Anda di halaman 1dari 22

BAB I PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG Mata merupakan indra penglihat yang sangat penting bagi manusia, dimana didalamnya terkandung berbagai organ yang mempunyai fungsidan peran masing-masing. Salah satu organ didalam mata adalah konjungtiva. Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior palpebra dan permukaan anterior sklera, serta konjungtiva fornik yang merupakan peralihan keduanya.1 Konjungtiva merupakan salah satu organ di mata yang sering terkena penyakit sehingga membuat banyak orang datang ke dokter mata untuk berobat maupun berkonsultasi. Salah satu penyakit pada konjungtiva adalah pterigium yaitu suatu pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif, dimana penyakit ini biasa terletak pada celah kelopak bagian nasal maupun temporal yang akan meluas ke kornea. 2 Pterigium ini sering dialami oleh penduduk di daerah tropis, pada usia 20-30 tahun, dimana angka kejadian pterigium pada laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Penderita kadang tidak mengeluhkan gejala apa-apa, namun kadang ada juga yang mengeluh terganggu penglihatannya, mata sering merah, terasa mengganjal, atau mengeluh adanya lamat, oleh karena itu pengobatan pterigium didasarkan atas kondisi subjektif dan objektif dari pasien, yaitu dari tanpa terapi sampai terapi pembedahan.3 Kecenderungan untuk terulangnya atau kambuhnya pterigium seringkali membuat penderita khawatir akan adanya suatu proses keganasan, oleh karena itu edukasi yang baik perlu diberikan kepada pasien agar meminimalisir angka kekambuhan, antara lain dengan menggunakan topi yang memiliki pinggiran dan kacamata pelindung dari cahaya matahari sebagai pelindung terhadap radiasi ultraviolet.
1

I.2 BATASAN PERMASALAHAN Pterigium merupakan suatu penyakit yang sering dijumpai di negara beriklim tropis termasuk di Indonesia. Angka kejadian dan kekambuhannya yang tinggi menjadikan penyakit ini perlu untuk dipahami sehingga diharapkan pencegahan serta penatalaksanaannya dapat optimal.

I.3 TUJUAN PENULISAN Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis dari pterigium sehingga dapat menegakkan diagnosisnya secara dini dan dapat menentukan diagnosis banding, terapi, serta komplikasi pterigium.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2

I.

ANATOMI KONJUNGTIVA Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus

permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus.(4,5) Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat keposterior (pada fornices superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris.(4) Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan melipat berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Duktus-duktus kelenjar lakrimalis bermuara ke forniks temporal superior) kecuali di limbus (tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm), konjungtiva bulbaris melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera di bawahnya.(4,5) Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plika semilunaris) terletak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga pada beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung elemen kulit dan membran mukosa.(4)

Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel-sel
3

epitel skuamosa. Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara merata di seluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel-sel superfisial dan didekat limbus dapat mengandung pigmen. Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar air mata asesori (kelenjar Krause dan Wolfring), yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring terletak di tepi atas tarsus atas. Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri pelpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe kelopak mata hingga membentuk pleksus limfatikus yang kaya. Konjungtiva menerima persyarafan dari percabangan (oftalmik) pertama nervus V, saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.(4) Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.(5)
4

Gambar: Skema konjuntiva beserta tempat kelenjar.

II.

DEFINISI Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat

degeneratif dan infasif.pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal maupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau tengah kornea.2 Pterigium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan penebalan, berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke dalam kornea, dengan puncak segitiganya di kornea, kaya akan pembuluh darah yang menuju ke puncak pterigium. Pada kornea penjalaran ini mengakibatkan kerusakan epitel kornea dan membran bowman.3 Pterigium adalah semacam pelanggaran batas suatu pinguecula berbentuk segitiga berdaging ke kornea, umumnya disisi nasal dan bilateral, dimana lapis bowman kornea diganti oleh jaringan hialin dan elastis.1
5

Pterigium adalah pertumbuhan konjuntiva bulbi melimpah keatas kornea dan , biasanya diikuti adanya jaringan fibrovaskular. Pada potongan yang tegak lurus dengan sumbunya terdapat bentuk seperti sayap yang pelekatan pada konjuntiva memanjang pada sumbunya. Kadang konjuntiva bulbi digunakan untuk membuat flap ke kornea, bentuk seperti pterigium, tetapi tak ada perlekatan kekonjuntiva bulbi sehingga disebut pterigium palsu.6
Gambar: Pterigium

1. Pterigium awal yang mulai menutup mata 2. Pterigium yang semakin bertambah dan menutupi media penglihatan 3. Pterigium yang tumbuh pada dua sisi

III.

EPIDEMIOLOGI Di Amerika Serikat angka kejadian pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi

geografisnya. Di daratan Amerika serikat, prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk


6

daerah di atas 400 lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28 0-360. Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang prevalensinya meningkat dan daerah-daerah elevasi yang terkena penyinaran ultraviolet untuk daerah di bawah garis lintang utara ini. Secara Internasional hubungan antara menurunnya insidensi pada daerah atas lintang utara dan relative terjadi peningkatan untuk daerah di bawah garis balik lintang utara.7 Mortalitas/Morbiditas Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual atau penglihatan bila kasusnya telah lanjut. Mata ini bisa menjadi inflamasi sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.

Jenis Kelamin Pterygia dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan wanita.

Umur Jarang sekali orang menderita pterygia umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygia yang paling tinggi.

IV.

ETIOLOGI Penyebab dari pterigium tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu

neoplasma, radang, dan degenerasi. Pterigium juga diduga disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara panas. Penyebab paling umum adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA

ataupun UVB, berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor2 lain seperti zat allegen, kimia dan zat pengiritasi lainnya.2

Faktor resiko untuk pterygium itu bisa meliputi sebagai berikut : 1. Meningkatnya terkena sinar ultraviolet, termasuk tinggal di daerah yang beriklim subtropics dan tropis.
2. Melakukan pekerjaan dan memerlukan kegiatan di luar rumah serta

orang

yang hidup di daerah dengan banyak sinar matahari, daerah berpasir atau daerah berangin. Petani, nelayan dan orang-orang yang hidup di sekitar garis khatulistiwa sering terpengaruh.

Predisposisi genetika timbulnya pterygia cenderung pada keluarga tertentu. Kecenderungan laki-laki mengalami kasus ini lebih banyak dibandingkan dengan perempuan, meskipun disini hasil temuan ini lebih banyak disebabkan besarnya paparan sinar ultraviolet dalam kelompok populasi tertentu.7 Gangguan lain yang mungkin ikut berperan adalah Pseudopterygia (misalnya disebabkan oleh bahan kimia atau luka bakar, trauma, penyakit kornea marginal) dan Neoplasma (misalnya karsinoma in situ yang menyebabkan konjungtiva perilimbal yang tidak meluas sampai ke kornea).

V.

PATOFISIOLOGI Sinar ultraviolet, angin, dan debu dapat mengiritasi permukaan mata, hal ini akan

mengganggu proses regenerasi jaringan konjungtiva dan diganti dengan pertumbuhan berlebih dari jaringan fibrous yang mengandung pembuluh darah. Pertumbuhan ini biasanya
8

progresif dan melibatkan sel-sel kornea sehingga menyebabkan timbulnya pterigium. Radiasi sinat termasuk sinar atau cahaya tampak dan sinar ultraviolet yang tidak tampak itu sangat berbahaya bisa mengenai bagian tubuh. Permukaan luar mata diliputi oleh lapisan sel yang disebut epitel. Epitel pada mata lebih sensitif dibanding dengan epitel bagian tubuh lain khususnya terhadap respon kerusakan jaringan akibat paparan ultraviolet karena epitel pada lapisan mata tidak mempunyai lapisan luar yang disebut keratin. Jika sel-sel epitel dan membran dasar terpapar oleh ultraviolet secara berlebihan maka radiasi tersebut akan merangsang pelepasan enzim yang akan merusak jaringan dan menghasilkan faktor pertumbuhan yang akan menstimulasi pertumbuhan jaringan baru. Jaringan baru yang tumbuh ini akan menebal dari konjungtiva dan menjalar ke arah kornea. Kadar enzim tiap individu berbeda, hal inilah yang menyebabkan terdapatnya perbedaan respon tiap individu terhadap paparan radiasi ultraviolet yang mengenainya.8 Patofisiologi pterygia ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan ploriferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.7 Ditemukan epitel konjungtiva ireguler, kadang-kadang berubah menjadi epitel gepeng berlapis. Pada puncak pterigium, epitel kornea meninggi dan pada daerah ini membran Bowman menghilang. Terdapat degenerasi stroma yang berproliferasi sebagai jaringan granulasi yang penuh pembuluh darah. Degenerasi ini menyebuk ke dalam kornea serta merusak membran Bowman dan stroma kornea bagian atas. Pterigium juga dapat muncul sebagai degenerasi stroma konjungtiva dengan penggantian oleh serat elastis yang tebal dan berliku-liku. Fibroblas aktif pada ujung pterigium menginvasi lapisan Bowman kornea dan diganti dengan jaringan hialin dan elastis. Pterigium sering muncul pada pembedahan. Lesi
9

muncul sebagai luka fibrovaskuler yang berasal dari daerah eksisi. Pterigium ini mungkin tidak ada hubungannya dengan radiasi sinar ultraviolet, tetapi kadang dikaitkan dengan pertumbuhan keloid di kulit. Kondisi pterygium akan terlihat dengan pembesaran bagian putih mata, menjadi merah dan meradang. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan bisa mengganggu proses cairan mata atau yang disebut dry eye syndrome. Sekalipun jarang terjadi, namun pada kondisi lanjut atau apabila kelainan ini didiamkan lama akan menyebabkan hilangnya penglihatan si penderita.9

VI.

GEJALA KLINIS Pasien yang menderita pterygia sering mempunyai berbagai macam keluhan, yang

mulai dari tidak ada gejala yang berarti sampai mata menjadi merah sekali, pembengkakan mata, mata gatal, iritasi, dan pandangan kabur disertai dengan jejas pada konjungtiva yang membesar dan kedua mata terserang penyakit ini.7 Penderita biasanya datang untuk pemeriksaan mata lainnya, misalnya untuk pemeriksaan kacamata dan tidak mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh diatas korneanya, namun terkadang penderita merasa penglihatannya terganggu misalnya astigmat, dan dapat pula disertai keratitis pungtata dan dellen (penipisan kornea akibat kering) dan garis besi (iron line dari stocker) yang terletak di ujung pterigium.7

Gambaran klinis bisa dibagi menjadi 2 katagori umum, sebagai berikut : Kelompok kesatu pasien yang mengalami pterygium berupa ploriferasi minimal dan penyakitnya lebih bersifat atrofi. Pterygium pada kelompok ini cenderung lebih pipih

10

dan pertumbuhannya lambat mempunyai insidensi yang lebih rendah untuk kambuh setelah dilakukan eksisi. Pada kelompok kedua pterygium mempunyai riwayat penyakit tumbuh cepat dan terdapat komponen elevasi jaringan fibrovaskular. Pterygia dalam group ini mempunyai perkembangan klinis yang lebih cepat dan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi untuk setelah dilakukan eksisi.

VII.

KLASIFIKASI

Klasifikasi Pterygium: 1. Pterygium Simpleks; jika terjadi hanya di nasal/ temporal saja. 2. Pterygium Dupleks; jika terjadi di nasal dan temporal. Grade pada Pterygium : Grade 1: tipis (pembuluh darah konjungtiva yang menebal dan konjungtiva sklera masih dapat dibedakan), pembuluh darah sklera masih dapat dilihat. Grade 2: pembuluh darah sklera masih dapat dilihat. Grade 3: resiko kambuh, ngganjel, hiperemis, pada orang muda (20-30 tahun), mudah kambuh.

11

VIII. DIAGNOSIS Diagnosis pterigium dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Melalui anamnesis akan kita dapatkan keluhan-keluhan pasien seperti adanya ganjalan pada mata yang semula dirasakan didekat kelopak namun lamakelamaan semakin ke tengah (kornea), mata merah dan tidak disertai belek(sekret). Dari anamnesis ini kita juga akan dapatkan informasi mengenai pekerjaan, lingkungan tempat tinggal, dan kebiasaan hidupnya karena hal ini berhubungan dengan besarnya paparan sinar ultraviolet yang mengenainya. Pemeriksaan fisik pada pasien pterigium akan didapatkan adanya suatu lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh dari kelopak baik bagian nasal maupun temporal yang menjalar ke kornea, umumnya berwarna putih, namun apabila terkena suatu iritasi maka bagian pterigium ini akan berwarna merah. Pemeriksaan penunjang dalam menentukan diagnosis pterigium tidak harus dilakukan, karena dari anamnesis dan pemeriksaan fisik kadang sudah dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis pterigium. Pemeriksaan histopatologi dilakukan pada jaringan
12

pterigium yang telah diekstirpasi. Gambaran pterigium yang didapat adalah berupa epitel yang irreguler dan tampak adanya degenerasi hialin pada stromanya.3

IX.

DIAGNOSIS BANDING Penyakit penyakit yang menyerupai pterigium atau diagnosis banding dari pterigium

antara lain pseudopterigium, pannus dan kista dermoid. Pseudopterigium adalah perlengkatan konjungtiva dengan kornea yang cacat, biasanya hal ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea, dimana letaknya berdekatan dengan proses tukak kornea sebelumnya. Perbedaannya dengan pterigium adalah letaknya yang tidak harus dimulai dari celah kelopak atau fissura palpebra, selalu didahului oleh riwayat tukak kornea sebelumnya, dan pada pseudopterigium ini dapat diselipkan sonde di bawahnya.2 Pannus merupakan salah satu penyebab kekeruhan didaerah kornea yang ditandai dengan terdapatnya sel radang disertai pembuluh darah yang membentuk tabir pada kornea. Pembuluh darah ini berasal dari limbus yang memasuki kornea diantara epitel dan membran bowman.3 Kista dermoid merupakan tumor kongenital yang berasal dari lapisan mesodermal dan ektodermal. Jaringan tumor ini terdiri atas jaringan ikat, jaringan lemak, folikel rambut, kelenjar keringat, dan jaringan kulit. Lokasinya dapat berada pada limbus konjungtiva bulbi atau tumbuh jauh ke orbita posterior dan menyebabkan ptosis.3

X.

PENATALAKSANAAN Pengobatan pterigium tergantung dari keadaan pteriumnya sendiri, dimana pada

keadaan dini tidak perlu dilakukan pengobatan, namun bila terjadi proses inflamasi dapat diberikan steroid topikal untuk menekan proses peradangan, dan pada keadaan lanjut
13

misalnya terjadi gangguan penglihatan (refraktif), pterigium telah menutupi media penglihatan (menutupi sekitar 4mm permukaan kornea) maupun untuk alasan kosmetik maka diperlukan tindakan pembedahan berupa ekstirpasi pterigium.3

Obat-obatan yang sering digunakan pada kasus pterigium adalah :


Pemakaian air mata artifisial (obat tetes topikal untuk membasahi mata) untuk membasahi permukaan okular dan untuk mengisi kerusakan pada lapisan air. Obat ini merupakan obat tetes mata topikal atau air mata artifisial (air mata penyegar, Gen Teal (OTC) air mata artifisial akan memberikan pelumasan pada permukaan mata pada pasien dengan permukaan kornea yang tak teratur dan lapisan permukaan air mata yang tak teratur. Keadaan ini banyak terjadi pada keadaan pterygium.

Salep untuk pelumas topikal suatu pelumas yang lebih kental pada permukaan okular. alep untuk pelumas mata topikal (hypotears,P.M penyegar (OTC). Suatu pelumas yang lebih kental untuk permukaan mata. Sediaan yang lebih kental ini akan cenderung menyebabkan kaburnya penglihatan sementara; oleh karena itu bahan ini sering dipergunakan pada malam hari terkecuali bila pasien merasakan sakit dalam pemakaiannya.

Obat tetes mata anti inflamasi untuk mengurangi inflamasi pada permukaan mata dan jaringan okular lainnya. Bahan kortikosteroid akan sangat membantu dalam penatalaksanaan pterygia yang inflamasi dengan mengurangi pembengkakan jaringan yang inflamasi pada permukaan okular di dekat jejasnya. Prednisolon asetat (Pred Forte 1%) suatu suspensi kortikosteroid topikal yang dipergunakan untuk mengurangi inflamasi mata. Pemakaian obat ini harus dibatasi untuk mata dengan inflamasi yang sudah berat yang tak bisa disembuhkan dengan pelumas topikal lain.
14

Tindakan pembedahan untuk ekstirpasi pterygia biasanya bisa dilakukan pada pasien rawat jalan dengan menggunakan anastesi topikal ataupun lokal, bila diperlukan dengan memakai sedasi. Perawatan pasca operasi, mata pasien biasanya merekat pada malam hari, dan dirawat memakai obat tetes mata atau salep mata antibiotika atau antiinflamasi.

Pembedahan pterigium dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain :5 1. Teknik Bare sclera a. Anastesi : proparacain atau pantokain atau dapat juga menggunakan kokain 4% yang diteteskan maupun dioles dengan kapas pledget, kemudian diberikan suntikan subkonjungtiva dengan lidokain 1-2 % . b. Persiapkan duk steril untuk menutupi derah operasi. c. Siapkan lid spekulum d. Lakukan pengujian untuk menunjukkan otot yang terkait dengan pterigium. e. Lakukan fiksasi dengan benang ganda 6.0 pada episklera searah jam 6 dan jam 12. f. Posisi mata pada jahitan korset. g. Buatlah garis demarkasi pterigium dengan cautery. h. Gunakanlah ujung spons atau kapas untuk membersihkan darah ketika sedang dilakukan pengikisan pterigium dari apek dengan menggunakan forcep jaringan. i. Laksanakan pembedahan dari kepala pterigium yang ada di dekat kornea mata dengan menggunakan scarifier. Traksi dengan forcep ukuran 0.12 mm akan memudahkan pengangkatan pterigium. j. Bebaskan sklera dari pterigium. Menggunakan westcott gunting untuk memotong sepanjang tanda cautery. Kikislah pterigium dengan gunting.
15

Pindahkan semua jaringan pterigium dari limbus dengan menggunakan sharp sehingga tampak jaringan sklera yang telanjang.

Jika perlu, mengisolasi rektus otot horizontal dengan suatu sangkutan otot untuk menghindari kerusakan jaringan yang akan membentuk sikatrik. k. Pindahkan pterigium dilimbus dengan menggunakan gunting. l. Gunakan cautery untuk menjaga keseimbangan. m. Menghaluskan sekeliling tepi limbus.

Dengan menggunakan burr intan Dengan tepi punggung mata pisau scarifier. n. Berikan antibiotik dan steroid topikal.] o. Kemudian tutup mata dengan kasa steril dan fiksasi.

2. Teknik Mc. Reynolds Mencangkok dan menguburkan pterigium di dalam konjungtiva dilakukan dengan cara ; a. Setelah pterigium dipindahkan dari kornea, buatlah goresan di bawah konjungtiva dengan gunting, antara kornea dan sklera, yang lebarnya disesuaikan dengan lebar dri pertumbuhan pterigium yang semula, sehingga diharapkan bila terjadi pterigium ulang tidak akan menyeberang ke kornea. b. Jahitlah apek dari lapisan konjungtiva tersebut dan masukkan ke dalam celah di bawah konjungtiva yang terletak di antara kornea dan sklera. c. Setelah lapisan konjungtiva tadi dimasukkan ke lapisan bawah antara kornea dan sklera, kemudian lakukan fiksasi.

Ada berbagai variasi pada teknik Mc. Reynolds. Yaitu:


16

1. Neher : pterigium dikuburkan di bagian konjungtiva superior, kemudian di fiksasi pada episklera.

2. Desmarres: Buatlah incisi pada bagian bawah konjungtiva kemudian apek dari pterigium di transplantasikan ke jaringan di bawah konjungtiva tersebut, kemudian di fiksasi pada konjungtiva dan tepi kornea sehingga bentuknya seperti sayap.

3. Berens: Pertumbuhan dicangkok di bagian atas konjungtiva tanpa penguburan jaringan pterigium. Dua goresan kecil parakorneal dibuat untuk menutup konjungtiva yang cacat dan untuk menutupi area kornea yang terbuka. Kemudian di fiksasi untuk mengamankan pterigium di tempat yang baru. 4. Knapp: Teknik ini digunakan untuk pterigium yang sangat luas. Pertumbuhannya di pisah dengan goresan horizontal, masing-masig dipindahkan ke busur konjungtiva atas dan bawah.

5. Callahan: Buatlah suatu goresan miring dari limbus sampai konjungtiva kurang lebih 5-10 mm sepanjang garis tepi yang menyangkut pada pterigium. Goresan juga dibuat sepanjang garis tepi bagian atas konjungtiva sebagai penutup. Pencangkokan dibuat pada daerah limbus yang ditelanjangi atau membiarkan area limbus tersebut terbuka (teknik Bare Sclera).

6. Blaskovics: Teknik ini dilakukan apabila dikhawatirkan akan kambuh, dengan cara konjungtiva dilipat ke bawah kemudian dijahit.

17

XI.

KOMPLIKASI Komplikasi dari pterygia meliputi sebagai berikut:7

Penyimpangan atau penurunan tajam penglihatan Kemerahan. Iritasi. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea. Astigmatisme Keterlibatan yang luas otot extraocular dapat membatasi penglihatan dan memberi

kontribusi terjadinya diplopia. Bekas luka yang berada ditengah otot rektus umumnya menyebabkan diplopia pada pasien dengan pterygium yang belum dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan pterygia yang sudah diangkat, terjadi pengeringan focal kornea mata akan tetapi sangat jarang terjadi. Komplikasi postooperasi pterygium meliputi : Infeksi, diplopia, perforasi bola mata, perdarahan vitreous dan yang sering adalah kambuhnya pterigium post operasi yaitu sekitar 50-80%, namun kejadian ini akan berkurang sekitar 515% apabila menggunakan autograf konjungtiva pada saat proses eksisi. Sesudah operasi, eksisi pterygium, steroid topikal pemberiannya lebih di tingkatkan secara perlahan-lahan. Pasien pada steroid topikal perlu untuk diamati, untuk menghindari permasalahan tekanan intraocular dan katarak. Untuk mencegah kekambuhan dapat juga dengan pemberian Mitomicin C intraoperatif.10

XII.

PENCEGAHAN

Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk mengurangi resiko berkembangnya pterygia pada individu yang mempunyai resiko lebih tinggi. Pasien di sarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran, sebagai tambahan terhadap radiasi ultraviolet sebaiknya menggunakan kacamata pelindung dari cahaya matahari.
18

Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah subtropis atau tropis, atau pada pasien yang memiliki aktifitas di luar, dengan suatu resiko tinggi terhadap cahaya ultraviolet (misalnya, memancing, ski, berkebun, pekerja bangunan). Untuk mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan menggunakan kacamata atau topi pelindung.11

XIII. PROGNOSIS Pterigium merupakan suatu neoplasma konjungtiva benigna, umumnya prognosisnya baik secara kosmetik maupun penglihatan, namun hal itu juga tergantung dari ada tidaknya infeksi pada daerah pembedahan. Untuk mencegah kekambuhan pterigium (sekitar 50-80 %) sebaiknya dilakukan penyinaran dengan Strontium yang mengeluarkan sinar beta, dan

apabila residif maka dapat dilakukan pembedahan ulang. Pada beberapa kasus pterigium dapat berkembang menjadi degenerasi ke arah keganasan jaringan epitel.

BAB III KESIMPULAN

19

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat degeneratif dan infasif yang berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral kornea dimana penyakit ini terutama mengenai penduduk daerah tropis dan berhubungan dengan paparan sinar ultraviolet, debu, dan udara panas. Pasien dengan pterigium terkadang tidak merasakan keluhan apapun namun terkadang dapat menunjukkan gejala yang berarti seperti mata merah, gatal, iritasi, sampai terjadi gangguan penglihatan. Penatalaksaan pterigium tergantung dari keadaan pterigium itu sendiri, dimana pada kondisi dini tidak memerlukan pengobatan, atau diberikan steroid topikal apabila terjadi iritasi dan pembedahan apabila pterigium telah meluas dan mengganggu penglihatan. Prognosis umumnya baik, dengan angka kekambuhan 50-80 %, oleh karena itu pencegahan pada penderita dengan resiko tinggi terkena pterigium dengan menggunakan topi serta kacamata pelindung sangat disarankan.

DAFTAR PUSTAKA

20

1. Vaughan D.G, Asbury T, Riordan P, 2002, Oftalmologi Umum, Edisi ke-14, Widya Medika, Jakarta

2. Ilyas S, 2008, Ilmu Penyakit Mata, edisi ke-3, Balai Penerbit FKUI, Jakarta

3. Ilyas S, Mailangkay H.B., Taim H, 2002, Ilmu Penyakit Mata, Edisi ke-2, Sagung Seto, Jakarta

4. Anonim,

2008,

Conjungtivitis

with

Pseudomembrane,

www.

Revoptom.com/handbook/SEC14.HTM

5. Wijaya N, 1993, Ilmu Penyakit Mata, Edisi rev, cet ke-16, Abadi Tegal, Jakarta

6. Al-Ghozi M, 2002, Handbook of Ophtalmology ; a Guide to Medical Examination. FK UMY. Yogyakarta.

7. Fisher J.P., Trattler W, 2001, Pterygium, www. Emedicine.com [Medline]

8. Anonim, 2006, A guide to Pterygium and Pterygium Surgery, www.google.com

9. Anonim, 2006, Pterigium karena Lalai Menjaga Mata, www.google.com

10. Anonim, 2007, Conjungtivitis, www.care foryoureyes.com/article

21

11. Coroneo M.T., Digerolamo N, Wakefield D,1999, The Pathogenesis of Pterygium, curr Opin Ophthalmol; 10(4): 282-8 [Medline]

22

Anda mungkin juga menyukai