101
MENGAPA KITA TERTINGGAL ? Karena Kita Lalai akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat Agus Pakpahan
MENGAPA KITA TERTINGGAL? :
Karena Kita Lalai akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat
1
Agus Pakpahan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
Jl. A. Yani 70 Bogor
PENDAHULUAN
Dalam kondisi ketidaksempurnaan pengalaman dan pengetahuan, saya
menyaksikan bahwa kondisi kita sebagai bangsa dan negara, sedang berada dalam
"persimpangan jalan". “Persimpangan jalan" ini bukanlah sebagai suatu sebab,
melainkan merupakan akibat. Akibat dari kelemahan sikap kedirian, yaitu tidak
paham, baik karena lalai atau karena sebab lain, akan diri kita sendiri, akan
kelemahan dan kelebihan diri sebagai bangsa.
Kalau saya berkata bahwa bangsa kita merupakan bangsa yang besar,
maka saya dapat merasakan bahwa pembaca mungkin akan melihat saya sebagai
seorang utopis. Karena dalam pengamatan, saya melihat bahwa sikap kita pada
umumnya terhadap bangsa kita sendiri sudah sangat sinis atau bahkan lebih dari
itu, sudah banyak orang merasa malu menjadi Bangsa Indonesia.
Bagaimana mungkin kita merasa besar apabila orang menilai kita sebagai
salah satu bangsa yang terkorup di dunia, bangsa yang miskin tetapi utangnya
sangat besar, bangsa yang sudah tega membakar hiduphidup manusia? Saya
tidak membantah bahwa hal tersebut sudah menjadi cerita seharihari dewasa ini.
Tetapi saya berdasarkan data yang ada juga ingin mengatakan bahwa bangsa kita
masih memiliki harapan besar untuk kembali menjadi bangsa yang besar dan
terhormat. Semuanya itu tergantung kepada kita semua.
Pernahkan kita berpikir bahwa perubahan besar pernah diajarkan oleh para
pendahulu kita? Pelajaran yang paling besar adalah kerukunan dalam
keanekaragaman. Kerukunan umat antaragama, kerukunan antar asalusul kita
semua, kerukunan antarsemua pernah diajarkan oleh kerajaankerajaan besar pada
masa lalu. Di desa dimana saya dilahirkan dan dibesarkan, pernah kuwunya
(kepala desa) yang terkenal berasal dari Batak, padahal ia hidup dan memimpin
desa di tanah Pasundan, yang sebagian besar penduduknya waktu itu tidak dapat
berbahasa Indonesia. Ini pun dapat dijadikan contoh kebesaran jiwa rakyat kita.
Saya pikir kasus tersebut juga banyak terjadi di daerah lain. Kerukunan ini
merupakan pelajaran utama dari para leluhur kita yang melahirkan semboyan
1
Tulisan disampaikan sebagai bahan diskusi pada Diskusi Panel “Arah Pembangunan Sektor
Pertanian dan Implikasinya terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani”, Jakarta, Selasa 1 Juli 2003,
STEKPI, Jalan Kalibata Pasar Minggu, Jakarta 12760.
Page 2
102
AKP. Volume 2 No. 2, Juni 2004 : 101118
Bhinneka Tunggal Ika. Karena kerukunan ini pula telah melahirkan negara ciptaan
yang dasarnya adalah keanekaragaman nilai, yaitu Indonesia.
Kerukunan dalam keanekaragaman nilai adalah suatu hakekat
kemanusiaan yang dasarnya sangat kuat dan dalam, dan implikasinya sangat
dahsyat pula. Kerukunan itu juga tidak datang dengan sendirinya, melainkan
merupakan hasil pembelajaran dan kedisiplinan serta komitmen yang tinggi dalam
memegang teguh nilai kesamaan dan persamaan dalam keanekaragaman. Ini
memerlukan cakrawala pandangan dan penghargaan serta keikhlasan atas
perbedaanperbedaan. Perbedaan dipandang sebagai anugrah, bukan kendala,
apalagi sebagai masalah. Bahkan sebaliknya, perbedaan ini menjadi sumber
interpretasi, reinterpretasi dalam proses rekreasi. Keunikan dihargai lebih penting
dari relativitas. Karena itu, semua memiliki tempat dalam iklim kehidupan yang
saling menghormati, tanpa ada paksa memaksakan. Karena itu pula, evolusi atau
revolusi nilai, hanya terjadi sebagai hasil dari proses pembelajaran bersama.
Akarnya adalah kebudayaan. Yang dimaksud dengan kebudayaan adalah
sangat sederhana tetapi mendasar, yaitu: "the way of thinking, feeling, believing
and behaving". Kebudayaan yang saling menghargai, simpati dan empati terhadap
orang lain yang berbeda dari diri kita. Atas pengertian ini, maka ciri dari
kebudayaan itu terletak pada manusia dan masyarakatnya, bukan kepada
kebendaan belaka. Memang bendabenda hasil ciptaan manusia seperti bangunan,
jalan, kendaraan, nyanyian, lukisan, drama, dan semuanya menggambarkan artifak
dari suatu kebudayaan, namun hal tersebut perlu dipandang sebagai bagian dari
gambaran kapabilitas manusia dan masyarakatnya. Kalau dibalik argumennya, kita
dapat memperoleh gambaran yang sebaliknya. Misalnya, kita katakan apabila
masyarakat itu sudah menggunakan telepon genggam tetapi penggunaannya hanya
sebatas untuk membicarakan gosip atau "ngerumpi" maka kita tidak dapat
mengatakan bahwa masyarakat tersebut sudah berbudaya maju. Atau, walaupun
seseorang mengendarai Mercedes Benz New Eyes, tetapi ia membuang kulit
pisang di jalan raya, maka ini pun bukan gambaran suatu kemajuan budaya.
Apalagi kalau sudah menyangkut hal yang besar dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, yaitu apabila para pemimpin melihat rakyat kebanyakan atau para
petani, misalnya, sebagai orang bodoh atau tak bisa diajak bicara. Cara
memandang seperti ini pun adalah bagian dari kebudayaan.
Kerukunan adalah bagian dari kebudayaan. Dalam kebudayaan tersebut
ada kandungan yang dapat mengusik kerukunan masyarakat dimana secara riil
keanekaragaman merupakan karakter dari masyarakat yang dibicarakan.
Kandungan yang dapat mengusik tersebut adalah nilai kemerdekaan dan keadilan.
Kedua nilai dasar ini satu dengan lainnya bersenyawa. Kemerdekaan adalah wujud
keadilan dan keadilan juga adalah makna dari kemerdekaan. Kemerdekaan di sini
tidak hanya berarti secara politik, tetapi bermakna lebih dalam lagi. Kemerdekaan
berarti minimalnya kendala dari segala kesulitan hidup sebagai manusia.
Kemiskinan, karena itu, sebagai wujud ketidakmerdekaan dalam mengatasi
kebutuhan fisikbiologis untuk hidup normal sebagai manusia, termasuk di
Page 3
103
MENGAPA KITA TERTINGGAL ? Karena Kita Lalai akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat Agus Pakpahan
dalamnya adalah kemampuan regenerasi secara sehat. Makin miskin suatu
masyarakat, maka makin besar kendala yang dihadapi, maka semakin pula tidak
merdeka. Adapun kesenjangan yang lebar menganga antara masyarakat yang
mayoritas miskin dan minoritas yang kaya merupakan wujud ketidakadilan.
Ketidakadilan ini pada hakekatnya juga merupakan wujud ketidakmerdekaan bagi
kedua belah pihak mengingat pihak yang miskin akan menjadi kendala atau
bahkan gangguan dan ancaman bagi pihak yang kaya, sedangkan pihak yang kaya
menjadi sumber pemicu dan pemacu rasa makin miskin bagi golongan miskin,
yang pada derajat tertentu menjadi juga sumber berkembangnya rasa tertindas.
Rasa tertindas ini pada akhirnya menjadi pemicu dan pemacu revolusi sosial.
Kerukunan tidak akan terwujud apabila kemerdekaan dan keadilan tidak dijadikan
dasar dalam membangun suatu masyarakat atau negara.
Dalam bahasa ekonomi, kerukunan sebagaimana dimaksud di atas adalah
cultural capital atau sering juga dinamakan social capital. Kapital jenis ini sering
luput dari perhatian kita semua. Kapital yang menjadi sumber perhatian kita pada
umumnya terbatas pada kapital dalam arti fisik (Physical capital) seperti barang
modal, sumberdaya alam, atau hal yang sejenis. Modal manusia dalam artian
keterampilan dan keahlian barubaru saja menjadi perhatian, namun ini juga sering
diterjemahkan secara sempit. Cultural capital sebenarnya merupakan pondasi dari
segala proses yang akan menghasilkan benda ekonomi baik dalam bentuk barang
maupun bentuk jasa. Bahkan, cultural capital inilah yang mendefinisikan segala
kesempatan ekonomi dalam suatu masyarakat. Sebagai ilustrasi, apa yang kita
maksud dengan pangan pada dasarnya ditentukan oleh kebudayaan, mengingat
pangan itu merupakan bagian dari kebudayaan. Misalnya tiwul merupakan pangan
pokok bagi saudarasaudara kita di daerah Gunung Kidul; sagu merupakan
makanan pokok di Maluku dan Papua; sedangkan ubi merupakan makanan pokok
saudara kita di Papua pegunungan. Adapun beras merupakan makanan pokok bagi
sebagian besar penduduk Indonesia mengingat adanya intervensi kebudayaan
pangan dari Jawa ke daerahdaerah lain (ricezation). Hal lainnya juga sama,
misalnya alatalat pertanian secara indigenous diciptakan oleh kebudayaan
kebudayaan masyarakat yang beraneka ragam. Oleh karena itu, gugus pilihan
(opportunity sets) baik yang dihadapi produsen maupun konsumen tak terlepas
dari ruang lingkup kebudayaan masyarakat.
Dalam bentuk yang lebih abstrak citacita, harapan, tujuan, kemajuan,
kesejahteraan, kedamaian, dan tanggung jawab bersama juga merupakan Cultural
capital. Common values semacam itu merupakan landasan komunikasi dan proses
pembelajaran yang maha penting dalam mewujudkan masa depan bersama yang
lebih baik. Adanya common values tersebut membuat interaksi sosial menjadi
lebih lancar, lebih mudah dan lebih murah untuk mencapai common goals atau
common goods. Sejalan dengan pemikiran ini maka efisiensi, keadilan,
kemerdekaan, fairness dan equality merupakan nilai sebagai instrumen sekaligus
tujuan untuk mencapai the common goods, yang juga menjadi bagian dari
kebudayaan.
Page 4
104
AKP. Volume 2 No. 2, Juni 2004 : 101118
Setiap ciptaan manusia selalu tidak sempurna, termasuk di dalamnya
adalah dimensi dimensi nilai dan kebudayaan. Ibarat sebuah pohon besar yang
akarnya kuat, pada akhimya ia akan "dimakan" usia juga. Akhirnya pohon tersebut
akan mati juga pada suatu saat. Keberlanjutan pohon tersebut hanya dimungkinkan
apabila terjadi regenerasi. Demikian pun halnya dengan ciptaan manusia. Ia akan
usang dan akhirnya ditinggalkan apabila tidak ada proses penciptaan ulang yang
melahirkan proses regenerasi. Karena itu, mewarisi saja tidaklah cukup karena
waktu terus berjalan, dunia terus berputar dan bumi terus bergulir. Cultural capital
yang diwariskan oleh para leluhur perlu dijaga, dipelihara dan direinterpretasi
yang akhirnya menghasilkan ciptaan baru yang lebih sesuai dengan kondisi
zaman. Ini adalah recreation yang merupakan proses noogenetic yang tiada
berujung, tiada akhir, dan terus akan menghasilkan "hybridhybrid" baru yang
tetap mengakar pada asalmula kita sebagai bangsa Indonesia.
Kurangnya atau lambannya proses penciptaan ulang inilah yang selama ini
kurang mendapat perhatian. Nilainilai luhur budaya bangsa kurang mendapat
tempat untuk mendapatkan reinterpretasi dan rekreasi. Yang dilanggengkan adalah
mitosmitos lama yang kehilangan sukma. Mitos adalah sangat penting mengingat
hal tersebut juga banyak memberikan inspirasi terhadap akar darimana kita
berasal. Namun, tanpa adanya reinterpretasi dan rekreasi, ia tidak banyak
memberikan arti bagi kehidupan di alam baru. Hal inilah yang menjadi penyebab
utama ketertinggalan kita hampir dalam setiap segi dibandingkan dengan saudara
saudara kita di Thailand, Korea Selatan, atau Malaysia sekalipun.
Apa yang dikemukakan di atas adalah sebuah penegasan bahwa kita tidak
boleh lupa akan nilainilai yang mengakar dan telah terbukti menjadi "senjata"
ampuh para leluhur kita dalam menciptakan Indonesia. Di sinilah kita perlu
mencipta ulang, bukan mendaur ulang nilainilai tersebut sesuai dengan
perkembangan situasi dan kondisi tatanan masyarakat dunia yang secara
keseluruhan sudah berbeda. Kata mencipta ulang, atau recreation merupakan kata
kunci untuk keberlanjutan idealisme, gagasan atau kehidupan alam pikiran dan
perasaan kita sebagai bangsa Indonesia. Dengan proses mencipta ulang tersebut
maka jiwa dan semangat kita akan hidup menyala menerangi alam pikiran dan
perasaan kita semua.
Proses mencipta ulang inilah yang selama ini mengendur dan yang
berkembang adalah proses fotokopi atau formalitas dalam berbangsa dan
bernegara. Lebih buruk lagi yang terjadi sekarang ini adalah proses nihilisasi diri
kita sendiri. Akibatnya adalah berkembangnya iklim frustasi. Iklim frustasi ini
berkembang akibat ketidakmampuan diri mencari jalan keluar dari perangkap
yang kita buat sendiri berupa nilainilai yang mengingkari jati diri, nilainilai yang
keluar dari akar budaya sendiri, atau nilainilai yang didominasi oleh kebudayaan
asing yang ditempatkan lebih tinggi dari diri kita sendiri. Para leluhur kita
menamakan hal ini sebagai mental inlander yang seharusnya dibasmi.
Page 5
105
MENGAPA KITA TERTINGGAL ? Karena Kita Lalai akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat Agus Pakpahan
Mentalitas inlander adalah sikap mental rendah diri. Tapi, dalam melihat
rakyat sendiri, ia tinggi hati. Apabila ia melihat petani, misalnya maka yang ada
dalam pikirannya adalah bahwa petani itu orang bodoh yang tak mengerti. Tidak
seperti halnya Bung Karno sewaktu bertemu Pak Marhaen, Bung Karno
mendapatkan inspirasi, maka sebaliknya kita melakukan nihilisasi dan penghinaan
terhadap saudara sendiri. Kita selalu mendengar bahwa "our strategic partner itu
adalah investor luar negeri". Sedangkan bangsa sendiri dipandang pantas hanya
menjadi kuli. Bayangkan berapa besar subsidi bunga yang diberikan kepada
konglomerat yang saat ini hutangnya harus menjadi tanggungan anak negeri. Dari
rekapitalisasi bank senilai Rp 600 triliun subsidi bunganya per tahun sudah berapa.
Jumlah tersebut sudah cukup memberikan pelayanan pendidikan bagi anak negeri.
Yang lebih fundamental lagi adalah cara pandang terhadap anak negeri. Seperti
telah dikemukakan, anak negeri hanya cocok untuk menjadi kuli baik di negeri
sendiri maupun di luar negeri. Mungkin ini tak disadari, tetapi dari garis
kebijaksanaan yang dilaksanakan itu dapat menjadi reinterpretasi dan bukti
nihilisasi. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan rasa harga diri terusik dan
kerukunan terancam. Akhirnya secara keseluruhan Indonesia sebagai hasil ciptaan
juga berada di persimpangan jalan.
Uraian berikut ini mencoba menyampaikan pemikiran untuk mencari jalan
keluar, khususnya untuk mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi. Secara
khusus pula disampaikan pemikiran untuk membangkitkan pertanian dalam arti
seluasluasnya sebagai alternatif solusi masa depan Indonesia. Thesis saya sebagai
jawaban atas permasalahan tersebut adalah kita tertinggal karena kita lalai akan
dinamika dan kekuatan rakyat dan kekuatan sendiri, sebagai cultural capital yang
sangat penting, dalam membangun perekonomian bangsa ini.
KEKUATAN ITU TERLETAK DALAM DIRI KITA
Dimana kekuatan itu berada, baik sebagai individu maupun bangsa?
Kekuatan itu terletak pada diri kita sendiri, bukan berada pada diri orang lain atau
bangsa dan negara lain. lni adalah hal yang sangat prinsipil. Memang benar bahwa
kita berada dan hidup saling berdampingan dengan bangsa dan negara lain,
terlebihlebih dalam era global ke depan. Namun, meletakkan kekuatan atas
kekuatan diri sendiri tidak boleh diabaikan. Hal ini merupakan sikap mental
kemandirian yang harus tetap menjadi karakter diri kita, bukan sebaliknya,
meletakan nasib diri kita atas dasar ketergantungan
Saling ketergantungan hanya mungkin terwujud apabila didahului oleh
kemandirian, tanpa itu yang terjadi adalah ketergantungan. Sekali ketergantungan
menjadi karakter kita, maka pada saat itulah kita menjadi makhluk yang lemah.
Ibarat seekor burung da1am sangkar, kehidupannya tergantung pada pemelihara
burung tersebut. Setelah sekian lama dikurung, akhirnya dibuat tergantung, maka
Page 6
106
AKP. Volume 2 No. 2, Juni 2004 : 101118
kalaupun dilepas ke alam bebas, ia tak akan mampu hidup. Manusia pun demikian,
kalau sudah sikap mental ketergantungan menjadi suatu kebudayaan, maka kita
pun tak akan mampu hidup di alam bebas. Artinya, kita tidak dapat menjadi orang
dan bangsa yang merdeka.
POTENSI BESAR HASIL INVESTASI PETANI
Kurang lebih dalam 30 tahun terakhir ini, kita kurang melihat dan mencari
jati diri. Kita kurang mengkaji dan mendalami kekuatan kita yang mengakar dan
hidup dalam alam perasaan dan pikiran diri kita sendiri. Kita tidak mencari rahasia
atau misteri dibalik terwujudnya kita sebagai bangsa dan negara yang merdeka.
Ibarat dalam persilatan, kita tidak dapat menemukan dan menggunakan "tenaga
dalam", yang kekuatannya dahsyat itu. Bahkan, "tenaga dalam" yang kita miliki
itu tanpa kita sadari dimanfaatkan oleh pihakpihak luar dalam berbagai bentuk
pemanfaatan, yang pada umumnya tak dapat dibedakan dengan penghisapan.
Kita mulai dari komoditas yang klasik, yaitu perkebunan. Gula pada
zaman Belanda adalah hasil ekspor nomor satu. Kopi dan teh juga komoditas yang
membuat pengusaha Eropa kaya dan konsumen di negara maju menikmatinya.
Pala dan lada juga demikian. Karet dalam bentuk ban dan produk lainnya
merupakan ciri peradaban negara maju. Kakao dengan ragam coklat merupakan
bahan makanan dan minuman yang sudah menjadi simbol konsumsi masyarakat
negara maju. Turunan produk kelapa sawit juga demikian. Siapa yang menanam
pabrikpabrik biologis yang menghasilkan produkproduk tersebut? The real
investorsnya adalah para petani. Petani menanamkan investasinya dalam kebun
karet seluas 3,5 juta hektar; kebun kelapa 3,7 juta hektar dan jutaan hektar
perkebunan komoditas lainnya. Investasi ini triliunan nilainya dan mereka
mengembangkan semua ini tanpa dana BLBI. ltu semua dengan modal sendiri
yang terdiri dari "beras, garam, cangkul dan bibit sendiri". Hasil ekspornya saja
berkisar US$ 5 milyar per tahun. Nilai ini rendah karena memang belum diolah.
Tetapi kalau diolah nilainya itu luar biasa. Kita ambil contoh tembakau, yang
setelah menjadi rokok, memberikan cukai lebih dan Rp 20 triliun atau sekitar US$
2,35 milyar dari areal tembakau sekitar 170 ribu hektar. lni baru cukainya saja,
belum manfaat yang lain. Bandingkan dengan pajak dan dividen dan PTPN I s/d
PTPN XIV, per tahunnya kurang lebih Rp 1 triliun, belum dipotong likuidasi atau
hutanghutang yang menjadi tanggungannya. Data ini menunjukkan kepada kita
bahwa petani perkebunan telah melakukan investasi yang sangat besar tetapi
belum dilanjutkan oleh industriawan lainnya.
Dalam hal pangan juga sama. Para petani mencetak sawah jutaan hektar
dengan produksi jutaan ton gabah. Kalau dihitung dengan nilai proyek, mencetak
sawah jutaan hektar itu berapa besar nilai dananya. Tetapi, investasi petani ini
kurang diberi arti. Nilai beras diberi sebatas nilai pasar, yang mana pasar ini sering
Page 7
107
MENGAPA KITA TERTINGGAL ? Karena Kita Lalai akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat Agus Pakpahan
sekali sudah terdistorsi. Petani jagung dan gandum di negara maju menikmati
subsidi, terutama yang sifatnya terselubung. Karena itu harga pasar intemasional
sering mencerminkan artificial surplus.
Selanjutnya, kita jarang mengingat dan tidak memasukkan unsur nilai
selain harga pada komoditas pangan. Padahal, nilai pangan itu harusnya terdiri
atas: exchange values, instrumental values dan intrinsic values. Exchange values
ini merupakan hasil mekanisme pasar dimana pasar itu sendiri, sebagaimana telah
dikemukakan tak pernah sempurna atau terdistorsi. lnstrumental values adalah
values yang diberikan oleh beras atau pangan untuk menghasilkan the common
goods seperti kesehatan dan dimensi quality oj life yang lain; sedangkan intrinsic
values adalah nilai yang memang ada karena keberadaannya itu sendiri. Di sinilah
letaknya persoalan, kalau kita hanya melihat satu dimensi saja. Karena dengan
begitu kita akan menihilkan peran petani. "Lebih baik impor saja”, misalnya,
menjadi statement yang menyesatkan. Kita tidak belajar dari bangsabangsa yang
sudah maju, mengapa mereka sangat kuat pembelaannya terhadap pangan, petani
dan pertaniannya.
Dalam bidangbidang lainnya pun petani berada dalam barisan terdepan
sebagai investor utama di negeri ini. Kalau pertanian itu tidak berkembang,
penyebabnya bukan kesalahan petani, tetapi kekeliruan dari pengambil kebijakan
dan pelaku ekonomi lainnya yang tak dapat mensyukuri dan melanjutkan hasil
petani tersebut.
Kalau kita periksa secara seksama, maka dari kelapa sawit dapat
dihasilkan ratusan produk, demikian juga dari kelapa, karet, tebu, kakao, kopi dan
sebagainya. Produk ini diolah di luar negeri dan kita hanya menjadi pengekspor
bahan baku. Kemudian kita sendiri membangun industri, tetapi bergantung dari
bahan baku hasil di luar negeri. Ini adalah suatu bukti adanya paradox atau tak
melihat kemampuan sendiri.
Indonesia ini penduduknya besar. Kita tidak mungkin dapat menyelesai
kan persoalan tanpa partisipasi sebagian besar penduduknya dalam kegiatan
perekonomian. Kalau mereka menganggur, apalagi menganggurnya itu akibat dari
suatu kebijakan yang keliru, maka kerukunan akan terganggu. Terganggunya
kerukunan merupakan awal dari deteriorisasi cultural capital yang akan mengubah
dan saling sayang menjadi saling benci, saling iri, saling curiga, dan ratusan saling
buruk lainnya. Sebaliknya yang akan terjadi apabila kita mampu menciptakan
lapangan pekerjaan dan sumber pendapatan yang layak bagi sebagian besar rakyat
Indonesia.
Kekuatan besar rakyat sebagaimana diungkapkan di atas, dewasa ini
tersumbat atau mencari jalan sendiri dalam masingmasing kosmologinya. Ibarat
butiran air hujan, ia langsung mengalir ke laut teras tanpa ada waktu untuk kita
memanfaatkannya, atau ia masuk bendungan, tetapi bendungannya bocor, atau ia
terperangkap dalam lubang besar dan tergenang tak termanfaatkan. Ekonomi itu
seperti air, ia merupakan interaksi antara stock dan flow resources. Kalau
Page 8
108
AKP. Volume 2 No. 2, Juni 2004 : 101118
alirannya terganggu, tak termanfaatkan, maka nilainya juga tidak meningkat.
Barang yang kita hasilkan, langsung masuk ke "lautan pasar" tanpa kita olah dulu.
Yang mengolah adalah pihakpihak lain yang menguasai "bendunganbendungan"
berupa storage dan industri pengolahannya. Akibatnya, flow yang lebih besar dan
bernilai tinggi ada di sana, di dunia lain. Kemudian kita beli kembali dengan
mengimpornya. Arus ini harus kita balik, agar kita mendapatkan manfaat yang
lebih besar.
MEMBALIK ARUS DAN GELOMBANG SEJARAH
Sejarah telah memberikan pelajaran yang sangat berharga, termasuk di
dalamnya betapa dahsyatnya kekuatan dari dalam yaitu kekuatan rakyat. Pada
bulan Maret 1602, atau 401 tahun yang lalu. Belanda melakukan reinterpretasi dan
rekreasi institusi perdagangannya dengan menciptakan VOC. Institusi ini
merupakan jalan dan sekaligus kendaraan untuk Belanda menjadi besar dengan
sumber kekuatan yang ada ribuan mil dari Netherland yaitu Nusantara. Dengan
segala kekuatan yang ada, Belanda berhasil memonopoli perdagangan hasil bumi
yang nilainya waktu itu luar biasa. ltu semua adalah hasil kerja petani. Falsafah
merchantilism menjadi dasar operasional perdagangan. Mengangkut barang
mentah sebanyakbanyaknya dan mengolah di negeri Belanda yang menjadi tujuan
perdagangan. Kita dapat menyaksikan bahwa hingga sekarang masih berlaku
falsafah tersebut, yaitu bekas negaranegara jajahan hanyalah sebagai pemasok
bahan baku saja. Kelihatannya ini pula yang masih menjadi falsafah perdagangan
global dewasa ini.
Wujud nyata dari falsafah tersebut adalah dapat kita baca dari institusi
perdagangan dunia. Unilever, Monsanto, Cargill, Nestle dan sejenisnya
merupakan institusi perdagangan internasional yang mengolah hasil petani,
termasuk hasil pertanian dari negaranegara berkembang. Indofood, merupakan
perusahaan multinasional Indonesia, yang mengolah juga hasil pertanian, namun
bahan bakunya gandum didatangkan dari luar negeri. Adapun BUMN di bidang
pertanian, seperti PTPN menghasilkan produk yang sama dengan yang dihasilkan
petani, atau hanya menghasilkan industri primer saja. Asosiasi perdagangan hasil
pertanian seperti AEKI, AELI, GAPKINDO, dan sejenisnya juga belum banyak
memberikan kontribusi terhadap para petani dimana mereka mendapatkan
keuntungan dan menjual hasil para petani. Pola perdagangan kita juga dapat
dikatakan masih tertinggal. Bahkan, para pedagang luar negeri masuk ke desa
desa untuk membeli bahan baku dan kita kalah bersaing dengan mereka. Investasi
di bidang agroindustri juga dapat dikatakan belum sepadan. Karena itu, ekonomi
tidak mengalir, atau hanya mengalir tapi langsung ke laut lepas.
Data selama puluhan tahun atau lebih lama lagi menunjukkan bahwa
hargaharga riil produk primer, termasuk produk primer pertanian cenderung
Page 9
109
MENGAPA KITA TERTINGGAL ? Karena Kita Lalai akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat Agus Pakpahan
menurun terus dengan tingkat fluktuasi yang relatif besar. Tidak demikian halnya
dengan produk hasil olahan, harga riilnya relatif stabil atau kecenderungannya
meningkat. Banyak peneliti telah memperlihatkan kondisi ini, misalnya Barnett
dan Morse (1963), Nordhaus (1974), Proudley (1987), Trengove (1986) dan Grilli
dan Yang (1988). Bahkan Grilli dan Yang menunjukkan bahwa hargaharga relatif
dari produk primer terhadap produk olahan menurun dengan laju 0,5 persen per
tahun selama 18701980. Pola ini menyebabkan divergensi kemakmuran antara
penghasil produk primer yang hampir seluruhnya petani dengan para pedagang
atau prosesor, dan divergensi antara negaranegara berkembang sebagai
pengekspor bahan baku dengan prosesor dan pedagang di negara maju. Jeff Sachs
secara kuantitatif telah menunjukkan fenomena ini, yaitu telah terjadi kesenjangan
yang makin lebar antara pendapatan per kapita negaranegara berkembang yang
pada umumnya berada di daerah iklim tropika dengan negara maju yang hampir
seluruhnya berada di daerah dengan iklim temperate.
Fenomena di atas telah menunjukkan kepada kita tentang situasi dunia
dalam kurun waktu yang relatif lama. Citacita dunia untuk menjadi satu
masyarakat dunia yang tingkat kesejahteraannya relatif adil belum terwujud,
bahkan kecenderungan yang sebaliknya akan terjadi. Secara agregat memang
tingkat kesejahteraan meningkat, namun pada saat yang bersamaan juga
kemiskinan meningkat, kesenjangan meningkat dan ditambah lagi dengan
kerusakan lingkungan hidup yang makin parah. Keseluruhan karakter buruk
(badness) dari masyarakat tersebut sebagian terbesar berada di negaranegara
berkembang, khususnya di Asia dan Afrika. Fenomena ini juga sudah menjadi
perhatian dunia dan mencari upaya untuk mengatasinya, misalnya, MIT secara
khusus membentuk sebuah Tim untuk mencari solusi masalah ini.
Atas dasar realitas sebagaimana diuraikan, maka kita tidak dapat
mengikuti flow atau arus gerak ekonomi dunia apabila kita ingin mendapatkan
nilai tambah dari misi kehidupan di tanah Nusantara ini. Ketertinggalan kita
selama ini dalam kacamata global adalah karena kita tidak dapat keluar dari orbit
yang ada, melainkan ikut arus dunia yang secara nyata merugikan kita. Bangsa
lain juga berlomba untuk menjadi "trend setter" bagi bangsabangsa lainnya.
Dalam hal ini kita dapat merasakan betapa beratnya beban yang harus kita pikul,
mengingat memang kita ini sudah tertinggal. Dapat dibayangkan, dari dua
indikator saja kita sudah berat: pertama, kemampuan teknologi yang dicerminkan
oleh jumlah paten yang diterima, seluruh negara tropis pada tahun 1995 hanya
menerima kurang dari 2 persen dari paten yang dikeluarkan dunia; kedua,
pendapatan per kapita kita sekarang sekitar US $ 600, atau 20 tahun tertingga1
dari Thailand, 30 tahun tertinggal dari Malaysia atau 50 tahun tertinggal dari
Korea Selatan, hal ini pun dengan dasar asumsi apabila kita tumbuh ekonominya 5
persen per tahun. Dengan tingkat pendapatan USA lebih dari US$ 30.000/kapita
dapat dibayangkan betapa terbatasnya kemampuan kita itu.
Secara umum dimensi kehidupan sudah jauh sekali berbeda dengan ketika
Indonesia baru merdeka, bahkan dibandingkan dengan situasi 30 tahun yang lalu
Page 10
110
AKP. Volume 2 No. 2, Juni 2004 : 101118
sekalipun. Kalau kita gunakan istilah "kehampaan" atau "kekosongan" dan ini
harus diisi maka kehampaan itu adalah "cara pandang" kita yang salah terhadap
petani dan pertanian serta reinterpretasi dan rekreasi nasionalisme kita. Dalam
ruangan yang hampa udara, berteriak sekuat apapun orang lain tak akan dapat
mendengarnya. Ibarat seperti itu, berteriak sekuat tenagapun, apabila bangsa ini
tidak melakukan reinterpretasi dan rekreasi terhadap jiwa "nasionalisme" dan
"kerakyatan", maka suara itu tak akan terdengar oleh siapa pun.
Kekosongan itu disebabkan oleh tarikan reinterpretasi dan rekreasi jiwa
oleh apa yang namanya globalisasi. Jiwa kita terganggu oleh istilah itu, sehingga
kita kehilangan pijakan seolaholah globalisasi tak mengenal jiwa nasionalisme.
Kita ambil saja istilah internasional, dimana di sini ada kata nasional. Artinya
adalah bahwa kata nasional itu sendiri tak terlepas dari interpretasi globalisasi atau
kehidupan antarbangsa yang karakternya saja sekarang ini makin mengglobal.
Untuk meyakinkan diri, kita dapat belajar dari "champion" pasar bebas
atau demokrasi, yaitu Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam ini jumlah petani
sudah tinggal 2 persen saja, tetapi petani Amerika secara umum dapat menghidupi
dunia. Surplus berkembang di sana. Pada tahun 1940an seorang petani kirakira
dapat memberi makan lebih dari 50an orang. Sekarang sudah ratusan orang.
Tetapi petaninya tidak menjadi sengsara dengan surplus tersebut. Sebaliknya di
Indonesia, asal panen harga turun dan waktu paceklik harga naik, tetapi yang
menikmati kenaikan harga itu bukanlah para petani. Artinya apa? negara
melindungi petani dan pertanian, dan ini berlaku untuk semua negara maju. Hal ini
merupakan bagian dari "nasionalismenya" Amerika Serikat.
Apakah kita harus melakukan hal yang sama? Menurut pendapat saya,
prinsipnya, ya, tetapi cara dan mekanismenya mungkin berbeda. "Nasionalisme"
yang harus kita bangun adalah "cara pandang" bahwa kita ini akan selamat hanya
apabila dapat memanfaatkan apa yang kita miliki sebaikbaiknya. Saya kembali
kepada argumen yang telah saya katakan pada bagian terdahulu, yaitu mengenali
diri sendiri dan memanfaatkan keunggulan ini.
Kopi, teh, lada, tebu, kelapa sawit dan seterusnya, sebagai tanaman daerah
tropis tidak dapat dikembangkan di daerah temperate, kecuali dengan biaya yang
sangat mahal. Keunikan ini menjadi modal kita, tetapi apabila sikap mental kita
sama saja seperti dahulu kala, maka ini hanya akan menjadi sumber derita atau
sebatas cerita saja. Sekali lagi, keunikan dari wilayah iklim tropika harus menjadi
sumber kesejahteraan kita. Garis pikiran ini akan sulit disubstitusi dengan pikiran
lain mengingat kita akan unggul dalam daya saing, bukan hanya alasan
comparative advantage, tetapi yang lebih penting adalah alasan keunikan itu
sendiri.
Dalam wujud apa nasionalisme tersebut harus kita laksanakan? Sebagai
mana telah dikemukakan, petani sudah ada di depan, yaitu dengan investasinya
berupa berbagai jenis tanaman yang luasnya jutaan hektar. Karena itu, napas
nasionalisme ekonominya akan terletak pada kebijaksanaan yang mampu
Page 11
111
MENGAPA KITA TERTINGGAL ? Karena Kita Lalai akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat Agus Pakpahan
mengarahkan investasi besarbesaran untuk mengolah dan menanam berbagai
jenis tanaman tropika.
Pengalaman dalam pengembangan kelapa sawit dapat dijadikan pelajaran
dengan segala penyempurnaannya. Pada tahun 1970an, luas kebun kelapa sawit
di Indonesia tidak lebih dari 200 ribu hektar. Sekarang, luas kebun kelapa sawit
sudah lebih dari 3,5 juta hektar. Artinya, kebun kelapa sawit ini sudah meningkat
dengan laju 1.650 persen dalam kurun waktu kuranglebih 30 tahun, atau
meningkat per tahun 55 persen. Mengapa hal ini terjadi? Karena adanya kebijakan
yang sangat terfokus sehingga dapat mensinergiskan seluruh potensi yang ada
yang akhirnya terwujud suatu kekuatan baru yang mengandalkan iklim tropika ini.
Pengalaman ini dapat dijadikan pelajaran untuk pengembangan komoditas lainnya,
tentu dengan segala penyempurnaannya.
MENGGESER TREND HARGA RIIL MENURUN MENJADI SEJAJAR
Telah diuraikan bahwa mengandalkan pada kekuatan diri sendiri adalah
kunci. Kunci tersebut sebagian besar berada pada potensi petani yang sudah
terlebih dahulu melakukan investasi, dengan segala daya upaya yang ada padanya.
Adapun keunikan sumberdaya yang dimiliki Indonesia tidak kalah pentingnya
dengan keunggulan komparatif, bahkan dapat dikatakan posisi strategisnya
melebihi itu, mengingat keunikan tidak dapat disubstitusi. Selanjutnya, secara
panjanglebar juga telah disampaikan bagaimana selama ratusan tahun, desain dan
trend yang terjadi akibat desain tersebut, telah membuat negaranegara
berkembang yang pada umumnya berada pada wilayah iklim tropika makin
miskin, tertinggal dan tak berdaya dalam percaturan dunia. Kemiskinan yang
meningkat, kesenjangan yang makin lebar dan kerusakan lingkungan hidup yang
makin parah menambah beban negaranegara di daerah tropika, seperti Indonesia,
untuk menjalani kehidupannya pada masa mendatang.
Menggantungkan diri pada hutang luar negeri sebagaimana yang telah
terjadi ternyata kurang tepat untuk kita sebagaimana diperlihatkan oleh besarnya
hutang yang dipikul oleh generasi yang harus membayarnya. Sedangkan pada saat
yang bersamaan kapasitas sumberdaya untuk dapat digunakan membayar hutang
tersebut makin menipis. Minyak bumi, hutan dan laut sebagai sumberdaya alam
yang selama ini menjadi harapan dalam menghasilkan dana jangka pendek,
termasuk untuk membayar hutang, kondisinya sudah tidak memadai lagi. Urusan
hutang luar negeri ini mestinya menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi
pembangunan mendatang, bukan sebaliknya yaitu sebagai hal yang dulu
dipandang membanggakan, sebagai ukuran kepercayaan luar negeri terhadap
Indonesia.
Yang akan sangat terasa beratnya adalah menghadapi terus menurunnya
harga riil produk primer, termasuk pertanian, dibandingkan dengan produk
Page 12
112
AKP. Volume 2 No. 2, Juni 2004 : 101118
olahannya. Kondisi ini membangun rangkaian yang merugikan tetapi tak
terelakkan karena kelemahan kultural dan struktural yang ada. Salah satu dilema
nya adalah bahwa kita ingin meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan
produksi, tetapi harga turun terus, maka bukannya pendapatan riil yang lebih
tinggi yang didapat oleh para petani. Tetapi yang didapat adalah kerugian demi
kerugian yang lebih besar, termasuk di dalamnya pengurasan atau eksploitasi
sumberdaya alam yang berlebihan.
Kalau yang kita bicarakan ini adalah produk ekspor, maka kita
mendapatkan bahwa ekspansi ekspor untuk mengejar pendapatan yang lebih baik
ternyata dibayar oleh kerugian yang lebih besar karena selain harganya turun
terus, juga ditambah dengan kerugian lain sebagai akibat alokasi sumberdaya
untuk pengembangan komoditas ekspor yang akan mengurangi produksi
komoditas lainnya, misalnya pangan. Rendahnya hargaharga komoditas primer
pertanian di pasar internasional memberikan pelajaran yang sangat berharga dan
menjadi tantangan utama.
Dalam perjalanannya makin tampak bahwa organisasi internasional
seperti WTO tidak dapat menjadi harapan bagi bangsabangsa di negara
berkembang untuk dapat menyelesaikan persoalan perdagangan global. Dari
perkembangan lima tahun terakhir dapat dikatakan telah terjadi kesadaran dari
negaranegara berkembang untuk mengikuti pola yang telah dikembangkan oleh
negaranegara penghasil minyak bumi yang bergabung dalarn OPEC. Tahun lalu
terbentuklah kerjasama antara Thailand, Indonesia dan Malaysia dalam hal
penanganan karet alam. Walaupun hasilnya masih harus diuji oleh waktu, yang
terpenting di sini adalah adanya atau bangkitnya kesadaran untuk bekerja sarna.
Tiga negara tersebut kurang lebih menghasilkan 7080 persen karet alam dunia.
Selanjutnya, dalam perkembangan barubaru ini, lima negara produsen gula
terbesar dunia berkumpul di Thailand untuk menyampaikan tuntutan kepada WTO
atas perlakuan Uni Eropa terhadap gula produksi dalam negerinya. Fenomena ini
tentu dapat memberikan gagasan atau inspirasi membangun dunia perdagangan
yang lebih adil pada masa mendatang.
Fokus kita adalah bagaimana menggeser kurva hargaharga komoditas
primer pertanian yang terus menurun itu, menjadi sejajar dengan produk
olahannya. Artinya, kita tidak ingin sama apalagi lebih tinggi harga komoditas
primer dibandingkan dengan harga komoditas olahan, tetapi kita mengharapkan
adanya margin yang fair. Hal ini sangat penting untuk membangun kondisi masa
depan yang lebih baik, bukan hanya untuk negaranegara berkembang saja, tetapi
untuk kehidupan dunia yang lebih baik. Dengan meningkatnya kehidupan
masyarakat di negaranegara berkembang, yang jumlahnya jauh Iebih besar
daripada penduduk negara maju, maka nilai penambahan kesejahteraan secara
keseluruhan akan sangat besar pengaruhnya secara keseluruhan pula. Menggeser
harga produk pertanian primer, yang telah makin melebar selama ratusan tahun
ini, menjadi sejajar dengan harga riil produk olahan, tentunya akan menjadi
sumber yang tak ternilai untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk negara
Page 13
113
MENGAPA KITA TERTINGGAL ? Karena Kita Lalai akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat Agus Pakpahan
negara berkembang yang pada umumnya menjadi penghasil produkproduk
tersebut. Tentu hal ini harus menjadi agenda utama bagi negaranegara
berkembang.
Inti dari uraian di atas adalah bahwa kita harus dapat membangun institusi
baru yang menjalin kerjasama yang riil dalam mengatasi kendalakendala atau
persoalanpersoalan dalam perdagangan internasional, khususnya yang
menyangkut persoalan perdagangan komoditas pertanian. Sejarah menunjukkan
bahwa selama negaranegara berkembang berjalan sendirisendiri, hasil yang
dicapai tidak optimal. Bahkan sebaliknya, apabila berjalan sendiri dan produksi
nasional meningkat, tetapi pasar internasional tidak bersahabat, maka upaya
peningkatan produksi dalam negeri hanya akan menghantam balik, membuat
kesulitan yang makin besar.
lnstitusi ini pula perlu ditingkatkan dalam rangka mencari jalan keluar
untuk mengembangkan pemikiran, konsep atau modelmodel yang dapat menjadi
bahan diskusi, dialog atau hal lain yang senada. Dari proses ini diharapkan dapat
terbangun suatu kerangka baru untuk mengatasi persoalanpersoalan sebagaimana
dikemukakan di atas dalam level multilateral atau bilateral.
KEKUATAN BARGAINING PETANI SEBAGAI INSTRUMEN
MENGGESER KURVA
Kecenderungan trend yang menurun sejak ratusan tahun yang lalu
menandakan bahwa negaranegara penghasil bahan baku atau produk primer
selalu menjadi subordinat dari pasar atau posisi industri pengolahannya. Petani
yang jumlahnya jutaan yang tersebar di negara bekas jajahan pada umumnya
memang berada dalam posisi yang lemah. Pada masa penjajahan, terjadinya over
supply diatasi dengan mudah, misalnya, hancurkan saja tanaman dengan
membakarnya, maka produksi akan turun dan harga akan naik kembali. Tetapi
tidak demikian halnya dengan keadaan sekarang. Selain caracara tersebut tidak
tepat juga akan sulit sekali pelaksanaannya.
Secara umum, over supply komoditas pertanian ini memang sangat sulit
untuk dikoreksi. Kita dapat melihatnya apa yang terjadi di negaranegara maju.
Over supply gula, misalnya, tidak membuat subsidi dikurangi. Akibatnya, gula
dunia mengalami surplus yang sifatnya artificial. Sehingga yang merugi adalah
negaranegara berkembang. Memang harga bahan baku atau komoditas primer
yang rendah juga tidak selalu menggambarkan fenomena over supply. Fenomena
rendahnya harga komoditas primer sering berkaitan dengan struktur pasar yang
bersifat monopolis. Hal ini sangat jelas terlihat untuk komoditas pertanian.
Petani di negara berkembang seperti Indonesia menghadapi dua hal.
Pertama, kondisi over supply dunia seperti pada kasus gula, dan kedua, struktur
Page 14
114
AKP. Volume 2 No. 2, Juni 2004 : 101118
pasar monopoli pada saat petani menjual produknya. Kedua hal ini menekan harga
produk yang dihasilkan petani. Pola terakhir ini juga sudah terjadi selama ini,
sehingga sering menimbulkan petani putus harapan dalam menyongsong masa
depannya. Persoalan lain ditambah dengan masuknya produk impor yang
harganya murah karena memang merupakan produk dumping atau akibat dari over
supply di negaranegara maju. Impor produk pertanian yang tidak terkendali ini
menyebabkan kapasitas nasional terkuras. Karena kita tidak paham atau tidak mau
memahami struktur perdagangan internasional dengan karakter di atas, maka
petani dibiarkan menghadapi persaingan tidak sehat tersebut sendirian. Tentu saja
petani tidak akan mampu karena mereka berhadapan dengan pola perdagangan
dan produksi dunia yang penuh akan subsidi dan dukungan bagi saingannya, yaitu
petanipetani di negara lain, khususnya di negara maju.
Tidak ada cara lain untuk dapat mengkoreksi situasi ini kecuali dengan
membangun organisasi yang dapat meningkatkan bargaining bagi petani. Apa
yang terjadi di negara maju, yang pertaniannya juga maju, bukan sekedar hasil
dari penerapan teknologi atau investasi. Yang terjadi adalah akibat dari kuatnya
institusi petani dan besarnya perhatian serta dukungan pemerintah terhadap petani
dan pertanian di negara tersebut. Keseluruhan elemen, mulai dari industri hingga
perbankan serta pendidikan dan riset di negaranegara yang pertaniannya maju,
telah berevolusi sejak lama mendukung dan membesarkan pertanian di negara
tersebut. Sebaliknya yang terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dengan kondisi pasar internasional yang tidak berpihak pada pertanian,
dan dengan struktur pasar dan organisasi industri di dalarn negeri yang juga tidak
berpihak pada pertanian, serta dengan kebijakan pemerintah yang juga kurang
bersahabat dengan pertanian, maka tidak ada jalan lain kecuali para petani
membangun dan memberdayakan dirinya sendiri untuk menolong dan mengangkat
nasibnya sendiri. Pada dasarnya proses ini juga hanyalah merupakan replikasi dari
evolusi yang pernah dan terus berlangsung bagi para petani di negara maju. Jadi,
hal ini bukanlah hal yang baru dalam sejarah perkembangan pertanian dunia.
Hanya saja di Indonesia kita harus memulainya sekarang.
Dari pengalaman yang ada di dalam negeri, kita dapat belajar dari
perkembangan yang baru saja terjadi selama 4 tahun terakhir. Mulai tahun 1999,
di antara berbagai organisasi yang terkait dengan petani, tumbuh Asosiasi Petani
Tebu Rakyat Indonesia (APTRI). Dalam proses evolusinya dalam usianya yang
muda, kita dapat menyaksikan bagaimana proses bargaining baik terhadap
pedagang, industri maupun pemerintah telah berhasil digalang oleh asosiasi ini.
Walaupun banyak pihak menyampaikan sikap sinis terhadap organisasi ini, secara
fakta kita tidak dapat menolak bahwa APTRI telah bekerja keras untuk dapat
memperbaiki nasibnya. Bahkan dengan perjalanan yang cukup panjang, APTRI
tak dapat disangkal memiliki peran besar dalam membalik pola kebijakan dari
perdagangan bebas yang dilancarkan pada tahun 1998 menjadi pola perdagangan
terkendali, khususnya impor, pada tahun 2002, yaitu dengan terbitnya SK
Menperindag No. 643 tanggal 23 September 2002. Dengan upaya APTRI juga
Page 15
115
MENGAPA KITA TERTINGGAL ? Karena Kita Lalai akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat Agus Pakpahan
pola pemasaran gula di dalam negeri telah berhasil memberikan jaminan harga
bagi petani/produsen gula sebesar Rp 3410 /kg. Proses ini dapat menghasilkan
output tersebut karena petani memiliki kekuatan bargaining melalui organisasi
yang dibangunnya sendiri. Hal yang serupa harus tumbuh dan berkembang pada
organisasiorganisasi petani yang lainnya, yang pada umumnya juga menghadapi
permasalahan sebagaimana diungkapkan di atas.
REINVESTASI, REKAPITALISASI SOCIAL CAPITAL DAN SUMBER
PERTUMBUHAN MENDATANG
Investasi petani sebagaimana yang tergambar dalam kapasitas pertanian
sekarang, merupakan indikator bahwa petani dalam proses sejarahnya merupakan
investor yang secara individu memang kecil, tetapi secara keseluruhan
menghasilkan nilai investasi besar. Kapital yang telah dihasilkan melalui proses
evolusi yang lama tersebut akan menurun nilai dan kapasitasnya apabila tidak
dilakukan reinvestasi baru. Reinvestasi ini hanya akan memberikan manfaat yang
besar apabila investasi yang dilakukan kompatibel dengan social capital yang
sudah hidup, atau bahkan investasi tersebut dilakukan sekaligus pula untuk
merekapitalisasi social capital yang kondisinya memang pada saat ini sedang
menghadapi erosi.
Reinvestasi dan rekapitalisasi social capital ini merupakan syarat untuk
membangun sumbersumber pertumbuhan dan kesejahteraan pada mendatang.
Untuk mendapatkan ilustrasi, kita dapat belajar dari pengalaman membangun
kelapa sawit. Secara agregat pembangunan kelapa sawit telah memberikan output
yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 1970 luas areal
perkebunan kelapa sawit kurang dari 200 ribu hektar, tetapi sekarang luasnya
sekitar 3,5 juta hektar. Semuanya ini terjadi karena adanya fokus kebijakan dengan
segala unsur pendukungnya. Kelapa sawit sekarang sudah menjadi andalan
perekonomian Indonesia.
Namun demikian, kelapa sawit juga memberikan pelajaran dari sisi lain,
yaitu konflik sosial sebagai manifestasi rasa ketidakadilan, dan kerusakan
lingkungan hidup sebagai akibat dari pembukaan lahan dalam skala besar dan
dalam tempo singkat. Pola yang dikembangkan juga pola perkebunan besar yang
menjadi andalan konglomerat yang dewasa ini banyak yang tak dapat
mengembalikan hutangnya akibat dari usaha lain yang dikembangkannya sehingga
perusahaan perkebunan ini menjadi kembali ke negara melalui BPPN. Ditambah
lagi adalah efeknya terhadap kelapa yang hampir seluruhnya dimiliki oleh petani
kecil. Munculnya sawit mengalahkan kopra sehingga efek sosial ini perlu juga
menjadi perhatian kita.
Atas dasar pemikiran di atas, kelapa sawit ini perlu menjadi sumber
inspirasi pada saat kita menghadapi kesulitan dari berbagai hal dalam bidang
Page 16
116
AKP. Volume 2 No. 2, Juni 2004 : 101118
pertanian. Sebagaimana telah disebutkan, langkah awal dari pengembangan kelapa
sawit ini adalah apa yang saya namakan langkah "nasionalisme". Baik disadari
atau tidak, pengembangan kelapa sawit mengangkat persoalan diplomasi
internasional dalam bidang perdagangan yang menghadapkan antara kelapa sawit
yang berasal dari tropika dengan kedelai yang berasal dari temperate. Di pasar
global keduanya berhadapan, bersaing dan saling menjatuhkan. Bahkan kadang
kadang dengan caracara tidak fair. Salah satu di antaranya dimana saya terlibat
langsung adalah rencana pengenaan label trans fatty acid bagi setiap makanan
yang menggunakan lemak. Perlu disampaikan bahwa minyak sawit mengandung
zero trans fatty acid. Trans fatty acid ini merupakan salah satu penyebab jantung
koroner. Kita sependapat untuk pelabelan tersebut, tetapi kita minta untuk yang
menggunakan minyak sawit diberi label zero. Karena kalau tidak, pelabelan
tersebut akan mengaburkan informasi bagi konsumen, seolaholah makanan yang
menggunakan minyak sawit mengandung trans fatty acid. Tetapi hal tersebut
ditolak oleh pihakpihak yang kompeten di Amerika Serikat. Selanjutnya, negara
negara maju juga sangat terbatas atau bahkan tidak akan memberikan bantuannya
apabila kita akan mengembangkan produk pertanian yang akan menjadi
saingannya. Inipun adalah salah satu nasionalisme yang kita tak pemah merasakan
itu sebagai nasionalisme.
Dari kelapa sawit kita juga dapat belajar mengenai kerakyatan dalam
dimensi ekonomi. Pengembangan model perkebunan besar yang dulu menjadi
prototype ideal, juga menghadapi gugatan. Gugatan tersebut berwujud tentangan
dari masyarakat di sekitar perkebunan besar berada. Penjarahan, pencurian hasil
hingga konflik sosial yang berkepanjangan telah menimbulkan kerugian besar,
baik secara materiil maupun immateriil. Kerugian dalam bentuk menurunnya
kerukunan merupakan hal yang menjadi inti persoalan yang harus diselesaikan
dengan perspektif jangka panjang. Dalam perkembangan sejarah perkebunan, era
reformasi ini memberikan pelajaran pokok bahwa "license to operate" ternyata
tidak lagi hanya tergantung pada izin usaha dan HGU, tetapi lebih banyak
tergantung pada masyarakat, termasuk masyarakat internasional. Perkebunan
dengan masyarakat di sekitarnya harus menjadi seperti ikan dengan air, apabila
perkebunan tersebut ingin menguntungkan secara berkelanjutan. Pengalaman ini
sebenarnya telah pernah dialami oleh Shell Companies, sehingga mereka
mengubah haluan dalam mencari jalan "license to operate", yaitu dengan memper
hatikan kesejahteraan masyarakat. Bahkan lebih luas lagi Shell mengenalkan 3P,
yaitu Planet, People and Profit, sebagai dasar usahanya. Hal lain yang dapat
dijadikan pelajaran di dari kejadian di negara lain adalah LULU, yaitu "Locally
Unwanted Land Use". Pegalaman kita dan pengalaman negara lain juga sama,
yaitu bahwa usaha ekonomi berbasis lahan atau sumberdaya alam memerlukan
values baru, yaitu values yang menyejahterakan rakyat atau masyarakat, menjaga
planet bumi agar tetap baik, dan menguntungkan dari kacamata ekonomi sempit.
Dari kaca mata kesejahteraan maka ada satu hal lagi yang perlu
menjadikan berkembangnya nasionalisme kita di bidang ini, yaitu keadilan dan
Page 17
117
MENGAPA KITA TERTINGGAL ? Karena Kita Lalai akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat Agus Pakpahan
akses terhadap kesempatan investasi serta surplus ekonomi yang dihasilkannya.
Dengan luas lahan yang terbatas maka tidaklah mungkin petani sejahtera dengan
menggarap lahan seluas satu atau dua hektar. Apalagi dengan petani gurem yang
luasnya di bawah dua hektar. Namun, ada potensi untuk membangun kerukunan
atas dasar keadilan ekonomi ini, yaitu berbagi surplus. Sudah merupakan
kenyataan bahwa harga riil produk primer itu menurun dan rendah serta fluktuatif,
sebaliknya untuk produk olahan. Dalam kasus kelapa sawit, misalnya, bahwa
harga tandan buah segar yang menjadi barang perdagangan milik petani itu lebih
rendah dari CPO, dan tentunya harga CPO ini lebih rendah dari harga produk
olahannya. Dengan pola petani memiliki saham 20 persen dalam perusahaan
perkebunan yang mengolah minyak sawit ini, pendapatan petani akan meningkat 5
kali dari pola sebelumnya. Hal yang sama juga akan berlaku untuk petani karet
dimana petaninya memiliki 20 persen saham dalam perusahaan pengolahan crumb
rubber seperti yang dapat dijumpai di Mesuji, Sumatera Selatan. Bukan hanya itu
saja manfaat yang dapat meningkatkan rasa keadilan sehingga kerukunan terwujud
yaitu harkat petani juga meningkat. Dalam kasus Mesuji ini, salah seorang
direkturnya berasal dari petani, Pak Murlin namanya. Ia mendapatkan amanah dan
fasilitas tidak berbeda dengan direktur lainnya, tentu dengan peran dan fungsi
yang tidak kalah. Masih banyak "ruang kosong" itu dapat diisi melalui inovasi
institusi sebagaimana telah diuraikan.
Dan uraian di atas disampaikan bahwa sumber pertumbuhan itu pada
hakikatnya terletak pada tiga hal: (1) apakah kita bisa dan kuat menjadi pelita yang
menerangi kehidupan perekonomian bangsa yang sedang berada dalam kegelapan,
(2) apakah kita memiliki sifat dan sikap yang selalu membela kepentingan rakyat,
bangsa dan negara, dan (3) apakah kita menyadari bahwa kita memang harus
bergerak cepat untuk maju tetapi tetap mengingat bahwa di belakang "si lumpuh"
ingin hidup. Kita hanya akan bisa mengejar ketertinggalan kita dengan
menerapkan pandangan ini dalam proses evolusi mendatang.
PENUTUP
Kenapa kita tertinggal sebagaimana ditulis sebagai judul tulisan ini adalah
karena kita telah lalai dalam mengenali dan menggunakan kekuatan sendiri
sehingga apa yang kita kerjakan membangun perangkap ketergantungan kepada
pihakpihak lain yang mendapatkan manfaat dari ketertinggalan kita. Akibatnya
adalah kita berhadapan dengan kadar kelangkaan dalam berbagai hal sehingga
ruang kehidupan kita terasa semakin sempit, terutama kelangkaan dalam
kemampuan reinterpretasi dan rekreasi untuk mengatasi berbagai macam
persoalan mendatang. Hal tersebut ditambah dengan terjadinya depresiasi atau
disfungsi dari social atau cultural capital yang melemahkan kerukunan dalam
keanekaragaman. Melemahnya cultural capital ini meyebabkan investasi dan
distribusi manfaatnya memperparah kondisi kerukunan, yang menjadi prasyarat
118
AKP. Volume 2 No. 2, Juni 2004 : 101118
keutuhan kesatuan dan persatuan kita sebagai bangsa Indonesia. Oleh karena itu
pula, aspek keadilan dan kemerdekaan, kedua nilai dasar yang membangun
kerukunan, harus menjadi dasar dalam setiap kebijaksanaan dan implementasinya,
khususnya di bidang ekonomi. Untuk itu diperlukan "blue print” dan energi yang
besar agar arus gelombang globalisasi dan kecenderungan yang ada, yang akan
membawa perangkap kesulitan lebih dalam, dapat diatasi. Hal inilah tema besar
kita ke depan, yaitu menggunakan kekuatan sendiri sebagai bagian dari rasa
syukur terhadap Allah SWT, kita mengandalkan dinamika dan kekuatan rakyat
sebagai social atau cultural capital; keunikan iklim tropika serta struktur
kepulauan; dan semua asset yang ada untuk dapat digunakan dalam membalik arus
dan gelombang sejarah masa lalu.