Anda di halaman 1dari 15

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Trakeostomi adalah suatu tindakan dengan membuka dinding

depan/anterior trakea untuk mempertahankan jalan nafas agar udara dapat masuk ke paru-paru dan memintas jalan nafas bagian atas.1 Trakeostomi dilakukan sebagai salah satu manajemen jalan napas dalam keadaan darurat. Selain keadaan darurat, trakeostomi juga merupakan pilihan dalam manajemen jalan dalam keadaan tertentu yang bersifat elektif.1,6 Selain untuk menjaga patensi jalan napas, trakeostomi juga digunakan untuk bronchial toilet, dan untuk mengambil benda asing dari subglotik. Dalam melakukan trakeostomi, terdapat beberapa metode yang digunakan, antara lain surgical, perkutaneus, dan trakeostomi mini.1 Metode yang paling banyak digunakan adalah dengan surgical yang dapat digunakan untuk trakeostomi sementara dan permanen. Untuk menghindari terjadinya komplikasi, perlu diperhatikan insisi kulit jangan terlalu pendek agar tidak sukar mencari trakea dan mencegah terjadinya emfisema kulit. Setelah dilakukan trakeostomi, perlu dilakukan pemeriksaan rontgen dada untuk menilai posisi tuba dan melihat

timbul atau tidaknya komplikasi. Perawatan pasca trakeostomi sangat penting karena sekret dapat menyumbat dan menimbulkan asfiksia. Oleh karena itu, sekret di trakea dan kanul harus sering diisap ke luar dan kanul dalam dicuci sekurang-kurangnya dua kali sehari lalu segera dimasukkan lagi ke dalam kanul luar. Komplikasi yang terjadi dapat berupa komplikasi segera setelah pemasangan, komplikasi menengah dan komplikasi lanjut.6,7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Anatomi Trakea Trakea merupakan tabung berongga yang dimulai dari batas bawah

kartilago cricoid dan tersusun dari kartilago hyaline yang berbentuk C dan inkomplit. Cincin kartilago hyaline ini membuka pada bagian posterior dimana bagian yang terbuka ini dihubungkan oleh jaringan ikat fibroareolar dan serabut otot polos. Trakea dan laring disusun oleh epitel kolumnar pseudostratified bersilia, kecuali glotis yang disusun oleh epitel pipih bertingkat.1 Trakea memiliki panjang kira-kira 10 13 cm dan 16 20 cincin kartilago. Trakea bercabang pada setinggi sternum membentuk dua cabang bronkus, yaitu bronkus kanan dan kiri. Bronkus kanan lebih lebar, lebih sempit, dan lebih vertikal dibandingkan dengan bronkus kiri. Selanjutnya, bronkus utama ini bercabang-cabang membentuk pohon bronkus (bronchial tree). Percabangan bronkus yang paling kecil, yaitu bronkiolus dimana bronkiolus ini tidak memiliki cincin kartilago. 1,2 Kelenjar tiroid terletak di atas trakea di bagian depan dan lateral. Isthmus melintasi trakea disebelah anterior setinggi cincin trakea kedua hingga kelima. Saraf laringeus rekuren terletak pada sulkus trakeoesofagus.1 Trakea diperdarahi oleh cabang arteri tiroid superior dan inferior kemudian membentuk anastomose dengan arteri bronkial yang berasal dari aortatorakalis. Aliran darah vena mengalir ke pleksus vena tiroid inferior. Trakea dipersarafi oleh cabang dari nervus Vagus, nervus Laringeal Rekuren, dan trunkus simpatetik. Stimulasi simpatis menyebabkan relaksasi muskulus sedangkan stimulasi vagal akan menyebabkan konstriksi. trakea,

Gambar 2.1. Anatomi trakea

2.2.

Definisi Trakeostomi Trakeostomi merupakan suatu tindakan menginsisi dinding anterior trakea

untuk mempertahankan jalan napas agar udara dapat masuk ke paru-paru dan memintas jalan napas bagian atas.3

2.3.

Indikasi Trakeostomi Trakeostomi merupakan salah satu tindakan untuk mengatasi obstruksi

saluran napas. Obstruksi saluran napas ditandai dengan adanya suara serak, sesak napas, gelisah, stridor, retraksi intercostal, suprasternal, dan supraclavicular, sianosis. Adanya trauma pada jalan napas yang ditandai dengan sputum bercampur darah, emfisema subkutan, dan fraktur laringorakeal yang dapat diraba juga memerlukan trakeostomi untuk mempertahan patensi jalan napas.1 Indikasi lainnya dilakukan trakeostomi, yaitu :4 Stenosis laring yang dapat disebabkan oleh tumor, pembengkakan (misalnya, post radiasi), paralisis vocal cord bilateral, stenosis subglotis.

Stenosis trakea yang letaknya diatas insisi trakeostomi Ventilasi mekanik yang berkepanjangan Penyakit paru (untuk memfasilitasi bronchial toilet dan mengurangi dead space)

Mengatasi sleep apnea Mempertahankan patensi jalan napas setelah operasi saluran napas atas

2.4.

Klasifikasi

2.4.1. Berdasarkan waktu dilakukannya 2.4.1.1. Trakeostomi Elektif Trakeostomi elektif dilakukan dengan persiapan dimana kondisi pasien dan yang berhubungan dengan operasi dikontrol terlebih dahulu.3 Trakeostomi merupakan prosedur yang membutuhkan kerja sama antara operator dan ahli anestesi sehingga sebaiknya dilakukan dalam kondisi terkontrol.5

Gambar 2.2. Indikasi absolut dan relatif trakeostomi elektif

2.4.1.2.

Trakeostomi Darurat Pada keadaan darurat atau distres pernapasan akut, orotrakeal atau

nasotrakeal intubasi merupakan intervensi yang biasanya dilakukan. Apabila

intubasi gagal dilakukan, walaupun telah dilakukan dengan bantuan endoskopi, perlu dilakukan trakeostomi untuk membuka jalan napas. Dalam keadaan yang sangat darurat, insisi trakea dapat terganggu atau terhalangi oleh lapisan jaringan subkutan dan perdarahan dari isthmus tiroid.3 Selain trakeostomi, dalam keadaan darurat dapat dilakukan krikotiroidotomi.8

2.4.2. Berdasarkan letak insisi Berdasarkan letak insisinya, trakeostomi dibagi menjadi lelak tinggi dan letak rendah, dimana batas antara kedua letak tersebut adalah cincin trakea ketiga.6

2.5. Trakeostomi 2.5.1. Alat-Alat Trakeostomi A. Jenis Pipa Trakeostomi2 1. Cuffed Tubes Selang dilengkapi dengan balon yang dapat diatur sehingga memperkecil risiko timbulnya aspirasi. 2. Uncuffed Tubes Digunakan pada tindakan trakeostomi dengan penderita yang tidak mempunyai risiko aspirasi. 3. Trakeostomi dua cabang (dengan kanul dalam) Dua bagian trakeostomi ini dapat dikembangkan dan dikempiskan sehingga kanul dalam dapat dibersihkan dan diganti untuk mencegah terjadi obstruksi. 4. Silver Negus Tubes Terdiri dua bagian pipa yang digunakan untuk trakeostomi jangka panjang. Tidak perlu terlalu sering dibersihkan dan penderita dapat merawat sendiri. 5. Fenestrated Tubes Trakeostomi ini mempunyai bagian yang terbuka di sebelah posteriornya, sehingga penderita masih tetap merasa bernapas melewati hidungnya. Selain itu, bagian terbuka ini memungkinkan penderita untuk dapat berbicara.

Gambar 2.3. Bagian pipa trakeostomi dengan balon dan kanul dalam

Gambar 2.4. Pipa trakeostomi tanpa balon

B. Alat-Alat Trakeostomi Alat yang diperlukan untuk melakukan trakeostomi adalah semprit yang berisi obat analgesia, pisau, pinset anatomi, gunting panjang tumpul, sepasang pengait tumpul, klem arteri, gunting kecil yang tajam serta kanul trakea dengan ukuran sesuai.

2.6 Jenis Tindakan Trakeostomi 2.6.1 Surgical tracheostomy Tipe ini dapat sementara dan permanen dan dilakukan di dalam ruang operasi. Insisi dibuat diantara cincin trakea kedua dan ketiga sepanjang 4-5 cm.

2.6.2. Percutaneous Tracheostomy Tipe ini hanya bersifat sementara dan dilakukan pada unit gawat darurat. Dilakukan pembuatan lubang diantara cincing trakea satu dan dua atau dua dan tiga. Karena lubang yang dibuat lebih kecil, maka penyembuhan lukanya akan lebih cepat dan tidak meninggalkan scar. Selain itu, kejadian timbulnya infeksi juga jauh lebih kecil.

2.6.3. Mini tracheostomy Dilakukan insisi pada pertengahan membran krikotiroid dan trakeostomi mini ini dimasukan menggunakan kawat dan dilator.

2.6.4. Prosedur 2.6.4.1. Surgical Tracheostomy6,7 Pasien tidur telentang, bahu diganjal dengan bantalan kecil sehingga memudahkan kepala untuk diekstensikan pada persendian atlanto-oksipital. Dengan posisi seperti ini, leher akan lurus dan trakea akan terletak di garis median dekat permukaan leher. Kulit daerah leher dibersihkan secara asepsis dan antisepsis, lalu ditutup dengan kain steril. Obat anastetikum (novokain) disuntikkan ddi pertengahan krikoid dengan fossa suprasternal secara infiltrasi. Sayatan Kulit dapat vertical di garis tengah leher , mulai di bawah krikoid sampai fossa suprasternal atau jika membuat sayatan horizontal, dilakukan pada pertengahan jarak antara kartilago krikoid dengan fosa suprasternal atau kira kira 2 jari di bawah krikoid orang dewasa. Sayatan jangan terlalu sempit, dibuat kira kira 5 cm. Dengan gunting panjang yang tupul, kulit serta jaringan di bawahnya dipisahkan lapis demi lapis dan ditarik ke lateral dengan pengait tumpul, sampai tampak trakea dyang berupa pipa dengan susunan cincin tulang rawan yang berwarna putih. Bila lapisan kulit dan jaringan dibawahnya di buka tepat di tengah, maka trakea ini akan mudah ditemukan. Pembuluh darah vena jugularis anterior yang tampak ditarik ke lateral. Ismus tiroid yang ditemukan, ditarik ke atas supaya cincin trakea jelas terlihat. Jika tidak mungkin, ismus tiroid di klem pada dua

tempat dan dipotong di tengahnya. Sebelum klem ini dilepaskan, ismus tiroid diikat kedua tepinya, dan disisihkan ke lateral. Perdarahan dihentikan dan jika perlu diikat. Lakukan aspirasi dengan cara menusukkan jarum pada membrane antara cincin trakea dan akan terasa ringan waktu ditarik. Buat stoma dengan memotong cincin trakea ke tiga dengan gunting yang tajam. Kemudian dipasang kanul trakea dengan ukuran yang sesuai. Kanul difiksasi dengan tali pada leher pasien dan luka operasi ditutup dengan kasa. Untuk menghindari terjadinya komplikasi, perlu diperhatikan insisi kulit jangan terlalu pendek agar tidak sukar mencari trakea dan mencegah terjadinya emfisema kulit.

2.6.4.2. Trakeostomi Perkutaneus Trakeostomi dilatasi perkutaneus adalah suatu teknik trakeostomi minimal invasif sebagai alternatif terhadap teknik konvensional. Trakeostomi dilatasi perkutaneus (TDP) dilakukan dengan cara menempatkan kanul trakeostomi dengan bantuan serangkaian dilator dibawah panduan endoskopi. Prosedur ini diperkenalkan oleh Pasquale Ciagalia pada tahun 1985. Griggs pada tahun 1990 melakukan modifikasi dengan menggunaan kawat pemandu dan forsep dilatasi (Griggs Guidewire Dilating forceps/ GWDF) pada prosedur ini. Teknik ini dimulai dengan insisi kulit sepanjang 1.5-2 cm, 2 cm dibawah kartialgo krikoid. Sepasang forsep mosquito digunakan untuk diseksi secara tumpul sampai fasia pretrakea. Dengan menggunakan jari kelingking identifikasi tulang rawan krikoid dan trakea. Jarum dengan kateternya ditusukkan, idealnya antara cincin trakea kedua dan ketiga dan tindakan ini dapat dipantau dengan menggunakan bronkoskopi yang telah dihubungkan ke kamera. Jarum kemudian ditarik, kawat pemandu (J-Wire), kemudian dimasukkan kemudian kateter ditarik sepenuhnya dan mempertahankan kawat pemandu dalam lumen trakea. Dilator Ciaglia kemudian dimasukkan melalui kawat pemandu sampai dengan ukuran 38F. Kanul trakeostomi kemudian dipasang dengan ukuran yang sama dengan dilator melaui kawat pemandu, dan kawat pemandu kemudian dilepas. Kanul trakeostomi

difiksasi dan cuff dikembangkan. Roentgen dada post operatif dilakukan untuk melihat adanya komplikasi penumotorak dan pneumomediastinum. Prosedur TDP ini merupakan prosedur elektif yang sering dilakukan di unit perawatan intensif atau ICU. Pada dekade terakhir, TDP menjadi tindakan rutin yang praktis dilakukan di beberapa RS dan beberapa artikel telah membandingkan TDP dengan trakeostomi, dimana adanya komplikasi yang lebih rendah pada TDP dan lamanya waktu yang digunakan lebih pendek. Pada awalnya kebanyakan penulis menyadari bahwa prosedur ini kontraindikasi relatif pada pasien obesitas dan leher pendek, dan kontraindikasi absolut pada cedera servikal, anak-anak dan keadaan darurat. Sekarang ini beberapa laporan menyebutkan keamanan dan kemungkinan dilakukannya teknik ini pada pasienpasien yang memiliki kontraindikasi tersebut. Komplikasi dari prosedur ini lebih rendah dibanding prosedur trakeostomi standar. Keuntungan teknik ini TDP adalah, dibawah panduan bronkoskopi sehingga masuknya kawat pemandu dan kanul trakeostomi di garis tengah dapat dipastikan dan dapat menghindari komplikasi rusaknya dinding trakea posterior serta videonya dapat digunakan sebagai bahan untuk pelatihan

berikutnya.Sedangkan, kerugian dari teknik ini adalah pemilihan pasien sangat selektif untuk keberhasilan tindakan ini, pasien dengan landmark tidak jelas, obesitas, koagulopati atau adanya massa di leher merupakan calon yang tidak dianjurkan; perlunya mentor terlatih dalam pelaksanannya untuk mencegah kemungkinan komplikasi yang serius; membutuhkan lebih banyak tim terlatih dan peralatan tambahan sehingga biayanya lebih besar.

2.6.4.3. Trakeostomi mini Dilakukan insisi pada pertengahan membran krikotiroid dan trakeostomi mini ini dimasukan menggunakan kawat dan dilator. 2.7. Perawatan Pasca Trakeostomi6 1. Rontgen dada untuk menilai posisi tuba dan melihat timbul atau tidaknya komplikasi

2. Antibiotik untuk menurunkan risiko timbulnya infeksi 3. Mengajari pihak keluarga dan penderita sendiri cara merawat pipa trakeostomi Perawatan pasca trakeostomi sangat penting karena sekret dapat menyumbat dan menimbulkan asfiksia. Oleh karena itu, sekret di trakea dan kanul harus sering diisap ke luar dan kanul dalam dicuci sekurang-kurangnya dua kali sehari lalu segera dimasukkan lagi ke dalam kanul luar. Bila kanul harus dipasang dalam jangka waktu lama, maka kanul harus dibersihkan dua minggu sekali. Kain basah di bawah kanul harus diganti untuk menghindari timbulnya dermatitis. Gunakan kompres hangat untuk mengurangi rasa nyeri pada daerah insisi. Praktis setelah pemasangan pipa trakeostomi, beberapa hal perlu diperhatikan. Cuff dari tuba harus di kempiskan kurang lebih 24 jam setelah pemasangan, kecuali jika pasien dalam keadaan memakai mesin ventilasi. Kanul dalam di lepaskan dan dibersihkan setiap 1-2 jam pada 2-3 jam pertama untuk mencegah obstruksi oleh mukus yang kering. Penghisapan dengan menggunakan suction harus dilakukan dengan sering terutama pada beberapa hari pertama. Tuba trakeostomi tidak boleh di lepaskan atau diganti selama 3-5 hari kecuali tersumbat atau bergeser. Suatu proses penyesuaian pasien untuk bernafas normal tanpa tuba trakeostomi dikenal sebagai tindakan dekanulasi. Proses ini dilakukan dengan konsep weaning, dimana ukuran tuba trakeostomi di perkecil sampai ukuran yang memungkinkan udara dapat memintas tuba menuju saluran nafas atas. Proses ini menggunakan tuba berfenestra tanpa cuff. Tuba kemudian ditutup, dan keadaan ini dipertahankan sampai 24-48 jam. Beberapa kriteria dekanulasi : AGDA yang stabil Tidak ada distress pernafasan Hemodinamik stabil Tidak ada demam dan tanda-tanda infeksi Pemeriksaan endoskopik yang normal atau terdapat tanda sumbatan jalan nafas tetapi < 30% Kemampuan menelan adekuat Mampu untuk membuang dahak

10

2.8. Komplikasi7 1. Segera a. Apnea akibat hilangnya rangsangan hipoksia pernapasan b. Perdarahan Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya pembuluh darah utama di leher terutama di bawah cincin trakea ke-4. Untuk mencegah dapat dilakukan palpasi pada regio substernal terlebih dahulu untuk mengetahui daerah yang terdapat pulsasi sebelum melakukan tindakan pembedahan. c. Pneumothoraks dan pneumomediastinum d. Emboli udara e. Trauma kartilago krikoid

a) Trakea tertekuk ke depan b) Tukak dinding depan trakea karena ukuran kanul terlalu besar c) Emfisema subkutis karena dislokasikanul d) Tukak karina karena kateter isap e) Manset ditiup terlalu kuat sehingga menyebabkan penutupan kanul ( herniasi akibat ditiup berlebihan ) f) Manset kanul terlepas di trakea g) Nekrosis cincin trakea karena manset ditiup terlalu kuat h) Cedera dinding belakang (hati hati fistel trakeo-esofagus)

2. Menengah

11

a. Trakeitis dan trakeobronkitis b. Erosi trakea dan perdarahan c. Pneumonia d. Hiperkapnea e. Atelektasis f. Pergeseran pipa trakeostomi Pasien trakeostomi membutuhkan pengawasan ketat untuk mencegah terjadinya komplikasi, terutama dalam beberapa hari post-operasi. Salah satu komplikasi yang paling berbahaya dari trakeostomi adalah dekanulasi tidak sengaja yang berlangsung sebelum saluran udara antara kulit dan trakea matang, kira-kira 5 sampai 6 hari setelah prosedur. Jika stoma belum cukup matang, maka jaringan akan saling tumpang tindih saat tabung trakeostomi dilepaskan. Dekanulasi tidak sengaja sebelum keadaan saluran stabil terbentuk dapat menyebabkan hilangnya saluran udara. Beberapa yang dapat

mempengaruhi pasien untuk pelepasan tabung secara paksa, termasuk: (a) melonggarkan tali/ jahitan pengaman tabung trakeostomi. (b) penggunaan tabung trakeostomi yang panjangnya bisa diatur. (c) batuk yang berlebihan. (d) seorang pasien yang lebih berat badan dengan saluran memanjang dari kulit trakea menyebabkan posisi tabung tidak pada semestinya. g. Obstruksi pipa trakeostomi h. Emfisema subkutan i. Aspirasi dan abses paru 3. Lanjut a. Fistel trakeokutan menetap b. Stenosis laring atau trakea c. Granulasi trakea d. Trakeomalasia e. Kesukaran dekanulasi

12

f. Fistel trakeoesofagus g. Masalah jaringan parut trakeostomi h.Mucus plug i. Pneumonia j.Stenosis stoma k. Infeksi stoma Trakeostomi dipertimbangkan sebagai luka bersih yang terkontaminasi.

Kejadian infeksi yang dilaporkan sangat bergantung pada kriteria infeksi dalam penelitian individu yang dipertimbangkan. pada dasarnya, sewaktu tingkat infeksi stomal dilaporkan berkisar 36% oleh Stauffer, Olson, dan Petty (1981), kejadian selulitis dan purulense secara umum telah dilaporkan sekitar 3% - 8% ( Delayet dkk, 2006). Infeksi stoma biasaynya muncul sebagai infeksi yang lambat, sellulitis ringan, atau penggumpalan jaringan. infeksi yang serius seperti mediastinitis, fasciitis, abscess, dan osteomyelitis klavikularis jarang terjadi, akan tetapi, ketika itu terjadi, dapat mengakibatkan hilangnya jaringan trakea, kebororan udara yang besar, dan pendarahan (Snow, Richardson, and Flint, 1981). Pelepasan trakeostomi tergantung dari apakah tabung trakeostomi bersifat sementara atau permanen. Jika bersifat sementara maka trakeostomi dapat dilepas.. Jika tabung trakeostomi bersifat permanen, lubang akan tetap terbuka. Namun, lubang cenderung menyempit seiring dengan waktu berlanjut. Sehingga operasi lebih lanjut dibutuhkan untuk memperlebar lubang.

13

BAB 3 KESIMPULAN

Trakeostomi merupakan suatu tindakan menginsisi dinding anterior trakea untuk mempertahankan jalan napas agar udara dapat masuk ke paru-paru dan memintas jalan napas bagian atas. Trakeostomi merupakan salah satu tindakan untuk mengatasi obstruksi saluran napas. Obstruksi saluran napas ditandai dengan adanya suara serak, sesak napas, gelisah, stridor, retraksi intercostal, suprasternal, dan supraclavicular, sianosis. Adanya trauma pada jalan napas yang ditandai dengan sputum bercampur darah, emfisema subkutan, dan fraktur laringorakeal yang dapat diraba juga memerlukan trakeostomi untuk mempertahan patensi jalan napas. Trakeostomi diklasifikasikan menjadi trakeostomi elektif dan darurat berdasarkan waktu dilakukannya, dan berdasarkan letak insisinya dibagi menjadi letak tinggi dan letak rendah. Untuk trakeostomi yang sementara dan permanen, dapat dilakukan trakeostomi dengan teknik surgical. Untuk menghindari terjadinya komplikasi, perlu diperhatikan insisi kulit jangan terlalu pendek agar tidak sukar mencari trakea dan mencegah terjadinya emfisema kulit. Setelah dilakukan trakeostomi, perlu dilakukan pemeriksaan rontgen dada untuk menilai posisi tuba dan melihat timbul atau tidaknya komplikasi. Perawatan pasca trakeostomi sangat penting karena sekret dapat menyumbat dan menimbulkan asfiksia. Oleh karena itu, sekret di trakea dan kanul harus sering diisap ke luar dan kanul dalam dicuci sekurang-kurangnya dua kali sehari lalu segera dimasukkan lagi ke dalam kanul luar. Komplikasi yang terjadi dapat berupa komplikasi segera setelah pemasangan, komplikasi menengah dan komplikasi lanjut.

14

DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger, John Jacob. 2002. Otitis Media Kataral Akut & Otitis Media Kataral Kronik. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara. 2. Scanlon, Valerie C., Sanders, Tina. 2007. Essentials of Anatomy and Physiology. 5th Edition. USA: Davis Company. 3. Probst, Rudolf. 2006. The Middle Ear. In: Probst, Rudolf., Grevers, Gerhard., Iro, Heinrich. Basic Otorhinolaryngology: A Step by Step Learning Guide. New York: Thieme. 4. Lalwani, Anil K. 2007. Otitis Media. In: Current Diagnosis & Treatment. 2nd Edition. New York: McGraw Hill Companies. 5. Montgomery, Paul Q., Evans, Peter H Rys., Gullane, Patrick J. 2009. Principles of Head and Neck Surgery and Oncology. 2nd Edition. UK: Informa. 6. Soepardi, E.A., dkk. 2010. Otitis Media Non Supuratif. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 7. Morris, Linda., Afifi, Sherif. 2009. Tracheostomies, The Complete Guide. USA: Hamilton Printing Company. p.18-38;236,278. 8. Adams, G.L., Boeis, L.R., Higler, P.A. 1997. Otitis Media Serosa. Dalam: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 97-9. 9. Tintinalli, Judith E., Kelen, Gabor D., Stapczynski, J Stephan. 2004. Emergency Medicine: A Comprehensive Study Guide. 6th Edition. USA: McGraw-Hill Companies.

15

Anda mungkin juga menyukai