Anda di halaman 1dari 15

Diskusi Kasus

RHINITIS ALERGI











Oleh:

GALIH RATNA ANGGITASARI
G99121019






KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2012
1

ILUSTRASI KASUS

I. Anamnesa
A. Identitas Penderita
Nama : Nn A
Umur : 19 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Jebres, Surakarta
B. Keluhan Utama : bersin-bersin
C. Riwayat Penyakit Sekarang
3 minggu sebelum memeriksakan diri, pasien mengeluh bersin-
bersin yang semakin memberat disertai dengan keluarnya ingus yang
encer dan banyak serta hidung tersumbat. Pasien mengalami bersin-
bersin jika berada pada lingkungan yang berdebu. Bersin-bersin lebih
dari 6 kali setiap serangan dan disertai dengan keluarnya ingus. Pasien
merasa gejalanya mengganggu aktivitas sehari-hari. Keluhan bersin
mereda apabila pasien berada di lingkungan yang bersih dan cuaca
yang tidak dingin.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat asma : disangkal
2. Riwayat alergi : sering mengalami gejala serupa sejak usia
10 tahun bila berada di tempat yang berdebu
3. Riwayat mondok : disangkal
E. Riwayat Kebiasaan
1. Riwayat merokok : disangkal
2. Riwayat minum obat : minum obat flu setiap muncul
gejala bersin-bersin
3. Riwayat olahraga teratur : disangkal
2

4. Riwayat memelihara binatang: memelihara 2 ekor kucing dan
sering berinteraksi dengan peliharaannya
F. Riwayat Penyakit pada Keluarga
1. Riwayat alergi : ayah sering mengalami gejala serupa
2. Riwayat asma : disangkal
G. Riwayat Gizi
Sebelum mengalami gejala tersebut pasien makan teratur 3 kali sehari,
tidak pernah terlambat, sebanyak masing-masing 1 piring nasi, sayur,
lauk-pauk tahu dan tempe, serta daging kadang-kadang. Pasien tidak
mempunyai jenis makanan tertentu yang paling disukai dan tidak ada
riwayat alergi terhadap jenis makanan tertentu. Nafsu makan pasien
tidak menurun selama timbul gejala-gejala tersebut.
H. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang mahasiswa dengan kedua orang tuanya bekerja
sebagai PNS dan mempunyai seorang adik laki-laki.
II. Anamnesa Sistem
a. kulit: kering (-), pucat (-), gatal (-), bercak kuning (-), luka (-)
b. kepala: nyeri kepala (-), kepala terasa berat (-), perasaan berputar-putar
(-), perasaan seperti mau pingsan (-), rambut mudah rontok (-)
c. mata: mata berkunang-kunang (-), pandangan kabur (-), kelopak
bengkak (-), gatal (-), keluar air mata (-)
d. hidung: gatal-gatal (+), bersin-bersin (+), keluar darah (-), keluar air
atau lendir berlebihan (+), tersumbat (+)
e. telinga : pendengaran berkurang (-), keluar cairan atau darah (-),
mendengar bunyi mengiang (-)
f. mulut: bibir kering (-), sariawan (-), gigi mudah goyah (-), papil lidah
atrofi (-)
g. tenggorokan: rasa kering dan gatal (-), nyeri menelan (-), sakit
tenggorokan (-), kemerahan pada tenggorokan (-), suara serak (-)
h. sitem respirasi: sesak napas (-), batuk (-), dahak (-), darah (-), nyeri (-),
mengi (-)
3

i. sistem kardiovaskuler: nyeri dada (-), tberdebar-debar (-), keringat
dingin (-), bangun malam karena sesak napas (-)
j. sistem gastrointestinal: mual muntah (-),sakit perut (-), nafsu makan
berkurang (-)
k. sistem musculoskeletal: lemas (-), pegal (-), nyeri (-)
l. sistem genitourinaria: nyeri saat BAK (-), panas saat BAK (-), nanah (-),
BAK sedikit (-), gatal (-)
m. ekstremitas: luka (-), lemah (-), kaku (-), bengkak (-), gemetar (-)
n. sistem neuropsikiatri: kesemutan (-), gelisah (-), kejang (-)
III. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum: sakit sedang, compos mentis, gizi kesan cukup
b. Tanda vital: TD: 120/80 mmHg, RR: 20x/menit, nadi: 80x/menit, HR:
80x/menit, suhu: 37 derajat peraxiler
c. Status gizi: BB: 50, TB: 159 cm; BMI: 19,79 kg/m
2
kesan
normoweight
Karena kasus tersebut berkaitan dengan masalah pada bagian THT,
maka pemeriksaan fisik ditekankan pada daerah teling, hidung, dan
tenggorokan sebagai berikut:
- Telinga: secret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), gangguan
fungsi pendengaran (-/-)
- Hidung: epistaksis (-/-), napas cuping hidung (-/-), fungsi
pembauan terganggu, gatal (+/+), pada rinoskopi anterior tampak
mukosa adema, basah, berwarna pucat, disertai dengan secret yang
encer dan banyak
- Tenggorokan: dalam batas normal, tidak ditemukan secret, dan
tidak hiperemis
IV. Pemeriksaan Penunjang
Berkaitan dengan gejala-gejala yang timbul pada kasus tersebut maka
pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah:
- Pemeriksaan sitologi hidung: dari pemeriksaan sitologi hidung
terlihat peningkatan jumlah eosinofil >10/lp
4

V. Diagnosis
Rhinitis alergi
VI. Tujuan pengobatan
a. Mengurangi reaksi alergi
b. Dekongesti nasal
c. Meningkatkan daya tahan tubuh
VII. Terapi
a. Nonmedikamentosa
Menghindari kontak dengan allergen penyebab

b. Medikamentosa

R/ Loratadine tab mg 10 NoV
S 1 dd tab I
R/ Otrivin lag No.I
S 2 dd gtt I nasales
R/ Becerfort tab No. V
S 1 dd tab 1
Pro : Nn A (19th)



5

TINJAUAN PUSTAKA
RHINITIS ALERGI

A. Definisi
Rhinitis alergi adalah penyakit radang mukosa hidung disebabkan oleh
proses alergi. Proses peradangan pada rhinitis alergi terjadi akibat
hipersensitivitas hidung terhadap allergen dengan gejala utama bersin-
bersin, gatal pada hidung, sumbatan hidung, dan sekresi hidung encer.
Wang dan Clement (2000) melakukan penetilian tes provokasi terhadap
allergen yang menunjukkan bahwa terdapat peningkatan beberapa
mediator inflamasi seperti sel mast, basofil, esosinofil, histamin, trypase,
dan leukotrien 4 beberapa menit setelah tes.
Terjadinya rhinitis alergi berkaitan dengan keseimbangan respon imun
seluler dan humoral yang diperankan oleh adaptive immune system yaitu
sel limfosist T dan sel limfosist B.
B. Epidemiologi
Rhinitis alergi rata-rata diderita anak mulai umur 10 tahun. Jumlah angka
penderita rhinitis alergi semakin banyak terutama di daerah perkotaan. Hal
ini sesuai dengan Hygiene Theory yang menyatakan bahwa semakin
menigkat derajat kesehatan dan cara hidup akan meningkatkan penyakit
alergi. Angka kejadian rhinitis alergi di USA dan Eropa Utara mencapai
10-20% dari populasi (Adkinson, 1999), sedangkan di Indonsia belum
terdapat data yang pasti.
C. Etiologi
Terjadinya rhinitis alergi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
berhubungan dengan atopi, banyaknya alergen yang semakin meningkat,
tingkat kesehatan dan pola hidup yang berubah. Selain itu, rhinitis alergi
dapat disebabkan oleh iritasi akibat faktor non spesifik dan dapat
6

memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan
cuaca, dan kelembaban udara yang tinggi.
D. Patofisiologi
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Mekanisme
imunopatobiologi rhinitis alergi terjadi melalui mekanisme alergi tipe I
dan tipe IV yang dipengaruhi oleh keseimbangan limfosit Th1 dan Th2
(Altemeir dan Graft, 2000). Reaksi alergi pada rhinitis alergi ini terdiri dari
2 fase yaitu intermediate allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat
(RAFC) yang terjadi sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam denga puncak 6-8 cam (fase
hipereaktivitas) setelah pemaparan dan berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai
antigen presenting cell (APC) akan mengangkap allergen yang menempel
di permukaan mukosa hidung. Setelah proses pengenalan, antigen akan
membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA
kelas II membentuk kompleks Major Histcompability Complex (MHC II)
yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Pelepasan IL-
1oleh sel penyaji akan mengaktifkan proliferasi sel Th0 menjadi Th 1 dan
Th 2. T helper 2 berperan menginduksi pembentukan sitokin IL3, IL4,
IL5, dan IL 13.
IL 4 dan IL 13 memiliki kemampuan untuk berikatan dengan reseptor pada
permukaan sel limfosit B yang mengakibatkan aktivasi sel B untuk
memproduksi immunoglobulin E (IgE). Ig E dalam sirkulasi darah akan
masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit
atau basofil sehingga kedua sel tersebut menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan mediator tersensitisasi. Paparan allergen
yang sama pada mukosa yang telah tersensitisasi menyababkan terjadinya
degranulasi mastosit akibat ikatan antara Ig E dengan anigen spesifik. Pada
7

proses degranulasi ini akan dilepaskan mediator kimia (performed
mediator) terutama histamin. Selain histamin, dilepaskan pula newly
performed mediator antara lain prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien 4
(LTC4), bradikinin, platelet activating factor (PAF), dan berbagai sitokin
(IL 3, IL4, IL 5, IL 6, GM-CSF)
Pada RAFC, histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf
vadinus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.
Histamin menyebabkan hipersekresi dan peningkatan permeabilitas pada
kelenjar mukosa dan sel goblet yang mengakibatkan terjadinya rinore.
Selain itu, histamine menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung
sehingga terjadi pelepasan intracellular adhesion molusule (ICAM)
Pada RACF, sel mastosit akan melepaskan faktor kemotaktik yang
menyababkan akumulasi eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon
tersebut akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan
antigen. Sedangkan RAFL ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah
sel inflamasi seperti eosinofil, limfosist, netrofil, basofil, dan mastosist di
mukosa hidung serta peningkatan IL 3, IL 4, IL 5, GM-CSF, ICAM 1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung
adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi seperti
eosinophilic catatonic protein (ECP), eosinophilic derived protein (EDP),
major basic protein (MBP), dan eosinophilic peroxidase (EPO).
Rhinitis alergi dibedakan dalam dua macam berdasarkan sifat
berlangsungnya yaitu rhinitis alergi musiaman dan rhinitis alergi
sepanjang tahun. Kedua tipe tersebut memiliki gejala yang sama dengan
perbedaan pada sifat berlangsungnya rhinitis alergi. Saat ini digunakan
klasifikasi rhinitis alergi berdasarka rekomendasi WHO Initiative ARIA
(Allergic Rhinitis nd its Impact on Asthma) tahun 2000 sebagai berikut:
Intermiten Persisten
Gejala: <4 hari perminggu Gejala: >4 hari perminggu
8

Penyakit < 4 minggu

Penyakit >4 minggu
Ringan
- Tidur normal
- Aktivitas sehari-hari, saat
olahraga, santai normal
- Bekerja dan sekolah normal
- Tidak ada keluhan yang
mengganggu
Sedang berat
- Tidur terganggu
- Aktivitas sehari-hari, saat
olahraga, santai terganggu
- Bekerja dan sekolah
terganggu
- Ada keluhan yang
mengganggu


E. Diagnosis
1. Anamnesis
Riwayat keluarga dengan alergi, kebiasaan penderita gosok-gosok
hidung, bersin-bersin, hidung buntu, dan hidung meler
2. Gejala Klinik
Gejala rhinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin
berulang. Bersin dianggap patalogis bila terjadi lebih dari lima kali
setiap serangan, terutama pada RAFC dan kadang tersumbat pada
RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lainnya adalah
keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung dan mata gatal
yang disertai lakrimasi.
Gejala spesifik pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah
bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung.
9

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rinokopi anterior
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa adema, basah, berwarna
pucat, disertai dengan secret yang encer dan banyak.
b. Pemeriksaan sitologi hidung
Pemeriksaan sitologi hidung tidak dapat memastikan diagnosis
tetapi dapat berperan sebagai pemeriksaan pelengkap. Pada
pemeriksaan ini, peningkatan eosinofil menunjukkan kemungkinan
alergi.
c. Pemeriksaan Ig E total dan Ig E spesifik
Pemeriksaan Ig E total (prist-paper immunoabsorbent test) sering
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien
lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rhinitis alergi juga
menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna
untuk memprediksi kemungkinan alergi pada bayi dari suatu
kelarga dengan derajat alergi tinggi. Pemeriksaan yang lebih
bermakna adalah pemeriksaan Ig E spesifik dengan RAST (Radio
immunoabsorbent test) atau ELIZA (enzyme like immunoabsorbent
assay).
d. Uji kulit
Terdapat beberapa metode uji kulit pada alergi, antara lain uji
intrakutan atau intradermal tunggal atau berseri (Skin end point
titration /SET), uji cukit (prick test), dan uji gores (Sratch test).
4. Penatalaksanaan
a. Pada rhinitis alergi, terapi yang paling ideal adalah dengan
menghindari kontak dengan allergen penyebab dan eliminasi.
b. Simtomatis
10

1. Medikamentosa
Pada rhinitis alergi digunakan antagonis histamin H-1 yang
bekerja sebagai inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 target
dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering
dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi.
Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi
dengan dekongestan per oral.
Antihistamin dibagi dalam dua golongan, yaitu golongan AH
generasi 1 (klasik) dan AH generasi 2 (non sedative).
Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik sehingga dapat
menembus sawar darah otak, mempunyai efek pada SSP dan
plasenta sera mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk
dalam kelompok ini antara lain: difenhidramin, klorfeniramin,
prometasin. Sedangkan yang dapat diberikan secara topical
adalah azelastin. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik
sehingga sulit menembus sawar darah otak, bersifat selektif
mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek
antikolinergik, antiadrenergik, dan efek pada SSP minimal.
Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan cepat dan mudah
serta efektif untuk mengatasi gejala pada respon fase cepat
seperti rinore, bersin,gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi
gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin
nonsedatif dapat dibagi menjadi dua golongan menutut
keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan
terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisistas
terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang
tertunda dan menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung, dan
bahkan kematian mendadak. Kelompok kedua adalah
loratadin, setirisin, dan fexofenadin.
11

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa
dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa
kombinasi antihistamin atau topical. Namun pemakaian secara
topical hanya untuk beberapa hari saja untuk menghindari
terjadinya rhinitis medikamentosa. Yang paling banyak
digunakan adalah nafazolin, ksilometazolin (otrivin),
oksimetazolin, dan tetrizolin.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala utama sumbatan
hidung akibat respon fase lambat tidak dapat diatasi dengan
obat lain. Kortikosteroid yang sering dipakai adalah jenis
topical antara lain: beklometason, budesonid, flunisonid,
flutikason, mometason furoat, dan triamnisolon. Kortikosteroid
topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosist pada
mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari
eosinofil, mengurangi aktivitas limfosit, dan mencegah
bocornya plasma.
Preparat antikolinergik topical adalah ipratopium bromide yang
bermanfaat untuk mengatasi rinore karena aktivitas inhibisis
kolinergik pada permukaan sel efektor. Berdasarkan
International Primary Care Respiratory Group (IPCRG), maka
pengobatan yang disarankan pada rhinitis alergi sebagai
berikut:
Intermiten ringan
- Oral H1-antihistamin
- Intranasal H1-
antihistamin
- Decongestan dan/
intranasal NaCl
Persisten ringan
- Oral H1-antihistamin
- Intanasal H1-
antihistamin dan atau
decongestan
- Intranasal
12

Evaluasi 2-4 minggu
Berhasil: dosis diturunkan
Gagal: tinjau kembali
diagnosis, atau terapi
dinaikkan (intermiten sedang-
berat)
glucokortikosteroid
- Intranasal NaCl
- Cromone
- Dipertimbangkan
imunoterapi
Evaluasi 2-4 minggu
Berhasil: terapi diturunkan
paling tidak 1 bulan setelah
gejala hilang kemudian dosis
diturunkan
Gagal: tinjau kembali
diagnosis, atau terapi
dinaikkan (persisten
sedang/berat)
Intermiten sedang/berat
- Oral H1-antihistamin
- Intanasal H1-
antihistamin dan atau
decongestan
- Intranasal
glucokortikosteroid
- Intranasal NaCl
- Cromone
- Dipertimbangkan
imunoterapi
Evaluasi: 2-4 minggu
Persisten sedang/berat
- Intranasal
gukokortikosteroid
- Oral H1-antihistamin
- Decongestan
- Intranasal NaCl
- Dipertimbangkan
imunoterapi
Evaluasi: 2-4 minggu
Berhasil: terapi diteruskan
paling tidak 1 bulan setelah
gejala hilang kemudian dosis
13

Berhasil: dosis diturunkan
Gagal: tinjau kembali
diagnosis, tinjau penghambat,
infeksi atau lainnya, konsul
spesialis
diturunkan.
Gagal: tinjau kembali
diagnosis, tinjau penghambat,
infeksi atau lainnya. Dicoba
dosis nasal steroid dinakikkan.
Apabila:
- Gatal/bersin : tambah
H1-antihistamin
- Meler: tambah
ipatropium
- Buntu: tambah
decongestan atau
steroid oral singkat
- Gagal: operasi
(spesialis)

Saat ini pengobatan baru yang sedang dikembangkan untuk
mengatasi rhinitis alergi antara lain:
1. Siklesonid suatu kortikosteroid nasal baru berbentuk
inhalasi yang merupakan suatu prodrug. Apabila prodrug
ini mencapai mukosa hidung, saluran napas atas,dan paru
maka zat ini akan bereaksi dengan enzim esterase pada
permukaan mukosa saluran napas. Enzim esterase kan
memetabolosme zat ini menjadi aktif hanya di tempat-
tempat yang mengalami proses alergi (Yeni Herawati,
2007)
2. Olopaladin hidroclorida semprot hidung merupakan obat
anti IgE yang terbukti mengurangi post nasal drip, bersin-
14

bersin, dan hidung gatal. Obat tersebut mampu mengobati
penyebab rhinitis alergi dan bukan mengobati gejala alergi
3. Imunoterapi sublingual sedang dikembangkan di USA dan
Eropa dan terbukti lebih menyenangkan daripada
imunoterapi subkutan
4. Penelitian terakhir dilakukan untuk memodulasi fungsi
sitokin, antara lain menghambat sitokin proinflamasi
spesifik, antibodi monoclonal terhadap sitokin atau
reseptornya (anti IL4, IL 5), menghambat sitokin Th2,
vaksinasi untuk keseimbangan Th1 dan Th 2 (Chaerul
Effendi, 2007)
2. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu
dipertimbangkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak
berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3
25% atau triklor asetat.


DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, A. Efiaty. 2001. Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher.Jakarta: Fakultas kedokteran Universitas Indonesia
2. Arief Mansjoer, Kuspuji Triyanti, Rakhmi Savitri, et al, eds. 2001. Kapita
Selekta Kedokteran, edisi 3, jilid I. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius.
518-522
3. Ganiswara, G. Sulistia. 2007. Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Jakarta :
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Tjay T, Rahardja K. 2007. Obat-obat Penting Khasiat Penggunaan dan
Efek-efek Sampingnya. Jakarta: Elex Media Komputindo

Anda mungkin juga menyukai