Anda di halaman 1dari 15

PENDEKATAN CIVIC ENTREPRENEUR DALAM PENGELOLAAN

DAERAH ALIRAN SUNGAI1

Agus Pakpahan2

He is certainly not a good citizen who does not wish to promote, by every
means in his power, the welfare of the whole society of his fellow-citizens.
--Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments

I. PENDAHULUAN

Air adalah sumber kehidupan, tak ada air maka tak ada kehidupan.
Karena itu persoalan air adalah persoalan “Hidup-atau-Mati”. Tetapi,
apakah perlakuan manusia terhadap air ini telah memperlihatkan
bahwa kita menanganinya seperti menangani sumber “Hidup-atau-
Matinya” manusia? Kelihatannya tidak. Bahkan kita sering lupa kalau
air itu sumber “Hidup-atau-Matinya”-nya kita, kecuali pada saat
kekeringan atau kebanjiran. Hal tersebut bukan karena kita tidak
memiliki pengetahuan atau pengalaman, tetapi lebih disebabkan oleh
berkembangnya social traps dalam diri kita semua.
Social traps ini mencakup hal berikut. Pertama, kita sering lalai
dalam melihat air sebagai kepentingan individu semata. Kita lalai bahwa
air itu menyangkut kepentingan publik juga. Baik untuk individu, belum
tentu baik untuk publik. Karena itu, kita tidak hemat atau bahkan
merusak sumber air atau kualitas air sehingga pihak lain tak dapat
memanfaatkannya.
Kedua, kita juga sering keliru dalam menangani air ini dalam konteks
kepentingan jangka pendek yang tidak menghiraukan kepentingan
jangka panjang. Apakah sumber airnya yang kita hancurkan seperti
yang telah terjadi pada daerah aliran sungai bagian hulu, merusak

1
Makalah disampaikan pada Seminar “Krisis Air di Jakarta: Tinjauan Pengelolaan Sumber Daya Air
Terpadu Ciliwung-Cisadane”, diselenggarakan di Bappenas, Jakarta, 29 Juni 2004.
2
Ketua Badan Eksekutif Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gapperindo) dan Ahli Peneliti
Utama bidang Ekonomi Pertanian dan Ketua Max Havelaar Indonesia Foundation. Pernah menjabat Dirjen
Perkebunan 1998-2002, Kepala Biro Kelautan, Kedirgantaraan, Lingkungan Hidup dan Iptek; dan Kepala
Biro Regional I Bappenas.
1
badan sungai atau memanfaatkan air itu sendiri secara salah atau
boros.
Ke dua jenis social traps di atas sudah cukup menunjukkan bahwa
pengelolaan daerah aliran sungai dan penggunaan air yang terdapat
dalam suatu daerah aliran sungai tidak dapat ditangani secara sendiri-
sendiri dan tidak dapat ditangani dengan dasar nilai yang sifatnya
individualistik. Sebaliknya, pengelolaan sumber air dan air ini
memerlukan penanganan yang komprehensif, meyeluruh, dan terpadu
dalam kerangka perencanaan untuk waktu yang tak berhingga (infinite
planning horizon). Aspek ini sebenarnya pernah menjadi topik bahasan
utama selama tiga tahun, yaitu dalam periode 1990-1992, dimana
Bappenas mengambil peran utama. Puncaknya adalah
diselenggarakannya Seminar Internasional “Integrated Development and
Management of Water Resources for Sustainable Use in Indonesia”, di
Cisarua, Bogor, 29 Oktober-1 November 1992. Karena itu sangat baik
apabila kita melihat kembali hasil Seminar tersebut sebagai referensi
pengelolaan sumber daya air di Indonesia.
Saya sudah lama tidak melakukan kajian mengenai sumber daya air
ini. Tetapi saya sebagai Ketua Panitia Pelaksana Seminar di atas masih
ingat bahwa salah satu kesimpulan dari Seminar di Cisarua itu adalah
bagaimana memanfaatkan sumber air, sumber daya air dan air itu
sendiri secara berkelanjutan. Pada Seminar itu pun muncul dan
berkembang pembahasan mengenai bagaimana kita dapat
memanfaatkan sistem insentif sebagai dasar mengelola sumber, sumber
daya dan air ini secara arif dan bijaksana. Saya tidak mengetahui secara
pasti pemanfaatan pengetahuan yang diperoleh melalui Seminar
tersebut. Namun, saya sempat mengembangkan proyek River Watch
untuk sungai Brantas dalam mencoba membangun sistem monitoring
“Warungjamu” (waktu, ruang, jumlah dan mutu) (istilah Pak Sunarno
waktu itu), secara real time, dimana LIPI sebagai pelaksananya. Hal
tersebut dirancang sewaktu saya menjabat Kepala Biro Kelautan,
2
Kedirgantaraan, Lingkungan Hidup dan Iptek di Bappenas (1996-1997).
Saya berusaha mengingat-ingat pengalaman waktu itu dan
menggunakannya untuk kepentingan sekarang.
Saya akan memulai tulisan ini dengan pembahasan bahwa setiap
usaha pengembangan sumberdaya air harus berdasarkan pada inovasi
yang mampu melahirkan pola “win-win” dan hal tersebut hanya bisa
dicapai apabila kita semua dapat menjadi civic entrepreneurs,
sebagaimana yang dimaksud oleh Adam Smith, “Bapak Ilmu Ekonomi”
seperti yang saya kutip pada awal tulisan ini.

II. Win-Win Solution


Kita mencoba membayangkan bahwa Win-Win Solution (WWS)
merupakan kerangka saling hubungan antarpihak terhadap sumberdaya
air. Mengingat WWS adalah pola hubungan antarmanusia atau
antarinstitusi hasil ciptaan manusia, maka hubungan ini sangatlah
kompleks. Setiap manusia termasuk institusi ciptaannya memiliki
masing-masing kepentingan. Ini adalah realitas yang tidak dapat kita
asumsikan begitu saja.
Dalam saling hubungan tersebut terdapat tiga kemungkinan: win,
draw, lose. Kalau kita asumsikan terdapat dua pihak dan
kemungkinannya ada tiga solusi tersebut, maka kita akan mendapatkan
gambaran kemungkinan sebagai berikut.
Pihak I

Win(+) Draw (0) Lose (-)


Win(+) (+,+) (+,0) (+,-)
Pihak II
Draw(0) (0,+) (0,0) (0,-)

Lose(-) (-,+) (-,0) (-,-)

3
Dari diagram sederhana tersebut kita menyaksikan bahwa
kemungkinan WW atau hasil (+,+) untuk pihak I dan pihak II, hanya
terdapat dalam satu sel dari sembilan alternatif kemungkinan solusi.
Nilai selebihnya dalam diagram tersebut adalah (+,0), (+,-) atau (-,-). Hal
ini menunjukkan bahwa memang akan sangat sulit untuk mendapatkan
posisi WW apabila antarpihak yang akan melakukan kerjasama
penanganan sumberdaya air ini tidak memiliki nilai, semangat,
keinginan, dan pengetahuan yang didukung oleh teknologi yang tersedia
serta keterampilan dan pengalaman mengelola pertentangan
kepentingan antarpihak untuk mendapatkan solusi WW ini.

III. Civic Entrepreneurs


Entrepreneurship merupakan karakter yang dimiliki oleh seseorang
yang dapat menghasilkan sesuatu yang sumber asalnya berada atau
tersebar di berbagai pihak, menjadi suatu hal baru yang bermanfaat
melalui suatu proses inovasi dimana hal tersebut dapat diterima oleh
masyarakat, dan menjadi bagian praktek atau perilaku baru dalam
masyarakat yang dibicarakan. Individu yang melakukan hal tersebut
dinamakan entrepreneurs.
Jadi kata kuncinya adalah inovasi dan inovasi tersebut hasilnya
diterima oleh masyarakat. Kata masyarakat inilah yang berkaitan
dengan istilah civic. Karena itu, inovasi tersebut harus memberikan
keuntungan bagi seluruh masyarakat, bukan hanya memberikan
keuntungan bagi sang inovator atau seorang entrepreneur saja. Karena
itu pula seorang civic entrepreneur sejak awal harus memiliki jiwa atau
semangat civic.
Seorang civic entrepreneur dapat berasal dari LSM, dunia usaha,
pemerintah atau kalangan lainnya yang memiliki motivasi untuk
mengembangkan inovasi demi kepentingan umum. Metoda atau teknik
untuk mencapai hal tersebut serta skalanya bermacam-macam

4
tergantung dari masalah yang dihadapi dan tujuan yang ingin dicapai.
Karena dasarnya adalah inovasi, artinya memperbesar ruang alternatif,
maka hal tersebut akan menuntut ditemukannya hal-hal baru,
misalnya, cara baru bagaimana membangkitkan kesadaran dan
kepentingan bersama, cara baru bagaimana memobilisir sumber daya
yang tersedia pada seluruh partisipan, bagaimana membangun institusi
(property rights, rules of representation atau jourisdictional boundaries)
yang baru, bagaimana menghasilkan teknologi baru, bagaimana
membangun sistem insentif yang baru dan lain-lain.

IV. Energi Baru


Semua hal baru di atas pada dasarnya adalah untuk menghasilkan
“energi” baru. Istilah “energi” dalam hal ini menyangkut segala hal baik
yang sifatnya abstrak seperti spirit, jiwa atau impian hingga hal yang
nyata seperti energi sebagaimana biasa kita maksudkan. Hal ini
diperlukan untuk mencapai sel WW dan menjaga agar jangan kemudian
terjatuh kembali kepada sel-sel lainnya yang tidak menguntungkan bagi
masyarakat secara keseluruhan.
“Energi” pertama yang harus dibangun adalah kesadaran itu sendiri.
Kesadaran ini akan lahir kalau ada “impian” yang ingin diwujudkan.
“Impian” akan lahir kalau kita bisa belajar dari pengalaman pahit di
masa lalu dan terbuka untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Inilah
tahap awal dari proses pembaruan. Selama ini kita sudah mencoba
melakukan hal ini, tetapi berdasarkan kondisi yang masih kita alami
hingga sekarang, hal tersebut menunjukkan bahwa “energi” ini belum
cukup kuat untuk melakukan perubahan-perubahan ke arah yang
positif.
Karena itu, persoalan pertama kita adalah bagaimana
membangkitkan energi tersebut?

5
V. Pelajaran dari AS
Untuk mendapatkan gambaran riil, berikut ini saya sampaikan
pengalaman di Amerika Serikat (AS), yang telah dinilai berhasil
menyelesaikan masalah publik melalui pendekatan civic
entrepreneurship (Henton et. al., 1997).

Team Austin
Pada tahun 1980-an Tim Civic Entrepreneurs yakin bahwa Austin
akan menjadi kota pemerintahan dan universitas yang tertinggal.
Sebagai kota yang melahirkan Texas Instruments, Lee Cooke melihat
bahwa hal tersebut sebagai kesempatan untuk memanfaatkan era abad
informasi. Akan tetapi, sebagai direktur baru Austin Chamber, Cooke
melihat berbagai kendala. Pertumbuhan kota Austin melambat.
Universitas Austin dengan mahasiswanya sekitar 50 ribu orang tidak
cukup untuk menjadi penggerak utama ekonomi. Keberadaan
perusahaan yang berbasis teknologi jumlahnya sedikit. Minyak dan gas
bumi menjadi mindset orang Texas. Dengan menggerakkan
kebersamaan masyarakat dunia usaha, Cooke memilih strategi yang
mempersatukan dunia usaha, pemerintah kota dan negara bagian, dan
universitas dengan visi Austin sebagai pusat teknologi informasi yang
berkualitas.
Tahap pertama, Cooke merangkul Pike Powers, jaksa Austin, yang
kemudian menjadi pembantu gubernur Texas, Mark White. Pada tahun
1983 Cooke dan Powers menggerakkan masyarakat dengan target awal:
bagaimana mendapat penghargaan yang paling prestisius pada awal
tahun 1980-an dari--The Microelectronics Computer Technology
Consortium (MCC)—konsorsium nasional untuk mengembangkan
kompetisi dalam teknologi komputer. Dalam beberapa bulan makin
banyak individu yang tertarik dan mereka bertemu setiap jam 7:30 pagi
untuk mengembangkan proposal, menilai proses kompetisi dan berlatih
menyampaikan proposal serta menjawab pertanyaan-pertanyaan.
6
Powers menjelaskan bahwa proses tersebut merupakan proses pertama
sebagai masyarakat dalam usahanya membangun konsensus bersama.
Usaha ini dinilai berhasil.
Keberhasilan selalu melahirkan keberhasilan yang lain. Team civic
entrepreneurs berkembang dan berlipat ganda. Masyarakat Austin
berhasil memenangkan perlombaan di atas pada tahun 1988, karenanya
menjadi “rumah” dari 14 konsortium industri semikonduktor di AS
dengan mengembangkan teknik baru dalam menghasilkan produk dari
industri tersebut. Dipimpin oleh William Cunningham, dekan business
school yang kemudian menjadi rektor University of Texas, universitas ini
mengembangkan “Advanced Research Park”. Ketika Pike berhenti
menjadi gubernur, ia menjadi “broker” sukarela dalam berbagai
perundingan yang menghasilkan Apple, Applied Materials dan 3M
berada dalam peta Austin.
Hal diatas telah membangkitkan ribuan orang bekerja dalam berbagai
bidang keahlian yang menjadikan Austin baru dengan situasi, wajah
dan semangat kehidupan baru, yang lebih baik dari sebelumnya. Para
pemimpin di Austin-lah yang telah melahirkan hal baru tersebut melalui
semangat civic entrepreneuships. Pada tahun 1995, Austin dapat
berbangga diri menjadi kota dengan tingkat pengangguran hanya 3 %,
terendah di seluruh negara bagian Texas, dan salah satu yang terendah
tingkat penganggurannya di seluruh AS. Ternyata, rahasianya adalah
Team Work.

Team Cleveland
Pada tahun 1978 Cleveland mengalami depresi yang berat. Tingkat
pengangguran sangat tinggi (11.3 %) karena sekitar 75 ribu industrinya
hancur.
E. Mandell de Windt, CEO Eaton Corporation, mengundang
pertemuan pertama. Richard Pogue, seorang jaksa ternama, mengambil
bagian. Kemudian bergabung nama-nama lainnya sebagai aktivist dari
7
gerakan penyelamatan Cleveland. Walikota Cleveland, George Voinovich
mendapatkan dukungan dari sekitar 100 bisnismen yang berkumpul
bersama sekitar 12 minggu membahas bagaimana mengelola kota
Cleveland. Dari proses tersebut terkumpul lebih dari 600 rekomendasi
bagaimana menghemat anggaran, dan sebagian besar dari rekomendasi
tersebut diterapkan. Kebersamaan ini melahirkan semangat baru dan
cara baru untuk tidak menyerah pada keadaaan tetapi sebaliknya
bagaimana menyelesaikan persoalan tersebut bersama-sama.
Pada tahun 1982, dimulai proses membentuk “Cleveland Tomorrow”,
dipimpin oleh sekelompok CEO. Dengan cara ini maka terbentuk CEO
dengan “public interestnya”. Mereka membentuk “Cleveland
Roundtable”, organisasi pemimpin multi-etnis. Melalui “Cleveland
Tomorrow” dan “Cleveland Roundtable” lahirlah beragam organisasi yang
menjembatani kepentingan antara masyarakat dan dunia usaha.
Hasilnya menakjubkan: transformasi dalam hubungan ketenagakerjaan,
reorientasi pendidikan, perbaikan infrastruktur fisik, peremajaan dan
pembaruan sumber-sumber ekonomi, perbaikan hubungan antarras
atau kelompok etnik, dan revitalisasi kota.
Masih banyak contoh lainnya yang berkembang di AS, misalnya
kasus: Sillicon Valley, Arizona, Florida, Wichita, dan lain-lain. Kuncinya
sama: civic entrepreneurs.

American Crystal Sugar Company


American Crystal Sugar Company (ACSC) merupakan perusahaan
pergulaan besar di AS yang didirikan pada tahun 1899 oleh Henry
Oxnard. Pada tahun 1920 para petani di Red River Valley, Minnesota,
menjadi pemasok bahan baku gula bit.
Pada tahun 1972, perusahaan yang terdaftar di New York Stock
Exchange ini menunju kebangkrutan. Bangkrutnya perusahaan ini jelas
mengancam kehidupan para petani gula bit di Red River Valley. Di luar
kebiasaan, dengan munculnya Aldrich Bloomquist sebagai pimpinan,
8
Asosiasi Petani Bit Red River Valley mengambil keputusan untuk
membeli perusahaan ACSC. Jumlah petani yang bergabung dalam
proses dan mengambil keputusan tersebut sekitar 1300 orang.
Semua pihak pertama skeptis dengan usulan petani gula bit ini.
Petani meminta dilakukannya due dilligence. Akhirnya, dengan
dukungan lembaga keuangan petani melalui koperasinya membeli
perusahaan gula tersebut pada 1973 dengan nilai US$ 86 juta. Dana
tersebut didukung oleh lembaga keuangan yang bersahabat dengan
petani.
Segera setelah itu perubahan dahsyat terjadi. Dalam empat tahun
areal kerja ACSC meningkat hingga dua kali dari sebelumnya, rendemen
naik, produksi naik, efisiensi naik, dan kesejahteraan masyarakat naik.
Sekarang sudah menjadi salah satu perusahaan terbesar gula dan
produk lainnya. Pangsa pasar gula ACSC mencapai 25 % dari total
produksi gula di AS.
VI. Pengalaman Pribadi
Marine Fisheries Stock Assessment
Pada saat saya menjabat Kepala Biro Kelautan, Kedirgantaraan,
Lingkungan Hidup dan Iptek Bappenas, saya mengevaluasi data tentang
potensi kelautan kita. Dari berbagai diskusi dengan para pihak, maka
dapat diketahui kita belum memiliki data yang cukup lengkap dan up to
date.
Siapa yang bertanggung jawab terhadap masalah-masalah kelautan?
Pada saat itu belum ada satu institusi yang menangani masalah laut ini
secara terpadu. Ada TNI AL, Direktorat Jenderal Perikanan, Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut, dan lain-lain. Khusus mengenai perikanan
laut, kemampuan institusi yang ada juga terbatas dan terpecah-pecah.
Kita ambil satu kasus: data potensi perikanan laut.
Kelihatannya sederhana, tetapi menjawab pertanyaan berapa jumlah
ikan kita di laut, jenis apa saja, dimana adanya, kapan dan sebagainya,
bukanlah merupakan hal yang mudah dan murah. Karena itu, kami
9
mengambil inisiatif untuk mengundang semua pihak terkait dan
memiliki potensi bergabung kedalam satu tim untuk melakukan
kegiatan inventarisasi tersebut.
Atas dasar prakarsa ini maka bergabunglah: BPPT, LIPI, Ditjen
Perikanan, IPB, Litbang Pertanian—Pultibang Perikanan, Bappenas,
Undip, dan lain-lain. “Untung ada kegiatan inventarisasi potensi
perikanan semasa pak Agus di Bappenas”, kata Dr. Fatuchri, salah
seorang Dirjen di Departemen Kelautan dan Perikanan mengatakan
kepada saya belum lama ini. Rupanya, kegiatan tersebut, hasil rame-
rame terasa manfaatnya hingga sekarang.

Pabrik Crumb Rubber Mesuji

Mengapa petani selalu susah? Salah satu penyebabnya adalah harga


hasil petani terus menurun dan karenya makin rendah; tidak demikian
dengan produk olahannya. Hal ini sudah menjadi “dalil”. Tetapi
bagaimana menyelesaikan masalah ini, masih belum banyak dilakukan.
Bagaimana meredistribusi nilai tambah ini belum banyak
dikembangkan.
Sewaktu saya menjabat Dirjen Perkebunan, saya melakukan upaya
mengembangkan model kebersamaan ekonomi atau mungkin dapat juga
dinamakan “joint venture” antara petani dengan pengusaha
(industriawan). Mengapa tidak? Petani punya getah, pabrik punya
mesin. Pabrik petani adalah pabrik biologis, pabrik pengusaha adalah
pabrik buatan manusia. Kalau petani entitle terhadap produk dari
kebun, maka harganya akan rendah. Tetapi kalau petani mendapatkan
harga produk dari hasil olahan, petani dapat share yang lebih baik.
Pengusaha akan mendapatkan pasokan bahan baku yang lebih baik dan
lebih banyak. Semua win-win.
Pak Akib, Presdir Lonsum pada waktu itu mengambil ide ini. Dibantu
dengan berbagai pihak kita mengadakan berbagai pembicaraan. MOU
10
dengan Gubernur dibuat. Bank kita cari. Petani dilatih. Proses
keseluruhan lebih dari 3 tahun. Akhirnya, beridirilah perusahaan PT
MKAP dengan 20 % saham dimiliki oleh petani dan direktur
operasionalnya dijabat oleh pak Murlim, orang desa setempat, di Mesuji.
Hasil penelitian Puslit Karet menunjukkan bahwa pendapatan petani
meningkat 400 %, pendapatan perusahaan juga meningkat. Hal yang
paling penting adalah bahwa kita punya satu bukti, pengusaha dan
petani bisa sukses dalam satu “perahu”. Rencananya, tahun ini sekitar
60 % saham akan dibeli petani; dan untuk selanjutnya perusahaan akan
invest di tempat lain atau di bagian yang lebih hilir.

Penanganan Gula

Kita lebih sering melihat dengan cara subyektif. Misalnya, para


pengamat menyatakan pulau Jawa sudah tidak memiliki prospek lagi
untuk mengusahakan tebu. Padahal, potensi tebu itu sangat besar, baru
gulanya saja yang selama ini diutamakan. Lebih dari 67 produk dapat
dihasilkan dari tebu dan semuanya akan menjadi kebutuhan utama
dalam masa mendatang. Kurang lebih 60 % produksi gula dihasilkan
oleh Pulau Jawa dengan Jawa Timur sebagai produsen gula terbesar.
Dalam 4 tahun terakhir ini produksi gula nasional meningkat lebih dari
400 ribu ton, walaupun pasar gula sedang dalam kondisi di bawah.
Peningkatan produksi gula tersebut ternyata terjadi di Jawa, dan
sebaliknya yang terjadi di luar Jawa. Padahal produksi gula di Luar
Jawa hampir seluruhnya bersumber dari lahan yang secara langsung
dikontrol oleh perusahaan gula. Sebaliknya di Jawa, produksi bahan
baku tebu hampir seluruhnya bersumber dari hasil tebu petani.
IMF dalam Letter of Intent mencatat perlunya liberalisasi dalam
penanganan gula ini. PG gula yang tidak efisien diminta ditutup;
relokasi PG dari Jawa ke Luar Jawa dan liberalisasi perdagangan
internasional. Pelaksanaan kebijaksanaan ini mendapat tentangan dari
11
para petani tebu dan produsen gula di Jawa. Tetapi yang sangat
signifikan adalah berdirinya Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia
(APTRI)) yang menjadi institusi sumber perubahan dalam bidang
pergulaan ini.
Salah satu energi utamanya adalah kebersamaan antara para petani
tebu dalam memperjuangkan nasibnya dan hal ini membangkitkan spill
over bagi para pelaku ekonomi lainnya. Inovasi utama saat ini yang
paling penting untuk dicatat adalah lahirnya mekanismen perdagangan
gula dimana harga pada tingkat petani dijamin oleh investor yang dipilih
oleh para petani sendiri dan kemudian petani mendapatkan bagian dari
secara proporsianal (60%) dari selisih antara harga lelang akhir dengan
dana talangan ini (sekarang Rp 3410/kg gula). Bandingkan dengan
harga gula yang diterima petani pada tahun 2002 hanya mencapai Rp
2500/kg. Pemerintah tidak mengeluarkan dana APBN atau dana lainnya
untuk mendukung kenaikan harga ini. Kenaikan harga gula tersebut
murni hasil inovasi antara petani dan dunia usaha, yang lahir secara
partial (hanya berkembang di wilayah APTR PTPN XI) pada tahun 2001
dan menjadi skala nasional pada tahun 2003.
Prose di atas dimulai dengan lahirnya APTRI pada tahun 2000.
Diperkirakan, apabila pemerintah memberikan dukungan evolusi
semacam yang terjadi pada ACSC akan lahir juga di Indonesia.
Hambatan utama dari model ini adalah tenakan dari para
penyelundup sebagaimana yang terjadi saat ini.

VII. Peluang Penerapan dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan DAS Cisadane merupakan


dua DAS yang menerima curah hujan yang kemudian dialirkan ke kota
Jakarta. DAS ini cukup luas melingkupi beberapa kabupaten dan kota.
Penduduk di sekitar DAS ini sangat padat dengan keragaman lapangan

12
pekerjaan yang dicirikan oleh lapangan pekerjaan di negara
berkembang. Di DAS bagian hulu sebagian besar penduduknya masih
tergantung pada pertanian.
Sempitnya lapangan pekerjaan di DAS bagian hulu dan juga
besarnya proporsi penduduk yang hidup di kota-kota besar yang masih
berada dalam perangkap kemiskinan di dalam lingkup DAS di atas
memerlukan konsentrasi penanganan yang khusus. Karena itu,
penanganan DAS Ciliwung dan Cisadane tidak akan cukup didekati dari
satu sisi saja, misalnya hanya menangani satu masalah yaitu masalah
pengairan. Menangani masalah pengairan memerlukan penanganan
yang sifatnya holistik, yang difokuskan pada penciptaan sumber-sumber
ekonomi baru, yang dapat mengurangi tekanan penduduk pada
pemanfaatan sumber daya air di satu pihak dan perbaikan tata ruang
yang menciptakan ruang atau land use yang lebih memberikan peluang
bagi terjadinya peningkatan fungsi hidroorologis dari DAS yang
dibicarakan.
Belajar dari pengalaman di AS sebagaimana telah dikemukakan,
maka kuncinya adalah membangun kebersamaan dan menyuburkan
proses inovasi dalam mencari jalan baru untuk mengatasi masalah
tersebut. Pengalaman di AS menunjukkan adanya pola penanganan
seperti berikut:

13
Peran Civic Tahap I Tahap II Tahap III Tahap IV
Entrepreneurs Inisiasi Inkubasi Implementasi Perbaikan &
Pembaruan

#1 Motivator ******
#2 Networker ******
#3 Teacher ******
#4 Convener ******
#5 Integrator *******
#6 Driver *******
#7 Mentor *******
#8 Agitator *******

Proses untuk melaksanakan tahapan-tahapan di atas serta peran


dari civic entrepreneurs baik yang berasal dari pemerintah, dunia usaha
maupun masyarakat perlu dibangun melalui mekanisme yang sesuai
dengan permasalahan yang dihadapi. Namun demikian, inovasi perlu
diarahkan pada pembangkitan energi yang dapat menjamin
keberlanjutan dari proses ini. Kelemahan utama yang selama ini terjadi
adalah usaha pengelolaan DAS sering hanya diartikan sebagai tugas
pemerintah dan pola penangannannya merupakan penanganan yang
sifatnya keproyekan. Akibatnya, proyek selesai maka proses juga selesai.
Oleh karena itu, perlu dibuka berbagai peluang agar partisipasi dari
dunia usaha dan masyarakat, sebagaimana yang tergambar dalam
contoh-contoh di atas, dapat dikembangkan.
Kasus Austin yang berbasis pada penyiapan kominitas untuk
bersaing dalam menarik “investor” yang sesuai dengan kemampuan
masyarakat masuk atau kasus Cleveland yang membangkitkan “energi
dari dalam” pada intinya adalah usaha menyiapkan “the best
community” yang mampu berinteraksi dengan “new economy”, sehingga
melahirkan “the best products”, merupakan rujukan yang sifatnya

14
universal. Membangun proses inilah memerlukan cukupnya civic leaders
yang memiliki kapasitas civic entrepreneur.

VIII. Penutup
Bagaimana mengatasi persoalan krisis air di Jakarta, pada akhirnya
bersumber pada bagaimana kita merevitalisasi masyarakat agar sesuai
dengan perkembangan ekonomi yang terjadi. Masalah lingkungan hidup
yang dihadapi dan masalah ekonomi yang melilit kesulitan penduduk
hanya dapat diselesaikan melalui kesadaran dan gerakan bersama.
Untuk itu diperlukan nilai baru dan cara baru bagaimana kita melihat
persoalan dan inovasi apa yang harus dilakukan.
Pengalaman dari negara lain menunjukkan bahwa selain diperlukan
cukup tersedianya kelompok civic entrepreneurs dan proses yang
memakan waktu, pada dasarnya diperlukan membangun budaya baru:
the new ways of thinking, feeling and believing. Negara maju seperti AS
saja melakukan hal tersebut, bergotong royong menyelesaikan
permasalahan. Apalagi kita, mestinya mau dan mampu melakukan
kerjasama dan bergotong royong menyelesaikan masalah publik yang
kita hadapi. Persoalan yang ada perlu dilihat sebagai tantangan sebagai
tantangan kita bersama. Rahasianya adalah bagaimana kita berhasil
membangun Tim yang memiki karakter sebagai civic entrepreneurs.
Untuk dapat menuju ke arah tersebut, nilai-nilai dan cara-cara lama
yang sudah terbukti membawa kita dalam kegagalan, perlu segera kita
tinggalkan.

15

Anda mungkin juga menyukai