Anda di halaman 1dari 2

DI/TII SEBUAH PEMBERONTAKAN Penandatanganan Perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948 sebagai salah s atu upaya untuk

mengakhiri pertikaian Indonesia Belanda, ternyata telah menimbul kan dampak baru terhadap fase perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan p roklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Soekarno Hatta. Penandatangan per janjian tersebut tidak saja mempunyai akibat di bidang politik, melainkan juga b erpengaruh di bidang militer Negara RI, sebagai konsekwensi logis dari hasil kri stalisasi nilai-nilai pertemuan antara pihak-pihak yang mengadakan perundingan. KOndisi ini dijelaskan oleh Disjarahad (1982) bahwa di dalam bidang politik peme rintahan RI dapat kita lihat dengan jelas. Daerah RI sesuai dengan keputusan Lin ggajati hanya meliputi pulau Jawa, Sumatra dan Madura semakin dipersempit, lebih -lebih lagi beberapa kota besar dari ketiga pulau tersebut di atas diduduki Bela nda. Sedangkan dalam bidang militer, pasukan-pasukan RI harus mundur dari kantong-kan tong perjuangan menuju wilayah yang masih dikuasai republic. Hal ini senada deng an pernyataan Kahin (1995) bahwa pasukan-pasukan terbaik republik harus meningga lkan banyak kantong gerilya yang mereka duduki di balik garis Van Mook dan pinda h ke wlayah yang masih dikuasi oleh republic. Menurut perjanjian Renville, daerah Jawa Barat dala hal ini adalah daerah yang t erletak di luar wilayah RI. Hijrahnya pasukan Siliwangi dari wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda menuju wilayah Jawa Tengah yang dikuasai RI, telah menimbu lkan adanya suatu kekosongan pemerintahan RI di Jawa Barat. Kondisi inilah yang kemudian dijadikan sebuah kesempatan oleh apa yang dinamakan Gerakan DI/TII untu k mendirikan Negara Islam Indonesia. Sehubungan dengan hal ini, Anne Marie The (1964) menyatakan bahwa masa vacuum (k ekosongan) pemerintah RI di Jawa Barat tidak disia-siakan oleh Kartosuwirjo untu k menjadikan idenya suatu kenyataan. Sedangkan Kahin menyatakan bahwa akhirnya d i Jawa Barat, di daerah yang terletak di luar wilayah menurut ketentuan Perjanji an Renville ada suatu organisasi politik yang baru terbentuk tapi kuat dan juga mencita-citakan kemerekaan republic. Organisasi tersebut tidak mengakui Perjanji an Renville dan tidak mau berperang melawan Belanda, dikenal dengan nama Darul I slam. Darul Islam (dalam bahasa Arab dar al-Islam), secara harfiah berarti rumah atau kel uarga islam, yaitu dunia atau wilayah Islam . Yang dimaksud dengan ungkapan tersebut adalah bagian dari wilayah Islam yang di dalamnya keyakinan dan pelaksanaan sya riat Islam serta peraturannya diwajibakan. Lawannya adalah Darul Harb, yakni wila yah perang, dunia kafir , yang berangsur-angsur akan dimasukkan ke dalam dar al Is lam. Gerakan DI/TII yang dipimpin oleh SM Kartosuwirjo ini memang merupakan suatu ger akan yang menggunakan motif-motif ideology agama sebagai dasar penggeraknya, yai tu mendirikan Negara Islam Indonesia. Adapun daerah atau tempat GErakan DI/TII y ang pertama dimulai di daerah pegunungan di Jawa Barat, yang membentang sekitar Bandung dan meluas sampai ke sebelah timur perbatasan Jawa Tengah, yang kemudian menyebar ke bagian-bagian lain di Indonesia. Perbedaan-perbedaan ideologis mengenai dasar Negara sebenarnya telag ada sebelum proklamasi Negara Islam Indonesia itu sendiri. Namun adanya musuh bersama, dala m hal ini Belanda, mendorong para pemimpin bangsa Indonesia untuk mengesampingka n perbedaan-perbedaan ideologis tersebut. Van Dijk (1995) menyatakan bahwa meluc uti kesatuan-kesatuan Jepang yang mundur, menentang campur tangan Inggris dan me nentang kembalinya Belanda meminta perhatian setiap orang sepenuhnya dan untuk s ementara menggeser perbedaan-perbedaan ideologis ke latar belakang. Kristalisasi dari gerakan ini semakin nyata setelah ditanda tanganinya Perjanjia n Renville. Adapun upaya-upaya yang dilakukan SM. Kartosuwirjo untuk membentuk N egara Islam, pertama-tama adalah dengan mengadakan Konferensi di Cisayong Tasikm alaya Selatan tanggal 10-11 Februari 1948. Keputusan yang diambil adalah merub ah system ideology Islam dari bentuk kepartaian menjadi bentuk kenegaraan, yaitu menjadikan Islam sebagai ideology Negara. Konferensi kedua diadakan di Cijoho t anggal 1 Mei 1948, dimana hasil yang dicapai adalah apa yang disebut Ketatanegar aan Islam, yaitu dibentuknya suatu Dewan Imamah yang dipimpin langsung oleh SM. Kartosuwirjo. Selain itu disusun semacam UUD yang disebut Kanun Azazi, yang meny

atakan pembentukan Negara Islam Indonesia dengan hokum tertinggi Al-Quran dan Ha dist (PInardi 1964). Adanya Aksi Polisional Belanda yang melancarkan Agresi Militer II tanggal 18 Des emer 1948, tampaknya semakin mempercepat kea rah pembentukan Negara Islam Indone sia, dimana Agresi MIliter Belanda II tersebut telah berhasil merebut ibukota RI Yogyakarta dan menawan Presiden, Wapres beserta sejumlah Menteri. Momentum ini lah yang kemudian dianggap sebagai kehancuran RI, dan kesempatan tersebut diguna kan untuk membentuk Negara Islam Indonesia yang diproklamirkan tanggal 7 Agustus 1949. Peristiwa tersebut merupakan titik kulminasi subversi dalam negeri pada masa itu. Satu hal yang menarik dari gerakan ini dibandingkan dengan gerakan separatisme l ainnya, adalah perkembangannya yang cukup lama di atas wilayah yang cukup luas. Keuletan ini tidak terlepas dari factor-faktor yang mempengaruhi munculnya gerak an DI/TII, yang kemudian mendorong sebagian rakyat untuk ikut mendukung gerakan itu, yang akhirnya memberi kekuatan dan keuletan pada Gerakan DI/TII selama hamp ir 13 tahun. Namun dalam perkembangan selanjutnya, gerakan in ternyata hanya menimbulkan pend eritaan dan penindasan terhadap rakyat. Kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepa da rakyat seringkali menjadi sumber penderitaan dari kekejian yang semena-mena. Kahin (1995) dalam hal ini menyatakan bahwa kerja sama perani dengan Darul Islam makin lama makin disebabkan oleh terror yang dilakukan Darul Islam dan petani t idak mendukung organisasi tersebut karena nasonalisme dan agama. Namun rakyat ko ta relative lebh reada. Lebih buruk keadaannya di pedalaman, tempat desa-desa di serbu, dalam beberapa daerah sangat sering barang-barang dan hasil panen dirampa s, dan rumah, jembatan, mesjid dan lumbung padi dibakar atau dimusnahkan. Tidak sedikit penderitaan yang ditanggung rakyat Jawa Barat khususnya, karena ge rakan ini melakukan terror terhadap mereka. Untuk kepentingan gerakannya mereka merampok rakyat yang tinggal dipelosok-pelosok terpencil di lereng gunung, sehin gga menurut Ricklef (1995) sulit membedakan gerakan DI dari tindak perampokan, p emerasan, dan terorisme dalam ukuran luas. Kondisi yang demikian mau tidak mau menjadi suatu masalah yang seriusdalam kehid upan bangsa Indonesia. Kekacauan-kekacauan politik yang terjadi pada masa itu, t ernyata telah menimbulkan dampak yang luas dalam sendi-sendi kehidupan masyaraka t yang lain seperti social, budaya, dan ekonomi (Ismaun 1997). Gerakan DI/TII akhirnya tetap menjadi sebuah pemberontakan daerah, sampai akhirn ya SM. Kartosuwirjo tertangkap tanggal 4 JUni 1962 dalam sebuah operasi yang ber nama Pagar Betis. Dengan penangkapan dan pelaksanaan hukuman mati terhadap SM. K artosuwirjo, maka berakhirlah pemberontakan yang terorganisir di Jawa Barat sela ma lebih dari 10 tahun. Namun hal itu tidak cukup membuat peristiwa tersebut mud ah dilupakan, katena walau bagaimanapun gerakan ini tidak saja menimbulkan kesen gsaraan bagi masyarakat biasa, melainkan juga sebuah tragedy dalam perjalanan se jarah bangsa Indonesia menegakkan kehidupan berbangsa dan bernegara

Anda mungkin juga menyukai