Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

KOMPLIKASI OMSK TIPE MALIGNA

Oleh :
Nama NIM : Yan Adhitya Kusuma : H1A 007 056

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM 2011

BAB 1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah (Djaafar, 2003). OMSK merupakan salah satu masalah kesehatan utama pada sebagian besar penduduk di seluruh dunia, khususnya negara berkembang di wilayah Asia dan Afrika. Pada tahun 1990, OMSK bertanggung jawab atas terjadinya 28.000 kematian diseluruh dunia, yang dihubungkan dengan komplikasi dari OMSK. Pada seluruh kasus gangguan pendengaran di seluruh dunia, 164 juta kasus diantaranya disebabkan oleh OMSK dan 90% kasus tersebut terjadi di negara berkembang. Akhir-akhir ini komplikasi OMSK menjadi lebih berkurang, karena penggunaan dari antibiotic, tetapi OMSK dengan perforasi marginal dengan tipe atik dan kolesteatoma dapat menyebabkan komplikasi yang serius. Erosi tulang adalah hal yang mendasari dari terjadinya komplikasi yang meliputi struktur ektrakranial dan intracranial. Sebelumnya morbiditas dan mortalitas dari komplikasi OMSK ini sangatlah tinggi dikarenakan kurangnya kewaspadaan. Pada masa ini frekuensinya mulai berkurang karena penggunaan antibiotic yang efektif dan tatalaksana yang tepat, tetapi efek erosi dan penyebarannya kolesteatoma dapat menyebabkan prognosis yang buruk terhadap kematian. (Baig, 2011)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga Tengah Telinga tengah yang berisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu kotak dengan enam sisi. Dinding posteriornya lebih luas daripada dinding anterior sehingga kotak tersebut berbentuk baji. Promontorium pada dinding medial meluas ke lateral ke arah umbo dari membrana timpani sehingga kotak tersebut sempit pada bagian tengah (Adams, 1997).

Dinding superior telinga tengah berbatasan dengan lantai fosa kranii media. Pada bagian atas dinding posterior terdapat aditus ad antrum tulang mastoid dan di bawahnya adalah saraf
3

spinalis. Otot stapedius timbul pada daerah saraf fasialis dan tendonnya menembus melalui suatu piramida tulang menuju leher stapes. Saraf korda timpani timbul dari saraf fasialis di bawah stapedius dan berjalan ke lateral depan menuju inkus tetapi ke medial maleus, untuk keluar dari telinga tengah dari sutura petrotimpanika. Korda timpani kemudian bergabung dengan saraf lingualis dan menghantarkan serabut-serabut sekremotorik ke ganglion submandibularis dan serabut serabut pengecap dari dua pertiga anterior lidah (Adams, 1997). Dasar telinga tengah adalah atap bulbus jugularis yang di sebelah petrolateral menjadi sinus sigmodeus dan lebih ke tengah menjadi sinus transversus. Keduanya adalah aliran vena utama rongga tengkorak. Cabang aurikuralis saraf vagus masuk ke telinga tengah dari dasarnya. Bagian bawah dinding anterior adalah kanalis karotikus. Di atas kanalis ini, muara tuba eustakius dan otot tensor timpanikum yang menempati daerah superior tuba kemudian membalik, melingkari prosessus kokleariformis dan berinsersi pada leher maleus (Adams, 1997). 2.2 Otitis Media Supuratif Kronis 2.2.1 Definisi Otitis media supuratif kronis adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) tersebut lebih dari 2 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah (Djaafar, 2003) 2.2.2 Klasifikasi OMSK dibagi dua jenis berdasarkan tingkat keparahan dan komplikasinya, yaitu OMSK tipe benigna dan OMSK tipe maligna. Proses peradangan pada OMSK tipe benigna terbatas pada mukosa saja, dan biasanya tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe benigna jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK tipe benigna tidak
4

terdapat kolestoma. OMSK tipe maligna adalah OMSK yang disertai koleastoma, perforasi pada tipe bahaya terletak di marginal, kadang-kadang terdapat juga koleastoma pada OMSK dengan perforasi subtotal, sebagian besar komplikasi yang berbahaya atau fatal timbul pada OMSK tipe maligna. (Djaafar, 2003) 2.2.3 Kolesteatoma Kolesteatoma adalah kista epiterial yang berisi deskuamasi epitel keratin. Deskuamasi terbentuk terus sehingga kolesteatoma bertambah besar. (Djaafar, 2003) Klasifikasi Kolesteatoma dapat dibagi atas dua jenis yaitu kolesteatoma kongenital dan kolesteatoma di dapat atau kolesteatoma akuistal. Kolesteatoma kongenital terbentuk pada telinga tengah dangan membrane timpani (MT) utuh tanpa tanda-tanda infeksi. Kolesteatoma kongenital disebabkan oleh kesalahan embryogenesis pada usia kehamilan 33 minggu yang menyebabkan sel epitel squamous terperangkap dibelakan MT yang intak. (Djaafar, 2003; Telian, 2003) Kolesteatoma akuistal adalah kolesteatoma yang terbentuk setelah anak lahir. Jenis ini terbagi atas kolesteatoma akuistal primer dan kolesteatoma akuistal sekunder. kolesteatoma akuistal primer terbentuk tanpa didahului oleh perforasi membrane timpani. Kolesteatom timbul akibat terjadinya proses invaginasi dari MT pars flasida karena adanya tekanan negative di telinga tengah akibat gangguan tuba atau dapat disebut sebagai teori invaginasi. Kolesteatoma akuistal sekunder terbentuk setelah adanya perforasi membrane timpani.

Kolestatomaa terbentuk sebagai akibat dari masuknya epitel kulit dari liang tengah atau dari pinggir perforasi MT ke telinga tengah (teori immigrasi) atau terjadi akibat metaplasia mukosa kavum timpani karena iritasi infeksi yang berlangsung lama (teori metaplasia). (Djaafar, 2003; Probst,2006)

Pada teori implantasi dikatakan bahwa kolesteatom terjadi akibat adanya implanttasi epitel kulit secara iatrogenic kedalam telinga karena operasi, trauma, pemasangan selang ventilasi atau setelah miringotomy. (Djaafar, 2003; Telian 2003) Kolestatoma merupakan media yang baik untuk tepat tumbuhnya kuman, yang paling sering adalah Pseudomonas aeruginosa. Pembesaran kolesteatom menjadi lebih cepat apabila disertai dengan infeksi, kolesteatom ini akan menekan dan mendesak organ disekitarnya serta menimbulkan nekrosis pada tulang. Terjadinya proses nekrosis terhadap tulang tersebut diperparah oleh adanya pembentukan reaksi asam oleh bakteri. Proses erosi tulang ini mempermudah timbulnya komplikasi pada OMSK tipe maligna ini. 2.2.4 Tanda Klinik OMSK Tipe Maligna Beberapa tanda klini OMSK tipe maligna adalah perforasi pada daerah marginal atau atik. Pada kasus yang sudah lanjut dapat terlihat abses atau fistel retroaurikuler, polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal dari dalam telinga tengah, terlihat kolesteatom pada telinga tengah, sekret berbentuk nanah dan berbaus khas (kolesteaom) atau terlihat bayangan kolesteatom pada foto Rontgen mastoid. (Djaafar, 2003) 2.2.5 Penyebaran penyakit OMSK Komplikasi dari penyakit OMSK dapat menyebar melalui beberapa jalur yaitu penyebaran melalui hematogen, penyebaran melalui tulang, dan penyebaran melalui jalan yang sudah ada. Penyebaran melalui hematogen atau osteoromboflebitis dapat diketahui dengan adanya komplikasi yang terjadi pada awal suatu infeksi atau eksaserbasi akut, dapat terjadi pada hari pertama atau kedua sampai hari kesepulh, gejala prodromal tidak jelas seperti didapatkan pada gejala meningitis local, pada operasi didapatkan didnding tulang telinga tengah utuh dan tulang

serta lapisan muko periosteal meradang dan mudah berdarah, sehingga disebut mastoiditis hemoragika. Penyebaran melalui erosi tulang dapat diketahui bila komplikasi terjadi beberapa minggu atau lebih setelah awal penyakit, gejala prodromal infeksi local biasanya mendahului gejala infeksi yan glebih luas, pada operasi dapat ditemukan lapisan tulang yang rusak diantara focus supurasi dengan struktur sekitarnya. Struktur jaringan lunak yang terbuka biasanya dilapisi oleh jaringan granulasi. Penyebaran melalui jalur yang sudah ada diketahui bila komplikasi terjadi pada awal penyakit, ada serangan labirinitis atau meningitis berulang, kemungkinana ditemukan fraktur tengkorak, riwayat operasi tulang atau riwayat otitis media yang sudah sembuh. Komplikasi intracranial mengikuti komplikasi labirinitis supuratif. Pada operasi dapat ditemukan jalan penjalaran melalui sawar tulang bukan akibat oleh karena erosi. (Helmi, 2003) 2.3 Komplikasi OMSK Klasifikasi OMSK menurut Adams dkk (1989) adalah sebagai berikut (Helmi, 2003): A. Komplikasi di telinga tengah: 1. Perforasi membrane timpani persisten 2. Erosi tulang pendengaran 3. Paralisis nervus fasialis B. Komplikasi telinga dalam 1. Fistula labirin 2. Labirinitis supuratif 3. Tuli saraf (sensorineural) C. Komplikasi ekstradural

1. Abses ekstradural 2. Thrombosis sinus lateralis 3. Petrositis D. Komplikasi ke susunan saraf pusat 1. Meningitis 2. Abses otak 3. Hidrosefalus otitis Paparella dan Shumrick membaginya dalam A. Komplikasi otology 1. Mastoiditis koalesen 2. Petrositis 3. Paresis fasialis 4. Labirinits B. Komplikasi intracranial 1. Abses ekstradural 2. Thrombosis sinus lateralis 3. Meningitis 4. Abses otak 5. Hidrosefalus ototitis Shmabough membaginya atas komplikasi meningeal dan non meningeal: A. Komplikasi meningeal 1. Abses ekstradural 2. Meningitis

3. Tromboflebitis 4. Hidrosefalus otitis 5. Otore likuorserebrospinal B. Komplikasi non meningeal 1. Abses otak 2. Labirinitis 3. Petrositis 4. Paresis nervus fasialis. Komplikasi telinga tengah Paresis Fasialis Pada otitis media kronis, kerusakan terjadi oleh erosi tulang oleh kolesteatom disusul oleh infeksi ke dalam kannalis fasialis. (Helmi, 2003) Terapi yang dapat diberikan adalah antibiotic untuk otitis media akut. Perlu dilakukan eksplorasi dengan pembedahan untuk otitis media kronis, miringotomi yang luas, atau tympanectomi. (Pasha, 2000) Komplikasi telinga dalam Fistula labirin dan labirinitis OMSK kronis dengan kolesteatoma dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada bagian vestibuler labirin sehingga terbentuk fistula. Pada keadaan ini infeksi dapat masuk sehingga terjadi labirinitis dan akhirnya akan terjadi komplikasi tuli total atau meningitis. Untuk mengetahui adanya fistula labirin maka dapat dilakukan tes fistula, yaitu dengan memberikan tekanan udara positif maupun negative ke telinga tengah melalui otoskop siegel dengan corong berbentuk elips pada ujungnya yang dimasukkan ke dalam liang telinga. Balon karet diperncet dan udara di dalamnya akan menyebabkan perubahan tekanan udara di liang telinga. Bila fistula

masih paten maka akan terjadi kompresi dan ekspansi membrane labirim. Akibantya akan menimbulkan vertigo dan nistagmus, hal ini disebut tes fistula positif. Tes fistula bisa negative bila fistula sudah tertutup oleh jaringan granulasi atau labirin sudah mati. (Helmi, 2003) Terapi yang dapat diberikan adalah dengan pemberian antibiotic dosis tinggi secara parenteral, vestibular supresan, dan pembedahan untuk infeksi telinga tengah.(Pasha,2000) Komplikasi ke ekstradural Tromboflebitis sinus latralis Invasi ke sinis sigmoid ketika melewati tulang mastoid akan menyebabkan terjadinya thrombosis sinus lateralis. (Helmi, 2003) Komplikasi ini sering ditemukan ketika antibiotic masih belum banyak digunakan. Gejala yang dapat ditemukan adalah adanya spiking fever, nyeri kepala, papilledema, Griesingers sign (nyeri di daerah mastoid akibat oklusi vena mastoid). Terapi yang dapat diberikan adalah antibiotic secara parenteral dan jika memunkinkan dilakukan mastoidektomi, kemudian dapat dilakukan ligas pada vena yang sakit, dan dapat juga diberikan antikoagulan (Pasha,2000) Abses ekstradural Abses ekstradural adalah terkumpulnya nanah di antara duramater dan tulang. Hal ini disebabkan oleh kolesteatom yang menyebabkan erosi pada tegmen timpani atau mastoid sehingga nanah dapat terkumpul di daerah ekstradural. (Helmi, 2003) Pada abses ektra dural bisa timbul tanpa gejala. Tetapi gejala lain yang dapat muncul adala hnyeri kepala, demam rendah, dan malaise. Terapi yang dapat deberikan adalah antibiotic dosis tinggi secara parenteral dan drenase dengan pembedahan. (Pasha,2000) Abses Subdural

10

Abses subdural jarang terjadi sebagai perluasan langsung dari abses ekstradural biasanya sebagai perluasan trombofelbitis melalui pembuluh vena. Terjadi penumpukan abses di daerah antara dura dan membran arachnoid. Gejala yang timbul segera adalah gangguan neurologis seperti kejang, delirium, hemiplegia, aphasia atau bahkan koma. (Pasha,2000) Petrositis Penyerbaran infeksi ke sel saluran udara di sekitar kapsul labirin. Adanya petrositis harus dicurigai apabila pada pasien otitis media terdapat keluhan diplopia karena kelemahan n.VI, rasa nyeri di daerah temporal atau oksipital karena terkenanya n.V, ditambah adanya otore yang persisten, maka disebut sindrom Gradenigo. Terapi yang dapat divberikan berupa antibiotic secara parenteral, mastoidektomi, dan petrous apicectomy. (Helmi, 2003; Pasha,2000) Komplikasi ke susuna saraf pusat Meningitis Merupakan komplikasi otitis media ke saraf pusat yang paling sering terjadi. Dapat terjadi pada otitis media akut maupun kronis. Gejala yang dapat muncul adalah kaku kuduk, demam, mual muntah yang kadang muncar (muntah proyektif), dan nyeri kepala yang hebat. Selain itu tanda khas dari meningitis adalah kernig sign (bila lutut di coba di luruskan dan pasien merasa kesakitan) dan Brudzinski : Jika pasien dalam keadaan berbaring di bungkukkan lehernya ke arah dada, pasien akan ssecara spontan melekukkan lututnya juga ke atas.. Terapi yang dapat diberikan adalah antibiotic dosis tinggi secara parenteral, miringotomi yang luas atau dengan timpanektomi dengan kultur cairan telinga tengah.(Probst, 2006; Pasha,2000) Abses otak Abses otak sebagai komplikasi otitis media dan mastoiditis dapat ditemukan di serebelum, fosa kranial posterior atau di lobus temporal di fosa krania media. Keadaan ini sering

11

berhubungan dengan tromboflebitis sinus lateralis, petrositis atau meningitis. Abses otak merupakan perluasan langsung dari infeksi telinga dan mastoid atau tromboflebitis. Abses otak biasanya didahului oleh suatu abses ekstradural. Abases otak yang disebabkan oleh biasanya terletak di lobus temporal. Gejala dari abses otak tergantung pada stage-nya. 1. Ensefalitis: (invasi awal) demam nyeri kepala, kaki kuduk 2. Latency: (organisasi abses, nekrosis liquefaksi) gejala minimal berlangsung selama beberapa minggu. 3. Penyebaran abses: intracranial hypertensi, kejang, gejala lokal (nominal aphasia, quadrantic homonymous hemianopia, dan motor paralysis untuk abses lobus temporal, nystagmus dan gangguan cara berjalan untuk lesi serebral) 4. Terminasi: abses mengalami rupture, dapat menyebabkan kematian. Terapi yang dapat diberikan adalah antibiotic dosis tinggi diberikan secara parenteral, konsultasi ke dokter spesialis bedah saraf untuk dernase, eksplorasi pembedahan dengan mastoidektomi, dan eksplorasi telinga tengah jika pasien stabil. .(Probst, 2006; Pasha,2000) Hidrosefalus otitit Ditandai dengan peninggian tekanan likuor serebrospinal yang hebat tanpa adanya kelaianan kimiawi dan likuor. Keadaan ini dapat menyertai otitis media akut maupun kronis. Hidrosefalus otitis terjadi akibat terbentuknya thrombus di sinus laterlis mencegah absorpsi SCF sehingga menyebabkan hipertensi intra kranial. Penangan dari hidrosefalus otitis sama seperti penanganan thrombosis sinus lateralis, selain itu dapat diberikan corticosteroids, mannitol, dan serial lumbar punctures untuk mengurangi tekanan intracranial. (Pasha,2000) otitis

12

Gambar: Penyebaran komplikasi otitis media kronis tipe maligna

13

DAFTAR PUSTAKA

Adams, George L. 1997. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring, Esofagus, dan Leher, dalam BOIES Buku Ajar Penyakit THT Edisi Keenam. Jakarta: EGC Baig, Muhmmad Musharaf. 2011. Prevalence of Cholesteatoma and its Complications in Patients of Chronic Suppurative Otitis Media Journal of Rawalpindi Medical College (JRMC); 2011;15(1):16-17 Djaafar, Zainul A. 2003. Kelainan Telinga Tengah. dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. FKUI, Jakarta. Hal 49-62 Helmi. 2003. Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronis dan Mastoiditis. dalam dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. FKUI, Jakarta. Hal 63-73 Telian, A. Steven. 2003. Chronic Otitis Media dalam Ballengers Otorhinolaryngology Head and Neck, Ontario: Bc Decker. Hal 261-293 Probst, Rudolf. 2006. Basic Otolaryngolgy A Step-by-Step Learning. New York. Thieme

14

Anda mungkin juga menyukai