Anda di halaman 1dari 3

SUARA PEMBARUAN DAILY

Tantangan ke Depan, Menuju


Masyarakat Berkelas Dunia
Oleh Agus Pakpahan

ROFESOR Alan Schmid dari Michigan State University (MSU), mengatakan bahwa
untuk bekerjanya sistem pasar diperlukan adanya sufficient minimum amount of love.
Jadi, pasar itu dasarnya adalah cinta-kasih, love. Masyarakat akan rusak apabila dasarnya
pasar adalah hanya untuk mencari untung sebesar-besarnya, tanpa adanya moralitas yang
melandasi interaksi antar-individu atau golongan dalam masyarakat itu.

Apa yang dimaksud oleh Schmid dengan minimum amount of love itu? Kita ambil contoh
hal yang sekilas tampaknya kecil tetapi implikasinya besar, misalnya rendemen tebu.
Petani tebu tidak mengetahui dengan pasti berapa sebenarnya kandungan gula yang
terdapat dalam tebu yang akan digiling di suatu pabrik. Apabila tidak ada minimum
amount of love dari pabrik gula, maka dapat saja ia "ngakali" rendemen tebu yang
disampaikan petani, misalnya, seharusnya rendemen tersebut 10 %, maka yang
disampaikan kepada petani hanya 6 %. Manipulasi timbangan pada saat kita membeli
sesuatu di pasar juga akan menjadi praktik bisnis sehari-hari apabila tidak ada minimum
amount of love dari penjual. Demikian pun halnya dengan beredarnya bibit, pupuk atau
pestisida palsu yang merugikan petani. Ini hanyalah contoh kecil bahwa pasar itu tidak
dengan sendirinya baik. Bahkan, sebaliknya pasar dapat menjadi institusi yang merugikan
masyarakat apabila tidak ada moralitas yang mendasarinya. Pasar hanyalah menjadi
media bagi yang "kuat" mengalahkan yang "lemah".

Adam Smith dalam bukunya The Theory of Moral Sentiments (1759), yang diterbitkan
sebelum An Inquiry Into the Nature and Causes of The Weath of The Nations (1776),
menyampaikan bahwa warga negara yang baik adalah warga negara yang berusaha sekuat
tenaganya meningkatkan kesejahteraan seluruh bangsanya. He is certainly not a good
citizen who does not wish to promote, by every means in his power, the welfare of the
whole society of his fellow-citizens, kata Adam Smith. Artinya adalah bahwa setiap
individu perlu menjadi a good citizen dalam ukuran meningkatkan kesejahteraan pihak
lain, kesejahteraan masyarakat. Kembali, dasarnya bukanlah perhitungan untung-rugi
belaka, tetapi lebih mendalam lagi yaitu nilai atau moral yang membangkitkan
kesejahteraan bersama.

Dunia ternyata berkembang ke arah yang tidak membahagiakan. Kesenjangan sosial


makin melebar, kerusakan lingkungan makin menyesakkan dada, kemiskinan makin
meningkat dan kesulitan makin banyak menghadang. Hal ini terutama berlaku bagi kita
dan bagi saudara-saudara kita di belahan bumi yang dinamakan negara berkembang.
Segala hal tersebut menjadi social trap, yang makin hari makin dalam-social capital
deterioration. Love atau trust ternyata menjadi barang yang sangat langka.
Belajar dari perkembangan dunia selama ini, persoalan utama yang kita hadapi bukanlah
persoalan ilmu pengetahuan atau teknologi. Manusia sudah bisa sampai ke bulan puluhan
tahun yang lalu; manusia juga sudah menemukan bioteknologi yang mampu
meningkatkan produksi pertanian. Manusia juga sudah berhasil mengembangkan
teknologi informasi, telekomunikasi dan transportasi yang membuat bumi ini dinamakan
sebagai global village. Tetapi mengapa kemiskinan, kelaparan, keterbelakangan, perang,
dan kesenjangan sosial-ekonomi masih menjadi persoalan pokok bagi kelangsungan
peradaban kita?

Persoalan utama yang kita hadapi adalah kesenjangan antara lingkungan teknologi dan
lingkungan institusional di sekitar kita. Lingkungan teknologi dapat kita amati dan kita
rasakan melalui perubahan-perubahan sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan
dan penemuan-penemuan baru di bidang teknologi. Namun, tidak demikian halnya
dengan jenis lingkungan yang kedua, yang merupakan the invisible structures-hukum
atau berbagai peraturan perundangan lainnya, nilai dan institusi. Kita merasakan
dampaknya tetapi kita tidak bisa melihat wujudnya. Yang terakhir ini merupakan bagian
dari lingkungan budaya kita-social architecture.

Social architecture ini hanya akan berkembang dalam arti positif apabila terjadi
perubahan yang fundamental dalam tatanan nilai, khususnya dalam perkembangan
kehidupan alam bawah sadar kita mengenai kerukunan, keadilan dan kemerdekaan.
Pembangunan pada hakekatnya adalah untuk memerdekakan manusia dari ketidak-adilan
yang menyebabkan berkembangnya ketidak-rukunan. Desain dari social architecture
pada dasarnya adalah menciptakan tatanan nilai dan institusi baik dalam pengertian
peraturan perundangan maupun dimensi akal-budi lainnya yang menentukan bagaimana
saling hubungan antar individu atau antar kelompok masyarakat terhadap lingkungan
fisik atau sumber daya, termasuk kesempatan-kesempatan yang ada, dan terhadap proses
perubahan dalam teknologi yang terus berlangsung.

Globalisasi, yang sering ditafsirkan sebagai proses persaingan antar bangsa atau antar
negara, pada dasarnya merupakan proses bagaimana suatu bangsa mendapatkan manfaat
dari lingkungan global. Untuk dapat memperoleh manfaat tersebut diperlukan adanya
daya saing dari bangsa yang bersangkutan. Daya saing adalah kemampuan untuk
mengalahkan pihak lain dalam memperoleh manfaat dari lingkungan global tersebut.
Jelas, pihak yang kuat akan mengalahkan pihak yang lemah.

Apakah ini tidak sama dengan proses survival of the fittest sebagaimana kita dapat belajar
dari teori evolusi Charles Darwin? Tentu tidaklah demikian yang kita inginkan. Kita,
dalam kehidupan manusia, mengenal akal-budi atau moral yang menjadi prinsip dalam
membangun kehidupan bersama. Globalisasi dalam pengertian di atas perlu kita bangun
atas dasar globalisme, yaitu isme yang mementingkan kebaikan bersama, tingkat
kesejahteraan dan kemerdekaan bersama bagi seluruh penghuni planet bumi ini.
Globalisme adalah dasar bagi terwujudnya global commons.

Dalam era globalisasi, persoalan lokal-global menjadi satu. Tidak mungkin kita
mendapatkan manfaat dari globalisasi apabila barang atau jasa yang kita hasilkan tidak
berkelas global. Tidak mungkin barang-jasa berkelas global akan dihasilkan oleh
masyarakat yang tidak berkelas dunia. Tidak mungkin masyarakat berkelas dunia
terwujud tanpa pemimpin masyarakat yang berkelas dunia pula. Terlihat bahwa ekonomi
dan masyarakat menjadi satu-seperti ikan dengan air. Keduanya harus tumbuh dan
berkembang bersama. Hal ini tidak mungkin terwujud apabila dasar dari
entrepreneurship yang selama ini menjadi inti dari kemajuan global tidak dibingkai
dalam format globalisme yang dicirikan oleh adanya rasa cinta, peduli dan saling
menghargai antar pihak, baik yang berlaku antar bangsa atau antar negara maupun intra
bangsa atau intra negara.

Dalam kaitan ini, Henton et. al. (1997) menjelaskan bagaimana Amerika Serikat (AS)
mengambil kembali kejayaannya melalui pengembangan civic entrepreneur(-ship) (CE).
Jadi, bukan lagi sekedar entrepreneur. Para CE bekerja keras membangun kembali
Austin, Cleveland, Wichita, Arizona, Silicon Valley dan Florida. AS berhasil, dan ini
dapat menjadi contoh bagi daerah-daerah lainnya. Karena itu, tidak cukup landasannya
sekadar entrepreneurship, tetapi harus CE sebagai dasar membangun masyarakat dan
ekonomi sekaligus, sebagaimana yang dimaksudkan Adam Smith atau Alan Schmid,
seperti di atas. CE ini harus muncul dan hidup subur di kalangan pemerintah, dunia
usaha, dan masyarakat, baru masyarakat dan ekonomi masyarakat akan berkembang
positif.

Membangun CE inilah tantangan utama kita ke depan, menuju masyarakat berkelas dunia
untuk menghasilkan barang dan jasa berkelas dunia pula. Pasar sebagai basis mekanisme
ekonomi global memerlukan landasan cinta, yaitu adanya sufficient minimum amount of
love. Ini adalah dimensi moral dari pasar, yang harus dimanifestasikan dalam desain
social architecture yang melandasi interaksi sosial-ekonomi dari kita semua. Pelaku
intinya adalah para civic entrepreneur, baik dari kalangan dunia usaha, pemerintah,
legislatif, yudikatif maupun masyarakat pada umumnya.

Penulis adalah Ketua Badan Eksekutif Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia
(Gapperindo)

Last modified: 26/10/04

Anda mungkin juga menyukai