Agus Pakpahan2
He is certainly not a good citizen who does not wish to promote, by every
means in his power, the welfare of the whole society of his fellow-citizens.
--Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments
I. PENDAHULUAN
Air adalah sumber kehidupan, tak ada air maka tak ada kehidupan.
Karena itu persoalan air adalah persoalan “Hidup-atau-Mati”. Tetapi,
apakah perlakuan manusia terhadap air ini telah memperlihatkan
bahwa kita menanganinya seperti menangani sumber “Hidup-atau-
Matinya” manusia? Kelihatannya tidak. Bahkan kita sering lupa kalau
air itu sumber “Hidup-atau-Matinya”-nya kita, kecuali pada saat
kekeringan atau kebanjiran. Hal tersebut bukan karena kita tidak
memiliki pengetahuan atau pengalaman, tetapi lebih disebabkan oleh
berkembangnya social traps dalam diri kita semua.
Social traps ini mencakup hal berikut. Pertama, kita sering lalai
dalam melihat air sebagai kepentingan individu semata. Kita lalai bahwa
air itu menyangkut kepentingan publik juga. Baik untuk individu, belum
tentu baik untuk publik. Karena itu, kita tidak hemat atau bahkan
merusak sumber air atau kualitas air sehingga pihak lain tak dapat
memanfaatkannya.
Kedua, kita juga sering keliru dalam menangani air ini dalam konteks
kepentingan jangka pendek yang tidak menghiraukan kepentingan
jangka panjang. Apakah sumber airnya yang kita hancurkan seperti
yang telah terjadi pada daerah aliran sungai bagian hulu, merusak
1
Makalah disampaikan pada Seminar “Krisis Air di Jakarta: Tinjauan Pengelolaan Sumber Daya Air
Terpadu Ciliwung-Cisadane”, diselenggarakan di Bappenas, Jakarta, 29 Juni 2004.
2
Ketua Badan Eksekutif Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gapperindo) dan Ahli Peneliti
Utama bidang Ekonomi Pertanian dan Ketua Max Havelaar Indonesia Foundation. Pernah menjabat Dirjen
Perkebunan 1998-2002, Kepala Biro Kelautan, Kedirgantaraan, Lingkungan Hidup dan Iptek; dan Kepala
Biro Regional I Bappenas.
1
badan sungai atau memanfaatkan air itu sendiri secara salah atau
boros.
Ke dua jenis social traps di atas sudah cukup menunjukkan bahwa
pengelolaan daerah aliran sungai dan penggunaan air yang terdapat
dalam suatu daerah aliran sungai tidak dapat ditangani secara sendiri-
sendiri dan tidak dapat ditangani dengan dasar nilai yang sifatnya
individualistik. Sebaliknya, pengelolaan sumber air dan air ini
memerlukan penanganan yang komprehensif, meyeluruh, dan terpadu
dalam kerangka perencanaan untuk waktu yang tak berhingga (infinite
planning horizon). Aspek ini sebenarnya pernah menjadi topik bahasan
utama selama tiga tahun, yaitu dalam periode 1990-1992, dimana
Bappenas mengambil peran utama. Puncaknya adalah
diselenggarakannya Seminar Internasional “Integrated Development and
Management of Water Resources for Sustainable Use in Indonesia”, di
Cisarua, Bogor, 29 Oktober-1 November 1992. Karena itu sangat baik
apabila kita melihat kembali hasil Seminar tersebut sebagai referensi
pengelolaan sumber daya air di Indonesia.
Saya sudah lama tidak melakukan kajian mengenai sumber daya air
ini. Tetapi saya sebagai Ketua Panitia Pelaksana Seminar di atas masih
ingat bahwa salah satu kesimpulan dari Seminar di Cisarua itu adalah
bagaimana memanfaatkan sumber air, sumber daya air dan air itu
sendiri secara berkelanjutan. Pada Seminar itu pun muncul dan
berkembang pembahasan mengenai bagaimana kita dapat
memanfaatkan sistem insentif sebagai dasar mengelola sumber, sumber
daya dan air ini secara arif dan bijaksana. Saya tidak mengetahui secara
pasti pemanfaatan pengetahuan yang diperoleh melalui Seminar
tersebut. Namun, saya sempat mengembangkan proyek River Watch
untuk sungai Brantas dalam mencoba membangun sistem monitoring
“Warungjamu” (waktu, ruang, jumlah dan mutu) (istilah Pak Sunarno
waktu itu), secara real time, dimana LIPI sebagai pelaksananya. Hal
tersebut dirancang sewaktu saya menjabat Kepala Biro Kelautan,
2
Kedirgantaraan, Lingkungan Hidup dan Iptek di Bappenas (1996-1997).
Saya berusaha mengingat-ingat pengalaman waktu itu dan
menggunakannya untuk kepentingan sekarang.
Saya akan memulai tulisan ini dengan pembahasan bahwa setiap
usaha pengembangan sumberdaya air harus berdasarkan pada inovasi
yang mampu melahirkan pola “win-win” dan hal tersebut hanya bisa
dicapai apabila kita semua dapat menjadi civic entrepreneurs,
sebagaimana yang dimaksud oleh Adam Smith, “Bapak Ilmu Ekonomi”
seperti yang saya kutip pada awal tulisan ini.
3
Dari diagram sederhana tersebut kita menyaksikan bahwa
kemungkinan WW atau hasil (+,+) untuk pihak I dan pihak II, hanya
terdapat dalam satu sel dari sembilan alternatif kemungkinan solusi.
Nilai selebihnya dalam diagram tersebut adalah (+,0), (+,-) atau (-,-). Hal
ini menunjukkan bahwa memang akan sangat sulit untuk mendapatkan
posisi WW apabila antarpihak yang akan melakukan kerjasama
penanganan sumberdaya air ini tidak memiliki nilai, semangat,
keinginan, dan pengetahuan yang didukung oleh teknologi yang tersedia
serta keterampilan dan pengalaman mengelola pertentangan
kepentingan antarpihak untuk mendapatkan solusi WW ini.
4
tergantung dari masalah yang dihadapi dan tujuan yang ingin dicapai.
Karena dasarnya adalah inovasi, artinya memperbesar ruang alternatif,
maka hal tersebut akan menuntut ditemukannya hal-hal baru,
misalnya, cara baru bagaimana membangkitkan kesadaran dan
kepentingan bersama, cara baru bagaimana memobilisir sumber daya
yang tersedia pada seluruh partisipan, bagaimana membangun institusi
(property rights, rules of representation atau jourisdictional boundaries)
yang baru, bagaimana menghasilkan teknologi baru, bagaimana
membangun sistem insentif yang baru dan lain-lain.
5
V. Pelajaran dari AS
Untuk mendapatkan gambaran riil, berikut ini saya sampaikan
pengalaman di Amerika Serikat (AS), yang telah dinilai berhasil
menyelesaikan masalah publik melalui pendekatan civic
entrepreneurship (Henton et. al., 1997).
Team Austin
Pada tahun 1980-an Tim Civic Entrepreneurs yakin bahwa Austin
akan menjadi kota pemerintahan dan universitas yang tertinggal.
Sebagai kota yang melahirkan Texas Instruments, Lee Cooke melihat
bahwa hal tersebut sebagai kesempatan untuk memanfaatkan era abad
informasi. Akan tetapi, sebagai direktur baru Austin Chamber, Cooke
melihat berbagai kendala. Pertumbuhan kota Austin melambat.
Universitas Austin dengan mahasiswanya sekitar 50 ribu orang tidak
cukup untuk menjadi penggerak utama ekonomi. Keberadaan
perusahaan yang berbasis teknologi jumlahnya sedikit. Minyak dan gas
bumi menjadi mindset orang Texas. Dengan menggerakkan
kebersamaan masyarakat dunia usaha, Cooke memilih strategi yang
mempersatukan dunia usaha, pemerintah kota dan negara bagian, dan
universitas dengan visi Austin sebagai pusat teknologi informasi yang
berkualitas.
Tahap pertama, Cooke merangkul Pike Powers, jaksa Austin, yang
kemudian menjadi pembantu gubernur Texas, Mark White. Pada tahun
1983 Cooke dan Powers menggerakkan masyarakat dengan target awal:
bagaimana mendapat penghargaan yang paling prestisius pada awal
tahun 1980-an dari--The Microelectronics Computer Technology
Consortium (MCC)—konsorsium nasional untuk mengembangkan
kompetisi dalam teknologi komputer. Dalam beberapa bulan makin
banyak individu yang tertarik dan mereka bertemu setiap jam 7:30 pagi
untuk mengembangkan proposal, menilai proses kompetisi dan berlatih
menyampaikan proposal serta menjawab pertanyaan-pertanyaan.
6
Powers menjelaskan bahwa proses tersebut merupakan proses pertama
sebagai masyarakat dalam usahanya membangun konsensus bersama.
Usaha ini dinilai berhasil.
Keberhasilan selalu melahirkan keberhasilan yang lain. Team civic
entrepreneurs berkembang dan berlipat ganda. Masyarakat Austin
berhasil memenangkan perlombaan di atas pada tahun 1988, karenanya
menjadi “rumah” dari 14 konsortium industri semikonduktor di AS
dengan mengembangkan teknik baru dalam menghasilkan produk dari
industri tersebut. Dipimpin oleh William Cunningham, dekan business
school yang kemudian menjadi rektor University of Texas, universitas ini
mengembangkan “Advanced Research Park”. Ketika Pike berhenti
menjadi gubernur, ia menjadi “broker” sukarela dalam berbagai
perundingan yang menghasilkan Apple, Applied Materials dan 3M
berada dalam peta Austin.
Hal diatas telah membangkitkan ribuan orang bekerja dalam berbagai
bidang keahlian yang menjadikan Austin baru dengan situasi, wajah
dan semangat kehidupan baru, yang lebih baik dari sebelumnya. Para
pemimpin di Austin-lah yang telah melahirkan hal baru tersebut melalui
semangat civic entrepreneuships. Pada tahun 1995, Austin dapat
berbangga diri menjadi kota dengan tingkat pengangguran hanya 3 %,
terendah di seluruh negara bagian Texas, dan salah satu yang terendah
tingkat penganggurannya di seluruh AS. Ternyata, rahasianya adalah
Team Work.
Team Cleveland
Pada tahun 1978 Cleveland mengalami depresi yang berat. Tingkat
pengangguran sangat tinggi (11.3 %) karena sekitar 75 ribu industrinya
hancur.
E. Mandell de Windt, CEO Eaton Corporation, mengundang
pertemuan pertama. Richard Pogue, seorang jaksa ternama, mengambil
bagian. Kemudian bergabung nama-nama lainnya sebagai aktivist dari
7
gerakan penyelamatan Cleveland. Walikota Cleveland, George Voinovich
mendapatkan dukungan dari sekitar 100 bisnismen yang berkumpul
bersama sekitar 12 minggu membahas bagaimana mengelola kota
Cleveland. Dari proses tersebut terkumpul lebih dari 600 rekomendasi
bagaimana menghemat anggaran, dan sebagian besar dari rekomendasi
tersebut diterapkan. Kebersamaan ini melahirkan semangat baru dan
cara baru untuk tidak menyerah pada keadaaan tetapi sebaliknya
bagaimana menyelesaikan persoalan tersebut bersama-sama.
Pada tahun 1982, dimulai proses membentuk “Cleveland Tomorrow”,
dipimpin oleh sekelompok CEO. Dengan cara ini maka terbentuk CEO
dengan “public interestnya”. Mereka membentuk “Cleveland
Roundtable”, organisasi pemimpin multi-etnis. Melalui “Cleveland
Tomorrow” dan “Cleveland Roundtable” lahirlah beragam organisasi yang
menjembatani kepentingan antara masyarakat dan dunia usaha.
Hasilnya menakjubkan: transformasi dalam hubungan ketenagakerjaan,
reorientasi pendidikan, perbaikan infrastruktur fisik, peremajaan dan
pembaruan sumber-sumber ekonomi, perbaikan hubungan antarras
atau kelompok etnik, dan revitalisasi kota.
Masih banyak contoh lainnya yang berkembang di AS, misalnya
kasus: Sillicon Valley, Arizona, Florida, Wichita, dan lain-lain. Kuncinya
sama: civic entrepreneurs.
Penanganan Gula
12
pekerjaan yang dicirikan oleh lapangan pekerjaan di negara
berkembang. Di DAS bagian hulu sebagian besar penduduknya masih
tergantung pada pertanian.
Sempitnya lapangan pekerjaan di DAS bagian hulu dan juga
besarnya proporsi penduduk yang hidup di kota-kota besar yang masih
berada dalam perangkap kemiskinan di dalam lingkup DAS di atas
memerlukan konsentrasi penanganan yang khusus. Karena itu,
penanganan DAS Ciliwung dan Cisadane tidak akan cukup didekati dari
satu sisi saja, misalnya hanya menangani satu masalah yaitu masalah
pengairan. Menangani masalah pengairan memerlukan penanganan
yang sifatnya holistik, yang difokuskan pada penciptaan sumber-sumber
ekonomi baru, yang dapat mengurangi tekanan penduduk pada
pemanfaatan sumber daya air di satu pihak dan perbaikan tata ruang
yang menciptakan ruang atau land use yang lebih memberikan peluang
bagi terjadinya peningkatan fungsi hidroorologis dari DAS yang
dibicarakan.
Belajar dari pengalaman di AS sebagaimana telah dikemukakan,
maka kuncinya adalah membangun kebersamaan dan menyuburkan
proses inovasi dalam mencari jalan baru untuk mengatasi masalah
tersebut. Pengalaman di AS menunjukkan adanya pola penanganan
seperti berikut:
13
Peran Civic Tahap I Tahap II Tahap III Tahap IV
Entrepreneurs Inisiasi Inkubasi Implementasi Perbaikan &
Pembaruan
#1 Motivator ******
#2 Networker ******
#3 Teacher ******
#4 Convener ******
#5 Integrator *******
#6 Driver *******
#7 Mentor *******
#8 Agitator *******
14
universal. Membangun proses inilah memerlukan cukupnya civic leaders
yang memiliki kapasitas civic entrepreneur.
VIII. Penutup
Bagaimana mengatasi persoalan krisis air di Jakarta, pada akhirnya
bersumber pada bagaimana kita merevitalisasi masyarakat agar sesuai
dengan perkembangan ekonomi yang terjadi. Masalah lingkungan hidup
yang dihadapi dan masalah ekonomi yang melilit kesulitan penduduk
hanya dapat diselesaikan melalui kesadaran dan gerakan bersama.
Untuk itu diperlukan nilai baru dan cara baru bagaimana kita melihat
persoalan dan inovasi apa yang harus dilakukan.
Pengalaman dari negara lain menunjukkan bahwa selain diperlukan
cukup tersedianya kelompok civic entrepreneurs dan proses yang
memakan waktu, pada dasarnya diperlukan membangun budaya baru:
the new ways of thinking, feeling and believing. Negara maju seperti AS
saja melakukan hal tersebut, bergotong royong menyelesaikan
permasalahan. Apalagi kita, mestinya mau dan mampu melakukan
kerjasama dan bergotong royong menyelesaikan masalah publik yang
kita hadapi. Persoalan yang ada perlu dilihat sebagai tantangan sebagai
tantangan kita bersama. Rahasianya adalah bagaimana kita berhasil
membangun Tim yang memiki karakter sebagai civic entrepreneurs.
Untuk dapat menuju ke arah tersebut, nilai-nilai dan cara-cara lama
yang sudah terbukti membawa kita dalam kegagalan, perlu segera kita
tinggalkan.
15