaya). KEPUSTAKAAN 1. 2. ICRU, Determination of absorbed dose in a patient irradiated by beams of X-or gamma ray in radiotherapy procedures. Report Number 24,1976. Davis B, Faessler P. Quality audit of megavoltage radio therapy units: intercomparison of dose at a reference point using a mailed TL-dosimetry system. Radiotherapy and Oncology 1993; 28. Sunaryati SI, Trijoko S. Audit dosimetri berkas sinar gamma Co-60 menggunakan detektor bilik pengion dan TLD. (akan diterbitkan). Johns HE, Cunningham JR. The Physics of Radiology, 4th ed. Illinois: Charles C. Thomas, 1985. IAEA. Absorbed dose determination in photon and electron beams. Technical Report Series (TRS) No. 277, 1987. NACP Procedures in external radiation therapy dosimetry with electron and photon beams with maximum energies between 1 and 50 MeV. Acta Radiol Oncol, 1980. AAPM. A protocol for the determination of absorbed dose from high-energy photon and electron beams. Med Physics 1983; 10(6). Manual 0.6 cc Robust Ionisation Chamber, Nuclear Enterprises Limited, Beenham Berkshire England, 1985.

3. 4. 5. 6.

7. 8.

Chance is but the pseudonym of God

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

Produk Baru

Zypraz
Pada pertengahan tahun 2002, PT. Kalbe Farma Tbk menghadirkan suatu produk baru untuk melengkapi kebutuhan dokter di kelas terapi TRANQUILIZER, dengan nama dagang Zypraz. Zypraz tablet mempunyai spesifikasi sebagai berikut : KOMPOSISI ZYPRAZ 0,25 mg mengandung Alprazolam 0,25 mg ZYPRAZ 0,50 mg mengandung Alprazolam 0,50 mg mg ZYPRAZ 1 mg mengandung Alprazolam 1 INDIKASI 1. Ansietas, termasuk neurosis ansietas dan ansietas yang menyertai depresi. 2. Gangguan panik, termasuk serangan panik pada agorafobia. DOSIS DAN CARA PEMAKAIAN Ansietas : 0,25 0,5 mg 3 kali sehari. Max 4 mg sehari dalam dosis terbagi. Gangguan panik : 0,5 1,0 mg diberikan pada malam hari atau 0,5 mg 3 kali sehari. Untuk pasien usia lanjut, debil dan gangguan fungsi hati berat : 0,25 mg 2-3 kali sehari. Jika perlu, dosis dapat ditingkatkan secara bertahap. EFEK SAMPING Yang umum terjadi adalah mengantuk. Yang lebih jarang adalah sakit kepala ringan, pandangan kabur, gangguan koordinasi, gangguan gastrointestinal, withdrawal syndrome. Yang sangat jarang adalah agitasi paradoksikal, konfusi. INTERAKSI OBAT Efek ditingkatkan oleh obat yang bekerja menekan fungsi susunan saraf pusat seperti alkohol dan barbiturat. Pemberian bersama nefazodone dapat meningkatkan konsentrasi alprazolam menjadi 2 kali lipat. Pemberian bersama cimetidine dapat menurunkan bersihan kreatinin dan meningkatkan waktu paruh plasma. PERINGATAN DAN PERHATIAN Selama menggunakan obat ini dilarang mengendarai kendaraan bermotor atau mengoperasikan mesin. Hati-hati bila diberikan pada wanita hamil dan menyusui, gangguan fungsi ginjal dan hati, riwayat penyalahgunaan obat atau alkohol, penderita kelainan kepribadian yang nyata. Keamanan penggunaan pada anak-anak dibawah 18 tahun belum diketahui dengan pasti. KEMASAN DAN HARGA (HNA/BOX) Zypraz 0,25 mg, Dus berisi 5 strip @ 10 tablet, Rp. 30.000,Zypraz 0,5 mg, Dus berisi 5 strip @ 10 tablet, Rp. 42.500,Zypraz 1 mg, Dus berisi 5 strip @ 10 tablet, Rp. 70.000,Untuk keterangan lebih lanjut mengenai Zypraz, Medical Representative kami akan menghubungi Dokter dan Bapak/Ibu pimpinan Apotik.

The Scientific Pursuit of Health for a Better Life PT. KALBE FARMA, Tbk Gedung Enseval Jl. Letejen Suprapto, Jakarta 10510 PO Box 3105 JAK, Jakarta-Indonesia Telp. (021) 428 73888-89; Fax. (021) 428 73680 http://www.kalbe.co.id Hotline Services (bebas pulsa) : 0-800-123-0-123 Senin Jumat (pk. 07.00 15.30 WIB) Distributor : PT. ENSEVAL PUTRA MEGATRADING Jl. Pulo Lentut 10 Kawasan Industri Pulo Gadung Jakarta 13920 INDONESIA Tlp. (021) 46822422; Fax. (021) 46822471

Blame is the lazy mans wages


Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003 49

Kapsul
PERHATIAN UNTUK RISIKO ARITMI VENTRIKEL
Kematian tiba-tiba yang dikaitkan dengan penggunaan antipsikotik telah dilaporkan sejak awal 1960; akhirakhir ini diduga disebabkan oleh torsade-de-pointes aritmi ventrikel polimorfik yang dapat berlanjut menjadi fibrilasi ventrikel dan kematian. Risiko torsade-de-pointes dapat dinilai melalui pemanjangan interval QTc : yaitu interval QTc > 500 msec atau pemanjangan > 60 msec dari data awal. Beberapa obat lain yang ditarik dan dibatasi penggunaannya akibat risiko ini antara lain astemizol, terfenadin, cisaprid den droperidol. Berikut daftar obat yang dikaitkan dengan risiko pemanjangan QTc :
Daftar Obat yang Dikaitkan dengan Risiko Pemanjangan QTc Calcium antagonists Antiarrhythmic drugs Class 1a Disopyramide Procainamide Quinidine Class 3 Amiodarone Bretylium Dofetilide Sotalol Astemizole (withdrawn in the UK) Terfenadine (withdrawn in the USA) Fluoroquinolone antibiotics Grepafloxacin Levofloxacin Sparfloxacin Macrolide antibiotics Clarithromycin Erythromycin Imidazoline antifungals Ketoconazole Antimalarials Chloroquine Halofantrine Quinine Miscellaneous antimicrobials Cotrimoxazole Pentamidine Spiramycin Miscellaneous nonpsychotropic drugs Tricyclic and related antidepressant drugs Prenylamine (withdrawn in the UK) Terodiline (withdrawn in the UK) Cisapride (withdrawn in the UK) Probucol Amitriptyline Clomipramine Desipramine Doxepin Imipramine Maprotiline Nortriptyline Chlorpromazine Droperidol (withdrawn in the UK) Fluphenazine Haloperidol Mesoridazine Pimozide Sulpiride Thioridazine Trifluoperazine Sertindole (voluntarily suspended in Europe) Ziprasidone Chloral hydrate Lithium

Antihistamines Antimicrobial agents

Typical drugs

antipsychotic

Atypical antipsychotic drugs Miscellaneous psychotropic drugs

Brw
Drugs 2002; 62 (11) : 1649-71

Grace is to the body what good sense is to the mind

(Le Rochefoucauld)

Cermin Dunia Kedokteran No. 137, 2002

50

INTERNET UNTUK DOKTER


Pemanfaatan E-mail: Mailing List
Ada beberapa hal yang membuat teman sejawat hanya bisa menggunakan electronic mail (e-mail). Diantaranya dari sisi kepraktisan dan aturan kantor. Pada awalnya memang jaringan internet itu hanya berupa komunikasi via e-lectronic mail. Kemudian berkembang menjadi pemuatan informasi yang bisa diakses 24 jam. Begitu pula dengan kantor-kantor yang ada saat ini. Banyak pegawai kantor/rumah sakit/klinik yang hanya membolehkan para karyawannya menggunakan e-mail alias akses untuk surfing ditutup. E-mail juga lebih praktis dipergunakan bilamana infrastruktur di daerah kita belum mendukung alias aksesnya masih sangat lambat. Tetapi jangan kecewa, banyak hal yang bisa dilakukan dengan e-mail tersebut. Mailing List Suatu waktu mungkin kita ingin berkomunikasi dengan banyak orang. Maka yang kita lakukan adalah mengirim mail ke satu orang dengan cc (carbon copy) ke beberapa teman kita yang lain. Begitu pula dengan teman kita, jika membalas (reply) mail kita tersebut. Jika ia menginginkan komunikasi tidak hanya dua pihak, maka ia akan menekan tombol Reply All. Server Mailing List Dengan mempergunakan server mailing list, kita hanya perlu mengirim ke satu alamat, dan e-mail kita diterima oleh banyak orang. Begitu seterusnya (lihat gambar). untuk Seminar, menampilkan hasil-hasil seminar terkini Member Mailing List

Server Mailing List

Dr. A

Dr. B

Dr. C

Gambar di atas menunjukkan bahwa si Pengirim hanya perlu mengirim ke satu alamat saja yaitu alamat yang dipergunakan untuk diskusi. Biasanya nama yang terdapat dalam Subject setiap mail. Beberapa Mailing List Berikut disampaikan beberapa mailing list kedokteran yang berbahasa Indonesia. Mailing List Dokter Indonesia (MLDI) Cara daftar/subscribe adalah dengan mengirim mail kosong ke: dokter-subscribe@itb.ac.id. Untuk berhenti berlangganan, maka bisa mengirim mail ke dokterunsubscribe@itb.ac.id. Untuk berdiskusi, kirim mail ke dokter@itb.ac.id. 2. Mailing List Politik Kesehatan Subscribe: politik-kesehatan-subscribe@yahoogroups.com Unsub. : politik-kesehatan-unsubscribe@yahoogroups.com Tak terima mail: politik-kesehatan-nomail@yahoogroups.com Terima mail: politik-kesehatan-normal@yahoogroups.com 1.

Pengirim

Dr. D

Dari gambar di atas terlihat, bahwa D akan mengirim mail ke A, B, dan C secara bersamaan dan berkali-kali (meskipun aktifitas yang terakhir ini tidak terdeteksi oleh kita).

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

51

Kegiatan Ilmiah
Laporan lengkap dari simposium di bawah ini, bisa diakses di http://www.kalbe.co.id >> News/Articles >> Seminar. Pada topik yang diberi tanda Breaking News, berarti peserta simposium bisa memperoleh berita dalam bentuk cetak (print) bersamaan dengan acara di Stand Kalbe Farma, dan bisa langsung diakses pada homepage Kalbe Farma. PIT I Masyarakat Paliatif Indonesia, RS Kanker Dharmais, 29 31 Agustus 2002 Sebagian besar penyakit kanker, sukar untuk disembuhkan. Karenanya bagi pengidap kanker, masalah nyeri adalah hal yang lumrah. Begitu anggapan orang. Padahal meskipun tidak bisa disembuhkan namun usaha mengurangi rasa nyeri yang timbul, bisa meningkatkan kualitas hidup dan mati dari pasien kanker. Artinya dalam menjalani sisa hidupnya, pasien bisa lebih tidak menderita, begitu juga dalam proses kematiannya. Demikian dr Asrul Harsal SpPD KHOM memberi penjelasan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan I Masyarakat Paliatif Indonesia. Kongres Internasional XII Psikiatri, Yokohama Jepang, 23 -29 Agustus 2002 Partnership for mental health, adalah tema utama kongres internasional XII World Congress of Psychiatry atau Kongres Sedunia ke XII ahli-ahli kesehatan jiwa, yang diadakan sejak tanggal 23 hingga 29 Agustus 2002 di Pacifico Yokohama Conference Center, Yokohama, Jepang. Pertemuan yang dihadiri oleh sekitar 3200 dokter dari berbagai negara di dunia ini dibuka secara resmi oleh Crown Prince Houhito dan Crown Princess Masako. PIT I PERDOSRI 2002 Hotel Millenium Jakarta, 5 - 7 September 2002 Sejak tahun 1990 telah dikembangkan teknik injeksi pada persendian dan jaringan lunak yang baru. Dengan demikian peran physiatrist menjadi lebih menonjol dalam pengembangan teknik injeksi untuk diagnosa dan tatalaksana sindroma nyeri spinal, disfungsi sendi perifer dan abnormalitas jaringan lunak. Demikian pengantar dari physiatrist (dokter ahli fisik dan rehabilitasi medik) Angela BM Tulaar membuka acara Pertemuan Ilmiah Tahunan Pertama Perhimpunan Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik Indonesia yang berlangsung sejak tanggal 5 hingga 7 September 2002 di Hotel Millennium Sirih Tanah Abang, Jakarta Pusat. Kapita Selekta 2 ILUNI FK DWIKORA'64, Hotel Borobudur, 6 8 September 2002 Kegiatan Kapita Selekta ini diselenggarakan oleh ILUNI FK DWIKORA 64 dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahunnya yang ke-38 di Hotel Borobudur, 6 - 8 September 2002. Seminar dihadiri sekitar 400 peserta, meliputi seminar untuk awam dengan topik Mendapatkan Hasil yang Maksimal dari Bedah Sedot Lemak Pengisian dengan Autologous Lipo Augemntation, Manfaat Akupuntur dalam Kegemukan pada tanggal 6 September 2002, dan seminar untuk dokter tanggal 7 - 8 September 2002 dengan topik Infeksi Saluran Nafas Atas, Bronkhopnemonia, Kejang Demam pada Anak, Imunisasi Anak, Leptospirosis, Hipertensi dan Kehamilan, Sunatan pada Anak dengan Hemofilia, dan lain-lain. PIN Gastroentero-Hepatologi, Banjarmasin, 6 - 8 September 2002 Pertemuan Ilmiah Nasional Gastroentero-Hepatologi diadakan bersamaan dengan Konferensi Kerja Nasional (Konkernas) PGI PEGI XI - PPHI XII. Acara yang diselenggarakan di Hotel Arum, Banjarmasin berlangsung selama 3 hari, sejak tanggal 6 hingga 8 September 2002, dihadiri oleh kurang lebih 400 peserta dari seluruh Indonesia. Sebanyak 15 perusahaan farmasi turut menyemarakan dengan stand-stand memamerkan produk-produk unggulannya di bidang Gastroentero-Hepatologi. Topik-topik yang dibahas antara lain: Perdarahan Saluran Cerna, Infeksi H. pylori, Refluks GastroEsofageal (GERD) dan Hepatitis. PIT II Farmakologi & Terapi, Hotel Millennium Jakarta, 13-14 September 2002 Pengobatan diabetik melitus, tidak bisa disamakan dengan pengobatan ala pakai seperti yang sering kita lihat di restoran-restoran waralaba, demikan dikatakan Guru Besar Farmakologi FKUI, Iwan Darmansjah saat menjawab pertanyaan peserta dalam acara Petemuan Ilmiah Tahunan (PIT) kedua Farmakologi & Terapi. Dengan tema Consideration in Drug Usage, acara yang berlangsung sejak tanggal 13 hingga 14 September 2002 tersebut, menghadirkan sekitar duapuluhan pembicara yang tidak hanya berasal dari bidang Farmakologi dan Terapi, namun juga bidang-bidang lain seperti: Bedah Tulang, Bedah Urologi, Geriatri, Konsultan Endokrin, Jantung & Pembuluh Darah, dan lain-lain. Simposium Terintegrasi Masalah Sirkulasi, Hotel Sahid, 28-29 September 2002. (Breaking News) Kemajuan teknologi bidang kedokteran disamping bisa meningkatkan kesehatan umat manusia, namun cenderung menjadikan orang sakit/pasien sebagai suatu objek yang terkotak-kotak. Bukan tak mungkin terjadi, pasien yang dirawat bersama menerima pengobatan yang tumpang tindih (overlap). Hal inilah yang menjadi kepedulian para dokter dari pelbagai disiplin ilmu untuk berdiskusi bersama, saling membagi ilmu didasarkan pada kemajuan bidang teknologi yang telah dicapai. 14th Weekend Course on Cardiology, Jakarta, 3 - 5 Oktober 2002.
(Breaking News)

Kursus akhir minggu mengenai penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan acara tertua dan rutin dilaksanakan dalam lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Demikian pidato Dekan FKUI, yang dalam hal ini diwakili Menaldi Rasmin, pada acara pembukaan 14th Weekend Course on Cardiology di Hotel Hilton Jakarta, hari ini (3 Oktober 2002). Seperti biasanya, stand Kalbe Farma menyediakan berita terkini dalam simposium ini melalui website Kalbe Farma yang bisa diakses via http://www.kalbe.co.id pada kolom Doctor News. KONAS II Skizofrenia, Hotel Sahid - Jakarta, 7 - 9 Oktober 2002.
(Breaking News)

Satu dari lima penduduk Indonesia mengalami kelainan jiwa. Demikian dikatakan Menteri Kesehatan yang diwakili Prof Dr Azrul Azwar saat membuka Konferensi Nasional II Skizofrenia di Hotel Sahid Jaya Jakarta, hari ini, Senin 7 Oktober 2002. Konferensi yang

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

akan diadakan selama tiga hari. Dengan tema Integrating Schizophrenia, konferensi II Skizofrenia tahun 2002 ini tidak hanya membahas masalah klinik penderita Skizofrenia namun juga memperhatikan masalah sosial dan kemasyarakatan.

Simposium Permasalahan Klinis Penatalaksanaan Tuberkulosis, RS Persahabatan, 16 Oktober 2002 Hasil Radiologik yang memberi gambaran positif tb, belum berarti seseorang mengidap Tuberkulosa Paru. Diagnosa pasti penderita tuberkulosa adalah dengan ditemukan / kultur kuman tb yang positif. Demikian kesimpulan dari Simposium yang digelar di RS Persahabatan, kemarin (16/10), dengan judul Permasalahan Klinis Penatalaksanaan Tuberkolosis. Pada Simposium ini, diluncurkan sebuah buku karya dr Tjandra Yoga Aditama, berjudul Tuberkulosis: Diagnosis, Terapi & Masalahnya edisi IV.

Simposium Penatalaksanaan Holistik Hepatitis, Grand Hyatt Jakarta, 19 Oktober 2002 Dalam rangka Pekan Peduli Hepatitis 2002, Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, bekerjasama dengan Kalbe Farma, GSK Indonesia, Dexa Medica dan Bio Life menyelenggarakan Simposium untuk dokter umum yang diberi judul Penatalaksanaan Holistik Hepatitis. Simposium yang diadakan pada tanggal 19 Oktober 2002 itu mengambil tempat di Hotel Grand Hyatt Jakarta. Dalam simposium tersebut turut juga dipresentasi penelitian mengenai obat (fitofarmaka) kombinasi dari sylimarin, curcuma complex dan echinacea (Hepasil). Symposium on Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine 2002, Hotel Borobudur 26 - 27 Oktober 2002 Kanker saat ini bukan lagi merupakan masalah salah satu disiplin ilmu kedokteran (bedah) saja. Saat ini penanganan kanker bisa juga secara bersama-sama- didekati dari bidang Interna (onkologi medik), bidang rehabilitasi medik, radiologik, dan patologi baik klinik maupun anatomi. Demikian pengantar yang disampaikan pada Simposium yang berlangsung dua hari. Setiap tahun, bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI khususnya Panitia Pendidikan Berkesinambungan mengadakan acara yang membahas topik-topik yang bisa menjadi pedoman praktis bagi para dokter baik dokter umum, dokter internist, maupun spesialis terkait lainnya. Simposium Ilmiah Keberhasilan Terapi dan Kenyamanan Pasien Kanker, RS Kanker Dharmais, 2 - 3 November 2002 Dahulu diagnosa kanker sering diidentikkan dengan kematian. Saat ini tidak lagi. Dengan kemajuan teknologi pengobatan saat ini, makin banyak kanker yang bisa disembuhkan, apalagi jika diketahui dan diobati pada permulaan penyakit (deteksi dini). Jikapun sudah terlanjur tidak bisa diobati lagi, saat ini banyak metode pengobatan (paliatif) yang bisa memperbaiki kualitas hidup dan mati pasien. Artinya pasien bisa menjalani sisa hidupnya tanpa diikuti rasa sakit yang berlebihan dan mati dengan sewajarnya. Selama 2 hari, sejak tanggal 2 hingga 3 November yang lalu, para ahli dari pelbagai disiplin ilmu berkumpul saling tukar menukar ilmu dan pendapat dalam acara yang diselenggarakan guna memperingati HUT RS Kanker Dharmais yang ke sembilan. Simposium Trombosis Vena dan Trombosis pada Tempat Khusus, Jakarta 3 November 2002 Trombosis vena kurang dikenal dibandingkan trombosis arteri, padahal trombosis vena dapat mengakibatkan komplikasi yang berat seperti emboli paru. Dalam simposium ini, dibahas mengenai trombosis vena dan trombosis pada tempat khusus seperti trombosis pada mata, telinga dan trombosis pada wanita. Beberapa pakar yang turut menyumbangkan ilmunya adalah Prof. DR. Dr. Karmel Tambunan, SpPD, KHOM, Dr.Rahayuningsih D. Setiabudi, Sp.PK, DSC, Dr. Priyo Sidipratomo, Sp. Rad, dan Dr. Enud Suryana, SpOG. Simposium Obesitas, Jakarta 16 November 2002 Menurut Survei Kesehatan Nasional, angka orang gemuk di Indonesia menunjukkan peningkatan. Pada tahun 1989 diperoleh angka 4,6% lelaki dan 5,9% perempuan, dan pada tahun 1992, diperoleh angka 6,3% lelaki dan 8% untuk perempuan. Selain katanya menunjukkan kemakmuran, orang gemuk (obesitas) juga berisiko mengidap penyakit kardiovaskular, diabetes melitus tipe 2, hipertensi, stroke, osteoartritis, gangguan pernapasan (sleep apneu), dan lain-lain. Hal-hal ini yang didiskusikan dalam Simposium Obesitas di Jakarta, Sabtu, 16 November 2002. Simposium ini merupakan acara ilmiah pertama yang diadakan oleh Perhimpunan Studi Obesitas Indonesia atau Indonesian Society for the Study of Obesity, kepengurusan yang baru, yang disampaikan oleh Prof. Dr. dr. Askandar Tjokroprawiro, SpPD, KE.

KONAS VIII & PIT 2002 PERNEFRI, Surabaya, 17 - 20 Oktober 2002 Selain penyakit tekanan darah tinggi (hipertensi), penyakit kencing manis atau diabetes mellitus tipe 2 juga menjadi pemicu terbesar terjadinya penyakit gagal ginjal. Bahkan boleh dibilang 50 persen pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis (cuci darah) adalah mereka yang menderita penyakit diabetes mellitus, kata Prof Dr dr Askandar Tjokroprawiro SpPD-KE dihadapan peserta Annual Meeting 2002 Perhimpunan Nefrologi Indonesia di Hotel Shangri-La, Surabaya, Jumat (18/10) lalu.

European Society for Medical Oncology Congress, Nice, 18 - 22 Oktober 2002 Kongres Medical Oncology Masyarakat Eropah (ESMO) berlangsung di Acropolis Nice Convention Center, Perancis. Acara tersebut diikuti oleh sekitar 6.000 peserta dari pelbagai negara di dunia termasuk dari Indonesia. Wakil dari Kalbe Farma, melaporkan acara tersebut langsung dari Perancis. Tampak dalam foto di bawah kontingen Indonesia berpose bersama-sama.

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

53

ABSTRAK
PENGOBATAN COMMUNITYACQUIRED PNEUMONIA CAP merupakan kasus yang sering terjadi dalam masyarakat, yang disebabkan terutama oleh Streptococcus pneumoniae. Pengobatan yang direkomendasikan pada saat ini ialah: Amoksisilin 3 dd 500 mg/l g. per oral atau eritromisin 4 dd 350 mg. per oral untuk kasus sederhana dan amoksisilin/klavulanat 3 dd 625 mg. per oral atau 2 dd 250-500 mg. klaritromisin per oral untuk kasus dengan ko morbiditas. Untuk kasus di rumah sakit dianjurkan menggunakan amoksisilin 3 dd 500 mg./l g. per oral atau ampisilin 4 dd 500 mg. iv, atau 4 dd 1,2 g. penisilin G iv, atau eritromisin 4 dd 250-500 mg. per oral/iv. Sedangkan bila ada ko morbiditas digunakan amoksisilin/klavulanat 3 dd 625 mg. per oral atau 3 dd 1,2 g. iv. dengan alternatif klaritromisin 250-500 mg. 2 dd per oral, atau sparfloksasin 200-400 mg. sekali sehari per oral, atau sefuroksim 3 dd 750 mg. iv. Untuk kasus rumah sakit yang berat/di ICU tanpa ko morbiditas digunakan amoksisilin/klavulanat 3 dd 1,2 g. iv + eritromisin 4 dd 0,5-1 g. iv atau klaritromisin 2 dd 500 mg iv.; dapat ditambah dengan rifampisin 2 dd 600 mg. per oral/iv. Alternatif lain ialah sefuroksim 3 dd 1,5 g. iv + eritromisin 4 dd 0,5-1 g. iv/klaritromisin 2 dd 500 mg. iv.; dapat ditambah dengan rifampisin 2 dd 600 mg. oral/iv. Bila ada ko morbiditas, digunakan sefotaksim 3 dd 1 g. iv, atau seftriakson 2 g. iv + eritromisin 4 dd 0,5-1 g. iv/klaritromisin 2 dd 0,5 g. iv. dapat ditambah dengan rifampisin 2 dd 600 oral/iv. Alternatifnya ialah imipenem/ meropenem 3 dd 0,5 g. iv + eritromisin 4 dd 0,5-1 g. iv/klaritromisin 2 dd 0,5 g. iv rifampisin 2 dd 600 mg.
Drugs 1998; 55(1): 39 Hk

NAUD Vasokonstriksi ujung-ujung jari seperti yang terjadi pada penyakit Raynaud dapat diatasi dengan penggunaan gel topikal yang mengandung oksida nitrit. Duapuluh pasien penyakit Raynaud mengikuti percobaan menggunakan gel 5% Na-nitrit dalam KL jelly yang dicampur dengan larutan campuran KL jelly + 5% asam askorbat; 0,5 ml dari masing-masing larutan tersebut dioleskan di permukaan kulit, lalu dicampur menggunakan lidi kapas; efeknya dibandingkan dengan penggunaan gel plasebo. Ternyata aplikasi gel nitrit meningkatkan mikrosirkulasi ujung-ujung jari, baik di kalangan penderita Raynaud maupun di kalangan kontrol yang sehat.
Lancet 1999; 354: 1670-75 Brw

BMJ 2001; 323: 13-6 Brw

KANABIS UNTUK NYERI ? Cannabinoid-zat aktif yang terdapat dalam cannabis/ganja-telah lama diduga bisa mengatasi rasa nyeri. Tinjauan sistematik dilakukan atas 9 percobaan acak terkontrol yang melibatkan 222 pasien; 5 percobaan berkaitan dengan nyeri kanker, 2 berkaitan dengan nyeri khronik bukan kanker, 2 lainnya berkaitan dengan nyeri akut pasca bedah. Zat yang digunakan pada percobaan di atas ialah 5-10 mg. tablet THC, atau 4 mg. THC suntikan sintetik oral (NIB) atau 2-4 mg. benzopiranopiridin oral, atau injeksi levonantradol 1 - 3 mg; tidak ada percobaan yang menggunakan cannabis dengan cara diisap (seperti rokok) seperti yang umum dilakukan oleh para penyalahguna. Dari percobaan-percobaan di atas tidak ada satupun yang terbukti lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan 60-120 mg. kodein. Penggunaan cannabis menyebabkan efek samping depresi susunan saraf pusat.

RISIKO TRANSMISI HIV Telah dilakukan penelitian atas 174 pasangan monogami yang salah satunya HIV(+) di Uganda, untuk memperkirakan risiko penularannya. Rata-rata mereka melakukan hubungan seksual 8,8 kali/bulan; risiko penularan HIV-1 pada tiap kali melakukan hubungan seksual ialah sebesar 0,0011 (95%CI : 0,0008 0,0015). Kemungkinan transmisi virus tersebut meningkat dari 0,0001 per kali jika kadar virusnya kurang dari 1700 copies/ml, menjadi 0,0023 per kali jika kadar virusnya 38500 copies/ml. atau lebih (p=0,002). Jika terdapat luka di genital, risikonya meningkat dari 0,0011 menjadi 0,0041 per kali (p=0,002). Risiko transmisi ini tidak dipengaruhi oleh jenis subtipe HIV, jenis kelamin, adanya STD (sexually transmitted diseases), gejala sekret vagina ataupun disuri pada partner yang HIV positif.
Lancet 2001; 357: 1149-53 Brw

ENDARTEREKTOMI UNTUK MENCEGAH STROKE Analisis lanjutan atas data NASCET menunjukkan bahwa tindakan endarterektomi karotis terutama bermanfaat untuk orang-orang berusia lanjut. Di kalangan pasien dengan 70-99% stenosis, pengurangan risiko stroke ipsilateral setelah endarterektomi adalah sebesar 28,9% (95%CI: 12,944,9) untuk usia 75 tahun ke atas (n=71), 15,1% (7,2-23,0) untuk usia 65-74 tahun (n-285) dan 9,7% (1,517,9) untuk usia kurang dari 64 tahun (n-303). Sedangkan di kalangan pasien dengan stenosis 50-69%, pengurangan risiko hanya bermakna di kalangan

NITRIT UNTUK PENYAKIT RAY-

54 Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

ABSTRAK
usia 75 tahun ke atas (n-145, 17,3%, 95%CI: 6,6-28,0). Risiko morbiditas dan mortalitas operasi secara keseluruhan ialah sebesar 5,2% di kalangan usia tertua, 5,55% di kalangan usia 65-74 tahun dan 7,9% untuk kalangan usia 64 tahun ke bawah.
Lancet 2001; 357: 1154-60 Brw

PREDIKSI AIDS Penelitian prospektif atas 139 pasien menunjukkan bahwa peningkatan HIV-RNA di cairan otak dapat memprediksi perburukan neuropsikologik pada pasien-pasien HIV positif. Penelitian atas fungsi neuropsikologik, neurologik dan laboratorik dilakukan pada awal percobaan dan 6 bulan kemudian; ternyata kadar HIVRNA cairan otak 200 copies/ml berkaitan dengan perburukan neuropsikologik setelah 6 bulan.
Acrh. Neurol. 2002; 59 : 923-8.

ibuprofen sebesar 1,15 (1,02 1,28) dan obat lain sebesar 1,02 (0,92 1,16). Selain itu rate-ratio untuk pengguna selama lebih dari 60 hari sebesar 1.05 (0,91 1,21), jika ibuprofen di-bandingkan dengan naproxen, rate rationya sebesar 0,83 (0,69 0,98). Dari hasil tersebut, para peneliti menyimpulkan bahwa naproxen dan antiinflamasi nonsteroid nonaspirin lainnya tidak mempunyai efek kardioprotektif.
Lancet 2002; 359 : 118-23 Brw

EFEK ANTIINFLAMASI TERHADAP RISIKO PJK Obat-obat antiinflamasi non aspirin non steroid dapat mempengaruhi kejadian penyakit jantung koroner; untuk mengetahui lebih lanjut hal tersebut, data Tennessee Medicaid Program antara Jan 1, 1987 sampai dengan Des 31, 1998 diteliti; kelompok pengguna obat tersebut (n=18; 441) dibandingkan dengan kelompok bukan pengguna selama follow up tercatat 6362 kejadian serangan penyakit jantung koroner serius angka ini sesuai dengan kejadian 11,9 per 1000 personyears. Rate-ratio sebesar 1.05 (95%CI: 0,97 1,14) di kalangan pengguna dan 1,02 (0,97 1,08) di kalangan yang pernah menggunakan obat tersebut. Rate-ratio untuk pengguna naproxen sebesar 0.95 (0,82 1,09),

GALANTAMIN UNTUK DEMENSIA Obat-obat untuk mengatasi demensia masih terus diteliti, salah satunya ialah galantamin; obat ini dicobakan di kalangan demensia vaskuler: 396 pasien diberi galantamin 24 mg/hari dan 196 lainnya diberi plasebo selama 6 bulan secara butaganda. Setelah 6 bulan, galantamin secara bermakna memperbaiki ADAS-Cog (-1,7; SE 0,4) dibandingkan dengan pengguna plasebo (+1.0; SE 0.5) dengan efek terapi sebesar 2,7 points (p 0.0001). Penilaian dengan CIBIC plus juga berbeda bermakna (213 74% vs. 95 39%) dengan tetap stabil atau membaik (p=0,001). Selain itu aktivitas sehari-hari dan gejala tingkah laku juga membaik (p=0,002 dan p=0,016). Tidak ada efek samping yang bermakna selama percobaan berlangsung.
Lancet 2002; 359 : 1283-90 Brw

fibrinolisis dini (prehospital) dalam 6 jam setelah serangan. Semua (840) pasien mendapat 5000 U heparin iv bolus dan 250-500 mg. aspirin oral/iv, setelah itu 419 pasien mendapat terapi fibrinolisis segera (prehospital) berupa 15 mg. alteplase disusul dengan 0,75 mg./kg.bb (max. 50 mg.) dalam 30 menit, kemudian 0,5 mg/kg.bb (max. 35 mg.) dalam 60 menit berikutnya dengan dosis maksimum 100 mg.; sedangkan 421 lainnya langsung menjalani angiografi, disusul angioplasti jika ada indikasi. Selang waktu antara kejadian dan tindakan adalah 130 menit di kalangan fibrinolisis dan 190 menit di kalangan angioplasti; 26% kelompok fibrinolisis akhirnya memerlukan angioplasti. Kematian atau reinfark atau stroke dalam 30 hari terjadi pada 34 (8,2%) pasien fibrinolisis dan pada 26 (6,2%) pasien angioplasti (RR 1,96; 95%CI 1,53 +5,46). Kematian terjadi pada 6 (3,8%) pasien fibrinolisis dan pada 20 (4,8%) pasien angioplasti (p=0,61). Ternyata angioplasti dini tidak lebih baik daripada fibrinolisis dini (prehospital).
Lancet 2002; 360: 825-9 Brw

ANGIOPLASTI VS. FIBRINOLISIS Studi atas 840 pasien infark miokard akut dengan ST elevation menunjukkan bahwa angioplasti dini tidak lebih unggul daripada pemberian obat

KONSULTASI PSIKOLOGIK Meta analisis dilakukan untuk menilai efektivitas konsultasi psikologik terhadap pasien pasca trauma psikologik; didapatkan 7 penelitian yang memenuhi syarat dengan berbagai penyebab trauma: luka bakar, kecelakaan lalu lintas, abortus, kejahatan, peperangan dan lain-lain. Konsultasi dilakukan satu kali dengan metode Mitchell. Ternyata intervensi tersebut secara statistik tidak bermanfaat, tidak memperbaiki gejala stres.
Lancet 2002; 360: 766-71 Brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 2002

55

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran


Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1. Tekanan oksigen inspirasi akan turun sampai 50% pada ketinggian : a) 10.000 m b) 8.000 m c) 5.000 m d) 3.000 m e) 2.000 m Acute mountain sickness umumnya terjadi pada ketinggian di atas : a) 10.000 m b) 8.000 m c) 5.000 m d) 3.000 m e) 2.000 m Gejala acute mountain sickness adalah sebagai berikut, kecuali : a) Kebingungan b) Nyeri kepala c) Sesak napas d) Muntah e) Insomnia Penyebab kematian akibat ketinggian yang tersering ialah : a) Kedinginan (hipotermi) b) Hipotensi c) Kelelahan d) Edema paru e) Bradikardi Udara disebut tidak sehat jika mengandung ozon lebih dari: a) 65 ppb b) 125 ppb c) 205 ppb d) 400 ppb e) 500 ppb Pajanan ozon khronik dapat menimbulkan/menyebabkan hal berikut, kecuali : a) Bronkiolisasi b) Fibrosis c) Emfisema d) Tumor e) Tuberkulosis 7. Inhalasi NO2 dapat menyebabkan hal berikut, kecuali : a) Sesak napas b) Edema paru c) Asfiksi d) Eksaserbasi asma e) Kanker paru 8. Silo fillers disease merupakan penyakit paru akibat pajanan : a) CO b) NO2 c) Ozon d) CO2 e) SO2 9. Partikel dapat mencapai alveoli jika diameternya kurang dari : a) 20 u b) 15 u c) 10 u d) 5u e) 1u 10. Kerusakan protein sel akibat pajanan radiasi UV terutama disebabkan oleh kerusakan : a) Triptofan b) Tirosin c) Sistein d) Glutamat e) Histidin 6.

2.

3.

4.

5.

JAWABAN RPPIK : 1. 6. C E 2. 7. D E 3. 8. A B 4. 9. D D 5. 10. B C

56

Cermin Dunia Kedokteran No. 138, 2003

Anda mungkin juga menyukai