Anda di halaman 1dari 4

SUARA PEMBARUAN DAILY

Politik, Pemilu, dan Petani


Oleh Agus Pakpahan

EORANG sahabat saya yang berprofesi petani, pada suatu saat bertanya, "Apa sih
artinya politik itu?" "Apa maknanya bagi petani?" Terus terang saya bukan politikus,
bukan anggota partai politik, dan bukan pula anggota caleg, suatu partai atau ahli politik.
Tapi, pertanyaan tadi terus menggoda saya untuk berpikir, khususnya menjelang pemilu
yang sebentar lagi akan kita laksanakan.

Dalam kamus Dictionary of Sociology and Related Sciences saya menemukan arti
politics adalah teori, seni dan praktik pemerintah. "Politics is the art of the possible", tulis
Gary Bertsch et al (1982). Yang dimaksud adalah politik sebagai seni dan pilihan-pilihan
untuk menembus kendala sosial, ekonomi, dan budaya yang membatasi ruang gerak
pemimpin politik mencari jalan keluar dari kekurangan-kekurangan yang dihadapi oleh
suatu masyarakat dalam suatu waktu tertentu.

Politik sebagai suatu proses kreasi perubahan nilai atau sesuatu yang menjadi subjek
keinginan atau tujuan masyarakat atau rakyat. Politik akhirnya berwujud sebagai suatu
sistem. Robert A Dahl (1976) mendefinisikan bahwa sistem politik sebagai "any
persistent pattern of human relationships that involves, to a significant extent, control,
influence, power, or authority".

Kontrol, pengaruh, kekuasaan atau kewenangan merupakan kata yang maknanya sangat
mendalam bagi proses kelanggengan suatu negara dan kaitannya dengan kedamaian,
kemerdekaan, keadilan, kesejahteraan, kemajuan, dan keberlanjutan kehidupan itu
sendiri. Karena itu, kita dapat memahami bahwa politik merupakan hidup-matinya suatu
bangsa atau negara. Dalam sebuah negara demokrasi proses politik tersebut ditentukan
oleh suara mayoritas, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Pemilu adalah cara
untuk menyalurkan suara rakyat tersebut. Karena itu pula pemilihan umum merupakan
proses yang maha penting.

Petani Gurem

Mayoritas penduduk Indonesia adalah petani dan keluarganya. Petani dan keluarganya ini
tinggal bermukim di perdesaan atau bahkan di pedalaman dengan segala keterbatasannya.
Setiap lima tahun sekali proses pemilihan umum berlangsung, dan petani beserta
keluarganya berpartisipasi mencoblos kertas suara. Hasilnya adalah wakil-wakil rakyat,
kecuali pemilu tahun ini kita akan menghasilkan presiden Indonesia secara langsung.

Apakah hasil pemilu selama ini memperbaiki nasib petani dan keluarganya? Mengingat
pentingnya aspek politik terhadap kemajuan dan perbaikan nasib petani dan keluarganya
maka kesempatan ini tak boleh diabaikan begitu saja oleh para petani. Mengapa? Karena
selama ini nasib petani tidak bertambah baik, bahkan menjadi kelompok masyarakat
Indonesia yang kehidupannya makin sulit dari hari ke hari.

Kamus Umum Bahasa Indonesia mengingatkan kepada kita bahwa arti politik itu bisa
juga tipu muslihat, kelicikan akal. Apakah akan terus menerus petani dan keluarganya
diakali atau dapat diakali? Selama ini fakta menunjukkan bahwa walaupun petani dan
keluarganya ini mayoritas penduduk Indonesia, tetapi segala hal yang menentukan tingkat
kehidupan petani berada di luar jangkauan atau pengaruh petani. Karena itu, derajat
kehidupan petani tidak berubah. Amartya Sen dalam bukunya Development as Freedom,
mengingatkan bahwa pembangunan itu adalah memerdekakan dari segala hal kendala
kehidupan. Kemiskinan, ketertinggalan, ketidakadilan merupakan bagian
ketidakmerdekaan. Dapatkah pemilu memerdekaan petani dan keluarganya dari
ketidakmerdekaan tersebut?

Mari kita belajar dari negara maju. Kita ambil kasus Amerika Serikat (AS), Uni Eropa
atau Jepang. Secara politik, petani merupakan warga terhormat di negara ini walaupun
populasinya di bawah 10% penduduk. Mengapa? Karena negara telah membangun sistem
nilai yang dituangkan dalam undang-undang yang melindungi dan memajukan kehidupan
para petaninya. Di AS, misalnya, Abraham Lincoln menciptakan Homestead Act 1862,
yang memberikan lahan 65 hektare per kapling untuk petani. Ini adalah modal tanah.
Selanjutnya, AS pada tahun 1862 juga melahirkan Morrill Act 1862, yaitu landasan
berdirinya Land Grant College. Ini adalah modal "otak" untuk pertanian.

Sekarang sudah puluhan atau bahkan ratusan peraturan perundangan yang membela dan
melindungi petani. Sebagai ilustrasi juga, dengan landasan undang-undang, Thailand
memiliki BAAC (Bank for agriculture and agricultural cooperatives), Malaysia memiliki
Bank Pertanian Malaysia (BPM) dan Afrika Selatan memiliki Land and Agricultural
Development Bank (LADB). Sebaliknya yang terjadi di Indonesia. Bahkan lebih jauh
dari itu, petani menghadapi penyelundupan gula atau beras atau yang lainnya, yang sudah
menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Ini semua tentu mematikan petani.

Hati kita pun tidak tergerak kalau membaca statistik bahwa petani Indonesia luas
kepemilikan lahannya gurem. Tidak rasional kita mengharapkan kemajuan pertanian
kalau luas lahan per petani kurang dari satu hektare. Undang-undang yang ada, sebagai
wujud dari collective rationality, tidak menunjukkan pembelaan terhadap kehidupan
petani secara mendasar.

Janji Saat Pemilu

Mengapa sangat sulit untuk membangun pertanian?Karena idealisme tidak ada dalam
benak para pemimpin kita. Janji-janji yang disampaikan pada saat pemilu kepada para
petani, tidak diikuti oleh wujud tindakan oleh para pemimpin dalam mengelola negara
ini. Dalam APBN 2004 pendapatan negara dari cukai Rp 27,6 triliun atau 7,8% dari
APBN atau 1,4% dari PDB atau 38,9% dari anggaran pembangunan. Hampir seluruhnya
itu berupa cukai rokok. Berapa dukungan pemerintah terhadap petani tembakau dan
petani cengkeh? Tidak banyak.
Anggaran pembangunan untuk sektor pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan
hanyalah Rp 4,9 triliun (6,9% dari anggaran pembangunan). Berapa penerimaan negara
dari bagian laba BUMN? Hanya Rp 11,4 triliun (0,6% dari PDB). Berapa pesangon yang
dibayarkan kepada eks-karyawan BPPN? Pembobolan BNI? Dana rekapitalisasi bank?
Utang negara? Petani dan keluarganya ikut memikulnya.

Bandingkan dengan kontribusi petani untuk investasi untuk luas panen 11,4 juta ha
sawah, 3,2 juta ha jagung, 0,6 juta ha kedelai, 1,3 juta ha ubikayu, 1,2 juta ha kelapa
sawit, 3 juta ha karet, 0,6 juta ha kakao, 1,2 juta ha kopi, dan lain-lain. Tentu nilainya
triliunan rupiah. Tetapi hakikat yang lebih dalam adalah petani menanam kebaikan yang
harganya tak terhingga.

Hasil investasi para petani ini memiliki potensi membangkitkan perekonomian yang
sangat besar dan ditangkap oleh sisi hilir seperti industri pengolahan dan perdagangan
termasuk perbankan, baik di dalam maupun luar negeri. Dalam majalah Fortune 500 jelas
terpampang Nestle (berbasis pertanian) menduduki urutan ke-12 perusahaan terbesar di
Eropa dengan pendapatan tahun 2002 senilai US$ 57,2 miliar, padahal Nestle tidak
memiliki kebun kopi atau kakao.

Petani di Indonesia sering dilupakan. Saat ini sistem politik dan infrastruktur yang ada
memang belum menguntungkan petani. Petani memang belum terbiasa berpolitik. Karena
itu, walaupun mayoritas penduduk Indonesia adalah petani dan keluarganya, suara petani
belum bersenyawa dengan nilai dan praktik-praktik politik di Indonesia. Petani lebih
banyak dijadikan alat saja untuk mencapai tujuan politik pihak-pihak tertentu.

Tentu hal ini tidak akan berlaku selamanya. Abraham Lincoln, presiden dan orang besar
bangsa AS mengingatkan: "It is true that you may fool all the people some of the time;
you may even fool some of the people all of the time; but you cannot fool all of the people
all of the time".

Pertanian adalah "Soal Hidup atau Mati". Mengertikah engkau, bahwa kita sekarang ini
menghadapi satu bajangan hari kemudian jang amat ngeri, bahkan satu todongan pistol
"mau hidup ataukah mau mati", satu tekanan tugas "to be or not to be". "Engkau pemuda-
pemudi, engkau terutama sekali harus mendjawab pertanjaan itu, sebab hari kemudian
adalah harimu, alam kemudian adalah alammu,-bukan alam kami kaum tua, jang vroeg
of laat akan dipanggil pulang kerachmatullah." Begitulah amanat Presiden Soekarno
yang disampaikan pada acara peletakkan batu pertama pembangunan Gedung Fakultet
Pertanian Institut Pertanian Bogor, 27 April 1952.

Semoga pemilu yang akan kita laksanakan sebentar lagi dapat dilaksanakan dengan
sukses dan menghasilkan para wakil rakyat dan presiden Indonesia yang mampu
menciptakan iklim baru dan jalan baru bagi petani pada khususnya dan bangsa Indonesia
pada umumnya, mampu mengangkat pertanian menjadi persoalan "hidup-matinya" rakyat
dan bangsa Indonesia. Jangan hanya menghasilkan politik dan pemimpin yang penuh tipu
muslihat untuk petani.
Penulis adalah Ketua Badan Eksekutif Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia
(GAPPERINDO)

Last modified: 2/4/04

Anda mungkin juga menyukai